You are on page 1of 74

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan


meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan,
pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan
penanggulangan nyeri menahun.1

Istilah anestesi dikemukakan pertama kali oleh C.W. Holmes yang artinya tidak ada
rasa sakit. Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu: (1) anestesi lokal, yaitu hilangnya
sensibilitas setempat tanpa disertai hilangnya kesadaran, dan (2) anestesi umum, yaitu
hilangnya segala modalitas rasa disertai hilangnya kesadaran. Anestesi yang ideal adalah
tercapainya anestesi yang meliputi hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot.2

Anestesi umum menggunakan agen inhalasi dan intravena untuk memberikan akses
bedah yang adekuat pada daerah operasi. Anestesi umum biasanya menjadi pilihan apabila
terdapat kontraindikasi anestesi regional, yaitu pasien menolak anestesi regional, peningkatan
tekanan intrakranial, infeksi pada tempat jarum disuntikkan, gangguan koagulasi, syok
hipovolemik berat, dan kelainan katup jantung berat.3, 4

Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan


obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga
sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila
kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang sub arachnoid di daerah antara
vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.5

Pada anestesi umum risiko hipoksemia serta kesulitan jalan nafas sering terjadi,
sehingga anestesi regional lebih disukai daripada anestesi umum. Keuntungan lain pada
anestesi regional adalah mula kerja dan masa pulih anestesi yang cepat, relatif mudah,
kualitas blokade sensorik dan motorik yang baik, serta memungkinkan ibu tetap sadar pada
saat kelahiran bayinya.6

Kematian Ibu dan Angka Kematian Perinatal di Indonesia masih sangat


tinggi.Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (2002-2003), angka kematian ibu
adalah 307 per 100.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan target yang ingin dicapai
oleh pemerintah pada tahun 2010 sebesar 125/100.000 kelahiran hidup angka tersebut masih

1
tergolong tinggi.7Yang menjadi sebab utama kematian ibu di Indonesia di samping
perdarahan adalah pre-eklampsia atau eklampsia dan penyebab kematian perinatal yang
tinggi.8 Pre-eklampsi ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema dan proteinuria
yang timbul karena kehamilan, penyebabnya belum diketahui.Pada kondisi berat pre-
eklamsia dapat menjadi eklampsia dengan penambahan gejala kejang-kejang. 9

Obesitas adalah kelebihan lemak dalam tubuh, yang umumnya ditimbun dalam
jaringan subkutan (bawah kulit), sekitar organ tubuh dan kadang terjadi perluasan ke dalam
jaringan organnya.Obesitas merupakan keadaan yang menunjukkan ketidakseimbangan
antara tinggi dan berat badan akibat jaringan lemak dalam tubuh sehingga terjadi kelebihan
berat badan yang melampaui ukuran ideal.15

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Preeklampsia Berat (PEB)


A. Pengertian
Perkataan “eklampsia” berasal dari Yunani yang berarti “halilintar” karena gejala
eklampsia datang denganmendadak dan menyebabkan suasana gawat dalam kebidanan.
10

Pre-eklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda khas tekanan darah tinggi


(hipertensi), pembengkakan jaringan (edema), dan ditemukannya protein dalam urin
(proteinuria) yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam
triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat juga terjadi pada trimester kedua
kehamilan.Sering tidak diketahui atau diperhatikanoleh wanita hamil yang
bersangkutan, sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat pre-eklampsia berat
bahkan dapat menjadi eklampsia yaitu dengan tambahan gejala kejang-kejang dan atau
koma. 10,14

B. Etiologi
Apa yang menjadi penyebab preeklampsia dan eklampsia sampai sekarang belum
diketahui. Telah terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan sebab penyakit
tersebut, akan tetapi tidak ada yang dapat memberi jawaban yang memuaskan. 14

Teori yang sekarang dipakai sebagai penyebab pre-eklampsia adalah ischemia


placenta. Namun teori ini belum dapat menerangkan semua hal yang bertalian dengan
penyakit ini. Pada pemeriksaan darah kehamilan normal terdapat peningkatan
angiotesin, renin dan aldosteron sebagai kompensasi sehingga peredaran darah dan
metabolisme dapat berlangsung. Pada preeklampsia daneklampsia terjadi penurunan
angiotesin, renin, dan aldosteron, tetapi juga dijumpai edema, hipertensi dan
proteinurin. Berdasarkan teori ischemia implantasi placenta, bahan trofoblas akan
diserap ke dalam sirkulasi yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap angiotesin II,
renin dan aldosteron, spasme pembuluh darah arteriol dan tertahannya garam dan air.
Teori ischemia daerah implantasi plasenta didukung kenyataan sebagai berikut:

1. Pre-eklampsia dan eklampsia lebih banyak terjadi pada primigravida, hamil


ganda dan molahidatiosa

3
2. Kejadiannya makin meningkat dengan makin tuanya umur kehamilan
3. Gejala penyakit berkurang bila terjadi kematian janin10

C. Patofisiologi
Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan patologis
pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh vasospasme dan
iskemia. Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami peningkatan
respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin, tromboxan) yang
dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi platelet. Penumpukan trombus dan
pendarahan dapat mempengaruhi sistem saraf pusat yang ditandai dengan sakit kepala
dan defisit saraf lokal dan kejang. Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju
filtrasi glomerulus dan proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler
menyebabkan nyeri epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati. Manifestasi terhadap
kardiovaskuler meliputi penurunan volume intravaskular, meningkatnya cardiac output
dan peningkatan tahanan pembuluh perifer. Peningkatan hemolisis microangiopati
menyebabkan anemia dan trombositopeni. Infark plasenta dan obstruksi plasenta
menyebabkan pertumbuhan janin terhambat bahkan kematian janin dalam rahim. 6

D. Faktor Risiko
Wanita hamil cenderung dan mudah mengalami preeklampsia bila mempunyai
faktor-faktor predisposi sebagai berikut:

1. Nulipara

2. Kehamilan ganda

3. Usia < 20 atau > 35 thn

4. Riwayat preeklampsia, eklampsia pada kehamilan sebelumnya

5. Riwayat dalam keluarga pernah menderita preeklampsia

6. Penyakit ginjal, hipertensi dan diabetes melitus yang sudah ada sebelum
kehamilan15

4
E. Klasifikasi
1. Preeklamsi Ringan, bila disertai keadaan berikut:
a. Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih diukur pada posisi berbaring terlentang
atau kenaikan diastole 15 mmHg atau lebih kenaikan sistole 30 mmHg atau lebih.
Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam
pada keadaan istirahat.
b. Edema secara umum, kaki, jari tangan, dan muka atau kenaikan berat badan 1 kg
atau lebih per minggu. Penambahan berat badan ini disebabkan oleh retensi air
dalam jaringan dan kemudian baru edema nampak, edema ini tidak hilang dengan
istirahat.
c. Proteinurina pada pemeriksaan urin midstream atau kateter menunjukan +1 atau
+2 atau 1 gr/liter.
2. Preeklamsi Berat
a. Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih pada posisi tirah baring
b. Protein uria ≥5 gr dalam urin 24 jam atau lebih dari +3 pada pemeriksaan
diagnostik setidaknya pada dua kali pemeriksaan yang berjarak setidaknya 4 jam.
c. Oliguria yaitu jumlah urin kurang dari 400 cc per 24 jam.
d. Adanya gangguan serebral, gangguan visus, dan nyeri epigastrium.
e. Terdapat oedem paru dan sianosis.
3. Eklampsi
Pada umumnya kejangan didahului oleh memburuknya preeklampsia. Serangan
Eklampsi dibagi menjadi 4 tingkat:
a. Tingkat awal atau aura. Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata
penderia terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula tangannya
b. Kemudian timbul tingkatan kejangan tonik yang berlangsung kurang lebih 30
detik. Dalam tingkatan ini seluruh otot menjadi kaku, wajahnya kelihatan kaku
tangan menggenggam, dan kaki membengkok ke dalam. Pernafasan berhenti,
muka mulai menjadi sianotik, lidah dapat tergigit.
c. Stadium ini kemudian disusul oleh tingkat kejangan klonik yang berlangsung
antara 1-2 menit. Spasmus tonik menghilang. Semua otot berkontraksi dan
berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah
dapat tergigit lagi. Bola mata menonjol. Dari mulut keluar ludah yang berbusa,
muka menunjukkan kongestian sianosis. Penderita menjadi tidak sadar.
d. Sekarang ia memasuki tingkat koma. Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama.

5
Secara perlahan-lahan penderita menjadai sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi
pula bahwa sebelum timbul serangan baru dan yang berulang, sehingga ia tetap
dalam koma.14

F. Penatalaksanaan
1. Obat Antihipertensi
Antihipertensi dapat diberikan kepada ibu hamil yang mengalami preeklampsia. 11
Pemberian antihipertensi pada kasus preeklampsia ringan bermanfaat mencegah
perkembangannya menjadi preeklampsia berat. Penanganan kasus sejak awal akan
dapat mengurangi frekuensi terjadinya krisis hipertensi dan juga komplikasi pada
neonatus. Hipertensi akut berat yang berhubungan dengan komplikasi organ vital
seperti infark miokard, stroke, dan gangguan ginjal akut menyebabkan antihipertensi
perlu diberikan dalam mencegah kelainan serebrovaskular demi keselamatan ibu.9
Penggunaan antihipertensi pada preeklampsia dimaksudkan untuk menurunkan
tekanan darah dengan segera demi memastikan keselamatan ibu tanpa
mengesampingkan perfusi plasenta untuk fetus.9 Terdapat banyak pendapat tentang
penentuan batas tekanan darah (cut off) untuk pemberian antihipertensi. Belfort
mengusulkan cut off yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmHg dan MAP (mean arterial
pressure) ≥ 126 mmHg.10
Studi lain menyebutkan pemberian antihipertensi sudah dilakukan ketika tekanan
darah sistolik mencapai 140-170 mmHg dan tekanan darah diastolik 90-110 mmHg
dengan target penurunan darah mencapai MAP 125 mmHg. Penurunan tekanan
darah dilakukan secara bertahap dimana tidak lebih dari 25% penurunan dalam
waktu 1 jam. Hal ini untuk mencegah terjadinya penurunan aliran darah
uteroplasenter.12

a. Nifedipin
Nifedipin tergolong ke dalam antagonis kalsium (calcium channel
blocker).Obat ini bekerja dengan menghambat influks kalsium pada sel otot polos
pembuluh darah dan miokard.Di pembuluh darah, antagonis kalsium terutama
menimbulkan relakasasi arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi. Nifedipin
bersifat vaskuloselektif sehingga efek langsung pada nodus SA dan AV minimal,
menurunkan resistensi perifer tanpa penurunan fungsi jantung yang berarti, dan
relatif aman dalam kombinasi bersama β-blocker.20

6
Bioavailabilitas oral rata-rata 40-60% (bioavailabilitas oral baik). Penggunaan
nifedipin secara sublingual sebaiknya dihindari untuk meminimalkan terjadinya
hipotensi maternal dan fetal distress akibat hipoperfusi plasenta.12 Kadar puncak
tercapai dalam waktu 30 menit hingga 1 jam dan memiliki waktu paruh 2-3 jam.
Nifedipin bekerja secara cepat dalam waktu 10-20 menit setelah pemberian oral
dengan efek samping yang minimal.10 Antagonis kalsium hanya sedikit sekali yang
diekskresi dalam bentuk utuh lewat ginjal sehingga tidak perlu penyesuaian dosis
pada gangguan fungsi ginjal.13
Efek samping utama nifedipin terjadi akibat vasodilatasi yang berlebihan.
Gejala yang tampak berupa pusing atau sakit kepala akibat dilatasi arteri meningeal,
hipotensi, refleks takikardia, muka merah, mual, muntah, edema perifer, batuk, dan
edema paru.13

b. Metildopa
Metildopa merupakan prodrug yang dalam susunan saraf pusat menggantikan
kedudukan DOPA dalam sintesis katekolamin dengan hasil akhir α-
metilnorepinefrin.Efek antihipertensinya disebabkan oleh stimulasi reseptor α-2 di
sentral sehingga mengurangi sinyal simpatis ke perifer.Metildopa menurunkan
resistensi vaskular tanpa banyak mempengaruhi frekuensi dan curah jantung. Efek
maksimal tercapai 6-8 jam setelah pemberian oral atau intravena dan efektivitas
berlangsung sampai 24 jam.13
Bioavailabilitas oral rata-rata 20-50%.Pemberian bersama preparat besi
mengurangi absorbsi metildopa sampai 70%, tapi sekaligus mengurangi eliminasi
dan menyebabkan akumulasi metabolit sulfat.Hal ini perlu diperhatikan pada
kehamilan dimana kedua obat ini sering diberikan bersamaan. Sekitar 50-70%
diekskresi melalui urin dalam konjugasi dengan sulfat dan 25% dalam bentuk
utuh.20 Metildopa tidak mempengaruhi aliran darah ginjal sehingga dapat digunakan
pada kasus gangguan ginjal.3
Metidopa dikenal sebagai antihipertensi yang aman digunakan di tiap trimester
kehamilan.10 Penggunaan jangka panjangnya tidak berhubungan dengan masalah
pada janin.Namun, ibu hamil perlu mewaspadai efek sedasi dari metildopa dan
terkadang terjadi peningkatan liver transaminase (tes Coomb positif). Obat ini perlu
dihindari pada wanita dengan riwayat depresi karena dapat menyebabkan
peningkatan risiko terjadinya depresi postnatal.12

7
2. Obat Anti kejang
a. Sulfas Magnesium (MgSO4)
Syarat: Tersedia antidotum Ca. Glukonas 10% (1 amp/iv dalam 3 menit).
Refleks patella (+) kuat RR > 16 x/menit, tanda distress nafas (-) Produksi urine >
100 cc dalam 4 jam sebelumnya.
CaraPemberian:Loadingdosesecara intravena: 4 gr/MgSO4 20% dalam 4
menit, intramuskuler: 4 gr/MgSO4 40% gluteus kanan, 4 gr/MgSO4 40% gluteus
kiri. Jika ada tanda impending eklampsi LD diberikan iv+im, jika tidak ada LD
cukup im saja.
Maintenance dosediberikan 6 jam setelah loading dose, secara IM 4
gr/MgSO440%/6 jam, bergiliran pada gluteus kanan/kiri.
Penghentian SM :
Pengobatan dihentikan bila terdapat tanda-tanda intok-sikasi, setelah 6 jam
pasca persalinan, atau dalam 6 jam tercapai normotensi.

b. Diazepam:
Diazepam digunakan bila MgSO4 tidak tersedia, atau syarat pemberian
MgSO4 tidak dipenuhi.
Cara pemberian: Drip 10 mg dalam 500 ml, max. 120 mg/24 jam. Jika dalam
dosis 100 mg/24 jam tidak ada perubahan, alih rawat R. ICU.

3. Diuretika
a. Diuretika Antepartum: manitol
b. Postpartum: Spironolakton (non K release), Furosemide (K release). Indikasi:
Edema paru-paru, gagal jantung kongestif, Edema anasarka.

4. Kardiotonika
Indikasi: gagal jantung
5. Lain-lain :
Antipiretika, jika suhu>38,5°C
Antibiotika jika ada indikasi
Analgetika
Anti Agregasi Platelet: Aspilet 1X80 mg/hari
Syarat: Trombositopenia (<60.000/cmm)

8
2.2 ANESTESI PADA PASIEN PREEKLAPSIA BERAT

A. Pemillihan Teknik Anestesi

Pemilihan teknik anestesi pada pasien Preeklampsia tergantung dari berbagai


faktor, termasuk cara persalinan (per vaginam, bedah Caesar) dan status medis dari
pasien (adanya koagulopati, gangguan pernafasan, dll). Jika persalinan dilakukan
secara bedah Caesar maka pemilihan teknik regional di sini termasuk epidural, spinal,
combine spinal-epidural dan anestesi umum. Meskipun kemungkinan terjadinya
hipotensi yang berat pada pasien Preeklampsia yang menjalani anestesi regional
(terutama spinal anestesi), banyak data yang mendukung pemilihan anestesi regional
baik pada bedah Caesar yang berencana ataupun darurat.3,4

Anestesia umum pada bedah Caesar pada Preeklampsia berat dikatakan


berhubungan dengan peningkatan yang bermakna pada tekanan arteri sistemik dan
pulmoner pada saat induksi, jika dibandingkan dengan epidural anestesi. Pada anestesi
umum juga potensial terjadinya aspirasi isi lambung, kesulitan intubasi endotrakeal
yang disebabkan karena adanya resiko edema faring laring.3

Apapun teknik anestesi yang dipilih, harus diingat bahwa meskipun persalinan
adalah terapi untuk , pada periode post partum perubahan kardiovaskular, cardiac
output dan status cairan, harus tetap dimonitor.3

 Perubahan fisiologi ibu hamil


Perubahan faal ibu hamil yang berpengaruh pada anestesi adalah :
a. Pernafasan1,6
Minute ventilation (volume nafas satu menit) meningkat sampai 50 % sehingga anestesia
inhalasi berjalan lebih cepat mencapai tahap anestesia yang dalam.Function Residual
Capacity menurun, menyebabkan cadangan oksigen dalam paru menurun sedang disisi
lain, kebutuhan O2 ibu hamil meningkat.Tindakan pre-oksigenasi sebelum anestesia
adalah sangat penting untuk mengurangi bahaya hipoksia.
Gangguan respirasi terjadi karena trauma pada saluran nafas waktu intubasi endotrakea,
kesukaran intubasi, hipoventilasi karena obat narkotika atau anestetika.Trauma dan
infeksi pada saluran nafas atas lebih mudah terjadi waktu intubasi endotrakea pada ibu
hamil, karena pembuluh darah di mukosa lebih melebar dan hiperemis.Maka intubasi
harus dilakukan secara halus, alat-alat yang sterlil, dan pipa endotrakea yang lebih kecil
dari biasa.Kesukaran intubasi lebih sering terjadi pada ibu hamil.Hal ini karena glandula

9
mammaenya lebih besar, keadaannya lebih obis, sembab mukosa saluran nafas atas,
penekanan kartilago krikoid berlebihan, posisi pasien agak miring, pasien sudah tertutup
oleh kain operasi, dan keterampilan anestesia yang kurang.Resiko hipoksia pada pasien
obstetri lebih mudah terjadi karena kapasitas residu fungsional yang lebih rendah, dan
konsumsi okigen meningkat sampai 20 %.Resiko hipoksia lebih sering terjadi pada
intubasi yang sukar dan lama, atau pemberian obat narkotika.
Pasien obstetri lebih sensitif terhadap zat anestetika inhalasi karena kadar hormon
progesteron lebih tinggi. Juga waktu induksi lebih cepat karena kapasitas residu
fungsional lebih rendah sampai 20 %, dan volume semenit ventilasi lebih besar.Sehingga
overdosis yang tidak diperkirakan bisa terjadi.Upaya pencegahan hipoksia dilakukan
dengan pre-oksigenasi dengan oksigen 100% 3-5 menit sebelum induksi dan
intubasi.Bila hipoventilasi maka nafas harus dibantu dan diberikan oksigen.Kalau terjadi
aspirasi ke dalam paru, segera jalan nafas dibersihkan, berikan bronkodilator dan
kortikosteroid, bila perlu diintubasi dan nafas dibantu atau dikendali dengan ventilator.
b. Sirkulasi
Terjadi kenaikan volume darah sampai rata-rata 50%, yang disebut dengan “Protective
Hypervolemia” ini memberikan cadangan volume darah yang berguna untuk mengatasi
kehilangan darah pada waktu persalinan. Pada wanita yang tidak hamil dengan berat
badan 50 kg, volume darahnya adalah 70 ml/kgBB seluruhnya 3.500 ml. Pada wanita
yang hamil, volume darah efektif bertambah dengan 50 % menjadi 5.250 ml. Seorang
normal dapat kehilangan darah sampai 10 % volume darahnya tanpa akibat yang
berbahaya. Kehilangan 15 % volume menyebabkan kenaikan nadi, vasokonstriksi dan
penurunan tekanan darah yang perlu diatasi dengan infus cairan. Perdarahan lebih dari 30
% volume darah akan menyebabkan syok yang harus diatasi dengan cairan dan transfusi.
Perdarahan rata-rata pada persalinan normal pervaginam adalah 500 ml. Bagi wanita
tidak hamil, ini adalah 15% volume darah, tetapi bagi wanita hamil ini hanya 10 % saja
sehingga akibat yang ditimbulkannya jauh lebih ringan dari wanita tidak hamil. Jumlah
perdarah normal pada persalinan sekitar 300 ml, bedah Caesar 500 ml. Pada keadaan ini,
biasanya tanpa gejala hipotensi. Tetapi perdarahan melebihi 15% jumlah darah ibu,
gejala hipotensi akan tampak bila tidak segera diatasi dengan pemberian infus garam
berimbang, atau plasma ekspander, atau transfusi darah. Karena perdarahan terjadi secara
cepat, maka sebelum melakukan analgesia regional atau analgesia perlu terpasang infus
dengan kanula intravena yang berdiameter besar (nomor18-16G).dengan cara ini,
pemberian infus yang cepat dapat segera dilakukan3. Perdarahan rata-rata pada

10
pembedahan Caesar adalah 1000 ml. Bagi wanita tidak hamil jumlah ini setara dengan 30
% volume, memerlukan penggantian cairan dan transfusi. Bagi wanita hamil jumlah ini
setara dengan 20 % volume darah, sehingga cukup diberikan cairan elektrolit saja (belum
tentu perlu transfusi)6.
Salah satu gejala kardiovaskular tidak adekuat adalah hipotensi. Keadaan ini,
dijumpai pada perdarahan hebat yang tiba-tiba, obstruksi aorto-kava, blok simpatis
karena analgesia subaraknoid atau epidural, dan depresi vasomotor karena anestesia yang
dalam3. Hipotensi dapat disebabkan vasodilatasi pembuluh darah tepi oleh blok simpatis
pada analgesia subaraknoid, epidural dan kaudal. Juga akibat reaksi sistemik zat
analgetika saat analgesia epidural, kaudal, dan paraservikal.Vasodilatasi juga dapat
disebabkan oleh depresi vasomotor selama anestesia yang dalam. Gangguan
kardiovaskular dapat terjadi lebih berat bila faktor tersebut timbul bersamaan1,6.
c. Aspirasi
Aspirasi isi lambung atau cairan lambung kedalam paru yang disebabkan oleh regurgitasi
atau muntah, dapat menimbulkan obstruksi dan atau pneumonitis kimia akut.Kelainan ini
dikenal dengan sindroma Mendelson.Gejalanya yaitu dispneu atau takipneu, takikardia,
sianosis dan suara mengik.Pada kasus berat dapat timbul sembab paru akut, atau gagal
nafas akut3.Pada kehamilan terjadi peningkatan produksi asam lambung, proses
pencernaan yang memanjang.50% kematian pada anestesia disebabkan oleh masuknya
cairan lambung kedalam trakea dan paru yang menyebabkan acid aspiration pneumonitis
atau disebut sindroma dari Mendelson2.Kemungkinan aspirasi pada pasien obstetrik lebih
mudah terjadi karena faktor yang tidak menguntungkan.Hal ini karena terdapat
penurunan tonus sfingter gastroesofageal, pengosongan lambung lebih lambat, produksi
cairan lambung lebih banyak dan lebih asam, tekanan lambung pada saat tertentu lebih
tinggi3. Dengan tingginya angka kematian akibat aspirasi maka perlu diketahui faktor-
faktor yang memudahkan terjadinya aspirasi adalah1,6 :
1. Pendorongan lambung oleh pembesaran rahim mengakibatkan pengosongan
lambung yang lebih lambat.
2. Produksi asam lambung meningkat.
3. pH cairan lambung lebih asam. pH kurang dari 2,5 sangat merusak parenkim paru
dan menyebabkan sindroma Mendelson.

Aspirasi lebih sering terjadi selama tindakan anestesia. Komplikasi ini dapat terjadi pada saat
induksi dan intubasi, mendorong uterus guna mempercepat proses kelahiran bayi, dan ekstubasi.

11
Kejadian ini bisa terpantau atau secara diam-diam. Karena keadaan ini, maka lebih
menguntungkan memilih teknik analgesia regional untuk pasien obstetrik. Bila teknik anastesia
dipilih maka pencegahannya harus dilakukan dengan cara ; Mengurangi sekresi cairan lambung
dengan pemberian ranitidin 50-100 mg atau 300 mg simetidin intramuskular 2 jam atau 1 jam
intravena sebelum induksi, menaikan pH cairan lambung dengan pemberian emulsi antasid 30 ml
atau sodium sitrat 0,3 mole 1-2 jam sebelum induksi, intubasi endotrakea, induksi cepat dengan
perasat Sellick dan ekstubasi pasien sudah sadar6.

Puasa saja tidak menjamin pengosongan lambung yang baik.Perlu dilakukan penghisapan aktif
berulang-ulang melalui pipa lambung berukuran besar (Fr.18/20).Untuk menetralisasi asam
lambung yang tersisa setelah penghisapan, perlu diberikan antasida Magnesium Trisilikat atau
Natrium Sitrat 30 menit sebelum anestesi dimulai.Selain itu, H2- blocker (simetidin dan
ranitidin) dapat membantu mengurangi produksi cairan lambung dan menaikan pH-nya. Tetapi
obat ini memerlukan waktu 1 jam setelah pemberian secara intravena untuk mencapai puncak
aktifitas kerjanya1,6.

d. Pembesaran rahim
Vena kava inferior dan aorta dapat tertekan oleh uterus terhadap tulang belakang, bila ibu
berbaring terlentang.Akibatnya darah baik ke jantung berkurang.Sebagai kompensasi,
terjadi vasokonstriksi pembuluh darah tepi.Bila obstruksi parsial atau mekanisme
kompensasi cukup, gejala hipotensi tidak tampak.Biasanya hanya disertai perubahan
denyut jantung janin. Kalau obstruksi vena kava inferior cukup kuat, sehingga darah
balik turun lebih dari 30 %, sindroma hipotensi terlentang akan nampak. Gejalanya
adalah pusing, keringat dingin, pucat, enek, muntah, bradikardia dan hipotensi.15 %
sampai 20 % ibu yang hamil aterm trimester III pada posisi terlentang mengalami Supine
Hypotension Syndrome akibat penekanan vena cava inferior sehingga ke jantung
menurun dan curah jantung juga menurun. Gejala meliputi hipotensi, mual atau muntah,
sesak nafas dan gelisah2. Upaya pencegahan obstruksi aorto-kava yaitu mencegah ibu
berbaring terlentang, meninggikan bokong kanan atau memiringkan meja operasi 20-30
derajat ke kiri1,6.
Pengosongan rahim pada tindakan pembedahan berjalan lebih cepat dari pada persalinan
pervaginam yang normal. Kontraksi otot rahim harus dibantu dengan obat-obat oxytocin agar
tidak terjadi perdarahan postpartum yang berlebihan. Anestesia dengan eter tahap III bidang 2
dan anestesia dengan halotan yang ringan sekalipun (1%) sudah menyebabkan gangguan
kontraksi otot rahim.Pengeluaran bayi yang dipercepat biasanya akibat gawat janin. Janin dapat
mengalami kegawatan karena proses persalinan sendiri seperti terjadinya perdarahan akibat
plasenta yang terlepas dini, lilitan tali pusat dan putar paksi yang keliru. Faktor-faktor ini

12
menyebabkan hipoksia janin didalam rahim.Obat anestesi narkotik dan sedatif yang melewati
plasenta maka obat anestesi yang dipilih adalah obat yang sesedikit mungkin melewati plasenta
sehingga tidak menambahkan depresi pernafasan pada bayi 2.Dosis obat anestesi yang diberikan
pada ibu diusahakan yang minimal dan anestesia yang terjadi seringan mungkin karena 5-10%
bayi yang lahir dengan Sectio Caesaria mengalami depresi berat. Persiapan peralatan resusitasi
dan tenaga terampil resusitasi merupakan kebutuhan yang mutlak untuk mengatasi depresi bayi
lahir1,6.

B. Penanganan Pra Anestesia

Dengan banyaknya organ yang mengalami perubahan patologis, evaluasi pre


anestesi dilakukan lebih dini karena tindakan pembedahan Caesar pada
preeklamsia/eklampsia dapat dilakukan secara semi elektif atau darurat. Pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menentukan pilihan cara
anestesinya. Pemeriksaan laboratorium meliputi platelet, fibrinogen, PT/APTT, ureum,
creatinin, fungsi liver dan konsentrasi Mg, dilakukan setiap 6-8 jam sampai dengan
pasca bedah dini. Monitoring dilakukan terhadap fetus dan fungsi vital ibu, yaitu
tekanan darah, cairan masuk dan keluar, refleks tendon, pelebaran serviks, dan
frekuensi kontraksi uterus.

Tekanan darah dan pulsasi nadi diukur setiap 15 menit selam minimum 4 jam
sampai stabil dan seterusnya setiap 30 menit. Dilakukan pemasangan kateter urin dan
urin output diukur setiap jam disesuaikan dengan pemberian cairan. Monitoring
preeklampsia eklampsia dapat mendeteksi dini kelainan irama jantung yang diduga
penyebab edema paru yang mengakibatkan kematian mendadak. Pada eklampsia
penanganan pertama ditujukan pada jalan nafas, pemberian oksigen, left uterine
displacement dan penekanan cricotiroid Intubasi dilakukan bila jalan nafas tidak dapat
dipertahankan bebas, terjadi kejang yang lama atau regurgitasi. Setelah tindakan
pertama dilanjutkan dengan penanganan terhadap kejang dan menurunkan tekanan
darah.Kejang dapat diatasi dengan thiopental atau diazepam.Pilihan obat anti kejang
adalah obat yang tidak mengganggu neurologis.Pada preeclampsia, kejang dapat
dicegah dengan pemberian magnesium sulfat.Stabilisasi, monitoring fungsi vital, dan
evaluasi gejala neurologis yang teratur dapat mengurangi penyulit yang mungkin terjadi
pada ibu akibat persalinan.

 Pemberian cairan

13
Pasien dengan preeklampsia murni cenderung untuk mempertahankan tekanan
darahnya meskipun adanya anestesi regional.Jika hal ini terjadi maka loading cairan
tidak mutlak dilakukan dan dapat menimbulkan gangguan keseimbangan cairan.Dengan
demikian, loading cairan pada preeklampsia seharusnya tidak dilakukan sebagai
profilaksis atau secara rutin, namun harus selalu dipertimbangkan dan dilakukan secara
terkontrol.Hipotensi jika terjadi dapat dikontrol dengan pemberian efedrin. Pada pasien
preeklampsia kebutuhan cairan pada bedah Caesar harus dipertimbangkan dengan hati-
hati dan pemberian cairan lebih dari 500 ml, kecuali untuk menggantikan kehilangan
darah, semestinya dilakukan dengan hati-hati.

C. Tatalaksana Anestesi

Penanganan Preeklampsia berat dan eklamsia dalam bidang Anestesi sama,


kecuali pelaksanaan tindakan terminasi dari kehamilan. Pada preeklamsia berat
persalinan harus dilakukan dalam 24 jam, sedangkan pada eklampsia persalinan harus
terjadi dalam waktu 12 jam setelah timbul gejala eklampsia. Jika ada gawat janin atau
dalam 12 jam tidak terjadi persalinan dan janin masih ada tanda-tanda kehidupan harus
dilakukan bedah Caesar. Masalah koagulopati merupakan hal yang perlu
dipertimbangkan sebelum tindakan operasi pada pasien Preeklampisa/eklampsia.

Bedah Caesar pada eklampsia merupakan tindakan darurat, anestesi umum


merupakan pilihan pertama kecuali bila pasien sudah terpasang kateter epidural.Waktu
persiapan untuk tindakan anestesi sangat pendek.Persiapan yang dilakukan untuk
anestesi umum dan regional tidak jauh berbeda pada pasien dengan
kehamilan.Pencegahan aspirasi dengan mengosongkan lambung, netralisasi asam
lambung dan mengurangi produksi asam lambung dilakukan sebelum tindakan anestesi
dilakukan. Persiapan dimulai dari pemeriksaan jalan nafas, ada tidaknya distress
pernafasan, tekanan darah, kesadaran pasien dan pemeriksaan darah. Edema dari jalan
nafas yang mungkin terjadi pada pasien tersebut menyebabkan kesulitan untuk
intubasi.Intubasi sadar dapat dilakukan pada edema jalan nafas dan distress yang
mungkin disebabkan aspirasi pada saat kejang.Jalan nafas orotrakeal yang disediakan
lebih kecil dari ukuran wanita dewasa.Dengan pemberian anestesi topical yang baik,
intubasi sadar dapat dilakukan dengan baik.Dilakukan pemberian anestesi topical
dengan lidokain spray.

14
Tekanan darah pasien preeklampsia/ eklampsia diturunkan sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi penurunan pada aliran darah ke plasenta dan otak.Penyulit saat
intubasi yang paling berbahaya adalah meningkatnya tekanan darah yang berakibat
terjadinya edema paru dan perdarahan otak.Pemberian obat anti hipertensi sangat
diperlukan sebelum dilakukan anestesi umum. Pada anestesi umum, pemberian
lidokain 1,5 mg/kg BB secara intravena dapat mengendalikan respons hemodinamik
saat intubasi. Efek farmakologi enflurane yang dianggap merugikan ginjal dan
menurunkan nilai ambang terhadap kejang dan pengaruh halotan terhadap hepar,
menjadikan isoflurane sebagai pilihan pertama obat anestesi inhalasi.Pemakaian
magnesium sulfat sebagai anti konvulsan dapat terjadi potensiasi dengan obat
pelumpuh otot golongan non depolarisasi, sehingga pemberian suksinil kolin harus
dikurangi.Lambung dikosongkan secara aktif terlebih dahulu untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya aspirasi dan diberikan antasida.

Setelah dilakukan pemasangan infus dan disiapkan peralatan intubasi dengan


ukuran jalan nafas orotrakeal yang lebih kecil dari ukuran wanita normal, pasien
ditidurkan left tilt position 15 dan dilakukan preoksigenasi dengan O2 100%. Saat
intubasi posisi head up 45 dan dilakukan maneuver Sellick. Induksi dapat dilakukan
dengan lidokain 1,5 mg/kg BB, thiopental 4 mg/kg BB, suksinil kolin 1 mg/kg BB yang
kemudian dilanjutkan dengan N2O/O2 50% dan isoflurane. Pembedahan Caesar tidak
mutlak membutuhkan relaksasi dan apabila diperlukan dapat dipikirkan pemberian
atracurium.Setelah anak lahir pada pemberian anestesi umum dan anestesi regional,
oksitosin diberikan secara kontinyu, hal ini untuk mengantisipasi akibat efek tokolitik
dari magnesium.

Monitoring yang dilakukan selama anestesi diteruskan hingga pasca


bedah.Pemberian cairan pasca bedah harus memperhitungkan adanya mobilisasi cairan
yang terjadi mulai dalam 24 jam.Jika tidak terjadi diuresis yang memadai akibat belum
kembalinya fungsi ginjal kemungkinan dapat terjadi peningkatan cairan intravaskuler
yang beresiko terjadinya edema paru. Jumlah trombosit dan fungsinya akan kembali 4
hari setelah persalinan. Kejang pasca bedah terjadi pada 27% pasien.Obat anti
hipertensi masih dibutuhkan selama pasca bedah.Pemberian cairan selama masa
antenatal harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah kelebihan cairan. Total
cairan intravena harus dibatasi sebanyak 1 ml/kg/jam.

15
D. Monitoring Post Partum

Pemberian cairan pada post partum harus dibatasi dengan memperhatikan


diursesis spontan yang kadang terjadi dalam 36-48 jam setelah persalinan.Total cairan
intravena yang diberikan 80 ml/jam: Ringer Laktat atau yang ekuivalen. Pemberian
cairan oral dapat diberikan secara lebih bebas. Urin output harus dimonitor setiap jam
dan tiap 4 jam dijumlahkan dan dicatat. Jika total cairan yang masuk lebih dari 750 ml
dari cairan yang keluar dalam waktu 24 jam, maka diberikan furosemide 20 mg iv.
Kemudian dapat diberikan gelofusine jika sudah terjadi diuresis. Jika total cairan yang
masuk kurang dari 750 ml dari cairan yang keluar dalam waktu 24 jam, maka diberikan
250 ml gelofusine. Jika urin output masih kurang, maka diberikan furosemide 20 mg iv.

Terminasi kehamilan pada pre-eklampsia/eklampsia melalui bedah Caesar


memerlukan kerjasama dan komunikasi yang baik dari berbagai keahlian terkait agar
dapat tercapai hasil yang optimal. Diperlukan monitoring yang ketat serta terapi,
tindakan dan pilihan cara anestesi yang tepat, diawali sejak pra pembedahan sampai
pasca bedah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.

2.3 SECTIO CAESARIA

A. Pengertian
Sectio caesaria adalah lahirnya janin, plasenta, dan selaput ketuban melalui
irisan yang dibuat pada dinding perut dan rahim, dengan membuka dinding perut
dan dinding uterus.5 Menurut Wiknjosastro (2002), terdapabeberapa jenis sectio
caesaria yang dikenal saat ini, yaitu:
1. Sectio caesaria transperitonealis profunda
2. Sectio caesaria klasik/corporal
3. Sectio caesaria ekstraperitoneal
4. Sectio caesaria dengan teknik histerektomi
Teknik yang saat ini lebih sering digunakan adalah teknik sectio caesarea
transperitoneal profunda dengan insisi di segmen bawah uterus. Keunggulan
teknik ini antara lain perdarahan akibat luka insisi tidak begitu banyak, bahaya
peritonitis tidak terlalu besar, dan perut pada umumnya kuat sehingga bahaya
rupture uteri di masa mendatang tidak besar karena dalam masa nifas segmen
bawah uterus tidak mengalami kontraksi yang kuat seperti korpus uteri. Hal ini
menyebabkan luka dapat sembuh sempurna.

B. Indikasi Sectio Caesaria

16
1. Indikasi ibu
a) Disproporsi janin dan panggul
b) Stenosis serviks uteri
c) Tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi
d) Preeklamsi/hipertensi
e) Bakat rupture uteri
f) Panggul sempit
g) Perdarahan ante partum
2. Indikasi janin
a) Kelainan letak
Letak lintang, letak sungsang, letak dahi dan letak muka dengan dagu
dibelakang, dan presentasi ganda.
b) Gawat janin
3. Indikasi waktu/profilaksis
a) Partus lama
b) Partus macet/tidak maju

C. Kontraindikasi
1. Infeksi intra uterin
2. Janin mati
3. Syok/anemik berat yang belum diatasi
4. Kelainan kongenital berat

D. Komplikasi sectio caesaria


Faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pembedahan
antara lain kelainan atau gangguan yang menjadi indikasi untuk melakukan
pembedahan, dan lama persalinan berlangsung. Beberapa komplikasi yang dapat
timbul antara lain sebagai berikut:
1. Infeksi puerperal
Infeksi puerperal yang terjadi bisa bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama
beberapa hari dalam masa nifas. Komplikasi yang terjadi juga bisa bersifat berat,
seperti peritonitis, sepsis, dan sebagainya. Infeksi pasca operatif terjadi apabila
sebelum pembedahan sudah terdapat gejala-gejala infeksi intrapartum, atau ada faktor-
faktor yang merupakan predisposisi terhadap kelainan tersebut. Bahaya infeksi dapat

17
diperkecil dengan pemberian antibiotka, namun tidak dapat dihilangkan sama sekali.
2. Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul waktu pembedahan jika cabang-cabang arteria
uterine ikut terbuka, atau karena terjadinya atonia uteri.
3. Suatu komplikasi yang baru tampak pada kemudian hari
Komplikasi jenis ini yaitu kemungkinan terjadinya rupture uteri pada masa
kehamilan yang selanjutnya. Hal ini disebabkan oleh kurang kuatnya perut pada
dinding uterus.
4. Komplikasi pada anak
Menurut statistik di negara-negara dengan pengawasan antenatal dan intra natal
yang baik, kematian perinatal pasca sectio caesaria berkisar antara 4% dan 7%.

2.4 OBESITAS PADA KEHAMILAN


A. Definisi15
Obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Body Mass Index (BMI) ≥ 30
kg/m2 dimana angka tersebut diperoleh dari rumus :

BMI = BB (Kg)

TB (m)2

BMI oleh WHO dikelompokan menjadi underweight, normal, overweight, dan obese
dimana obesitas dibagi lagi menjadi kelas I,II,III seperti yang ditunjukkan pada tabel
dibawah ini :

B. Prevalensi dan resiko Obesitas dalam kehamilan

18
Wanita hamil dengan obesitas mencapai 28% dari keseluruhan kehamilan dengan
8% dikategorikan sebagai “Extremely obese” (BMI ≥ 40 kg/m2) dan jumlah
penderitanya mengalami peningkatan setiap tahun. Keadaan ini menunjukan suatu,
kondisi yang sangat serius mengingat komplikasi yang ditimbulkannya baik terhadap
ibu, fetus, neonatus serta potensial komplikasi yang dapat ditimbulkannya pada
kehidupan selanjutnya serta secara ekonomi akan membutuhkan biaya yang lebih
banyak
Sudah jelas bahwa wanita hamil dengan obesitas akan memerlukan perawatan
yang lebih jika dibandingkan wanita hamil dengan berat badan normal, obesitas
berisiko tinggi menimbulkan abortus, gestasional diabetes mellitus, hipertensi dalam
kehamilan, gangguan pernafasan pada ibu, bayi makrosomia, trauma persalinan baik
pada ibu maupun bayi, kelainan kongenital, fase persalinan yang lambat, tindakan
operasi pervaginam, distosia bahu, persalinan dengan seksio sesaria, perdarahan post
partum, trombosis dan infeksi Wanita obesitas yang menjalani seksio sesaria memiliki
risiko morbiditas bahkan mortalitas lebih tinggi dibandingkan wanita dengan berat
badan normal sehubungan dengan kehilangan darah yang lebih banyak, komplikasi dari
tindakan anestesi, kesulitan dari teknik operasi dan komplikasi berkaitan dengan
penyembuhan luka.

C. Komplikasi Medis

Obesitas meningkatkan risiko terjadinya kelainan medis dalam kehamilan seperti


diabetes gestasional, preeklampsia, penyakit tromboemboli, obstruksi saluran nafas
(sleep apneu), asma, dan low back pain. Pada kehamilan terjadi suatu keadaan
inflamasi dan insulin resisten, hal tersebut fisiologis sebagai kompensasi terhadap
perkembangan hasil konsepsi namun akan memberikan dampak yang buruk apabila
kehamilan dialami oleh wanita dengan overweight dan obesitas
Pada wanita obesitas berisiko 3 kali untuk menderita diabetes dalam kehamilan, oleh
karena keadaan obesitas menyebabkan disregulasi keadaan inflamasi dan metabolisme
tubuh sehingga sangat berpotensi untuk timbulnya hipertensi dan diabetes.Mediator
inflamasi berasal dari adiposit yaitu adipokines, faktor inflamasi tersebut berhubungan
dengan sistem komplemen yang juga berasal dari jaringan lemak Dari literatur juga
disebutkan bahwa pada keadaan obesitas kadar vitamin D lebih rendah dibandingkan
dengan wanita hamil dengan berat badan normal dimana keadaan ini dapat

19
berhubungan dengan terjadinya gestasional diabetes dan preeklampsia serta terhadap
perkembangan otak dan tulang bayi.15s

2.5 ANESTESI PADA PENDERITA OBESITAS


Dalam berbagai macam literatur, anestesi pada pasien obesitas tidak menjadi
bahasan khusus.Akan tetapi, tata laksana anestesi pada pasien obesitas rupanya
memiliki kendala yang patut diperhatikan. Secara umum, ketika datang pasien obesitas
kedalam ruang operasi, dokter anestesi sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan
yang akan dihadapi sebelum, selama dan sesudah tindakan anestesi. Diantaranya adalah
prediksi kesulitan intubasi, prevensi tromboemboli, prevensi komplikasi pasca operasi
seperti atelektasis, penggunaan obat anestesi seperti analgesik yang dapat diberikan
atau obat-obat yang harus dihindari pemberiannya, manajemen pasien dengan
obstructive sleep apnea, kriteria pemindahan ke ICU dan penanganan mekanisme
ventilasi yang harus dilakukan, juga terapi cairan, eletrolit dan nutrisi.(7) Masalah
utama pasien obesitas masih seputar gangguan pada sistem kardiovaskular, respirasi,
dan gastrointestinal. Masalah lain adalah pada ibu hamil dengan atau tanpa obesitas dan
anak-anak yang sedari kecil sudah mengalami obesitas.
A. Sistem kardiovaskular pada penderita obesitas
Gangguan pada sistem kardiovaskular meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pasien obesitas.Manifestasinya berupa penyakit iskemia, hipertensi sampai gagal
jantung. Scottish Health Survey baru-baru ini menemukan prevalensi gangguan pada
sistem kardiovaskular 37 persen terjadi pada mereka dengan BMI > 30, 21 persen pada
BMI 25 – 30 dan 10 persen pada BMI < 25. Semua pasien obesitas yang akan
dilakukan anestesi harus diinvestigasi lebih jauh pada premedikasi akan adanya
komplikasi kardiovaskular. Bahkan sudah seharusnya mereka dirujuk ke ahli jantung
untuk monitor kesulitan yang mungkin berpengaruh pada tindakan anestesi yang akan
dilakukan.(8)
1. Manifestasi gangguan sistem kardiovaskular : (8,9,10)
a. Hipertensi.
Hipertensi ringan – sedang terlihat pada 50 – 60 persen pasien obesitas dan
hipertensi berat pada 5 – 10 persen pasien.Terdapat peningkatan tekanan sistolik
sebesar 3 – 4 mmHg dan diastolik 2 mmHg tiap kenaikan berat badan 10 kg. Adanya
cairan pada ekstraseluler akan berakibat terjadinya hipervolemia dan peningkatan
cardiac output. Meskipun mekanisme pasti terjadinya hipertensi pada pasien obesitas

20
masih belum diketahui, diduga ada pengaruh faktor genetik, hormonal, renal dan
hemodinamik yang berperan disini.Hiperinsulinemia sebagai karakteristik pada obesitas
juga memberikan kontribusi dengan mengaktifkan sistem saraf simpatik yang
menyebabkan retensi sodium.Sebagai tambahan, resistansi insulin bertanggung jawab
terhadap aktivitas norepinefrin dan angiotensin II.
b. Iskemia jantung.
Obesitas merupakan faktor resiko terjadinya penyakit iskemia jantung, terutama
pada mereka dengan pusat distribusi lemak pada bagian sentral. Faktor lain seperti
hipertensi, diabetes mellitus, hiperkolesterolemia dan rendahnya HDL (High Density
Lipoprotein) menambah beratnya resiko penyakit ini. Hal yang menarik, 40 persen
pasien obesitas dengan angina tidak memperlihatkan adanya penyakit jantung koroner,
namun angina itu sendiri merupakan gejala langsung dari obesitas.
c. Volume darah.
Total volume darah pada pasien obesitas bertambah akan tetapi bila dibandingkan
dengan pasien non-obese, pertambahannya lebih rendah karena dominasi darah tersebut
terdistibusi ke organ-organ penuh lemak. Aliran darah dari limpa juga bertambah
sekitar 20 persen sedangkan aliran darah dari otak dan ren normal atau tidak bertambah.
d. Aritmia jantung.
Ada berbagai macam faktor presipitasi yang menyebabkan aritmia pada pasien
obesitas, diantaranya : hipoksia, hiperkapnia, ketidakseimbangan elektrolit akibat terapi
dengan diuretik, penyakit jantung koroner, bertambahnya konsentrasi katekolamin
dalam sirkulasi, obstructive sleep apnea, hipertrofi miokard dan penumpukan lemak
dalam sistem konduksi.
e. Fungsi jantung.
Pada pasien obesitas, terjadi disfungsi dari jantung yang dipercayai merupakan
kelanjutan dari penumpukan lemak dalam sistem konduksi.Dalam suatu studi pada
otopsi, ditemukan adanya penumpukan lemak pada epikardium yang tidak disertai
penumpukan lemak pada miokardium, tampaknya keadaan ini mempengaruhi ventrikel
kanan jantung yang pada akhirnya menyebabkan abnormalitas konduksi dan
aritmia.Ada hubungan sejajar antara bertambahnya berat jantung dengan kenaikan berat
badan seseorang.Yang dikatakan penambahan berat jantung merupakan konsekuensi
dari dilatasi dan hipertrofi eksentrik dari ventrikel kiri yang mempengaruhi ventrikel
kanan pula.
f. Kardiomiopati.

21
Obesitas berhubungan dengan kejadian bertambahnya volume darah dan cardiac
output akibat kenaikan bobot lemak 20 – 30 ml per kg.Dilatasi ventrikel dan
bertambahnya volume sekuncup menyebabkan peningkatan cardiac output. Dilatasi
ventrikel terjadi akibat bertambahnya stress pada dinding ventrikel kiri yang
menyebabkan hipertrofi. Adanya hipertrofi eksentrik dari ventrikel kiri ini akan
menurunkan compliance dan fungsi diastolik ventrikel kiri. Pada keadaan ini akan
terjadi gangguan pengisian ventrikel, elevasi dari LVEDP dan udem paru. Kapasitas
dilatasi untuk ventrikel memilik batasan, sehingga jika terjadi penebalan dinding
ventrikel kiri maka terjadi kegagalan ventrikel untuk diastolik atau sistolik yang juga
berpengaruh pada ritme jantung.

2. Gejala klinis (8,9,10)


Pada penderita obesitas, kadang tidak ditemukan gejala akibat gangguan
kardiovaskular, hal ini bisa dikarenakan mereka mengurangi gerakan atau aktivitas fisik
sehingga tertutupi semua gejala yang dapat timbul.Seperti misalnya, gejala angina atau
dispneu mungkin hanya terjadi sesekali ketika mereka bergerak lebih aktif dari
biasanya.Banyak dari penderita obesitas sengaja tidur dengan posisi duduk sehingga
menyangkal adanya orthopneu atau dispnoe paroksismal nokturnal. Tapi penderita
obesitas dapat kita minta untuk berjalan di dalam ruangan maka akan terlihat
berkurangnya pergerakan atau ketika diminta untuk tidur dengan posisi supinasi maka
akan timbul orthopneu bahkan bisa berujung pada henti jantung. Penderita obesitas
harus diperiksa lebih mendetail akan adanya gangguan jantung, hipertensi, atau gagal
jantung. Tanda gagal jantung juga dapat dilihat dari kenaikan tekanan vena jugular,
penambahan bunyi jantung, gangguan pada paru, hepatomegali atau ditemukan udem
perifer.

3. Pemeriksaan
Untuk mengetahui kelainan yg terjadi pada jantung, dapat dilakukan pemeriksaan
preoperatif dengan EKG (elektrogardiogram) atau Echocardiograph.Adanya deviasi
axis, atau aritmia dapat terlihat pada kedua gambaran tersebut.Foto thoraks dapat
memberikan gambaran kardiomegali yang jelas namun kadang tampak
normal.Echocardiograph mungkin sulit dilakukan namun memberikan informasi yang
berguna bagi kita.Konsul kepada ahli jantung dilakukan sebagai tindak awal dan
optimalisasi keadaan pasien preoperatif. (9,10)

22
4. Implikasi anestesi
Pada keadaan dimana terjadi gangguan napas, masalah pada ventrikel mungkin
tertutupi atau lolos dari pengamatan melalui pemeriksaan secara klinis.Namun adanya
penambahan berat badan secara cepat yang ditemukan pada premedikasi dapat
mengindikasikan adanya kegagalan jantung walaupun orang tersebut memang sudah
memiliki bobot yang berat.Durante operasi, kegagalan ventrikel untuk memenuhi
kebutuhan (disfungsi dari diastolik ventrikel) dapat terjadi karena berbagai macam
alasan, seperti pengaruh dari agen anestesi yang sebelumnya diberikan atau hipertensi
pulmonal yang dipresipitasi keadaan hipoksia atau hiperkapnia. Maka seorang dokter
anestesi harus bersikap preventif terhadap hal tersebut dengan mempersiapkan
inotropik dan vasodilator untuk mengembalikan keadaan menjadi normal kembali.(9)
Ketika induksi anestesi atau intubasi dilakukan pada penderita obesitas, performa
jantung akan mulai menurun. Dalam suatu penelitian, ditemukan pada penderita
obesitas yang menjalani operasi abdomen, performa jantung menurun 17 -33 persen
setelah induksi dan intubasi dilakukan, keadaan ini menetap pasca operasi dengan index
jantung 13 -23 persen menurun dibandingkan preoperatif. Hal ini tidak terjadi pada
orang normal dimana performa jantung setelah diberikan induksi anestesi atau intubasi
sempat menurun namun kembali normal pascaoperasi.(9) Pengamatan terhadap tekanan
arteri, gas darah dan tekanan vena sentral dapat dilakukan sebagai acuan terhadap
keadaan jantung selama obat anestesi bekerja.

5. Premedikasi
Opioid dan obat sedatif dapat menyebabkan depresi pernapasan pada orang
obesitas.Rute pemberian obat secara intramuskular dan subkutan dihindari mengingat
absorbsinya yang belum jelas.Semua penderita obesitas diberikan profilaksis terhadap
aspirasi asam walaupun mereka tidak mengeluhkan adanya refluks atau perasaan dada
terbakar (heartburn). Kombinasi H2-bloker (ranitidin 150mg peroral) dan prokinetik
(metoklopramid 10mg peroral) diberikan 12 jam dan 2 jam sebelum operasi untuk
menurunkan resiko pneumonitis akibat aspirasi. Beberapa dokter anestesi bahkan
mencoba memberikan 30ml dari 0.3 M sitrat segera sebelum dilakukan induksi sebagai
tambahan.(9) Obat jantung dan steroid tetap diberikan sampai menjelang operasi,
walaupun ada yang merekomendasikan penghentian angiotensin converting enzyme
inhibitors sehari sebelum dilakukan operasi karena efek hipotensi yang mungkin

23
timbul. Pasien obesitas dengan diabetes diberikan regimen dextrosa-insulin dalam
prosedur singkat mengingat kebutuhan insulin yang meningkat pascaoperasi.(9) Karena
pasien obesitas seringkali sulit mobilisasi terutama pascaoperasi dan meningkatkan
resiko terjadinya trombosis vena dalam, maka dapat diberikan heparin dosis rendah
secara subkutan dan tetap dilanjutkan sampai pasien tersebut dapat mobilisasi total.
Cara lain : penggunaan legging atau stoking kompresi.(9) Pada grup ini juga sering
terjadi infeksi luka pascaoperasi. Maka dapat diberikan antibiotik profilaksis namun
pemberiannya juga harus di diskusikan dengan ahli bedah yang menangani.

6. Posisi dan pemindahan


Kebanyakan meja operasi dirancang hanya untuk pasien dengan berat badan
mencapai 120 – 140 kg.Berat badan melebihi kapasitas tersebut, membutuhkan meja
operasi dengan rancangan khusus atau menggunakan dua meja operasi ukuran biasa
yang disusun bersebelahan. Pasien dilakukan anestesi setelah ia nyaman berada di meja
operasi tersebut. Kompresi vena cava inferior harus dihindari dengan cara
memposisikan pasien secara lateral ke kiri dari meja operasi atau meletakan sanggahan
dibawah pasien. Terkadang pasien juga dapat diposisikan secara lateral decubitus untuk
mengurangi jumlah tekanan pada dada. (9) Pasien dipindahkan dari ruangan ke ruang
operasi memakai tempat tidur yang mereka gunakan. Kadang dibutuhkan banyak
tenaga dalam proses pemindahan tersebut.

7. Analgesia regional
Penggunaan anestesi regional pada pasien obesitas memungkinkan tidak perlunya
dilakukan intubasi dan menurunkan resiko aspirasi asam.Pada operasi thorakal dan
abdominal, biasanya dipilih anestesi epidural dengan kombinasi anestesi umum.Hal ini
lebih bermanfaat dibandingkan hanya digunakan anestesi umum, termasuk mengurangi
penggunaan opioid dan obat anestesi inhalasi, komplikasi pulmonal pascaoperasi,
peningkatan efek obat analgesik pascaoperasi, dan manfaat lainnya. (9,10) Secara
teknik, anestesi regional pada pasien obesitas menantang karena sulitnya menentukan
batasan pasti tulang, kulit dan lemak. Blok saraf perifer lebih mudah dan aman
dilakukan dengan bantuan stimulator saraf dan jarum insulasi.Anestesi spinal dan
epidural lebih mudah dilakukan pada posisi berdiri dan menggunakan jarum yang
panjang.Dengan bantuan ultrasound dapat diidentifikasi ruang epidural dan menuntun
jarum Tuohy dalam posisi yang benar.Ada beberapa dokter anestesi yang lebih

24
menyukai kateter epidural telah terpasang sehari sebelum operasi untuk menghemat
waktu esok harinya dan memudahkan pemberian profilaksis heparin pada pagi hari
waktu operasi.Anestesi lokal yang dibutuhkan pada saat melakukan anestesi spinal atau
epidural diturunkan hingga 80 persen mengingat terdapatnya infiltrasi lemak dan
meningkatnya volume darah yang disebabkan tekanan intraabdomen menyempitkan
ruang epidural.Hal ini perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan blokade yang lebih
tinggi atau menyebarnya anestesi lokal tersebut. Blokade diatas thorakal V akan
menyebabkan gangguan respirasi dan blokade otonom pada sistem kardiovaskular.
Dalam keadaan ini, dibutuhkan penggantian anestesi menjadi anestesi umum dengan
peralatan yang cukup dan bantuan orang lain untuk penanganan adekuat. (9,11)

8. Analgesia sistemik
Penggunaan analgesia opioid tidak dianjurkan pada pasien obesitas terutama
dengan rute intramuskular.Jika diberlakukan rute intravena, maka dapat diberlakukan
Patient-Controlled Analgesia System (PCAs). Dengan cara ini, efektivitas analgesia
bisa tercapai walaupun pernah terdapat laporan depresi pernapasan. Harus diamati juga
saturasi O2 dan pulse oximetry.(9) Analgesia pasca epidural anastesi dengan opioid
atau anestesi lokal memberikan analgesi yang efektif dan aman pada pasien obesitas.
Intravena epidural lebih disukai karena rendahnya efek mengantuk, mual, depresi
napas, bahkan mempercepat motilitas usus dan cepat kembalinya fungsi pernapasan ke
titik normal sehingga mengurangi waktu rawat di rumah sakit. Namun, penggunaan
opioid intravena tidak dianjurkan karena adanya efek lambat dari analgesia tersebut
terhadap fungsi pernapasan, dengan kata lain depresi pernapasan baru muncul setelah
beberapa waktu.(9) Oral analgesik seperti Non-Steroid Anti Inflammation Drugs
(NSAID) atau paracetamol dapat diberikan sebagai tambahan.

B. Sistem Respirasi padaPenderita Obesitas


1. Patofisiologi pernapasan pada penderita obesitas
a. Volume paru-paru
Penurunan kapasitas residu fungsional (Functional Residual Capacity atau FRC),
volume ekspirasi cadangan (Expiratory Reserve Volume atau ERV) dan kapasitas total
dari paru-paru merupakan masalah yang dihadapi penderita obesitas seiring dengan
peningkatan berat badan. Kapasitas residu fungsional menurun akibat penyempitan
saluran napas, ketidakseimbangan perfusi dan ventilasi, shunt dari kanan ke kiri, dan

25
hipoksemia arteri. Pemberian anestesi dikatakan menurunkan FRC sebesar 50 persen
pada penderita obesitas, sedangkan pada orang normal terjadi penurunan FRC sebesar
20 persen. Söderberg dan kolega dalam suatu studi menemukan adanya shunt
intrapulmonal dari 10 – 25 persen penderita obesitas yang dilakukan anestesi dan 2 – 5
persen pada orang normal. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dapat diberikan oksigen
dengan volume tidal yang besar ( 15 – 20 ml / kg ) walaupun hanya ditemukan
kenaikan saturasi oksigen yang minimal. Namun berbeda halnya dengan tekanan positif
pada akhir ekspirasi (Positive End- Expiratory Pressure atau PEEP) yang meningkat
pada FRC dan tekanan oksigen arterial. Defek pada pertukaran gas dan penambahan
shunt preoperatif terlihat ketika dilakukan induksi anestesi dan intubasi. Penambahan
PEEP meningkatkan osigenasi namun menurunkan cardiac output dan distribusi
oksigen.Karena kurangnya FRC, pada penderita obesitas terjadi kegagalan toleransi
ketika terjadi apnoe, selain itu terjadi desaturasi oksigen segera setelah induksi
anestesi.Hal ini karena kecilnya reservoir oksigen dan meningkatnya pemakaian
oksigen.Biasanya FRC berkurang sebagai konsekuensi reduksi dari ERV dengan tidal
volume dalam batas yang normal. Bagaimanapun juga, pada beberapa penderita
obesitas, tidal volume yang tinggi menandai terperangkapnya gas di dalam paru-paru
dan menyertai penyakit saluran napas obstruktif. Volume ekspirasi paksa dalam satu
detik dan kapasitas vital paksa biasanya tidak terpengaruh namun enam sampai tujuh
persen mengalami perbaikan seiring penurunan berat badan. (9,10)
b. Ambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida
Ambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida meningkat sebagai hasil dari
aktivitas metabolik pada jumlah lemak yang berlebihan dan bertambahnya simpanan
pada jaringan.Aktivitas metabolik basal (Basal Metabolic Activity atau BMA)
berhubungan dengan luasnya permukaan tubuh. Pemberian ventilasi beberapa menit
akan meningkatkan oksigen hingga terjadi normokapnia. Walaupun pada beberapa
penderita obesitas dapat berlanjut respon normal keadaan hipoksemia dan hiperkapnia
yang terjadi. Pada saat olahraga, penggunaan oksigen ini akan meningkat tajam dan
menandai adanya effisiensi yang buruk dari otot pernapasan dibandingkan pada orang
normal. (9,10)

c. Pertukaran gas

26
Preoperatif, penderita obesitas biasanya hanya mengalami sedikit defek pada
pertukaran gas dengan reduksi pada PaO2, meningkatnya perbedaan oksigen alveolar
dengan arterial, dan fraksi shunt. Induksi anestesi akan memperburuk keadaan ini,
maka diperlukan fraksi oksigen jumlah besar untuk memenuhi tahanan oksigen arterial.
(9,10)
d. Compliance dan resistensi thorak
Kenaikan berat badan sebanding dengan meningkatnya kesulitan bernapas yang
pada kasus berat bisa menurunkan hingga 30 persen dari pernapasan normal.Walaupun
terdapat akumulasi jaringan lemak di dalam dan sekitar dinding dada yang berakibat
tertahannya gerak dinding dada (restriksi), namun pada beberapa penelitian
dikemukakan bahwa hal ini disebabkan peningkatan volume darah dalam paru-
paru.Tertahannya gerak dinding dada juga berhubungan dengan penurunan FRC,
terhimpitnya saluran napas dan kegagalan pertukaran gas.Perubahan compliance dan
resistensi thorak terlihat dengan adanya napas cepat dan dangkal, frekuensi yang
meningkat dan berkurangnya kapasitas paru. (9,10)
e. Efisiensi pernapasan
Kombinasi dari tekanan intraabdomen, reduksi dari compliance, dan meningkatnya
kebutuhan metabolik dengan gerakan otot dada, menghasilkan gerak inefisien dari otot
dada tersebut, sehingga pada orang tersebut terjadi usaha bernapas lebih berat.Penderita
obesitas dengan normokapnia pada waktu istirahat menunjukkan 30 persen peningkatan
usaha bernapas dan terkadang terjadi hipoventilasi.Hipoventilasi ini menjadi empat kali
lebih berat pada waktu istirahat. (9,10)

2. Kelainan yang terjadi


Gangguan pernapasan yang paling sering terjadi pada penderita obesitas adalah
Obstructive Sleep Apnea (OSA). Predisposisi terjadinya OSA antara lain : laki-laki,
usia 30 - 40 tahun, obesitas dan konsumsi alkohol (saat senja) atau penggunaan sedatif
(saat malam).OSA memiliki karakteristik.
 Episode apnea atau hipopnea yang lebih sering terjadi saat tidur dan yang
membangunkan pasien tiba-tiba. Episode ini digambarkan sebagai obstruktif apnea
selama 10 detik atau lebih yang menyebabkan penutupan total dari saluran
bernapas dan adanya usaha keras untuk tetap bernapas. Hipopnea tergambarkan
sebagai reduksi dari 50 persen aliran udara yang adekuat yang berujung pada

27
penurunan empat persen saturasi oksigen pada arterial. Frekuensi episode apnea
atau hipopnea tercatat lebih dari lima kali per jam atau lebih dari 30 kali tiap
malam. Yang perlu diperhatikan adalah sekuele dari keadaan ini berupa : hipoksia,
hiperkapnia, hipertensi sistemik atau pulmonal dan aritmia.
 Apnea terjadi ketika faring mengalami kolaps saat seseorang tidur. Patensi dari
faring tersebut bergantung pada kerja otot dilator yang mencegah penutupan
saluran napas atas. Tonus otot ini akan menghilang ketika tidur, yang
menyebabkan pemendekan dari saluran napas, sehingga terjadi turbulensi aliran
udara sehingga terdengarlah snoring. Mengorok atau snoring biasanya terdengar
lebih keras jika obstruksi makin hebat. Ngorok ini juga diikuti periode sunyi
(silence) disaat tidak ada aliran udara yang masuk dan setelahnya akan terjadi
gasping atau choking yang membangunkan pasien dari tidurnya, bernapas beberapa
kali, dan tidur kembali (siklus ini berulang sepanjang waktu tidur).
 Efek samping : pada pagi hari, penderita OSA akan sering mengantuk, kehilangan
konsentrasi, masalah dalam memori atau ingatan dan bisa terjadi kecelakaan saat
menyetir atau bekerja. Terkadang penderita mengeluhkan pusing di pagi hari akibat
retensi karbondioksida(CO2) malam harinya dan vasodilatasi serebral.
 Perubahan fisiologi : hipoksemia, hiperkapnia, vasokonstriksi pulmonal dan
sistemik. Hipoksemia berulang dapat berujung pada polisitemia yang
meningkatkan resiko penyakit jantung iskemia dan penyakit serebrovaskular.
Sedangkan vasokonstriksi pulmonal berujung pada kegagalan ventrikel kanan
(right ventricle failure). Bila pada seseorang diketahui BMI > 30 kg/m2 , ada
riwayat hipertensi, apnea selama siklus tidur, lingkar leher > 16.5 cm, polisitemia,
hipoksemia, hiperkapnia, hipertrofi ventrikel kanan atau abnormalitas EKG, maka
perlu dilakukan diagnosis definitif dengan pemeriksaan polysomnografi untuk
memeriksa kemungkinan OSA.(12)

3. Implikasi anestesi
A. Premedikasi
Pemeriksaan preoperatif pada penderita obesitas diantaranya memeriksa
kemampuan pasien untuk bernapas dalam dan patensi dari jalan napas.Pemeriksaan
penunjang yaitu pemeriksaan darah lengkap, foto thoraks, gas darah, fungsi paru
dan oximetri.Mereka yang dicurigai OSA disarankan melakukan tes

28
polysomnografi. Pasien juga harus diingatkan resiko spesifik dari anestesi,
kemungkinan dilakukannya intubasi dalam kesadaran penuh, pemberian ventilasi
pascaoperasi bahkan trakeostomi.9
B. Durante anestesi
Induksi anestesi menjadi saat paling berbahaya pada pasien obesitas.Resiko
kesulitan atau gagal intubasi karena adanya obstruksi saluran napas bagian atas dan
menurunnya compliance pulmonal menjadi kekhususan tersendiri.Insuflasi gaster
selama anestesi juga meningkatkan resiko regurgitasi atau aspirasi isi gaster. 9
Pendekatan awal adalah pemilihan intubasi dalam kesadaran penuh atau tidur dalam
yang merupakan pilihan sulit. Hal itu banyak dipengaruhi pengalaman dokter
anestesi yang akan melakukannya. Beberapa penulis menyarankan intubasi dengan
kesadaran penuh terutama jika berat badan sesungguhnya > 175 persen berat badan
ideal. Apabila terdapat gejala OSA, maka sudah terpikirkan morfologi
jalan napas bagian atas yang sedikit berbeda yang membuat pemakaian ballow dan
sungkup menjadi sulit, sehingga intubasi dalam kesadaran penuh lebih disarankan.
Pendekatan lain adalah penggunaan laringoskop setelah pemberian lokal anestesi
pada faring.Intubasi sadar dengan fiberoptic dapat dipilih ketika struktur laring tidak
terlihat jelas.Tidak disarankan melakukan intubasi blind melalui hidung mengingat
kemungkinan epistaksis atau efek samping lainnya.9Teknik teraman dan cepat untuk
induksi anestesi menggunakan succinylcholine dengan diikuti pemberian oksigen
yang adekuat sebelumnya.Pasien obesitas tidak dibolehkan untuk bernapas spontan
selama anestesi berlangsung, mencegah terjadinya hipoventilasi, hipoksia dan
hiperkapnia.Posisi litotomi atau Tredelenburg dihindari mengingat pada posisi ini
terjadi reduksi volume paru. Ventilasi kontrol dengan fraksi oksigen tinggi
dibutuhkan untuk mencapai tekanan oksigen arterial yang adekuat, yang nantinya
pemeriksaan serial gas darah diperiksa untuk mengontrol hal ini.(7,9)
C. Post anestesi
Komplikasi pulmonal sering terjadi pada penderita obesitas. Pemeriksaan fungsi
paru preoperatif tidak dapat memprediksi keadaan yang sama pascaoperatif. Hal ini
karena pada pasien obesitas sensitivitas terhadap obat sedatif, analgesik opioid dan
anestesi meningkat. Pemberian ventilasi pascaoperasi bermanfaat untuk eliminasi
efek obat-obat tersebut, selain dapat diberikan pada mereka dengan penyakit kardio-
respiratori yang telah diketahui sebelumnya, retensi karbondioksida, dan mereka
yang baru menjalani operasi dalam waktu lama atau mengalami pyrexia pasca

29
operasi.(9) Ekstubasi hanya boleh dilakukan ketika pasien sadar penuh dan
dipindahkan ke Recovery Room dengan posisi duduk 45 derajat. Oksigen tambahan
segera diberikan dan dilatih untuk bernapas seperti biasa. (9)

C. Sistem Gastrointestinalpadapenderita Obesitas


Kombinasi dari tekanan intraabdomen yang tinggi, tingginya volume dan
rendahnya pH dalam gaster, lambatnya pengosongan gaster dan tingginya faktor
resiko hiatus hernia dan gastro-esofageal refluks dipercayai menempatkan pasien
obesitas pada resiko terjadinya aspirasi asam lambung diikuti pneumonitis
aspirasi.Zacchi melakukan studi yang menunjukkan bahwa pada penderita obesitas
tanpa gejala gastro-esofageal refluks dan lintasan gastro-esofageal ternyata struktur
anatominya tidak berbeda dengan orang normal (baik pada posisi duduk atau
berbaring). Walaupun penderita obesitas memiliki volume dalam gasternya 75
persen lebih besar dari orang normal, melalui studi tersebut juga diketahui bahwa
pengosongan gaster justru lebih cepat pada penderita obesitas, terutama pada intake
energi tinggi seperti emulsi lemak. Karena adanya resiko aspirasi asam, maka ada
keharusan diberikannya H2-receptor antagonis, antasid dan prokinetik, juga
dilakukannya induksi yang cepat dengan tekanan pada krikoid dan ekstubasi trakea
ketika pasien sadar penuh.(9,13) Keadaan pada penderita obesitas yang menjadi
perhatian sehubungan dengan sistem gastrointestinal, diantaranya (9,13) :
1. Diabetes mellitus.
Setiap penderita obesitas yang akan menjalani operasi, harus diperiksa gula
darahnya, baik gula darah sewaktu atau dapat juga dilakukan tes toleransi glukosa.
Respon katabolik selama operasi mungkin mengindikasikan pemberian insulin
pascaoperasi untuk mengontrol konsentrasi glukosa dalam darah. Kegagalan dalam
menjaga konsentrasi ini akan berakibat tingginya resiko infeksi pada luka operasi
dan infark miokard pada periode iskemia miokard.
2. Penyakit tromboembolik.
Resiko trombosis vena dalam pada penderita obesitas dapat disebabkan karena
imobilisasi yang lama.Polisitemia, peningkatan tekanan intraabdomen dengan
peningkatan stasis vena terutama pada ekstremitas bawah, gagal jantung dan
berkurangnya aktivitas fibrinolitik yang menyebabkan tingginya konsentrasi
fibrinogen juga menjadi predisposisi terjadinya keadaan ini.Oleh karena itu pada
penderita obesitas harus ada pengawasan terhadap keadaan-keadaan tersebut.

30
2.5 ANESTESI BLOK SUBARAKNOID PADA SEKSIO SESAREA
A. Definisi Anestesi Blok Subarachnoid
Anestesi spinal (blok subarachnoid) merupakan salah satu teknik anestesi
regional yang sering dipilih pada tindakan Sectio Caesarea. Anestesi regional sendiri,
yaitu suatu tindakan menekan transmisi impulsnyeri dan menekan saraf otonom eferen
ke adrenal. Anestesi spinal merupakan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke
dalam cairan serebrospinalis di dalam ruang subarachnoid melalui tindakan pungsi
lumbal untuk menimbulkan hilangnya sensasi dan blok motorik setinggi dermatom
tertentu sesuai yang diinginkan. Anestesi spinal atau bloksubarachnoid disebut juga
sebagai analgesi atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan
obat analgesik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau
L3-L4 atau L4-L5.
Teknik ini sederhana, mudah dikerjakan dan paling efektif untuk pasien Sectio
Caesarea.Selain itu intubasi endotrakeal pada penanganan anestesi ibu dengan
preeklampsia dapat meningkatkan keparahan hipertensi, oleh karena itu anestesi
regional lebih menjadi pilihan.
Area tulang belakang manusia atau yang disebut kolumna vertebralis terdiri
dari 33 korpus vertebralis yang dibagi menjadi 5 (lima) segmen yaitu 7 vertebra
servikal, 12 vertebra torakal, 5 vertebra lumbal, 5 vertebra sakral dan 4 vertebra
koksigeus menyatu pada dewasa, yang dihubungkan dengan melekatnya kelompok-
kelompok saraf.

31
Gambar 2. Penampang Kolumna Vertebralis Manusia

B. Indikasi Dan Kontraindikasi Anestesi Blok Subarachnoid


Indikasi tindakan anestesi blok subarachnoid adalah pada tindakan bedah daerah
tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papilla mammae kebawah),
abdomen bawah, inguinal, bedah panggul, tindakan sekitar rektum-perineum, bedah
obstetrik-ginekologi, bedah urologi, bedah ekstremitas bawah.
Kontraindikasi anestesi spinal ada dua macam yakni relatif dan absolut.

Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif


1. Pasien menolak 1. Infeksi  sistemik (sepsis, bakteremia)
2. Infeksi pada tempat suntikan 2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Hipovolemia berat 3. Kelainan neurologis
4. Koagulopati atau mendapat terapi 4. Kelainan psikis
antikoagulan 5. Bedah lama
5. Tekanan intrakranial meninggi 6. Penyakit jantung
6. Fasilitas resusitasi minim 7. Hipovolemia ringan
7. Kurang  pengalaman atau / tanpa 8. Nyeri punggung kronis
didampingi konsultan anestesi

C. Keuntungan dan Kerugian Anestesi Blok Subarachnoid


Keuntungan anestesi regional adalah penderita tetap sadar, sehingga refleks jalan
napas tetap terpelihara.Muntah dan aspirasi bukan kondisi membahayakan pada
anestesi regional.Obat anestetik regional seperti bupivakain tidak terlalu toksik untuk
janin. Waktu prosedur analgesia spinal lebih singkat, relatif mudah, efek analgesia lebih
nyata (kualitas blok motorik dan sensorik yang baik), mula kerja danmasa pulih yang
cepat.Pada anestesi spinal ibu tetap sadar sehingga bisa melihat bayinya tepat setelah
lahir.
Kerugian pada anestesi spinal adalah hipotensi lebih cepat terjadi dan berat,
penderita takut, operasi belum selesai, obat habis, perlu waktu lebih lama, tidak selalu
100% berhasil, tidak bisa untuk lokasi tertentu, bisa timbul intoksikasi, mual dan
muntah, lama kerja terbatas (operasi belum selesai, masa kerja obat habis). Kerugian

32
anestesi pada pasien dengan preeklampsia ialah meningkatkan resiko tidak stabilnya
hemodinamik selama operasi.

D. Persiapan Dan Peralatan Anestesi


1. Persiapan Anestesi Blok Subarachnoid
Pasien yang akan mengalami anestesi dan pembedahan dapat dikategorikan
dalam beberapa kelas status fisik yang dinyatakan dengan status anestesi menurut The
American Society Of Anesthesiologist (ASA):
ASA I : Pasien tanpa gangguan organik, fisiologik, biokemik
maupun psikiatrik. Proses patologis yang akan
dilakukan operasi terbatas lokalisasinya dan tidak akan
menyebabkan gangguan sistemik.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai
sedang, yang disebabkan baik oleh keadaan yang harus
diobati dengan jalan pembedahan maupun oleh proses
patofisiologis.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik yang berat, apapun
penyebabnya, namun tidak mengancam nyawa.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang
mengancam jiwa, yang tidak selalu dapat dikoreksi
dengan pembedahan. Contoh pasien dengan
dekompensasi jantung.
ASA V : Pasien yang hanya mempunyai kemungkinan kecil
untuk hidup.

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia
umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,
misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak
teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
a. Informed consent (izin dari pasien)
Tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesi spinal.
b. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung.
c. Pemeriksaan laboratorium anjuran

33
Hemoglobin, trombosit, PT (prothrombine time) dan APTT (activated partial
thromboplastine time).

2. Peralatan Anestesi Blok Subarachnoid:


a. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG.
b. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quincke bacock) atau
jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point whitecare).

Gambar 3. Jenis Jarum Spinal

E. Teknik Anestesi Blok Subarachnoid


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah
ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa
dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat
pasien membungkuk maksimal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain
adalah duduk.

34
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis krista iliaka, misal L2-
L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap
medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
Gambar 5. Tindakan Desinfeksi Daerah Tusukan Pada Anestesi Spinal

4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% sebanyak
2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G
dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10 cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan
jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum
tajam (quincke bacock)), irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater,
yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau ke bawah, untuk
menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca
spinal. Setelah resensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor,
pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau
anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar
arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinu dapat
dimasukan kateter.
Gambar 6.

Tindakan

Anestesi Spinal

35
Struktur yang dilalui oleh jarum spinal untuk mencapai cairan serebrospinalis,
yaitu jarum suntik akan menembus kulit, subkutis, ligamentum Supraspinosum,
ligamentum Interspinosum, ligamentum Flavum, ruang epidural, duramater, ruang
subarachnoid.

F. Obat-Obat Anestesi Blok Subarachnoid


Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 270C ialah sebesar 1.003 - 1.008.
Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik, sedangkan anestetik
lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik, sebaliknya anestetik lokal
dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik. Anestetik lokal yang sering
dipakai adalah jenis hiperbarik yang diperoleh dengan mencampur anestetik lokal dengan
dekstrosa, hal ini membuat obat anestesi tersebut menjadi lebih berat dan lebih
pekat.Hiperbarik digunakan khusus untuk blok subarachnoid.
Dua jenis golongan obat anestesi lokal yaitu: ester (cocain, procain, chloroprocain,
tetracain) dan amide (dibucain, lidocain, mepivacain, prilocain, bupivacain, etidocain,
ropivacain).Masing-masing mempunyai sifat yang berbeda. Hidrolisa golongan ester
berjalan cepat sehingga daya kerjanya singkat, sedangkan hidrolisa golongan amide
berjalan lebih lambat dan memiliki waktu paruh 1,6 - 8 jam. Obat dengan durasi kerja
paling panjang dan potensi tinggi adalah obat bupivacaine. Obat anestesi spinal yang
sering dipergunakan ialah bupivakain 0,5% dalam dekstrosa 8,25% dengan dosis 10-20
mg.Mula kerja bupivakain lambat dibanding lidokain, tetapi lama kerja bisa sampai 8 jam.
Bupivakain sering digunakan karena ikatan dengan protein plasma lebih besar, sehingga
dengan pemberian dalam jumlah kecil pengaruhnya terhadap bayi sangat kecil sekali
(reaksi toksik dan transfer melalui plasenta jarang dijumpai).
Ruang subarachnoid lebih kecil pada wanita hamil dibanding wanita tidak hamil,
sehingga dengan dosis obat anestesi yang sama, blokade jauh lebih tinggi pada ibu hamil
dibanding wanita tidak hamil, oleh karena itu diperlukan pengurangan dosis.
Selama operasi berlangsung atau pasca operasi, pasien biasa mengalami gemetaran
yang tidak ada hubungannya dengan hipotermi.Petidine cukup efektif untuk
menghilangkan gemetaran tersebut. Petidine adalah zat sintetik yang formulanya sangat
berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang hampir
sama. Petidin lebih larut dalam lemak, metabolisme oleh hepar lebih cepat dan
menghasilkan normeperidin, asam meperidinat, dan asam normeperidinat.Normeperidin

36
ialah metabolit yang masih aktif yang memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidine, tetapi
efek analgesinya sudah berkurang 50%.Dosis Petidine yang diberikan 20-25 mg intravena.

G. Terapi Cairan Pembedahan


Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti milieu interiur dalam
batas-batas fisiologis dengan cairan kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander)
secara intravena.Pembedahan dengan anestesia memerlukan puasa sebelum dan sesudah
pembedahan.Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit cairan saat puasa
sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan,
mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan yang pindah ke rongga
peritoneum dan ke luar tubuh.Cairan kristaloid (elektrolit) digunakan sebagai cairan
pemeliharaan bertujuan untuk mengganti kehilangan air tubuh lewat urin, feses, paru dan
keringat.
Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang peritoneum, ke luar tubuh.
Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya pembedahan. Pembedahan besar: 6 - 8
ml/KgBB, 4 - 6 ml/KgBB untuk pembedahan sedang, dan 2 - 4 ml/KgBB untuk
pembedahan kecil.
Perdarahan pada pembedahan tidak selalu perlu transfusi, untuk perdarahan di
bawah 20% dari volume darah total cukup diganti dengan cairan infus yang komposisi
elektrolitnya kira - kira sama dengan komposisi elektrolit serum misalnya dengan cairan
Ringer Laktat. Volume darah wanita dewasa ialah 65 ml/KgBB.Koloid atau plasma
ekspander kalau diberikan secara intravena dapat bertahan lama di sirkulasi, koloid dapat
berupa gelatin (gelofusin).
Sebaliknya, total cairan tubuh meningkat karena kebocoran kapiler akibat aktivasi
sel endotel. Ketidakseimbangan ini timbul sebagai gejala edema perifer patologik,
proteinuria, asites dan total cairan paru. Alasan-alasan ini yang membuat penggantian
kebutuhan cairan secara agresif meningkatkan resiko terjadinya edema paru, terutama
pada 72 jam pertama post partum. Resiko ini dapat dihindari dengan pemberian cairan
secara bijaksana, yaitu dengan 500 ml hingga 1000 ml cairan kristaloid. Suatu penilitian
oleh Lucas, dkk pada tahun 2001 melaporkan tidak adanya kejadian edema paru diantara
wanita yang diberikan cairan kristaloid terbatas, yaitu 500 cc sebagai cairan pre operatif.

37
H. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketinggian Blok Analgesia Spinal
- Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
- Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
- Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikanbatas daerah
analgetik
- Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.
Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan ialah 3 detik untuk 1 ml larutan.
- Manuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan
akibat batas analgesia bertambah tinggi.
- Tempat pungsi: pengaruhnya besar, obat hiperbarik pada L4-L5 cenderung
berkumpul ke kaudal (saddle block), obat hiperbarik pada pungsi L2-L3 atau L3-
L4 cenderung menyebar ke kranial.
- Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik.
- Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapatkan batas
analgesia yang lebih tinggi.
- Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar dosis
yang diperlukan (berat badan tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
- Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik sudah
menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motoris dan
hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi.

Tabel 1. Level Ketinggian Blok Segmen Untuk Operasi28

Tempat Operasi Level Blok

Ekstremitas Bawah T-12

Panggul T-10

Vagina, Uterus T-10

Vesica urinaria, Prostat T-10

Testis, Ovarium T-8

Intraabdomen bagian bawah T-6


38
Bagian intraabdomen lain T-4
I. Komplikasi Anestesi Blok Subarachnoid
Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi tindakan dan komplikasi
pasca tindakan.
1. Komplikasi Tindakan:
a. Hipotensi
Efek samping penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah terjadinya
hipotensi.Kejadian hipotensi pada tindakan anestesi spinal merupakan manifestasi
fisiologis yang biasa terjadi. Hal ini terjadi karena: (1) penurunan aliran darah balik,
penurunan secara fungsional volume sirkulasi efektif karena vasodilatasi, dan
penumpukan darah; (2) penurunan tahanan pembuluh darah sistemik karena
vasodilatasi; dan (3) penurunan curah jantung karena penurunan kontraktilitas dan
denyut jantung.
Mekanisme utama penyebab hipotensi setelah anestesi spinal adalah blok
simpatis yang menyebabkan dilatasi arteri dan vena. Dilatasi arteri menyebabkan
penurunan tahanan perifer total dan tekanan darah sistolik. Dilatasi vena dapat
menyebabkan hipotensi yang berat sebagai akibat penurunan aliran balik vena dan
curah jantung.Kondisi ini diperburuk oleh penekanan dari aorta dan vena kava inferior
oleh uterus yang hamil ketika pasien dalam posisi terlentang.Tetapi sebetulnya hal ini
tidak boleh terjadi karena ketika terjadi hipotensi, perfusi organ dan perfusi darah ke
plasenta menjadi tidak adekuat sehingga oksigenasinya tidak adekuat. Dikatakan
hipotensi jika terjadi penurunan tekanan darah sistolik, biasanya 90 mmHg atau 100
mmHg, atau penurunan lebih dari 30 mmHg dari tekanan darah sebelum anestesi, atau
penurunan persentase 20% atau 30% dari biasanya. Dan lamanya perubahan
bervariasi dari 3 sampai 10 menit.Oleh karena itu kejadian hipotensi harus dicegah.
Ada beberapa cara untuk mencegah atau mengatasi hipotensi akibat anestesi
spinal, yaitu dengan pemberian cairan prahidrasi 500-1000 cc atau Ringer Laktat (RL)
1000-1500 cc. Selain cairan prahidrasi sebagai pencegahan, selama operasi bila
tekanan sistolik mulai turun 10 mmHg, infus cairan kristaloid dipercepat dan juga
diberi obat efedrin. Efedrin merupakan vasopressor pilihan yang digunakan pada
anestesi obstetrik untuk mencegah hipotensi akibat anestesi spinal.Efedrin adalah obat
sintetik non katekolamin (simpatomimetik) yang mempunyai aksi langsung dengan
menstimuli reseptor β1, β2, α1 adrenergik dan aksi tak langsung dengan melepaskan
norepinefrin endogen. Hal ini meningkatkan tekanan darah dengan cara meningkatkan

39
frekuensi detak jantung dan curah jantung dan meningkatkan resistensi pembuluh
darah perifer.
Efedrin akan menyebabkan peningkatan curah jantung, denyut jantung dan
tekanan darah sistolik maupun diastolik. Menurunkan aliran darah splanikus dan
ginjal tetapi meningkatkan aliran darah ke otak dan otot.Pemberian efedrin dapat
secara subkutan, intramuskular, bolus intravena, dan infus kontinu.Pada praktek
sehari-hari, efedrin diberikan secara bolus intravena 5-10mg atau 10-20 mg intravena
bila terjadi hipotensi akibat anestesi spinal.Pemberian dapat diulang tiap 3-5 menit
hingga tekanan darah kembali normal atau mencapai tekanan darah yang diinginkan.
b. Bradikardia
Efek samping kardiovaskuler, selain hipotensi ialah bradikardi merupakan
perubahan fisiologis yang paling penting dan sering pada anestesi spinal.Pemahaman
tentang mekanisme homeostasis yang bertujuan untuk mengontrol tekanan darah dan
denyut jantung penting untuk merawat perubahan kardiovaskuler terkait dengan
anestesi spinal.
Perubahan frekuensi denyut nadi merupakan salah satu tanda vital pada
anestesi spinal.Frekuensi denyut nadi yang tidak stabil dapat menyebabkan
bradikardi.Karena itu pemilihan obat anestesi spinal merupakan hal yang penting
mengingat adanya efek-efek yang ditimbulkan.Komplikasi brakikardi harus segera
diterapi dengan sulfas atropin.Sulfas atropin merupakan obat parasimpatolitik yang
menghambat pengaruh nervus vagus pada SA Node. Dosis pada orang dewasa sebesar
0,5 mg intravena dapat diulangi sampai 2 mg.
c. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas.
d. Mual-muntah
Mual dan muntah pasca anestesi biasa terjadi setelah anestesi umum terutama
pada penggunaan opioid, bedah intraabdomen, hipotensi dan pada analgesia
regional.10 Mual-muntah akibat anestesia selama Sectio Caesareaterjadi akibat
kompresi aortokaval dan akibat hipotensi sehingga hipoperfusi di batang otak, oleh
karena itu pasien diberi terapi oksigen untuk mengatasi rendahnya perfusi aliran darah
ke otak.
Obat mual-muntah yang sering digunakan pada perianestesia ialah
ondansetron 0,05 - 0,1 mg / KgBB intravena atau metoklopramid 0,1 mg / KgBB
intravena.10 Suatu perbandingan antara metoklopramide dengan ondansetron oleh

40
Randomised Controlled Trial (RCTs) menunjukkan bahwa ondansetron (antagonis
5HT3) lebih efektif daripada metoklopramide dalam mengurangi keluhan mual-
muntah.
National Sentinel Caesarean Section Audit (NSCSA) melaporkan bahwa
sekitar 98% unit pelayanan kesehatan di Inggris menggunakan anti reseptor histamine
H2 (ranitidin) untuk mengurangi produksi asam lambung dengan cara melawan
histamine dalam meningkatkan sekresi cairan lambung yang mengandung ion H
tinggi. Obat ini memerlukan waktu 1 jam setelah pemberian secara intravena untuk
mencapai puncak aktifitas kerjanya.
e. Trauma saraf
f. Gangguan pendengaran
g. Blok spinal tinggi atau spinal total
J. Komplikasi Pasca Tindakan
Komplikasi pasca tindakan ialah nyeri di tempat suntikan, nyeri punggung,
nyeri kepala karena kebocoran likuor, retensio urin dan Meningitis

2.6 MEDIKAMENTOSA
A. Bupivacaine
1. Farmakodinamik :
Obat menembus saraf dalam bentuk tidak terionisasi (lipofilik), tetapi saat
di dalam akson terbentuk beberapa molekul terionisasi, dan molekul-molekul ini
memblok kanal Na+, serta mencegah pembentukan potensial aksi.Absorpsi
sistemik anestetik ini dapat mengakibatkan perangsangan dan atau penekanan
sistem saraf pusat.Rangsangan pusat biasanya berupa gelisah, tremor dan
menggigil, kejang, diikuti depresi dan koma, akhirnya terjadi henti napas.Fase
depresi dapat terjadi tanpa fase eksitasi sebelumnya.

2. Farmakokinetik :
Kecepatan absorpsi anestetik ini tergantung dari dosis total dan konsentrasi
obat yang diberikan, cara pemberian, dan vaskularisasi tempat pemberian, serta
ada tidaknya epinefrin dalam larutan anestetik. Bupivacaine mempunyai awitan
lambat (sampai dengan 30 menit) tetapi mempunyai durasi kerja yang sangat
panjang,sampai dengan 8 jam bila digunakan untuk blok syaraf. Lama kerja

41
bupivacaine lebih panjang secara nyata daripada anestetik lokal yang biasa
digunakan. Juga terdapat periode analgesia yang tetap setelah kembalinya sensasi.
3. Efek samping :
Penyebab utama efek samping kelompok obat ini mungkin berhubungan
dengan kadar plasma yang tinggi, yang dapat disebabkan oleh overdosis, injeksi
intravaskuler yang tidak disengaja atau degradasi metabolik yang lambat.
 Sistemik : Biasanya berkaitan dengan sistem saraf pusat dan
kardiovaskular seperti hipoventilasi atau apneu, hipotensi dan henti jantung.

 SSP : Gelisah, ansietas, pusing, tinitus, dapat terjadi penglihatan kabur atau
tremor, kemungkinan mengarah pada kejang. Hal ini dapat dengan cepat
diikuti rasa mengantuk sampai tidak sadar dan henti napas. Efek SSP lain yang
mungkin timbul adalah mual, muntah, kedinginan, dan konstriksi pupil.

 Kardiovaskuler  : Depresi  miokardium,  penurunan  curah jantung,  hambatan


jantung, hipotensi, bradikardia, aritmia ventrikuler, meliputi takikardia
ventrikuler dan fibrilasi ventrikuler, serta henti jantung.

 Alergi : Urtikaria, pruritus, eritema, edema angioneuretik (meliputi edema


laring), bersin, episode asma, dan kemungkinan gejala anafilaktoid (meliputi
hipotensiberat).

 Neurologik : Paralisis tungkai, hilangnya kesadaran, paralisis pernapasan dan


bradikardia (spinal tinggi), hipotensi sekunder dari blok spinal, retensi
urin,inkontinensia fekal dan urin, hilangnya sensasi perineal dan fungsi
seksual;anestesia  persisten,  parestesia, kelemahan,  paralisis  ekstremitas
bawah  dan hilangnya kontrol sfingter, sakit kepala,  sakit punggung,
meningitis septik, meningismus, lambatnya persalinan, meningkatnya kejadian
persalinan dengan forcep, atau kelumpuhan saraf kranial karena traksi saraf
pada kehilangan cairanserebrospinal.13,14

B. Ondancetron
1. Farmakodinamik
Mekanisme kerja obat ini sebenarnya belum diketahui dengan pasti.
Meskipun demikian yang saat ini sudah diketahui adalah bahwa Ondansetron
bekerja sebagai antagonis selektif dan bersifat kompetitif pada reseptor 5HT3,

42
dengan cara menghambat aktivasi aferen-aferen vagal sehingga menekan
terjadinya refleks muntah.
2. Farmakokinetik
Konsentrasi akan diserap dengan cepat maksimum (30 ng / ml) dalam plasma
dapat dicapai dalam 10 menit dengan pemberian Ondansetron 4 mg i.v.
Bioavalibilitas oral absolut Ondansetron sekitar 60%. Kondisi sistemik yang
setara juga dapat dicapai melalui pemberian secara i.m atau i.v. Waktu paruhnya
sekitar 3 jam.
Volume distribusi dalam keadaan statis sekitar 140 L. Ondansetron yang
berikatan dengan protein plasma sekitar 70 – 76%. Ondansetron dimetabolisme
sanagt baik di sistem sirkulasi, sehingga hanya kurang dari 5 % saja yang
terdeteksi di urine.
3. Indikasi
a. Mencegah dan mengobati mual-muntah akut pasca bedah
b. Mencegah dan mengobati mual-muntah pasca kemoterapi pada penderita
kanker
c. Mencagah  dan mengobati mual-muntah pasca radioterapi pada penderita
kanker
4. Kontraindikasi
Pasien hipersensitif terhadap Ondansetron
5. Interaksi Obat
Karena Ondansetron dimetabolisme oleh enzim metabolik sitokrom P-450,
perangsangan dan penghambatan terhadap enzim ini dapat mengubah klirens dan
waktu paruhnya. Pada penderita yang sedang mendapat pengobatan dengan obat-
obat yang secara kuat merangsang enzim metabolisme CYP3A4 (seperti Fenitoin,
Karbamazepin dan Rifampisin), klirens Ondansetron akan meningkat secara
signifikan, sehingga konsentrasi dalam darah akan menurun.
6. Peringatan dan Perhatian
Ondansetron sebaiknya tidak digunakan pada wanita hamil, khususnya pada
trimester I, kecuali jika terdapat resiko yang lebih berat pada bayi akibat
penurunan berat badan ibu. Ondansetron dieksresi pada air susu ibu, sehingga
dianjurkan untuk tidak diberikan pada ibu menyusui
7. Efek Samping

43
Ondansetron pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Konstipasi
merupakan efek samping yang paling sering ditemukan (11%). Kadang dapat
dijumpai sakit kepala, wajah ke merahan (flushing), rasa panas atau hangat di
kepala dan epigastrium yang bersifat sementara. Peningkatan aminotransferase
tanpa disertai gejala-gejala, Kadang juga dapat dijumpai peningkatan serum
transaminase (5%) dan ruam kulit (1%), sedasi dan diare, karena meningkatnya
waktu transfer di usus besar.
Pernah dilaporkan terjadinya reaksi hipersensitif sampai kejadian anafilaksis
dan gangguan visual sementara (pandangan kabur). Juga pernah dilaporkan
terjadinya gerakan-gerakan tanpa sadar, setelah pemberian Ondansetron secara
cepat, tetapi kasus ini sangat jarang dan tanpa disertai gejala-gejala sisa 13,14

C. Ephedrin Hcl
Pemberian vasopresor, seperti efedrin, sering sekali dipakai untukpencegahan
maupun terapi hipotensi pada pasien kebidanan.Obat ini merupakan suatu
simpatomimetik non katekolamin dengan campuran aksi langsung dan tidak
langsung.obat ini resisten terhadap metabolisme MAO dan metiltransferase katekol
(COMT), menimbulkan aksi yang berlangsung lama. Efedrin meningkatkan curah
jantung, tekanan darah, dan nadi melalui stimulasi adrenergik alfa dan
beta.meningkatkan aliran darah koroner dan skelet dan menimbulkan bronkhodilatasi
melalui stimulasi reseptor beta 2. Efedrin mempunyai efek minimal terhadap aliran
darah uterus.dieliminasi dihati, dan ginjal. Namun, memulihkan aliran darah uterus
jika digunakan untuk mengobati hipotensi epidural atau spinal pada pasien hamil.
Efek puncak : 2-5 menit, Lama aksi : 10-60 menit. Interaksi/Toksisitas:
peningkatan resiko aritmia dengan obat anetesik volatil, dipotensiasi oleh anti depresi
trisiklik, meningkatkan MAC anestetik volatil.Keuntungan pemakaian efedrin ialah
menaikan kontraksi miokar, curah jantung, tekanan darah dampai 50%, tetapi sedikit
sekali menurunkan vasokonstriksi pembuluh darah uterus. Menurut penyelidikan
Wreight, efedrin dapat melewati plasenta dan menstimulasi otak bayi sehingga
menghasilkan skor Apgar yang lebih tinggi.
Dianjurkan pemberian efedrin cara intravena kalau terjadi hipotensi atau sudah
terjadi penurunan tekanan darah 10 mmHg; dosisnya 10 mg yang diulang sampai
tekanan darah kembali ke awa1. Bayi yang dilahirkan dengan cara ini mempunyai

44
skor Apgar sangat baik; pemeriksaan pH dan base-excessnya dalam batas normal, dan
sikap neurologi bayi setelah 4 - 24 jam dilahirkan sangat baik.

BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. M.K
Umur : 31 tahun (12 – 06 - 1987)

45
Alamat : Abepura
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 88 kg
Tinggi Badan : 153 cm
Agama : Kristen Protestan
Pendidikan : Sekolah Menengah Atas (SMA)
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku Bangsa : Sulawesi, Indonesia
Status Maritas : Sudah Menikah (2017)
Ruangan : VK IGD
Tanggal MRS : 20 Desember 2018
Tanggal Operasi : 21Desember 2018
No. RM : 43 xx xx

3.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 20 Desember 2018
A. Keluhan Utama
Mules-mules yang semakin sering
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD kebidanan dengan membawa rujukan dari dr. J.W,
Sp.OG dengan G1P0A0 Hamil 40-42 minggu dengan PEB. Pasien datang dengan
keluhan mules-mules yang semakin sering. Keluar air-air disertai lendir darah
disangkal oleh pasien. Pasien juga mengeluh sakit kepala, terasa tegang pada leher
bagian belakang dan sering mual-mual, keluhan tersebut sudah dirasakan ± 3 hari
SMRS. Nyeri epigastrium, muntah, pandangan kabur dan kejang disangkal oleh
pasien. Pasien mengaku hamil 9 bulan, hari pertama hait terakhir tanggal 10-03-
2018, tafsiran partus 17-12-2018. Pasien mengaku kontrol kehamilan empat kali.
Satu kali di PKM Abepura dan tiga kali di dokter Sp.OG. immunisasi TT satu kali.
Rencana SC tanggal 21 Desember 2019.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat diabetes mellitus, asma dan penyakit jantung disangkal oleh
pasien.Riwayat hipertensi sebelumnya juga disangkal.
D. Riwayat Penyakit Keluarga

46
Riwayat hipertensi, diabetes mellitus dan asma dalam keluarga pasien disangkal.
E. Riwayat Pengobatan dan Alergi
Selama hamil, pasien mengaku tidak minum obat-obatan atau jamu.Pasien juga
tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat atau makanan.
F. Riwayat Anestesi dan Pembedahan Sebelumnya
Pasien tidak memiliki riwayat anastesi maupun pembedahan sebelumnya.
G. Riwayat Obstetri

Kehamilan Jenis Anak

No Umur Penyulit Penolong Persalinan JK BB Hidup Mati

1 Hamil ini

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis, GCS: E4V5M6
Berat badan : 88 Kg
Tinggi badan : 153 cm
IMT : 37,3

Tanda-tanda vital:
- Tekanan darah : 160/90 mmHg
- Nadi : 92 x/menit, reguler, kuat angkat, terisi cukup
- Respirasi : 24 x/menit
- Suhu Badan : 37,20C

Kepala Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),


Pupil: bulat, isokor, diameter ODS: 3 mm,
Refleks cahaya (+/+)
: Hidung : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-)
Telinga : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-)

47
Mulut : Deformitas (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), peningkatan JVP (-)
Thoraks Paru : Inspeksi : Gerak dinding dada asimetris,
retraksi dinding dada (-), jejas (-),
Palpasi : Vocal fremitus dextra = sinistra

Perkusi : Sonor dikedua lapang paru


Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), suara rhonki (-/-),
suara wheezing (-/-)
Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
: Palpasi : Tidak dievaluasi
Perkusi : Tidak dievaluasi

Auskultasi : Bunyi jantung I-II, reguler, murmur (-),


gallop (-)

Abdomen : Inspeksi : Tampak cembung, dinding perut lebih tinggi dari dinding
dada, striae gravidarum (+),
Palpasi : Distens, nyeri tekan epigastrium (-), Hepar/Lien : Sulit
dievaluasi
Perkusi : Tidak dilakukan evaluasi
Auskultasi : Bising usus (+), 2-4 kali/menit
Ekstremitas : Akral teraba hangat, kering dan merah, Capillary Refill Time< 2”,
Edema (+) ektermitas inferior
Kekuatan otot di ekstremitas superior et inferior: 5

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Hematologi (20-12-2018)

Jenis pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai rujukan


HGB 12,3 gr/dl (M:14,0-17,4 ; F:12,0-16,0)
MCV 79,6 fl 84,0 - 96,0
MCH 27,4 pg 28,0 - 34,0
MCHC 34,4 gr/dl 32,0 – 36,0
PLT 221 (103/ul) 150 – 400

48
WBC 4,42 (103/ul) 3,69 – 5,46
PT 10.78
APTT 23.5

B. Urinalisa (20/12/2018)

Jenis pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai rujukan


Warna Kuning Kuning muda – kuning
Kekeruhan Agak keruh Tidak ada
pH 6,0 4,6 – 8,5
Berat jenis 1.030 1.002 – 1.030
Protein +3 Negatif : tidak ada
protein dalam urin
+ 1: 15 – 30 mg/dl
+ 2: 100 mg/dl
+ 3: 300 mg/dl
+ 4:1000 mg/dl
Urobilin Negatif Normal
Bilirubin Negatif Tidak ada
Nitrit Negatif Tidak ada
Keton Negatif Tidak ada
Leukosit esterase Negatif Tidak ada
Darah / blood Negatif Tidak ada

3.5 DIAGNOSIS
G1P0A0 Hamil 40-42 minggu, janin tunggal hidup, presentasi kepala dengan PEB

3.6 RENCANA TINDAKAN


Pada pasien ini direncanakan Tindakan Operasi seksio sesarea dengan jenis anestesi
Regional subaraknoid blok pada tanggal 21Desember 2018

49
3.7 KONSULTASI TERKAIT
Konsultasi Bagian Anestesi
Advice : Pasien dengan PS ASA III dengan Preeklampsia dan obesitas.
Inform consent
Pasang IV line
Pasien mulai puasa jam 24.00 wit
Siap Whole Blood 1-2 bag

3.8 PENENTUAN PS ASA / STATUS ANESTESI


PS. ASA : PS ASA III (Pasien dengan gangguan sistemik beratyang disebabkan karena
berbagai penyebab tetapi tidak mengancam nyawa).

3.9 PERSIAPAN ANESTESI

Hari/Tanggal : 20Desember 2018


Persiapan Operasi : Inform consent (+), SIO (+), puasa (+)
Makan/Minum Terakhir : 8 jam sebelum operasi
BB/TB : 88 Kg/153 cm
TTV di Ruang Operasi Tekanan darah:160/90 mmHg; nadi: 92x/m, reguler, kuat angkat,
:
(21-10-2018,09.40WIT) terisi penuh; respirasi: 24x / menit; suhu badan:36,7oC
SpO2 : 99%
Diagnosa Pra Bedah G1P0A0 gravida aterm 41-42 minggu, janin tunggal hidup,
:
presentasi kepala, dengan PreeklampsiaBerat.
Indikasi Pra Bedah : Preeklampsia berat
B1 : Airway:
Loo Jalan napas bebas, tidak terpasang O2 ,Mallampati
:
k Score: II.
Feel : Terasa hembusan nafas pasien di pipi pemeriksa.
Liste Terdengar hembusan napas pasien,
:
n Pasien bicara spontan.
Breathing:

50
Insp Gerak dinding dada asimetris, retraksi sela iga (-),
:
eksi frekuensi napas: 24 kali/menit
Palp
: Vocal fremitus dextra = sinistra.
asi
Perk
: Sonor.
usi
Aus
kulta Suara nafas vesikuler (+/+), suara rhonki (-/-),
:
si suara wheezing (-/-).

Perf Akral: teraba hangat, kering, warna: merah muda,


usi : Capillary Refill Time< 2”, TD:160/90 mmHg,
Nadi: 92x/m, reguler, kuat angkat, terisi penuh
Jantung:
Insp
: Ictus cordis tidak tampak
eksi
B2 : Palp
: Tidak Dievaluasi
asi
Perk
: Tidak DiEvaluasi
usi
Aus
kulta : Bunyi jantung I-II, regular, murmur (-), gallop (-)
si
Compos Mentis, GCS:E4V5M6 = 15,
Kesa Riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-),
B3 : dara : Nyeri kepala (+), pandangan kabur (-),
n Pupil: bulat, isokor, ϴ ODS 3 mm,
refleks cahaya (+/+)
B4 : Terpasang DC, produksi urin pre operasi 300 cc, warna kuning
B5 : Insp Perut tampak cembung, dinding perut lebih tinggi dari
:
eksi dinding dada, striae gravidarum (+).
Palp : Distens, nyeri tekan epigastrium (-)
asi

51
Perk
: Tidak dilakukan evaluasi
usi
Aus
kulta : Bising usus (+) 2-4 kali/menit
si
Edema (+) di ekstremitas inferior, Fraktur (-), ulkus
B6 :
(-),kekuatanotot ekstremitas superior et inferior: 5
Medikasi Pra Bedah : (- )

3.10 LAPORAN DURANTE OPERASI

a. Laporan anetesi

Ahli Anestesiologi dr. D.W Sp.An, KIC


Ahli Bedah dr. J.W, Sp.OG
Jenis Pembedahan Sectio Caesarea
Jenis Anestesi Anestesi Regional - Anestesi Sub Arachnoid Block (SAB)
Anestesi dengan Bupivacaine HCL 0,5% 12,5 mg
Teknik Anestesi Pasien duduk tegak di meja operasi dan kepala menunduk,
identifikasi vertebra lumbal 3-4, dilakukan desinfeksi di
daerah lumbal dengan betadine lalu alkohol, kemudian
jarum spinocain No. 27 ditusukkan diantara L3-L4, cairan
serebrospinal (+), darah (-), kemudian dilakukan blok
subarachnoid (injeksi Bupivacaine HCL 0,5% 12,5 mg),
kemudian pasien dibaringkan.
Pernafasan Respirasi spontandengan O2 nasal 2-3 liter per menit
Posisi Supine
Infus Pada tangan kiri terpasang IV line abocath 18 G dengan
cairan Ringer Laktat 500 cc

Penyulit Pembedahan -
Obat yang digunakan
Premedikasi : (-)
Induksi dan maintenance : Bupivakain HCL 0,5% (12,5 mg), dilakukan blok pada jam:

52
09.45 WIT

Pengakhiran Anestesi : (-)


Medikasi Durante Operasi : Bupivakain HCl 0.5 % 12,5 mg
Oxytocin 10 UI
Metergin 0,2 mg
Ranitidin 50 mg
Ondansetron 4 mg
Efedrin 10 mg
Antrain 1000 mg
Tanda-tanda vital pada akhir TD: 120/80 mmHg, Nadi : 94x/m, reguler, kuat angkat,SpO 2:
pembedahan 100%

b. Laporan Pembedahan

Ahli Bedah dr. J.W, Sp.OG


Ahli Anestesiologi dr. D.W Sp.An,KIC
Diagnosis Pre Operatif G1P0A0 Hamil aterm, JPKTH SC a.ipreeklamsia berat
Diagnosis Post Operatif P1A0 partus maturus post SC a.i preeklamsia berat
Jenis Anestesi Anestesi regional (anestesi Sub Arachnoid Block)
Macam Pembedahan Khusus (Eliktife)→Operasi sedang
Tanggal 21 Desember 2018
Jam Operasi 10.03 – 11.10 wit
Laporan Operasi  Dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis di daerah
abdomen dan sekitarnya.
 Dilakukan insisi Pfanenstiel
 Setelah peritoneum dibuka
 Segmen bawah rahim di sayat
 Jam 10.15 WIT lahir bayi perempuan dengan berat
badan 3.200 kg dan panjang badan 48 cm, APGAR skor
7/8.
 Disuntikan metergin 0,2 mg
 Jam lahir plasenta secara manual lengkap

53
 Segmen bawah rahim dijahit lapis demi lapis
 Abdomen dijahit lapis demi lapis
 Kulit dijahit, sub kutis dijahit
 Perdarahan selama operasi ± 500 cc.
 Diuresis selama operasi ± 200 cc.
Instruksi Post Operasi  Tirah baring tanpa bantal kepala sampai 12 jam.
 Puasa 4 jam post op
 Ceftriaxone 2 x 1 gr (i.v)
 Kaltrofen 3 x 1 (supp)
 Observasi perdarahan dan tanda-tanda vital.

3.11 OBSERVASI SELAMA OPERASI

Sistol Diastol Nadi


160
150150150150
140
130130 130
120 121 122 120 120
105 105 109 107
100 100 97 100 105
90 85 88
86 89
80 83
77 72 68 72 74
79
71 74 74 70 68 69 70 70 80
60 64 64 62 64 58 67
63 60 60 65 65 70
57
40
20
0
09.50

10.05
10.10

10.20
10.25

10.35

10.50
10.55

11.05
11.10
09.45

09.55
10.00

10.15

10.30

10.40
10.45

11.00

Waktu (Time)

3.12 TERAPI CAIRAN

Cairan yang Dibutuhkan Aktual


Pre Input:
- BB: 88 Kg RL: 1000 cc
Operasi
PRE OPERASI

Maintenance : Output:
- Urine : ± 300
 Kebutuhan cairan per jam1-2 ml x kgBB/hari
cc
1 cc x 88 kg = 88 cc/ jam
2 cc x 88 kg = 176cc/ jam

54
jadi, total = 88cc/ jam – 176 cc/ jam.

Replacement :

 Kebutuhan cairan untuk pengganti 8 jam puasa


88 cc x 8 jam = 704cc
176 cc x 8 jam = 1.408 cc
jadi, total = 704 cc – 1.408 cc
Durant 1. Maintenance ( 10.03 – 11.10 ) Input:
BB x 1-2 cc/kgBB/1jam10menit - Gelafusal:
e
88x1-2 cc/kgBB/1jam10menit 500 cc
Operasi
= 96,8 cc – 193.6 cc - RL: 500 cc
2. Replacment :
a. Resusitasi Perdarahan selama operasi Output:
1. Estimate Blood Volume (EBV): 65 cc / KgBB x BB - Urin:
= 65 cc/KgBB x 88 Kg = 5.720 cc ± 250 cc
Estimate Blood Loss (EBL): 10 % = 507 cc - Perdarahan:
20% = 1014 cc ± 500 cc
30% =1521 cc
40%= 2028 cc
50% =2535 cc

2. Pengantian kehilangan cairan karena penguapan


selama operasi :
Operasi kecil : 4 - 6 ml x BB
Operasi sedang : 6 - 8 ml x BB
Operasi besar : 8 - 10 ml x BB

Operasi sedang
6 x 88 = 528 cc hingga 8 x 88 = 704 cc

3. Selama 1 jam 10 menit operasi cairan yang hilang


528x1,1 jam – 704x1,1 jam
580.8cc – 774,4cc / 1jam 10 menit

55
4. Perdarahan500cc 10% termasuk dalam perdarahan
kelas I, dapat diganti dengan :
Kristaloid 2-4x EBL :
(2x500cc) s/d (4x500cc) = 1000 cc s/d 2000 cc
Koloid 1x EBL Penggantian perdarahan pada pasien:
(1x500cc) = 500cc 500(kristaloid)+500 (koloid) -
500(perdarahan) = 500 cc

Real : Kristaloid 500cc


Koloid 500 cc
Post 21 Desember 2018 (11.00 -08.00 wit) (21 jam) Input :
Volume cairan
Operasi
1. Maintenance :
= BB x Kebutuhan cairan/ jam x 21 jam RL: 2000
= 80 kg x 1-2 cc/kgbb/jam x 21 jam = 1.680 – 3.360 cc cc/24 jam
Elektrolit :
- Natrium : 2-4 mEq/kgBB/hari = 160 – 320 mEq/24 jam
- Kalium : 1-3 mEq/kgBB/hari = 80 – 240 mEq/24 jam
- Kalori : 25-30 mg/kgBB/hari = 2.000-2.400 kkal/24 jam
- Asam Amino : 1-2 mg/kgBB/hari = 80-160 mg/hari
2. Replacement :
Kebutuhan cairan untuk pengganti 6 jam puasa :
80 cc x 6 jam = 480 cc
160 cc x 6 jam = 960 cc
3.13 INSTRUKSI POST OPERATIF
A. Cek Hb post operasi
B. Mobilisasi bertahap, pasien boleh miring kanan dan kiri tapi belum diperbolehkan
duduk ataupun berjalan selama 24 jam post operasi
C. Bila keadaan umum stabil, 6 jam post operasi: mual (-), muntah (-), BU (+) → boleh
minum sedikit-sedikit kemudian diet cair;
D. Ganti perban pada hari kedua post operasi
E. Monitoring:
- Tanda-tanda vital: pernapasan, perfusi, nadi, tekanan darah, suhu, kontraksi tiap
30 menit selama 2 jam

56
- Tanda-tanda distress napas
- Perdarahan

3.14 Follow up post operatif

Tanggal Pemeriksaan

22-12- S Nyeri pada luka operasi

18 O B1 Airway Jalan napas bebas, tidak terpasang O2,

Breathing Gerak dinding dada simetris, retraksi sela iga (-), frekuensi
napas: 20x/menit. Vokal fremitus dextra = sinistra. Sonor.
Suara nafas vesikuler (+/+), suara ronchi (-/-), suara wheezing
(-/-),

B2 Akral: teraba hangat, kering, warna: merah muda, Capillary Refill Time< 2”,
TD:150/90 mmHg, Nadi: 70x/m, reguler, kuat angkat, terisi penuh. Bunyi
jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-).

B3 Kompos Mentis, GCS:E4V5M6 = 15, riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-),
nyeri kepala (-), pandangan kabur (-), pupil: bulat, isokor, ϴ ODS 3 mm,
refleks cahaya (+/+).

B4 BAK spontan, terpasang DC (-), produksi urin (+), warna kuning, perdarahan
(-)

B5 TFU 2 jari dibawah pusat, supel (+), nyeri tekan (-), bising usus (+) 3-4
kali/menit.

B6 Edema (+) pada ekstremitas inferior, fraktur (-), ulkus (-)

A P1A0 partus maturus dengan post SC atas indikasi PEB.

P  Infus dilepas
 Nifedipin 3 x 1 (p.o)
 Cefadroxil 3 x 500 mg (p.o)
 Asam mefenamat 3 x 500 mg (p.o)
 Metronidazole 5 x 500 mg (p.o)
 Mobilisasi

57
Tanggal Pemeriksaan

23-12- S Nyeri pada luka operasi mulai berkurang

18 O B1 Airway Jalan napas bebas, tidak terpasang O2,

Breathing Gerak dinding dada simetris, retraksi sela iga (-), frekuensi
napas: 21 kali/menit. Vokal fremitus dextra = sinistra. Sonor.
Suara nafas vesikuler (+/+), suara ronchi (-/-), suara wheezing
(-/-),

B2 Akral: teraba hangat, kering, warna: merah muda, Capillary Refill Time< 2”,
TD:140/80 mmHg, Nadi: 71 x/m, reguler, kuat angkat, terisi penuh. Bunyi
jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-).

B3 Kompos Mentis, GCS:E4V5M6 = 15, riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-),
nyeri kepala (-), pandangan kabur (-), pupil: bulat, isokor, ϴ ODS 3 mm,
refleks cahaya (+/+).

B4 BAK Spontan, terpasang DC (-), produksi urin (+), warna kuning, perdarahan
(-)

B5 TFU 2 jari dibawah pusat, supel (+), nyeri tekan (-), bising usus (+) 3-4
kali/menit, BAB (+)

B6 Edema (-) pada kedua ekstremitas superior maupun inferior, fraktur (-),
ulkus (-)

A P1A0 partus maturus dengan post SC atas indikasi + PEB

P  Nifedipin 3 x 1 (p.o)
 Cefadroxil 3 x 500 mg (p.o)
 Asam mefenamat 3 x 500 mg (p.o)
 Metronidazole 5 x 500 mg (p.o)
 Mobilisasi

58
Tanggal Pemeriksaan

24-12- S Nyeri pada luka operasi

18 O B1 Airway Jalan napas bebas, tidak terpasang O2,

Breathing Gerak dinding dada simetris, retraksi sela iga (-), frekuensi
napas: 20 kali/menit. Vokal fremitus dextra = sinistra. Sonor.
Suara nafas vesikuler (+/+), suara ronchi (-/-), suara wheezing
(-/-),

B2 Akral: teraba hangat, kering, warna: merah muda, Capillary Refill Time< 2”,
TD:130/80 mmHg, Nadi: 72x/m, reguler, kuat angkat, terisi penuh. Bunyi
jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-).

B3 Kompos Mentis, GCS:E4V5M6 = 15, riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-),
nyeri kepala (-), pandangan kabur (-), pupil: bulat, isokor, ϴ ODS 3 mm,
refleks cahaya (+/+).

B4 BAK Spontan, produksi urin (+), warna kuning, perdarahan (-)

B5 TFU 2 jari dibawah pusat, supel (+),bising usus (+) 3-4 x/menit, BAB (+).

B6 Edema (-) pada kedua ekstremitas superior maupun inferior, fraktur (-),
ulkus (-)

A P1A0 partus maturus dengan post SC atas indikasi + PEB.

P  Infus dilepas
 Nifedipin 3 x 1 (p.o)
 Cefadroxil 3 x 500 mg (p.o)
 Asam mefenamat 3 x 500 mg (p.o)
 Metronidazole 5 x 500 mg (p.o)
 Mobilisasi

BAB IV
PEMBAHASAN

59
Seorang wanita hamil berumur 31 tahun, datang ke IGD kebidanan dengan membawa
rujukan dari dr. J.W, Sp.OG dengan G1P0A0 Hamil 40-42 minggu dengan PEB. Pasien
datang dengan keluhan mules-mules yang semakin sering. Keluar air-air disertai lendir darah
disangkal oleh pasien. Pasien juga mengeluh sakit kepala, terasa tegang pada leher bagian
belakang dan sering mual-mual, keluhan tersebut sudah dirasakan ± 3 hari SMRS. Nyeri
epigastrium, muntah, pandangan kabur dan kejang disangkal oleh pasien. Pasien mengaku
hamil 9 bulan, hait pertama hait terakhir tanggal 10-03-2018, tafsiran partus 17-12-2018.
Pasien mengaku kontrol kehamilan empat kali. Satu kali di PKM Abepura dan tiga kali di
dokter Sp.OG. Riwayat immunisasi TT satu kali.
Dari anamnesa, riwayat penyakit dahulu seperti asma, alergi obat, DM, hipertensi,
penyakit jantung dan malaria disangkal.Riwayat penyakit turunan pada keluarga seperti asma,
alergi, DM dan hipertensi juga disangkal.Pasien tidak merokok dan minuman beralkohol, dan
juga tidak mengonsumsi obat apapun sebelum MRS, status pernikahan sudah menikah sah.
Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda vital dan laboratorium, ditemukan tekanan darah pasien
160/90 mmHg, Nadi 92 x/ menit, Respirasi24 x/ menit, Suhu Badan36,7 º C, dan pada
pemeriksaan fisik didapatkan bengkak pada kedua tungkai kaki dan padastatus generalis
lainnya dalam batas normal dan pada pemeriksaan laboratorium urine lengkap, terdapat
protein dalam urin +3.
Prinsip tatalaksana dari PEB adalah penanganan aktif yaitu terminasi kehamilan se-
aterm mungkin, kecuali apabila ditemukan penyulit dapat dilakukan terminasi tanpa
memandang usia kehamilan. Kemudian pada pasien dilakukan terminasi kehamilan dengan
sectio caesaria emergensi atas indikasi maternal.Indikasi maternal adalah untuk mencegah
timbulnya komplikasi impending eklampsia serta jatuh pada eklampsia.

Pada pasien ini juga memiliki penyakit penyerta yaitu Obesitas. Dimana di peroleh
dari pengukiran IMT yang nilainya mencapai 37,3. Dengan nilai IMT seperti ini pasien
masuk dalam kategori Obesitas Class II dimana dalam teory bahwa dikatakan obesitas kelas
II jika didapatkan nilai BMI 35,0 – 39,9.
Dari kasus tersebut dengan diagnose G1P0A0 JPKTH + hamil 41-42 minggu + PEB
akan dilakukan tindakan pembedahan Seksio sesarea, maka penulis akan membahas beberapa
hal sebagai berikut:
4.1 Penentuan PS ASA

60
Physical Status : American Society of Anesthesiologist adalah pemeriksaan fisik yang
dilakukan untuk menentukan prognosis pada pasien sebelum dilakukan tindakan anestesi. Hal
ini bertujuan untuk mengetahui risiko apa yang bisa terjadi pada pasien tersebut dan tindakan
apa yang bisa dilakukan untuk mencegah hal tersebut.

Teori Kasus

Kelas I : Pasien sehat organic, fisologik Pasien ini tergolong PS ASA III, pasien termasuk
dan biokimia dalam special condition yaitu gravid + PEB +
Kelas II: Pasien dengan gangguan sistemik Obesitas
ringan-sedang, yang disebabkan
Pada seksio caesaria dengan pasien PEB dengan
baik oleh keadaan yang harus
obesitas, harus diperhatikan perubahan-
diobati dengan jalan
perubahan fisiologi dan anatomi, karena
pembedahan maupun oleh proses
perubahan tersebut akan mempengaruhi tindakan
patofisiologis
anestesia.
Kelas III: Pasien dengan penyakit sistemik
yangberat, apapun penyebabnya,
namun tidak mengancam nyawa.
Kelas IV: Pasien dengan gangguansitemik
berat yang mengancam jiwa,
yang tidak selalu dapat koreksi
dengan pembedahan.
Kelas V: Pasien sekarat yang diperkirakan
dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari
24 jam.

Hasil : Sudah tepat

A. Penentuan jenis anestesi yang dipilih

Teori Kasus
Perencanaan anestesi Pada kasus ini teknik anestesi yang dipakai adalah
dilakukan dengan Anestesi spinal teknik anestesi regional berupa subarachnoid block
(blok subarachnoid) merupakan (SAB).Pertimbangan memilih anestesi tersebut
salah satu teknik anestesi regional karena indikasi anestesi spinal dapat digunakan pada

61
yang sering dipilih pada tindakan hampir semua operasi abdomen bagian bawah
Sectio Caesarea. Keuntungan perineum dan kaki. Hal ini sesuai dengan salah satu
anestesi regional adalah penderita indikasi dilakukan tindakan anastesi spinal yaitu
tetap sadar, sehingga refleks jalan bedah obstetric-ginekologi. Teknik ini sederhana,
napas tetap terpelihara. Muntah cukup efektif dan mudah dikerjakan. Selain itu
dan aspirasi bukan kondisi karena bahaya aspirasi lebih kecil karena pasien
membahayakan pada anestesi sadar, hubungan fisiologis antara ibu dan bayi
regional. Obat anestetik regional terjalin, efek obat terhadap janin lebih kecil.
seperti bupivakain tidak terlalu
toksik untuk janin. Waktu prosedur
analgesia spinal lebih singkat,
relatif mudah, efek analgesia lebih
nyata (kualitas blok motorik dan
sensorik yang baik), mulai kerja
danmasa pulih yang cepat.Pada
anestesi spinal ibu tetap sadar
sehingga bisa melihat bayinya tepat
setelah lahir.

Hasil : Sudah tepat

A. Penentuan obat anestesi yang dipilih


Ada dua golongan besar obat anesthesi regional berdasarkan ikatan kimia, yaitu
golongan ester dan golongan amide. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama
namun hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi lokal ini
adalah menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama kerja
obat anestesi lokal adalah di membran sel. Kerjanya adalah mengubah permeabilitas
membran pada kanal Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi yang nantinya akan
dihantarkan ke pusat nyeriPada pasien digunakan obat anestesi golongan amide yaitu
bupivakain. Hidrolisa golongan ester berjalan cepat sehingga daya kerjanya singkat,
sedangkan hidrolisa golongan amide berjalan lebih lambat dan memiliki waktu paruh 1,6 -
8 jam. Obat dengan durasi kerja paling panjang dan potensi tinggi adalah obat

62
bupivacaine. Obat anestesi spinal yang sering dipergunakan ialah bupivakain 0,5% dalam
dekstrosa 8,25% dengan dosis 10-20 mg.Mula kerja bupivakain lambat dibanding
lidokain, tetapi lama kerja bisa sampai 8 jam. Bupivakain sering digunakan karena ikatan
dengan protein plasma lebih besar, sehingga dengan pemberian dalam jumlah kecil
pengaruhnya terhadap bayi sangat kecil sekali (reaksi toksik dan transfer melalui plasenta
jarang dijumpai).
Berdasarkan teori Lebih kuat dan lama kerjanya 2 – 3 x lebih lama dibanding
lidokain atau mepivakain. Onset anesthesi lebih lambat dibanding lidokain, ikatan dengan
HCl mudah larut dalam air, pada konsentrasi rendah blok motorik kurang adekuat. Pada
pasien digunakan Bupivakain 0,5% dengan dosis 12,5 mg dengan durasi pembedahan ±1
jam 10 menit.

4.2 Critical Point

Problem
Actual Potensial Planning
List

B1 Airway: bebas, Pre-operatif 1. pemberian O2 yang adekuat


2. monitor tanda-tanda vital
Malampati score II, 1. Hipoksia
2. Udem Laring 3. evaluasi tanda klinis depresi
gigi goyah (-), gigi
nafas
palsu (-)

Durante Operatif 1.Batasi pemberian cairan


Kristaloid
Breathing : RR: 24 - Udem paru
- Hipopnea 2. Pemberian O2 adekuat dengan
x/m, , thorax - Hipoksia mengunakan nasal kanul 2-4 lpm
- Hiperkarbia 3. Monitoring tanda-tanda vital
simetris, suara

napas vesikuler+/+,

ronkhi-/-, wheezing Post Operatif 1. Pemberian O2 yang adekuat


2. Monitoring tanda-tanda vital
-/-, perkusi: sonor 1. Udem paru
3. Pemberian Diuretik (Furosemide)
2. Hipoksia

63
B2 Perfusi: hangat, Pre Operatif 1. Pemberian cairan pre operatif

kering, merah, adekuat


1. Syok Hipovolemik
2. Hipotensi 2. Posisikan ibu miring ke kiri
Capilary Refill
(aortocaval 3.Posisi head up
Time< 2 detik, BJ compression)

I-II murni, regular,


Durante Operatif 1. Cari penyebab hipotensi
konjungtiva anemis 2. Monitoring tanda-tanda vital
1. Hipotensi 3. Aortocaval compression:
(-/-). - Posisikan ibu miring ke kiri
- Posisi head up
- Monitoring tanda-tanda vital

Kekurangan cairan:
Rehidrasi cairan kristaloid

Akibat blok spinal:


- Pemberian efedrin 5-10mg
yang sudah diencerkan

2.Perdarahan sampai 1. Monitoring tanda-tanda vital


syok hipovolemik 2. Menghitung EBV-EBL
3. Observasi tanda-tanda syok dan
klasifikasi derajat syok
4. Penggantian kehilangan darah
dengan kristaloid (2-4 x EBL),
koloid (1 x EBL), atau produk
darah (1 x EBL)

3. Bradikardia 1. Pemberian Sulfas Atropin 0,5mg

1. menenangkan pasien
4. Takikardia karena
2. pemberian sedative setelah bayi
pasien cemas
lahir (contohnya midazolam)

Post Operatif 1. 1. Observasi kontraksi uterus

1.Perdarahan post 2. Observasi tanda-tanda


partum perdarahan pervaginam dan

64
hentikan perdarahan (hecting)
3. Pemberian Oxytocin setelah
operasi
4. Periksa Hb post operasi , jika
Hb rendah transfusi PRC
B3 Kesadaran Compos Durante Operatif

Mentis, Riwayat 1.Pemberian analgesic


1. Nyeri Kepala
kejang (-), riwayat
2.Peningkatan TIK 1.Evaluasi kemungkinan tanda-
pingsan (-), sakit
(tekanan intrakranial) tanda peningkatan TIK.
kepala (+), akibat obat anestesi.
pendangan kabur
3.Eklamsi 1. General Anestesi
(-), pupil : bulat,

isokor,

ϕ3mmI3mm, R/C :

+/+

B4 Produksi urine Oliguria Rehidrasi, observasi produksi

dipantau melalui urin

kateter , produksi

(+), warna kuning

jernih

B5 Perut cembung Pre Operatif - Pemberian Ranitidin dan

65
sesuai usia Mual, muntah Ondansentron
kehamilan, Durante operatif
peristaltik usus (+),
- Risiko refluks
hepar/lien sulit gastroesofageal saat
dievaluasi , BAB operasi
(+), mual (+),
muntah (-).

B6 Akral hangat (+), Posisikan pasien dengan tepat


Edema (+)
ekstremitas inferior
fraktur (-)

A. Terapi dan resusitasi cairan perioperatif


Kebutuhan cairan pre-operatif bertujuan untuk menggantikan kehilangan cairan
selama puasa dan untuk memenuhi kebutuhan maintenance-nya.

Cairan yang Dibutuhkan Aktual


- BB: 88 Kg Input:
PRE OPERASI RL: 1000 cc

Maintenance :
Output:
 Kebutuhan cairan per jam1-2 ml x kgBB/hari
- Urine : ±
1 cc x 88 kg = 88 cc/ jam
300cc
2 cc x 88 kg = 176cc/ jam
jadi, total = 88cc/ jam – 176 cc/ jam.

Replacement :

 Kebutuhan cairan untuk pengganti 8 jam puasa


88 cc x 8 jam = 704cc
176 cc x 8 jam = 1.408 cc
jadi, total = 704 cc – 1.408 cc

66
Selama preoperatif pasien diberikan cairan kristaloid Ringer Laktat (RL) yang
merupakan larutan isotonik yang komposisinya serupa dengan cairan ekstraseluler,
mengandung ion-ion yang terdistribusi kedalam cairan intravaskular sehingga bermanfaat
untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit. Terapi cairan ialah tindakan untuk
memelihara, mengganti batas-batas fisiologis dengan cairan kristaloid (elektrolit) atau
koloid (plasma ekspander) secara intravena.Terapi cairan parenteral diperlukan untuk
mengganti defisit cairan saat puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti
kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan
yang pindah ke rongga peritoneum dan ke luar tubuh.Cairan kristaloid (elektrolit) digunakan
sebagai cairan pemeliharaan bertujuan untuk mengganti kehilangan air tubuh lewat urin,
feses, paru dan keringat.Perdarahan pada pembedahan tidak selalu perlu transfusi, untuk
perdarahan di bawah 20% dari volume darah total cukup diganti dengan cairan infus yang
komposisi elektrolitnya kira - kira sama dengan komposisi elektrolit serum misalnya dengan
cairan Ringer Laktat. Koloid atau plasma ekspander kalau diberikan secara intravena dapat
bertahan lama di sirkulasi, koloid dapat berupa gelatin (gelofusin).Resiko ini dapat dihindari
dengan pemberian cairan secara bijaksana, yaitu dengan 500 ml hingga 1000 ml cairan
kristaloid.
Pasien diberikan infus dengan cairan ringer laktat 500 cc untuk menunjang kebutuhan
cairan pasien selama puasa sebelum operasi. Dari perhitungan kebutuhan penggantian
cairan selama puasa pasien ini membutuhkan 704 cc – 1.408cc, pada pasien ini diberikan
1000cc ( RL 500cc dan Gelafusal 500cc) dan kebutuhan cairan sudah mendekati cukup.
Resusitasi cairan durante operatif bertujuan untuk memenuhi kebutuhan maintenance
cairan menurut jenis operasi dan lama waktunya serta kebutuhan replacement cairan yang
hilang selama operatif dan perdarahan berdasarkan total estimasi kehilangan darah selama
operasi.
Durante 1. Maintenance ( 10.03 – 11.10 ) Input:
Operasi BB x 1-2 cc/kgBB/1jam10menit - Gelofusal:
88x1-2 cc/kgBB/1jam10menit 500 cc
= 96,8 cc – 193.6 cc - RL 500cc
2.Replacment : Output:
a. Resusitasi Perdarahan selama operasi - Urin: ± 250
1.Estimate Blood Volume (EBV): 65 cc / KgBB x BB = 65 cc
cc/KgBB x 88 Kg = 5.720 cc
2.Estimate Blood Loss (EBL): 10 % = 507 cc - Perdarahan:
67
20% = 1014 cc ± 500 cc
30% =1521 cc
40%= 2028 cc
50% =2535 cc

3.Pengantian kehilangan cairan karena penguapan selama operasi


:
Operasi kecil : 4 - 6 ml x BB
Operasi sedang : 6 - 8 ml x BB
Operasi besar : 8 - 10 ml x BB

Operasi sedang
6 x 88 = 528 cc hingga 8 x 88 = 704 cc

4.Selama 1 jam 10 menit operasi cairan yang hilang


528x1,1 jam – 704x1,1 jam
580.8cc – 774,4cc / 1jam 10 menit

5. Perdarahan500cc 10% termasuk dalam perdarahan


kelas I, dapat diganti dengan :
Kristaloid 2-4x EBL :
(2x500cc) s/d (4x500cc) = 1000 cc s/d 2000 cc
Koloid 1x EBL Penggantian perdarahan pada pasien:
(1x500cc) = 500cc 1000(kristaloid)+500 (koloid) -
500(perdarahan) = 1000 cc

Real : Kristaloid 1000cc


Koloid 500 cc

Cairan yang diberikan ini sudah cukup untuk menggantikan prediksi kehilangan cairan
pasien, dan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan cairan pasien selama operasi 1 jam 10
menit.

Pada pasien ini setelah bayi dan plasenta dilahirkan terjadi perdarahan ± 500 cc
sehingga dilakukan resusitasi cairan kristaloid 500 cc, koloid 500 cc, jika dijumlahkan 1000
cc, maka resusitasi cairan cukup yaitu 1000 cc. Estimasi Blood Loss pada pasien yaitu sekitar
10%.

68
Perdarahan pada pembedahan tidak selalu perlu transfusi, untuk perdarahan di bawah
20% dari volume darah total cukup diganti dengan cairan infus yang komposisi elektrolitnya
kira-kira sama dengan komposisi elektrolit serum misalnya dengan Ringer Laktat. Dapat juga
diberikan campuran cairan kristaloid + koloid. Pemberian koloid adalah untuk mengatasi
gejala defisit plasma pada pasien selama operatif berupa hipotensi.

Post 21 Desember 2018 (11.00 – 08.00) (21 jam) Input :


Operasi 1. Maintenance
Volume
= BB x Kebutuhan cairan/ jam x 21 jam
cairan :
= 80 kg x 1-2 cc/kgbb/jam x 21 jam = 1.680 – 3.360 cc
Elektrolit : RL: 500 cc/6
- Natrium : 2-4 mEq/kgBB/hari = 160 – 320 mEq/24 jam
jam
- Kalium : 1-3 mEq/kgBB/hari = 80 – 240 mEq/24 jam
- Kalori : 25-30 mg/kgBB/hari = 2.000-2.400 kkal/24 jam
- Asam Amino : 1-2 mg/kgBB/hari = 80-160 mg/hari
4. Replacement :
Kebutuhan cairan untuk pengganti 6 jam puasa :
80 cc x 6 jam = 480 cc
160 cc x 6 jam = 960 cc

Aktualnya pada kasus ini pasien diberikan cairan kristaloid (Ringer Laktat) 500 cc/6
jam. Komposisi cairan RL 500 cc terdiri dari Na + 130 mEq/l, K+ 4 mEq/l. Terapi cairan post-
operatif pada pasien belum terpenuhi

Kebutuhan cairan pre-operatif bertujuan untuk menggantikan kehilangan cairan selama


puasa dan untuk memenuhi kebutuhan maintenance-nya. Pada kasus ini pasien di puasakan
selama 8 jam sebelum tindakan operatif. Kebutuhan maintenance diperoleh dengan cara
menentukan berapa kebutuhan cairan pasien perhariannya berdasarkan berat badan.
Didapatkan pasien dengan berat badan 88 kg memiliki kebutuhan cairan maintenance per
jamnya sebanyak 88cc/jam - 176cc/jam. Kebutuhan replacement bertujuan untuk
menggantikan volume cairan yang hilang selama 8 jam puasa. Diketahui kebutuhan cairan
maintenance pasien per-jamnya adalah 88cc/ jam – 176cc/ jam maka untuk menggantikan
kebutuhan replacement cairan selama 8 jam puasa sebesar704cc – 1.408cc. Salah satu
kekurangan anestesi subaraknoid blok yaitu resiko terjadinya hipotensi. Pra-hidrasi yang

69
cukup diperlukan untuk mencegah terjadinya hipotesi. Pada kasus ini, aktualnya input cairan
yang diberikan sebelum tindakan operasi sebanyak 1000 ml. Hal ini menunjukan bahwa
kebutuhan replacementtelah tercukupi.

Resusitasi cairan durante operatif bertujuan untuk memenuhi kebutuhan maintenance


cairan menurut jenis operasi dan lama waktunya serta kebutuhan replacement cairan yang
hilang selama operatif dan perdarahan berdasarkan total estimasi kehilangan darah selama
operasi. Total kebutuhan maintenance cairan durante operatif sebanyak 96.8 cc/jam – 193.6
cc/jam. Pada kasus ini dilakukan tindakan operasi Section Caesarea yang merupakan jenis
operasi sedang dengan lama tindakan operasi 1 jam 10 menit. Maka kebutuhan replacement
cairan durante operasi untuk sejamnya sekitar 65 cc/KgBB x 88 Kg = 5.720cc. Untuk
menggantikan perdarahan durante operatif, didapatkan dari total estimasi kehilangan darah
dan cairan yang terjadi selama tindakan operatif. Total estimasi kehilangan darah pada kasus
ini yaitu sebanyak ±500cc. Aktual didapatkan total perdarahan sebanyak ±500cc yang
menurut kriteria status Giesecke tergolong sebagai kelas 1 yaitu perdarahan < 15 % dari
estimasi volume darah. Sehingga penggantian cairan hanya perlu dengan kristaloid yang
diberikan 2-4 kali estimasi darah yang hilang. Aktualnya pada kasus ini, total cairan
kristaloid yang diberikan sebanyak 500 ml disertai koloid sebanyak 500 ml. Pertimbangan
pemberian koloid adalah untuk mengatasi gejala defisit plasma pada pasien selama operatif
berupa hipotensi. Hal ini menunjukan bahwa kebutuhan cairan maintenance dan replacement
durante operatif terpenuhi.

Terapi cairan post operatif bertujuan untuk menggantikan cairan selama puasa
(replacement) dan kebutuhan maintenance cairan selama 21 jampost operatif (11.00 – 08.00)
menurut berat badan. Pada kasus ini, pasien diinstruksikan untuk berpuasa 6 jam pasca
tindakan operatif. Total cairan yang dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan cairan
selama 6 jam puasa pada pasien tersebut sebanyak 480 cc – 960 cc. Kebutuhan maintenance
cairan yang diperoleh berdasarkan berat badan pasien selama 21 jam post operatif yaitu
berkisar 1.680 cc – 3.360 cc. Aktualnya pada kasus ini pasien hanya diberikan input cairan
sebanyak 500 ml/ 6 jam post operatif. Hal ini menunjukan bahwa kebutuhan cairan post
operatif belumsecukupnya terpenuhi. Kebutuhan akan kalori, protein maupun keseimbangan
elektrolit (kecuali hari pertama) seharusnya perlu dipertimbangkan dalam pemberian jenis
cairan post operatif. Aktualnya pada kasus ini pasien hanya diberikan cairan kristaloid
(Ringer Laktat).Komposisi ringer laktat hanya terdiri atas ion natrium sebanyak 138 mEq.
Kebutuhan kalori pasien perharinya sebanyak 2.000 – 2.400 Kkal/hari dan untuk asam amino

70
sebanyak 80 – 160 mg/hari. Untuk kebutuhan elektrolit natrium sebanyak 160 - 320 mEq dan
kalium sebanya 80 - 240 mEq.Namun pemberian elektrolit tepatnya diberikan secara ketat
pada hari kedua pasca operasi. Sehingga pemberian jenis cairan post operatif sebaiknya yang
terdiri atas kalori dan asam amino.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

71
5.1. Kesimpulan

1. Pasien diklasifikasikan ke dalam PS ASA 3 berdasarkan:Preeklampsia dengan tekanan


darah 160/90, dan obesitas kelas II dengan IMT 37,3.
2. Penentuan jenis anastesi pada pasien sudah tepat karena penentuan jenis anastesi
dengan mempetimbangkan keselamatan ibu dan janin.
3. Obat anastesi pada pasien juga sudah tepat karena obat anastesi golongan amide yaitu
bupivakain berdasarkan teori lebih kuat dan lama kerjanya 2-3 kali lebih lama
dibandingkan lidokain atau mepivakain.
4. Critical point pada pasien ini adalah Udem Paru,Hipopnea, Hipoksia, Hiperkarbia,
Peningkatan TIK, Syok hipovolemik, hipotensi, bradikardia, takikardia, Oliguria,
mual, dan muntah.
5. Kebutuhan cairan preoperatif dan post operatif pasien sudah cukup terpenuhi.

5.2. Saran
Pada penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari persiapan pre
anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi, terutama menyangkut resusitasi
cairan pada pasien dengan RA SAB yang memiliki efek samping berupa perdarahan dan
hipotensi, pada pasien terjadi kehilangan darah sebanyak 10% dari EBV.

DAFTAR PUSTAKA

72
1. Latief, Said. 2009. Analgesia Regional. Dalam: Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi
II. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
2. Medscape Reference [Internet] Subarachnoid Spinal Block [Updated on Dec27, 2018]
Available at http://emedicine.medscape.com/article/2000841-overview
3. S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Jakarta : CV. Infomedika,
2004; 125-8.
4. NYSORA – New York School of Regional Anesthesia, [Internet] Subarachnoidal
Block[UpdateonDec27,2018],Availableathttp://www.nysora.com/techniques/
neuraxial-and-perineuraxial-techniques/landmarkbased/spinal-epidural-cse/3423-
spinal-anesthesia.html
5. Prawirohardjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
6. Mansjoer Arif. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI. Capernito. 2014.
edisi IV. Jakarta : EGC. Prasetyo. 2014. Hal 436-438.
7. F wijayanti, 2017. Link eprints unimus. Tinjauan pustaka leukositosis:
http://repositorry.unimus.ac.id./article/2000841-overviewdiunduh.27Desember 2018
8. Arifin, H. anesthetic perbandingan efek induksi propofol dengan ketamine terhadap
penurunan nilai neutrofilpada pasien dengan tindakan anestesi umum, Fakultas
kedokteran Universitas Sumatra utara.2017; (8): 7-32
9. Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book], Vertebral
Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section #146.
10. Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book], Vertebral
Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section #154A
11. Soenarjo, Jatmiko, HD. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif,
Fakultas Kedokteran Undip / RSUP dr. Kariadi. Semarang.2010
12. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. Murray. Clinical
Anesthesiology 4th Edition [Digital E-Book] Section Spinal, Epidural and Caudal
Anesthesia; Appleton and Lange, 2005. California: McGraw-Hill Publishing.
13. Gan Gunawan, Sulistya et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta;
Balai Penerbit FKUI, 259-72.
14. Seto Sagung. Informatorium obat nasional Indonesia. IONI, badan POM RI. Cetakan
I 2009. Hal 857

73
15. Maternal Obesity in Pregnancy Springer. 2012. 6: 76-93 Bogaerts,A.; Witters, I.; Van
den Bergh. B.R.I. Obesity in Pregnancy : Altered onset and Progression of labour,
Midwifeiy.Elsevier.2013.29:1303-1313.

74

You might also like