You are on page 1of 12
54 *MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN”™') (Oleh: A. Hamid S. Attamimi, S.H. } . (Beberapa catatan dalam pengembangan ilmu hukum berdasarkan pengalaman dalam kegiatan *Legislative drafting”) "De Grondwet ontleent het begrip van wet enkel van den persoon, die haar maakt, Zij heeft de vraag opengela- ten, wat moet bij ong door eene wet, en wat kan op eene andere wijze worden vastgesteld? Even als andere Grondwetten, heeft zij zich onthoud- en het eigenaardig onderwerp der wet te omschrijven”’. (Thorbecke: Aanteekening op de Grondwet 1).°) 1. Berdasar pengalaman bekerja di bi- dang perundang-undangan*), penulis 7 Isi tulisan ini disampaikan secara lisan dalam Lokakarya mengenai Pengem- bangan IImu Hukum, di Fakultas Hu! kum Universitas Indonesia, tanggak 22 Pebruari 1979. Naskahnya disele- saikan sesudanya, Untuk menghindari keluasan penger- tian yang tidak mampu dijangkau, de- ngan sengaja tidak digergunakan isti- lah “law drafting” sebagaimana di- mintékan Lokakarya, melétnkan “le- gislative drafting”. & Dikutip dari Bohtlingk/Logemann: Het wetsbegrip in Nederland, 1966 h, 47. 1968-1973 sebagai Kepala Biro Hu- ‘kum dan Hubungan dengan Lembaga- Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Departemen Perdagangan; 1973 sam- pai sekarang sebagai Kepala Biro Hu- kum dan Perundang-undangan (nama- nya mula-mula Biro Analisa dan Per- undang-undangan), Sekretariat Kabi net-Sekretariat Negara R.I. 2) 7 merasakan perlunya kejelasan mefige- nai materi peraturan tertentu yang ha- tus dimuat*dalam tiap jenis peraturan perundang-undangan, Mengenali berba- gai jenis dan bentuk peraturan perun- dang-undangan, memahami tata urutan atqu tata susunannya, dan memahami' proses pembentukannya rasanya tidak terlalu sulit, tetapi mengetahui dengan baik materi mana yang harus dimuat dalam masing-masing jenis peraturan perundang-undangan terasa tidak mu- dah. mu ‘hukum tatanegara sudah lama menyoreti fiengertian undang- undang, baik dalam arti formal mau- pun dalam arti material, menyoroti ke- dudukannya, kekuatan berlakunya dan lain-lainnya serta apa saja yang terma- suk pengertian undang-undang dalam arti material, Juga ilmu hukug tata usaha negara telah jauh mempersoal- kan kaedah-kaedah bagi teknik dan proses pembentukan berbagai jenis peraturan perundang-undan¥an. Na- -mun demikian, kedaanya belim me- nyinggung secara mendalam dan mem- biarkannya tanpa Rejernihan mengenai masalah materi muatan peraturan yang semestinya dimuat dalam tiap_jenis peraturan perundang-undangan. 2. Apakah yang disebut peraturan per- undang-undangan? Pada umumnya kita masih belum sepaham dalam me netapkan jenis-jenis peraturan mana Materi peraturan yang disebut peraturan perundang-un- dangan, Membicarakan masalah ini berarti kita segera memasuki sebuah bidang yang masih samar-samar karena selain Undang-undang Dasar 1945 ti- dak menjelaskannya, di kalangan para ahli juga timbul pendapat yang berbe- da-beda, Dan "repotnya” pendapat- pendapat itu dihadapkan langsung ke- pada wibawa sebuah Ketetapan Lem- baga Tertinggi Negara, yakni Ketetap- an Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No, XX/1966 yang dalam Lampirannya angka I] menggariskan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut Undang- Undang Dasar 1945”, Sebagaimana kita ketahui Lampiran TAP MPRS No.XX/1966 dimaksud menyebutkan bentuk dan tata urutan peraturan perundang-undangan secara berturut-turut: Undang-Undanz Dasar 1945; Ketetapan MPR; Undang-Un- dang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; Peratusan Pemerin- tah; Keputusan Presiden; Peraturan- peraturan Pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lainnya. (Menurut TAP MPR No. V/1973, TAP MPRS No. XX/1966 tersebut masih perlu disempurnakan, Hal itu diulangi lagi dengan TAP MPR No. IX/1978. Sayang masih belum jelas bagian mana dari TAP MPRS itu yang perlu disem- purnakan}. 3. Kata perundang-undangan apabila merupakan terjemahan ”’wetgeving”, berarti a) perbuatan membentuk per- aturan-peraturan negara tingkat pusat atau tingkat daerah menurut tatacara yang ditentukan; b) keseluruhan per- aturan-peraturan negara tingkat pusat dan tingkat daerah, Jadi ”peraturan perundang-undangan” ialah peraturan dimaksud pada huruf b)°). Rechtsgeleerd 5) Fockema Andreae: #Handwoordenboek; Wetgeving = I. 55 Undang-undang’ Nomor | Tahun 1950 (RI. Yogyakarta) menyebutkan ‘per- aturan-peraturan Pemerintah Pusat ia- lah: Undang-undang dan Peraturan Pe- merintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri. Surat Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat No. 2262/ HK/59-canggal 20 Agustus 1959 yang dijelaskan dengan Surat Presiden No. 3639/HK/59 tanggat 26 Nopember 1959, menyebutkan peraturan-peratur- an negara ialah: UU, PP, Perpu, Pene- tapan Presiden, Peraturan Presiden, PP untuk melaksanakan Perpres, Keputus- an Presiden, dan Peraturan/Keputusan Menteri®), Pada zaman Hindia Belanda yang ter- golong "wettelijke regelingen” ialah: “internationale tractaten”, *Politieke contracten”, “algemene verordening- en”, “locale verordeningen”, ”water- schapsverordeningen”, dan ”verofden- ingen van hooden van gewestelijk be- stuur?”), Indische Staatsregeling Pasal 95 ayat (1) memperinci "’algemene verordeningen” 2ngan "regeringsver- ordeningen”, “ordonnanties”, "’alge- mene maatregelen van bestuur”, dan »wetten”. Maka apabila peraturan perundang-un- dangan merupakan terjemahan “wet- De handeling van het wetgeven im formele zin; II. Het resultaat, het ge- sheel der gestelde wetten nopens enig onderdeel van het recht. Black’s Law Dictionary: Legislation = the act of giving or enacting laws; municipal ordinances. Encyclopaedia Americana: Legisla tion = 1. restrictive sense: the enact- ment of a legislative body; 2. larger sense: a totality of general rules of law binding the community; 3. spe- cial sense: judge made law. ©) Beberapa Departemen menggunakan, istilah Peraturan Menteri, sebagian besar lainnya Keputusan Menteri. 7) Bezemer: Beknopte Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie. Pebruari 1985 56 telijke regelingen’’ ternyata ia lebih sempit, dan apabila terjemahan “al- gemene verordeningen’’ ia lebih luas. 4. Dalam Lampiran TAP MPRS No. XX/1966 angka II dicantumkan antara lain, bahwa “Undang-undang adalah untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar atau Ketetapan MPR”; ’’Per- aturan Pemerintah adalah memuat aturan-aturan umum untuk melaksana- kan Undang-undang”; "’Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersi- fat khusus (einmalig) adalah untuk melaksanakan ketentuan Undang-Un- danf Dasar yang bersangkutan, Kete- tapan MPR dalam bidang eksekutif atau Peraturan Pemerintah”. Apakah dari definisi-definisi tersebut sudah jelas materi muatan bagi Un- dang-undang, bagi Peraturan Pemerin- tah, dan Keputusan Presiden? Apabila dikatakan Undang-undang "adalah un- tuk melaksanakan Undang-Undang Da- sar” apakah itu berarti hanya melak- sanakan kedelapan belas®) ketentuan yang dalam Undang-Undang Dasar 1945 tegas-tegas disebut “ditetapkan dengan Undang-undang” atau “diatur dengan undang-undang” dan sebagai- nya? Adakah dalam Undang-Undang Dasar 1945 ketentuan-ketentuan lain yang harus juga diatur dengan Undang- undang? kemudian lebih lanjut, apa- kah di samping memuat aturan-aturan umum untuk melaksanakan Undang- undang, Peraturan Pemerintah dapat juga melaksanakan ketentuan Ordo- nansi misalnya yang dibentuk zaman Hindia Belanda? Apakah Peraturan Pe- merintah sama benar kedudukan dan nilainya dengan ‘’Regeringsverorden- ing”? Berlakukah bagi Peraturan Peme- 8) Undang-undang Dasar 1945 Pasal-pa- sal 2 (1), 12, 16 (1), 18, 19 (1), 23 (1), 23 Q), 23 G), 23 (4), 23 (5), 24 (1), 24 (2), 25, 26 (1), 26 (2), 28, 30 (1), dan 31 (2). Hukum dan Pembangunan rintah apa yang berlaku bagi "Rege- ringsverordening”, misalnya Staatsblad 1927-346, sebuah “?blanket-staats- blad” untuk "Regeringsverordening- en’’°)? Kemudian lebih lanjut lagi, apakah Keputusan Presiden hanya yang bersifat “einmalig” saja, atau yang "beschikking’”” saja, tidak yang "regelgevend’”? Definisi-definisi itu ter- nyata masih’ memerlukan penjelasan. 5. Sebelum melangkah lebih jauh kira- nya selayang pandang perlu disoroti beberapa bagian penting dari sendi- sendi sistem pemerintahan negara me- nurut Undang-Undang Dasar 1945 yang berkaitan erat dengan sistem per- undang-undangan. Yang pertama ialah wawasan negara hukum (""rechtsstaats- gedachte”) dan yang kedua ialah sis- tem konstitusional (konstitusionalis- me)!°). Wawasan yang pertama me- ngandung beberapa konsekuensi di bi- dang perundang-undangan oleh Karena intinya menyangkut masalah pemba- gian kekuasaan negara dan perlindung- an terhadap hak-hak (asasi) manu- sia'!), wawasan yang kedua oleh ka- rena intinya mengarahkan tindakan ne- gara sesuai peraturan-peraturan. Kedua °) Staatsblad 1927-346 menetapkan, bahwa kecuali apabila ditentukan lain dalam Ordonansi, dalam Regeringver- ordening dapat ditentukan hukuman terhadap pelanggaran ketentuan-ke- tentuannya berupa kurungan selama- Jamanya tiga bulan atau denda banyak-banyaknya lima ratus “gul- den”, dengan disertai perampasan ba- rang-barang tertentu ataupun tidak. 10) Lihat Penjelasan Undang-Undang Da- sar 1945 mengenai Sistem Pemerin- tahan Negara. 11) Meskipun substansinya sama, namun. istilah hak asasi manusia mengasosia- sikan kita kepada "Die Vertragstheo- rien”, sedangkan di Republik Indone- sia berlaku asas kekeluargaan dengan hak-hak anggota keluarga di dalam keluarga. Materi peraturan wawasan itu menempatkan kekuasaan perundang-undangan dalam kedudukan yang khusus, Wawasan negara hukum yang lama mempunyai kecenderungan untuk mengikat secara ketat setiap tindakan pemerintah dengan berbagai undang-undang sehingga undang-un- dang selain jumlahnya banyak, isinya- pun lengkap pula, Dalam wawasan ne- gara hukum yang lama undang-undang memang merupakan satu-satunya ti- tian tempat melangkahnya pemerin- tahan negara, Sedangkan dalam wawa- san negara hukum yang baru keketatan itu sudah lebih dilonggarkan dengan pengakuan terhadap adanya kebijaksa- naan (""freies Ermessen’’) bagi tindak- an pemerintahan negara meskipun de- ngan disertai imbangan dalam bentuk peradilan administrasi'?), Beberapa pengaturan tidak lagi harus ditetap- kan dengan undang-undang seluruhnya melainkan dapat didelegasikan kepada peraturan yang lebih rendah. Semua ini berarti bahwa dari segi materi muatan undang-undang terjadi perpin- dahan titik berat "dari atas ke bawah’’, terjadi pelimpahan beberapa materi undang-undang kepada jenis peraturan yang lebih rendah, Secara singkat da- pat dikatakan, bahwa dengan berubah- nya wawasan negara hukum yang lama kepada yang baru telah digantilah ke- terikatan dan pengawasan ketat terha- dap pemerintahan negara yang dilaku- kan dengan undang-undang dengan ke- bijaksanaan dan pengarahan dan dapat dilakukan dengan peraturan yang lebih rendah dari undang-undang. 6. Sistem konstitutional atau konstitu- sionalisme biasanya merupakan ”*pa- sangan” logis akibat dianutnya wawa- san negara hukum, Konstitutionalisme adalah wawasan keterbatasan tindakan pemerintah dalam melakukan tugas-tu- 12) Bohtlingk/Logemann ibid., h. 4. 57 gasnya’®), Konstitusionalisme yang di- anut oleh Republik Indonesia sebagai- mana tercantum dalam Undang-Un- dang Dasar 1945 telah mendampingi wawasan negara hukum yang baru. Ke- tentuan bahwa pemerintahan negara harus didasarkan atas sistem konstitusi dan tidak boleh sewenang-wenang te- Jah disertai dengan keluasan bergerak yang diberikan oleh konstitusi itu sendiri, yakni dengan sifatnya yang singkat dan luwes serta isinya yang memuat aturan-aturan pokok dan garis besar sebagai instruksi kepada para penyelenggara kekuasaan negara. Un- dang-Undang Dasar 1945 melimpah- kan kepada Undang-undang untuk mengatur hal-hal yang diperlukan bagi penyelenggaraan lebih lanjut keten- tuan Undang-Undang Dasar. Selain itu Undang-Undang Dasar 1945 memberi- kan kewenangan juga kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerin- tah sebagai penjalankan” Undang-un- dang, sebagai pengaturan lebih lanjut ketentuan Undang-undang yang me- merlukan perinciannya, Dan di sam- ping itu Presiden sebagai penyeleng- gara pemerintah negara juga memegang kekuasaan pemerintahan yang dilihat dari segi perundang-undangan menem- pati kedudukan tersendiri pula. 7. Kecuali sistem perundang-undangan sebagaimana diuraikan di atas, masih terdapat satu sistem pengaturan pen- ting yang dimungkinkan oleh Undang- Undang Dasar 1945, yakni pengaturan yang berada dalam lingkungan hukum dasar tertulis selain Undang-Undang Dasar: pengaturan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Se- 13) de Smith: Constitutional and admi- istrative law, 1973, h. 21 ("the idea of limited government”). Juga Wheare: Modern Constitutions, ketika mengupas "Prospects for Con- sti tional Government”, 1981, cet. 1975, h, 137. Pebruari 1985 58 bagaimana diketahui tugas MPR ialah menetapkan Undang-Undang Dasar, menetapkan garis-garis besar dari pada haluan negara, dan memilih serta mengangkat Presiden dan Wakil Presi- den. Dari ketiga tugas tersebut ternya- ta dalam menetapkan garis-garis besar dari_ pada haluan negara MPR dapat menetapkan peraturan-peraturan yang bersifat dasar. Peraturan dasar yang bernama TAP MPR ini dapat diperinci lebih lanjut dengan Undang-undang yang selanjutnya dapat diatur lebih Janjut dengan Peraturan Pemerintah. 8. TAP MPRS No. XX/1966 menetap- kan, bahwa mulai Undang-Undang Da- sar 1945 (yang paling tinggi) sampai Peraturan Pelaksanaan (yang paling rendah), semuanya adalah peraturan perundang-undangan'*), Benarkah? Mengenai Undang-Undang Dasar, Pen- jelasan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar adalah *hukum dasar yang ter- tulis”, Di samping itu Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai Pembukaan yang oleh TAP MPRS No. XX/1966 dikatakan *merupakan dasar dan sum- ber hukum dari Batang Tubuhnya”, sedangkan Pancasila yang terdapat da- lam Pembukaan ialah “sumber dari segala sumber hukum’”’. Dengan demi- kian maka Batang Tubuh Undang-Un- dang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis dan Pembukaan yang mengandung Pancasila itu berisikan norma-norma dasar sedangkan Panca- sila senditi adalah norma dasar yang lebih tinggi kedudukannya daripada norma dasar lainnya yang terdapat dalam Pembukaan. Kemudian, sebuah TAP MPR dapat mengandung peraturan yang bersifat melaksanakan _—ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. (TAP 14) TAP MPRS No. XX/1966 menyebut- kannya ”peraturan perundangan”. Hukum dan Pembangunan MPRS No. XX/1966 menyebutkan ’Ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam pasal Undang-Undang Dasar adalah ketentuan-ketentuan yang ter- tinggi yang pelaksanaannya dilakukan dengan Ketetapan MPR, Undang-un- dang atau Keputusan Presiden”, dan lebih lanjut "Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif dilaksanakan dengan Undang- undang’’). Maka jelaslah TAP MPR yang mengandung peraturan-peraturan itu adalah peraturan dasar tertulis. 9. Apabila kita menoleh kepada teori die Stufenordnung der Rechtsnor- men’ yang dikembangkan oleh Hans Nawiasky' *), kita mendapatkan perbe- daan yang pokok antara teori jenjang norma-norma hukum ini dengan tata susunan peraturan perundangan yang digariskan oleh TAP MPRS No. XX/ 1966. Nawiasky memperinci jenjang tersebut berturut-turut dari atas ke ba- wah sebagai berikut: ”Grundnorm” (Norma Dasar), "Grundgesetze” (Per- aturan Dasar), "formelle Gesetze” (Undang-undang), dan ”Verordnun- gen/autonome Satzungen” (Peraturan Pelaksanaan). Meskipun kedudukan- nya lebih tinggi dari "formelle Geset- ze” namun ”Grundnorm” dan »Grundgesetze” bukanlah norma-nor- ma hukum yang siap dilaksanakan de- ngan segala macam sanksi pidane bagi pelanggaran-pelanggarannya seperti hal- nya dengan Undang-undang. Dengan lain perkataan, meskipun pelanggaran terhadap Norma Dasar dan terhadap Peraturan Dasar di’ancam” dengan sanksi moral yang sebenarnya terasa lebih berat, ternyata pelanggaran ter- hadap Undang-undang yang diancam dengan sansi pidana atau denda te- rasa lebih kongkrit. Oleh karena itu 15) Hans Nawiasky: Allgemeine Rechts- lehre, als System der rechtlichen Grundbergriffe, 1948, h. 43. Materi peraturan meskipun Norma Dasar dan Peraturan Dasar mempunyai kedudukan yang le- bih tinggi, namun dalam membicara- kan materi muatan peraturan perun- dang-undangan materi muatan Un- dang-undang terasa lebih mendesak dan lebih diperlukan secara praktis. (Di belakang kami lampirkan bagan perbandingan jenjang jenis peraturan perundang-undangan Republik Indo- nesia menurut TAP MPRS No. XX/ 1966 dan menurut teori "die Stufen- aufbau der Rechtsordnung’’). 10. Undang-Undang Dasar 1945 ha- nya mencantumkan delapan belas hal yang secara tegas disebut perlu diatur dengan Undang-undang, yang lebih lanjut dapat dikelompokkan sebagai berikut: delapan untuk hak-hak (asasi) manusia, lima untuk pembagian kekua- saan negara, dan lima untuk organi- sasi dan alat kelengkapan negara’*). Selain dari Penjelasan UUD 1945, dari sini pula dapat ditarik kesimpulan bahwa Negara Republik Indonesia menganut wawasan negara hukum dan konstitusionalisme; dan dari Pembuka- an serta Bab XIII dan XIV ternyata wawasan negara hukum tersebut dalam arti yang baru (luas, material). Apabila kita perinci kedelapan belas hal dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang perlu diatur atau ditetapkan de- ngan Undang-undang maka kita men- dapatkan muatan Undang-undang yang materi-materinya dapat dirumuskan se- bagai berikut: a, yang secara tegas diperintahkan oleh Undang-Undang Dasar untuk diatur dengan Undang-undang; b. yang mengatur lebih lanjut keten- tuan-ketentuan dalam Undang-Un- dang Dasar dan dalam Ketetapan MPR; *6) Wan Halidin, S.H. dalam Kekuasaan Pemerintah Negara berdasarkan UUD 1945, 1975 mengelompokkannya da- lam empat kategori;h. 9 dan 10. 59 c. yang mengatur hak-hak (asasi) ma- nusia, terlepas dari kedudukannya sebagai warganegara atau bukan; yang mengatur hak dan kewajiban warganegara; e. yang mengatur pembagian kekuasa- an negara, termasuk kekuasaan per- adilan dan hakim yang bebas; f. yang mengatur organisasi pokok Jembaga-lembaga tertinggi dan ting- gi negara; p 8. yang mengatur pembagian daerah negara atas daerah besar dan kecil; h. yang mengatur siapa warganegara dan cara memperoleh atau kehi- langan kewarganegaraan; i. halhal lain yang oleh ketentuan suatu Undang-undang ditetapkan untuk diatur lebih lanjut dengan Undang-undang lain, Dari apa yang tercantum di atas ter- nyata materi muatan dalam huruf c kemudian d ialah yang paling luas, ka- rena di dalamnya termasuk hal-hal yang menyangkut pengaturan dengan disertai sanksi pidana, pencabutan hak milik, dan sebagainya yang berkaitan dengan ”terganggu”’nya hak-hak (asasi) manusia dan warganegara. (Khusus mengenai Undang-undang for- mal yang tidak memuat materi per- aturan seperti pengesahan perjanjian dan juga penetapan anggaran penda- patandan belanja negara, haruslah di- akui bahwa karena sifatnya itu maka tidak diperlukan adanya pengaturan lebih lanjut, baik dengan Peraturan Pemerintah maupun dengan Keputus- an Presiden! 7). 17) Keputusan-Keputusan Presiden yang sebelum adanya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1977 mengenal Pedoman Pelaksanaan A.P.B.N. pada hakekatnya bukan pelaksanazn Un- dang-undang A.P.B.N. melainkan pe- nerapan LC.W. pada A.P.B.N. yang bersangkutan, Pebruari 1985 60 Masalah yang timbul ialah sampai be- rapa jauh materi muatan suatu Un- dang-undang masih harus tetap ter- cantum meskipun hanya prinsip-prin- sipnya dan sampai berapa jauh pula materi muatan itu dapat dilimpahkan kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Dengan perkataan lain, sampai berapa jauh isi suatu Un- dang-undang masih mencerminkan di satu pihak adanya wawasan negara hukum dan sampai berapa jauh pula sudah mencerminkan di lain pihak adanya perbedaan bahwa wawasan ne- gara hukum itu tidak lagi formal me- lainkan sudah material. Apabila dalam penetapan sanksi pida- na kita sudah terbiasa melihat rumus- an Undang-undang yang mencantum- kan ukuran maksimum, dan kita me- ngetahui penerapannya dalam kenyata- an dilimpahkan kepada “kebijaksana- an” hakim, maka kita belum biasa me- lihat rumusan Undang-undang yang menetapkan beban suatu pajak dengan jumlah maksimum dan minimum mi- salnya, yang penerapannya dilimpah- kan kepada kebijaksanaan pejabat Pe- merintah yang bersangkutan, Bukan- kah sebagaimana disinggung dalam No. 5 untuk pengawasan kebijaksanaan itu ada imbangannya: peradilan adminis- trasi? Apabila Undang-undang mempu- nyai peraturan pelaksanaannya agak- nya perlu dipertimbangkan kemung- kinan-kemungkinan tersebut di atas sampai berapa jauh kita dapat mene- rapkan prinsip wawasan negara hukum material itu dengan tetap memperta- hankan prinsip konstitusionalisme se- bagaimana tercantum dalam Undang- Undang Dasar 1945. 11, Sesudah Undang-undang ialah Peraturan Pemerintah. Mengenai Per- aturan Pemerintah ini Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan ‘’Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah un- Hukum dan Pembangunan tuk menjalankan undang-undang”, de- mikian bunyi Pasal $ ayat (2). (Kon- stitusi R.I.S. dalam pasal 141 ayat (1) menyebutkan: ”Peraturan Pemerintah penjalankan undang-undang ditetap- kan oleh Pemerintah, Namanya ialah Peraturan Pemerintah”; dan UUD Se- mentara 1950 Pasal 89 ayat (1) me- nyebutkan sama kecuali kata "penja- lankan” diganti "penyelenggara”) Jadi Peraturan Pemerintah ialah per- aturan yang diciptakan semata-mata untuk menjalankan/menyelenggarakan Undang-undang. Dengan demikian maka materi muatan Peraturan Peme- rintah ialah semua materi Undang- undang yang perlu "‘dijalankan/dise- lenggarakan” lebih lanjut, atau dengan kata lain yang perlu “‘diatur” lebih lanjut. Catatan-catatan mengenai Peraturan Pemerintah ialah antara lain sebagai berikut: a) Peraturan Pemerintah da- pat dibentuk meski Undang-undang yang bersangkutan tidak tegas-tegas memintanya!®); b) Muatan Peraturan Pemerintah tidak boleh lebih luas da- ripada atau menambah materi Undang- undang!’); c) Batas-batas hukuman (sanksi pidana) yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah harus diatur de- ngan Undang-undang, Mengenai a) perlu ditegaskan, karena banyak di antara kita meragukannya apabila Undang-undang yang bersang- kutan tidak tegas-tegas menyebutnya. Mengenai b) sering timbul keraguan mengenai pengertian perincian lebih lanjut, penjabaran, dan penguraian; asal saja dalam pemahamannya tidak menimbulkan arti memperluas (yakni memasukkan ke dalam lingkungannya apa yang tidak semestinya), maka di- bolehkan. Dan akhirnya mengenai c); 18) Logemann: Het staatsrecht van Indo- nesie, 1954, h. 90, 1?) bids Materi peraturan maksud ”'undang-undang di sana ialah atau Undang-undang yang menjadi ‘induk’’-nya atau satu Undang-undang tersendiri (semacam “blanketwet") yang khusus mengatur sanksi umum bagi pelanggaran ketentuan Peraturan Pemerintah yang Undang-undang in- duknya tidak menetapkan sanksi pida- na. (Berlainan dengan Logemann?°) yang membuka kemungkinan penggu- naan Staatsblad 1927 — 346 berdasar- kan ketentuan-ketentuan _peralihan UUD 1945 dan Konstitusi R.1.S. (tentunya juga UUD Sementara 1950), penulis berkeberatan karena sejak ma- sa berlakunya Konstitusi R.LS. Staats- blad tersebut tidak dapat digunakan lagi disebabkan Konstitusi R.ILS. sudah menegaskan, bahwa sanksi pidana ha- nya ditetapkan dengan Undang-undang (Pasal 141 ayat (2) alinea 2), dan Staatsblad tersebut bukanlah Undang- undang yang dimaksudkan). 12. Mengenai materi muatan Kepu- tusan Presiden, terlebih dulu diperlu- kan sekedar penjelasan. Kata "keputusan” yang dipakai di sini digunakan dalam arti "penetapan” ("beschikking”) dan *peraturan” (""re- geling”)?"). Apabila dalam tulisan ini digunakan kata-kata ’’Keputusan Presi- 20) tid. 21) TAP MPRS No. XX/1966 Lampiran II menyebutkan "Keputusan Presi- den”, karena mungkin dipandangnya bersifat “einmahlig”, jadi sebagai “beschikking”; di samping itu diguna- kan ”Peraturan Menteri” untuk “re- geling”. Dari pengalaman selama ini Keputusan Presiden dapat berupa beschikking” dan dapat berupa "re- geling”, Oleh Karena itu "keputus- an” sebaiknya digunakan dalam arti kata yang merangkum keduanya, se- hingga ada Keputusan Presiden (Per- aturan) untuk “regeling”. (Atau "ter- paksa” harus digunakan kembali ”Pe- netapan Presiden” dan ”Peraturan Presiden”, asal tidak mengasosiasikan kita kepada Penpres dan Perpres yang 61 den”, maka yang dimaksud ialah ’’per- aturan” yang dibentuk oleh Presiden. Pasal.4 ayat (1) UUD 1945 menegas- kan, bahwa "Presiden Republik Indo- nesia memegang kekuasaan pemerin- tahan menurut Undang-Undang Da- sar”, Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Sistem Pe- merintahan Negara terdiri dari tujuh sendi, yakni: Wawasan Negara Hukum, Sistem Konstitusional, Kekuasaan Ne- gara Tertinggi di tangan MPR, Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi, Presiden tidak bertanggungj: wab kepada DPR, Menteri ialah Pem- bantu Presiden, dan kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas, Mengingat Iuasnya kekuasaan pemerintahan yang ada dalam kewenangan Presiden, da- patkah materi muatan Keputusan Pre- siden dirumuskan dengan sistem ”si- sa”’, yakni ialah apa yang tidak terma- suk materi muatan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah? Apabila pe- mikiran ini diterima, maka ini berarti Keputusan Presiden dapat mempunyai daya laku ke luar mengenai hal-hal yang kewenangan pengaturannya tidak menjadi porsinya Undang-undang dan Peraturan Pemeringah, (Masih banyak di antara kita yang berpendapat bah- wa Keputusan Presiden hanya mempu- nyai daya laku ke dalam sebagai *maatregelen van uitvoerend gezag” saja, setaraf “*instructies voor ambte- naren”’), Dapatkah Keputusan Presiden mengatur hal-hal yang dilimpahkan oleh Undang-undang dan Peraturan Pe- merintah, yakni mengatur lebih lanjut yang secara tegas dimintakan oleh Undang-undang dan Peraturan Peme- rintah? Undang-undang telah mempunyai Peraturan Pemerintah yang merupakan tempat khusus bagi pengaturan keten- sudah menimbulkan kesukaran-kesu- karan di bidang perundang-undangan. Pebruari 1985 62 tuan-ketentuannya lebih lanjut. Dengan demikian meskipun Undang-undang dapat saja melimpahkan pengaturan lebih lanjut kepada Keputusan Presi- den namun dengan demikian Undang- undang telah ”’melampaui” apa yang seinestinya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah yang memang khusus diadakan untuk mengatur lebih lanjut . Undang-undang. Sebaliknya, Peraturan Pemerintah seyogyanya te- lah cukup merupakan tempat bagi pengaturan lebih lanjut ketentuan-ke- tentuan Undang-undang. Namun demi- kian, Peraturan Pemerintah dapat saja melimpahkan perincian lebih lanjut ke- tentuan-ketentuannya kepada Kepu- tusan apabila dianggap perlu. Tetapi apabila Peraturan Pemerintah itu su- dah cukup, Keputusan Presiden yang bersangkutan seyogyanya tidak diper- lukan lagi, Dengan demikian masing- masing jenis peraturan perundang-un- dangan dapat menjalankan fungsinya masing-masing dengan baik. 13, Keputusan Menteri (juga di sini kata “keputusan” digunakan dalam arti yang sama seperti digunakah da- lam Keputusan Presiden) mempunyai tempat yang agak tersendiri dalam sejarah sistem pemerintahan negara Republik Indonesia. Pengaruh sistem pemerintahan parlementer baik sejak tumbuh di bawah UUD 1945 dalam kurun waktu 1945 — 1949 dan lebih- lebih sejak masa Konstitusi R.1.S. dan terutama di bawah UUD Sementara, telah banyak mempengaruhi keduduk- an Menteri yang semula bertanggung- jawab kepada Presiden beralih menjadi bertanggungjawab kepada DPR; dan karena itu konotasi pengertian Kepu- tusan Menteri beralih pula daripada yang semestinya menjadi seperti yang berlaku sekarang ini. Mengingat kedudukan Menteri me- nurut Undang-Undang Dasar 1945 me- Hukum dan Pembangunan rupakan Pembantu Presiden dan tidak bertanggungjawab kepada DPR, maka segala kewenangan Menteri semestinya berasal dari kewenangan Presiden, se- hingga kewenangan Menteri di bidang pembentukan peraturan perundang-un- dangan juga semestinya berasal dari ke- wenangan Presiden. Dengan demikian beberapa hal dapat dibulatkan seba- gai berikut: a) Kewenangan Menteri dalam mengeluarkan Keputusan Men- teri adalah selalu bersifat derivatif dari kewenangan Presiden; b) Undang- undang seyogyanya tidak akan mene- tapkan bahwa ketentuan-ketentuannya akan diatur lebih lanjut dengan Kepu- tusan Menteri kecuali apabila memang tidak akan dapat atau tidak akan wa- jar apabila diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden; c) Selanjutnya Peraturan Pe- merintah tidak akan mendelegasikan pengaturan lebih lanjut ketentuan-ke- tentuan kepada Keputusan Menteri ke- cuali apabila memang tidak akan dapat atau tidak akan wajar apabila diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presi- den, Dengan demikian maka Keputusan Menteri sebaiknya pada dasarnya me- rupakan peraturan "ke dalam” kecuali ditugaskan untuk memerinci lebih lan- jut suatu ketentuan Keputusan Presi- den, 14, Pada waktu ini di dalam masya- rakat terdapat badan-badan hukum se- lain aparatur negara yang dapat me- ngeluarkan peraturan-peraturan yang berlaku ke luar dan mengikat rakyat banyak, Banyak di antara badan-ba- dan tersebut telah ada sejak zaman Hindia Belanda dan beberapa di an- taranya setelah Indonesia merdeka, Ba- dan yang mempunyai kewenangan pengaturan yang berlaku umum itu un- tuk sementara waktu dinamakan saja Badan Negara”. (Mungkin ada yang Materi peraturan mengusulkan nama ’’Badan Usaha Ne- gara” karena sebagian besar kegiat- annya bergerak di bidang perekono- mian negara dan kepentingan kesejah- teraan rakyat). Badan Negara ini memperoleh ke- wenangan _ perundang-undangannya berdasarkan pelimpahan Undang-un- dang yang bersangkutan dan semua usahanya berdasar dan bersumber pada Undang-undang tersebut. Kewenangan- nya dalam bidang hukum publik me- nyebabkan peraturan-peraturan yang dikeluarkannya berfungsi seperti per- aturan di bidang pemerintahan’*). Badan-Badan Negara itu yang sejak Hindia Belanda sudah ada antara lain Bank Indonesia (De Javasche Bank’), Badan Negara Perkeretaapian (’Spoor- en tramwegen”), Badan Negara yang ditunjuk untuk mengusahakan garam, dan lain-lainnya. Pada waktu sesudah Indonesia merdeka badan negara yang besar ialah Pertamina, (Sayang Badan Negara seperti Jatiluhur (dan mung- kin lain-lainnya) hanya memperoleh kedudukan sebagai badan usaha biasa, yakni Perusahaan Negara berdasarkan UU No. 19 Prp. Tahun 1960 tanpa suatu kekuasaan hukum publik). 15, Terakhir mengenai materi yang dapat merupakan muatan Peraturan Daerah. Sebagaimana dicantumkan da- Jam Pasal 7 dan 12 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok- pokok Pemerintahan di Daerah, materi muatan Peraturan Daerah meliputi hal- hal tentang a) Otonomi (Pasal 7: ’Da- erah berhak, berwenang, dan berkewa- jiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan per- aturan perundang-undangan yang ber- laku”), dan b) Tugas Pembantuan atau ’medebewind” (Pasal 12 : (1) De- 22) Nawiasky Ibid, h, 77 menyebutkan- nya ”Rechtsvorschriften von of- fentlichen Korperschaften «...”. 63 ngan peraturan perundang-undangan, Pemerintah dapat menugaskan kepada Pemerintah Daerah untuk melaksana- kan urusan tugas pembantuan” dan (2) Dengan Peraturan Daerah, Peme- rintah Daerah Tingkat I dapat menu- gaskan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan’’)?°), Ada semacam pembatasan umum terhadap materi muatan Peraturan Daerah sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 39 UU 5/ 1974, yakni: tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan per- aturan perundang-undangan atau Per- aturan Daerah yang lebih tinggi dan tidak boleh mengatur hal yang telah diatur dalam peraturan perundang-un- dangan atau Peraturan Daerah yang lebih tinggi. Sebetulnya dengan adanya pembatasan umum tersebut maka keli- hatannya lebih mudah untuk menetap- kan materi muatan Peraturan Daerah: sebuah "sistem sisa” terhadap materi muatan peraturan perundang-undang- an yang lebih tinggi. Akan tetepi apa- bila kita memperhatikan betul-betul isi Pasal 39 UU 5/1974 tersebut, kita akan menjumpai kesulitan dan keti- dak-pastian dilihat dari segi penetapan materi muatan peraturan perundang- undangan, baik tingkat Pusat maupun tingkat Daerah. Pertama ialah tentang tidak boleh bertentangan dengan ke- pentingan umum: kepentingan umum di Daerah yang bersangkutankah atau lebih luas lagi? Kedua ialah tentang tidak boleh bertentangan dengan per- aturan perundang-undangan yang lebih tinggi: mengetahuikah Daerah tentang semua peraturan perundang-undangan tingkat Pusat yang sudah atau akan dikeluarkan? Apabila Peraturan ‘Dae- rah yang bersangkutan itu ternyata 73) Irawan Soejito: Sari Kulish tentang Teknik Membuat Peraturan Daerah, 1974, h. 6. Pebruari 1985 64 bertentangan dengan peraturan perun- dang-undangan Pusat, haruskah Per- aturan Daerah itu dibatalkan atau ba- tal dengan sendirinya? Ketiga ialah tentang tidak boleh mengatur hal yang telah diatur dalam peraturan per- undang-undangan Pusat: adakah sudah »pembagian” materi muatan antara peraturan perundang-undangan tingkat Pusat dan tingkat Daerah? Apakah sis- tem pengesahan (”Peraturan Daerah berlaku sesudah ada pengesahan peja- bat yang berwenang’”’) dimaksudkan sebagai “alat kontrol” pelaksanaan ke- tentuan-ketentuan dalam Pasal 39 yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri terhadap Peraturan Daerah Tingkat I dan oleh Gubernur Kepala Daerah . terhadap Peraturan Daerah Tingkat II? Untuk menghindarkan kesimpang- siuran ”pembagian’’ materi muatan an- tara peraturan perundang-undangan Pusat dan Daerah sebaiknya ada ke- tentuan dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1974 yang khusus mengatur- nya dan tidak diserahkan kepada »pejabat yang berwenang”. 16. Akhirnya, setelah menelusuri muatan berbagai jenis peraturan per- undang-undangan di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, terasa perlu adanya sebuah sistematika dalam menertibkan materi muatan peraturan perundang-undangan Republik Indone- sia yang dapat memberikan kejelasan dan keteraturan bagi para penyeleng- gara dan peminat bidang perundang- undangan. Dan apa yang dikemuka- kan di bawah ini hanyalah sebuah konsep gagasan yang masih terbuka lebar untuk disetujui, disempurnakan, ataupun ditolak. I. Prinsip-prinsip yang mendasari ialah: — Wawasan Negara Hukum ma- terial (luas); TL Iv. Vv. Vi. Hukum dan Pembangunan — Wawasan Konstitusionalisme. Undang-undang Dasar hendak- nya tetap merupakan pegangan pokok dengan Ketetapan-Kete- tapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang menyangkut garis- garis besar dari pada haluan ne- gara dan bersifat mengatur ialah sebagai pelengkapnya. Undang-Undang tidak perlu ba- nyak jumlahnya dan tidak perlu terperinci isinya. Peraturan Pe- merintah dan Keputusan Presi- den (Peraturan) hendaknya dipa- kai sebagai tempat pengaturan lebih lanjut ketentuan Undang- undang, Keputusan Menteri (Per- aturan) hanya dipergunakan un- tuk pengaturan lebih lanjut seba- gai peraturan pelimpahan dan peraturan teknis. Karena Undang-undang merupa- kan jenis peraturan perundang- undangan yang paling pokok dan paling penting dan mempunyai kedudukan sentral dalam politik perundang-undangan, maka ma- teri muatannya supaya dirumus- kan dengan jelas dan tegas, Peruniusan yang jelas itu perlu selain untuk Undang-undang sen- diri, juga untuk perundang-un- dangan pelimpahannya dan per- undang-undangan otonomi. Sesuai dengan prinsip wawasan negara hukum material (luas), dalam Undang-undang cukup di- atur materi pokok saja, sedang- kan materi muatan perkisaran, fleksibilitas, dan variasinya dapat dilimpahkan kepada Peraturan Pemerintah, kalau perlu juga ke- pada Keputusan Presiden. Sesudah materi muatan Undang- undang, diperlukan _perincian dan kejelasan materi muatan Ke- putusan Presiden, Keputusan Ba- 65 Materi peraturan dan Negara, dan Peraturan Dae- rah Tingkat I dan Tingkat II. LAMPIRAN JENJANG JENIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA dilihat dari: a. Ketetapan M.P.R.S. Nomor XX/1966 b, die Lehre von dem Stufenaufbau der Rechtsordnung TAPERS. NO. XX/i966 | unpanc.unpanc | Dasan ies PERATURAN- PERATURAN PELAKSANAAN { T_rexsronan je Per aTuRAN FERUNDANGUNDANGAN TK. PUSAT —afy— PERUNDANG- yee ! Pebruari 1985

You might also like