You are on page 1of 7

Nama : Ikhwandaru Mandegani

NIM : 21/476840/EK/23430
Program Studi : S1 Manajemen

TUGAS AGAMA ISLAM 2


Membaca dan Meringkas Jurnal

Jurnal 1 :
“Developing Islamic Finance in the Framework of Maqasid al-Shari’ah Understanding the
Ends (maqasid) and The Means (wasa’il)”
By : Mohamad Akram Laldin and Hafas Furqani

A. Keuangan Islam
Sistem keuangan islam tidak hanya digunakan oleh orang muslim saja, tetapi juga
masyarakat non-muslim. Meskipun fenomena ini dapat dilihat oleh beberapa orang sebagai
bagian dari kebangkitan Islam global untuk merekonstruksi warisan Islam di zaman modern,
minat dalam praktiknya secara nyata dipicu oleh nilai-nilai yang ditawarkannya. Kepentingan
dalam Islam yang terkait dengan keuangan, pada dasarnya didorong oleh harapan bahwa
keuangan Islam dapat dengan tertata menawarkan perspektif yang sesuai untuk memahami
masalah ekonomi untuk fondasi bagi pengelolaan ekonomi.
Harapan ini sangat sejalan dengan konsep maqasid al-Syari'ah (tujuan syariah).
Perdagangan dan keuangan dipandang sebagai bagian penting dari Syariah.

B. Maqasid al-Syari'ah: makna dan dimensi


Maqasid al-Syari'ah diterjemahkan sebagai tujuan dan sasaran syariah. Maqasid al-
Syari'ah dalam perspektif ini terdiri dari tujuan di mana syariah didirikan dan yang diarahkan
oleh semua tindakan manusia. Syariah merupakan keputusan (ahkam) yang mencakup
semua aspek sistem kepercayaan ('aqidah), hubungan antara individu dan Tuhan ('ibadah),
dan hubungan antara manusia(mu'amalah), serta sistem etika dan moralitas (akhlaq).
Memahami syariah ini memiliki implikasi bagi pendekatan yang akan diambil dalam
mengembangkan keuangan Islam dan menetapkan arahnya. Pemahaman maqasid sebelum
meletakkan pedoman atau menetapkan aturan praktis adalah penting untuk mendapatkan
output yang benar dari proses ijtihad (Al-Qaradawi, 2007, hlm. 137).
Dalam prakteknya, proses seperti itu akan membawa kita pada pendekatan yang
seimbang dalam memperoleh hukum dari teks (nusus) dan menghasilkan hasil yang
moderat dan adil (Al-Qur'an, 55: 8-9). Selain itu, ia menghindari dua ekstrem: pendekatan
literal ekstrem, yang mengabaikan dan menggagalkan maqasid dengan mengemban
pemahaman tekstual yang kaku, dan pendekatan liberal ekstrem, yang mengabaikan dan
menggagalkan maqasid dengan secara longgar menafsirkan teks menggunakan penalaran
intelektual yang tak terkendali.
Oleh karena itu, maqasid membuka jalan ijtihad bersama-sama dengan prosedur al-fiqh
untuk memperoleh hukum untuk memastikan bahwa kekuatan hukum diatur dalam putusan
hukum praktis (Kamali, 2000, hlm. 22).

C. Ujungnya (maqasid) dalam keuangan Islam


Berkenaan dengan keuangan Islam khususnya, maqasid al-Syariah mengacu pada
tujuan dan makna keseluruhan yang ingin dicapai syariah dari prinsip dan keputusannya
yang terkait dengan kegiatan keuangan dan transaksi (Laldin, 2008, hlm. 77).
Berkaca pada berbagai teks Al-Qur'an dan Sunnah tentang kegiatan keuangan, dapat
dinyatakan bahwa syariah telah mempertimbangkan tujuan tertentu dalam pemberlakuan
hukum dan prinsip keuangan.
C.1 Sirkulasi kekayaan
Sirkulasi kekayaan mencakup semua proses yang berkaitan dengan penciptaan
kekayaan, konsumsi dan distribusi. Tujuan ini berasal dari penjelasan Al-Qur'an tentang
alasan di balik aturan mengenai distribusi: "[... ] agar kekayaan tidak beredar di antara orang
kaya di masyarakat saja" (Al-Qur'an, 59:7). Islam bermaksud agar sumber daya berjalan
lancar di seluruh ekonomi dalam mengejar kesejahteraan manusia dan kontinuitas
antargenerasi.
kekayaan adalah kepercayaan Allah (amanah), itu harus dihabiskan di ujung yang benar.
Kegiatan komersial dan keuangan dipandang positif sebagai mekanisme untuk
meningkatkan kesejahteraan manusia secara keseluruhan. Islam mendorong kekayaan
untuk dipekerjakan dalam kegiatan produktif. Dana tidak boleh disia-siakan (Al-Qur'an, 6:
141; 25: 67), dibiarkan menganggur (Al-Qur'an, 9: 34) atau disalahgunakan dan dikelola
secara tidak profesional (Al-Qur'an, 4: 5). ). Lembaga keuangan Islam, termasuk bank
Islamic, perusahaan takaful, reksa dana dan perusahaan lain, memainkan peran dalam
sirkulasi sumber daya di masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan manusia.
C.2 Praktik Keuangan yang adil dan transparan
Kebolehan (ibahah) adalah prinsip menyeluruh yang mengatur transaksi komersial
dan keuangan. Prinsip ibahah ini bertujuan untuk memudahkan terwujudnya maslahah
dan menghilangkan kesulitan dan kerugian dalam transaksi keuangan. Oleh karena itu,
kebebasan kontrak tidak hanya diakui sebagai bagian dari sistem tetapi juga dijamin dan
diperlakukan sebagai elemen penting dari setiap kontrak yang valid.
Keadilan berarti kesetaraan dan kejujuran antara pihak yang bertransaksi serta efisiensi
dalam transaksi. Islam tidak menyetujui semua praktik komersial yang melibatkan bahaya
eksplisit atau implisit dan menyesuaikan diri dengan pihak-pihak yang berkontraksi atau
kepada masyarakat luas dan yang membatasi kebebasan perdagangan atau berdiri
melanggar perintah Al-Qur'an atau perilaku bisnis yang disetujui (Balala, 2011, hlm. 6).
C.3 Keadilan dalam dimensi makro dan mikro
Maqsad praktik keuangan yang adil dan transparan terkait dengan tujuan mikro
syariah dalam instrumen dan mekanisme transaksional. Maqsad ini berkaitan dengan
keinginan memiliki tatanan sosial yang adil dan hanya transaksi di antara individu-individu
dalam transaksi keuangan.
Tujuan ini ditandai dalam Al-Qur'an dengan konsep yang benar, keadilan,
menempatkan hal-hal di tempat yang tepat, kesetaraan, harmoni, keseimbangan, dan
moderasi. Ini termasuk hak -hak (huquq) untuk kesempatan yang sama, untuk tidak
dieksploitasi dan untuk menerima valuation sejati dari kerja seseorang.
Pada tingkat makro, tujuannya adalah untuk mewujudkan keadilan sosial. Tujuan
utama dari sirkulasi sumber daya adalah untuk mencapai keadilan, efisiensi maksimum dan
peningkatan kesejahteraan manusia secara umum.
Pada tingkat mikro, prinsip keadilan mencakup urusan individu.Transaksi menuntut
hak dan peluang yang sama dan tidak diizinkan untuk ditegakkan tanpa persetujuan
bersama dari kedua belah pihak (taradi ). Demikian juga, transaksi yang tidak adil atau
tindakan yang tidak dapat dibenarkan yang menyebabkan ketidakadilan ekonomi atau
eksploitasi dikutuk, misalnya: penyuapan (rashwah), penipuan (ghish), kecurangan (tadlis),
ketidakpastian dan kurangnya kejelasan (gharar) dan peningkatan kekayaan yang tidak
dapat dibenarkan (riba).

D. Sarana (wasa'il) dalam keuangan Islam


Ada perbedaan penting antara maqasid dan wasa'il dalam aspek-aspek tertentu.
Sementara prinsip dan tujuan (maqasid) tetap, mapan dan permanen, berarti (wasa'il) dapat
berubah karena harus disesuaikan dengan efektif untuk mewujudkan tujuan tetap tersebut
dalam konteks keadaan yang selalu berubah.
D.1 Memfasilitasi kontrak keuangan
Untuk melembagakan kelancaran peredaran kekayaan di masyarakat, syariah
memfasilitasi berbagai jenis transaksi dan sangat mendorong umat Islam untuk melakukan
dan berpartisipasi dalam jenis kegiatan keuangan yang diperlukan (Laldin, 2008). Oleh
karena itu, kebebasan kontrak dijamin begitu lama sehingga tidak memusnahkan keadilan
sebagaimana disebarkan oleh maqasid al-Syari'ah (Kamali, 2000, hlm. 69-70).
Secara umum, kontrak nominasi Islam yang terkait dengan transaksi ekonomi
diklasifikasikan ke dalam tiga kategori utama: pertukaran (mu'awadat), kemitraan (ishtirak),
dan serampangan (tabarru'at).
Kontrak dirancang untuk melayani tujuan khusus mereka. Oleh karena itu, setiap
kontrak harus dihormati dan dipenuhi tidak hanya untuk melindungi kepentingan para pihak,
tetapi juga untuk melayani tujuan di mana kontrak itu disahkan (Al-Qur'an, 5: 1).
Kesepakatan bersama (iqalah); atau Pencabutan dan penghentian karena alasan khusus
( faskh) seperti ketidakmungkinan (istihalah) kinerja kontraktual atau pembubaran otomatis
oleh kematian, penghancuran materi pelajaran, berakhirnya periode, pencapaian tujuan, dll
(Islam, 1998, hlm. 339).
Oleh karena itu, bersama dengan persetujuan berbagai fasilitas kontrak dan menekankan
pemenuhan kewajiban kontrak, hukum Islam juga menyediakan berbagai cara untuk
menghapus kewajiban kontrak dalam situasi kesulitan dan kebutuhan yang tidak dapat
dihindari.
D.2 Menetapkan nilai dan standard
Transaksi yang transparan dan adil dianggap sebagai salah satu tujuan utama
syariah dalam transaksi dan kegiatan keuangan. Dalam hal ini, ini bertujuan untuk
menciptakan suasana transaksional yang setara dan adil dan melindungi para pihak
terhadap eksploitasi atau ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban timbal balik mereka.
Oleh karena itu, penerapan syariah di bidang keuangan dan komersial seharusnya
tidak mengakibatkan cedera, bahaya atau kesulitan bagi individu atau masyarakat luas
Pertukaran ekonomi dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai Islam, yang harus
diterjemahkan ke dalam keputusan praktis yang mencegah fasad (tindakan korupsi seperti
transaksi yang tidak adil, kasar, keserakahan, individualisme yang tak terkendali dan
eksploitasi orang lain. Menurut Abtani (2007): Hukum Islam tidak dapat dipisahkan dari
prinsip-prinsip moral, etika dan agamanya; sebaliknya, aturan akan sia-sia. Dengan kata
lain, system Islam tidak bisa sekuler. Ini karena semua 285 aturan Islam, termasuk ekonomi
dan politik, terkait dengan iman, kepercayaan dan penyembahan Islam.
Dari perspektif mikro transaksi, dalam upaya untuk mencapai keadilan, Islam
menempatkan langkah-langkah untuk "menyamakan kedudukan" di antara para pihak dalam
sebuah kontrak. Itu termasuk penghapusan faktor-faktor yang akan mendistorsi kesetaraan
atau memungkinkan satu pihak untuk mendapatkan dengan mengorbankan orang lain.
Di antara elemen negatif utama adalah riba dan gharar.
Riba dilarang karena memungkinkan peningkatan kekayaan yang tidak dapat
dibenarkan dalam transaksi. Riba sangat terkait dengan ketidakadilan. Penghapusan riba
juga menyatakan bahwa Islam mempromosikan pembiayaan kooperatif dan partisipatif
untuk mobilisasi sumber daya dan sirkulasi di masyarakat sebagai sarana untuk
produktivitas umum dan kesejahteraan.
Gharar juga dilarang dan dianggap sebagai elemen negatif utama yang akan
mencegah transaksi keuangan yang adil. Gharar didefinisikan sebagai karakteristik yang
membuat konsekuensi dan hasil masa depan dari transaksi tidak diketahui atau tidak pasti
Dalam pendekatan maqasidic, hukum dan etika, nilai-nilai dan praktek, bentuk dan substansi
harus mengintegrasikan dan tidak bertentangan satu sama lain.
Oleh karena itu, larangan dan parameter syariah tidak boleh dipahami hanya dengan
cara legalistik atau formalistik. Sebaliknya, perhatian harus difokuskan pada inti dan
substansi nilai-nilai dan prinsip-prinsip.

D.3 Melembagakan tanggung jawab sosial


Dalam semangat keadilan sosial, Islam menyeimbangkan hak-hak individu dengan
tugas dan tanggung jawab mereka terhadap orang lain. Konsep fardu kifayah (kewajiban
sosial) menempatkan tanggung jawab pada mereka yang mampu atau lebih baik untuk
membantu mereka yang tidak mampu atau yang lebih buruk
Meskipun lebih diketahui bahwa tanggung jawab ini dilakukan dari kesadaran moral bahwa
adalah benar untuk mengurus dan membantu sesama manusia, sebuah economy Islam
juga realistis dalam mengakui tanggung jawab negara. Oleh karena itu, beberapa
mekanisme lain diperlukan.
Keuangan Islam adalah bagian dari ekonomi Islam yang memiliki potensi untuk
berkontribusi besar terhadap pencapaian tujuan sosial ekonomi utama Islam seperti
keadilan sosial ekonomi dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil (Chapra, 1985,
hlm. 34).
Kemajuan keuangan syariah akan dipantau dengan seberapa baik ia mewujudkan maqasid
dalam menghasilkan ekonomi yang baik yang ditandai dengan semangat persaudaraan
(ukhuwwah) and kerjasama (ta'awun), kesetaraan sosial dan keadilan ('adalah), alokasi
sumber daya yang adil dan adil, penghapusan kemiskinan, perlindungan lingkungan
dan pencapaian kesejahteraan umum (maslahah).

Referensi
Laldin, M. A. dan Hafas Furqani. (2013). Developing Islamic Finance in the
Framework of Maqasid al-Shari’ah, Understanding the Ends (Maqasid)
and the Means (Wasa’il). Ekonomi Syariah: Akademi Penelitian Syariah
Internasional
Jurnal 2 :
“Maqasid Ash-Shari’ah Framework and the Development of Islamic Finance Products: The
Case of Indonesia”
By : Abdul Qoyum

A. Latar Belakang
Keuangan Islam telah banyak mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini
dapat dilihat dari kemajuan baru-baru ini di mana produk keuangan Islam telah berkembang
dan mendapatkan penerimaan yang lebih luas di berbagai bidang. Contohnya, seperti
lindung nilai Islam (tahawwuth al-Islami) yang sebelumnya dianggap sebagai produk
terlarang, sekarang diterima sebagai produk yang sesuai syariah untuk memenuhi tujuan
manajemen risiko. Selain itu, ada banyak produk keuangan Islam lainnya yang sebelumnya
dianggap sebagai instrumen yang melanggar hukum, sekarang diterima oleh para ulama
Islam.
A.1 Keuangan Islam
Dalam keuangan Islam, nilai-nilainya tercermin dari Maqasid Ash-Syari'ah atau
tujuan syariah dengan tujuan akhir untuk mempromosikan kesejahteraan manusia (Asutay,
2012). Oleh karena itu, dengan menerapkan secara ketat beberapa standar umum dalam
Maqasid Ash-Syari'ah, masalah konvergensi dalam keuangan Islam terhadap sistem neo-
klasik yang ada dapat diatasi secara bertahap. Selain itu, meniru keuangan konvensional
yang telah dipraktikkan dalam industri keuangan syariah (Asutay dan Harningtyas, 2015), di
mana produk sangat concern dalam memenuhi 'bentuk' daripada 'substansi' (atau fungsi
sosial), dapat dikurangi. Padahal, 'substansi' syariah memiliki implikasi penting bagi
terwujudnya Maqasid Ash-Syari'ah yang sama pentingnya dalam penataan produk syariah
(Dusuki dan Abozaid, 2007). Dalam hal ini, Maqasid Ash-Syari'ah shoud menjadi yang
terdepan dalam pengembangan produk keuangan syariah.
A.2 Konsentrasi Maqasid Ash-Syariah
Dalam konteks keuangan Islam, Maqasid Ash-Syari'ah tidak hanya berfokus pada
larangan riba, tetapi juga untuk mempromosikan sirkulasi kekayaan di masyarakat,
kelangsungan investasi kekayaan, mencapai kemakmuran ekonomi bagi seluruh
masyarakat dengan memenuhi kebutuhan dasar mereka, transparansi dalam kegiatan
keuangan, dan diizinkannya kepemilikan pribadi dan publik atas kekayaan (Hurayra, 2015).
A.3 Maqasid Dalam Keuangan Islam
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Laldin dan Furqani (2013)
mendokumentasikan tiga ujung spesifik (Maqasid) dalam keuangan Islam, yaitu: (i) sirkulasi
kekayaan, (ii) praktik keuangan yang adil dan transparan, dan (iii) keadilan di tingkat mikro
dan makro. Untuk mencapai tujuan tersebut, syariah menyediakan sarana (wasa'il) seperti
memfasilitasi kontrak keuangan, menetapkan nilai dan standar dan melembagakan
tanggung jawab sosial. Namun, Maqasid Ash-Syari'ah kecil seperti membebaskan dari
segala jenis utang dan manfaat lain yang terkait dengan faktor makroekonomi belum
tercapai. Penelitian lain oleh Asutay dan Harningtyas (2015) menunjukkan bahwa kurangnya
prestasi dalam kinerja Maqasid Ash-Syari'ah dari bank dan keuangan Syariah.
B. Tinjauan Literatur
Maqasid Ash-Syari'ah adalah elemen terpenting dari praktik keuangan Islam saat ini.
Oleh karena itu, jelas sebagai aspek integral dari syariah dan titik kunci dewan pengawas
syariah lembaga keuangan Islam (Antonio dan Sanrego, 2012). Selain itu, Dusuki dan
Abozaid (2007) mendefinisikan Maqasid Ash-Syari'ah sebagai tujuan utama dan alasan
syariah. Pemeriksaan yang komprehensif dan cermat terhadap putusan syariah
memerlukan pemahaman bahwa syariah bertujuan untuk melindungi dan melestarikan
kepentingan publik (maslahah) dalam semua aspek dan segmen kehidupan.
B.1 Pentingnya Maqasid Ash-Syari’ah
Maslahah adalah salah satu perangkat yuristik yang selalu digunakan dalam teori
hukum Islam untuk mempromosikan kepentingan publik dan mencegah kejahatan sosial
atau korupsi. Maqasid Ash-Syari'ah sangat penting untuk dicapai dalam keuangan Islam
karena beberapa alasan. Kedua, transaksi bisnis dalam perdagangan domestik dan
internasional harus didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Islam, dan tujuan mendasar
Maqasid AshShari'ah di bidang keuangan dan bisnis harus diterapkan sebagai pedoman inti
untuk menerapkan semua jenis transaksi keuangan. Dengan kata lain, Maqasid Ash-
Syari'ah harus mengelola dan mengatur prinsip syariah keuangan Islam (Lachsasna dan
Sulaiman, 2010).
B.2 Pengembangan produk Keuangan Syariah
Selain itu, dalam konteks pengembangan produk di bidang keuangan syariah,
Maqasid Ash-Syari'ah harus dijadikan pedoman dasar dalam merancangnya. Akhir dari
Maqasid adalah; sirkulasi kekayaan; praktik keuangan yang adil dan transparan; dan
keadilan dalam dimensi makro dan mikro. Ada beberapa elemen dalam hal ini yaitu;
memfasilitasi kontrak keuangan; Menetapkan nilai dan standar; dan melembagakan
tanggung jawab sosial (Laldin dan Furqoni, 2013).
Secara khusus, produk berbasis syariah tidak hanya akan memenuhi bentuk dan
substansi hukum Islam, tetapi juga akan memenuhi kebutuhan kelangsungan hidup dan
keamanan semua bagian populasi termasuk orang miskin dan pengusaha kecil / mikro.
Dengan demikian, produk berbasis syariah adalah produk yang sesuai syariah untuk
mewujudkan tujuan sosial. Dengan kata lain, kita dapat mengatakan produk ini adalah
sebagai produk yang sesuai dengan Maqasid.
C. Metode
Makalah ini adalah penelitian kualitatif yang ditulis berdasarkan literatur keuangan
Islam dan Maqasid Ash-Syari'ah.
D. Pembahasan
Beberapa dari pendapat Ahli mengatakan bahwa produk keuangan Islam, saat ini,
tidak dapat mencapai Maqasid Ash-Syari'ah. Hal ini dapat dilihat dari semua produk mereka
dimana, meniru produk, di mana sama dengan rekan-rekan konvensionalnya,
mempengaruhi keberadaan produk keuangan Islam. Kondisi ini, berdasarkan semua fakta di
atas sangat penting dalam pandangan kepercayaan dari masyarakat yang berkaitan dengan
kualitas keuangan syariah untuk menyelesaikan masalah masyarakat.
D.1 Peran Pemangku Kepentingan
Sangat penting bagi pemangku kepentingan keuangan Islam untuk membahas
kerangka Maqasid Ash-Syari'ah, terutama tentang bagaimana mengembangkan produk
keuangan Islam. Produk keuangan syariah yang diupayakan untuk mewujudkan keadilan
sosial harus fokus pada bagaimana mengedarkan kekayaan masyarakat, efisiensi dalam
pemanfaatan sumber daya, pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, penghapusan
kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan manusia.Dalam mengembangkan produk
keuangan syariah, semua di atas Maqasid harus menjadi kerangka utama dalam pikiran
mereka. Sangat penting untuk memastikan bahwa produk yang dikeluarkan tidak hanya
sesuai dengan syariah, tetapi juga Maqasid Ash-Syari'ah. Otoritas syariah akan memastikan
bahwa semua praktik keuangan syariah mematuhi syariah dan juga sejalan dengan visi
syariah dalam mencapai kepentingan publik. Semua bagian ini sangat penting dalam
mewujudkan produk keuangan Islam dapat berkontribusi secara signifikan terhadap
Maqasid al-Syari'ah. Dalam sudut pandang teknis, mengembangkan produk keuangan
syariah dapat menggunakan beberapa pepatah hukum sebagai pedoman teknis.

D.2 Maxim Hukum, Maqasid al-Syari'ah dan Aplikasinya


1. Hal-hal yang ditentukan sesuai niat adalah seluruh aktivitas manusia didorong oleh
niatnya.
2. Bahaya ditolak sejauh mungkin. Setiap potensi bahaya bagi masyarakat harus
dicegah sebanyak mungkin. Bank-bank Islam tidak boleh terlibat dalam kegiatan apa
pun yang mungkin dalam jangka panjang menyebabkan kerugian bagi masyarakat.
Misalnya, terlibat dalam kegiatan perdagangan spekulatif.
3. Bahaya harus diakhiri. Setiap kerusakan harus dihilangkan dan mencoba
memperbaiki kerusakan. Jika bank Syariah mengidentifikasi pelanggaran syariah
dalam kegiatannya, tindakan segera harus diambil untuk memperbaiki transaksi.
Langkah-langkah korektif harus dilakukan untuk memastikan peristiwa seperti itu
mungkin tidak terulang di masa depan.
4. Tidak ada kesalahan yang harus ditimbulkan saat mengangkat suatu permasalahan.
Dalam upaya untuk menghilangkan kerusakan atau kerusakan, itu tidak boleh
menimbulkan jenis bahaya lain baik dalam tingkat bahaya yang sama atau lebih
buruk. Dalam mengelola risiko bank tidak boleh menggunakan alat manajemen risiko
konvensional yang dapat menimbulkan risiko lebih tinggi seperti menggunakan
derivatif atau teknik sekuritisasi.
5. Kerusakan parah dihindari oleh kerusakan yang lebih ringan. Jika kerusakan tidak
dapat dihindari, strateginya adalah memilih kerusakan yang lebih ringan. Dalam hal
bank syariah tidak memiliki pilihan lain kecuali menggunakan kontrak kontroversial
seperti tawarruq dalam mengelola likuiditasnya, mungkin melakukannya karena
kerusakan bank yang
6. Bahaya harus Dihilangkan Pepatah ini menyatakan bahwa segala bentuk bahaya
yang dapat menimpa orang-orang dalam salah satu aspek penting dari kehidupan
mereka harus dihilangkan. Bank Indonesia harus menaikkan persyaratan kualifikasi
pendapatan kepada pemohon kartu kredit untuk mencegah masyarakat mengambil
lebih banyak utang.
7. Pencabutan bahaya lebih disukai daripada pencapaian benefts. Jika ada konflik
antara bahaya dan beneft, wajib untuk mencabut atau mencabut kerugian terlebih
dahulu Instrumen berbasis utang seperti murabaḥah, mengingat kontraknya yang
sah, penggunaannya yang luas menonjolkan ketidaksetaraan.
8. Kesulitan Melahirkan Fasilitas Pepatah ini menunjukkan bahwa Islam memiliki
kepedulian yang kuat dalam menghilangkan kesulitan dan kesulitan dan
mempromosikan kemudahan. Penentuan biaya aktual untuk setiap produk
perbankan syariah sangat sulit. Oleh karena itu, bank syariah dapat menggunakan
akumulasi dan kemudian didistribusikan ke semua produk.
9. Sarana diperlakukan sebagai target mereka Harus ada korelasi antara mean dan
tujuan Akumulasi aset oleh lembaga keuangan Syariah diperbolehkan. Namun,
caranya juga harus sesuai dengan syariah.
10. Kebutuhan membuat hal yang dilarang Diperbolehkan Dalam krisis tersebut, bank
dapat mengeluarkan peraturan pembatasan yang ditarik untuk mengurangi dampak
pada stabilitas keuangan.
11. Manajemen Urusan warga negara tergantung pada kesejahteraan publik. Pepatah ini
menunjukkan bahwa tindakan siapa pun yang merupakan wali atas sesuatu harus
tunduk pada pemenuhan kepentingan orang-orang yang menjadi tanggung jawab
mereka. Penyaluran zakat harus diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan.

Referensi
Qoyum, A. (2018). Maqasid Ash-Shari’ah Framework and the Development of
Islamic Finance Products: The Case of Indonesia. Universitas Ekonomi
Islam Tazkia: Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat.

You might also like