You are on page 1of 10

HUKUM DALAM RANGKA MENEGAKKAN KEADILAN

A. Menumbuhkan Kesadaran Untuk Taat Hukum Tuhan (Rta/Dharma)


Menurut ajaran Hindu yang menciptakan alam semesta beseta isinya yaitu,
semua mahluk hidup, air, udara dan yang lainnya adalah Tuhan. Untuk mengatur
dan menjaga hubungan antara partikel-partikel yang diciptkan-nya itu, tuhan
menciptakan hukum yang murni dan abadi bersifat absolute berlaku bagi semua
ciptaan-Nya. Hukum itu disebut hukum rta, “rta” berasal dari Bahasa Sansekerta
yang artinya “adil”, sedangkan anrta berarti tidak adil.
Tuhan sebagai pencipta dan pengendali hukum rta sehigga beliau disebut
dengan Rtawan. Hukum rta mengatur seluruh alam dan komponennya. Satupun
komponen semua ciptaan Tuhan seperti yang diuraikan oleh mantram Reg Veda
sebagai berikut ini :

Ia yang bersinar, menyebabkan yang tidak bersinar menjadi bersinar dengan


hukum (rta) ia menyalakan fajar, ia menjalankan kuda yang terkendalikan oleh
Hukum Abadi (rta). Membuat manusia senangn dengan kereta menuju terang
(R.VI.39.4).

Adapun contoh hukum rta tersebut adalah :


 Matahari terbit di timur, tenggelam di barat.
 Air mengalir dari tempat yang tinngimenuju tempat yang lebih rendah.
 Adanya siang dan malam.
 Adanya siklus kehidupan (Adanya rangkaian lahir, hidup, dan mati).

Rta yang menyatu-padukan alam dengan hukum alam merupakan disiplin hidup
dan juga merupakan disiplin untuk menciptakan keindahan dan keharmonisan
dalam hidup ini, Rta juga mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam
hidup ini, karena memberikan kesempatan pada setiap mahluk untuk tumbuh dan
berkembang seperti uraian mantram ini :

“Memalui Hukum Abadi engkau telah menyebarkan tumbuh-tumbuhan yang


berkembang dan berbuah, dan mengalirkan air engkau mengeliarkan halilintar di
langit. Engkau sangat luas meliputi alam yang amat luas, patut dipuja” (R.II.13.7).
Apabila rta ini dilanggar atau tidak dejalankan sesuai dengan aturannya
maka akan timbul ketidakhamonisan dalam kehidupan ini. Karena rta yang
mengatur alam beserta isinya. Tuhan juga menciptakan hukum yang khususnya
berlaku untuk manusia yaitu Dharma. Dharma berasal dari bahasa sansekerta yang
berasal dari urat kata dhr yang artinya mengaku, menjaga, memelihara. Jadi arti
kata Dharma dalam arti yang lebih luas berarti “ajaran’. Kewajiban atau
peraturan-peraturan suci yang mengatur hidup manusia. Seperti yang diuraikan
dalam Sloka Canti Parwa, sebagai berikut :

“Lokasamgrahasamyuktam

widartrwihitam pura

Suksma dharmathaniyatam

Satam caritam utta unam”

Artinya :

Kesentosaan umat manusia dan kesejahteraan masyarakat datang dari Dharma.


Laksana dan Budi yang luhur untuk kesejahteraan manusia itulah Dharma yang
utama (Canti Parwa 256.26)

Sesuai dengan anjuran agama, yaitu “moksartham jagadhita ya ca iti dharma”.


Untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat/lahir dan batin, maka dharmalah
sebagai penuntunnya. Sehingga dalam aplikasinya dibedakan menjadi 2 bagian
yaitu:
1. Swa dharma dan,
2. Para dharma.
Swa dharma berarti sadar akan tugas dan kewajiban masing-masing dan apabila
kewajiban itu di jalankan dengan sebaik-baiknya barulah “moksartham dan
jagadhita” akan terwujud
Dalam mmenjalankan swa dharma, ini dibedakan menjadi empat kelompok tugas
yang disebut “catur warna”. Kata Catur Warna berasal dari bahasa Sanskerta yang
terdiri dari kata ''Catur" berarti empat dan kata "warna" yang berasal dari urat
kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau
empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan
(karma) seseorang, serta kwalitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan,
pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh
ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan
yang kemudian terkenal dengan istilah Catur Warna itu ialah: Brahmana, Ksatrya,
Wesya, dan Sudra.

Disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan fungsional di dalam


Warna masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam
Brahmana swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan. Dan juga memiliki tugas
untuk mengambangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan

Disimbulkan dengan warna merah adalah golongan fungsional di dalam


Warna masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam
Ksatrya swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan
keamanan negara.

Disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan fungsional di dalam


Warna
masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang
Wesya
kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain).

Disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan fungsional di dalam


Warna
masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang
Sudra
ketenagakerjaan.

Apabila masing-masing golongan ini menuaikan kewajibannya dengan


baik akan terwujud ketentraman dan keharmonisan di masyarakat. Dalam
perjalanan kehidupan di masyarakat dari masa ke masa pelaksanaan sistem Catur
Warna cenderung membaur mengarah kepada sistem yang tertutup yang disebut
Catur Wangsa atau Turunan darah. Pada hal Catur Warna menunjukkan pengertian
golongan fungsional, sedangkan Catur Wangsa menunjukkan Turunan darah.

Para dharma adalah peraturan yang berlaku pada setiap orang, apapun
profesinya ataupun warnanya apapun jenis kelaminnya, di dalam setiap tingkatan
umur, dimanapun berada, diikat oleh aturan tersebut. Apabila melanggar aturan ini
akan terjadi benturan-benturan yang menyebabkan kesengsaraan dalam hidup ini.
Di samping hal tersebut, masih ada sumber dalam Weda untuk menuntun
umatnya, untuk sadar dan taat pada hukum sebagai berikut :

“Cruti smrtyudhita dharma

manutisthanti manawah

iha kirtimawapnoti

canuttamam sukham” (D.S.II.9)

Artinya :

“Orang mengikuti hukum diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan mengikuti adat
istiadat yang keramat mendapat kemasyuran di dunia ini dan setelah meninggal
mendapat kebahagiaan yang tak terbatas.

Dari uraian diatas, dijelaskan bahwa agama Hindu menuntut umatnya


untuk selalu sadar dan taat pada Hukum Tuhan.

B. Peranan Agama Hindu dalam Merumuskan dan Menegakkan hukum


yang Adil
Menurut weda hukum hindu bersumber pada:
1. Çruti
1. Sruti sebgai Sumber Hukum Hindu Pertama Di dalam Manawadharmasastra 11.10
dikatakana ‘Srutistu wedo wijneyo dharma sastram tu wai smerti, te sarwatha
wam imamsye tabhyam dharmohi nirbhabhau”. Artinya: sesungguhnya Sruti
adalah Weda, Smerti itu Dharmasastra, keduanya tidak boleh diragukan apapun
juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber dari pada hukum.
Selanjutnya mengenai Weda sebagai sumber hukum utama, dapat kita lihat dari
sloka 11.6 dirumuskan sebagai berikut: Wedo khilo dharma mulam smerti sile ca
tad widam, acarasca iwa sadhunam atmanas tustirewa ca. Artinya : seluruh Weda
sumber utama dari pada hukum, kemudian barulah smerti dan tingkah laku orang-
orang baik, kebiasaan dan atmanastuti. Pengertian Weda sebagai sumber ilmu
menyangkut bidang yang sangat luas sehinga Sruti dan Smerti diartikan sebagai
Weda dalam tradisi Hindu. Sedangakan ilmu hukum Hindu itu sendiri telah
membatasi arti Weda pada kitab Sruti saja. Kitab-kitab yang tergolong Sruti
menurut tradisi Hindu adalah : Kitab Mantra, Brahmana dan Aranyaka. Kitab
Mantra terdiri dari : Rg Weda, Sama Weda, Yajur Weda dan Atharwa Weda.

2. Smerti
Smrti sebagai Sumber Hukum Hindu Kedua Smrti merupakan kitab-kitab
teknis yang merupakan kodifikasi berbagai masalah yang terdapat di dalam Sruti.
Smrti bersifat pengkhususan yang memuat penjelasan yang bersifat authentik,
penafsiran dan penjelasan ini menurut ajaran Hukum Hindu dihimpun dalam satu
buku yang disebut Dharmasastra. Dari semua jenis kitab Smrti yang terpenting
adalah kitab Dharmasastra, karena kitab inilah yang merupakan kitab Hukum
Hindu.
Ada beberapa penulis kitab Dharmasastra antara lain:
 Manu
 Apastambha
 Baudhayana
 Wasistha
 Sankha Likhita
 Yanjawalkya
 Parasara

Dari ketujuh penulis tersebut, Manu yang terbanyak menulis buku dan dianggap
sebagai standard dari penulisan Hukum Hindu itu.

Secara tradisional Dharmasastra telah dikelompokkan manjadi empat kelompok


menurut jamannya masing- masing yaitu:
 Jaman Satya Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Manu.
 Jaman Treta Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Yajnawalkya.
 Jaman Dwapara Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Sankha Likhita.
 Jaman Kali Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Parasara.

3. Sila
Sila sebagai Sumber Hukum Hindu Ketiga. Sila di sini berarti tingkah laku.
Bila diberi awalan “su” maka menjadi susila yang berarti tingkah laku orang-
orang yang baik atau suci. Tingkah laku tersebut meliputi pikiran, perkataan dan
perbuatan yang suci. Pada umumnya tingkah laku para maharsi atau nabi
dijadikan standar penilaian yang patut ditauladani. Kaedah-kaedah tingkah laku
yang baik tersebut tidak tertulis di dalam Smerti, sehingga sila tidak dapat
diartikan sebagai hukum dalam pengertian yang sebenarnya, walaupun nilai-
nilainya dijadikan sebagai dasar dalam hukum positif.

4. Sadacara
Sadacara sebagai Sumber Hukum Hindu Keempat Sadacara dianggap sebagai
sumber hukum Hindu positif. Dalam bahasa Jawa Kuno Sadacara disebut Drsta
yang berarti kebiasaan. Untuk memahami pemikiran hukum Sadacara ini, maka
hakekat dasar Sadacara adalah penerimaan Drsta sebagai hukum yang telah ada di
tempat mana Hindu itu dikembangkan. Dengan demikian sifat hukum Hindu
adalah fleksibel.

5. Atmanastuti
Atmanastuti sebagai Sumber Hukum Hindu Kelima. Atmanastuti artinya rasa
puas pada diri sendiri. Perasaan ini dijadikan ukuran untuk suatu hukum, karena
setiap keputusan atau tingkah laku seseorang mempunyai akibat. Atmanastuti
dinilai sangat relatif dan subyektif, oleh karena itu berdasarkan
Manawadharmasastra109/115, bila memutuskan kaedah-kaedah hukum yang
masih diragukan kebenarannya, keputusan diserahkan kepada majelis yang terdiri
dari para ahli dalam bidang kitab suci dan logika agar keputusan yang dilakukan
dapat menjamin rasa keadilan dan kepuasan yang menerimanya.

Penegakan hukum yang adil dalam ajaran Hindu mempunyai konsep yang
jelas dijabarkan atau diaplikasikan dalam konsep sraddha atau keimanan Hindu di
bagian yang ketiga, yaitu Karma Phala. Karma Phala merupakan hukum universal
yang memberikan dalil atau rumusan yang pasti. Karma Phala berasal dari dua
kata yaitu “karma” yang berasal dari urat atau akar kata dari bahasa sansekerta
yang berarti membuat yang berarti perbuatan, sedangkan phala yang berarti hasil.
Jadi dapat disimpulkan bahwa karma phala adalah sebuah perbuatan akan
mendatangkan hasil, juga bisa disebut hukum sebab akibat, yaitu segala sebab
berupa perbuatan akan membawa hasil dari perbuatan tersebut dimana hasil
tersebut dapat berupa baik maupun buruk. Untuk lebih pasti kita perhatikan sloka
dibawah ini :
“Karma Phala ngaran ika paraning gawe ala ayu (slokantara)”
Artinya :
Karma Phala adalah akibat dari perbuatan baik dan buruk

Dalam Sarasamuscaya seloka 17 disebutkan :


“Segala orang, baik golongan rendah, menengah, atau tinggi, selama kerja
menjadi kesenangan hatinya, niscaya tercapailah segala yang diusahakan akan
memperolehnya.”
Hukum Karma Phala adalah hukum sebab – akibat, Hukum aksi reaksi, hukum
usahan dan hasil atau nasib. Hukum ini berlaku untuk alam semesta, binatang,
tumbuh – tumbuhan dan manusia. Jika hukum itu ditunjukan kepada manusia
maka di sebut dengan hukum karma dan jika kepada alam semesta disebut hukum
Rta.
Karma memberikan pahala yang pasti, apa yang kita nikmati dalam
kehidupan ini tidak semata-mata merupakan takdir dari Tuhan. Kehidupan ini
sendirilah yang menentukan. Kalau kita berbuat yang baik maka kita akan
memperoleh pahala yang baik pula, demikian pula sebaliknya kalau kita berbuat
yang tidak baik maka penderitaanlah yang kita nikmati. Namun, perlu diingat
bahwa penikmatan dari hasil itu sendiri dapat dirasakan dalam 3 (tiga)
kemungkinan, yaitu :
a) Prarabda Karma Phala yaitu perbuatan yang dilakukan pada kehidupan
sekarang dan diterima dalam hidup sekarang juga.
Contoh : 1. Jika kita memakan cabe, maka mulut kita akan terasa pedas.
2. Jika kita mengambil api, maka tangan kita akan terbakar.

b) Kriyamana Karma Phala yaitu perbuatan yang dilakukan sekarang di dunia ini
tetapi hasilnya akan diterima setelah mati di alam baka.
Contoh : Jika seseorang berbuat baik, suka menolong, dan jujur maka
setelah meninggal akan mendapatkan sorga, begitu juga sebaliknya, jika
seseorang berbuat kurang baik, maka setelah meninggal akan mendapatkan
neraka.
c) Sancita Karma Phala yaitu perbuatan yang dilakukan sekarang hasilnya akan di
peroleh pada kelahiran yang akan datang.
Contoh : Ada seseorang yang dalam kehidupan sekarang selalu berbuat
jahat namun dia tetap menikmati kebahagiaan. Itu berarti karma baik yang
terdahulu pada kehidupan sebelumnya dinikmati pada kehidupan sekarang.

Sifat – Sifat Hukum Karma :


a) Hukum karma itu bersifat abadi : Maksudnya sudah ada sejak mulai penciptaan
alam semesta ini dan tetap berlaku sampai alam semesta ini mengalami pralaya
(kiamat).
b) Hukum karma bersifat universal : Artinya berlaku bukan untuk manusia tetapi
juga untuk mahluk – mahluk seisi alam semesta.
c) Hukum karma berlaku sejak jaman pertama penciptaan, jaman sekarang, jaman
yang akan datang.
d) Hukum karma itu sangat sempurna, adil, tidak, ada yang dapat menghindarinya.
e) Hukum karma tidak ada pengecualuan terhadap suapapun, bahkan bagi Sri Rama
yang sebagai titisan Wisnu tidak mau merubah adanya keberadaan hukum karma
itu.

C. Fungsi Propetik Agama Hindu dalam Hukum


Agama hindu memberikan tuntutan dan arahan moral yang benar pada
pemeluknya untuk menuju tujuan hidup. Tuhan menciptakan manusia dengan 2
unsur yaitu unsur positif dan negative. Untuk menjalani Swa Dharma dan para
darma supaya tidak terjadi benturan antara dua hal tersebut, maka manusia
membuat aturan yang disebut hukum, dan agama sebagai dasar hukum tersebut.
Materi hukum yang diambil dari nilai-nilai agama yang ada, dengan kata lain
agama sebagai induk berlaku dari Hukum itu sendiri sehingga tujuan agama
selaras dengan tujuan hukum, yaitu menuntun dan mengarahkan manusia untuk
mencapai keharmonisan dalam hidup.

Dalam Pustaka Suci Weda dan Pustaka Suci Agama Hindu lainnya,
terdapat ungkapan-ungkapan yang merupakan fungsiprofetik dalam hukum, dari
sudut pandang Agama Hindu, di antaranya ialah “Weda Smerti” (Manu Smerti) :
VII.20.31.VII.14:15
“Bila Raja tidak menghukum dengan tidak jemu-jemunya kepada orang-oprang
yang patut dihukum, maka yang kuat akan melalapnyang lemah, seperti ikan
dalam tempayan”.

“Hukum dapat divonis tepat (bijaksana) hanya oleh orang-orang yang suci, setia
kepada janji yang bertindak selalu menurut Dharma (Lembaga Dharma) oleh
orang yang mempunyai pembantu ahli dan bijaksana”.

“Dimana keadilan dirusak oleh ketidak adilan atau kebenaran atau kelobaan,
sedangkan hakim melihatnya, mereka akan dihancurkan pula”.

“Keadilan yang dilanggar, menghancurkan; keadilan yang dipelihara akan


menjaminnya, oleh karena itu jangan dilanggar, melanggar keadilan akan
menghancurkan kita sendiri”.

Demikianlah ungkapan dalam Weda Smerti (Manu Smerti atau Manava


Dharma Sastra). Selanjtunya, dapat kami kemukakan ungkapan dalam Wiracarita
Ramayan, yang merupakan amanat Sri Rama, sebagai salah seorang Awatara
Wisnu (Penjelmaan Tuhan Turun Ke Dunia); Ramayana (III.65;66;75, XXIV.54).

“Ketenangan, kasih sayang hendaklah selalu dilaksanakan. Bila diabaikan, ia tidak


akan mengenal setia lagi, ia akan berbuat sewenang-wenang”.

“Seperti halnya si kambing, takut, hormat ia pada kayu yang tegak, bila condong
sambil main- main ia minta naik. Senang tiada khawatir ia berlari”.

“Bila jelas jahat hendaknya dihukum, bila perilakunya salah lenyaplah ia yang
besar dosanya. Perbincangkan dan pertimbangkan dengan sungguh-sungguh.
Demikianlah bila orang berjasa berilah Anugerah, berilah kesenangan. Itulah yang
patut diberi Anugerah, dan yang patut dihukum”.

“ Brata Hyang Yama, menghukum orang yang melakukan kejahatan. Hyang


Yamalah yang menyiksa roh penjahat sesudah mati. Adinda juga patut
menghukum orang yang melakukan kesalahan. Upayakan untuk menumpas
setiap orang yang bermaksud menghancurkan Negara Lengka”.

You might also like