You are on page 1of 72

1

LAPORAN KASUS
KEHAMILAN DENGAN EKLAMPSIA

DISUSUN OLEH:
Irmaningsih

MUHAMMAD DENI KURNIAWAN


NIM I4061192054

DOKTER PEMBIMBING:
dr. Khaidir Anwar, Sp.OG(K)OBSOS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN OBSTETRI DAN


GINEKOLOGI
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA
RSUD DR SOEDARSO PONTIANAK
2021
2

LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui laporan kasus dengan judul:

KEHAMILAN DENGAN EKLAMPSIA

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Kesehatan Obstetri dan Ginekologi

Pontianak, Desember 2021

Pembimbing Penyusun

dr. Khaidir Anwar, Sp.OG(K)OBSOS Muhammad Deni Kurniawan


(I4061192054)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN OBSTETRI DAN


GINEKOLOGI
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA
RSUD DR SOEDARSO PONTIANAK
2021
3

BAB I
PENYAJIAN KASUS

1.1 ANAMNESIS
A. Identitas
Nama : Ny. Z
No MR :1525xx
Umur : 21 tahun
Pekerjaan : IRT
Alamat : Desa Batu lepuk Kepulauan Riau
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Tanggal Masuk RS : 16 November 2021
Jam masuk RS : 15.20 WIB
Anamnesis dilakukan pada tanggal 16 November 2021 pukul 15.20
WIB. Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis.

Identitas Suami
Nama : Tn. AS
Usia : 23 tahun
Agama : Islam
Suku : Madura
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Dusun Mulyo Rejo, RT 03/ RW 01

B. Keluhan Utama
Pasien datang dalam keadaan hamil disertai lemas dan kejang.
4

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dalam keadaan hamil anak pertama (G1P0A0M) dengan
usia kehamilan 32 minggu, tampak lemah, sesak, pusing berat dan pasien
sempat kejang selama 1x di rumah, selama 5 menit dan setelah kejang
pasien merasakan sangat lemas dan nyeri di daerah perut yang semakin
sering dan lama. Pasien merasakan gerakan janin aktif. Pasien merupakan
rujukan dari puskesmas, pasien menggunakan BPJS, dan dirujuk ke Rumah
Sakit dr. Soedarso, Pasien datang dari Puskesmas sudah terpasang infus
MgSO4, kemudian dilakukan pemeriksaan urinalisis dan hasil protein
adalah +2. Tekanan Darah di IGD RSUD Soedarso adalah 170/120 mmHg.
Selama kehamilan pasien tidak ada keluhan. Keluhan pusing,
pandangan kabur, sesak nafas, dan nyeri ulu hati disangkal. Namun, pasien
mengatakan masih memiliki darah tinggi semenjak hamil saat periksa di
puskesmas.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Hipertensi (-), Diabetes Mellitus (tidak pernah diperiksa), keputihan
(+), riwayat alergi atau asma (-). Keluhan jantung sebelumnya (-), gangguan
pembekuan darah (-), dan sakit yang berhubungan dengan rahim disangkal.

E. Riwayat Penyakit Keluarga dan Sosial Ekonomi.


PJK (-), stroke (-), bayi besar/makrosomia (-), DM tidak pernah
diperiksa, riwayat stillbirth (-), riwayat malformasi kongenital (-),
riwayat keguguran sebelumnya dalam keluarga (-).

F. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien sebagai ibu rumah tangga. Pekerjaan suami adalah swasta. Pasien
dan keluarga tidak pernah berolahraga rutin. Konsumsi alkohol atau
olahan yang mengandung alkohol disangkal. Pasien tidak merokok.
Pasien berobat menggunakan BPJS.
5

G. Riwayat Obstetri
Pasien hamil anak pertama. Selama hamil pasien telah memeriksakan
kehamilannya 1-2x/bulan di puskesmas. Selama kunjungannya ke
puskesmas, tidak ditemukan kelainan dalam pemeriksaannya. Tekanan
darah selama pasien memeriksakan kehamilannya ke Puskesmas berkisar
antara 130/80 mmHg – 150/80 mmHg. Selama kehamilan pasien mengaku
sering mengalami keluhan mual pada awal kehamilan, pusing (-), muntah
(-). Pasien tidak mengingat hari pertama haid terakhir dengan jelas. Pasien
mengingat bahwa terakhir kali haid tanggal 15 April 2021.
Hamil pertama kali usia 21 tahun (usia saat ini). Melahirkan pertama kali
usia 21 tahun (usia saat ini). Riwayat melahirkan bayi dengan cacat bawaan
(-). Riwayat preeklampsia (-). Berat badan saat hamil adalah 47-50 kg. Berat
badan sebelum hamil adalah 40 kg.

H. Riwayat Ginekologi
Pasien telah menikah selama 1 tahun sebelum hamil anak pertama.
Berhubungan seks pertama kali usia 20 tahun

I. Riwayat menstruasi
Pasien pertama kali menstruasi pada usia 12 tahun. Siklus haid
berlangsung tiap 28 hari dan menstruasi berlangsung selama 7-10 hari.

J. Riwayat perkawinan
Perkawinan pertama, umur pasien saat menikah 20 tahun, telah menikah
selama 1 tahun.

K. Riwayat penggunaan kontrasepsi dan obat – obatan


Pasien tidak menggunakan kontrasepsi. Pasien mengaku tidak sedang
mengkonsumsi obat – obatan maupun suplemen apapun.
6

L. Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak merokok, tidak mengonsumsi alkohol, jarang berolahraga.
Suami pasien merokok.

1.2 PEMERIKSAAN FISIK


Dilakukan pada tanggal 16 November 2021 pukul 15.20 WIB
Keadaan umum : Tampak lemah dan kesakitan
Kesadaran : kompos mentis, GCS = 15

Tanda vital
- TD : 170/120 mmHg
- Nadi : 120 x/menit, isi cukup, reguler
- Napas : 22 x/menit, reguler, abdomino-torakal
- Suhu : 36,8oC

Antropometri
Berat Badan : 68 kg
Tinggi Badan : 158 cm

Status Generalis
Kulit : turgor baik, anemis (-), ikterik (-)
Kepala : normosefali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : sekret (-/-)
Hidung : sekret(-/-), deviasi septum (-)
Mulut : mukosa bibir basah, oral thrush (-) hiperemi faring (-)
Leher : pembesaran limfonodi servikal (-), kaku kuduk (-)
Dada
Paru
Inspeksi : statis: simetris ; dinamis: tak tertinggal
Palpasi : fremitus taktil kanan = kiri
7

Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru


Auskultasi : suara napas dasar: vesikuler,
suara napas tambahan (-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba pada SIC V linea midclavicula
sinistra
Perkusi : batas kanan jantung SIC V linea parasternalis dextra
batas kirijantung SIC Vlinea midclavicula sinistra
pinggang jantung SIC II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I dan II tunggal, reguler, murmur (-) gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : perut cembung
Auskultasi : BU (+)
Palpasi : nyeri tekan (-)
hepar dan lien sulit dinilai
Perkusi :-
Ekstremitas : edema (-), sianosis (-), jari tabuh (-), capillary refill time<
2 detik, akral hangat.
Genitalia eksterna
Inspeksi : eritem (-), massa (-), leukhorrea (-) perdarahan (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
Anus : sfingter ani utuh, eritem (-), massa (-), nyeri tekan (-)
Limfonodi : pembesaran KGB regional (-)

Pemeriksaan Obstetri
 Inspeksi : membesar arah memanjang, linea nigra (+)
 Palpasi : tinggi fundus uteri 28 cm
.1 Leopold I : teraba bokong
.2 Leopold II : teraba punggung disebelah kanan ibu
.3 Leopold III : teraba kepala
8

.4 Leopold IV : divergen
 DJJ : 132x/ menit, reguler
 His : 1 x 30”
 Taksir berat janin : (TFU – 11) x 155 = 2635 gram
 Inspekulo : tidak dilakukan
 Pemeriksaan dalam :
Tidak dilakukan

Diagnosis kerja sementara di ruangan


G1P0A0 H32 minggu Janin Tunggal Hidup Intra Uterin Presentasi Kepala +
Preterm + Eklampsia

1.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Hasil pemeriksaan tanggal 16 - 11-2021 (VK)
1. Hematologi
Leukosit : 18.580 /µL (4.000-12.000/µL)
Eritrosit : 5,83 M/µL (4 - 6,20 M/µL)
Hemoglobin : 12,8 g/dL(11-17 g/dL)
Hematokrit : 40,5 % ( 35 – 55 %)
Trombosit : 368.000/µL (150.000-400.000/µL)
CT : 6” 30’
BT : 1” 30’
HIV : NR
HbSAg : NR

2. Urinalisis
Protein Urin : +2
9

Catatan Perkembangan Pasien


Tanggal Follow Up
16 November 2021 S: nyeri daerah perut, lemah, lendir (-) dan darah (-),
pengeluaran air (-). Pusing (+), nyeri ulu hati (-), pandangan
kabur (-), pasien kejang dirumah sebanyak 1x, selama 5 menit.
Setelah kejang pasien sadar dan terasa lemas.
O: KU: somnolen, gelisah
TD: 170/120 mmHg
Frekuensi nadi : 120x/menit, reguler
Frekuensi nafas: 22x/menit, reguler
T: 36,60C
SpO2: 99% dengan O2 2Lpm
Mata: CA (-) SI (-)
Cor Pulmo: dbn
DJJ: 132x/menit, regular
Palpasi : TFU = 28 cm, punggung kanan, presentasi kepala
VT: tidak dilakukan.
Hasil lab CITO: protein urin (+3)
A: G1P0A0 H32 minggu Janin Tunggal Hidup Intra Uterin
Presentasi Kepala + Preterm + Eklampsia
P: Terapi dari IGD
IVFD RL 20 tpm
Inj Dexa 4 x 1 amp
Inj Cefotaxim 2x1 gr
PO Dopamet 4 x 1 tab
PO Nifedipin 2 x 10 mg
Obs TTV, KU, kemajuan persalinan, konsul Sp.PD
Up Inf. MgSO4
Persiapan SC untuk terminasi kehamilan

PERSIAPAN SEBELUM OPERASI


 Informed consent
 Menjelaskan pada keluargatentang penyakit yang diderita.
 Menerangkan kepada keluarga pasien tentang tindakan operasi yang akan
dilakukan: garis besar prosedur tindakan, tujuan dan manfaat tindakan.

Laporan Operasi
Tanggal operasi : 17 November 2021
Waktu Operasi : pk 21.00 – 21.30 WIB
10

Diagnosa pre-operatif : G1P0A0 H32 minggu Janin Tunggal Hidup Intra


Uterin Presentasi Kepala + Preterm + Eklampsia
Diagnosa post-operatif : P1A0 Partus Preterm dengan sectio caesarea atas
indikasi eklampsia
Macam operasi : Seksio Caesarea Transperitoneal Profunda
Langkah-Langkah Operasi:
1. Pasien dibaringkan di atas meja operasi.
2. Pasien dilakukan anestesi spinal.
3. Dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis dengan betadin dan alkohol pada
lapangan operasi.
4. Dilakukan insisi pfannenstiel pada pelvic line ± 10 cm.
5. Dinding abdomen dibuka lapis demi lapis.
6. M. rectus abdominis dibuka secara tumpul ke lateral hingga tampak
peritoneum.
7. Peritoneum disayat ke atas hingga tampak uterus.
8. Dilakukan insisi konkaf pada segmen bawah rahim dan diperlebar secara
tumpul dengan jari.
9. Dengan meluksir kepala, janin dilahirkan pukul 21.10 WIB, janin laki-laki,
berat badan 2.700 gram, panjang badan 48 cm, apgar score: 7/9
10.Tali pusat ditarik dengan ringan untuk mengeluarkan plasenta.
11. Kavum uteri dibersihkan dengan kasa steril dari darah dan bekuan darah.
12. Sumbu bawah rahim (SBR) dijahit secara jelujur terkunci
13. Rongga abdomen dibersihkan dari darah dan bekuan darah.
14. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
15. Kulit dijahit subkutikuler.
16. Perdarahan selama operasi ±500 cc, diuresis :300 cc
17. Keadaaan ibu sebelum dan selama operasi baik.
18. Setelah operasi pasien di rawat di ICU karena kesadaran menurun
11

Follow Up di Ruang ICU


17 November S: Pasien post op SC, nyeri luka operasi (+), perdarahan
2021 (08.05) pervaginam (+)
O: KU : CM, tampak sakit sedang
TD: 153/112 mmHg
Nadi:97x /menit
Suhu : 36,8 C
Nafas : 19 x/menit
SpO2: 99%
TFU 1 jari di bawah umbilikus, kontraksi uterus (+) baik,
perdarahan pervaginam (+)
A: : P1A0 dengan sectio caesarea a/i eklampsia
P : Penatalaksanaan Post Operasi:
1. IVFD RL + drip oxytocin 20 IU + metergin 1 amp 20
tpm
2. Inj ceftriaxon 1 gr/12 jam
3. Inj MgSO4 dilanjutkan jika TD >=140/90 mmHg
4. Inj Asam traneksamat 1 amp/12 jam
5. Inj Ondancentron 4 mg/ 8 jam
6. Inj. Ketorolac 30 mg/ 8jam
7. Tidak puasa
8. Obs KU, TTV, perdarahan

18 November  S: Pasien tampak lemah. Pusing dan nyeri di abdomen


20121 setelah post op sc
(20.00)  O: KU: tampak sakit sedang
TD: 151/104 mmHg Spo2 : 97 %
Nadi:125x /menit
Suhu : 36,5 C
Nafas : 20x/menit
 A: P1A0 partus prematurus dengan sectio caesarea a/i
eklampsia
 P: Inj. MgSO4 6 gr IV dalam Rl 500cc dengan kecepatan 20
tpm
Dexamethason stop
12

Follow Up di Nifas (Setelah perawatan di ICU)


Tanggal Follow Up Post SC H 2
19 S: Tidak ada keluhan
November O: KU: baik, CM
2021 TD: 140/90 mmHg
Frekuensi nadi : 103x/menit, reguler
Frekuensi nafas: 20x/menit, reguler
T: 36,50C
Mata: CA (-), SI (-)
Cor dan pulmo: dbn
Abd: soepel, TFU: 3 jari di bawah umbilikus, kontraksi baik
Hasil lab post SC
A: P1A0 Partus Prematurus dengan SC a/i Eklampsia H2
P: Th oral:
1.4 Cefixim 2 x 100 mg
1.5 Tramadol 1 ampl
1.6 PO Dopamet 4 x 1 tab
-PO Nifedipin 2 x 10 mg
13

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PREEKLAMPSIA
2.1. Definisi
Preeklamsia merupakan komplikasi kehamilan yang ditandai dengan
gejala hipertensi, edema dan/atau proteinuria.4Preeklamsia adalah keadaan
dimana hipertensi disertai dengan proteinuria, edema atau keduanya, yang
terjadi akibat kehamilan setelah minggu ke-20 atau kadang-kadang timbul
lebih awal bila terdapat perubahan hidatidiformis yang luas pada vili
khorialis. Preeklamsia merupakan suatu sindrom spesifik kehamilan dengan
terjadinya penurunan perfusi oksigen pada organ-organ akibat vasospasme
dan aktivasi endotel yang mana keadaan ini sangat membahayakan janin
dalam kandungan.5
Sedangkan menurut Hacker, Moore (2001) preeklamsia dapat disebut
sebagai hipertensi yang diinduksi-kehamilan atau penyakit hipertensi akut
pada kehamilan. Preeklamsia tidak semata-mata terjadi pada wanita muda
pada kehamilan pertamanya. Preeklamsia paling sering terjadi selama
trimester terakhir kehamilan.6
Hipertensi yang dimaksudkan ialah keadaan dimana tekanan darah
sistolik dan diastolik ≥140/90 mmHg. Pengukuran tekanan darah sekurang-
kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam. Kenaikan tekanan darah sistolik
≥30 mmHg dan kenaikan tekanan darah diastolik ≥15 mmHg sebagai
parameter hipertensi sudah tidak dipakai lagi. Adapun proteinuria ialah
adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau sama dengan ≥ 1+
dipstick.7
Edema, dahulu edema tungkai, dipakai sebagai tanda-tanda
preeklamsia, tetapi sekarang edema tungkai tidak dipakai lagi, kecuali
edema generalisata (anasarka). Perlu dipertimbangkan faktor risiko
timbulnya hipertensi dalam kehamilan, bila didapatkan edem generalisata,
atau kenaikan berat badan >0,57 kg/minggu. Primigravida yang mempunyai
14

kenaikan berat badan rendah, yaitu <0,34 kg/minggu, menurunkan risiko


hipertensi, tetapi menaikkan risiko berat badan bayi rendah.7

2.2. Klasifikasi
Beberapa klasifikasi dan pengertian yang berkaitan dengan
preeklampsia menurut POGI8:
a. Hipertensi kronik
Hipertensi yang didapatkan sebelum kehamilan, ditemukannya
desakan darah ≥140/90 mmHg, sebelum kehamilan atau sebelum
kehamilan 20 minggu dan tidak menghilang setelah 12 minggu
pasca persalinan.
b. Preeklamsia – eklamsia
Hipertensi dan proteinuria yang didapatkan setelah umur kehamilan
20 minggu. Kriteria minimum untuk preeklamsi yaitu desakan
darah ≥140/90 mmHg setelah umur kehamilan 20 minggu, disertei
dengan proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau dipstick ≥ 1+. Sedangkan
eklamsi adalah kejang-kejang pada preeklamsi disertai koma
c. Hipertensi kronik (superimposed preeklamsi)
Hipertensi kronik yang disertai proteinuria, timbulnya proteinuria ≥
300 mg/ 24 jam pada wanita hamil yang sudah mengalami
hipertensi sebelumnya. Proteinuria hanya timbul setelah kehamilan
20 minggu.
d. Hipertensi gestational
Didapatkan desakan darah ≥ 140/90 mmHg untuk pertama kalinya
pada kehamilan, tidak disertai dengan proteinuria dan desakan
darah kembali normal < 12 minggu pasca persalinan.Timbulnya
hipertensi pada kehamilan yang tidak disertai proteinuria hingga 12
minggu pascapersalinan. Bila hipertensi menghilang setelah 12
minggu persalinan, maka dapat disebut juga “Hipertensi Transien”.
15

2.3. Epidemiologi
Frekuensi preeklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena
banyak faktor yang mempengaruhinya, jumlah primigravida, keadaan sosial
ekonomi, perbedaan kriteria dalam penentuan diagnosis dan lain-lain.
Dalam kepustakaan frekuensi dilaporkan berkisar antara 3-10%. Insiden
preeklampsia sering disebut sekitar 5%, walaupun laporan yang ada sangat
bervariasi. Insiden sangat dipengaruhi oleh paritas, berkaitan dengan ras dan
etnis dan karenanya juga predisposisi genetik, sementara faktor lingkungan
juga berperan, sebagai contoh, Palmer dkk (1999) melaporkan bahwa
tempat yang tinggi di Colorado meningkatkan insiden preeklampsia.
Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa wanita yang sosio
ekonominya lebih maju, lebih jarang terjangkit preeklampsia,bahkan setelah
faktor ras dikontrol. Faktor risiko lain yang berkaitan dengan preeklampsia
adalah kehamilan multipel, riwayat hipertensi kronik, usia ibu lebihdari 35
tahun, obesitas dan ibu etnis Amerika-Afrika. Hubungan antara berat badan
ibu dengan preeklampsia bersifat progresif, meningkat dari 4,3 % untuk
wanita dengan indeks massa tubuh kurang dari 19,8 kg/m2 menjadi 13,3
%.7Di Indonesia frekuensi keadian preeklampsia sekitar 3-10%.9

2.4. Etiologi & Faktor Resiko


Menurut Mochtar (2007)10, etiologi penyakit ini sampai saat ini belum
diketahui dengan pasti. Banyak teori-teori dikemukakan oleh para ahli yang
mencoba menerangkan penyebabnya, namun belum ada yang memberikan
jawaban yang memuaskan. Teori yang sekarang dipakai sebagai penyebab
preeklamsia adalah teori ”iskemia plasenta”. Namun teori ini belum dapat
menerangkan semua hal yang bertalian dengan penyakit ini.
Teori yang dapat diterima haruslah dapat menerangkan : (a) Mengapa
frekuensi menjadi tinggi pada: primigravida, kehamilan ganda,
hidramnion,dan molahidatidosa; (b) Mengapa frekuensi bertambah seiring
dengan tuanya kehamilan,umumnya pada triwulan ke III; (c)Mengapa
terjadi perbaikan keadaan penyakit, bila terjadi kematian janin dalam
16

kandungan; (d) mengapa frekuensi menjadi lebih rendah pada kehamilan


berikutnya; dan (e) Penyebab timbulnya hipertensi,proteinuria,edema dan
konvulsi sampai koma. Dari hal-hal tersebut diatas, jelaslah bahwa bukan
hanya satu faktor, melainkan banyak faktor yang menyebabkan pre-
eklamsia dan eklamsia.
Beberapa penelitian menyebutkan ada beberapa faktor yang dapat
menunjang terjadinya preeklamsia dan eklamsia. Faktor-faktor tersebut
antara lain,gizi buruk, kegemukan, dan gangguan aliran darah kerahim.
Faktor resiko terjadinya preeklamsia, preeklamsia umumnya terjadi pada
kehamilan yang pertama kali, kehamilan di usia remaja dan kehamilan pada
wanita diatas usia 40 tahun. Faktor resiko yang lain adalah riwayat tekanan
darah tinggi yang kronis sebelum kehamilan, riwayat mengalami
preeklamsia sebelumnya, riwayat preeklamsia pada ibu atau saudara
perempuan, kegemukan, mengandung lebih dari satu orang bayi, riwayat
kencing manis, kelainan ginjal, lupus atau rematoid artritis.
Beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan kejadian
preeklamsi8:
a. Risiko yang berhubungan dengan partner laki
- Primigravida
- Primipaternity
- Umur yang ekstrim: terlalu muda atau terlalu tua untuk kehamilan
- Partner laki yang pernah menikahi wanita yang kemudian hamil dan
mengalami preeklamsi.
- Pemaparan terbatas terhadap sperma.
- Inseminasi donor dan donor oocyte
b. Risiko yang berhubungan dengan riwayat penyakit terdahulu dan riwayat
penyakit keluarga
- Riwayat pernah preeklamsi
- Hipertensi kronik
- Penyakit ginjal
- Obesitas
17

- Diabetes gestational, diabetes mellitus tipe 1


- Antiphospholipid antibodies dan hiperhomocysteinemia
c. Risiko yang berhubungan dengan kehamilan
- Mola hidatidosa
- Kehamilan ganda
- Infeksi saluran kencing pada kehamilan
- Hydrops fetalis

2.5. Patogenesis & Patofisiologi


Penelitian mengenai abnormalitas baik pada faktor maternal, paternal
maupun faktor janin sebagai penyebab preeklamsia masih menjadi
pertanyaan, dan selama ini masih diasumsikan bahwa patofisiologi
preeklamsia ini terdiri dari 2 tahap. Tahap pertama ialah kegagalan
remodeling pembuluh darah trofoblas, karena terjadi kegagalan inilah
mengakibatkan pasien jatuh pada kondisi tahap kedua yaitu tahap gejala
klinis. Yang tidak kalah pentingnya, kondisi pada tahap kedua sangat
dipengaruhi keadaan ibu sebelumnya, misalnya penyakit jantung atau ginjal,
obesitas, diabetes maupun faktor keturunan.5
Pada tahap pertama, karena terjadi kegagalan pada remodeling arteria
spiralis mengurangi aliran darah uteroplasenter dan menyebabkan perfusi ke
plasenta yang irregular. Kondisi hipoksia menyebabkan plasenta jatuh
dalam kondisi stress oksidatif dan disfungsi plasenta, sehingga terjadi
gangguan pada retikulum endoplasma dan terjadi perubahan sintesis protein
didalamnya. Penyebab terjadinya tahap pertama yang belum teridentifikasi
secara jelas bisa jadi melibatkan respon imun maternal.
Pada tahap kedua yang telah melibatkan kondisi sistemik maternal,
berhubungan dengan aktivasi endothelial dan kondisi hiperinflamasi bila
dibandingkan dengan kehamilan normal. Keadaan hipoksia plasenta atau
reperfusi plasenta mengakibatkan stress oksidatif, apoptosis dan nekrosis
pada jaringan sinsitial serta menstimulasi berbagai macam komponen
sitokin inflamasi kedalam sirkulasi maternal.11
18

Proses remodeling terdiri dari beberapa tahapan. Pada langkah


pertama terjadi di sekitar lokasi implantasi. Gangguan pada tahap ini
meningkatkan risiko terjadinya preeklamsia. Perubahan vaskuler pada
desidua meningkat pada junctional zone, yang kemudian diikuti dengan
proses invasi trofoblas. Interaksi antara trofoblas HLA-C, HLA-E dan HLA-
G dengan natural killer cell atau dendritic cell atau interaksi dengan
keduanya, sangat penting dalam regulasi invasi trofoblas. Kombinasi antara
HLA-C dan reseptor killer cell immunoglobuline-like meningkatkan risiko
preeklamsia.11

Gambar 1. Invasi trofoblas pada kehamilan normal dan preeklamsia

Aliran intervili dimulai pada usia kehamilan 7-8 minggu dimana


tampak adanya hubungan antara arteri spiralis dengan lakuna pada dinding
dimana blastula berimplantasi. Penutupan (plugging) trofoblas diawal
proses invasi dapat mengendalikan konsentrasi oksigen yang didapat oleh
embrio. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan, pelepasan plugging
yang terlalu dini, berhubungan dengan kejadian preeklamsia.11
Sekresi vasodilatorprostasiklin oleh sel-sel endotial placenta
berkurang dan sekresi trombosanoleh trombosit bertambah, sehingga timbul
vasokonstriksi generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat
19

perubahan ini terjadilah pengurangan perfusi placenta sebanyak 50 persen,


hipertensi ibu, penurunan volume plasmaibu, Jika vasospasmenya menetap,
mungkin akan terjadi cedera sel epiteltrofoblas, dan fragmen-fragmen
trofoblas dibawa ke paru-paru dan mengalamidestruksi sehingga
melepaskan tromboplastin. Selanjutnya tromboplastinmenyebabkan
koagulasi intravaskular dan deposisi fibrin di dalam glomeruliginjal
(endoteliosis glomerular) yang menurunkan laju filtrasi glomerulus
dansecara tidak langsung meningkatkan vasokonstriksi. Pada kasus berat
danlanjut, deposit fibrin ini terdapat di dalam pembuluh darah sistem saraf
pusat,sehingga menyebabkan konvulsi.
Vasospasme merupakan dasar patofisiologi untuk preeklampsia dan
eklampsia. Konsep ini, yang pertama kali diajukan oleh Volhard (1918),
dibuat berdasarkan hasil pengamatan langsung terhadap pembuluh darah
kecilpada pangkal kuku, fundus okuli serta konjungtiva bulbi, dan juga
sudah di perkirakan dari perubahan histologi pada berbagai organ yang
terkena. Pada preeklampsia, Hinselmann (1924), dan lalu beberapa ahli
lainnya menemukan beberapa perubahan ukuran arteriol pada dasar kuku,
dengan bukti adanya spasme segmental yang menghasilkan daerah - daerah
kontriksi dandilatasi yang silih berganti. Landesman dkk (1954)
menjelaskan adanyapenyempitan arteriol yang nyata pada konjungtiva
bulbi, yang bahkanterjadi hingga sirkulasi kapiler secara intermiten
menghilang. Buktiselanjutnya menunujukkan bahwa perubahan vaskuler
memegang perananpenting pada preeklampsia-eklampsia ditunjukkan oleh
frekuensi ditemukannya spasme arteriol retina, yang biasanya segmental.5
Penyempitan vaskuler menyebabkan hambatan aliran darah
danmenerangkan proses terjadinya hipertensi arteriol. Kemungkinan
vasospasmemembahayakan pembuluh darah sendiri, karena peredaran darah
dalam vasavasorum terganggu, sehingga terjadi kerusakan vaskuler.
Pelebaran segmental,yang biasanya disertai penyempitan arteriol segmental,
mungkin mendorong lebih jauh timbulnya kerusakan vaskuler mengingat
keutuhan endotel dapat terganggu oleh segmen pembuluh darah yang
20

melebar dan teregang. Lebihlanjut, angiotensin II tampaknya mempengaruhi


langsung sel endotel denganmembuatnya berkontraksi. Semua faktor ini
dapat menimbulkan kebocoransel antar endotel, sehingga melalui kebocoran
tersebut, unsur-unsurpembentuk darah, seperti trombosit dan fobrinogen,
tertimbun pada lapisansubendotel (Bruner dan Gavras, 1975). Perubahan
vaskuler yang disertai dengan hipoksia pada jaringan setempat dan
sekitarnya, diperkirakanmenimbulkan perdarahan, necrose dan kelainan
organ akhir lainnya yangsering dijumpai pada pre-eklampsia berat.5
Diawal kehamilan, arteri uteroplasenta mengalami perubahan secara
spesifik, yang terdiri dari 1) perubahan posisi endothelium dan sel otot polos
melalui invasi trofoblas, 2) elastisitas yang menghilang, 3) dilatasi dan
hilangnyanya kontraktilitas, 4) kehilangan control vasomotor. Telah menjadi
kesepakatan bersama bahwa dalam proses remodeling arteri spiralis akan
mengurangi resistensi aliran darah maternal serta meningkatkan perfusi
uteroplasenta untuk memenuhi kebutuhan janin

Gambar 2. Remodeling vaskular pada kehamilan normal dan preeklamsia


Berkurangnya invasi trofoblas dan tidak adanya perubahan spesifik
yang telah disebutkan diatas terjadi pada kasus IUGR yang sering muncul
bersama dengan kasus preeklamsia. Oleh karena itu, invasi trofoblas
21

endovaskuler pada pasien preeklamsia menjadi fokus penelitian. Hipotesis


yang saat ini diterima ialah berkurangnya invasi trofoblas endovaskuler
serta remodeling arteri spiralis sebagai faktor kunci kejadian IUGR dan
preeklamsia. Namun, hipotesis mengenai mekanisme molekuler yang
meregulasi invasi trofoblas dan remodeling arteri uteroplasenta masih
menjadi kontroversi.13
Plasenta wanita yang menderita preeklamsia menunjukkan frekuensi
infark serta proses apoptosis yang lebih luas bila dibandingkan dengan
plasenta wanita dengan kehamilan normal. Plasenta yang diambil dari
wanita dengan preeklamsia menunjukkan ekspresi protein antiapoptosis,
dari kelompok Bcl-2 yang rendah. Aktivitas apoptosis yang tinggi pada
plasenta wanita dengan preeklamsia menghambat invasi trofoblas kedalam
arteri spiralis dengan cara meningkatkan apoptosis sel-sel trofoblas.14

Gambar 3. Patofisiologi preeklamsia

Kelainan patofisiologi yang mendasari preklamsia/eklamsia pada


umumnya karena vasospasme. Peningkatan tekanan darah dapat
22

ditimbulkan oleh peningkatan cardiac output dan resistensi sistem


pembuluh darah. Cardiac output pada pasien dengan preeklamsia/eklamsia
tidak terlalu berbeda pada kehamilan normal di trimester terakhir kehamilan
yang disesuaikan dari usia kehamilan. Aliran darah renal dan angka filtrasi
glomerulus (GFR) pada pasien preeklamsia/eklamsia lebih rendah
dibandingkan pada pasien dengan kehamilan normal dengan usia kehamilan
yang sama. Penurunan aliran darah renal diakibatkan oleh konstriksi di
pembuluh darah aferen yang dapat mengakibatkan kerusakan membran
glomerulus dan kemudian meningkatkan permeabilitas terhadap protein
yang berakibat proteinuria. Oliguria yang diakibatkan karena vasokontriksi
renal dan penurunan GFR. Resistensi vaskular cerebral selalu tinggi pada
pasien preeklamsia/ eklamsia.15
Pada pasien hipertensi tanpa kejang, aliran darah cerebral mungkin
bertahan sampai batas normal sebagai hasil fenomena autoregulasi. Pada
pasien dengan kejang, aliran darah cerebral dan konsumsi oksigen lebih
sedikit dibandingkan dengan wanita hamil biasa dan terdapat penurunan
aliran darah dan peningkatan tahanan vaskuler pada sirkulasi uteroplasental
pada pasien preeklamsia/eklamsia.

2.6. Manifestasi Klinis &Diagnosis


Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda lain.
Bila peningkatan tekanan darah tercatat pada waktu kunjungan pertama kali
dalam trimester pertama atau kedua awal, ini mungkin menunjukkan bahwa
penderita menderita hipertensi kronik. Tetapi bila tekanan darah ini
meninggi dan tercatat pada akhir trimester kedua dan ketiga, mungkin
penderita menderita preeklampsia. Peningkatan tekanan sistolik sekurang-
kurangnya 30 mm Hg, atau peningkatan tekanan diastolik sekurang-
kurangnya 15 mm Hg, atau adanyatekanan sistolik sekurang-kurangnya 140
mmHg, atau tekanan diastoliksekurang-kurangnya 90 mm Hg atau lebih
atau dengan kenaikan 20 mm Hg atau lebih, ini sudah dapat dibuat sebagai
diagnosa. Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak
23

waktu 6 jam pada keadaan istirahat. Tetapi bila diastolik sudah mencapai
100 mmHg ataulebih, ini sebuah indikasi terjadi preeklampsia berat.5
Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan kelebihan
dalamjaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat
badan sertapenbengkakan pada kaki, jari-jari tangan, dan muka, atau
pembengkan padaektrimitas dan muka. Edema pretibial yang ringan sering
ditemukan padakehamilan biasa, sehingga tidak seberapa berarti untuk
penentuan diagnosapre-eklampsia. Kenaikan berat badan ½ kg setiap
minggu dalam kehamilan masih diangap normal, tetapi bila kenaikan 1 kg
seminggu beberapa kali atau3 kg dalam sebulan pre-eklampsia harus
dicurigai. Atau bila terjadi pertambahan berat badan lebih dari 2,5 kg tiap
minggu pada akhir kehamilan mungkin merupakan tanda preeklampsia.
Tambah berat yang sekonyong-konyong ini desebabkan retensi air dalam
jaringan dan kemudian oedemanampak dan edema tidak hilang dengan
istirahat. Hal ini perlumenimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya pre-
eklampsia. Edema dapatterjadi pada semua derajat PIH (hipertensi dalam
kehamilan) tetapi hanya mempunyai nilai sedikit diagnostik kecuali jika
edemanya general.
Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yangmelebihi
0,3 g/liter dalam air kencing 24 jam atau pemeriksaan kualitatif
menunjukkan 1+ atau 2 + (menggunakan metode turbidimetrik standard )
atau 1g/liter atau lebih dalam air kencing yang dikeluarkan dengan
kateteratau midstream untuk memperoleh urin yang bersih yang diambil
minimal 2kali dengan jarak 6 jam. Proteinuri biasanya timbul lebih lambat
darihipertensi dan tambah berat badan. Proteinuri sering ditemukan pada
preeklampsia karena vasospasmus pembuluh-pembuluh darahginjal. Karena
itu harus dianggap sebagai tanda yang cukup serius.16
Akibat gejala preeklampsia, proses kehamilan maternal terganggu
karena terjadi perubahan patologis pada sistem organ, yaitu:
24

a. Jantung
Perubahan pada jantung disebabkan oleh peningkatan cardiac
afterload akibat hipertensi dan aktivasi endotel sehingga terjadi
ekstravasasi cairan intravaskular ke ekstraselular terutama paru.
Terjadi penurunan cardiac preload akibat hipovolemia.
b. Otak
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak
berfungsi. Jika autoregulasi tidak berfungsi, penghubung penguat
endotel akan terbuka menyebabkan plasma dan sel-sel darah merah
keluar ke ruang ekstravaskular.
c. Mata
Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus menyeluruh pada
satu atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat.
Spasmus arteri retina yang nyata dapat menunjukkan adanya
preeklampsia yang berat, tetapi bukan berarti spasmus yang ringan
adalah preeklampsia yang ringan.
Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia
merupakan gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia.
Keadaan ini disebabkan oleh perubahan aliran darah pada pusat
penglihatan di korteks serebri maupun didalam retina
(Wiknjosastro, 2006).
d. Paru
Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat yang
mengalami kelainan pulmonal maupun non-pulmonal setelah
proses persalinan. Hal ini terjadi karena peningkatan cairan yang
sangat banyak, penurunan tekanan onkotik koloid plasma akibat
proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai pengganti darah yang
hilang, dan penurunan albumin yang diproduksi oleh hati.
e. Hati
Pada preeklampsia berat terdapat perubahan fungsi dan integritas
hepar, perlambatan ekskresi bromosulfoftalein, dan peningkatan
25

kadar aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan


fosfatase alkali serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas
yang berasal dari plasenta. Pada penelitian yang dilakukan
Oosterhof dkk, dengan menggunakan sonografi Doppler pada 37
wanita preeklampsia, terdapat resistensi arteri hepatika.Nekrosis
hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar menyebabkan
terjadinya peningkatan enzim hati didalam serum. Perdarahan pada
lesi ini dapat mengakibatkan ruptur hepatika, menyebar di bawah
kapsul hepar dan membentuk hematom subkapsular.5
f. Ginjal
Lesi khas pada ginjal pasien preeklampsia terutama glomerulo-
endoteliosis, yaitu pembengkakan dari kapiler endotel glomerular
yang menyebabkan penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal.
Konsentrasi asam urat plasma biasanya meningkat terutama pada
preeklampsia berat. Pada sebagian besar wanita hamil dengan
preeklampsia, penurunan ringan sampai sedang laju filtrasi
glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya volume plasma
sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat dibandingkan
dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada
beberapa kasus preeklampsia berat, kreatinin plasma meningkat
beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau berkisar
hingga 2-3 mg/dl. Hal ini disebabkan perubahan intrinsik ginjal
akibat vasospasme yang hebat.
Kelainan pada ginjal biasanya dijumpai proteinuria akibat retensi
garam dan air. Retensi garam dan air terjadi karena penurunan laju
filtrasi natrium di glomerulus akibat spasme arteriol ginjal. Pada
pasien preeklampsia terjadi penurunan ekskresi kalsium melalui
urin karena meningkatnya reabsorpsi di tubulus.
Kelainan ginjal yang dapat dijumpai berupa glomerulopati, terjadi
karena peningkatan permeabilitas terhadap sebagian besar protein
dengan berat molekul tinggi, misalnya: hemoglobin, globulin, dan
26

transferin. Protein – protein molekul ini tidak dapat difiltrasi oleh


glomerulus.5
g. Darah
Kebanyakan pasien preeklampsia mengalami koagulasi intra-
vaskular (DIC) dan destruksi pada eritrosit. Trombositopenia
merupakan kelainan yang sangat sering, biasanya jumlahnya
kurang dari 150.000/μl ditemukan pada 15 – 20 % pasien. Level
fibrinogen meningkat pada pasien preeklampsia dibandingkan
dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Jikaditemukan
level fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia, biasanya
berhubungan dengan terlepasnya plasenta sebelum waktunya
(placental abruption).Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat
dapat terjadi HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya
anemia hemolitik, peningkatan enzim hati dan jumlah platelet
rendah.
h. Sistem Endokrin dan Metabolisme Air dan Elektrolit
Pada kehamilan normal akan terjadi peningkatan volume plasma
guna untuk memenuhi kebutuhan janin. Tetapi pada preeklamsia
terjadi penurunan volume plasma antara 30%-40%. Pada
preeklampsia, sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus
berkurang, proses sekresi aldosteron pun terhambat sehingga
menurunkan kadar aldosteron didalam darah. Pada ibu hamil
dengan preeklampsia kadar peptida natriuretik atrium juga
meningkat. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume yang
menyebabkan peningkatan curah jantung dan penurunan resistensi
vaskular perifer.Pada pasien preeklampsia terjadi pergeseran cairan
dari intravaskuler ke interstisial yang disertai peningkatan
hematokrit, protein serum, viskositas darah dan penurunan volume
plasma. Hal ini mengakibatkan aliran darah ke jaringan berkurang
dan terjadi hipoksia.
27

i. Akibat preeklampsia pada janin


Penurunan aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan
fungsi plasenta. Hal ini mengakibatkan hipovolemia, vasospasme,
penurunan perfusi uteroplasenta dan kerusakan sel endotel
pembuluh darah plasenta sehingga mortalitas janin meningkat.7
Dampak preeklampsia pada janin, antara lain: Intrauterine growth
restriction (IUGR) atau pertumbuhan janin terhambat,
oligohidramnion, prematur, bayi lahir rendah, dan solusio plasenta.

Kriteria diagnostik untuk preeklamsi menurut POGI (2010)8 yaitu:


a. Tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau diatolik ≥ 90 mmHg.
b. Desakan darah : ≥ 30 mmHg dan kenaikan desakan diastolic ≥ 15
mmHg, tidak dimasukkan dalam kriteria diagnostik preeklamsi,
tetapi perlu observasi yang cermat
c. Proteinuria : ≥ 300 mg/ 24 jam jumlah urine atau dipstick : ≥ 1+
d. Edema: lokal pada tungkai tidak dimasukkan dalam kriteria
diagnostik kecuali edema anasarka.
Preeklamsi berat ialah preeklamsi dengan salah satu atau lebih gejala
dan tanda dibawah ini:
a. Desakan darah : pasien dalam keadaan istirahat desakan sistolik ≥
160 mmHg dan atau desakan diastolik ≥ 110 mmHg
b. Proteinuria: ≥ 5 gr/ jumlah urin selama 24 jam. Atau dipstick: 4 +
c. Oliguria: produksi urin < 400-500 cc/ 24 jam
d. Kenaikan kreatinin serum
e. Edema paru dan sianosis
f. Nyeri epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen:
disebabkan teregangnya kapsula Glisoni. Nyeri dapat sebagai
gejala awal ruptur hepar.
g. Gangguan otak dan visus : perubahan kesadaran, nyeri kepala,
skotomata, dan pandangan kabur.
28

h. Gangguan fungsi hepar : peningkatan alanin atau aspartat amino


transferase
i. Hemolisis mikroangiopatik
j. Trombositopenia : < 100.000 cell/ mm3
k. Sindroma HELLP
Preeklamsi berat dapat dibagi dalam beberapa kategori :
a. Preeklamsi berat tanpa impending eklamsi
b. Preeklamsi berat dengan impending eklamsi, dengan gejala-gejala
impending:
- nyeri kepala
- mata kabur
- mual dan muntah
- nyeri epigastrium
- nyeri kuadran kanan atas abdomen
Hemoglobin dan hematokrit meningkat akibat hemokonsentrasi.
Trombositopenia biasanya terjadi. Terjadi peningkatan FDP, fibronektin dan
penurunan antitrombin III. Asam urat biasanya meningkat diatas 6 mg/dl.
Kreatinin serum biasanya normal tetapi bisa meningkat pada preeklampsia
berat. Alkalin fosfatase meningkat hingga 2-3 kali lipat. Laktat
dehidrogenase bisa sedikit meningkat dikarenakan hemolisis. Glukosa darah
dan elektrolit pada pasien preeklampsia biasanya dalam batas normal.
Urinalisis ditemukan proteinuria dan beberapa kasus ditemukan hyaline cast

2.7. Tata Laksana


Tujuan dasar pentalaksanaan untuk setip kehamilan dengan
preeklamsia adalah5:
a. Mencegah terjadinya preeklamsia berat dan eklamsia
b. Terminasi kehamilan denga trauma sekecil mungkin bagi ibu dan
janinnya
c. Melahirkan janin hidup
d. Pemulihan sempurna bagi kesehatan ibu
29

Penanganan preeklasia terdiri atas pengobatan medik dan penanganan


obstetrik. Penanganan obstetrik ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat
yang optimal, yaitu sebelum janin mati dalam kandungan, akan tetapi sudah
cukup matur untuk hidup diluar uterus.
Pada kehamilan dengan penyulit apapun pada ibunya, dilakukan
pengelolaan dasar sebagai berikut :
a. Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya : yaitu terapi
medikamentosa dengan pemberian obat-obatan untuk penyulitnya
b. Kedua, menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya yang
tergantung pada umur kehamilan. Sikap terhadap kehamilannya
dibagi 2, yaitu : (1) Ekspektatif; konservatif : bila umur kehamilan
<37 minggu, artinya: kehamilan dipertahankan selama mungkin
sambil memberikan terapi medikamentosa; dan (2). Aktif, agresif;
bila umur kehamilan ≥ 37 minggu, artinya kehamilan dikahiri
setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.

Adapun penatalaksanaan preeklampsi yaitu8:


a. Pengelolaan secara rawat jalan
- Tidak mutlak harus tirah baring, dianjurkan ambulasi sesuai
keinginannya. Di Indonesia tirah baring masih diperlukan.
- Diet reguler : tidak perlu diet khusus
- Vitamin prenatal
- Tidak perlu restriksi konsumsi garam
- Tidak pelu pemberian diuretic, antihipertensi dan sedativum.
- Kunjungan ke rumah sakit tiap minggu
b. Pengelolaan secara rawat inap
Indikasi preeklamsi ringan dirawat inap (hospitalisasi)
- Hipertensi yang menetap selama > 2 minggu
- Proteinuria menetap selama > 2 minggu
- Hasil test laboratorium yang abnormal
- Adanya gejala atau tanda 1 (satu) atau lebih preeklamsi berat
30

i. Pemeriksaan dan monitoring pada ibu


- Pengukuran desakan darah setiap 4 jam kecuali ibu tidur
- Pengamatan yang cermat adanya edema pada muka dan abdomen
- Penimbangan berat badan pada waktu ibu masuk rumah sakit dan
penimbangan dilakukan setiap hari
- Pengamatan dengan cermat gejala preeklamsi dengan impending
eklamsi: nyeri kepala frontal atau oksipital, gangguan visus, nyeri
kuadran kanan atas perut, nyeri epigastrium
ii. Pemeriksaan laboratorium
- Proteinuria pada dipstick pada waktu masuk dan sekurang2nya
diikuti 2 hari setelahnya.
- Hematokrit dan trombosit : 2 x seminggu
- Test fungsi hepar: 2 x seminggu
- Test fungsi ginjal dengan pengukuran kreatinin serum, asam urat,
dan BUN
- Pengukuran produksi urine setiap 3 jam (tidak perlu dengan kateter
tetap)
iii. Pemeriksaan kesejahteraan janin
- Pengamatan gerakan janin setiap hari
- NST 2 x seminggu
- Profil biofisik janin, bila NST non reaktif
- Evaluasi pertumbuhan janin dengan USG, setiap 3-4 minggu
- Ultrasound Doppler arteri umbilikalis, arteri uterina
c. Terapi medikamentosa
- Pada dasarnya sama dengan terapi ambulatoar
- Bila terdapat perbaikan gejala dan tanda2 preeklamsi dan umur
kehamilan ≥ 37 minggu, ibu masih perlu diobservasi selama 2-3 hari
kemudian boleh dipulangkan.
d. Pengelolaan obstetrik
Pengelolaan obstetrik tergantung usia kehamilan
31

i. Bila penderita tidak inpartu :


- Umur kehamilan < 37 minggu
Bila tanda dan gejala tidak memburuk, kehamilan dapat
dipertahankan sampai aterm.
- Umur kehamilan ≥ 37 minggu
Kehamilan dipertahankan sampai timbul onset partus. Bila
serviks matang pada tanggal taksiran persalinan dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan induksi persalinan
ii. Bila penderita sudah inpartu :
Perjalanan persalinan dapat diikuti dengan Grafik Friedman atau
Partograf WHO.
iii. Konsultasi
Selama dirawat di Rumah Sakit lakukan konsultasi kepada :
- Bagian penyakit mata
- Bagian penyakit jantung, dan
- Bagian lain atas indikasi
Sedangkan untuk tata laksana preeklampsia berat, yaitu:
a. Segera masuk rumah sakit
b. Tirah baring miring ke kiri secara intermiten
c. Infus Ringer Laktat atau Ringer Dekstrose 5%
d. Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi
kejang.
e. Pemberian MgSO4 dibagi menjadi loading dose (initial dose):
dosis awal dan maintenance dose: dosis lanjutan
Sumber Regimen Loading dose Maintenance dose Dihentikan
1. Prichard, Intermitent
1955 intramuscular
1957 injection

Preeklamsi 10 g IM 5g 50% tiap 4-6 jam 24 jam pasca


Bergantian salah satu persalinan
bokong
32

Eklamsi 1) 4g 20% IV; 5g 50% tiap 4-6 jam


1g/menit Bergantian salah satu
2) 10g 50% IM: bokong
Kuadran atas sisi (10 g MgSO4 IM
luar kedua bokong dalam
- 5g IM bokong 2-3 jam dicapai kadar
kanan plasma
- 5g IM bokong 3, 5-6 mEq/l
kiri
3) Ditambah 1.0
mllidocaine
4) Jika konvulsi tetap
terjadi
Setelah 15 menit,
beri : 2g
20% IV : 1 g/menit
Obese : 4g iv
Pakailah jarum 3-
inci, 20
gauge

2. Zuspan, Continous
1966 Intravenous
Injection

Preeklamsi Tidak ada 1 g/jam IV


berat
4-6 g IV / 5-10 minute 1 g/jam IV
Eklamsi

3. Sibai, Continous 4-6 g 20% IV 1) Dimulai 2g/jam IV 24 jam


1984 Intravenous dilarutkan dalam dalam pascasalin
Injection 100 ml/D5 / 15-20 10g 1000 cc D5 ; 100
Preeklamsi menit cc/jam
- eklamsi 2) Ukur kadar Mg
33

setiap 4-6 jam


3) Tetesan infus
disesuaikan untuk
mencapai maintain
dose 4-6 mEq/l
(4,8-9,6 mg/dL)

4. Magpie Sama dengan 1) 4g 50% dilarutkan 1) 1g/jam/IV dalam


Trial Pritchard dalam normal 24 jam
Colaborati regimen Saline IV / 10-15 atau
ve menit 2) 5g IM/4 jam dalam
Group, 2) 10 g 50% IM: 24 jam
2002 - 5g IM bokong
kanan
- 5g IM bokong
kiri

Syarat pemberian MgSO4. 7H2O


1. Refleks patella normal
2. Respirasi > 16 menit
3. Produksi urine dalam 4 jam sebelumnya > 100 cc ; 0,5 cc/kg BB/jam
4. Siapkan ampul Kalsium Glukonat 10% dalam 10 cc

Antidotum
Bila timbul gejala dan tanda intoksikasi MgSO 4. 7H2O , maka diberikan injeksi Kalsium
Glukonat 10% dalam 10 cc dalam 3 menit

Refrakter terhadap MgSO4. 7H2O,dapat diberikan salah satu regimen dibawah ini :
1. 100 mg IV sodium thiopental
2. 10 mg IV diazepam
3. 250 mg IV sodium amobarbital
4. phenytoin : a. dosis awal 1000 mg IV
a. 16,7 mg/menit/1 jam
b. 500 g oral setelah 10 jam dosis awal dalam 14 jam
34

Sedangkan menurut Sudhaberata17, cara pemberian SM yaitu dengan


loading dose secara intravena: 4 gr/MgSO4 20% dalam 4 menit,
intramuskuler: 4 gr/MgSO4 40% gluteus kanan, 4 gr/MgSO4 40% gluteus
kiri. Jika ada tanda impending eklampsiLD diberikan iv+im, jika tidak ada
LD cukup im saja. Maintenance dose diberikan 6 jam setelah loading dose,
secara IM 4 gr/MgSO4 40%/6 jam, bergiliran pada gluteus kanan/kiri.
Pengobatan dihentikan bila terdapat tanda-tanda intoksikasi, setelah 6 jam
pasca persalinan, atau dalam 6 jam tercapai normotensi.
Anti hipertensi diberikan bila tekanan darah ≥ 180/110 atau MAP ≥
126. Jenis obat yang diberikan yaitu nifedipine 10-20 mg oral, diulangi
setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam. Nifedipine tidak
dibenarkan diberikan dibawah mukosa lidah (sub lingual) karena absorbsi
yang terbaik adalah melalui saluran pencernaan makanan.
Desakan darah diturunkan secara bertahap :
- Penurunan awal 25% dari desakan sistolik
- Desakan darah diturunkan mencapai :
- Desakan darah < 160/105, MAP < 125
Dapat juga diberikan nicardipine-HCl 10 mg dalam 100 atau 250 cc
NaCl/RL diberikan secara IV selama 5 menit, bila gagal dalam 1 jam dapat
diulang dengan dosis 12,5 mg selama 5 menit. Bila masih gagal dalam 1
jam, bisa diulangi sekali lagi dengan dosis 15 mg selama 5 menit
Diuretikum tidak dibenarkan diberikan secara rutin, karena dapat
memperberat penurunan perfusi plasenta, memperberat hipovolemia, dan
meningkatkan hemokonsentrasi. Diuretikum yang diberikan hanya atas
indikasi edema paru, payah jantung kongestif, atau edema anasarka. Diet
diberikan secara seimbang, hindari protein dan kalori yang berlebih.
Bila penderita sudah kembali menjadi preeklamsi ringan, maka masih
dirawat 2-3 hari lagi, baru diizinkan pulang. Glukokortikoid diberikan pada
umur kehamilan 32-34 minggu selama 48 jam.Pemeriksaan dan monitoring
tiap hari terhadap gejala klinik selama dirawat di RS yaitu nyeri kepala,
penglihatan kabur, nyeri perut kuadran kanan atas, nyeri epigastrium,
35

kenaikan berat badan dengan cepat. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu:
(1) berat badan ditimbang pada waktu masuk Rumah Sakit dan diikuti tiap
hari, (2) proteinuria diperiksan ketika masuk Rumah Sakit dan diulangi tiap
2 hari. (3) pengukuran desakan darah sesuai standar yang telah ditentukan,
(4) pemeriksaan laboratorium (5) pemeriksaan USG sesuai standar di atas,
khususnya pemeriksaan ukuran biometrik janin dan volume air ketuban.
Penderita boleh dipulangkan bila penderita telah bebas dari gejala-gejala
preeklamsi berat, masih tetap dirawat 3 hari lagi baru diizinkan pulang.
Pada perawatan konservatif, bila penderita tidak inpartu, kehamilan
dipertahankan sampai kehamilan aterm. Bila penderita inpartu, perjalanan
persalinan diikuti seperti lazimnya (misalnya dengan grafik Friedman). Bila
penderita inpartu, maka persalinan diutamakan pervaginam, kecuali bila
ada indikasi untuk seksio sesaria.
Terminasi kehamilan menjadi pilihan pada perawatan aktif; agresif,
yaitu atas indikasi:
a. Indikasi ibu
- Kegagalan terapi medikamentosa setelah 6 jam sejak dimulai
pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan darah yang
persisten atau setelah 24 jam sejak dimulainya pengobatan
medikamentosa terjadi kenaikan darah desakan darah yang
persisten.
- Tanda dan gejala impending eklamsi
- Gangguan fungsi hepar
- Gangguan fungsi ginjal
- Dicurigai terjadi solutio placenta
- Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, pendarahan
b. Indikasi janin
- Umur kehamilan ≥ 37 minggu
- IUGR berat berdasarkan pemeriksaan USG
- NST nonreaktiv dan profil biofisik abnormal
- Timbulnya oligohidramnion
36

c. Indikasi laboratorium
Trombositopenia progesif, yang menjurus ke sindroma HELLP
Sedapat mungkin persalinan diarahkan pervaginam. Jika penderita
belum inpartu, dapat dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop ≥ 8. Bila
perlu dilakukan pematngan serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan
harus sudah mencapai kala II dalam waktu 24 jam. Bila tidak, induksi
persalinan dianggap gagal, dan harus disusul dengan seksio sesarea. Indikasi
seksio sesarea yaitu jika tidak ada indikasi untuk persalinan pervaginam,
induksi persalinan gagal, terjadi gawat janin, umur kehamilan < 33 minggu
Bila penderita sudah inpartu, perjalanan persalinan diikuti dengan
grafik Friedman, diusahakan untuk memperpendek kala II. Seksio sesarea
dilakukan apabila terdapat kegawatan ibu dan gawat janin. Pada
primigravida direkomendasikan pembedahan cesar dengan regional
anestesia atau epidural anestesia. Tidak diajurkan anesthesia umum .

2.8. Komplikasi
Tekanan darah dapat meningkat sehingga menimbulkan kegagalan
dari kemampuan sistem otonom aliran darah sistem saraf pusat (ke otak) dan
menimbulkan berbagai bentuk kelainan patologis sebagai berikut:18
- Edema otak karena permeabilitas kapiler bertambah
- Iskemia yang menimbulkan infark serebal
- Edema dan perdarahan menimbulkan nekrosis
- Edema dan perdarahan pada batang otak dan retina
- Dapat terjadi herniasi batang otak yang menekan pusat vital medula
oblongata.
Komplikasi terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita preeklamsia dan eklamsia.
Komplikasi dibawah ini yang biasa terjadi pada preeklamsia berat dan
eklamsia:19
a. Solusio plasenta. Komplikasi ini terjadi pada ibu yang menderita
hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada preeklamsia.
37

b. Hipofibrinogenemia. Biasanya terjadi pada preeklamsia berat. Oleh


karena itu dianjurkan untuk pemeriksaan kadar fibrinogen secara
berkala.
c. Hemolisis. Penderita dengan preeklamsia berat kadang-kadang
menunjukkan gejala klinik hemolisis yang dikenal dengan ikterus.
Belum diketahui dengan pasti apakah ini merupakan kerusakkan
sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati
yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklamsia dapat mene
d. Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama
kematian maternal penderita eklamsia.
e. Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang
berlangsung sampai seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-
kadang terjadi pada retina. Hal ini merupakan tanda gawat akan
terjadi apopleksia serebri.
f. Edema paru-paru. Paru-paru menunjukkan berbagai tingkat edema
dan perubahan karena bronkopneumonia sebagai akibat aspirasi.
Kadang-kadang ditemukan abses paru-paru.
g. Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada preeklamsia/eklamsia
merupakan akibat vasospasme arteriole umum. Kelainan ini diduga
khas untuk eklamsia, tetapi ternyata juga dapat ditemukan pada
penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan
pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.
h. Sindroma HELLP yaitu haemolysis, elevated liver enzymes dan
low platelet. Merupakan sindrom kumpulan gejala klinis berupa
gangguan fungsi hati, hepatoseluler (peningkatan enzim hati
[SGPT,SGOT], gejala subjektif [cepat lelah, mual, muntah, nyeri
epigastrium]), hemolisis akibat kerusakan membran eritrosit oleh
radikal bebas asam lemak jenuh dan tak jenuh. Trombositopenia
(<150.000/cc), agregasi (adhesi trombosit di dinding vaskuler),
kerusakan tromboksan (vasokonstriktor kuat), lisosom.18
38

i. Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu


pembengkakan sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa
kelainan struktur yang lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul
ialah anuria sampai gagal ginjal.
j. Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan fraktur karena jatuh
akibat kejang-kejang pneumonia aspirasi dan DIC (disseminated
intravascular cogulation).rangkan ikterus tersebut.
k. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin

2.9. Prognosis
Secara umum, kemungkinan preeklampsia untuk muncul kembali
pada kehamilan berikutnya adalah 10%. Morbiditas dan mortalitas
preeklampsia tergantung dari ada tidaknya kondisi berikut:20
- Disfungsi endotel sistemik
- Vasospasme dan trombosis pembuluh darah kecil yang mengarah
pada iskemik jaringan dan organ
- Komplikasi pada SSP
- Nekrois tubuler akut
- Koagulopati
- Abrupsi plasenta

2.10. Pencegahan
Berbagai strategi telah digunakan sebagai upaya untuk mencegah
preeklamsia. Biasanya strategi-strategi ini mencakup manipulasi diet dan
usaha farmakologis untuk memodifikasi mekanisme patofisiologis yang
diperkirakan berperan dalam terjadinya preeklamsia. Usaha farmakologis
mencakup pemakaian aspirin dosis rendah dan antioksidan.5

a. Manipulasi diet
Salah satu usaha paling awal yang ditujukan untuk mencegah
preeklamsia adalah pembatasan asupan garam selama hamil.
39

Berdasarkan sebagian besar studi di luar amerika serikat,


ditemukan bahwa wanita dengan diet rendah kalsium secara
bermakna beresiko lebih tinggi mengalami hipertensi akibat
kehamilan. Hal ini mendorong dilakukanya paling sedikit 14 uji
klinis acak yang menghasilkan metaanalisis yang memperlihatkan
bahwa suplementasi kalsium selama kehamilan menyebabkan
penurunan bermakna tekanan darah serta mencegah preeklamsia.
Namun studi yang tampaknya definitif dilakukan oleh Lavine dkk.,
(1997) yang dikutip oleh Cuningham (2010). Studi ini adalah suatu
uji klinis acak yang disponsori oleh the National Institute of Child
Health and Human development. Dalam uji yang menggunakan
penyamar-ganda ini,4589 wanita nulipara sehat dibagi secara acak
untuk mendapat 2g suplemen kalsium atau plasebo.
Manipulasi diet lainya untuk mencegah preeklamsia yang
telah diteliti adalah pemberian empat sampai sembilan kapsul yang
mengandung minyak ikan setiap hari. Suplemen harian ini dipilih
sebagai upaya untuk memodifikasi keseimbangan prostaglandin
yang diperkirakan berperan dalam patofisiologi preeklamsia.
b. Aspirin dosis rendah
Dengan aspirin 60 mg atau plasebo yang diberikan kepada
wanita primigravida peka-angiotensin pada usia kehamilan 28
minggu. Menurunya insiden preeklamsi pada kelompok terapi
diperkirakan disebabkan oleh supresi selektif sintesis tromboksan
oleh trombosit serta tidak terganggunya produksi prostasiklin.
Berdasarkan laporan ini dan laporan lain dengan hasil serupa,
dilakukan uji klinis acak multisentra pada wanita beresiko rendah
dan tinggi di amerika serikat dan negara lain. Uji-uji klinis ini
secara konsisten menperlihatkan aspirin dosis rendah efektif untuk
mencegah preeklamsia. Dalam suatu analisis sekunder terhadap uji
klinis intervensi resiko-tinggi, memperlihatkan bahwa pemberian
40

aspirin dosis rendah secara bermakna menurunkan kadar


tromboksan B2 ibu.
c. Antioksidan
Serum wanita hamil normal memiliki mekanisme
antioksidan yang berfungsi mengendalikan peroksidasi lemak
yang diperkirakan berperan dalam disfungsi sel endotel pada
preeklamsia. serum wanita dengan preeklamsia memperlihatkan
penurunan mencolok aktivitas antioksidan. Schirif dkk.,(1996)
yang dikutip oleh Cuningham (2010), menguji hipotesis bahwa
penurunan aktifitas antioksidan berperan dalam preeklamsia
dengan mempelajari konsumsi diet serta konsentrasi vitamin E
dalam plasma pada 42 kehamilan dengan 90 kontrol. Mereka
menemukan kadar vitamin E plasma yang tinggi pada wanita
dengan preeklamsia, tetapi konsumsi vitamin E dalam diet
tersebut tidak berkaitan dengan preeklamsia. Mereka berspekulasi
bahwa tingginya kadar vitamin E yang diamati disebabkan oleh
respons terhadap stres oksidatif pada preeklamsia.
Penelitian sistematik pertama yang dirancang untuk
menguji hipotesis bahwa terapi antioksidan untuk wanita hamil
akan mengubah cedera sel endotel yang dikaitkan dengan
preeklamsia. Sebanyak 283 wanita hamil 18 sampai 22 minggu
yang beresiko preeklamsia dibagi secara acak untuk mendapat
terapi antioksidan atau plasebo. Terapi antioksidan secara
bermakna menurunkan aktivasi sel endotel dan mengisyaratkan
bahwa terapi semacam ini mungkin bermanfaat untuk mencegah
preeklamsia. Juga terjadi penurunan bermakna insiden
preeklamsia pada mereka yang mendapat vitamin C dan E
dibandingkan dengan kelompok kontrol.
d. Pemeriksaan antenatal
Pemeriksaan antenatal care yang teratur dan bermutu serta
teliti, mengenali tanda-tanda sedini mungkin (preeklamsi ringan),
41

lalu diberikan pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak


menjadi lebih berat. Harus selalu waspada terhadap kemungkinan
terjadinya preeklamsia kalau ada faktor-faktor predisposisi,
memberikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur,
ketenangan, serta pentingnya mengatur diet rendah garam, lemak,
serta karbohidrat dan tinggi protein, juga menjaga kenaikan berat
badan yang berlebihan.10

B. EKLAMPSIA
2.11 Definisi Eklampsia
Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan kejang
tiba tiba yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil, persalinan
atau masa nifas yang menunjukan gejala preeklampsia sebelumnya.
Kejang disini bersifat grand mal dan bukan diakibatkan oleh kelainan
neurologis22. Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti
halilintar. Kata-kata tersebut dipergunakan karena seolah-olah gejala
eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului tanda-tanda lain23.
Eklampsia dibedakan menjadi eklampsia gravidarum (antepartum),
eklampsia partuirentum (intrapartum), dan eklampsia puerperale
(postpartum), berdasarkan saat timbulnya serangan. Eklampsia banyak
terjadi pada trimester terakhir dan semakin meningkat saat mendekati
kelahiran22,24. Pada kasus yang jarang, eklampsia terjadi pada usia
kehamilan kurang dari 20 minggu. Sekitar 75% kejang eklampsia terjadi
sebelum melahirkan, 50% saat 48 jam pertama setelah melahirkan, tetapi
kejang juga dapat timbul setelah 6 minggu postpartum. Sesuai dengan
batasan dari National Institutes of Health (NIH) Working Group on Blood
Pressure in Pregnancy preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai
dengan proteinuria pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu atau segera
setelah persalinan. Saat ini edema pada wanita hamil dianggap sebagai hal
yang biasa dan tidak spesifik dalam diagnosis preeklampsia. Hipertensi
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau
42

tekanan diastolik ≥ 90 mmHg. Proteinuria adalah adanya protein dalam


urin dalam jumlah ≥300 mg/dl dalam urin tampung 24 jam atau ≥ 30 mg/dl
dari urin acak tengah yang tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi saluran
kencing24.

2.12 Diagnosis dan Gambaran Klinik Eklampsia


Seluruh kejang eklampsia didahului dengan preeklampsia.
Preeklampsia dibagi menjdai ringan dan berat. Penyakit digolongkan berat
bila ada satu atau lebih tanda dibawah ini :23
a. Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik 110
mmHgatau lebih
b. Proteinuria 5 gr atau lebih dalam24 jam; 3+ atau 4+ pada
pemetiksaan Kualitatif
c. Oliguria, diuresis 400 ml atau kurang dalam 24 jam
d. Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah
epigastrium
e. Edema paru atau sianosis.
Pada umumnya serangan kejang didahului dengan memburuknya
preeklampsia dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal,
gangguan penglihatan, mual keras, nyeri di daerah epigastrium, dan
hiperrefleksia23. Menurut Sibai terdapat beberapa perubahan klinis yang
memberikan peringatan gejala sebelum timbulnya kejang, adalah sakit
kepala yang berat dan menetap, perubahan mental sementara, pandangan
kabur, fotofobia, iritabilitas, nyeri epigastrik, mual, muntah. Namun, hanya
sekitar 50% penderita yang mengalami gejala ini. Prosentase gejala
sebelum timbulnya kejang eklampsia adaah sakit kepala yang berat dan
menetap (50-70%), gangguan penglihatan (20-30%), nyeri epigastrium
(20%), mual muntah (10-15%), perubahan mental sementara (5-10%).
Apabila tidak ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan diikuti
dengan kejang-kejang berikutnya yang bervariasi dari kejang yang ringan
sampai kejang yang berkelanjutan yang disebut status epileptikus22.
43

Setelah kejang berhenti, penderita mengalami koma selama


beberapa saat. Lamanya koma setelah kejang eklampsia bervariasi.
Apabila kejang yang terjadi jarang, penderita biasanya segera pulih
kesadarannya segera setelah kejang. Namun, pada kasus-kasus yang berat,
keadaan koma belangsung lama, bahkan penderita dapat mengalami
kematian tanpa sempat pulih kesadarannya. Pada kasus yang jarang,
kejang yang terjadi hanya sekali namun dapat diikuti dengan koma yang
lama bahkan kematian22. Frekuensi pernapasan biasanya meningkat setelah
kejang eklampsia dan dapat mencapai 50 kali per menit. Hal ini dapat
menyebabkan hiperkarbia dampai asidosis laktat, tergantung derajat
hipoksianya. Pada kasus yang berat ditemukan sianosis. Demam tinggi
merupakan keadaan yang jarang terjadi, apabla hal tersebut terjadi maka
penyebabnya adalah perdarahan pada susunan saraf pusat22.
Proteinuria hampir selalu didapatkan, produksi urin berkurang,
bahkan kadang – kadang sampai anuria dan pada umumnya terdapat
hemoglobinuria. Setelah persalinan urin output akan meningkat dan ini
merupakan tanda awal perbaikan kondisi penderita. Proteinuria dan edema
menghilang dalam waktu beberapa hari sampai dua minggu setelah
persalinan apabila keadaan hipertensi menetap setelah persalinan maka hal
ini merupakan akibat penyakit vaskuler kronis22.

2.13 Insiden dan Faktor Risiko


Insiden eklampsia bervariasi antara 0,2% - 0,5% dari seluruh
persalinan dan lebih banyak ditemukan di negara berkembang (0,3%-
0,7%) dibandingkan negara maju (0,05%-0,1%).8-9 Insiden yang
bervariasi dipengaruhi antara lain oleh paritas, gravida, obesitas, ras, etnis,
geografi, faktor genetik dan faktor lingkungan yang merupakan faktor
risikonya.5-6,8-10 Di RSUP Dr. Kariadi tahun 1997 disebutkan angka
kejadian preeklampsia sebesar 3,7% dan eklampsia 0,9% dengan angka
kematian perinatal 3,1%25.
44

Eklampsia termasuk dari tiga besar penyebab kematian ibu di


Indonesia. Menurut laporan KIA Provinsi tahun2011, jumlah kematian ibu
yang dilaporkan sebanyak 5.118 jiwa. Penyebab kematian ibu terbanyak
masih didominasi Perdarahan (32%), disusul hipertensi dalam kehamilan
(25%), infeksi (5%), partus lama (5%) dan abortus (1%). Penyebab lain –
lain (32%) cukup besar, termasuk di dalamnya penyebab penyakit non
obstetrik.

Sumber : facsheet upaya percepatan penurunan AKI Kemenkes.


Gambar 4. Distribusi penyebab kematian ibu melahirkan berdasarkan
laporan KIA Provinsi 2011.
Praktisi kesehatan diharapkan dapat mengidentifikasi faktor risiko
preeklampsia dan eklampsia dan mengontrolnya, sehingga memungkinkan
dilakukan pencegahan primer. Dari beberapa studi dikumpulkan ada
beberapa fakto risiko preeklampsia, yaitu24 :
1) Usia
Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeklampsia dan eklampsia hampir
dua kali lipat pada wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih pada primipara
maupun multipara. Usia muda tidak meningkatkan risiko secara bermakna
(Evidence II, 2004). Robillard dkk melaporkan bahwa risiko preeklampsia
dan eklampsia pada kehamilan kedua meningkat dengan peningkatan usia
ibu. Choudhary P dalam penelitiannya menemukan bahwa eklampsia lebih
banyak (46,8%) terjadi pada ibu dengan usia kurang dari 19 tahun.
45

2) Nulipara
Hipertensi gestasional lebih sering terjadi pada wanita nulipara 24. Duckitt
melaporkan nulipara memiliki risiko hampir tiga kali lipat (RR 2,91, 95%
CI 1,28 – 6,61) (Evidence II, 2004).
3) Kehamilan pertama oleh pasangan baru
Kehamilan pertama oleh pasangan yang baru dianggap sebagai faktor risiko,
walaupun bukan nulipara karena risiko meningkat pada wanita yang
memiliki paparan rendar terhadap sperma. Analisa lebih lanjut menunjukkan
kehamilan triplet memiliki risiko hampir tiga kal lipat dibandingkan
kehamilan duplet. Sibai dkk menyimpulkan bahwa kehamilan ganda
memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi untuk menjadi preeklamsia
dibandingkan kehamilan normal. Selain itu, wanita dengan kehamilan
multifetus dan kelainan hipertensi saat hamil memiliki luaran neonatal yang
lebih buruk daripada kehamilan monofetus.24
4) Donor oosit, donor sperma dan donor embrio
Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oossit atau donor embrio
juga dikatakan sebagai faktor risiko. Satu hipotesis yang populer penyebab
preeklampsia adalah laju adaptasi imun. Mekanisme dibalik efek protektif
dari paparan sperma masih belum diketahui. Data menunjukkan adanya
peningkatan frekuensi preeklampsia setelah inseminasi donor sperma dan
oosit, frekuensi preeklampsia yang tinggi pada kehamilan remaja, serta
makin mengecilkan kemungkinan terjadinya preeklampsia pada wanita
hamil dari pasangan yang sama dalam jangka waktu yang lebih lama.
Walaupun preeklampsia dipertimbangkan sebagai penyakit pada kehamilan
pertama, frekuensi preeklampsia menurun drastis pada kehamilan
berikutnya apabila kehamilan pertama tidak mengalami preeklampsia.
Namun, efek protektif dari multiparitas menurun apabila berganti pasangan.
Robillard dkk melaporkan adanya peningkatan risiko preeklamspiadua kali
pada wanita dengan pasangan yang pernah memiliki isteri dengan riwayat
preeklampsia.
5) Diabetes Melitus Terganung Insulin (DM tipe I)
46

Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir empat kali lipatbila diabetes


terjadi sebelum hamil. Anna dkk juga menyebutkan bahwa diabetres melitus
dan hipertensi keduanya berasosiasi kuat dengan indeks masa tubuh dan
kenaikannya secara relevan sebagai faktor risiko eklampsia di United State.
6) Penyakit ginjal
Semua studi yang diulas oleh Duckitt risiko preeklampsia meningkat
sebanding dengan keparahan penyakit pada wanita dengan penyakit ginjal.
7) Sindrom antifosfolipid
Dari dua studi kasus kontrol yang diulas oleh Duckitt menunjukkan adanya
antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin, antikoagulan lupus atau
keduanya) meningkatkan risiko preeklampsia hampir 10 kali lipat.
8) Hipertensi kronik
Chappell dkk meneliti 861 wanita dengan hipertensi kronik, didapatkan
insiden preeklampsia superimposed sebesar 22% (n-180) dan hampir
setengahnya adalah preeklampsia onset dini (<34 minggu) dengan keluaran
maternal dan perinatal yang lebih buruk.
9) Obesitas sebelum hamil dan Indeks Massa Tubuh (IMT) saat pertama kali
Antenatal Care (ANC) Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia dan
risiko semakin besar dengan semakin besarnya IMT. Obesitas sangat
berhubungan dengan resistensi insulin, yang juga merupakan faktor risiko
preeklampsia. Obesitas meningkatkan rsisiko preeklampsia sebanyak 2,47
kali lipat, sedangkan wanita dengan IMT sebelum hamil >35 dibandingkan
dengan IMT 19-27 memiliki risiko preeklampsia empat kali lipat. Pada studi
kohort yang dilakukan oleh Conde-Agudelao dan Belizan pada 878.680
kehamilan, ditemukan fakta bahwa frekuensi preeklampsia pada kehamilan
di populasi wanita yang kurus (IMT< 19,8) adalah 2,6% dibandingkan
10,1% pada populasi wanita yang gemuk (IMT> 29,0).

10) Kondisi sosioekonomi


Faktor lingkungan memiliki peran terhadap terjadinya hipertensi pada
kehamilan. Pada wanita dengan sosioekonomi baik memiliki risiko yang
47

lebih rendah untuk mengalami preeklampsia. Kondisi sosioekonomi pasien


di RS dapat dilihat melalui sistem pembayarannya.
11) Frekuensi ANC
Pal A dkk menyebutkan bahwa eklampsia banyak terjadi pada ibu yang
kurang mendapatkan pelayanan ANC yaitu sebesar 6,14% 19 dibandingkan
dengan yang mendapatkan ANC sebesar 1,97%.28 Studi case control di
Kendal menunjukkan bahwa penyebab kematian ibu terbesar (51,8%)
adalah perdarahan dan eklampsia. Kedua penyebab itu sebenarnya dapat
dicegah dengan pelayanan antenatal yang memadai atau pelayanan
berkualitas dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan.

2.14 Etiologi dan Patofisiologi Eklampsia24


Hingga saat ini etiologi dan patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan
masih belum diketahui dengan pasti. Telah banyak hipotesis yang diajukan
untuk mencari etiologi dan patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan
namun hingga kini belum memuaskan sehinggan Zweifel menyebut
preeklampsia dan eklampsia sebagai “the disease of theory”. Adapun
hipotesis yang diajukan diantaranya adalah :
1) Genetik
Terdapat suatu kecenderungan bahwa faktor keturunan turut
berperanan dalam patogenesis preeklampsia dan eklampsia. Telah
dilaporkan adanya peningkatan angka kejadian preeklampsia dan
eklampsia pada wanita yang dilahirkan oleh ibu yang menderita
preeklampsia preeklampsia dan eklampsia. Bukti yang mendukung
berperannya faktor genetik pada kejadian preeklampsia dan eklampsia
adalah peningkatan Human Leukocyte Antigene (HLA) pada penderita
preeklampsia. Beberapa 20 peneliti melaporkan hubungan antara
histokompatibilitas antigen HLADR4 dan proteinuri hipertensi. Diduga
ibu-ibu dengan HLA haplotipe A 23/29, B 44 dan DR 7 memiliki
resiko lebih tinggi terhadap perkembangan preeklampsia eklampsia
dan intra uterin growth restricted (IUGR) daripada ibu-ibu tanpa
48

haplotipe tersebut. Peneliti lain menyatakan kemungkinan


preeklampsia eklampsia berhubungan dengan gen resesif tunggal.
Meningkatnya prevalensi preeklampsia eklampsia pada anak
perempuan yang lahir dari ibu yang menderita preeklampsia eklampsia
mengindikasikan adanya pengaruh genotip fetus terhadap kejadian
preeklampsia. Walaupun faktor genetik nampaknya berperan pada
preeklampsia eklampsia tetapi manifestasinya pada penyakit ini secara
jelas belum dapat diterangkan.
2) Iskemia Plasenta
Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas akan menginvasi desidua
dan miometrium dalam dua tahap. Pertama, sel-sel trofoblas
endovaskuler menginvasi arteri spiralis yaitu dengan mengganti
endotel, merusak jaringan elastis pada tunika media dan jaringan otot
polos dinding arteri serta mengganti dinding arteri dengan material
fibrinoid. Proses ini selesai pada akhir trimester I dan pada masa ini
proses tersebut telah sampai pada deciduomyometrial junction. Pada
usia kehamilan 14-16 minggu terjadi invasi tahap kedua dari sel
trofoblas di mana sel-sel trofoblas tersebut akan menginvasi arteri
spiralis lebih dalam hingga kedalaman miometrium. Selanjutnya terjadi
proses seperti tahap pertama yaitu penggantian endotel, perusakan
jaringan muskulo-elastis serta perubahan material fibrionid dinding
arteri. Akhir dari proses ini adalah pembuluh darah yang berdinding
tipis, lemas dan berbentuk seperti kantong yang memungkinkan terjadi
dilatasi secara pasif untuk menyesuaikan dengan kebutuhan aliran
darah yang meningkat pada kehamilan. Pada preeklampsia, proses
plasentasi tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya disebabkan
oleh dua hal, yaitu : (1) tidak semua arteri spiralis mengalami invasi
oleh sel-sel trofoblas; (2) pada arteri spiralis yang mengalami invasi,
terjadi tahap pertama invasi sel trofoblas secara normal tetapi invasi
tahap kedua tidak berlangsung sehingga bagian arteri spiralis yang
49

berada dalam miometrium tetapi mempunyai dinding muskulo-elastis


yang reaktif yang berarti masih terdapat resistensi vaskuler.

Gambar 5. Perbedaan arteri spiralis pada kehamilan normotensi (atas)


dan hipertensi (bawah). Sel sitotrofoblas menginvasi dengan baik pada
kehamilan normotensi.

Disamping itu juga terjadi arterosis akut (lesi seperti atherosklerosis)


pada arteri spiralis yang dapat menyebabkan lumen arteri bertambah
kecil atau bahkan mengalami obliterasi. Hal ini akan menyebabkan
penurunan aliran darah ke plasenta dan berhubungan dengan luasnya
daerah infark pada plasenta.Pada preeklampsia, adanya daerah pada
arteri spiralis yang memiliki resistensi vaskuler disebabkan oleh karena
kegagalan invasi trofoblas ke arteri spiralis pada tahap kedua.
Akibatnya, terjadi gangguan aliran darah di daerah intervilli yang
menyebabkan penurunan perfusi darah ke plasenta. Hal ini dapat
menimbulkan iskemi dan hipoksia di plasenta yang berakibat
50

terganggunya pertumbuhan bayi intra uterin (IUGR) hingga kematian


bayi.
3) Prostasiklin-tromboksan
Prostasiklin merupakan suatu prostaglandin yang dihasilkan di sel
endotel yang berasal dari asam arakidonat di mana dalam
pembuatannya dikatalisis oleh enzim sikooksigenase. Prostasiklin akan
meningkatkan cAMP intraselular pada sel otot polos dan trombosit dan
memiliki efek vasodilator dan anti agregasi trombosit. Tromboksan A2
dihasilkan oleh trombosit, berasal dari asam arakidonat dengan
bantuan enzim siklooksigenase. Tromboksan memiliki efek
vasikonstriktor dan agregasi trombosit prostasiklin dan tromboksan A2
mempunyai efek yang berlawanan dalam mekanisme yang mengatur
interaksi antara trombosit dan dinding pembuluh darah.
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan prostasiklin oleh jaringan
ibu, plasenta dan janin. Sedangkan pada preeklampsia terjadi
penurunan produksi prostasiklin dan kenaikan tromboksan A2
sehingga terjadi peningkatan rasio tromboksan A2 : prostasiklin. Pada
preeklampsia terjadi kerusakan sel endotel akan mengakibatkan
menurunnya produksi prostasiklin karena endotel merupakan tempat
pembentuknya prostasiklin dan meningkatnya produksi tromboksan
sebagai kompensasi tubuh terhadap kerusakan endotel tersebut.
Preeklampsia berhubungan dengan adanya vasospasme dan aktivasi
sistem koagulasi hemostasis. Perubahan aktivitas tromboksan
memegang peranan sentral pada proses ini di mana hal ini sangat
berhubungan dengan ketidakseimbangan antara tromboksan dan
prostasiklin. Kerusakan endotel vaskuler pada preeklampsia
menyebabkan penurunan produksi prostasiklin, peningkatan aktivasi
agregaasi trombosit dan fibrinolisis yang kemudian akan diganti
trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III
shingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyababkan
51

pelepasan tromboksan A2 dan serotonin sehingga akan terjadi


vasospasme dan kerusakan endotel.
4) Imunologis
Beberapa penelitian menyatakan kemungkinan maladaptasi imunologis
sebagai patofisiologi dari preeklampsia. Pada penderita preeklampsia
terjadi penurunan proporsi T-helper dibandingkan dengan penderita
yang normotensi yang dimulai sejak awal trimester II. Antibodi yang
melawan sel endotel ditemukan pada 50% wanita dengan
preeklampsia, sedangkan pada kontrol hanya terdapat 15%.
Maladaptasi sistem imun dapat menyebabkan invasi yang dangkal dari
arteri spiralis oleh sel sitotrofoblas endovaskuler dan disfungsi sel
endotel yang dimediasi oleh peningkatan pelepasan sitokin (TNF-α dan
IL-1), enzim proteolitik dan radikal bebas oleh desidua. Sitokin TNF-α
dan IL-1 berperanan dalam stress oksidatif yang berhubungan dengan
preeklampsia. Di dalam mitokondria, TNF-α akan merubah sebagian
aliran elektron untuk melepaskan radikal bebasoksigen yang
selanjutkan akan membentuk lipid peroksida dimana hal ini dihambat
oleh antioksidan.
52

Gambar 6. Mekanisme patofisiologi preeklampsia eklampsia.

Gambar 7. Sistem imun dalam patofisiologi preeklampsia.

Radikal bebas yang dilepaskan oleh sel desidua akan menyebabkan


kerusakan sel endotel. Radikal bebas-oksigen dapat menyebabkan
pembentukan lipid perioksida yang akan membuat radikal bebas lebih
53

toksik dalam merusak sel endotel. Hal ini akan menyebabkan


gangguan produksi nitrit oksida oleh endotel vaskuler yang akan
mempengaruhi keseimbangan prostasiklin dan tromboksan di mana
terjadi peningkatan produksi tromboksan A2 plasenta dan inhibisi
produksi prostasiklin dari endotel vaskuler. Akibat dari stress oksidatif
akan meningkatkan produksi sel makrofag lipid laden, aktivasi dari
faktor koagulasi mikrovaskuler (trombositopenia) serta peningkatan
permeabilitas mikrovaskuler (oedem dan proteinuria). Antioksidan
merupakan kelompok besar zat yang ditunjukan untuk mencegah
terjadinya overproduksi dan kerusakan yang disebabkan oleh radikal
bebas. Telah dikenal beberapa antioksidan yang poten terhadap efek
buruk dari radikal bebas diantaranya vitamin E (α- tokoferol), vitamin
C dan β-caroten.21 Zat antioksidan ini dapat digunakan untuk melawan
perusakan sel akibat pengaruh radikal bebas pada preeklampsia.

Gambar 8. Patofisiologi terjadinya gangguan hipertensi dalam


kehamilan.
54

2.15 Etiologi dan Patofisiologi Kejang Eklamptik


Patofisiologi kejang eklamptik belum diketahui secara pasti.
Kejang eklamptik dapat disebabkan oleh hipoksia karena
vasokonstriksi lokal otak, dan fokus perdarahan di korteks otak.
Kejang juga sebagai manifestasi tekanan pada pusat motorik di daerah
lobus frontalis26. Beberapa mekanisme yang diduga sebagai etiologi
kejang adalah sebagai berikut : 24
a. Edema serebral
b. Perdarahan serebral
c. Infark serebral
d. Vasospasme serebral
e. Pertukaran ion antara intra dan ekstra seluler
f. Koagulopati intravaskuler serebral
g. Ensefalopati hipertensi

2.16 Etiologi dan Patofisiologi Koma


Koma yang dijumpai pada kasus eklampsia dapat disebabkan oleh
kerusakan dua organ vital : 26
a. Kerusakan hepar yang berat : gangguan metabolisme-asidosis,
tidak mampu mendetoksikasi toksis material.
b. Kerusakan serebral : edema serebri, perdarahan dan nekrosis
disekitar perdarahan, hernia batang otak.

2.17 Perdarahan
Perdarahan antepartum merupakan perdarahan dari uterus dan terjadi
sebelum melahirkan. Perdarahan antepartum dapat terjadi karena
robeknya plasenta yang melekat didekat kanalis servikalis yang
dikenal dengan plasenta previa atau karena robeknya plasenta yang
terletak di tempat lain di dalam rongga uterus atau yang dikenal
dengan solusio plasenta. Eklampsia merupakan faktor predisposisi
terjadinya solusio plasenta walaupun lebih banyak terjadi pada kasus
55

hipertensi kronik24,27. Perdarahan postpartum didefinisikan sebagai


hilangnya 500ml atau lebih darah pada persalinan pervaginam, 1000
ml pada seksio sesaria, 1400 ml pada histerektomi secara elektif atau
3000 sampai 3500 ml pada histerektomi saesarea darurat, setelah kala
tiga persalinan selesai. Pada eklampsia sering didapat adanya
hemokonsentrasi atau tidak terjadinya hipervolemia seperti pada
kehamilan normal. Hal tersebut membuat ibu hamil pada kasus
eklampsia jauh lebih rentan terhadap kehilangan darah dibandingkan
ibu normotensif.24

2.18 Kematian Maternal


Kematian maternal adalah kematian setiap ibu dalam kehamilan,
persalinan, masa nifas sampai batas waktu 42 hari setelah persalinan,
tidak tergantung usia dan tempat kehamilan serta tindakan yang
dilakukan untuk mengakhiri kehamilan tersebut dan bukan disebabkan
oleh kecelakaan.27 Kematian maternal pada eklampsia disebabkan
karena beberapa hal antara lain karena perdarahan otak, kelinan
perfusi otak, infeksi, perdarahan dan sindroma HELLP. 24

2.19 Luaran Perinatal


Saat kejang terjadi peningkatan frekuensi kontraksi uterus sehingga
tonus otot uterus meningkat. Peningkatan tersebut menyebabkan
vasospasme arterioli pada miometrium makin terjepit. Aliran darah
menuju retroplasenter makin berkurang sehingga dampaknya pada
denyut jantung janin (DJJ) seperti terjadi takikardi, kompensasi
takikardi dan selanjutnya diikuti bradikardi24. Rajasri dkk
menyebutkan terjadinya komplikasi neonatal pada kasus eklampsia
seperti asfiksia neonatorum (26%), prematuritas (17%), aspirasi
mekoneum (31%), sepsis (4%), ikterus (22%). George dkk dalam
penelitiannya menyebutkan Sebanyak 64,1% bayi dilaporkan harus
mendapatkan perawatan di Special Care Baby Unit dengan indikasi
56

prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, asfiksia neonatorum berat


(skor Apgar 5 menit <7), ikterus neonatal, sepsis neonatal. Angka
kematian perinatal pada kasus eklampsia adalah 5411,1 per 1000
kelahiran hidup diaman 51,4% kematian intrauterin dan 48,6%
kematian neonatal. Penyebab kematian perinatal terbanyak adalah
asfiksia (33,3%), sindrom distress respirasi (22,2%), dan prematuritas
(22,2%).
1) Dismaturitas
Dismaturitas adalah bayi baru lahir yang berat badan lahirnya tidak
sesuai dengan berat badan seharusnya untuk masa gestasi. Berat lahir
kurang dibawah beratlahir yang seharusnya untuk masa gestasi
tertentu atau kecil untuk masa kehamilan (KMK) yaitu kalau berat
lahirnya dibawah presentil ke-10 menurut kurva pertumbuhan
intrauterin Lubhenco atau dibawah 2 SD menurut kurva pertumbuhan
intrauterin Usher dan Mc.Lean. Pada preeklampsia atau eklampsia
terdapat spasmus arteriola spiralis desidua dengan akibat menurunnya
aliran darah ke plasenta. Perubahan plasenta normal sebagai akibatnya
kehamilan, seperti menipisnya sinsitium, menebalnya dinding
pembuluh darah dalam villi karena fibrosis dan konversi mesoderm
menjadijaringan fobrotik, dipercepat dprosesnya pada preeklampsia
atau eklampsia dan hipertensi. Menurunnya alrand arah ke plasenta
mengakibatkan gangguan fungdi plasenta. Pada hipertensi yang agak
lama pertumbuhan janin terganggu sehingga menimbulkan
dismaturitas, sedangkan pada hipertensi yang lebih pendek terjadi
gawat janin sampai kematiannya karena kekurangan oksigenasi.
Komplikasi dismaturitas adalah:23,26
a. Sindrom aspirasi mekonium
Kesulitan pernapasan yang sering ditemukan pada bayi dismatur.
Keadaan hipoksia intrauterin akan mengakibatkan janin mengadakan
gaping dalam uterus,. Slelain itu mekoneum akan dilepaskan kedalam
liquor amnion, akibatnya cairan yang mengandung mekonium masuk
57

kedalam paru janin karena inhalasi. Pada saat bayi lahir akan
menderita gangguan pernapasan.
b. Hipoglikema simptomatik
Penyebabnya belum jelas, tetapi mungkin sekal disebabkan karena
persediaan glikogen yang sangat kurang pada bayi dismaturitas.
c. Asfiksia neonatorum
Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan kegawatan bayi karena
terjadinya kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera
setelah lahir dan disertai dengan hipoksia dan hiperkapnea yang dapat
berlanjut menjadi asidosis. Asfiksia neonatorum dapat disebabkan
karena faktor ibu yaitu adanya gangguan aliran darah ke uterus.
Gangguan aliran darah ke uterus menyebabkan berkurangnya asupan
oksigen ke plasenta dan janin. Penilaian derajat asfiksia dapat
dilakukan dengan Apgar skor.
d. Penyakit membran hialin
Penyakit ini terutama mengenai bayi dismatur yang preterm,
disebabkan surfaktan belum cukup sehingga alveoli kolaps. Penyakit
ini terutama bila masa gestasinya kurang dari 35 minggu.
2) Prematuritas
Partus prematuritas sering terjadi pada ibu dengan eklampsia karena
terjaadi kenakan tonus uterus dan kepekaan terhadap perangsangan
yang meningkat. 23,26
3) Sindroma Distress Respirasi
Yoon (1980) melaporkan insidens sindrom distres respirasi pada bayi
yang dilahirkan dari ibu preeklampsia-eklampsia sebanyak 26,1-
40,8%. Beberapa faktor yang berperan terjadinya gangguan ini adalah
hipovolemk, asfiksia, dan aspirasi mekonium. 23,26
4) Trombositopenia
Trombositopenia pada bayi baru lahir dapat merupakan penyakit
sistemik primer sistem hemopoetik atau suatu transfer faktor-faktor
yang abnormal ibu. Kurang lebih 25-50% bayi yang dilahirkan dari
58

ibu dengan trombositopenia juga mempunyai jumlah trombosit kurang


dari 150.000/mm3 pada waktu lahir, tapi jumlah ini dapat segera
menjaadi normal. 23,26
5) Hipermagnesemia
Disebut hipermagnesemia bila kadar magnesium serum darah lebih
besar atau sama dengan 15 mEq/l. Hal ini dapat terjadi pada bayi baru
lahir dari ibu eklampsia dengan pengobatan magnesium. Pada keadaan
ini dapat terjadi depresi sususan saraf pusat, paralisis otot-otot skeletal
sehingga memerlukan pernapasan buatan. 23,26
6) Neutropenia
Bayi yang dilahirkan dari ibu dengan preeklampsia dan terutama
dengan sindroma HELLP dapat ditemukan neutropenia. Penyebabnya
tidak jelas, mungkin mempunyai hubungan dengan agent yang
menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah ibu melewati
plasenta janin. 23,26
7) Kematian Perinatal
Kematian perinatal terjadi karena asfiksia nonatorum berat, trauma
saat kejang intrapartum, dismaturitas yang berat. Beberapa kasus
ditemukan bayi meninggal intrauterin. 23,26

2.11 Tatalaksana Eklampsia22


Perawatan dasar eklamsia yang utama adalah terapi supotif untuk
stabilisasi fungsi vital, yang harus selalu diingat adalah ABC,
mengatasi dan mencegah kejang, mengatasi hipoksemia dan asidemia,
mencegah trauma pada saat pasien kejang, mengendalikan tekanan
darah, khususnya pada waktu krisis hipertensi, melahirkan janin pada
waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat.
Perawatan medikamentosa dan perawatan suportif eklamsia,
merupakan perawatan yang sangat penting. Tujuan utama pengobatan
medikamentosa eklamsia adalah mencegah dan menghentiukan
kejang, mencegah dan mengatasi penyulit, khususnya hipertensi krisis,
59

mencapai stabilisasi ibu seoptimal mungkin sehingga dapat


melahirkan janin pada saat dan dengan cara yang tepat.
Medikamentosa
 Obat antikejang
Obat antikejang yang menjadi pilihan pertama adalah magnesium
sulfat. Bila dengan jenis obat ini kejang masih sukar diatasi, dapat
dipakai obat jenis lain, misalnya tiopental. Sedangkan diazepam
penggunaannya harus diberikan oleh mereka yang berpengalaman.
 Magnesium sulfat (MgSo4)
Pemberian magnesium sulfat pada eklamsia dasarnya sama dengan
pembeeriannya pada pasien preeklamsia berat. Pengobatan suportif
terutama ditujukan untuk gangguan fungsi organ-organ penting.
 Perawatan koma
Tindakan pertama pada penderita yang jatuh koma adalah menjaga
dan mengusahakan agar jalan nafas atas tetap terbuka, yaitu dengan
manuver head tilt-neck lift, yaitu kepala direndahkan dan daerah leher
dalam posisi ekstensi ke belakang atau jaw-thrust, yaitu mandibula
kiri dan kanan diekstensikan ke atas sampbil mengangkat kepala ke
belakang yang dapat dilanjutkan dengan pemasangan oropharyngeal
airway.
Selain itu, semua benda yang ada dalam rongga mulut dan
tenggorokan, baik berupa lendir maupun sisa makanan, harus segera
dihisap secara intermiten, untuk mencegah terjadinya aspirasi bahan
lambung. Selain itu perlu juga monitoring kesadaran dan dalamnya
koma dengan memakai GCS dan kemungkinan pemasangan NGT.
 Perawatan edema paru
Bila terjadi edema paru, pemderita sebaiknya dirawat di ICU karena
membutuhkan perawatan animasi dengan respirator.
 Perawatan obstetrik
Sikap terhadap kehamilan adalah semua kehamilan dengan eklamsia
harus diakhiri, tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin.
60

Persalinana diakhiri bila sudah mencapai stabilisasi hemodinamik dan


metabolisme ibu.

2.12 Prognosis
- Bila penderita tidak terlambat dalam pengobatan maka gejala
perbaikan akan tampak jelas setelah kehamilannya diakhiri. Diuresis
terjadi setelah 12 jam postpartum, hal ini merupakan gejala pertama
penyembuhan. Tekanan darah kembali normal dalam beberapa jam
kemudian.
- Eklampsia tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya.
Prognosis janin: sering terjadi kematian intrauterin atau pada masa
neonatal.

C. Partus Prematurus
2.13 Definisi
Persalinan prematur menurut WHO adalah persalinan yang terjadi
antara usia kehamilan 20 minggu sampai kurang dari 37 minggu, dihitung
sejak hari pertama haid terakhir pada siklus 28 hari.
2.14 Etiologi Dan Faktor Resiko
Dalam sebagian besar kasus, etiologi persalinan preterm tidak
terdiagnosis dan umumnya multifaktor. Kurang lebih 30% persalinan preterm
tidak diketahui penyebabnya.28 Sedangkan 70% sisanya, disumbang oleh
beberapa faktor seperti kehamilan ganda (30% kasus),29 infeksi genitalia,
ketuban pecah dini, perdarahan antepartum, inkompetensia serviks, dan
kelainan kongenital uterus (20-25% kasus). Sisanya 15-20% sebagai akibat
hipertensi dalam kehamilan, pertumbuhan janin terhambat, kelainan kongenital
dan penyakit-penyakit lain selama kehamilan.28
Menurut Rompas(2004),15faktor risiko terjadinya persalinan
prematur dibagi menjadi faktor resiko mayor dan minor
Faktor risiko mayor
1) Kehamilan multipel
61

2) Polihidramnion
3) Anomali uterus
4) Dilatasi serviks > 2 cm pada kehamilan 32 minggu
5) Riwayat abortus 2 kali atau lebih pada trimester kedua
6) Riwayat persalinan preterm sebelumnya
7) Riwayat menjalani prosedur operasi pada serviks (cone biopsy,
loopelectrosurgical excision procedure)
8) Penggunaancocaineatauamphetamine
9) Serviks mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32
minggu
10) Operasi besar pada abdomen setelah trimester pertama
Faktor risiko minor
1) Perdarahan pervaginam setelah kehamilan 12 minggu
2) Riwayat pielonefritis
3) Merokok lebih dari 10 batang perhari
4) Riwayat abortus satu kali pada trimester kedua
5) Riwayat abortus > 2 kali pada trimester pertama
Pasien tergolong resiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor resiko
mayor; atau dua atau lebih faktor resiko minor; atau keduanya.
2.15 Diagnosis8
Diagnosis persalinan prematur dapat dilakukan dengan:
a. Anamnesis: penentuan usia kehamilan, faktor risiko
(riwayatobstetri, perdarahan, infeksi)
b. Gejala dini persalinan preterm
- Nyeri perut bawah dan/atau kram dan/atau pelvic pressure
- Nyeri pinggang belakang
c. Tanda persalinan preterm
- Kontraksi uterus : intensitas, frekuensi, durasi.
His yang regular dengan interval tiap 8-10 menit yang disertai
perubahan serviks. Kriteria Creasy dan Heron:
62

 Kontraksi uterus 4 kali dalam 20 menit atau 8 kali dalamsatu


jam, dan disertai dengan salah satu keadaan di bawahini:
 Pecahnya kantung amnion
 Pembukaan serviks > 2cm
 Pendataran serviks >50%
 Pendataran dan pembukaan serviks dinilai dengan pemeriksaan
berkala
.
2.16 Tata Laksana5
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm,
terutama untuk mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah:
1) Menghambat proses persalian preterm dengan pemberian tokolisis,
2) Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid
3) Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi dengan antibiotik
Rekomendasi tata laksana persalinan prematur:
1) Konfirmasi diagnosa persalinan preterm.
2) Kehamilan < 34 minggu dengan kemajuan persalinan progresif
(dilatasi servik > 4 cm) tanpa disertai indikasi ibu dan atau anak untuk
terminasi kehamilan. Observasi ketat kontraksi uterus dan DJJ dan
lakukan pemeriksaan servik serial untuk menilai kemajuan persalinan.
3) Kehamilan < 34 minggu : beri kortikosteroid untuk pematangan paru.
4) Kehamilan < 34 minggu pada wanita dengan kemajuan persalinan
yang tidak progresif (dilatasi servik <4 cm) cegah kontraksi uterus
dengan pemberian tokolitik dan berikan kortikosteroid serta
antibiotika profilaksis untuk GBS.
5) Pada kehamilan >34 minggu : lakukan observasi kemajuan persalinan
dan kesehatan janin intrauterin.
6) Pada kasus dengan persalinan aktif yang progresif (dilatasi serviks
>4cm) berikan antibiotika untuk profilaksis infeksi GBS pada
neonatus.
63

Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan,


tidak ada yang benar-benar efektif. Namun, pemberian tokolisis masih perlu
dipertimbangkan bila dijumpai kontraksi uterus yang regular disertai perubahan
serviks pada kehamilan preterm. Alasan pemberian tokolisis pada persalianan
preterm ialah:
1) Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur
2) Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir
surfaktan paru janin
3) Memberi kesempatan transfer intrauterine pada fasilitas yang
lebihlengkap
4) Optimalisasi personil.
Beberapa macam obat yang digunakan sebagai tokolisis, antara lain:
1) Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam,
dilanjutkan tiap 8 jam sampai kontraksi hilang, maksimum 40 mg/6
jam.Umumnya hanya diperlukan 20 mg. Obat dapat diberikan lagi jika
timbulkontraksi berulang.Dosis perawatan 3x10 mg.
2) Obat ß-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan
salbutamol dapat digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek
samping yang lebih kecil.Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50
µg/menit, sedangkan per oral: 4 mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau
terbutalin, dengan dosis per infus: 10-15 µg/menit, subkutan: 250 µg
setiap 6 jam sedangkan dosis per oral: 5-7.5 mg setiap 8
jam(maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah:
hiperglikemia,hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial,
edema paru.
3) Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv,
secara bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance).
Namun obat ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat
ditimbulkannya padaibu ataupun janin.Beberapa efek sampingnya
ialah edema paru, letargi, nyeridada, dan depresi pernafasan (pada ibu
dan bayi).
64

4) Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac,


nimesulide dapat menghambat produksi prostaglandin dengan
menghambatcyclooxygenases(COXs) yang dibutuhkan untuk produksi
prostaglandin. Indometasin merupakan penghambat COX yang cukup
kuat, namun menimbulkan risiko kardiovaskular pada janin. 8

Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan


surfaktan paru janin, menurunkan risikorespiratory distress
syndrome(RDS), mencegah perdarahan intraventrikular, necrotising
enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang akhirnya menurunkan
kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana
usiakehamilan kurang dari 35 minggu. Obat yang diberikan ialah
deksametason atau betametason. Pemberian steroid ini tidak diulang
karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian siklus
tunggalkortikosteroid ialah:
- Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.
- Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.
Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian
antibiotika yangtepat dapat menurunkan angka kejadian
korioamnionitis dan sepsis neonatorum.Antibiotika hanya diberikan
bilamana kehamilan mengandung risiko terjadinya infeksi,seperti pada
kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang dianjurkan ialah eritromisin
3 x500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lainnya ialah ampisilin 3 x 500
mg selama 3 hari,atau dapat menggunakan antibiotika lain seperti
klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena
risikonecrotising enterocolitis.
65

BAB III
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, Ny.Z, 21 tahun, datang ke rumah sakit dengan


keluhan Pasien datang dalam keadaan hamil anak pertama (G1P0A0M) dengan
usia kehamilan 32 minggu, tampak lemah, sesak, pusing berat dan pasien
sempat kejang selama 1x di rumah, selama 5 menit dan setelah kejang pasien
merasakan sangat lemas dan nyeri di daerah perut yang semakin sering dan
lama. Pasien merasakan gerakan janin aktif. Pasien merupakan rujukan dari
puskesmas, pasien menggunakan BPJS, dan dirujuk ke Rumah Sakit dr.
Soedarso, Pasien datang dari Puskesmas sudah terpasang infus MgSO4,
kemudian dilakukan pemeriksaan urinalisis dan hasil protein adalah +2.
Tekanan Darah di IGD RSUD Soedarso adalah 170/120 mmHg.
Selama kehamilan pasien tidak ada keluhan. Keluhan pusing,
pandangan kabur, sesak nafas, dan nyeri ulu hati disangkal. Namun, pasien
mengatakan masih memiliki darah tinggi semenjak hamil saat periksa di
puskesmas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah saat pertama kali
masuk IGD adalah 170/120 mmHg, dimana tekanan darah ini > 140/90 mmHg.
Kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium urinalisis, dan didapatkan hasil
protein urin negatif. Sehingga pada pasien ini digolongkan ke dalam hipertensi
gestasional. Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah
sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan diastolik ≥ 90 mmHg. Hipertensi gestasional
adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan
hipertensi menghilang setelah 3 bulan pascapersalinan atau kehamilan dengan
tanda-tanda preeklampsia tetapi tanpa proteinuria.
Adapun riwayat hipertensi sebelumnya dan riwayat hipertensi saat hamil
muda (trimester pertama) disangkal oleh pasien. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa hipertensi tersebut terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu meskipun
tidak ada catatan medis mengenai riwayat tekanan darah pasien sebelumnya.
66

Dan jika dilihat dari buku KIA milik pasien, tekanan darah selama pasien
memeriksakan kehamilannya ke Puskesmas berkisar antara 90/60 mmHg –
130/80 mmHg.
Setelah beberapa jam di VK, pasien kemudian merasakan pusing. Keluhan
nyeri ulu hati dan pandangan kabur disangkal. Tekanan darah 170/120 mmHg.
Kemudian pasien sempat kejang dirumah . Kejang seluruh tubuh. Kejang selama
5 menit dan selama kejang pasien tidak sadar. Kejang menghilang setelah pasien
diinjeksikan MgSO4. Dilakukan pemeriksaan urinalisis, dan hasil protein adalah
+2. Proteinuria adalah adanya protein dalam urin dalam jumlah ≥300 mg/dl dalam
urin tampung 24 jam atau ≥ 30 mg/dl dari urin acak tengah yang tidak
menunjukkan tanda-tanda infeksi saluran kencing. Sehingga pada kondisi ini,
pasien digolongkan ke dalam eklampsia.
Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan kejang tiba
tiba yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil, persalinan atau masa
nifas yang menunjukan gejala preeklampsia sebelumnya. Kejang di sini bersifat
grand mal dan bukan diakibatkan oleh kelainan neurologis. Pada pasien hipertensi
tanpa kejang, aliran darah cerebral mungkin bertahan sampai batas normal sebagai
hasil fenomena autoregulasi. Pada pasien dengan kejang, aliran darah cerebral dan
konsumsi oksigen lebih sedikit dibandingkan dengan wanita hamil biasa dan
terdapat penurunan aliran darah dan peningkatan tahanan vaskuler pada sirkulasi
uteroplasental pada pasien preeklamsia/eklamsia.
Eklampsia yang terjadi adalah eklampsia gravidarum (antepartum). Sekitar
75% kejang eklampsia terjadi sebelum melahirkan.
Seluruh kejang eklampsia didahului dengan preeklampsia. Pada pasien ini
sebelummnya didiagnosis hipertensi gravidarum, karena hasil pemeriksaan
laboratorium urinalisi adalah protein (-). Namun diperkirakan ada kekeliruan hasil
laboraorium pada pasien ini, karena sebelum ke RSAA, pasien juga sudah
melakukan pemeriksaan urinalisis di RS DKT dan hasilnya adalah protein +1.
Menurut Sibai terdapat beberapa perubahan klinis yang memberikan
peringatan gejala sebelum timbulnya kejang, adalah sakit kepala yang berat dan
menetap, perubahan mental sementara, pandangan kabur, fotofobia, iritabilitas,
67

nyeri epigastrik, mual, muntah. Namun, hanya sekitar 50% penderita yang
mengalami gejala ini. Prosentase gejala sebelum timbulnya kejang eklampsia
adaah sakit kepala yang berat dan menetap (50-70%), gangguan penglihatan (20-
30%), nyeri epigastrium (20%), mual muntah (10-15%), perubahan mental
sementara (5-10%). Pada pasien sebelum terjadi kejang, pasien mengeluhkan sakit
kepala.
Kehamilan ini merupakan kehamilan pertama pasien. Hipertensi
gestasional lebih sering terjadi pada wanita nulipara. Duckitt melaporkan nulipara
memiliki risiko hampir tiga kali lipat (RR 2,91, 95% CI 1,28 – 6,61).
Penanganan eklampsia sama dengan preeklampsia berat, kecuali bahwa
persalinan harus berlangsung dalam 6 jam setelah timbulnya kejang pada
eklampsia. Perawatan dasar eklamsia yang utama adalah terapi supotif untuk
stabilisasi fungsi vital, yang harus selalu diingat adalah ABC, mengatasi dan
mencegah kejang, mengatasi hipoksemia dan asidemia, mencegah trauma pada
saat pasien kejang, mengendalikan tekanan darah, khususnya pada waktu krisis
hipertensi, melahirkan janin pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat.
Pada pasien ini ketika terjadi kejang dilakukan tatalaksana pertama dengan
memperbaiki ABC dan mengatasi kejang dengan memberikan injeksi MgSO4.
Pemberian sulfas magnesikus sebagai antikejang lebih efektif
dibandingkan fenitoin berdasarkan penelitian Cochrane review terhadap enam uji
klinik. Sulfas magnesikus menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuscular. Transmisi
neuromuscular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian sulfas
magnesikus, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsang tidak
terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium).
Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja sulfas
magnesikus.
Adapun sikap terhadap kehamilannya pada kasus ini yaitu dilakukan
terminasi kehamilan (perawatan aktif) dimana indikasinya adalah umur kehamilan
kurang dari 37 minggu, yaitu usia kehamilan pasien 32 minggu. Pemilihan
terminasi kehamilan dipilih apakah pervaginam atau perabdominal bergantung
68

pada beberapa keadaan. Dipilih perabdominal jika persalinan pervaginam tidak


bisa atau diharapkan kelahiran bayi lebih cepat. Pada pasien ini segera dilakukan
tindakan sectio cesarea setelah pasien mengalami kejang.
Kondisi pasien termasuk dalam kondisi partus prematurus. Persalinan
prematur menurut WHO adalah persalinan yang terjadi antara usia kehamilan 20
minggu sampai kurang dari 37 minggu, dihitung sejak hari pertama haid terakhir
pada siklus 28 hari. Eklamsi merupakan salah satu faktor risiko yang
menyebabkan persalinan prematur. Partus prematuritas sering terjadi pada ibu
dengan eklampsia karena terjaadi kenaikan tonus uterus dan kepekaan terhadap
perangsangan yang meningkat.
Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan
paru janin, menurunkan risikorespiratory distress syndrome(RDS), mencegah
perdarahanintraventrikular,necrotising enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang
akhirnya menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana
usiakehamilan kurang dari 35 minggu.Obat yang diberikan ialah deksametason
atau betametason. Pemberian steroid initidak diulang karena risiko pertumbuhan
janin terhambat. Pada pasien ini mendapatkan injeksi dexametason 2x2 ampul.
Pasca operasi hari kedua, pemberian obat sudah diberikan secara peroral
mengingat pada hari kedua fungsi sistim gastrointestinal telah berfungsi dengan
baik dimana ditandai dengan bising usus yang positif normal. Kondisi pasien baik,
hanya saja tekanan darah pasien adalah 150/80 mmHg. Pasien mendapat terapi Inj
ceftriaxon 1 gr/12 jam, Inj MgSO4 dilanjutkan jika TD >=140/90 mmHg. Inj
Asam traneksamat 1 amp/12 jam, Inj Ondancentron 4 mg/ 8 jam, Inj. Ketorolac 30
mg/ 8jam.
69

BAB IV
KESIMPULAN

Pasien 21 tahun G1P0A0M0 dengan usia kehamilan 33-34 minggu datang


ke RS karena mengeluhkan pengeluaran air dari jalan lahir dan disertai rasa
mulas. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
pasien didiagnosis sebagai eklampsia. Eklampsia dapat menyebabkan komplikasi
neonatal, contohnya prematuritas (17%), seperti pada pasien ini. Diagnosis
obstetri G1P0A0 H33-34 minggu + kala 1 fase aktif + eklampsia. Tata laksana pada
pasien mengikuti protap tatalaksana Eklampsia. Tata laksana obstetri yaitu
dilakukan terminasi pada kehamilan. Prognosis secara keseluruhan adalah dubia
ad bonam.
70

DAFTAR PUSTAKA

1. BPS dan ORC. Macro Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002
2003, Claverton, Maryland, USA; ORC Macro, 2003 .
2. Sudhaberata, Ketut. Penanganan Preeklampsia Berat dan Eklampsia.
Cermin Dunia Kedokteran. 2000:133 h26-30
3. GOI & UNICEF. Laporan Nasional Tindak Lanjut Konfrensi Tingkat
TinggiAnak (Draff) 2000.
4. Dorland, W.A.Newman. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2002
5. Cunningham FG. Williams Obstetric. 23rd Ed. New York: Medical
Publishing Division. 2010
6. Hacker N. F. 2001. Esensial Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Hipokrates.
pp. 179-85
7. Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan Ed. 4. Jakarta: P.T. Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
8. Himpunan Kedokteran Feto Maternal POGI. Panduan Penatalaksanaan
Hipertensi dalam Kehamilan. 2010
9. Trijatmo. Preeklamsia dan Eklamsia, dalam: Ilmu Kebidanan Edisi III.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2005.
10. Mochtar, Rustam. 2007. Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC
11. Steegers EA et al. Pre-eclampsia. Lancet. Elsevier. 2010
12. Derek Lewellyn-jones, Dasar-Dasar Obstetric dan Ginekologi, Alihbahasa:
Hadyanto, Ed.6 Jakarta. 2001
13. Kaufman P et al. Endovascular Trophoblast Invasion: Implications for the
Pathogeneis of Intrauterine Growth Retardation an Preeclampsia. Biol
Reprod 2003 Jul;69(1):1-7
14. Levy R. The Role of Apoptosis in Preeclampsia. Isr Me Assoc J. 2005
Mar;7(3):178-81
71

15. Castro C. L. Chapter 15. Hypertensive Disorders of Pregnancy. In :


Essential of Obstetri and Gynecology. 4th Ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders pp. 2004
16. Wiknjosastro. Ilmu KebidananEdisi III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. 2006
17. Sudhaberata K. Penanganan Preeklampsia Berat dan Eklampsia. Cermn
Dunia Kedokteran 2001;133 p26-30
18. Manuaba I. B. G. 2007. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga
Berencana. Jakarta: EGC
19. Wibowo B., Rachimhadi T. 2006. Preeklampsia dan Eklampsia, dalam :
Ilmu Kebidanan. Edisi III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
20. Lim, Kee-Hak. Preeclampsia. Medscape. 2013
21. Bobak, Margaret Duncan. Perawatan Maternitas dan Ginekologi.
Bandung: YIA-PKP. 2000
22. Winkjosastro H, Ssaifuddin AB, Rachimhadhi T, editors. Preeklampsia dan
eklampsia. In : Ilmu kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2007.
23. Edgar MN, Albert K, Richard R, Beatrice IM, Anthony NM..Maternal and
Perinatal Outcomes among Eclamptic Patients Admitted to Bungado Medical
Centre, Mwanza, Tanzania. African Journal of Reproductive Health. 2012;
16(1): 35.
24. Sopiyudin D. Ukuran Kekuatan Hubungan Rasio Odd (RO) dan Risiko
Relatif (RR) In :Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : Salemba
Medika; 2011.
25. Choudary P. Eclampsia : a Hospital Based Retrospective Study. Kathmandu
Univercity Medical Journal. 2003; 1 (4) : 237 – 241.
26. Anna EC, Susane H, Alysin JL. Risk Factor for Eclampsia : a Population-
based Study in Washington State, 1987-2007. American Journal of Obstetri
and Gynecology. 2011; 205 : 553.
72

27. Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. Hipertensi dalam kehamilan.
In : Astuti NZ, Purba Dl, Handayani S, Damayanti R, editors. Pengantar
kuliah obstetri. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG; 2003.
28. Guaschino S, De Seta F, Piccoli M, Maso G, Alberico S. Aetiology of
preterm labour: bacterial vaginosis. Br J Obstet Gynecol. 2006;113 Suppl
3:46-51.
29. Mercer BM, Goldenberg RL, Meis PJ, Moawad AH, Shellhaas C, Das A,
et al. The Preterm Prediction Study: prediction of preterm premature
rupture of membranes through clinical findings and ancillary testing. The
National Institute of Child Health and Human Development Maternal-
Fetal Medicine Units Network. Am J Obstet Gynecol 2000;183(3):738-45

You might also like