You are on page 1of 3

Resume Webinar Maritim History

Eksitensi pelayaran Perahu Indonesia Di Banjarmasin pada tahun 1942 sampai 1949.
Pelabuhan di Banjarmasin menjadi pelabuhan utama di kalimantan Selatan , armada
yang sering berlabuh biasanya perahu dagang atau perahu penangkut untuk barang
kebutuhan sehari-hari. Perahu dagang tersebut merupakan sebuah perahu layar dengan
kapasitas muatan nya dibawah 500M3. Pelayaran perahu merupakan sarana
pengangkutan dengan biaya yang murah dan menjadi sarana penting penghubung
penting pelabuhan Banjarmasin terutama dengan pelabuhan-pelabuhan di pantai utara
Jawa , Madura, dan Sulawesi selatan.
Pada masa kependudukan Jepang pada tahun 1942, banjarmasin sebagai pusat
pemerintahan dan perdagangan di Kalimantan selatan diduduki oleh Jepang pada
tanggal 10 Februari 1942, tapi sebelumnya pada tanggal 8 Februari 1942 Belanda
telah membumihanguskan Banjarmasin, Belanda membakar segal objek vital saat itu
seperti; Jembatan, pasar, pabrik listrik, perkantoran,percetakan, tempat menyimpan
bahan bakar, dan pelabuhan, pelabuhan Martapura pun menjadi porak poranda dan
hanya mneyisakan dermaga sepanjang 248 meter, bahkan pelabuhan-pelabuhan selain
di Banjarmasin seperti di Surabaya dan Makassar ikut dihancurkan karena merupakan
pelabuhan utama dalam pelayaran dari pelabuhan Banjarmasin, pada saat itu
pelayaran dan perdagangan menggunakan perahu layar maupun perahu antar pulau
nyaris lumpuh,distribusi barang menjadi tersendat karena kekurangan armada dalam
pelayaran antar pulau .Banyak kapal-kapal KPL yang ditengglamkan atau ditangkap
oleh tentara jepang dan diambil ahli untuk kepentingan mereka. Perahu-perahu
berkapasitas 5 ton boleh berlayar dengan surat ijin, sedangkan perahu dengan
kapasitas 10 ton ke atas berada dibawah kontrol Jepang melalui biro-biro kelautan
yang berada di Jakarta, Surabaya, dan Makassar, tidak ada cukup informasi yang
ditinggalkan oleh Jepang, sehingga aktivitas pelayaran dan perdagangan antar pulau
tidak dapat digambarkan secara detail.
Selama masa perang, para pelaut tidak berani melakukan pelayaran, karena kadang
tentara Jepang merampas perahu mereka. Selain itu juga ada kemungkinan perahu
mereka ditenggelamkan oleh kapal selam sekutu yang mulai berada di perairan
Indonesia, dan selama pendudukan Jepang tercatat sekita 50% dari jumlah armada
perahu di Sulawesi Selatan hilang. Dari 128 perahu berkapasitas angkut 20 m3 ke atas
yang teregistrasi di Biro sebelum perang, tercatat sebayak 50 perahu rusak dan 38
perahu tidak laik laut. Sisanya (40 perahu) dalam perbaikan. Ada beberapa kerugian
yang dialami oleh Indonesia, kerugian yang diderita oleh armada perahu di Indonesia
pada masa itu sangat besar: 20.000 perahu dengan bobot sekitar 200.000 ton atau
senilai 30.000.000 gulden hilang atau tenggelam, bisa dibandingkan dengan pihak
KPM yang juga mengalami kerugian sebagai berikut; kehilangan 76 kapal dengan
bobot 143.900 ton atau senilai 38.700.000 gulden.
Di Banjarmasin sendiri pelayaran dari dan menuju Banjarmasin mengalami
kelumpuhan, walaupun begitu ada dugaan bahwa perahu-perahu kecil dengan
kapasitas angkut dibawah 20M3 tidak terdampak oleh situasi politik saat itu,
perahuperahu kecil itu tetap berlayar sembunyi-sembunyi dan mengangku barang-
barang yang dibutuhkan oleh masyarakat, seperti ; Beras, gula, garam, dan lain-lain

Pelayaran perahu pada masa revolusi kemerdekaan, jaringan KPM yang sebelumnya
mencapai 98 rute, pada tahun 1946 hanya tinggal 12 rute saja, Dua rute di antaranya:
Banjarmasin-Balikpapan-Samarinda-Balikpapan-Makassar-Banjarmasin (dilayani
sebulan sekali) dan Surabaya-Bali-Lombok-Makassar-Banjarmasin (dilayani 3
minggu sekali). Pada tahun 1948 KPM menambah jumlah rute yang sebelumnya 12
rute menajdi 33 rute. Kekosongan armada dalam pelayaran antar pulau memberi
peluang pada armada perahu untuk bangkit kembali. Selama masa revolusi banyak
perahu yang melakukan pelayaran untuk mendistribusikan bahan makanan bagi para
pejuang yang sedang berperang selain mengirim makanan pelayaran perahu ini
dijadikan kesempatan untuk mendistribusikan senjata ke medan pertempuran dan
melayani kebutuhan logistik para gerilyawan di berbagai daerah, hal ini dilakukan
untuk mematahkan blokade Belanda yang membatasi aktivitas pelayaran perahu, tidak
jarang perahu melakukan perdagangan gelap dengan Singapura.
Untuk membangkitkan kembali pelayaran perahu antar pulau, pemerintah Indonesia
mengambil alih Seitubu Djawa Kowan Kaisha buatan Jepang dan diganti namanya
menjadi Kongsi Pelayaran Indonesia,kongsi Pelayaran Indonesia kemudian diganti
nama menjadi Perusahaan Pelayaran Indonesia.Djawa Unko Kaisha yang merupakan
nama dari jepang juga diambil alih dan diganti nama menjadi Serikat Pelayaran
Indonesia, di kota Semarang didirikan Rukun Pelaut Indonesia. Roepelin adalah salah
satu organisasi bagi para nahkoda perahu layar yang telah didirikan di Surabaya tahun
1936 dengan anggota tidak kurang dari 200 nahkoda pernah diaktifkan kembali oleh
Belanda pada tahun 1946 di Makassar untuk membantu perkembangan pelayaran
perahu. Namun tidak banyak membawa hasil. Roepolin memdapat kredit sebesar 1,2
juta gulden dan pemerintah Belanda yang sepertiganya digunakan untuk membuat
perahu-perahu baru.

You might also like