You are on page 1of 23

TIPOLOGI DAN MORFOLOGI

RUMAH ADAT BATAK

ARYUS AJRUNA AZIFAH


211501053
https://www.google.com/url?sa=i&url

SUKU BATAK
Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa terbesar
di Indonesia, berdasarkan sensus dari Badan Pusat Satistik pada
tahun 2010. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk
mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan
berasal dari Pantai Barat dan Pantai Timur di provinsi Sumatera
Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak
adalah Angkola, Karo, Mandailing, Pakpak/Dairi, Simalungun,
dan Toba. Batak adalah rumpun suku-suku yang mendiami
(merdeka.com) sebagian besar wilayah Sumatera Utara. Namun sering sekali
orang menganggap penyebutan Batak hanya pada suku Toba,
padahal Batak tidak hanya suku Toba.
SEJARAH
Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia, tetapi tidak diketahui kapan nenek
moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatra Timur. Bahasa dan
bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia
dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu
pada zaman batu muda (Neolitikum). Karena hingga sekarang belum ada
artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak, maka dapat
diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatra Utara pada zaman logam.
Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang
bernama Barus, yang terletak di pesisir barat Sumatra Utara. Mereka berdagang kapur
Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak
bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada
abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya
pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatra. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan
kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di
pesisir barat dan timur Sumatra Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam,
hingga Natal. Hingga saat ini, teori-teori masih diperdebatkan tentang asal usul dari Bangsa
Batak. Mulai dari Pulau Formosa (Taiwan), Indochina, Mongolia, Mizoram dan yang paling
kontroversial Sepuluh Suku yang Hilang dari Israel
KEPERCAYAAN
Sebelum suku Batak Toba menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai
sistem kepercayaan dan religi terhadap Mulajadi na Bolon yang memiliki kekuasaan
di atas langit dan pancaran kekuasaannya terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:
Tendi/tondi: adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena
itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi didapat sejak seseorang di dalam
kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan
sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari
sombaon yang menawannya.
Sahala: adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang
memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan
sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
Begu: adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan
tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha.
Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, tetapi orang
Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di
dalam hati sanubari mereka.
KEKERABATAN
Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk
kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis,
sementara kekerabatan teritorial tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak,
dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui
perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan
Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah
Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang sering kali
disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan
do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga,
karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga,
walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.
MATA PENCAHARIAN
Umumnya masyarakat Batak bercocok tanam padi di sawah dan di ladang. Lahan ini
didapatkan dari pembagian yang didasarkan dari marga. Setiap keluarga akan
mendapatkan tanah namun tidak bleh menjualnya. Selian tanah Ulayat ada juga tanah
yang dimiliki perseorangan.
Mereka juga beternak, diantaranya beternak kerbau, babi, sapi, ayam, kambing dan
bebek. Menangkap ikan dilakukan oleh sebagian warga yang tinggal disekitar danau
Toba. Kerajinan juga berkembang seperti tenun, ukiran kayu, anyaman rotan, tembikar
dan lainnya yang berkaitan dengan pariwisata.
RUMAH ADAT BATAK
Suku Batak adalah salah satu Kebudayan Arsitektur yang terdapat di daerah Sumatera
Utara yang dalam perkembangannya telah mengalami perubahan dan pertumbuhan
dalam hal kebudayaan dari masa kemasa dalam rentang waktu yang cukup lama.
Keragaman agama, budaya dan bahasa yang terdapat di daerah tersebut merupakan
salah satu yang biasa di jadikan referensi dari perkembangan kebudayaan tersebut.
Ditinjau dari segi sejarahnya, suku Batak merupakan daerah yang sudah memiliki salah
satu peradaban cukup tua di dunia.Suku Batak terdiri dari enam kelompok yang
sebagian besar menempati daerah Sumatera Utara, terdiri dari Batak Karo, Simalungun,
Pak-Pak, Toba, Angkola dan Mandailing.
RUMAH ADAT KARO

Rumah Adat Batak Karo merupakan rumah adat untuk masyarakat daerah Karo dan termasuk salah
satu rumah adat yang menarik. Rumah Adat Batak Karo Sumatera Utara ini dikenal juga sebagai
rumah adat Siwaluh Jabu. Siwaluh Jabu memiliki pengertian sebuah rumah yang didiami delapan
keluarga. Masing-masing keluarga memiliki peran tersendiri di dalam rumah tersebut.
Rumah Adat Batak Karo Sumatera Utara ini berbeda dengan rumah adat suku lainnya dan kekhasan
itulah yang mencirikan rumah adat Karo. Bentuknya sangat megah diberi tanduk. Proses pendirian
sampai kehidupan dalam rumah adat itu diatur oleh adat Karo, dan karena itulah disebut rumah
adat.
Penempatan keluarga-keluarga dalam Rumah Adat Karo Sumatera Utara ditentukan oleh adat Karo.
Secara garis besar rumah adat ini terdiri atas jabu jahe (hilir) dan jabu julu (hulu). Jabu jahe juga
dibagi menjadi dua bagian, yaitu jabu ujung kayu dan jabu rumah sendipar ujung kayu.
Tetapi, ada kalanya Rumah Adat Karo Sumatera Utara terdiri atas delapan ruang dan dihuni oleh
delapan keluarga. Sementara dalam rumah ini hanya ada empat dapur. Masing-masing jabu dibagi
dua sehingga terbentuk jabu-jabu sedapuren bena kayu, sedapuren ujung kayu, sedapuren lepar
bena kayu, dan jabu sedapuren lepar ujung kayu.
Rumah Adat Siwaluh Jabu Desa Budaya
Lingga Karo
Desa Budaya Lingga terletak di Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, merupakan
perkampungan Batak Karo yang memiliki rumah - rumah adat berumur ratusan tahun,
tetapi kondisinya masih kokoh. Sebuah rumah bisa dihuni oleh 6-12 keluarga yang masih
memiliki hubungan kekerabatan. Rumah adat Karo ini hanya memiliki sebuah ruangan
yang tidak dipisahkan oleh pembatas apapun. Namun, terdapat garis batas imajinatif
sebagai pembatas ruangan.
Perkampungan Karo zaman dulu memiliki beberapa bangunan adat selain rumah adat
Siwaluh Jabu, diantaranya yaitu Jambur, Sapo Ganjang/page, Geriten, Lesung, dan
Kantur – Kantur. Semua bangunan adat ini menjadi pelengkap kebutuhan ruang
masyarakat Karo pada zaman dahulu, yang semuanya terbuat dari kayu dan ijuk.
Ciri khas kampung/desa Karo pada zaman dulu, yaitu (Singarimbun, 1989) :
• Rumah – rumah yang berkumpul dan kompak secara fisik.
• Terdiri atas lebih dari 100 keluarga.
• Tanah merupakan hak bersama.
• Sebuah desa dipagar dengan satu pagar saja. Pembuatan pagar bertujuan agar babi
yang mereka pelihara tidak berkeliaran merusak ladang di luar desa. Hal ini berarti
bahwa, pada zaman dulu ternak babi mereka dibiarkan terlepas di dalam desa.
Kemudian, di dalam desa tidak terdapat tanaman/ kebun (gambar 6).
• Suasana atap ijuk dimana – mana.
• Aktivitas penghuni desa zaman dulu, yaitu : pria melakukan pekerjaan berladang dan
menghabiskan waktu di kedai kopi atau jambur. Sedangkan yang wanitanya
memasak, menganyam, menumbuk padi di lesung, dan memberi makan babi.
Kondisi Fisik Rumah Adat Siwaluh Jabu Desa Budaya
Lingga Karo
Rumah adat siwaluh Jabu di Desa Budaya Lingga yang tersisa hanya
dua rumah, yaitu Rumah Gerga (gambar 7) dan Rumah Belang Ayo
(gambar 8) yang keduanya merupakan peninggalan marga
Sinulingga. Pada tahun 2006, masih ada dua rumah adat Siwaluh
Jabu lain yang tersisa, yaitu Rumah Bangun dari marga ginting dan
Rumah Manik dari marga Manik. Namun, pada tahun 2011, kedua
rumah tersebut sudah rusak dan roboh.
Pada tahun 1920 ada sekitar 28 rumah. Semakin lama semakin
banyak yang rusak, tersisa 15 buah pada tahun 1990an. Pada tahun
2006, masih ada tersisa empat buah rumah yang kemudian rusak
dan roboh pada tahun 2011. Sekarang hanya dua buah rumah adat
Desa Budaya Lingga yang tersisa, rumah Gerga dan rumah Belang
Ayo.
Pergeseran Pola Ruang Rumah Adat Siwaluh Jabu
Desa Budaya Lingga Karo
Menurut Singarimbun (1989), faktor eksternal yang menyebabkan punahnya Rumah
Adat Siwaluh Jabu, yaitu :
• Saat perjuangan melawan Belanda pada tahun 1947, lebih dari 70% rumah adat
Siwaluh Jabu yang ada di Kabupaten Karo dibumihanguskan sesuai kebijaksanaan
strategi perang pada masa itu.
• Sumber daya rumah adat sudah tidak ada lagi, yaitu hutan desa sebagai persediaan
kayu dan ijuk untuk membuat rumah adat.
• Tukang/pekerja pembuat rumah adat sudah tidak ada lagi.
• Biaya perawatan rumah yang mahal.
• Hujan deras, pengaruh suhu rendah dataran tinggi, dan gempa bumi yang berasal
dari Gunung Sinabung.
Adapun faktor internal yang menyebabkan punahnya Rumah Adat Siwaluh Jabu antara
lain dikarenakan penghuni atau ahli waris rumah adat lebih menginginkan tempat
tinggal yang lebih praktis dan bertambahnya keinginan akan privasi. Beberapa
contohnya, yaitu :
• Meningkatnya aspirasi menyekolahkan anak karena pendidikan sudah jauh
bertambah maju. Rumah adat tidak memenuhi syarat sebagai tempat belajar, hal ini
dikarenakan susana di dalam rumah adat yang ribut dan perlengkapan interior
rumah yang tidak memungkinkan.
• Berkurangnya civil pride orang Karo terhadap rumah adatnya. Pada awal tahun
1960an mulai timbul masalah – masalah ini. Misalnya : sudah tidak ada lagi keinginan
untuk menghuni apalagi membangun rumah adat, adanya hubungan – hubungan
yang kurang selaras antara sesama penghuni rumah, anak tidak bisa belajar, dan
friksi masalah kecurian antara keluarga yang berbeda dalam satu rumah.
• Rasa gotong royong sudah menipis, hal ini dikarenakan tuntutan zaman bahwa orang
– orang harus lebih menghargai waktu dari sebelumnya.
Pada tahun 2012, atas kerja sama beberapa pihak seperti Badan Warisan Sumatera,
Universitas Katolik Santo Thomas Medan, dan masyarakat, rumah Gerga dan rumah
Belang Ayo diperbaiki. Bagian rumah yang diperbaiki antara lain, pelapisan atap ijuk
yang sebagian sudah sompel, penambahan tiang pada bagian dalam rumah, kayu dan
papan lantai rumah, bambu pada ture (serambi), dan membuat pondasi umpak dari
beton pada rumah Belang Ayo. Setelah dilakukan penelitian terdapat beberapa
pergeseran pola ruang dari rumah Gerga dan Rumah Belang Ayo. Diantaranya, terdapat
sekat panjang dari pangkal hingga ujung rumah berbahan triplek di sisi kiri interior
rumah (tabel 2), baik rumah Gerga maupun rumah Belang Ayo. Sekat ini menjadi
pembatas antara ruang bersama dengan kamar. Dengan demikian tercipta kenyamanan
privasi bagi pengguna rumah. Namun, hal ini dapat mengurangi salah satu ciri khas
rumah adat Batak Karo, yaitu rumah tanpa sekat atau pembatas.
pergeseran yang telah terjadi saat ini pada Desa Budaya Lingga
jika dibandingkan dengan aslinya dulu.
1. Pondasi

Dahulu Sekarang

Ada beberapa pondasi dari rumah Gerga yang ditutupi oleh semen, sedangkan rumah Belang
Ayo semua pondasinya diganti dengan pondasi umpak dari beton. Pondasi rumah adat Batak
Karo seharusnya hanyalah batu gunung yang dilapisi dengan ijuk agar tiang kayu tidak
bergeser saat terjadi gempa.
2. Sapo page/ganjang

Dahulu Sekarang

Sapo ganjang/page sudah beralih fungsinya menjadi Taman Bacaan Anak.


3. Dinding sekat pembatas interior rumah

Dahulu Sekarang

Terdapat sekat Panjang dari pangkal hingga ujung rumah berbahan triplek di sisi kiri interior
rumah, baik rumah Gerga maupun rumah Belang Ayo. Sekat ini menjadi pembatas antara
ruang bersama dengan kamar. Hal ini dapat mengurangi salah satu ciri khas rumah adat Batak
Karo, yaitu rumah tanpa sekat atau pembatas.
4. Jambur

Dahulu Sekarang

Jambur sekarang yang ada masih terlihat seperti bangunan baru, menandakan bahwa jambur
yang ada dewasa ini bukanlah jambur dahulu yang pernah ada.
5. Gapura (Pintu Masuk Desa)

Sekarang

Kerabangen adalah pintu masuk/gerbang desa Karo zaman dahulu. Karena satu desa di
pagar, maka Kerabangen adalah pintu gerbangnya. Seekarang, hanya gapura biasa dan
berfungsi sebagai Kantor Kepala Desa.
KESIMPULAN

a. Di Desa Budaya Lingga masih terdapat beberapa bangunan adat peninggalan nenek moyang
suku Karo yang merupakan suatu bukti sejarah dari sekian banyak rentetan peristiwa-peristiwa
yang terjadi dimasa silam.
b. Tersisa dua buah Rumah Adat Siwaluh Jabu dari 28 rumah yang pernah ada, yaitu Rumah Gerga
dan Rumah Belang Ayo yang masih dapat kita lihat keberadaannya dan dapat kita wariskan
kepada generasi selanjutnya sebagai bukti sejarah di Kabupaten Karo, khususnya Desa Budaya
Lingga.
c. Selain kedua rumah Siwaluh Jabu, bangunan-bangunan adat bersejarah yang masih dapat kita
lihat dan kunjungi di Desa Budaya Lingga antara lain adalah bekas Sapo ganjang/page dan
jambur.
d. Pergeseran pola ruang yang terjadi pada rumah adat di Desa Budaya Lingga diantaranya, yaitu :
• Terdapat dinding sekat pembatas di dalam rumah.
• Sapo ganjang/page yang direkonstruksi dan sudah beralih fungsi.
• Jambur yang sudah direkonstruksi, menggunakan kolom – kolom beton dan penutup atap dari
seng.
KESIMPULAN

Dari hasil analisa dapat disimpulkan bahwa hanya sebagian kecil dari bangunan adat
Karo di Desa Budaya Lingga yang tersisa dan masih dipertahankan sebagaimana bentuk
dan fungsi aslinya. Sangat disayangkan bahwa rumah adat Karo di Desa Budaya Lingga
hanya tersisa dua buah rumah saja dari 28 rumah adat yang pernah ada. Untuk
bangunan adat lainnya, seperti sapo ganjang, jambur, geriten, lesung, dan lain – lain
kondisinya lebih memprihatinkan lagi. Tidak satupun dari bangunan – bangunan
tersebut yang dilestarikan sebagaimana bentuk/pola aslinya.
Terlihat kurangnya kepedulian dan civil pride dari masyarakat Karo baik pemilik dan
pemerintah untuk tetap menjaga keaslian peninggalan bersejarah yang mana
merupakan warisan dari nenek moyang yang tak ternilai harganya.
DAFTAR PUSTAKA

Ulfa, Farida., & Pane, Imam Faisal. (2017). PERGESERAN POLA RUANG PADA RUMAH ADAT KARO
SIWALUH JABU (STUDI KASUS DESA BUDAYA LINGGA, KARO, SUMATERA UTARA). 382-389.
http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/t!@file_artikel_abstrak/Isi_Artikel_364973874158.pdf ,
diakses pada 9 November 2021 pukul 05.49.

Rambe, Yunita Syafitri. (2019). Analisis Arsitektur pada Rumah Tradisional Batak Toba di Kabupaten
Toba Samosir, Balige. Journal of Architecture and Urbanism Research, 47.
https://ojs.uma.ac.id/index.php/jaur/article/download/2912/pdf1 , diakses pada diakses pada 9
November 2021 pukul 09.06.

Fiwka, Estriana. (2018). Sejarah, Bahasa, Kesenian, Kepercayaan dan Mata Pencaharian Suku Batak.
https://www.masterpendidikan.com/2018/10/sejarah-bahasa-kesenian-kepercayaan-dan-mata-penc
aharian-suku-batak.html , diakses pada 9 November 2021 pukul 08.48.

You might also like