You are on page 1of 21

LAPORAN PENDAHULUAN

PERILAKU KEKERASAN

DISUSUN OLEH :
APRILIA IKA PRATIWI
S18220

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA

TAHUN 2020/2021
A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Kekerasan (violence) merupakan suatu bentuk perilaku agresi
(aggressive behavior) yang menyebabkan penderitaan atau menyakiti
orang lain, termasuk terhadap hewan atau benda-benda. Ada perbedaan
antara agresi sebagai bentuk pikiran maupun perasaan dengan agresi
sebagai bentuk perilaku. Agresi adalah suatu respon terhadap
kemarahan, kekecewaan, perasaan dendam atau ancaman yang
memancing amarah (Muhith, 2015).
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan hilangnya kendali
perilaku seseorang yang diarahkan pada diri sendiri (dapat berupa
melukai diri sendiri atau membiarkan diri dalam bentuk penelantaran
diri), orang lain (dengan melakukan tindakan agresif pada orang lain)
atau lingkungan seperti perilaku lingkungan (Yusuf, dkk, 2015).
2. Etiologi
Proses terjadinya perilaku kekerasan itu dipengaruhi oleh dua faktor
yaitu faktor predisposisi dan faktor presipitasi.
a. Faktor Predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang merupakan faktor
predisposisi, artinya mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi
perilaku kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu adalah:
1) Faktor Biologis
Dalam otak sistem limbik berfungsi sebagai regulator atau
pengatur perilaku. Adanya lesi pada hipotalamus dan amigdala
dapat mengurangi dan meningkatkan perilaku agresif.
Perangsangan pada sistem neurofisiologis dapat menimbulkan
respon-respon emosional dan ledakan agresif. Penurunan
norepinefrin dapat menstimulasi perilaku agresif misalnya pada
peningkatan kadar hormon testosteron atau progesteron.
Pengaturan perilaku agresif adalah dengan mengatur jumlah
metabolisme biogenik amino- norepinefrin (Dalami, dkk,
2014).
Berdasarkan faktor biologis, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu
sebagai berikut (Direja, 2011) :
a) Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem
neurologis mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Sistem limbik sangat terlibat
dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan
respon agresif.
b) Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam townsend
(1996) menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter
(epineprin, norepineprin, dopamine, asetilkolin dan
serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Peningkatan hormone androgen
dan norepineprin serta penurunan serotonin dan GABA (6
dan 7) pada ciran serebrospinal merupakan penyebab
timbulnya perilaku agresif pada seseorang.
c) Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif
sangat erat kaitanya dengan penghuni penjara tindak criminal
(narapidana).
d) Gangguan otak, sindrom otak organic berhubungan dengan
gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbic dan
lobus temporal), trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsy
(lobus temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku
agresif atau kekerasan.
2) Faktor Psikologis Psychoanalitytical Theory;
Teori ini mendukung bahwa perilaku agresif merupakan akibat
dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku
manusia dipengaruhi oleh dua insting. Pertama, insting hidup
yang diekspresikan dengan seksualitas dan kedua, insting
kematian yang diekspresikan dengan agresivitas. Frustation-
agression theory; teori yang dikembangkan oleh pengikut freud
ini berawal dari asumsi bahwa bila usaha seseorang untuk
mencapai suatu tujuan mengalami hambatan, maka akan timbul
dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi
perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang
menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang yang
melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku
agresif. Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku
agresif, mendukung pentingnya peran dari perkembangan
predisposisi atau pengalaman hidup. Ini menggunakan
pendekatan bahwa manusia mampu memilih mekanisme
koping yang sifatnya tidak merusak.
Beberapa contoh pengalaman tersebut :
a) Kerusakan otak organik, retardasi mental, sehingga tidak
mampu untuk menyelesaikan secara efektif.
b) Severe emotional deprivation atau rejeksi yang
berlebihan pada masa kanak-kanak.
c) Terpapar kekerasan selama masa perkembangan,
termasuk child abuse atau mengobservasi kekerasan dalam
keluarga. Kemudian perilaku juga termasuk dalam faktor
psikologi Perilaku Reinforcment yang diterima pada saat
melakukan kekerasan dan sering mengobservasi kekerasan
di rumah atau di luar rumah, semua aspek ini menstimulasi
individu mengadopsi perilaku kekerasan (Keliat, 1996
dalam Muhith, 2015).
3) Faktor Sosial Budaya
Seseorang akan berespon terhadap peningkatan emosionalnya
secara agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Sesuai
dengan teori menurut Bandura bahwa agresif tidak berbeda
dengan respons-respons yang lain. Faktor ini dapat dipelajari
melalui observasi dan semakin sering mendapatkan penguatan
maka semakin besar kemungkinan terjadi. Budaya juga dapat
mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat
membantu mendefinisikan ekspresi marah yang dapat diterima
dan yang tidak dapat diterima. Kontrol masyarakat yang rendah
dan kecendrungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara
penyelesaian masalah dalam masyarakat.
b. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan akan mengeluarkan respon marah
apabila dirinya merasa terancam. Ancaman tersebut dapat berupa
luka secara psikis. Ancaman dapat berupa internal dan eksternal.
Contoh stressor eksternal yaitu serangan secara psikis, kehilangan
hubungan yang dianggap bermakna, dan adanya kritikan dari orang
lain. Sedangkan contoh dari stressor internal yaitu merasa gagal
dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang dicintai, dan
ketakutan terhadap penyakit yang diderita (Muhith, 2015). Faktor
presipitasi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau interaksi
dengan orang lain. Kondisi pasien seperti ini kelemahan fisik
(penyakit fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang
kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula
dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang
mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintainya
atau pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang
lain. Interaksi yang proaktif dan konflik dapat pula memicu
perilaku kekerasan (Prabowo, 2014).
Menurut Dalami,dkk tahun 2014 stressor presipitasi yang muncul
pada pasien perilaku kekerasan yaitu :
a. Ancaman terhadap fisik : pemukulan, penyakit fisik
b. Ancaman terhadap konsep diri : frustasi, harga diri
rendah
c. Ancaman eksternal : serangan fisik, kehilangan orang
atau benda berarti
d. Ancaman internal : Kegagalan,kehilangan perhatian

3. Manifestasi Klinis

Data perilaku kekerasan dapat diperoleh melalui observasi atau


wawancara tentang perilaku berikut (Dermawan & Rusdi, 2013) :
a. Muka merah dan tegang
b. Pandangan tajam
c. Mengatupkan rahang dengan kuat
d. Menggepalkan tangan
e. Bicara kasar
f. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
g. Mengancam secara verbal dan fisik
h. Melempar atau memukul benda atau orang lain
i. Merusak barang atau benda
j. Tidak mempunyai kemampuan mencegah atau mengontrol perilaku
kekerasan.

Menurut Direja, 2013 tanda gejala pada perilaku kekerasan yaitu :


a. Fisik Mata melotot, pandangan tajam,tangan menggepal, rahang
mengatup, wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
b. Verbal Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara
dengan nada keras, kasar dan ketus.
c. Perilaku Menyerang orang lain, melukai diri sendiri atau orang lain,
merusak lingkungan, amuk atau agresif.
d. Emosi Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu,
dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk,
menyalahkan dan menuntut.
e. Intelektual Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, dan meremehkan.
f. Spiritual Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan,
tidak bermoral dan kreativitas terhambat.
g. Sosial Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan
sindiran.
h. Perhatian Bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan
seksual
4. Patofisiologis

Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan


kemarahan yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan
tersebut merupakan suatu bentuk komunikasi dan proses penyampaian
pesan dari indivuidu. Rentang respons kemarahan individu dimulai dari
respons normal (asertif) sampai pada respons sangat tidak normal
(maladaptif) . Berikut rentang respon marah menurut (Direja, Ade
Herman Surya, 2011).

Asertif Frustasi Pasif Agresif


Kekerasan

Keterangan :

a. Asertif

Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain


dan memberi ketenangan.
b. Frustasi

Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat
menemukan alternatif.
c. Pasif

Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya.

d. Agresif

Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut


tetapi masih terkonrol.
e. Kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya kontrol.

5. Pemeriksaan Penunjang

Ada beberapa pemeriksaan penunjang menurut Juanda, 2017 antara lain :


a. Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat memberi gambaran
otak tiga dimensi, dapat memperlihatkan gambaran yang lebih
kecil dari lobus frontal rata-rata, atrofi lobus temporal (terutama
hipokampus, girus parahipokampus, dan girus temporal superior).
b. Positron Emission Tomography (PET) untuk mengetahui aktivitas
metabolik dari area spesifik otak dan dapat menyatakan aktivitas
metabolik yang rendah dari lobus frontal, terutama pada area
prefrontal dari korteks serebral.
c. Addiction Severity Index (ASI)
ASI dapat menentukan masalah ketergantungan (ketergantungan
zat), yang mungkin dapat dikaitkan dengan penyakit mental, dan
mengindikasikan area pengobatan yang diperlukan.
d. Electroensephalogram (EEG)
Dari pemeriksaan didapatkan hasil yang mungkin abnormal,
menunjukkan ada atau luasnya kerusakan organik pada otak.

6. Pengobatan

Penatalaksanaan pada pasien perilaku kekerasan bukan hanya meliputi


pengobatan dengan farmakoterapi, tetapi juga pemberian psikoterapi,
serta terapi modalitas yang sesuai dengan gejala pada perilaku kekerasan.
Pada terapi ini juga perlu dukungan keluarga dan sosial akan
memberikan peningkatan kesembuhan klien. Penatalaksanaan pada
pasien perilaku kekerasan terbagi dua yaitu :
a.Penatalaksanaan medik

1) Farmakoterapi

Salah satu farmakoterapi yang digunakan pada klien dengan


perilaku kekerasan biasanya diberikan antipsikotik. Obat
antipsikotik pertama yaitu klorpromazin, diperkenalkan tahun 1951
sebagai pramedikasi anestesi. Kemudian setelah itu, obat itu diuji
coba sebagai obat skizofrenia dan terbukti dapat mengurangi
skizofrenia. Antipsikotik terbagi atas dua yaitu antipsikotik tipikal
dan antipsikotik atipikal dengan perbedaan pada efek sampingnya.
Antipsikotik tipikal terdiri dari (butirofenon, Haloperidol/haldol,
Fenotiazine,Chlorpromazine, perphenazine (Trilafon),
trifluoperazin (stelazine), sedangkan untuk antipsikotik atipikal
terdiri dari (clozapine (clozaril), risperidone (Risperidal). Efek
samping yang ditimbulkan berupa rigiditas otot kaku, lidah kaku
atau tebal disertai kesulitan menelan. Biasanya sering digunakan
klien untuk mengatasi gejala-gejala psikotik (Perilaku kekersan,
Halusinasi, Waham), Skizofrenia, psikosis organik, psikotik akut
dan memblokade dopamine pada pascasinaptik neuron di otak
(Katona, dkk, 2012).
2) Terapi Somatis

Terapi somatis adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan


gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptif
menjadi perilaku adaptif dengan melakukan tindakan yang
ditujukan pada kondisi fisik klien. Walaupun yang diberi perlakuan
adalah fisik klien, tetapi target terapi adalah perilaku klien. Jenis
terapi somatis adalah meliputi pengikatan, ECT, isolasi dan
fototerapi (Kusumawati & Yudi, 2010).
a) Pengikatan

Merupakan terapi menggunakan alat mekanik atau manual untuk


membatasi mobilitas fisik klien yang bertujuan untuk melindungi
cedera fisik pada klien sendiri dan orang lain.
b) Terapi Kejang listrik

Terapi kejang listrik atau Electro Convulsif Therapi (ECT) adalah


bentuk terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang
grand mall dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang
ditempatkan dipelipis pasien. Terapi ini ada awalnya untuk
menangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya
dilaksanakan setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali) dengan
kekuatan arus listrik (2-3 joule).
c) Isolasi

Merupakan bentuk terapi dengan menempatkan klien sendiri


diruang tersendiri untuk mengendalikan perilakunya dan
melindungi klien, orang lain dan lingkungan. Akan tetapi tidak
dianjurkan pada klien dengan risiko bunuh diri.
b.Penatalaksanaan Keperawatan

1) Strategi pelaksanaan pasien perilaku kekerasan

Startegi pelaksanaan dapat dilakukan berupa komunikasi terapeutik


kepada pasien perilaku kekerasan maupun pada keluarga. Tindakan
keperawatan terhadap pasien dapat dilakukan minimal empat kali
pertemuan dan dilanjutkan sampai pasien dan keluarga dapat mengontrol
dan mengendalikan perilaku kekerasan. Pada masing- masing pertemuan
dilakukan tindakan keperawatan berdasarkan strategi pelaksanaan (SP)
sebagai berikut (Pusdiklatnakes, 2012) :
a. Latihan strategi pelaksanaan 1 untuk pasien : latihan nafas dalam
dan memukul kasur atau bantal.
b. Latihan strategi pelaksanaan 2 untuk pasien : latihan minum obat
c. Latihan strategi pelaksanaam 3 untuk pasien : Latihan cara sosial
atau verbal
d. Latihan strategi pelaksanaan 4 untuk pasien : Latihan cara spiritual
Tindakan keperawatan berdasarkan strategi pelaksanaan (SP) sebagai
berikut :
a) Latihan strategi pelaksanaan 1 untuk keluarga : Cara merawat
pasien dan melatih latihan fisik
b) Latihan strategi pelaksanaan 2 untuk keluarga : Cara memberi
minum obat
c) Latihan strategi pelaksanaan 3 untuk keluarga : Melatih keluarga
cara mengontrol marah dengan cara sosial atau verbal.
d) Latihan strategi pelaksanaan 4 untuk keluarga : cara mengontrol
rasa marah dengan cara spiritual, latih cara spiritual, jelaskan follow
up ke puskesmas, tanda kambuh.
2) Terapi modalitas

Terapi modalitas keperawatan jiwa dilakukan untuk memperbaiki


dan mempertahankan sikap klien agar mampu bertahan dan
bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat sekitar dengan harapan
klien dapat terus bekerja dan tetap berhubungan dengan keluarga,
teman, dan sistem pendukung yang ada ketika menjalani terapi
(Nasir & Muhits dalam Direja, 2011). Jenis-jenis terapi modalitas
adalah :
a) Psikoterapi

Merupakan suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional


terhadap pasien yang dilakukan oleh seseorang yang terlatih dan
sukarela. Psikoterapi dilakukan agar klien mengalami tingkah
lakunya dan mengganti tingkah laku yang lebih konstruktif melalui
pamhaman- pemahaman selama ini kurang baik dan cenderung
merugikan baik diri sendiri , orang lain maupun lingkungan sekitar.
b) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)

Terapi Aktivitas Kelompok sering digunakan dalam praktik


kesehatan jiwa, bahkan merupakan hal yang terpenting dari
keterampilan terapeutik dalam ilmu keperawatan. Pemimpin atau
leader kelompok dapat menggunakan keunikan individu untuk
mendorong anggota kelompok untuk mengungkapkan masalah dan
mendapatkan bantuan penyelesaian masalahnya dari kelompok,
perawat juga adapatif menilai respon klien selamaberada dalam
kelompok. Jenis Terapi Aktivitas
Kelompok yang digunakan pada klien dengan perilaku kekerasan
adalah Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi atau Kognitif.
Terapi yang bertujuan untuk membantu klien yang mengalami
kemunduran orientasi, menstimuli persepsi dalam upaya memotivasi
proses berfikir dan afektif serta mengurangi perilaku maladaptif.
Karakteristiknya yaitu pada penderita gangguan persepsi yang
berhubungan dengan nilai- nilai, menarik diri dari realitas dan
inisiasi atau ide-ide negatif.
c) Terapi Keluarga

Berfokus pada keluarga dimana keluarga membantu mengatasi


masalah klien dengan memberikan perhatian :
o Bina hubungan saling percaya (BHSP)

o Jangan memancing emosi klien

o Libatkan klien dalam kegiatan yang berhubungan dengan


keluarga
o Memberikan kesempatanpada klien dalam mengemukakan
pendapat
o Anjurkan pada klien untuk mengemukakan maslah yang dialami
o Mendengarkan keluhan klien

o Membantu memecahkan masalah yang dialami oleh klien

o Hindari penggunaan kata-kata yang menyinggung perasaan klien


o Jika klien melakukan kesalahan jangan langsung memvonis

o Jika terjadi perilaku kekerasan yang dilakukan adalah : bawa


klien ketempat yang tenang dan aman, hindari benda tajam,
lakukan fiksasi sementara, rujuk ke pelayanan kesehatan
(Afnuhazi, 2015).
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul
Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada perilaku kekerasan
antara lain :
a. Data Subjektif :
Klien pernah marah-marah dan memukul siapapun
b. Data Objekti :
Terlihat kaku, mata melotot, kadang gelisah, suka mondar mandir, klien
berteriak

2. Diagnosa Keperawatan
a. Perilaku Kekerasan (D.0132)
Kemarahan yang diekspresikan secara berlebihan dan tidak terkendali
secara verbal sampai dengan mencederai orang lain dan/atau merusak
lingkungan.
Tanda dan gejala mayor :

1) Subjektif
- Mengancam
- Mengumpat dengan kata-kata kasar
- Suara keras
- Bicara ketus
2) Objektif
- Menyerang orang lain
- Melukai diri sendiri/orang lain
- Merusak lingkungan
- Perilaku agresif/amuk

Tanda dan gejala minor

1) Subjektif : Tidak tersedia


2) Objektif
- Mata melotot atau pandangan tajam
- Tangan mengepal
- Rahang mengatup
- Wajah memerah
- Postur tubuh kaku

b. Resiko perilaku kekerasan (D.0146)


Beresiko membahayakan secara fisik, emosi, dan seksual pada diri
sendiri atau orang lain.
Tanda dan gejala mayor :

1) Subjektif : Tidak tersedia


2) Objektif : Tidak tersedia
Tanda danGejala Minor :
1) Subjektif : Tidak tersedia
2) Objektif : Tidak tersedia

3. Perencanaan Keperawatan (Tujuan dan Kriteria hasil menggunakan


pendekatan SLKI. Sedangkan intervensi menggunakan pendekatan
SIKI)
Tujuan dan Kriteria Intervensi
No Dx. Keperawatan
Hasil (SLKI) Keperawatan
1 Perilaku Kekerasan Setelah dilakukan Manajemen
(D.0132) intervensi keperawatan Pengendalian
selama 3x24 jam maka Marah (I.09290)
Kontrol Diri (L.09076) Observasi
meningkat dengan - Identifikasi
kriteria hasil : penyebab/pemicu
- Verbalisasi umpatan kemarahan
dengan skor 4 (cukup Terapeutik
menurun) - Gunakan
- Perilaku merusak pendekatan yag
lingkungan sekitar tenang dan
dengan skor 4 (cukup meyakinkan
menurun) - fasilitasi
- Perilaku melukai diri mengekspresikan
sendiri dengan skor 4 marah secara
(cukup menurun) adaptif
Edukasi
- Ajarkan strategi
untuk mencegah
ekspresi marah
maladaptive
Kolaborasi
- Kolaborasi
pemberian obat,
jika perlu
2 Resiko perilaku Setelah dilakukan Pencegahan
kekerasan (D.0146) intervensi keperawatan perilaku kekerasan
selama 3x24 jam maka (I.14544)
Kontrol diri Observasi
(L.09076) - Monitor adanya
Meningkat dengan benda yang
kriteria hasil : berpotensi
- Verbalisasi ancaman membahayakan
kepada orang lain - Monitor keamanan
dengan skor 4 barang yang
(cukup menurun) dibawa oleh
- Verbalisasi umpatan pengunjung
dengan skor 4 - Monitor selama
(cukup menurun) penggunaan
- Perilaku menyerang barang yang dapat
dengan skor 4 membahayakan
(cukup menurun) (misal pisau
- Perilaku melukai cukur).
diri sendiri atau Terapeutik
orang lain dengan - Pertahankan
skor 4 (cukup lingkungan bebas
menurun) dari bahaya secara
rutin
- Libatkan keluarga
dalam perawatan
Edukasi
- Latih cara
mengungkapkan
perasaan secara
asertif
- Latih mengurangi
kemarahan secara
verbal dan non
verbal (misal
relaksasi, bercerita
DAFTAR PUSTAKA

Afnuhazi, Ridhyalla. 2015. Komunikasi Terapeutik dalam Keperawatan Jiwa.

Yogyakarta:Goysen Publishing.

Direja, Ade Herman Surya.2011. Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:


Nuha Medika.

Hidayat, Aziz Alimul. 2012. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah
Edisi kedua. Jakarta: Salemba Medika.

Keliat, et al. 2016. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN (Basic


Course). Jakarta: EGC.

Muhith A. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teori dan Aplikasi). Yogyakarta:


Penerbit ANDI.

Yosep, Iyus. 2013. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT. Refika Aditama.


Yusuf, AH, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.

You might also like