You are on page 1of 24

SISTEM PERNAFASAN JANIN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Feto Maternal

Dosen Pengampu : Listyaning Eko, S.Si.T, M.Tr.Keb

Disusun oleh kelompok 2 :

1. Alina Valentina

2. Bety Setyowati

3. Kusmiati Slameto

4. Ndari Ernawati

PROGRAM STUDI PROFESI BIDAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN

SEMARANG

2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan

hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Feto Maternal

dengan judul “Sistem Pernafasan Janin”. Dengan adanya makalah ini, diharapkan

pembaca dapat memetik manfaat dan meningkatkan pengetahuan tentang system

pernafasan janin.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada pengarang

buku maupun artikel yang telah membantu saya dengan karyanya. Kepada

bapak/ibu dosen yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk

menyusun makalah ini serta teman-teman yang memberikan motivasinya sehingga

kami dapat menyelesaikan tugas ini.

Kami menyadari masih ada kekurangan dalam makalah ini baik dari segi

susunan kalimat maupun bahasa da nisi. Oleh karena itu kami menerima segala

saran dan kritik dari pembaca yang membangun dan dapat memperbaiki makalah

ini.

Semarang, Desember 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

KATA PENGANTAR................................................................................. ii

DAFTAR ISI................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1

A. Latar Belakang ....................................................1

B. Rumusan Masalah ....................................................2

C. Tujuan ....................................................2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................... 3

BAB III PENUTUP.................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 fetal sirculation ...................................................................... 11

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bernafas merupakan proses vital bagi makhluk hidup untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya termasuk manusia. Manusia bernafas untuk memenuhi

kebutuhan oksigen yang diperlukan dalam tubuhnya. Oksigen tersebut

digunakan oleh setiap sel dalam tubuh manusia untuk melakukan proses

metabolisme. Manusia dalam bernafas menghirup oksigen dalam udara bebas

dan membuang karbondioksida dan air ke lingkungan.[1,2]

Pernafasan adalah suatu proses dimana terjadi pertukaran di dalam

jaringan yang terjadi di dalam paru-paru.[2] Di dalam kandungan, bayi pun

bernafas. Pertukaran karbondioksida dan oksigen terjadi pada tali pusat yang

terhubung dengan tubuh ibu. Ini dikarenakan paru-paru bayi masih belum

berfungsi secara sempurna. Saat ibu hamil bernafas, darah yang telah

mengikat oksigen akan dialirkan melalui tali pusat hingga mencapai jantung

janin. Kemudian jantung janin memompa darah tersebut untuk dialirkan ke

seluruh tubuh. Janin selama dalam kandungan sudah berlatih untuk bernafas.
[3]

Saluran jalan nafas pada manusia terdiri dari hidung, faring, laring,

trakea, bronkus dan bronkoelus. Pertumbuhan system pernafasan janin

dimulai sejak minggu ke-4 kehamilan atau hari ke-24 dimana celah

1
laryngotracheal muncul di dasar pharynx lama kelamaan semakin dalam

membentuk diverticulum laryngotracheal.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian latar belakang diatas dapat ditetapkan

permasalahan adalah “bagaimana system pernafasan janin selama dalam

kandungan?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari makalah ini adalah untuk mengetahui system

pernafasan janin selama dalam kandungan.

2. Tujuan Khusus

a. Dapat memahami pengertian system pernafasan

b. Dapat memahami anatomi pernafasan janin

c. Dapat memahami mekanisme pernafasan janin

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pernafasan

1. Sistem Pernafasan Janin

a. Definisi

Pengertian pernafasan atau respirasi adalah suatu proses mulai

dari pengambilan oksigen, pengeluaran karbohidrat hingga penggunaan

energy di dalam tubuh. Manusia dalam bernafas menghirup oksigen

dalam udara bebas dan membuang karbon dioksida ke lingkungan.[1]

Pernafasan adalah proses ganda yaitu terjadinya pertukaran gas di

dalam jaringan atau “pernapasan dalam” dan yang terjadi di dalam

paru-paru yaitu “pernapasan luar”. Udara ditarik ke dalam paru-paru

pada waktu menarik napas dan didorong keluar paru-paru pada waktu

mengeluarkan napas. Udara masuk melalui jalan pernafasan.[2]

Sebelum bayi dilahirkan, kebutuhan oksigen janin dipenuhi oleh

plasenta. Sehingga paru-paru janin tidak perlu berfungsi sebagai organ

respirasi. Dengan memotong tali pusat, maka maturasi organ yang

adekuat sangatlah penting bagi bayi baru lahir. Perkembangan struktur

paru-paru berlangsung secara kontinu sepanjang kehidupan janin dan

masa kanak-kanak awal. Saluran mulai terbentuk pada cabang bronkial

sekitar usia gestasi minggu ke-17 dan segera setelah itu, kantong udara

primitive mulai terbentuk.[4]

3
b. Anatomi Sistem Pernafasan

Bagian-bagian system pernafasan yaitu cavum nasi, faring, laring,

trakea, karina, bronchus principalis, bronchus lobaris, bronchus

segmentalis, bronchioles terminalis, bronchioles respiratoryus, saccus

alveolus, ductus alveolus dan alveoli. Terdapat lobus, dextra ada 3

lobus yaitu lobus superior, lobus media dan lobus inferior. Sinistra ada

2 lobus yaitu lobus superior dan lobus inferior. Pulmo dextra terdapat

fissure horizontal yang membagi lobus superior dan lobus media,

sedangkan fissure oblique membagi lobus media dengan lobus inferior.

Pulmo sinistra terdapat fissure oblique yang membagi lobus superior

dan lobus inferior. Pembungkus paru (pleura) terbagi menjadi 2 yaitu

parietalis (luar) dan visceralis (dalam) diantara 2 lapisan tersebut

terdapat rongga pleura (cavum pleura).[5]

1) Hidung

Tersusun dari tulang dan tulang rawan hialin, kecuali naris

anterior yang dindingnya tersusun atas jaringan ikat fibrosa dan

tulang rawan. Permukaan luarnya dilapisi kulit dengan kelenjar

sebasea dan rambut. Terdapat epitel respirasi : epitel berlapis

silindris bersilia bersel goblet dan mengandung sel basal.

Didalamnya ada konka nasalis superior, medius dan inferior.

Lamina propria pada mukosa hidung umumnya mengandung

banyak pleksus pembuluh darah.[5]

2) Alat penghidup

4
Mengandung epitel olfaktoria, bertingkat silindris tanpa sel

goblet dengan lamina basal yang tidak jelas. Epitelnya disusun atas

3 jenis sel : sel penyokong, sel basa dan sel olfaktoris.[5]

3) Sinus paranasal

Merupakan rongga-rongga berisi udara yang terdapat dalam

tulang tengkorak yang berhubungan dengan rongga hidung. Ada 4

sinus : maksilaris, frontalis, etmoidalis, dan sphenoidalis.[5]

4) Faring

Lanjutan posterior dari rongga mulut. Saluran nafas dan

makanan menyatu dan menyilang. Pada saat makan makanan

dihantarkan ke oesophagus. Pada saat bernafas udara dihantarkan

ke laring.

5) Laring

Organ ini terletak antara faring dan trakea.

6) Trakea

Tersusun atas 16-20 cincin tulang rawan. Celah diantaranya

dilapisi oleh jaringan ikat fibro elastic. Struktur trakea terdiri dari :

tulang rawan, mukosa, epitel bersilia, jaringan limfoid dan kelenjar.

7) Bronchus

Cabang utama trakea disebut bronki primer atau bronki

utama. Bronki primer bercabang menjadi bronki lobar, bronki

segmental, beronki subsegmental. Struktur bronkus primer mirip

dengan trakea hanya cincin berupa lempeng tulang rawan tidak

5
teratur. Makin ke distal makin berkurang, dan pada bronkus

subsegmental hilang sama sekali. Otot polos tersusun atas anyaman

dan spiral. Mukosa tersusun atas lipatan memanjang. Epitel

bronkus : kolumnar bersilia dengan banyak sel goblet dan kelenjar

submukosa. Lamina propria : serat retikuler, elastin, limfosit, sel

mast, eosinophil.[6]

8) Bronchiolus

Cabang ke 12-15 bronkus. Tidak mengandung lempeng tulag

rawan, tidak mengandung kelenjar submukosa. Otot polos

bercampur dengan jaringan ikat longgar. Epitel kuboid bersilia dan

sel bronkiolar tanpa silia (sel clara). Lamina propria tidak

mengandung sel goblet.[6]

9) Bronchiolus respiratorius

Merupakan peralihan bagian konduksi ke bagian respirasi

paru. Lapisan : epitel kuboid, kuboid rendah, tanpa silia.

Mengandung kantong tipis (alveoli).[6]

10) Duktus alveolaris

Lanjutan dari bronkiolus, banyak mengandung alveoli.

Tempat alveoli bermuara.[6]

11) Alveolus

Kantong berdinding sangat tipis pada bronkioli terminalis.

Tempat terjadinya pertukaran oksigen dan karbondioksida antara

darah dan udara yang dihirup. Jumlahnya 200-500 juta. Bentuknya

6
bulat polygonal, septa antar alveoli disokong oleh serat kolagen,

dan elastis halus.[6]

Sel epitel terdiri dari sel avelolar gepeng (sel alveolar tipe I),

sel alveolar besar (sel alveolar tipe II). Sel alveolar gepeng (tipe I)

jumlahnya 10%, menempati 95% alveolar paru. Sel alveolar besar

(tipe II) jumlahnya 12% menempati 5% alveolar. Sel alveolar

gepeng terletak di dekat septa alveolar, bentuknya lebih tebal,

apical bulat, ditutupi microvilli pendek, permukaan licin, memiliki

badan berlamel. Sel alveolar besar menghasilkan surfaktan

pulmonary. Surfaktan ini fungsinya untuk mengurangi kolaps

alveoli pada akhir ekspirasi. Jaringan diantara 2 lapis epitel disebut

interstisial. Mengandung serat, sel septa (fibroblast), sel mast,

sedikit limfosit. Septa tipis diantara alveoli disebut pori Kohn. Sel

fagosit utama dari alveolar disebut makrofag alveolar. Pada

perokok sitoplasma sel ini terisi badan besar bermembran. Jumlah

sel makrofag melebihi jumlah sel lainnya.[6]

12) Pleura

Membrane serosa pembungkus paru. Jaringan tipis ini

mengandung serat elastin, fibroblast, kolagen. Yang melekat pada

paru disebut pleura visceral, yang melekat pada dinding toraks

disebut parietal. Ciri khas mengandung banyak kapiler dan

pembuluh limfe. Saraf adalah cabang n.frenikus dan n.interkostal.[5]

7
c. Adaptasi Fisiologis Pernapasan

Kebutuhan oksigen janin dipenuhi oleh plasenta. Sehingga, paru-

paru janin tidak perlu berfungsi sebagai organ respirasi. Saluran mulai

terbentuk pada cabang bronkial sekitar usia gestasi minggu ke-17 dan

segera setelah itu, kantong udara primitive mulai terbentuk. Pada

minggu ke-24 sampai 26 terjadi vaskularisasi yang adekuat dan

perkembangan kantong pernafasan. Pada saat ini pertukaran gas

mungkin terjadi dan kemampuan hidup mandiri. Namun lipoprotein

aktif pada permukaan paru (surfaktan) belum terbentuk dan

perkembangan alveolus masih terbatas.

Tonjolan paru-paru pada janin mulai terbentuk pada usia gestasi 6

minggu dan akan terus berlanjut sedangkan surfaktan akan mulai

tumbuh pada usia gestasi 22-24 minggu dan baru mulai aktif pada usia

gestasi 24-26 minggu sedangkan surfaktan tersebut baru akan berfungsi

pada usia gestasi 32-36 minggu.

Pada usia gestasi 24 minggu paru-paru mulai mengambil oksigen

meskipun janin masih menerima oksigen dari plasenta. Untuk persiapan

hidup di luar Rahim, paru-paru janin mulai menghasilkan surfaktan

yang menjaga kantung udara tetap mengembang. Organ paru-paru

mulai terbentuk aktif pada usia gestasi 25-28 minggu yaitu pada

permulaan trimester III. Surfaktan terdiri dari 90% fosfolipid dan 10%

protein. Lesitin dan sfingomyelin adalah 2 komponen utama dalam

surfaktan. Lesitin adalah gliserofosfolipid surfaktan sedangkan

8
sfingomyelein adalah fosfolipid yang berasal dari jaringan tubuh

kecuali paru-paru.

d. Perkembangan Anatomik Paru Janin

Pada hari ke 26-28 bronchus primer terbentuk. Perkembangan

terjadi pada 4 fase overlapping, yaitu :

1) Fase glandular

Fase ini dimulai dari hari ke-28 sampai minggu ke-16. Secara

histologis terlihat gambaran glandula yang dilapisi oleh epitel

kuboid pada bagian terminalnya yang terjadi proses percabangan

bronchus. Demikian pula dengan arteri pulmonalis yang bertumbuh

mengikuti percabangan bronchus. Pembuluh kapiler masih terpisah

jauh dari terminal saluran nafas oleh jaringan interstitial.

Kehidupan ekstra uterin belum memungkinkan pada tahap ini

karena kapasitas pertukaran gas yang masih terbatas antara kapiler

dan saluran nafas.

2) Fase canalicular

Fase ini mulai minggu ke-13 sampai minggu ke-25. Pada saat

ini terjadi canalisasi saluran nafas. Setiap bronchus memunculkan 2

atau lebih bronchioles respiratorius dan setiap bronchioles

respiratorius terbagi menjadi 3-6 ductus alveolaris. Epitel menjadi

lebih tipis. Kapiler semakin dekat dengan epitel pernafasan dan

potensi pertukaran gas masih terbatas.

3) Fase terminal sac

9
Fase ini dimulai dari 24 minggu sampai lahir. Ductus

alveolaris tumbuh menjadi alveoli primitive. Epitel berdiferensiasi

menjadi tipe I dan tipe II. Sel alveolar tipe I menutupi lebih kurang

95% alveoli. Jumlah kapiler semakin bertambah dan semakin dekat

dengan sel tipe I, sehingga memungkinkan pertukaran gas yang

lebih baik. Sel tipe II berperan dalam mensintesa, menyimpan dan

mensekresikan surfaktan.

4) Fase alveolar

Fase ini dimulai dari fase akhir kehidupan dalam kandungan

berlangsung terus sampai usia 8 tahun. Alveolarisasi yang

sebenarnya dimulai kira-kira pada 34 sampai 36 minggu. Pada saat

kelahiran alveoli dewasa baru didapatkan sekitar 1/8 sampai

dengan 1/6. Jumah alveoli terus bertambah sampai terbentuk

dewasa seluruhnya setelah 8 tahun.

Janin cukup bulan yang terlahir normal siap untuk memulai

pernafasan efektif pada saat lahir. Gerakan pernafasan janin telah

menyiapkan paru untuk aktivitas ini dan interaksi kompleks antara

proses menelan dan bernafas telah terbentuk.[7]

Paru terdiri dari 40 tipe sel yang berbeda, ada 2 sel yang melapisi

alveoli adalah :

1) Pneumosit tipe I

Tipe I sebagai sel utama alveoli merupakan epitel yang tipis

melapisi dinding alveoli dan berkontak erat dengan sel endotel

10
kapiler yang memungkinkan pertukaran gas bisa terjadi.

2) Sel tipe II

Sel ini lebih kecil dari tipe I terletak di sudut-sudut aveoli,

berbentuk kuboid dan mengandung lamellar inclusion spesifik bila

dilihat di bawah mikroskop electron. Lamellar body adalah tempat

penyimpanan surfaktan intrasellualer. Dengan analisa biokemik

ternyata lamellar body mengandung surfaktan sejenis fospolipid.

Sel tipe II menangkap precursor pembentuk fospolipid dan

protein. Sintesa terjadi dalam endoplasmic reticulum. Setelah

dimodifikasi dalam golgi apparatus komponen surfactant di bawa

dan disimpan dalam lamellar body. Lamellar body ini disekresikan

dengan cara exsocytosis dan dibuka diluar sel membentuk tubular

myelin. Dari sini dihasilkan surfactant monolayer yang diabsorpsi

ke air-liquid interface. Dengan mikroskop electron tubular miyelin

terlihat seperti kisi-kisi berbentuk tabung segi empat. Selain itu tipe

sel II juga berfungsi untuk proliferasi sebagai respon terhadap

trauma. Setelah mengalami trauma, sel tipe II juga berfungsi untuk

proliferasi sebagai respons terhadap trauma. Setelah mengalami

trauma, sel tipe I terkelupas dari dinding arveoli dan sel tipe II

berproliferasi untuk memperbaiki dinding alveoli, kemudian

berkembang menjadi sel tipe I.

11
Gambar 2.1 : Fetal circulation

e. Perkembangan biokemik

Surfaktan adalah komplek antara fosfolipid dan protein, dimana

85-90% adalah fosfolipid dan 10% protein. Komposisi lipid (fosfolipid)

dari surfaktan terutama terdiri dari saturated palmitic acid. Komposisi

surfaktan adalah :

% total weight protein


Protein 10-15
Phospholipid 85-90
% of total phospholipid
Phospatidyl choline (PC) 80-85
Disaturated phospatidyl choline 45-50
Phosphatidyl glycerol 6-11
Phosphatidyl ethanolamine 3-5
Phosphatidyk inositol 2
Sphingomyelin 2

Sintesa fatty acid dan fosfolipid terjadi de novo dalam sel tipe II,

yang bahan-bahannya diambil dari sirkulasi darah. Sumber energy

diambilkan dari glikogen. Kadar glikogen dalam paru janin meningkat

12
pada saat awal perkembangan paru yang mencapai puncaknya pada saat

akhir kehamilan. Kemudian menurun dengan cepat bersamaan dengan

peningkatan sintesa fospolipid. Pada saat peningkatakan sintesa

phopatidyl choline, aktifitas enzim choline phospatidyl transverase juga

meningkat pada saat akhir kehamilan. Demikian juga peningkatan

sintesa fatty acid parallel dengan peningkatan enzim fatty acid sintesa.

Selain komponen fospolipid juga terdapat komponen protein. Surfaktan

protein A (SP-A) merupakan highly glycocilated protein yang berperan

dalam sekresi surfaktan dan reuptake oleh sel tipe II. Juga berperan

penting dalam pembentukan tubular myelin. Komponen protein lain SP-

B dan SP-C berperan dalam aktifitas permukaan surfaktan.

Sejumlah rangsangan fisik, biokemik, dan hormonal dapat

mempengaruhi perkembangan paru serta dan sekresi fospolipid. Insiden

RDS lebih rendah pada bayi yang dilahirkan setelah proses proses

persalinan baik pervaginam maupun dengan seksio sesarea

dibandingkan dengan yang lahir tanpa diawali proses persalinan pada

usia kehamilan yang sama. Persalinan diduga mempercepat sekresi

surfaktan dan tidak mempengaruhi sintesa. Perbedaan jenis kelamin

ternyata bayi laki-laki lebih sering dikenai RDS dibandingkan dengan

bayi perempuan. Perbedaan kadar fospolipid dalam cairan ketuban

memperlihatkan bahwa maturasi paru perempuan lebih cepat terjadi

satu minggu. Hal ini disebabkan peningkatan sekresi dan bukan

peningkatan sintesa. Ibu dengan DM juga mempengaruhi pematangan

13
paru, dimana RDS lebih sering didapakan pada bayi dengan ibu

menderita DM. Belum diketahui factor apa yang menyebabkan

terlambatnya maturasi paru, apakah hipoglikemia, hiperinsulinemia,

gangguan metabolism, fatty acid atau kombinasi factor-faktor tersebut.

Sintesa surfactant juga distimulasi oleh beberpa hormone seperti

glucocorticoid hormone thyroid, TRH dan prolactin dan oleh growth

factor seperti, epidermal growth factor (EGF). Dari factor tersebut

pengaruh glucocatiroid sangat banyak diteliti. Pemberian

glukokortikoid kepada janin menyebabkan sejumlah perubahan

morfologi, yang menandakan percepatan maturasi paru, pembesaran

alveoli, penipisan inter alveolar septum, peningkatan jumlah sel tipe II

dan peningkatan lamellar body dalam sel tipe II. Glukokortiroid juga

meningkatkan sintesa phospholipid paru dan protein surfactant. Secara

klinis ternyata pemberian steroid antenatal mempercepat maturasi paru.

Sekresi surfactant juga dirangsang oleh sejumlah zat, termasuk

B.adrenergic-agonist (seperti terbutalin) dan perinoceptor agonist

(seperti adenosine) dan camp.

f. Penilaian Maturasi Paru

Penilaian maturasi paru dengan analisa pospolipid dalam cairan

ketuban sejak tahun 1971 saat Gluck melaporkan adanya perubahan

konsentrasi phospholipid dalam air ketuban selama kehamilan.

Penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa phospholipid yang

terdapat dalam cairan ketuban terutama berasal dari paru janin.

14
Ditemukan juga bahwa phospholipid total dalam air ketuban meningkat

selama kehamilan dan mencapai puncaknya pada usia 35 minggu.

Kadar lecithin (phosphatidil choline) hampir sama dengan

sphingomyelin. Setelah 35 minggu, kadar lesitin tetap meninggi

sedangkan sphinomyelin sedikit menurun. Berdasarkan ratio L/S mulai

diperhatikan, apalagi hasilnya dapat dibaca degan segera dengan

metode spektroskopi inframerah.

Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa nampaknya maturitas

paru sudah tercapai bila kadar lesitin melebihi kadar sphingomyelin.

Pada keadaan normal ratio L/S =2 tercapai pada kehamilan 35 minggu.

Maturitas paru dianggap cepat apabila LS ratio > 2 pada kehamilan 35

minggu kehamilan dan dianggap terlambat apabila < 1. Keadaan yang

mempercepat maturasi paru antara lain, pregnancy induced

hypertension, hipertensi karena ginjal, jantung sickle sell anemia,

addiksinarkotik, diabetes kelas D,E,F dan PRM yang lebih dari 24 jam.

Keadaan yang memperlambat maturasi paru antara lain diabetes kelas

A, B, C, hydrops fetalis dan non hypertensive ranal disease.

Dalam hubungan denga terjaidnya RDS, tidak didapatkan L/S

ratio > 2. Kadar phosphatidylglyceral (PG) sebesar > 3% dari total

phospholipid juga menunjukkan maturasi paru. Kombinasi penilaian

L/S ratio dan kadar PG meningkatkan akurasi penilaian maturasi paru.

Kombinasi penilaian L/S ratio dan kadar Pg positif mempunyai

negative predictive value hamper 100%. Adanya darah dan meconium

15
sangat mempengaruhi/mengurangi akurasi L/S ratio. Clemet tahun 1972

melaporkan test stabilitas busa/test kocok, yang didasarkan kepada

kemampuan surfactant untuk menjaga kesatbilan busa dengan adanya

etanol. Test ini cukup sederhana mudah dilakukan dan hasilnya dapat

dibaca dengan segera. Test disebut “mature” apabila didapatkan busa

dengan pengenceran 1:2. Dan disebut “immature” bila tidak dihasilkan

dengan pengenceran 1:1. Dibandingkan dengan L/S ratio test kocok

sama akuratnya dalam prediksi maturitas tetapi “false immature rate”

nya tinggi, sehingga harus dikonfirmasikan dengan L/S ratio. Juga test

ini tidak akurat apabila didapatkan darah atau meconium.

Penilaian maturitas paru juga didapatkan berdasarkan

pemeriksaan mikroviskositas cairan ketuban dengan polarisasi

fluoresensi viskositas cairan ketuban tinggi dan konstan sampai

kehamilan 30-32 minggu, kemudian turun secara teratur sampai

kehamilan aterm. Test ini cukup akurat dalam menilai maturitas tetapi

over estimate dalam menilai immaturitas. Dengan teknik polarisasi

fluoresensi juga dilakukan penilaian ratio surfactant terhadap albumin.

Test ini mudah dilakukan dan hasilnya dapat dibaca dengan segera

tetapi memerlukan instrument khusus. Hasil yang matur berkorelasi

dengan baik dengan maturitas klinis, tetapi hasil yang “immature” tidak

bisa memeramalkan dengan baik terhadap kejadian RDS.

Untuk menilai kematurannya paru secara lebih akurat, maka

penelitian diarahkan kepada pemeriksaan protein surfactant dalam air

16
ketuban. Pada kehamilan 12-32 minggu tidak ditemukan protein dalam

cairan ketuban. Titer protein meningkat dari kehamilan 32 minggu

sampai 37 minggu, kemudian menetap. Penelitian yang lebih khusus

terhadap kadar surfactant protein A dengan mempergunakan

monoclonal antibody spesifik menunjukkan bahwa kadar protein > 3

Ig/ml sangat akurat untuk maturitas paru dengan false-positif yang

tinggi untuk immaturitas. Apabila test ini digabungkan dengan L/S ratio

dan kadar PG, maka prediksi immaturitasnya meningkat secara

dramatis.

g. Kortikosteroid dan maturitas paru

Penelitian tentang pengaruh glukokotikoid terhadap pematangan

apru telah banyak dilakukan, baik invivo maupun vivo steroid ini

mempercepat maturitas paru baik dari segi anatomic, biokemik maupun

fisiologik glukokortikoid bekerja pada paru melalui mekanisme reseptor

steroid klasik. Steroid masuk ke dalam sel dan berikan dengan spersifik

cytoplasmic receptor. Kompleks steroid reseptor ini kemudian

ditranslokasi ke nucleus, dimana dia berinteraksi dengan bagian tertentu

dari DNA, menghasilkan transkipsi RNA, RNA ini kemudian

ditranslasi dalam sitoplasma menjadi protein glukokortikoid

meningkatkan surfactant protein A,B,C beserta RNA nya sebgaiamana

juga fatty acid synthase, structural protein collagen dan elastin. Steroid

berperan dalam mengatur sintesa surfactant, tetapi tidak berperan dalam

memulainya.

17
Trial klinis dilakukan dengan pembrian steroid pada antenatal.

Hamper semua penelitian menunjukkan penurunan insiden RDS tetapi

dengan hasil yang terbatas. Penelitian-penelitian terkahir

memperlihatkan steroid dapat meningkatkan fungsi paru post natal dan

peningkatan proses kognitif. Secara umum steroid antenatal sangat

efektif bila diberikan sebelum usia kehamilan 32 minggu. Hasil yang

optimal didapatkan bila bayi dilahirkan paling sedikit 2-3 hari dan

paling lambat dalam 7-10 setelah dimulaiya pemberian obat.

Tampaknya pemberian pada bayi laki-laki kurang berhasil

dibandingkan dengan bayi perempuan. Pemberian steroid tidak

menunjukkan hubungan yang bermakna dengan peningkatan resiko

infeksi nenonatal, khorioamnionitis, penurunan berat alhir, neonatal

adrenal suppression, neonatal sepsis maupun neonatal death, tetapi

terdapat sedikit peningkatan infeksi maternal.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebelum bayi dilahirkan, kebutuhan oksigen janin dipenuhi oleh

plasenta. Sehingga paru-paru janin tidak perlu berfungsi sebagai organ

respirasi. Dengan memotong tali pusat, maka maturasi organ yang adekuat

sangatlah penting bagi bayi baru lahir.

B. Saran

1. Bagi institusi pendidikan agar makalah ini dapat menjadi sumber

pengetahuan referensi dalam proses perkuliahan

2. Makalah ini dapat meningkatkan pengetahuan bagi mahasiswa dan

pembaca untuk meningkatkan pengetahuan dan meningkatkan pelayanan

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Majumder, N. (2015). Physiology of Respiration. IOSR Journal of Sports and


Physical Education, 2 (3), pp.16-17

2. Ni Nyoman, S. (2016). Biologi Dasar dan Biologi Perkembangan.


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

3. https://hellosehat.com/kehamilan/kandungan/trimester-2/cara-janin-bernafas-
dalam-rahim

4. Adi Nurul, A. (2019). Factor Risiko Kejadian Respiratory Distress of


Newborn di Neonatal Intensive Care Unit RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo.
Universitas Hasanudin [skripsi]

5. Patwa, A and Shah, A. (2015). Anatomy and physiology of respiratory


system relevant to anaesthesia. Indian Hournal of Anaesthesia, 59(9), p.533

6. Kennedy, J. (2012). Clinical Anatomy Series-Lower Respiratpry Tract


Anatomy. Scottish Universitas Medical Journal 1(2), pp.174-179

7.

20

You might also like