Artikel Banjir Kalsel 1

You might also like

You are on page 1of 5

Banjir di Kalsel 'dipicu' berkurangnya area hutan primer dan sekunder, KLHK: penurunan

area hutan di DAS Barito 62,8%

18 Januari 2021
Diperbarui 20 Januari 2021

Sumber gambar, ANTARA/BAYU PRATAMA S

Keterangan gambar,

Seorang ibu di Banjarmasin menuntun sepedanya di tengah banjir yang melanda.

KLHK mengatakan penurunan luas hutan alam di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito di
Kalimantan Selatan mencapai 62,8%. Sebelumnya tim tanggap darurat bencana di LAPAN
menyebut penyebab banjir terbesar itu adalah berkurangnya hutan primer dan sekunder
dalam 10 tahun terakhir di keseluruhan provinsi tersebut.

KLHK menyebutkan penurunan luas hutan alam di DAS Barito, wilayah yang mengalami bencana
banjir di Kalsel, terjadi selama periode 1990-2019. Penurunan terbesar terjadi pada tahun 1990-2000
sebanyak 55,5%.

Untuk itu KLHK merekomendasikan kepada pemerintah daerah untuk mempercepat dan
memfokuskan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di daerah sumber penyebab banjir.

Sebelumnya, tim tanggap darurat bencana di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
(LAPAN), mengatakan penyebab terjadinya banjir terbesar di Kalimantan Selatan itu adalah
berkurangnya hutan primer dan sekunder yang terjadi dalam rentang 10 tahun terakhir.

Dengan alasan ini, LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak pemerintah untuk
mengevaluasi seluruh pemberian izin tambang dan perkebunan sawit di provinsi itu lantaran menjadi
pemicu degradasi hutan secara masif.

Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, Roy Rizali Anwar, sendiri menjanjikan bakal
melakukan audit secara komprehensif terkait penggunaan lahan di sana agar bencana serupa tidak
terulang.

Anomali cuaca
Dalam jumpa pers pada Selasa (19/01), lima hari setelah banjir terjadi, Direktur Jenderal
Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, RM Karliansyah, juga menyebutkan
bahwa hujan bercurah tinggi dan anomali cuaca sebagai penyebab utama.

"Sistem drainase tak mampu mengalirkan air dengan volume yang besar. Selain itu lokasi banjir
merupakan daerah datar dan elevasi rendah serta bermuara di laut. Sehingga merupakan daerah
akumulasi air," kata Karliansyah.

"Lokasi banjir berada di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Barito di mana kondisi infrastrusktur
ekologis - atau jasa lingkungan pengatur air - sudah tidak memadai, sehingga tidak mampu lagi
menampung aliran air yang masuk," kata Karliansyah kepada media melalui konferensi pers virtual,
pada Senin (19/01)

Ia mengatakan bahwa curah hujan mencapai hingga sembilan kali lipat dari sebelumnya.

"Normal curah hujan bulanan Januari 2020 sebesar 394mm. Sedangkan curah hujan harian 9-13
Januari 2021 sebesar 461mm selama lima hari. Atau terdapat kejadian sebesar 8-9 kali lipat curah
hujan."

"Dengan demikian, volume air yang masuk juga luar biasa," katanya.

Menurut KHLK, air yang masuk ke Sungai Barito mencapai sebanyak 2,08 miliar m3, sementara
kapasitas sungai kondisi normal hanya 238 juta m3.

Ia menambahkan bahwa topografi wilayah juga mempengaruhi timbulnya banjir.

"Lokasi banjir merupakan daerah datar dan elevasi rendah dan bermuara di laut sehingga merupakan
daerah akumulasi air dengan tingkat drainase rendah," ujarnya.

Penurunan luas hutan primer

Sumber gambar, BAYU PRATAMA S/Antara

Sebelumnya, Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh di LAPAN, Rokhis Khomarudin,


menjelaskan antara tahun 2010 hingga 2020 terjadi penurunan luas hutan primer sebesar 13.000
hektare, hutan sekunder 116.000 hektare, sawah dan semak belukar masing-masing 146.000 hektare
dan 47.000 hektare.

Sebaliknya, kata Rokhis, area perkebunan meluas "cukup signifikan" 219.000 hektare.

Berkurangnya tutupan hutan di Kalimantan dikuatkan kajian yang dilakukan peneliti Pusat Riset
Kehutanan Internasional (CIFOR) pada 2017 dengan menggunakan data citra satelit Landsat antara
1973-2015. Kajian itu menyebutkan tutupan hutan di Kalimantan jauh berkurang akibat deforestasi.

Kondisi tersebut, menurut Rokhis, "memungkinkan terjadinya banjir" di Kalimantan Selatan, apalagi
curah hujan pada 12 hingga 13 Januari 2020 sangat lebat berdasarkan pantauan satelit Himawari 8
yang diterima stasiun di Jakarta.

"Ya itu analisis kami, makanya disebutkan kemungkinan. Kalau dari hujan berhari-hari dan curah
hujan yang besar sehingga perlu analisis pemodelan yang memperlihatkan apakah pengaruh penutup
lahan berpengaruh signifikan," ujar Rokhis kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News
Indonesia, Minggu (17/01).
Data yang ia pegang menunjukkan total area perkebunan di sepanjang Daerah Sungai (DAS) Barito
kini mencapai 650.000 hektare.

Jika dibandingkan dengan luasan hutan di sekitar DAS yang mencapai 4,5 juta hektare, maka
perkebunan telah menghabiskan 12 hingga 14% dari keseluruhan area.

Kendati area hutan masih mendominasi, tapi Rokhis berharap tidak terus tergerus. Sebab kajian Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan Kalimantan Selatan termasuk daerah yang
berisiko terhadap bencana banjir.

Sumber gambar, Antara

Keterangan gambar,

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan
sebanyak 67.842 jiwa terdampak banjir di sejumlah wilayah di Kalsel.

"Kita paham bahwa perkebunan itu berhubungan dengan ekonomi, tapi harus diperhatikan unsur
lingkungannya," imbuh Rokhis.

Pantauan LAPAN setidaknya ada 13 kabupaten dan kota yang terdampak banjir, tujuh di antaranya
luas genangan banjir mencapai 10.000 sampai 60.000 hektare.

"Kabupaten Barito luas genangan 60.000 hektare, Kabupaten Banjar 40.000 hektare, Kabupaten
Tanah Laut sekitar 29.000 hektare, Kabupaten Hulu Sungai Tengah kira-kira 12.000 hektare,
Kabupaten Hulu Sungai Selatan mencapai 11.000 hektare, dan Kabupaten Tapin 11.000 hektare."

Evaluasi izin perkebunan sawit dan perkebunan

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono,
mencatat 50% dari lahan di Kalimantan Selatan telah beralih fungsi menjadi tambang batubara dan
perkebunan sawit.

"Tambang 33%, sawit 17%," ujar Kiworo kepada BBC News Indonesia.

Merujuk pada kondisi itu, ia mengaku telah berulang kali memperingatkan bahwa provinsi tersebut
dalam kondisi darurat bencana ekologis dan konflik agraria lantaran mayoritas pemilik tambang
maupun sawit adalah perusahaan skala besar.

Oleh karena itu, ia tak kaget jika bencana ekologis itu terjadi saat ini dan yang "terparah dari tahun-
tahun sebelumnya".

"Banjir besar pernah terjadi tahun 2006 tapi tidak sampai merendam 13 kabupaten dan kota. Ini yang
terbesar. Kalau hujan, banjir setiap tahun kalau kemarau kebakaran lahan."

Oleh sebab itu, ia mendesak pemerintah untuk mengevaluasi secara menyeluruh izin-izin yang
dikeluarkan. Sebab ia meyakini "alih fungsi lahan tersebut menyebabkan degradasi hutan".

Sumber gambar, Antara

Keterangan gambar,
Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh di LAPAN, Rokhis Khomarudin, mengatakan antara
2010 hingga 2020 terjadi penurunan luas hutan primer sebesar 13.000 hektare, hutan sekunder
116.000 hektare, sawah dan semak belukar masing-masing 146.000 hektare dan 47.000 hektare.

Jika dalam audit ada operasi tambang maupun perusahaan sawit yang dianggap memicu bencana,
maka ia berharap pemerintah berani mencabut izin tersebut.

"Misalnya izin ini dicabut, yang ini digugat, ini izin masih diperlukan. Meskipun kalau Walhi minta
cabut semua. Tapi kebijakan pemerintah kan tidak bisa sampai ke sana. Nah evaluasi itu inginnya
melibatkan masyarakat sipil jangan hanya konsultan."

"Dan di-share hasil dan kesimpulannya."

"Karena dampak lingkungan ini sampai ke anak cucu. Kalau hanya denda pasti mereka (perusahaan)
sanggup membayar. Kalaupun ditutup bisa bikin perusahaan baru."

Selain bertindak tegas pada perusahaan, Walhi juga meminta pemerintah daerah meninjau Kembali
aturan Rancangan Tata Ruang dan Wilayah Kalimantan Selatan.

Apa tanggapan pemerintah?

Sumber gambar, Antara

Keterangan gambar,

Warga menggendong anaknya melintasi banjir di Desa Kampung Melayu, Kabupaten Banjar,
Kalimantan Selatan, Jumat (15/01). Banjir ini digambarkan sebagai banjir terbesar yang melanda
provinsi tersebut.

Sekretaris Daerah Kalimantan Selatan, Roy Rizali Anwar, menjanjikan bakal melakukan evaluasi
terhadap penggunaan lahan di provinsinya untuk mengetahui penyebab banjir terbesar ini dalam
waktu dekat.

Namun begitu, ia tidak memberikan target kapan evaluasi itu selesai.

"Kami akan kaji secara komprehensif apa penyebabnya sehingga tidak terulang. Karena yang
terdampak sangat luas hampir 2,6 juta hektare. Kita kaji dari sisi penggunaan lahan, aliran sungai,
permukiman," ujar Roy Rizali Anwar kepada BBC News Indonesia.

Sejauh ini, pemprov terkendala dalam mengevakuasi dan menyalurkan bantuan kepada warga yang
paling terdampak banjir yakni di Kabupaten Banjar, Hulu Sungai Tengah, dan Kabupaten Tanah Laut.
Pasalnya dua jalan nasional terputus.

Karena itu pada Minggu (17/01), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengerahkan
satu helikopter bantuan.

Sementara itu korban meninggal tercatat 16 orang dan ratusan ribu orang mengungsi.

Roy mengatakan pihaknya berusaha tetap menerapkan protokol Kesehatan di lokasi pengungsian
mengingat kondisi pandemi Covid-19.

"Yang pasti karena masih pandemi kami libatkan satgas untuk memastikan protokol kesehatan di
pengungsian berjalan."
'Ini banjir terparah sepanjang hidup saya'

Sumber gambar, Antara

Keterangan gambar,

Warga menyelamatkan barang dari rumah yang terendam banjir di Desa Banua Raya di Kabupaten
Tanah Laut, Kalimantan Selatan, Senin (11/01).

Kepala Desa Sungai Batang, Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar, Muhamad Asfi,
mengatakan seribuan orang telah diungsikan ke sejumlah rumah kerabat, masjid, dan stadion di
Kecamatan Martapura Kota.

Mereka yang prioritas mengungsi yakni lansia dan anak-anak. Sementara beberapa pemuda masih
berada di rumah untuk menjaga harta benda.

Asfi bercerita, sepanjang ia tinggal di Kalimantan Selatan bencana banjir tahun ini menjadi yang
terparah. Kalau saban tahun banjir merendam persawahan warga, kini termasuk rumah dengan
ketinggian hampir satu meter.

"Ini banjir terparah dalam hidup saya," kata Asfi kepada BBC News Indonesia. "Pada hari pertama
banjir, kita angkut warga pakai truk. Tapi karena banjir semakin tinggi pakai perahu klotok."

Kata dia, Sungai Martapura yang dekat dengan desanya sudah bertahun-tahun tidak dikeruk sehingga
tak sanggup menampung deras air hujan dari hulu.

"Karena sungai-sungai itu dangkal, jadi ke lautnya lambat."

Hingga kini, bantuan makanan dan pakaian sudah dibagikan kepada para pengungsi. Tapi ia
memperkirakan makanan berupa beras hanya bertahan dua hari sementara banjir akan surut dalam
beberapa hari mendatang.

Karena itu ia berharap pemprov segera mendistribusikan bantuan tambahan. Termasuk pula, popok
untuk anak-anak dan bayi.

"Bantuan agar diperbanyak. Karena banjir masih satu mingguan, soalnya banjir lama surut."

Di lokasi pengungsian, lanjut Asfi, tak ada pembatas untuk menghindari penularan virus corona.
Sebab tempatnya yang terlalu kecil untuk menampung banyak orang.

"Kami enggak ada jarak lagi. Selamat saja sudah mending, jaga-jaga jarak sudah enggak ada lagi,"
kata Asfi.

Catatan Redaksi: Berita ini diperbarui pada Rabu, 20 Januari 2021, sekitar pukul 21.30 WIB, dengan
menambahkanklarifikasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada paragraf
pertama dan kedua.

You might also like