You are on page 1of 18

MAKALAH

“MAKNA SPIRITUALLITAS DAN AGAMA


DALAM KEHIDUPAN KALIEN SEPAJANG RENTAN HIDUP”

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN

DOSEN PENGAMPU : Dr. Arwani, SKM, M.Kes

DISUSUN OLEH KELOMPOK IX :

1. SHIDQI FAHMI (P1337420921230)


2. SINTA ZULMAIDAR (P1337420921240)
3. SITI HAMIDAH (P1337420921233)
4. SITI MAISARAH (P1337420921209)
5. SITI SHANIA MASTURA (P1337420921248)
6. DEANY SAFTUARI (P1337420921201)
7. INDRA WAHYUDI (P1337420921213)
8. YAYANG SAVITA (P1337420921186)
9. YOAN AGNES THERESI (P1337420921183)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG

JURUSAN KEPERAWATAN

PRODI PROFESI NERS

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada yang Maha Kuasa karena dengan rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA dengan judul
“MAKNA SPIRITUALLITAS DAN AGAMA DALAM KEHIDUPAN KALIEN SEPAJANG
RENTAN HIDUP”.

Dalam penulisan makalah ini Kami banyak mendapatkan bimbingan dan arahan
terutama dari pembimbing. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih atas segala
bantuan maupun dukungan yang telah diberikan, sehingga dapat menyelesaikan tugas
makalah ini.
Kami meminta maaf, apabila ada kekurangan atau kesalahan dalam penulisan
makalah ini. Untuk penyempurnaan makalah ini, kritik dan saran sangat Kami harapkan.

Penulis, 23 Febuari 2022

Kelompok IX

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................4
A. Latar Belakang......................................................................4
B. Rumusan Masalah.................................................................5
C. Tujuan....................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN........................................................................6
A. Dimensi Agama........................................................................6
B. Agama dan Asuhan Keperawatan Spiritual...............................8
C. Kontribusi Kelompok Agama terhadap Sistem Pelayanan
Kesehatan..............................................................................13
BAB III PENUTUP............................................................................17
A. Kesimpulan..........................................................................17
B. Saran....................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................18

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perawat sering mempunyai latar balakang etnik, budaya, dan agama yang berbeda
dengan pasien. Penting artinya bagi perawat untuk memahami bahwa pasien
mempunyai wawasan pandangan dan interpretasi mengenai penyakit dan kesehatan
yang berbeda, didasarkan pada keyakinan sosial-budaya dan agama pasien.
Peran agama dalam kesehatan adalah topik yang sering untuk dibahas, padahal kita
tahu hal ini sangat berpengaruh di dalam pelayanan, hal ini terbukti dengan di dalam
kesehatan kita juga mengenal tentang kebutuhan spiritual (walaupun tidak benar-benar
dapat disamakan dengan agama).
Menurut Mujib (2015) spiritualitas tidak hanya berbicara mengenai aspek kebutuhan
semata, namun menyangkut dalam mengenai pencerahan jiwa yang mampu memaknai
hidup dan memberikan makna positif disetiap peristiwa yang terjadi dalam hidup ini,
dan senantiasa melakukan tindakan yang positif. Setiap individu mempunyai
karakteristik positif yaitu spiritualitas dengan tingkat yang berbeda-beda baik dari
agama, keyakinan dan tujuan hidupnya. Karakter yang baik akan membuat individu
dekat dengan Tuhan sehingga dapat menemukan tujuan, hikmah, serta makna
hidupnya.
Spiritualitas tidak terbatas pada aspek keagamaan saja, melainkan kekuatan yang
lebih besar dari diri dan religiusitas, dengan adanya suatu keyakinan dan praktik
beribadah sehingga memunculkan suatu ekspresi spiritual. Peran agama dapat
mengembangkan dan membangun kualitas spiritualitas umatnya dan pendalaman
spiritualitas melalui pendekatan dan keyakinan agama pada masing-masing individu
(Fathimah, 2018).
Perasaan yang timbul didalam diri individu besar dipengaruhi oleh keberadaan
agama, religiusitas serta spiritualitas daripada rasio. Beberapa remaja mengerti akan
tiga hal itu dan dapat diterima dalam pikirannya, tetapi dalam pelaksanaannya remaja
sangatlah lemah, dan terkadang tidak mampu mengendalikan dirinya sehingga
menimbulkan situasi yang negative.
Penelitian Listiari (2006), dikemukakan bahwa kebermaknaan hidup seseorang dapat
ditemukan dan dirasakannya hanya dengan cara meyakini kebenaran agama yakni
dengan melalui internalisasi dan pengamalan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan
sehari-hari bersama lingkungannya. Kebermaknaan hidup seseorang dapat dicapai
dengan spiritualitas yang ia miliki. Dengan perkataan lain, spiritualitas seseorang

4
menciptakan salah satu unsur penting untuk dapat pencapaian kehidupan yang lebih
bermakna.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah demensi agama ?
2. Bagaimanakah agama dan asuhan keperawatan spiritual ?
3. Bagaimanakah kontribusi kelompok agama terhadap system pelayanan
kesehatan ?

C. Tujuan
1. Mengetahui demensi agama.
2. Mengetahui agama dan asuhan keperawatan spiritual.
3. Mengetahui kontribusi kelompok agama terhadap system pelayanan kesehatan.

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dimensi Agama
Dimensi dapat diartikan sebagai sebuah ukuran (panjang, lebar, tinggi, luas, dsb).6
Menurut C.Y Glock dan R. Stark dalam bukunya, American Piety: The Nmature of
Religious Commitment, terdapat lima dimensi dalam religiusitas,5 yaitu:
1. Religious Belief (The Ideological Dimension)
Religious belief (the idiological dimension) atau disebut juga dimensi
keyakinan adalah tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang
dogmatik dalam agamanya, misalnya kepercayaan kepada tuhan, malaikat,
surga dan neraka. Meskipun harus diakui setiap agama tentu memiliki
seperangkat kepercayaan yang secara doktriner berbeda dengan agama
lainnya, bahkan dalam seagama saja terkadang muncul paham yang berbeda
dan tidak jarang berlawanan. Dalam agama yang dianut oleh seseorang, makna
yang terpenting adalah kemauan untuk mematuhi aturan yang berlaku
dalam ajaran agama yang dianutnya. Jadi dimensi keyakinan lebih bersifat
doktriner yang harus ditaati oleh penganut agama. Dimensi keyakinan dalam
agama Islam diwujudkan dalam pengakuan (syahadat) yang diwujudkan dengan
membaca dua kalimat syahadat, bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan Nabi
Muhammad itu utusan Allah. Dengan sendirinya dimensi keyakinan ini menuntut
dilakukannya praktek-praktek peribadatan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
2. Religious Practice (The Ritual Dimension)
Religious practice (the ritual dimension) yaitu tingkatan sejauh mana
seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya. Unsur
yang ada dalam dimensi ini mencakup pemujaan, kultur serta hal-hal yang
lebih menunjukkan komitmen seseorang dalam agama yang dianutnya.
Wujud dari dimensi ini adalah perilaku masyarakat pengikut agama tertentu
dalam menjalankan ritus-ritus yang berkaitan dengan agama. Dimensi praktek
dalam agama Islam dapat dilakukan dengan menjalankan ibadah shalat, puasa,
zakat, haji ataupun praktek muamalah lainnya.
3. Religious Feeling (The Experiental Dimension)
Religious Feeling (The Experiental Dimension) atau bisa disebut dimensi
pengalaman. Perasaan-perasaan atau pengalaman yang pernah dialami dan
dirasakan. Misalnya merasa dekat dengan tuhan, merasa takut berbuat dosa,
merasa doanya dikabulkan, diselamatkan oleh tuhan, dan sebagainya. Dalam

6
Islam dimensi ini dapat terwujud dalam perasaan dekat atau akrab dengan
Allah, perasaan bertawakal (pasrah diri dalam hal yang positif) kepada Allah.
Perasaan khusyuk ketika melaksanakan shalat atau berdoa, perasaan tergetar
ketika mendengar adzan atau ayat-ayat Al Qur’an, perasaan bersyukur
kepada Allah, perasaan mendapat peringatan atau pertolongan dari Allah.
4. Religious Knowledge (The Intellectual Dimension)
Religious Knowledge (The Intellectual Dimension) atau dimensi pengetahuan
agama adalah dimensi yang menerangkan seberapa jauh seseorang
mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada di dalam
kitab sucinya. Seseorang yang beragama harus mengetahui hal-hal pokok
mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi dalam agama
tersebut.
5. Religious Effect (The Consequential Dimension)
Religious effect (The Consequential Dimension) yaitu dimensi yang mengukur
sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya dalam
kehidupan sosial, misalnya apakah seseorang mengunjungi tetangganya sakit,
menolong orang yang kesulitan, mendermawankan hartanya, dan sebagainya.

Penelitian Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1987)


juga menunjukkan persamaan dengan dimensi yang diungkapkan oleh Glock dan Stark,
yakni:
1. Dimensi Iman
Dimensi iman mencakup kepercayaan manusia dengan tuhan, malaikat,
kitab-kitab, nabi, mukjizat, hari akhir dan adanya bangsa ghaib, serta takdir baik
dan buruk.
2. Dimensi Islam
Sejauh mana tingkat frekuensi, intensitas dan pelaksanaan ibadah
seseorang. Dimensi ini mencakup pelaksanaan shalat, zakat, puasa
dan haji.
3. Dimensi Ihsan
Mencakup pengalaman dan perasaan tentang kehadiran tuhan dalam
kehidupan, ketenangan hidup, takut melanggar perintah tuhan, keyakinan
menerima balasan, perasaan dekat dengan tuhan dan dorongan untuk
melaksanakan perintah agama.

7
4. Dimensi Ilmu
Seberapa jauh pengetahuan seseorang tentang agamanya, misalnya
pengetahuan tentang tauhid, fiqh, dan lain-lain.
5. Dimensi Amal
Meliputi bagaimana pengamalan keempat dimensi di atas yang ditunjukkan
dalam perilaku seseorang.

B. Agama dan Asuhan Keperawatan Spiritual


Pengaruh spiritualitas pada kesehatan telah dikenal dalam keperawatan sejak
zaman Florence Nightingale. Nightingale memberikan gambaran bahwa keperawatan
sebagai ilmu peduli suci yang berakar dalam spiritual keyakinan. Keperawatan
melibatkan hubungan peduli, penyembuhan yang didasarkan pada hukum-hukum
Tuhan dari alam. Begitu juga dalam perkembangan teori keperawatan, Watson (1940-)
sebagai peletak Caring dalam keperawatan menyatakan bahwa kualitas hubungan
perawat – pasien penting saat memberikan pelayanan spiritual, karena hal ini dapat
menjadi daerah yang belum dipetakan untuk perawat dan pasien (Carron, 2006).
Spiritualitas dalam literatur keperawatan telah berkembang selama masa lima
dekade. Pada awalnya spiritualitas dalam keperawatan dimulai dari adanya campur
tangan agama Katolik Roma. Selama tahun 1980 dan awal 1990 sebuah pergeseran
paradigma terjadi dalam keperawatan, dimana spiritualitas mulai menjadi fokus utama
dalam pelayanan. Spiritualitas sebagai kepercayaan kekuatan pada Tuhan. Spiritualitas
tumbuh berkembang dalam banyak aspek, meliputi makna spiritual, perawatan spiritual,
distress spiritual, dan berkembangnya alat (Tools) untuk menilai dan mengukur spiritual
(Blasdell, 2015).
Spiritualitas, agama, keyakinan dan praktik keperawatan adalah hal yang saling
berkaitan dengan pasien. Praktik kesehatan yang dintegrasikan dengan agama dan
spiritual adalah dimensi dari pasien dan keluarga, hasil penelitian memperkuat tentang
pentingnya spiritualitas dan agama dalam pelayanan kesehatan keperawatan (Hilbers,
Haynes dan Kivikko, 2010).
Spiritual Care adalah praktek dan prosedur yang dilakukan oleh perawat terhadap
pasien untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien. Menurut Meehan (2012) spiritual
care adalah kegiatan dalam keperawatan untuk membantu pasien yang dilakukan
melalui sikap dan tindakan praktek keperawatan berdasarkan nilai-nilai keperawatan
spiritual yaitu mengakui martabat manusia, kebaikan, belas kasih, ketenangan dan

8
kelemahlembutan. Jamieson (2010) mengatakan bahwa spiritual care merupakan aspek
perawatan yang integral dan fundamental dimana perawat menunjukkan kepedulian
kepada pasien. Mc Sherry & Jamieson (2010) mengatakan bahwa spiritual care
merupakan aspek perawatan yang integral dan fundamental dimana perawat
menunjukkan kepedulian kepada pasien. Spiritual care berfokus pada menghormati
pasien, interaksi yang ramah dan simpatik, mendengarkan dengan penuh perhatian dan
memberikan kekuatan pada pasien dalam menghadapi penyakitnya (Mahmoodishan,
2010).
Peran perawat dalam pemenuhan kebutuhan spiritual pasien merupakan bagian
dari peran dan fungsi perawat dalam pemberian asuhan keperawatan. Untuk itu
diperlukan sebuah metode ilmiah untuk menyelesaikan masalah keperawatan, yang
dilakukan secara sitematis yaitu dengan pendekatan proses keperawatan yang diawali
dari pengkajian data, penetapan diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi.
Berikut ini akan diuraikan mengenai proses keperawatan pada aspek spiritual (Hamid,
2000):
1. Pengkajian
Ketepatan waktu pengkajian merupakan hal yang penting yaitu dilakukan
setelah pengkajian aspek psikososial pasien. Pengkajian aspek spiritual
memerlukan hubungan interpersonal yang baik dengan pasien. Oleh karena itu
pengkajian sebaiknya dilakukan setelah perawat dapat membentuk hubungan
yang baik dengan pasien atau dengan orang terdekat dengan pasien, atau
perawat telah merasa nyaman untuk membicarakannya. Pengkajian yang perlu
dilakukan meliputi:
a. Pengkajian data subjektif
Pedoman pengkajian yang disusun oleh Stoll (dalam Kozier, 2005)
mencakup (a) konsep tentang ketuhanan, (b) sumber kekuatan dan
harapan, (c) praktik agama dan ritual, dan (d) hubungan antara
keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan.
b. Pengkajian data objektif
Pengkajian data objektif dilakukan melalui pengkajian klinik yang meliputi
pengkajian afek dan sikap, perilaku, verbalisasi, hubungan interpersonal
dan lingkungan. Pengkajian data objektif terutama dilakukan melalui
observasi, Pengkajian tersebut meliputi:
1) Afek dan sikap

9
Apakah pasien tampak kesepian, depresi, marah, cemas, agitasi,
apatis atau preokupasi?
2) Perilaku
Apakah pasien tampak berdoa sebelum makan, membaca kitab
suci atau buku keagamaan? dan apakah pasien seringkali
mengeluh, tidak dapat tidur, bermimpi buruk dan berbagai bentuk
gangguan tidur lainnya, serta bercanda yang tidak sesuai atau
mengekspresikan kemarahannya terhadap agama?.
3) Verbalisasi
Apakah pasien menyebut Tuhan, doa, rumah ibadah atau topic
keagamaan lainnya?, apakah pasien pernah minta dikunjungi oleh
pemuka agama? dan apakah pasien mengekspresikan rasa
takutnya terhadap kematian?
4) Hubungan interpersonal
Siapa pengunjung pasien? bagaimana pasien berespon terhadap
pengunjung? apakah pemuka agama datang mengunjungi
pasien? Dan bagaimana pasien berhubungan dengan pasien yang
lain dan juga dengan perawat?
5) Lingkungan
Apakah pasien membawa kitab suci atau perlengkapan ibadah
lainnya? apakah pasien menerima kiriman tanda simpati dari
unsur keagamaan dan apakah pasien memakai tanda keagamaan
(misalnya memakai jilbab?).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang berkaitan dengan masalah spiritual menurut
North American Nursing Diagnosis Association adalah distress spiritual (NANDA,
2006). Pengertian dari distres spiritual adalah kerusakan kemampuan dalam
mengalami dan mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang dihubungkan
dengan din, orang lain, seni, musik, literature, alam, atau kekuatan yang lebih
besar dari dirinya (NANDA, 2006).
Menurut North American Nursing Diagnosis Association (NANDA, 2006)
batasan karakteristik dari diagnosa keperawatan distress spiritual adalah (a)
berhubungan dengan diri, meliputi; pertama mengekspresikan kurang dalam
harapan, arti dan tujuan hidup, kedamaian, penerimaan, cinta, memaafkan diri,
dan keberanian. Kedua marah, ketiga rasa bersalah, dan keempat koping buruk.

10
(b) Berhubungan dengan orang lain, meliputi; menolak berinteraksi dengan
pemimpin agama, menolak berinteraksi dengan teman dan keluarga,
mengungkapkan terpisah dari sistem dukungan, mengekspresikan terasing. (c)
Berhubungan dengan seni, musik, literatur dan alam, meliputi; tidak mampu
mengekspresikan kondisi kreatif (bernyanyi, mendengar / menulis musik), tidak
ada ketertarikan kepada alam, dan tidak ada ketertarikan kepada bacaan
agama. (d) Berhubungan dengan kekuatan yang melebihi dirinya, meliputi; tidak
mampu ibadah, tidak mampu berpartisipasi 'alam aktifitas agama,
mengekspresikan ditinggalkan atau marah kepada Tuhan, tidak mampu untuk
mengalami transenden, meminta untuk bertemu pemimpin agama, perubahan
mendadak dalam praktek keagamaan, tidak mampu introspeksi dan mengalami
penderitaan tanpa harapan.
Menurut North American Nursing Diagnosis Association (NANDA, 2006) faktor
yang berhubungan dari diagnosa keperawatan distress spiritual adalah;
mengasingkan diri, kesendirian atau pengasingan sosial, cemas,
deprivasi/kurang sosiokultural, kematian dan sekarat diri atau orang lain, nyeri,
perubahan hidup, dan penyakit kronis diri atau orang lain.
3. Intervensi
Setelah diagnosa keperawatan dan faktor yang berhubungan teridentifikasi,
selanjutnya perawat dan pasien menyusun kriteria hasil dan rencana intervensi.
Tujuan asuhan keperawatan pada pasien dengan distress spiritual difokuskan
pada menciptakan lingkungan yang mendukung praktek keagamaan dan
kepercayaan yang biasanya dilakukan. Tujuan ditetapkan secara individual
dengan mempertimbangkan riwayat pasien, area beresiko, dan tanda-tanda
disfungsi serta data objektif yang relevan.
Menurut (Kozier, 2005) perencanaan pada pasien dengan distress spiritual
dirancang untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien dengan: (a) membantu
pasien memenuhi kewajiban agamanya, (b) membantu pasien menggunakan
sumber dari dalam dirinya dengan cara yang lebih efektif untuk mengatasi
situasi yang sedang dialami, (c) membantu pasien mempertahankan atau
membina hubungan personal yang dinamik dengan Maha Pencipta ketika sedang
menghadapi peristiwa yang kurang menyenangkan, (d) membantu pasien
mencari arti keberadaannya dan situasi yang sedang dihadapinya, (e)
meningkatkan perasaan penuh harapan, dan (f) memberikan sumber spiritual
atau cara lain yang relevan.

11
4. Implementasi
Pada tahap implementasi, perawat menerapkan rencana intervensi dengan
melakukan prinsip-prinsip kegiatan asuhan keperawatan sebagai berikut : (a)
periksa keyakinan spiritual pribadi perawat, (b) fokuskan perhatian pada
persepsi pasien terhadap kebutuhan spiritualnya, (c) jangan beranggapan pasien
tidak mempunyai kebutuhan spiritual, (d) mengetahui pesan non verbal tentang
kebutuhan spiritual pasien, (e) berespon secara singkat, spesifik, dan aktual, (f)
mendengarkan secara aktif dan menunjukkan empati yang berarti menghayati
masalah pasien, dan (g) membantu memfasilitasi pasien agar dapat memenuhi
kewajiban agama, (h) memberitahu pelayanan spiritual yang tersedia di rumah
sakit. Pada tahap implementasi ini, perawat juga harus memperhatikan 10 butir
kebutuhan dasar spiritual manusia seperti yang disampaikan oleh Clinebell
(Hawari, 2002) yang meliputi: (a) kebutuhan akan kepercayaan dasar, (b)
kebutuhan akan makna dan tujuan hidup, (c) kebutuhan akan komitmen
peribadatan dan hubungannya dengan keseharian, (d) kebutuhan akan
pengisian keimanan dengan secara teratur mengadakan hubungan dengan
Tuhan, (e) kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah dan dosa, (f) kebutuhan
akan penerimaan diri dan harga diri, (g) kebutuhan akan rasa aman terjamin
dan keselamatan terhadap harapan masa depan, (h) kebutuhan akan dicapainya
derajat dan martabat yang makin. tinggi sebagai pribadl yang utuh, (i)
kebutuhan akan terpeliharanya interaksi dengan alam dan sesama manusia, (j)
kebutuhan akan kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan nilainilai
religius. Perawat berperan sebagai communicator bila pasien menginginkan
untuk bertemu dengan petugas rohaniawan atau bila menurut perawat
memerlukan bantuan rohaniawan dalam mengatasi masalah spirituahiya.
Menurut McCloskey dan Bulechek (2006) dalam Nursing Interventions
Classification (NIC), intervensi keperawatan dari diagnose distres spiritual salah
satunya adalah support spiritual. Definisi support spiritual adalah membantu
pasien untuk merasa seimbang dan berhubungan dengan kekuatan Maha Besar.
Adapun aktivitasnya meliputi : 1) buka ekspresi pasien terhadap kesendirian dan
ketidakberdayaan, 2) beri semangat untuk menggunakan sumber-sumber
spiritual, jika diperlukan, 3) siapkan artikel tentang spiritual, sesuai pilihan

12
pasien, 4) tunjuk penasihat spiritual pilihan pasien, 5) gunakan teknik klarifikasi
nilai untuk membantu pasien mengklarifikasi kepercayaan dan nilai, jika
diperlukan, 6) mampu untuk mendengar perasaan pasien, 7) berekspersi empati
dengan perasaan pasien, 8) fasilitasi pasien dalam meditasi, berdo'a dan ritual
keagamaan lainnya, 9) dengarkan dengan baik-baik komunikasi pasien, dan
kembangkan rasa pemanfaatan waktu untuk berdo'a atau ritual keagamaan, 10)
yakinkan kepada pasien bahwa perawat akan dapat mensupport pasien ketika
sedang menderita, 11) buka perasaan pasien terhadap keadaan sakit dan
kematian, dan 12) bantu pasien untuk berekspresi yang sesuai dan bantu
mengungkapkan rasa marah dengan cara yang baik (McCloskey dan Bulechek,
2006).
5. Evaluasi
Untuk mengetahui apakah pasien telah mencapai kriteria hasil yang
ditetapkan pada fase perencanaan, perawat perlu mengumpulkan data terkait
dengan pencapaian tujuan asuhan keperawatan. Tujuan asuhan keperawatan
tercapai apabila secara umum pasien : 1) mampu beristirahat dengan tenang, 2)
mengekspresikan rasa damai berhubungan dengan Tuhan, 3) menunjukkan
hubungan yang hangat dan terbuka dengan pemuka agama, 4)
mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan keberadaannya, dan 5)
menunjukkan afek positif, tanpa rasa bersalah dan kecemasan.

C. Kontribusi Kelompok Agama terhadap Sistem Pelayanan Kesehatan


Agama dan spiritualitas merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan
manusia. Memeluk agama dan kepercayaan tertentu erat hubungannya dengan
kehidupan spiritual dan kondisi kesehatan seseorang. Agama memilik peraturan-
peraturan yang mengikat yang secara tidak langsung berdampak pada pelayanan
kesehatan. Pola kontribusi kelompok agama terhadap system pelayanan kesehatan
antara lain :
1. Saling berlawanan
Agama dan kesehatan muncul sebagai dua bidang yang saling berlawanan.
Dalam batasan tertentu, hal ini menunjukkan bahwa apa yang dianjurkan dalam
bidang kesehatan, tidak selaras dengan apa yang dianjurkan dalam agama.
Misalnya mengenai terapi dengan urine (khusus islam), pengobatan dengan hal
yang memabukkan atau pencegahan HIV/AIDS melalui kondom.

13
Dalam hal ini urine dalam Islam adalah sesuatu yang bersifat najis. Oleh
karena itu terapi kesehatan menggunakan urine sesungguhnya merupakan
sesuatu hal yang bertentangan.Sedangkan promosi tentang pengunaan kondom
untuk menghindarkan diri dari sebaran HIV/AIDS merupakan satu program yang
memiliki irisan moral dengan agama. Program ini di apresiasi oleh kalangan
agama, sebagai kebijakan yang membuka peluang perilaku pergaulan bebas
(free sex) atau secara implisit kebijakan itu seolah berbunyi “bolehkan free sex
asalkan pakai kondom”. Pemaknaan seperti inilah yang membuat kebijakan
penggunaan kondom ini potensial mendapat perlawanan dari kalangan agama.
2. Saling mendukung
Agama dan ilmu pengetahuan kesehatan memiliki potensi saling mendukung.
Contoh adalah orang yang hendak melaksanakan ibadah haji (islam)
membutuhkan peran tenaga medis untuk melakuka general check up kesehatan
supaya kegiatan ibadah haji dapat berjalan dengan baik.
Contoh lain, yaitu tradisi puasa atau diet merupakan salah satu terapi yang
telah diakui oleh kalangan medis dalam meningkatkan kesehatan. Oleh karena
itu, ajaran agama sejatinya memiliki potensi untuk memberi dukungan terhadap
kesehatan dan begitu pun sebaliknya.
3. Saling melengkapi
Saling melengkapi yang dimaksudkan disini adalah adanya peran dari agama
untuk mengoreksi praktik kesehatan atau ilmu kesehatan yang mengoreksi
praktik keagamaan. Dengan adanya saling koreksi ini, menyebabkan praktik
kesehatan dapat dibangun lebih baik lagi.
Islam memberikan ajaran bahwa buka puasa akan lebih baik dengan cara
memakan makanan yang manis. Perintah ini dianggap sebagai sesuatu yang
dianjurkan (sunnah). Namun, secara kesehatan buka puasa dengan makanan
yang manis ini bukan dimaksudkan sebagai sesuatu yang menyehatkan, tetapi
lebih ditujukan untuk memulihkan kondisi tubuh sehingga tidak kaget ketika
akan menerima asupan yang lebih banyak lagi. Dengan kaya lain, buka puasa
dengan makanan yang manis bertujuan untuk menggantikan energi yang telah
hilang dan menstabilakannya kembali.
4. Saling terpisah dan bergerak dalam kewenangannya masing masing
Sesungguhnya antara agama dan kesehatan itu memiliki peluang untuk
berkembang masing-masing. Tradisi agama Hindu di India, memiliki paradigma

14
dan sekaligus teknologi kesehatan yang berbeda dengan apa yang berkembang
di dunia kesehatan, yang dikenal dengan paradigma kesehatan Ayurveda.
Pengobatan cara India berpangkal pada falsafah Ajurveda dan Samkya
Darsana. Menurut falsafah ini, penyebab penyakit di bagi 3 golongan yaitu (1)
adhyatmika, penyebab penyakit yang berasal dari tubuh dan pikiran si penderita.
(2) ahibhantika, penyakit berasal dari luar tubuh, seperti kecelakaan, digigit ular,
atau penyebab natural lainnya. (3) adhidarvika, penyebab penyakit yang berasal
dari kekuatan supranatural.
Teknologi Ajurveda ini masih berlanjut sampai sekarang, misalnya muncul
dalam bentuk pengobatan dengan tenaga prana, yoga, meditasi, dan
pembiasaan gaya hidup vegetarian.
Seiring dengan hal ini, maka terapi atau pengobatan yang diusulkan agama,
misal sebagaimana yang di kemukakan Ibn Qayyim al-Jawiyyah, ada 3 jenis obat
yang sesuai dengan penyakitnya, yaitu dengan obat-obat alami, dengan obat-
obatan Ilahi, dan gabungan dari keduanya.

Fungsi Kontribusi Agama bagi Sistem Pelayanan Kesehatan


1. Sumber Moral
Agama memiliki fungsi yang strategis untuk menjadi sumber kekuatan moral
baik bagi pasien dalam proses penyembuhan maupun tenaga kesehatan. Bagi
orang beragama, mereka memegang keyakinan bahwa perlakuan Tuhan sesuai
dengan persangkaan manusia kepada-Nya. Agama menjadi sumber motivasi
yang kuat dalam diri pasien untuk hidup secara positif. Selain menjadi motivasi,
agama pun menjadi sumber etika bagi penyelenggara layanan kesehatan.
Budhisme mengajarkan prinsip hidup bahwa kebenaran itu ada dalam pikiran
dan dengan pikiran yang sehat, seseorang dapat membangun kualitas hidup
yang sehat.
2. Sumber Keilmuan
Sejalan dengan agama sebagai sumber moral, agama pun dapat berperan
sebagai sumber keilmuan bagi bidang kesehatan. Konseptualitasi dan
pengembangan ilmu kesehatan atau kedokteran yang bersumber dari agama,
dapat kita sebut kesehatan profetik, dalam konteks islam disebut dengan ilmu
kesehatan islami atau kedokteran islami.
Agama pun menjadi sumber informasi untuk pengembangan ilmu kesehatan
gizi (nutrisi) atau farmakoterapi herbal. Dalam islam dinyatakan bahwa makan

15
itu harus halal dan thayyib. Halaln artinya sehat secara psikis dan sosial
(misalnya bukan hasil mencuri), dan thayyib artinya sehat secara gizi.
Praktik-praktik keagamaan menjadi bagian dari sumber ilmu dalam
mengembangkan terapi kesehatan. Tidak bisa dipungkiri, yoga, meditasi, dan
tenaga prana adalah beberapa ilmu agama yang dikonversikan menjadi bagian
dari terapi kesehatan.
3. Amal agama sebagai amal kesehatan
Seiring dengan pemikiran yang dikemukakan sebelumnya, bahwa pola pikir
yang dianut dalam wacana ini adalah all for health, yaitu sebuah pemikiran
bahwa berbagai hal yang dilakukan individu mulai dari bangun tidur, mandi pagi,
makan, kerja, rehat sore hari, sampai tidur lagi, bahkan selama tidur pun
memiliki implikasi dan kontribusi nyata terhadap kesehatan.
Seiring dengan pandangan ini, maka agama atau ritual keagamaan perlu
dipahami sebagai bagian dari aktivitas manusia yang harus mendukung pada
kesehatan. Oleh karena itu selaras dengan uraian sebelumnya, dapat
dikemukakan bahwa praktik agama memiliki kaitan dengan masalah kesehatan
pikiran, asupan makanan, maupun jiwa.
Kesimpulan kontribusi agama dengan kesehatan, yaitu agama memberikan
penekanan mengenai hubungan diri dengan Tuhan. Agama ini menjadi pedoman
dalam bertingkah laku dan mengambil keputusan yang akan berdampak pada
individu itu sendiri. Pada akhirnya, dengan adanya kontribusi agama dalam
kesehatan membuat beraneka ragam budaya yang muncul sehingga antar
individu dapat saling menghormati dan menghargai. Tenaga medis diharapkan
tidak melakukan diskriminasi terhadap pasien terutama dalam hal keagamaan.

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perawat sering mempunyai latar balakang etnik, budaya, dan agama yang
berbeda dengan pasien. Penting artinya bagi perawat untuk memahami bahwa
pasien mempunyai wawasan pandangan dan interpretasi mengenai penyakit dan
kesehatan yang berbeda, didasarkan pada keyakinan sosial-budaya dan agama
pasien.
Kontribusi agama dengan kesehatan, yaitu agama memberikan penekanan
mengenai hubungan diri dengan Tuhan. Agama ini menjadi pedoman dalam
bertingkah laku dan mengambil keputusan yang akan berdampak pada individu itu
sendiri. Pada akhirnya, dengan adanya kontribusi agama dalam kesehatan membuat
beraneka ragam budaya yang muncul sehingga antar individu dapat saling
menghormati dan menghargai. Tenaga medis diharapkan tidak melakukan
diskriminasi terhadap pasien terutama dalam hal keagamaan.

B. Saran
Perawat sebagai pemberian asuhan keperawatan perlu mempelajari dan memahami
konsep Transcultural Nursing secara mendalam. Sehingga dalam pemberian asuhan
keperawatan, perawatan dan pasien tidak mengalami Cultural Shock dan Cultural
imposition.

17
DAFTAR PUSTAKA
Sudarma, Momon. 2009. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta. Salemba Medika
R Muawanah. 2014. American Piety: The Nature of Religius. Commitment, C.Y. Glock dan R.
Stark (1988).

18

You might also like