You are on page 1of 46

Referat

INITIAL ASSESSMENT AND MANAGEMENT

Oleh:

Pamela Kartika Sari 17014101233

Alson Sambonu 16014101136

Pearensia E. P. Hidayat 20014101023

Paskah T. Lengkong 210141010109

Erlika Lengkong 210141010049

Periode Stase IRDB: 31 Januari – 04 Februari 2022

Supervisior Pembimbing:

dr. Sherly Tandililing, SpB(K)KL

BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2022
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul :


“Initial Assessment and Management”

Oleh:

Pamela Kartika Sari 17014101233

Alson Sambonu 16014101136

Pearensia E. P. Hidayat 20014101023

Paskah T. Lengkong 210141010109

Erlika Lengkong 210141010049

Periode Stase IRDB: 31 Januari – 04 Februari 2022

Telah dibacakan, dikoreksi dan disetujui pada Februari 2022, untuk memenuhi syarat
tugas Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Sam
Ratulangi Manado

Supervisior Pembimbing

dr. Sherly Tandililing, SpB(K)KL

1
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN……………………………………….……....1

DAFTAR ISI……………………………………………………….…......2

PENDAHULUAN……………………………………………...…………3

PERSIAPAN...…………………………………………………………...4

TRIASE…………………………………..………………………………8

SURVEI PRIMER DENGAN RESUSITASI SIMULTAN................10

TAMBAHAN UNTUK PRIMARY SURVEY DENGAN


RESUSITASI.....……………………………………...…………………20

PERTIMBANGKAN KEBUTUHAN UNTUK


PEMINDAHAN/RUJUK PASIEN……………………………….…….26

POPULASI KHUSUS..............................................................................27

SURVEI SEKUNDER…….………………………………….………...29

TAMBAHAN UNTUK SECONDARY SURVEY……………….……38

RINGKASAN…..………………………………………………………..45

2
PENDAHULUAN

Ketika merawat pasien yang cedera, dokter dengan cepat menilai cedera dan

memulai terapi penyelamatan jiwa. Karena waktu sangat penting, pendekatan sistematis

yang dapat diterapkan dengan cepat dan akurat sangat penting. Pendekatan ini, yang

disebut “Primary Survey”, yang mencakup elemen-elemen berikut ini:

- Persiapan

- Triase

- Primary survey (ABCDEs) dengan resusitasi segera pada pasien dengan cedera

yang mengancam jiwa

- Tambahan untuk primary survey dan resusitasi

- Pertimabangan kebutuhan transfer pasien

- Secondary survey (evaluasi dari ujung kepala hingga ujung kaki dan riwayat

pasien)

- Melanjutkan pemantauan dan evaluasi ulang pasca resusitasi

- Perawatan definitif

Primary survey dan secondary survey sering diulang untuk mengidentifikasi setiap

perubahan status pasien yang menunjukkan perlunya intervensi tambahan. Urutan

penilaian yang diberikan pada bab ini mencerminkan perkembangan peristiwa yang linier,

atau memanjang. Namun, dalam situasi klinis yang sebenarnya, banyak dari aktivitas ini

terjadi secara bersamaan. Perkembangan longitudinal dari proses penilaian

memungkinkan dokter untuk meninjau kemajuan dari resusitasi trauma yang sebenarnya.

Prinsip ATLS memandu penilaian dan resusitasi pasien cedera. Pertimbangan

diperlukan untuk menentukan prosedur mana yang diperlukam untuk masing-masing

pasien, karena mereka mungkin tidak memerlukan semuanya.

3
PERSIAPAN

Persiapan untuk pasien trauma terjadi dalam dua pengaturan klinis yang berbeda:

di lapangan dan di rumah sakit. Pertama, selama fasi pra-rumah sakit, kejadian

dikoordinasikan dengan dokter di rumah sakit penerima. Kedua, selama fase rumah sakit,

persiapan dilakukan untuk memfasilitasi resusitasi pasien trauma yang cepat.

Fase Pra-rumah Sakit

Koordinasi dengan lembaga dan personel pra-rumah sakit dapat sangat

mempercepat perawatan dilapangan. (Gambar 1-1) Sistem pra-rumah sakit idealnya

diatur untuk memberi tahu rumah sakit penerima sebelum personel mengangkut pasien

dari tempat kejadian. Hal ini memungkinkan mobilisasi anggota tim trauma rumah sakit

sehingga semua personel dan sumber daya yang diperlukan ada di Unit Gawat Darurat

(UGD) pada saat kedatangan pasien.

Gambar 1. Fase Pra-rumah sakit. Selama fase pra-rumah sakit, persone menekankan

pemeliharaan jalan napas, kontrol perdarahan eksternal dan syok, imobilisasi pasien, dan

4
transportasi segera ke fasilitas terdekat yang sesuai, lebih disukai pusat trauma yang

diverifikasi.

Selama fase pra-rumah sakit, penyedia menekankan pemeliharaan jalan napas,

kontrol perdarahan eksternal dan syok, imobilsasi pasien, dan transportasi segera ke

fasilitas terdekat yang sesuai, bahkan pusat trauma yang terverifikasi. Penyedia pra-

rumah sakit harus melakukan segala upaya untuk meminimalkan waktu kejadian, sebuah

konsep yang didukung olek Field Triage Decision Scheme, yang ditunjukkan pada

(gambar 1-2) dan aplikasi seluler MyATLS.

Penekanan juga ditempatkan saat memperoleh dan melaporkan informasi yang

diperlukan untuk triase di rumah sakit, termasuk waktu cedera., kejadian yang berkaitan

dengan cedera, dan riwayat pasien.

Mekanisme cedera dapat menyarankan tingkat cedera serta cedera spesifik yang

perlu dievaluasi dandiobati oleh pasien.

The National Association of Emergency Medical Technicians’ Prehospital

Trauma Life Support Committee, bekerja sama dengan Committee on Trauma (COT) dari

American College of Surgeons (ACS) telah mengembangkan kursus Prehospital Trauma

Life Support (PHTLS). PHTLS mirip dengan Kursus ATLS dalam format, meskipun

membahas perawatan pra-rumah sakit pasien cedera.

Penggunaan protokol perawatan pra-rumah sakit dan kemampuan untuk

mengakses arahan medis online (yaitu, kontrol medis langsung) dapat memfasilitasi dan

meningkatkan perawatan yang dimulai di lapangan. Tinjauan multidisiplin perawatan

pasien secara berkala melalui proses peningkatan kualitas merupakan komponen penting

dari program trauma setiap rumah sakit.

5
Gambar 2. Field Triage Decision Scheme

6
Fase Rumah Sakit

Perlu sekali perencanaan awal untuk kedatangan pasien trauma. Proses serah

terima antara penyedia pra-rumah sakit dan orang-orang di rumah sakit penerima harus

lancar, diarahkan oleh pemimpin tim trauma untuk memastikan bahwa semua informasi

penting tersedia bagi seluruh tim. Aspek penting dari persiapan rumah sakit meliputi

• Area resusitasi yang tersedia bagi pasien trauma.

• Alat-alat jalan napas yang berfungsi dengan baik (seperti laringoskopi dan tabung

endotrakeal) tertata, teruji, dan ditempatkan secara strategis agar mudah diakses.

• Larutan kristaloid intravena yang dihangatkan segera tersedia untuk infus, begitu

pula dengan alat monitoring yang sesuai.

• Protokol untuk memanggil bantuan medis tambahan tersedia, serta sarana untuk

memastikan tanggapan cepat oleh laboratorium dan petugas radiologi.

• Perjanjian transfer dengan pusat trauma terverifikasi dibuat dan beroperasi.

Karena kekhawatiran tentang penyakit menular, terutama hepatitis dan sindrom

imunodefisiensi didapat (AIDS), Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC)

dan lembaga kesehatan lainnya sangat menyarankan penggunaan tindakan pencegahan

standar (misalnya, masker wajah, pelindung mata, gaun tahan air, dan sarung tangan) saat

bersentuhan dengan cairan tubuh. COT ACS menganggap ini sebagai tindakan

pencegahan dan perlindungan minimum untuk semua penyedia layanan kesehatan.

Kewaspadaan standar juga merupakan persyaratan Administrasi Keselamatan dan

Kesehatan Kerja (OSHA) di Amerika Serikat.

7
TRIASE

Triase melibatkan pemilahan pasien berdasarkan sumber daya yang diperlukan

untuk perawatan dan sumber daya yang benar-benar tersedia. Urutan pengobatan

didasarkan pada prioritas ABC (jalan napas dengan perlindungan tulang servikal,

pernapasan, dan sirkulasi dengan kontrol perdarahan). Faktor lain yang dapat

mempengaruhi triase dan prioritas pengobatan termasuk tingkat keparahan cedera,

kemampuan untuk bertahan hidup, dan sumber daya yang tersedia.

Gambar 3. Anggota tim trauma dilatih untuk menggunakan tindakan pencegahan

standar, termasuk masker wajah, pelindung mata, gaun kedap air, dan sarung tangan, saat

bersentuhan dengan cairan tubuh.

Triase juga mencakup pemilahan pasien di lapangan untuk membantu

menentukan fasilitas medis penerima yang sesuai. Aktivasi tim trauma dapat

dipertimbangkan untuk pasien yang terluka parah. Personil pra-rumah sakit dan direktur

medis mereka bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pasien yang tepat tiba di

rumah sakit yang sesuai. Misalnya, mengantarkan pasien yang mengalami trauma parah

ke rumah sakit selain pusat trauma tidak tepat bila pusat semacam itu tersedia. Penilaian

trauma pra-rumah sakit sering membantu dalam mengidentifikasi pasien yang terluka

8
parah yang memerlukan transportasi ke pusat trauma. Situasi triase dikategorikan sebagai

banyak korban atau korban massal.

Banyak korban

Insiden dengan banyak korban adalah insiden di mana jumlah pasien dan tingkat

keparahan cedera mereka tidak melebihi kemampuan fasilitas untuk memberikan

perawatan. Dalam kasus seperti itu, pasien dengan masalah yang mengancam

jiwa dan mereka yang mengalami cedera multi-sistem dirawat terlebih dahulu.

Korban massal

Dalam peristiwa korban massal, jumlah pasien dan tingkat keparahan cedera

mereka melebihi kemampuan fasilitas dan staf. Dalam kasus seperti itu, pasien

yang memiliki peluang terbesar untuk bertahan hidup dan membutuhkan waktu,

peralatan, perlengkapan, dan personel yang paling sedikit dirawat terlebih dahulu.

9
SURVEI PRIMER DENGAN RESUSITASI SIMULTAN

Pasien dinilai, kemudian perawatan prioritas pengobatan mereka ditetapkan

berdasarkan cedera, tanda-tanda vital, dan mekanisme cedera mereka. Prioritas perawatan

logis dan berurutan ditetapkan berdasarkan penilaian keseluruhan pasien. Fungsi vital

pasien harus dinilai dengan cepat dan efisien. Penatalaksanaan terdiri dari survei primer

cepat dengan resusitasi fungsi vital secara simultan, survei sekunder yang lebih rinci, dan

inisiasi perawatan definitif.

Survei utama meliputi ABCDE perawatan trauma dan mengidentifikasi kondisi

yang mengancam jiwa dengan mengikuti urutan ini :

• Pemeliharaan jalan napas dengan pembatasan gerakan tulang servikal

• Pernapasan dan ventilasi

• Sirkulasi dengan kontrol perdarahan

• Disabilitas (penilaian status neurologi)

• Paparan/kontrol lingkungan

Dokter dapat dengan cepat menilai A, B, C, dan D pada pasien trauma (penilaian

10 detik) dengan mengidentifikasi diri mereka sendiri, menanyakan nama pasien, dan

menanyakan apa yang terjadi. Respon yang tepat menunjukkan bahwa tidak ada

gangguan jalan napas utama (yaitu, kemampuan untuk berbicara dengan jelas),

pernapasan tidak terlalu terganggu (yaitu, kemampuan untuk menghasilkan gerakan udara

untuk memungkinkan berbicara), dan tingkat kesadaran tidak menurun secara nyata

(yaitu, cukup waspada untuk menggambarkan apa yang terjadi). Kegagalan untuk

menanggapi pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan kelainan pada A, B, C, atau D yang

memerlukan penilaian dan manajemen yang mendesak.

Selama survei primer, kondisi yang mengancam jiwa diidentifikasi dan dirawat

dalam urutan yang diprioritaskan berdasarkan efek cedera pada fisiologi pasien, karena

10
pada awalnya mungkin sulit untuk mengidentifikasi cedera anatomi tertentu. Misalnya,

cedera pada jalan napas dapat terjadi sebagai akibat sekunder dari trauma kepala, cedera

yang menyebabkan syok, atau trauma fisik langsung pada jalan napas. Terlepas dari

cedera yang menyebabkan gangguan jalan napas, prioritas pertama adalah manajemen

jalan napas: membersihkan jalan napas, penghisapan cairan, pemberian oksigen, dan

membuka dan mengamankan jalan napas. Karena urutan yang diprioritaskan didasarkan

pada tingkat ancaman hidup, kelainan yang menjadi ancaman terbesar bagi kehidupan

ditangani terlebih dahulu.

Ingatlah bahwa penilaian yang diprioritaskan dan prosedur manajemen yang

dijelaskan dalam bab ini disajikan sebagai langkah-langkah berurutan dalam urutan

kepentingan dan untuk memastikan kejelasan; dalam praktiknya, langkah-langkah ini

sering dilakukan secara bersamaan oleh tim profesional kesehatan

Pemeliharaan Jalan Nafas dengan Pembatasan Gerakan Tulang Servikal

Pada evaluasi awal pasien trauma, pertama menilai jalan napas untuk memastikan

ada tidaknya sumbatan. Penilaian cepat untuk tanda-tanda sumbatan jalan napas meliputi

pemeriksaan benda asing; mengidentifikasi fraktur wajah, mandibula, dan/atau

trakea/laring dan cedera lain yang dapat mengakibatkan sumbatan jalan napas; dan

pengisapan untuk membersihkan akumulasi darah atau sekret yang dapat menyebabkan

sumbatan jalan napas. Mulailah langkah-langkah untuk membangun jalan napas paten

sambil membatasi gerakan tulang servikal.

Jika pasien dapat berkomunikasi secara verbal, jalan napas tidak mungkin dalam

bahaya; namun lebih baik melakukan penilaian berulang terhadap patensi jalan napas.

Selain itu, pasien dengan cedera kepala berat yang memiliki tingkat kesadaran yang

berubah atau skor Glasgow Coma Scale (GCS) 8 atau lebih rendah biasanya memerlukan

penempatan jalan napas definitif (tabung di trakea yang aman dan terfiksasi). Awalnya,

11
manuver jaw-thrust atau chin-lift seringkali cukup sebagai intervensi awal. Jika pasien

tidak sadar dan tidak memiliki refleks muntah, penempatan jalan napas orofaringeal dapat

membantu sementara. Tetapkan jalan napas definitif jika ada keraguan tentang

kemampuan pasien untuk mempertahankan integritas jalan napas.

Temuan respons motorik yang tidak bermakna sangat menunjukkan perlunya

manajemen jalan napas definitif. Penatalaksanaan jalan napas pada pasien anak

memerlukan pengetahuan tentang fitur anatomi yang unik dari posisi dan ukuran laring

pada anak, serta peralatan khusus.

Saat menilai dan mengelola jalan napas pasien, berhati-hatilah untuk mencegah

pergerakan tulang servikal yang berlebihan. Berdasarkan mekanisme trauma, asumsikan

adanya cedera tulang belakang. Pemeriksaan neurologis saja tidak menyingkirkan

diagnosis cedera tulang servikal. Tulang belakang harus dilindungi dari mobilitas yang

berlebihan untuk mencegah cedera. Tulang servikal dilindungi dengan servikal collar.

Ketika manajemen jalan napas diperlukan, servikal collar dibuka, dan anggota tim secara

manual membatasi gerakan tulang servikal.

12
Gambar 4. Teknik pembatasan gerakan tulang servikal. Ketika servikal collar dilepas,

anggota tim trauma secara manual menstabilkan kepala dan leher pasien.

Sementara setiap upaya harus dilakukan untuk mengenali gangguan jalan napas dengan

segera dan mengamankan jalan napas definitif, sama pentingnya untuk mengenali potensi

kehilangan jalan napas yang progresif. Evaluasi ulang terhadap patensi jalan napas sangat

penting untuk mengidentifikasi dan mengobati pasien yang kehilangan kemampuan untuk

mempertahankan jalan napas yang memadai.

Tetapkan jalan napas melalui pembedahan jika intubasi dikontraindikasikan atau

tidak dapat dilakukan.

Pernafasan dan Ventilasi

Patensi jalan napas saja tidak menjamin ventilasi yang memadai. Pertukaran gas

yang memadai diperlukan untuk memaksimalkan oksigenasi dan eliminasi karbon

dioksida. Ventilasi membutuhkan fungsi paru-paru, dinding dada, dan diafragma yang

memadai; oleh karena itu, dokter harus dengan cepat memeriksa dan mengevaluasi setiap

komponen.

13
Untuk menilai secara memadai distensi vena jugularis, posisi trakea, dan ekskursi

dinding dada, paparkan leher dan dada pasien. Lakukan auskultasi untuk memastikan

aliran gas di paru-paru. Inspeksi visual dan palpasi dapat mendeteksi cedera pada dinding

dada yang mungkin mengganggu ventilasi. Perkusi toraks juga dapat mengidentifikasi

kelainan, tetapi selama resusitasi bising evaluasi ini mungkin tidak akurat.

Cedera yang secara signifikan mengganggu ventilasi dalam jangka pendek

termasuk tension pneumotoraks, hemotoraks masif, pneumotoraks terbuka, dan cedera

trakea atau bronkus. Cedera ini harus diidentifikasi selama survei primer dan seringkali

memerlukan perhatian segera untuk memastikan ventilasi yang efektif. Karena tension

pneumothorax mengganggu ventilasi dan sirkulasi secara dramatis dan akut, dekompresi

dada harus segera dilakukan jika dicurigai dengan evaluasi klinis.

Setiap pasien yang terluka harus menerima oksigen tambahan. Jika pasien tidak

diintubasi, oksigen harus diberikan dengan alat masker-reservoir untuk mencapai

oksigenasi yang optimal. Gunakan oksimeter nadi untuk memantau kecukupan saturasi

oksigen hemoglobin. Pneumotoraks sederhana, hemotoraks sederhana, tulang rusuk

patah, flail chest, dan kontusio paru dapat mengganggu ventilasi pada tingkat yang lebih

rendah dan biasanya diidentifikasi selama survei sekunder.Pneumotoraks sederhana dapat

diubah menjadi tension pneumotoraks ketika pasien diintubasi dan ventilasi tekanan

positif diberikan sebelum dekompresi pneumotoraks dengan selang dada.

Kesulitan Pencegahan

Kegagalan • Uji peralatan secara teratur.

Peralatan • Pastikan peralatan cadangan dan

baterai sudah tersedia.

Gagal • Identifikasi pasien dengan anatomi jalan napas yang sulit

Intubasi • Identifikasi manajer saluran napas yang paling

14
berpengalaman/terampil di tim Anda

• Pastikan peralatan yang sesuai tersedia untuk

menyelamatkan upaya jalan napas yang gagal

• Bersiaplah untuk melakukan pembedahan jalan napas

Progresif • Kenali status dinamis jalan napas

Kehilangan jalan napas • Kenali cedera yang dapat menyebabkan hilangnya jalan

napas secara progresif

• Sering menilai kembali pasien untuk tanda-tanda kerusakan

jalan napas

Sirkulasi dan Kontrol Perdarahan

Kompromi sirkulasi pada pasien trauma dapat diakibatkan oleh berbagai cedera.

Volume darah, curah jantung, dan perdarahan adalah masalah sirkulasi utama yang harus

dipertimbangkan.

Volume Darah dan Curah Jantung

Perdarahan adalah penyebab utama kematian yang dapat dicegah setelah cedera.

Oleh karena itu, mengidentifikasi, mengontrol perdarahan dengan cepat, dan memulai

resusitasi merupakan langkah penting dalam menilai dan mengelola pasien tersebut.

Setelah tension pneumothorax disingkirkan sebagai penyebab syok, pertimbangkan

bahwa hipotensi setelah cedera disebabkan oleh kehilangan darah sampai terbukti

sebaliknya. Penilaian yang cepat dan akurat dari status hemodinamik pasien cedera sangat

penting. Elemen observasi klinis yang menghasilkan informasi penting dalam hitungan

detik adalah tingkat kesadaran, perfusi kulit, dan nadi.

15
•Tingkat Kesadaran—Bila volume darah yang bersirkulasi berkurang, perfusi

serebral dapat terganggu secara kritis, yang mengakibatkan perubahan tingkat

kesadaran.

•Perfusi Kulit—Tanda ini dapat membantu dalam mengevaluasi pasien

hipovolemik yang cedera. Seorang pasien dengan kulit merah muda, terutama di

wajah dan ekstremitas, jarang mengalami hipovolemia kritis setelah cedera.

Sebaliknya, pasien dengan hipovolemia mungkin memiliki pucat, kulit wajah

abu-abu dan ekstremitas pucat.

•Detak—Denyut nadi yang cepat biasanya merupakan tanda hipovolemia. Kaji

denyut nadi sentral (misalnya, arteri femoralis atau karotis) secara bilateral untuk

kualitas, kecepatan, dan keteraturan. Tidak adanya nadi sentral yang tidak dapat

dikaitkan dengan faktor lokal menandakan perlunya tindakan resusitasi segera.

Perdarahan

Identifikasi sumber perdarahan sebagai eksternal atau internal. Perdarahan

eksternal diidentifikasi dan dikendalikan selama primary survey. Kehilangan darah

eksternal yang cepat ditangani dengan tekanan manual langsung pada luka. Tourniquets

efektif dalam ekssanguinasi masif dari ekstremitas tetapi membawa risiko cedera iskemik

pada ekstremitas itu. Gunakan torniket hanya jika tekanan langsung tidak efektif dan

nyawa pasien terancam. Penjepitan buta dapat menyebabkan kerusakan pada saraf dan

vena.

Area utama perdarahan internal adalah dada, perut, retroperitoneum, panggul, dan

tulang panjang. Sumber perdarahan biasanya diidentifikasi dengan pemeriksaan fisik dan

pencitraan (misalnya, rontgen dada, rontgen panggul, penilaian terfokus dengan sonografi

untuk trauma [FAST], atau diagnostik peritoneal lavage [DPL]). Penatalaksanaan segera

dapat mencakup dekompresi dada, dan penggunaan alat penstabil panggul dan/atau bidai

16
ekstremitas. Penatalaksanaan definitif mungkin memerlukan perawatan radiologis bedah

atau intervensional dan stabilisasi panggul dan tulang panjang. Memulai konsultasi bedah

atau prosedur transfer lebih awal pada pasien ini.

Kontrol perdarahan definitif sangat penting, bersama dengan penggantian volume

intravaskular yang tepat. Akses vaskular harus dibuat; biasanya dua kateter vena perifer

besar ditempatkan untuk memberikan cairan, darah, dan plasma. Sampel darah untuk

studi hematologi dasar diperoleh, termasuk tes kehamilan untuk semua wanita usia subur

dan golongan darah serta pencocokan silang. Untuk menilai adanya dan derajat syok, gas

darah dan/atau kadar laktat diperoleh. Ketika situs perifer tidak dapat diakses, infus

intraosseous, akses vena sentral, atau pemotongan vena dapat digunakan tergantung pada

cedera pasien dan tingkat keterampilan dokter.

Resusitasi volume yang agresif dan berkelanjutan bukanlah pengganti untuk

kontrol perdarahan yang definitif.Syok yang terkait dengan cedera paling sering berasal

dari hipovolemik. Dalam kasus seperti itu, mulai terapi cairan IV dengan kristaloid.

Semua larutan IV harus dihangatkan baik dengan penyimpanan di lingkungan yang

hangat (yaitu, 37°C hingga 40°C, atau 98,6°F hingga 104°F) atau diberikan melalui

perangkat penghangat cairan. Sebuah bolus 1 L larutan isotonik mungkin diperlukan

untuk mencapai respon yang tepat pada pasien dewasa. Jika pasien tidak responsif

terhadap terapi kristaloid awal, dia harus menerima transfusi darah. Cairan diberikan

dengan bijaksana, karena resusitasi agresif sebelum mengontrol perdarahan telah terbukti

meningkatkan mortalitas dan morbiditas.

Pasien trauma yang terluka parah berisiko mengalami koagulopati, yang

selanjutnya dapat dipicu oleh tindakan resusitasi. Kondisi ini berpotensi membentuk

siklus perdarahan berkelanjutan dan resusitasi lebih lanjut, yang dapat dikurangi dengan

menggunakan protokol transfusi masif dengan komponen darah yang diberikan pada rasio

17
rendah yang telah ditentukan sebelumnya (lihat Bab 3: Syok). Satu studi yang

mengevaluasi pasien trauma yang menerima cairan di UGD menemukan bahwa resusitasi

kristaloid lebih dari 1,5 L secara independen meningkatkan rasio kemungkinan kematian.

Beberapa pasien yang terluka parah tiba dengan koagulopati yang sudah terbentuk, yang

telah menyebabkan beberapa yurisdiksi untuk memberikan asam traneksamat terlebih

dahulu pada pasien yang terluka parah. Studi militer Eropa dan Amerika menunjukkan

peningkatan kelangsungan hidup ketika asam traneksamat diberikan dalam waktu 3 jam

setelah cedera.

Disabilitas (Evaluasi Neurologis)

Evaluasi neurologis yang cepat menetapkan tingkat kesadaran pasien dan ukuran

serta reaksi pupil; mengidentifikasi adanya tanda-tanda lateralisasi; dan menentukan

tingkat cedera tulang belakang, jika ada. GCS adalah metode yang cepat, sederhana, dan

objektif untuk menentukan tingkat kesadaran. Skor motorik dari GCS berkorelasi dengan

hasil. Penurunan tingkat kesadaran pasien dapat mengindikasikan penurunan oksigenasi

dan/atau perfusi serebral, atau mungkin disebabkan oleh cedera serebral langsung.

Tingkat kesadaran yang berubah menunjukkan kebutuhan untuk segera mengevaluasi

kembali status oksigenasi, ventilasi, dan perfusi pasien. Hipoglikemia, alkohol, narkotika,

dan obat-obatan lain juga dapat mengubah tingkat kesadaran pasien. Sampai terbukti

sebaliknya, selalu menganggap bahwa perubahan tingkat kesadaran adalah akibat dari

cedera sistem saraf pusat. Ingatlah bahwa keracunan obat atau alkohol dapat menyertai

cedera otak traumatis.

Cedera otak primer terjadi akibat efek struktural cedera pada otak. Pencegahan

cedera otak sekunder dengan mempertahankan oksigenasi dan perfusi yang memadai

adalah tujuan utama dari manajemen awal. Karena bukti cedera otak bisa tidak ada atau

minimal pada saat evaluasi awal, pemeriksaan ulang sangat penting.Pasien dengan bukti

18
cedera otak harus dirawat di fasilitas yang memiliki personel dan sumber daya untuk

mengantisipasi dan mengelola kebutuhan pasien ini. Ketika sumber daya untuk merawat

pasien ini tidak tersedia, pengaturan untuk transfer harus dimulai segera setelah kondisi

ini dikenali.Demikian pula, konsultasikan dengan ahli bedah saraf setelah cedera otak

dikenali.

Paparan dan Lingkungan

Kontrol Selama survei primer, buka pakaian pasien sepenuhnya, biasanya dengan

memotong pakaiannya untuk memudahkan pemeriksaan dan penilaian yang menyeluruh.

Setelah menyelesaikan penilaian, tutupi pasien dengan selimut hangat atau alat

penghangat eksternal untuk mencegahnya berkembang menjadi hipotermia di area yang

menerima trauma. Hangatkan cairan infus sebelum memasukkannya, dan pertahankan

lingkungan yang hangat. Hipotermia mungkin hadir ketika pasien tiba, atau bisa

berkembang dengan cepat di UGD jika pasien ditemukan dan menanggung temperatur

ruang cairan atau darah dingin. Karena hipotermia merupakan komplikasi yang

berpotensi mematikan pada pasien cedera, lakukan tindakan agresif untuk mencegah

hilangnya panas tubuh dan mengembalikan suhu tubuh ke normal.Suhu tubuh pasien

adalah prioritas yang lebih tinggi daripada kenyamanan penyedia layanan kesehatan, dan

suhu area resusitasi harus ditingkatkan untuk meminimalkan hilangnya panas tubuh.

Direkomendasikan penggunaan penghangat cairan aliran tinggi untuk memanaskan cairan

kristaloid hingga 39°C (102,2°F). Jika penghangat cairan tidak tersedia, microwave dapat

digunakan untuk menghangatkan cairan kristaloid, tetapi tidak boleh digunakan untuk

menghangatkan produk darah.

Kesulitan Pencegahan

Hipotermia dapat hadir saat masuk. • Pastikan lingkungan yang hangat.

• Gunakan selimut hangat.

19
• Cairan hangat sebelum pemberian.

Hipotermia mungkin • Kontrol perdarahan dengan cepat.

berkembang setelah • Cairan hangat sebelum pemberian.

penerimaan. • Pastikan lingkungan yang hangat.

• Gunakan selimut hangat.

TAMBAHAN UNTUK PRIMARY SURVEY DENGAN RESUSITASI

Alat bantu yang dapat digunakan untuk menunjang primary survey meliputi

elektrokardiografi, pulse oksimetri, pemantauan karbon dioksida (CO2), dan penilaian

laju ventilasi, dan pemeriksaan analisa gas darah arteri (ABG). Selain itu, kateter urin

juga dapat digunakan untuk memantau keluaran urin dan menilai hematuria. Kateter

lambung dapat digunakan sebagai dekompresi terhadap adanya distensi dan mengevaluasi

adanya tanda-tanda perdarahan. Pemeriksaan lain yang dapat bermanfaat meliputi

pemeriksaan laktat darah, pemeriksaan x-ray (seperti, x-ray dada dan panggul), FAST,

extended focused assessment with sonography for trauma (eFAST), dan DPL.

Parameter fisiologis seperti denyut nadi, tekanan darah, tekanan nadi, laju

ventilasi, ABG, suhu tubuh, dan keluaran urin adalah pemeriksaan yang dapat dilakukan

untuk menilai kecukupan resusitasi. Nilai parameter ini harus diperoleh sesegera mungkin

selama atau setelah menyelesaikan primary survey, dan harus dievaluasi kembali secara

berkala.

20
Pemantauan Elektrokardiografi

Pemantauan elektrokardiografi (EKG) penting dilakukan pada semua pasien

trauma. Disritmia—yang meliputi takikardi yang tidak dapat dijelaskan, fibrilasi atrium,

kontraksi ventrikel prematur, dan perubahan segmen ST—dapat mengindikasikan adanya

trauma tumpul pada jantung. Pulseless electrical activity (PEA) dapat mengindikasikan

adanya tamponade jantung, tension pneumotoraks, dan/atau hipovolemia berat. Ketika

terjadi bradikardia, gangguan konduksi, dan denyut prematur, keadaan hipoksia dan

hipoperfusi harus segera dicurigai. Hipotermia ekstrim juga dapat menyebabkan

disritmia.

Pulse oximetry

Pulse oximetry adalah pemeriksaan tambahan yang bermanfaat untuk memantau

oksigenasi pada pasien yang mengalami trauma. Pulse oximetry merupakan sebuah sensor

kecil ditempatkan di jari tangan, kaki, daun telinga, atau tempat lain yang nyaman.

Sebagian besar perangkat dapat menampilkan denyut nadi dan saturasi oksigen secara

terus menerus. Penyerapan cahaya relatif oleh oksihemoglobin (HbO) dan

deoksihemoglobin dinilai dengan mengukur jumlah cahaya merah dan inframerah yang

muncul dari jaringan yang dilalui oleh sinar cahaya dan diproses oleh perangkat,

menghasilkan tingkat saturasi oksigen. Oksimetri nadi tidak dapat mengukur tekanan

parsial oksigen atau karbon dioksida. Pengukuran kuantitatif parameter ini dapat

dilakukan dengan cepat dan sebaiknya diulang secara berkala untuk menetapkan tren

kondisi pasien.

Selain itu, saturasi hemoglobin dari pemeriksaan pulse oximetry harus

dibandingkan dengan nilai yang diperoleh dari pemeriksaan Analisa gas darah.

21
Inkonsistensi hasil pemeriksaan mengindikasikan terdapat kesalahan pada salah satu dari

dua pemeriksaan.

Laju Ventilasi, Kapnografi, dan Gas Darah Arteri

Laju ventilasi, kapnografi, dan pemeriksaan Analisa gas darah digunakan untuk

memantau kecukupan respirasi pasien. Ventilasi dapat dipantau menggunakan end tidal

carbon dioxide levels. End tidal CO2 dapat dinilai menggunakan kolorimetri, kapnometri,

atau kapnografi—teknik pemantauan noninvasif yang memberikan informasi tentang

ventilasi, sirkulasi, dan metabolisme pasien. Mengingat pipa endotrakeal dapat terlepas

setiap kali pasien dipindahkan, kapnografi dapat digunakan untuk mengkonfirmasi

intubasi jalan napas. Namun, kapnografi tidak dapat memastikan posisi selang dalam

trakea secara tepat (lihat Bab 2: Manajemen Jalan nafas dan Ventilasi). End tidal CO2

juga dapat digunakan untuk kontrol ventilasi yang ketat untuk menghindari hipoventilasi

dan hiperventilasi. Parameter ini mencerminkan curah jantung dan digunakan untuk

memprediksi kembalinya sirkulasi spontan (ROSC) selama CPR.

Selain memberikan informasi mengenai kecukupan oksigenasi dan ventilasi, nilai ABG

juga dapat memberikan informasi asam basa. Dalam situasi trauma, pH yang rendah dan

Base excess memberikan kesan adanya syok; oleh karena itu, memantau perkembangan

nilai-nilai ini dapat mencerminkan progress resusitasi.

Kateter Urin dan Lambung

Pemasanagan kateter urin dan lambung dapat dilakukan selama atau setelah

primary survey.

Kateterisasi Urin

Pengeluaran urin merupakan indikator yang sensitif terhadap status volume

pasien dan mencerminkan perfusi ginjal. Pemantauan luaran urin paling baik dilakukan

22
dengan memasukkan kateter kandung kemih secara kontinyu. Selain itu, spesimen urin

harus dilakukan analisis laboratorium rutin. Kateterisasi kandung kemih transuretra

dikontraindikasikan pada pasien yang mungkin mengalami cedera uretra. Adanya cedera

uretra dapat dicurigai apabila terdapat darah di meatus uretra atau ekimosis perineum.

Oleh karena itu, jangan memasukkan kateter urin sebelum memeriksa perineum dan

genitalia. Bila dicurigai adanya cedera uretra, konfirmasi integritas uretra dengan

melakukan uretrogram retrograde sebelum melakukan pemasangan kateter.

Kadang-kadang kelainan anatomi (misalnya, striktur uretra atau hipertrofi prostat) dapat

menghalangi pemasangan kateter kandung kemih, meskipun telah dilakukan dengan

teknik yang tepat. Dokter umum harus menghindari manipulasi uretra yang berlebihan

dan penggunaan instrumentasi khusus. Konsultasikan dengan ahli urologi apabila

mencurigai adanya fenomena ini.

Kateterisasi Lambung

Selang lambung diindikasikan untuk dekompresi terhadap distensi lambung,

menurunkan risiko aspirasi, dan mengevaluasi perdarahan saluran cerna bagian atas

akibat trauma. Dekompresi lambung dapat mengurangi risiko aspirasi, tetapi tidak

mencegahnya sepenuhnya. Isi lambung yang kental dan setengah padat tidak akan

kembali melalui selang, dan penempatan selang dapat menyebabkan muntah. Selang

hanya efektif jika diposisikan dengan benar dan dipasang pada suction yang sesuai.

Darah dalam aspirasi lambung dapat menunjukkan darah orofaringeal (akibat tertelan),

trauma akibat pemasangan selang, atau cedera aktual pada saluran pencernaan bagian

atas. Jika terdapat kecurigaan fraktur cribriform plate, masukkan tabung lambung secara

oral untuk mencegah masuknya selang ke rongga intrakranial. Dalam situasi ini, setiap

instrumentasi nasofaring berpotensi berbahaya, dan rute pemasangan melalui oral

direkomendasikan.

23
Perhatian Khusus Rekomendasi

Pemasangan kateter lambung dapat Bersiap untuk mengubah posisi pasien

menyebabkan muntah (logroll)

Pastikan suction segera tersedia.

Temuan pulse oxymeter dapat tidak akurat. Pastikan penempatan oksimeter nadi di atas

manset BP.

Konfirmasi temuan dengan nilai ABG.

Pemeriksaan X-ray dan Studi Diagnostik

Gunakan pemeriksaan x-ray secara bijaksana, dan jangan menunda resusitasi pasien atau

transfer ke perawatan definitif pada pasien yang membutuhkan perawatan yang lebih

tinggi. Pencitraan dada anteroposterior (AP) dan panggul AP sering memberikan

informasi untuk memandu upaya resusitasi pasien dengan trauma tumpul. Rontgen dada

dapat menunjukkan cedera yang berpotensi mengancam jiwa yang memerlukan

perawatan atau pemeriksaan lebih lanjut, dan pencitraan panggul dapat menunjukkan

patah tulang panggul yang mungkin mengindikasikan perlunya transfusi darah dini.

Pencitraan ini dapat dilakukan di area resusitasi dengan unit x-ray portable (Gambar 1.5),

tetapi tidak boleh dilakukan jika pencitraan tersebut akan mengganggu proses resusitasi.

Pemeriksaan rontgen untuk diagnostik pada pasien trauma sangat penting, bahkan pada

pasien hamil.

24
Gambar 5. Pencitraan adalah tambahan penting pada primary survey.

FAST, eFAST, dan DPL adalah alat yang berguna untuk deteksi cepat perdarahan

intraabdominal, pneumotoraks, dan hemotoraks. Penggunaannya tergantung pada

keterampilan dan pengalaman dokter. Pemeriksaan DPL dapat menjadi tantangan untuk

dilakukan pada pasien yang sedang hamil, pasien yang pernah menjalani laparotomi

sebelumnya, atau pasien dengan obesitas. Konsultasi bedah harus dilakukan sebelum

melakukan prosedur ini. Selanjutnya, obesitas dan gas usus intraluminal dapat

mengacaukan gambar yang diperoleh dengan FAST. Temuan darah intraabdominal

menunjukkan perlunya intervensi bedah pada pasien dengan kelainan hemodinamik.

Adanya darah pada FAST atau DPL pada pasien dengan hemodinamik stabil memerlukan

keterlibatan ahli bedah karena perubahan pada stabilitas pasien dapat mengindikasikan

perlunya intervensi.

25
PERTIMBANGKAN KEBUTUHAN UNTUK PEMINDAHAN/RUJUK PASIEN

Selama primary survey dengan resusitasi, dokter yang mengevaluasi sering

memperoleh informasi yang cukup untuk menentukan kebutuhan untuk memindahkan

pasien ke fasilitas lain untuk perawatan definitif. Proses pemindahan ini dapat dimulai

segera oleh personel administrasi atas arahan pemimpin tim trauma sementara evaluasi

tambahan dan tindakan resusitasi terus dilakukan. Penting untuk tidak menunda transfer

untuk melakukan evaluasi diagnostik yang mendalam. Lakukan pemeriksaan yang

semata-mata untuk meningkatkan kemampuan untuk resusitasi, menstabilkan, dan

memastikan pemindahan pasien dengan aman. Setelah memutuskan untuk memindahkan

pasien, komunikasi antara dokter yang merujuk dan yang menerima pasien penting

dilakukan. Gambar 1-6 menunjukkan pasien perawatan kritis yang dipantau selama

transportasi.

Gambar 6 Kewaspadaan juga penting bahkan saat transfer hanya terjadi di dalam

institusi.

26
POPULASI KHUSUS

Populasi pasien yang memerlukan perhatian khusus selama penilaian awal adalah

anak-anak, wanita hamil, orang tua, pasien obesitas, dan atlet. Prioritas perawatan pasien

ini sama dengan semua pasien trauma, tetapi individu ini mungkin memiliki respons

fisiologis yang tidak mengikuti pola biasanya serta memiliki perbedaan anatomi yang

memerlukan peralatan atau pertimbangan khusus.

Pasien anak memiliki fisiologi dan anatomi yang unik. Jumlah darah, cairan, dan

obat-obatan bervariasi sesuai dengan usia atau berat badan anak. Selain itu, pola cedera

dan derajat dan kecepatan kehilangan panas dapat berbeda. Anak-anak biasanya memiliki

cadangan fisiologis yang melimpah dan sering memiliki sedikit tanda-tanda hipovolemia,

bahkan setelah penurunan volume yang berat. Ketika tanda-tanda vital mengalami

masalah, maka keadaan tersebut memberikan kesan gambaran klinis yang sangat buruk.

Isu-isu khusus yang berkaitan dengan trauma pasien pediatrik dibahas dalam Bab 10:

Trauma Pediatrik.

Perubahan anatomi dan fisiologis kehamilan dapat mengubah respon pasien

terhadap cedera. Pengenalan dini kehamilan dengan palpasi perut pada uterus gravid dan

pemeriksaan laboratorium (misalnya, human chorionic gonadotropin [hCG]), serta

penilaian janin secara dini penting untuk kelangsungan hidup ibu dan janin. Isu-isu

khusus yang berkaitan dengan pasien hamil dibahas dalam Bab 12: Trauma dalam

Kehamilan dan Kekerasan Rumah Tangga.

Meskipun penyakit kardiovaskular dan kanker adalah penyebab utama kematian

pada orang tua, trauma juga merupakan penyebab kematian yang tinggi pada populasi ini.

Resusitasi pasien dengan usia tua memerlukan perhatian khusus. Proses penuaan

mengurangi cadangan fisiologis pasien, dan penyakit jantung, pernapasan, dan

metabolisme kronis dapat mengganggu kemampuan pasien untuk merespons cedera

27
dengan cara yang sama seperti pasien yang lebih muda. Komorbiditas seperti diabetes,

gagal jantung kongestif, penyakit arteri koroner, penyakit paru restriktif dan obstruktif,

koagulopati, penyakit hati, dan penyakit pembuluh darah perifer lebih sering terjadi pada

pasien dengan usia tua dan dapat mempengaruhi luaran setelah trauma. Selain itu,

penggunaan obat-obatan jangka panjang dapat mengubah respons fisiologis normal

terhadap cedera dan sering menyebabkan resusitasi berlebihan atau kurang resusitasi pada

populasi pasien ini.

Terlepas dari fakta-fakta ini, sebagian besar pasien trauma usia lanjut dapat pulih

setelah mendapatkan perawatan yang tepat. Masalah khusus terkait trauma pada populasi

usia lanjut dijelaskan dalam Bab 11: Trauma Geriatri. Pasien obesitas menimbulkan

tantangan khusus dalam trauma, karena anatomi mereka dapat membuat prosedur seperti

intubasi menjadi sulit dan berbahaya. Pemeriksaan diagnostik seperti FAST, DPL, dan

CT juga akan lebih sulit dilakukan dan diinterpretasi.

Selain itu, banyak pasien obesitas memiliki penyakit kardiopulmoner, yang

membatasi kemampuan mereka untuk mengkompensasi cedera dan stres. Resusitasi

cairan yang cepat dapat memperburuk komorbiditas yang mendasarinya. Karena kondisi

mereka yang sangat baik, atlet mungkin tidak menunjukkan tanda-tanda awal syok,

seperti takikardia dan takipnea. Mereka mungkin juga memiliki tekanan darah sistolik

dan diastolik yang biasanya rendah.

28
SURVEI SEKUNDER

Survei sekunder tidak dimulai ketika survei primer (ABCDE) selesai, upaya

resusitasi sedang dilakukan, dan peningkatan fungsi vital pasien telah ditunjukkan. Jika

personel tambahan tersedia, Sebagian dari survei sekunder dapat dilakukan sementara

personel lain melaksanakan survei primer. Metode ini sama sekali tidak boleh

mengganggu kinerja survei primer, yang merupakan prioritas tertinggi. Survei sekunder

adalah evaluasi pasien trauma dari kepala hingga ujung kaki, yaitu : Riwayat lengkap dan

pemeriksaan fisik, termasuk penilaian ulang semua tanda vital. Setiap bagian tubuh

diperiksa secara menyeluruh. Potensi untuk terlewatnya cedera atau jejas tertentu

sangatlah besar, terutama pada pasien yang tidak responsive atau tidak stabil.

Riwayat

Setiap penilaian medis lengkap mencakup riwayat mekanisme cedera. Seringkali,

riwayat seperti itu tidak dapat diperoleh dari pasien yang mengalami trauma; oleh karena

itu, personel pra-rumah sakit dan keluarga harus memberikan informasi ini. Riwayat

AMPLE adalah metode yang berguna untuk tujuan ini:

• Alergi

• Obat-obatan yang sedang digunakan

• Penyakit/Kehamilan Sebelumnya

• Makanan terakhir

• Peristiwa/Lingkungan yang berhubungan dengan cedera

Kondisi pasien sangat dipengaruhi oleh mekanisme cedera. Pengetahuan tentang

mekanisme cedera dapat meningkatkan pemahaman tentang keadaan fisiologis pasien dan

memberikan petunjuk tentang cedera yang diantisipasi. Beberapa cedera dapat diprediksi

berdasarkan arah dan jumlah energi yang terkait dengan mekanisme cedera. (n TABEL 1-

29
1) Pola cedera juga dipengaruhi oleh kelompok umur dan aktivitas. Cedera dibagi

menjadi dua kategori besar: trauma tumpul dan tembus (lihat Biomekanika Cedera). Jenis

cedera lain yang informasi riwayatnya penting termasuk cedera termal dan yang

disebabkan oleh lingkungan berbahaya.

Trauma tumpul

Trauma tumpul sering terjadi akibat tabrakan mobil, jatuh, dan cedera lain yang

berhubungan dengan transportasi, rekreasi, dan pekerjaan. Ini juga bisa diakibatkan oleh

kekerasan interpersonal. Informasi penting yang harus diperoleh tentang tabrakan mobil

termasuk penggunaan sabuk pengaman, deformasi roda kemudi, keberadaan dan aktivasi

perangkat kantong udara, arah benturan, kerusakan mobil dalam hal deformasi besar atau

sesuatu yang menerobos ke dalam kompartemen penumpang, dan posisi pasien di

kendaraan. Ejeksi dari kendaraan sangat meningkatkan kemungkinan cedera besar.

Trauma Penetrasi

Dalam trauma tembus, faktor-faktor yang menentukan jenis dan tingkat cedera

dan manajemen selanjutnya termasuk wilayah tubuh yang terluka, organ di jalur objek

penetrasi, dan kecepatan rudal. Oleh karena itu, pada korban tembakan, kecepatan

kaliber, dugaan jalur peluru, dan jarak dari senjata ke luka dapat memberikan petunjuk

penting mengenai tingkat cedera. (Lihat Biomekanika Cedera.)

Cedera Termal

Luka bakar adalah jenis trauma yang signifikan yang dapat terjadi sendiri atau

bersamaan dengan trauma tumpul dan/atau tembus, misalnya, mobil yang terbakar,

ledakan, puing-puing yang jatuh, atau upaya pasien untuk melarikan diri dari api. Cedera

inhalasi dan keracunan karbon monoksida sering mempersulit luka bakar. Informasi

mengenai keadaan luka bakar dapat meningkatkan indeks kecurigaan cedera inhalasi atau

paparan racun dari pembakaran plastik dan bahan kimia. Hipotermia akut atau kronis

30
tanpa perlindungan yang memadai terhadap kehilangan panas menghasilkan cedera

dingin lokal atau umum. Kehilangan panas yang signifikan dapat terjadi pada suhu

sedang (15°C hingga 20°C atau 59°F hingga 68°F) jika pakaian basah, penurunan

aktivitas, dan/atau vasodilatasi yang disebabkan oleh alkohol atau obat-obatan yang dapat

mengganggu kemampuan pasien untuk menghemat panas. Informasi riwayat tersebut

dapat diperoleh dari personel pra-rumah sakit. Cedera termal dibahas secara lebih rinci di

Lingkungan Berbahaya

Riwayat pajanan bahan kimia, toksin, dan radiasi penting diperoleh karena dua

alasan utama: Agen ini dapat menyebabkan berbagai disfungsi organ paru, jantung, dan

organ dalam pada pasien cedera, dan dapat menimbulkan bahaya bagi penyedia layanan

kesehatan. Seringkali, satu-satunya cara persiapan klinisi untuk merawat pasien dengan

riwayat pajanan pada lingkungan berbahaya adalah dengan memahami prinsip-prinsip

umum pengelolaan kondisi tersebut dan menjalin kontak langsung dengan Pusat

Pengendalian Racun Regional. Lampiran D: Manajemen Bencana dan Kesiapsiagaan

Darurat memberikan informasi tambahan tentang lingkungan berbahaya.

Pemeriksaan fisik

Selama survei sekunder, pemeriksaan fisik mengikuti urutan kepala, struktur

maksilofasial, tulang belakang leher dan leher, dada, perut dan panggul,

perineum/rektum/vagina, sistem muskuloskeletal, dan sistem saraf.

Kepala

Survei sekunder dimulai dengan mengevaluasi kepala untuk mengidentifikasi

semua cedera neurologis terkait dan cedera signifikan lainnya. Seluruh kulit kepala dan

kepala harus diperiksa untuk laserasi, memar, dan bukti patah tulang. (Lihat Bab 6:

Trauma Kepala.) Karena edema di sekitar mata nantinya dapat menghalangi pemeriksaan

mendalam, mata harus dievaluasi ulang untuk:

31
• Ketajaman visual

• Ukuran pupil

• Perdarahan konjungtiva dan/atau fundus

• Cedera tembus

• Lensa kontak (lepaskan sebelum terjadi edema)

• Dislokasi lensa

• Jebakan/penghalang/benda asing pada mata

Dokter dapat melakukan pemeriksaan tajam penglihatan cepat pada kedua mata dengan

meminta pasien membaca sesutu pada bahan yang dicetak, seperti grafik Snellen atau

kata-kata pada peralatan. Mobilitas okular harus dievaluasi untuk menyingkirkan

jebakan(entrapment) otot ekstraokular akibat fraktur orbita. Prosedur ini sering

mengidentifikasi cedera mata yang tidak terlihat. Apendiks A: Trauma Mata memberikan

informasi rinci tambahan tentang cedera mata.

Struktur Maksilofasial

Pemeriksaan wajah harus mencakup palpasi semua struktur tulang, penilaian

oklusi, pemeriksaan intraoral, dan penilaian jaringan lunak. Trauma maksilofasial yang

tidak berhubungan dengan obstruksi jalan napas atau perdarahan mayor harus ditangani

hanya setelah pasien stabil dan cedera yang mengancam jiwa telah ditangani. Pada

kebijaksanaan spesialis yang tepat, manajemen definitif dapat ditunda dengan aman tanpa

mengorbankan perawatan. Pasien dengan fraktur midface mungkin juga mengalami

fraktur cribriform plate. Untuk pasien ini, intubasi lambung harus dilakukan melalui rute

oral. (Lihat Bab 6: Trauma Kepala)

32
Tulang Belakang dan Leher Serviks

Pasien dengan trauma maksilofasial atau kepala harus dianggap mengalami

cedera tulang belakang leher (misalnya, fraktur dan/atau cedera ligamen), dan gerakan

tulang belakang leher harus dibatasi. Tidak adanya defisit neurologis tidak mengecualikan

cedera pada tulang belakang leher, dan cedera tersebut harus dianggap ada sampai

evaluasi tulang belakang leher selesai. Evaluasi dapat mencakup seri radiografi dan/atau

CT, yang harus ditinjau oleh dokter yang berpengalaman dalam mendeteksi fraktur tulang

belakang leher secara radiografi. Evaluasi radiografik dapat dihindari pada pasien yang

memenuhi The National Emergency X-Radiographyutilization Study (NEXUS) Low-

Risk Criteria (NLC) atau Canadian C-Spine Rule (CCR). (Lihat Bab 7: Trauma Tulang

Belakang dan Tulang Belakang.)

Pemeriksaan leher meliputi inspeksi, palpasi, dan auskultasi. Nyeri tulang

belakang leher, emfisema subkutan, deviasi trakea, dan fraktur laring dapat ditemukan

pada pemeriksaan rinci. Arteri karotis harus dipalpasi dan diauskultasi untuk mencari

adanya bruit. Tanda umum dari potensi cedera adalah tanda sabuk pengaman. Sebagian

besar cedera vaskular serviks utama adalah akibat dari cedera tembus; namun, kekuatan

tumpul pada leher atau cedera traksi dari penahan bahu dapat mengakibatkan gangguan

intima, diseksi, dan trombosis. Cedera karotis tumpul dapat muncul dengan koma atau

tanpa temuan neurologis. CT angiografi, angiografi, atau ultrasonografi dupleks mungkin

diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan cedera vaskular serviks mayor ketika

mekanisme cedera menunjukkan kemungkinan ini.

Perlindungan cedera tulang belakang leher yang berpotensi tidak stabil sangat

penting bagi pasien yang mengenakan helm pelindung jenis apa pun, dan harus sangat

berhati-hati saat melepas helm. Pelepasan helm dijelaskan di Bab 2: Manajemen Jalan

napas dan Ventilasi.

33
Cedera tembus pada leher berpotensi melukai beberapa sistem organ. Luka yang

meluas melalui platysma tidak boleh dieksplorasi secara manual, diperiksa dengan

instrumen, atau dirawat oleh individu di UGD yang tidak terlatih untuk menangani cedera

tersebut. Konsultasikanlah dengan bedah untuk evaluasi dan manajemen luka tersebut.

Temuan perdarahan arteri aktif, hematoma yang meluas, bruit arteri, atau gangguan jalan

napas biasanya memerlukan evaluasi operatif. Kelumpuhan ekstremitas atas yang tidak

dapat dijelaskan atau terisolasi harus meningkatkan kecurigaan cedera akar saraf serviks

dan harus didokumentasikan secara akurat.

Dada

Evaluasi visual dada, baik anterior maupun posterior, dapat mengidentifikasi

kondisi seperti pneumotoraks terbuka dan segmen flail besar. Evaluasi lengkap dinding

dada memerlukan palpasi seluruh rongga dada, termasuk klavikula, tulang rusuk, dan

tulang dada. Tekanan sternum bisa menyakitkan jika tulang dada retak atau ada

pemisahan kostokondral. Kontusio dan hematoma pada dinding dada akan mengingatkan

klinisi akan kemungkinan cedera tersembunyi.

Cedera dada yang signifikan dapat bermanifestasi dengan nyeri, dispnea, dan

hipoksia. Evaluasi meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi pada dada dan

rontgen dada. Auskultasi dilakukan pada dinding dada anterior untuk pneumotoraks dan

di dasar posterior untuk hemotoraks. Meskipun temuan auskultasi bisa sulit untuk

dievaluasi di lingkungan yang bising, namun bisa sangat membantu. Bunyi jantung yang

jauh dan penurunan tekanan nadi dapat mengindikasikan tamponade jantung. Selain itu,

tamponade jantung dan tension pneumotoraks diwaspadai oleh adanya distensi vena

leher, meskipun hipovolemia terkait dapat meminimalkan atau menghilangkan temuan

ini. Perkusi dada menunjukkan hiperresonansi. X-ray dada atau eFAST dapat

mengkonfirmasi adanya hemotoraks atau pneumotoraks sederhana. Fraktur tulang rusuk

mungkin ada, tetapi mereka mungkin tidak terlihat pada x-ray. Sebuah mediastinum

34
melebar dan tanda-tanda radiografi lainnya dapat menunjukkan pecahnya aorta. (Lihat

Bab 4: Trauma Toraks.)

Perut dan Panggul

Cedera perut harus diidentifikasi dan diobati secara agresif/tegas.

Mengidentifikasi cedera spesifik kurang penting daripada menentukan apakah intervensi

operatif diperlukan. Pemeriksaan awal abdomen yang normal tidak menyingkirkan cedera

intraabdominal yang signifikan. Observasi ketat dan evaluasi ulang abdomen yang sering,

sebaiknya oleh pengamat yang sama, penting dalam menangani trauma tumpul abdomen,

karena seiring waktu, temuan abdomen pasien dapat berubah. Keterlibatan awal ahli

bedah sangat penting.

Fraktur panggul dapat dicurigai dengan identifikasi ekimosis pada sayap iliaka,

pubis, labia, atau skrotum. Nyeri pada palpasi cincin panggul merupakan temuan penting

pada pasien yang sadar. Selain itu, penilaian nadi perifer dapat mengidentifikasi cedera

vaskular.

Pasien dengan riwayat hipotensi yang tidak dapat dijelaskan, cedera neurologis,

gangguan sensorium sekunder terhadap alkohol dan/atau obat lain, dan temuan abdomen

yang samar-samar harus dipertimbangkan sebagai kandidat untuk DPL, ultrasonografi

abdomen, atau, jika temuan hemodinamik normal, CT abdomen. Fraktur panggul atau

tulang rusuk bagian bawah juga dapat menghambat pemeriksaan diagnostik yang akurat

dari perut, karena meraba perut dapat menimbulkan rasa sakit dari daerah ini. (Lihat Bab

5: Trauma Perut dan Panggul.)

Perineum, Rektum, dan Vagina

Perineum harus diperiksa untuk memar, hematoma, laserasi, dan perdarahan

uretra. (Lihat Bab 5: Trauma Perut dan Panggul.) Pemeriksaan rektal dapat dilakukan

untuk menilai adanya darah di dalam lumen usus, integritas dinding rektum, dan kualitas

35
tonus sfingter. Pemeriksaan vagina harus dilakukan pada pasien yang berisiko mengalami

cedera vagina. Klinisi harus menilai adanya darah di kubah vagina dan laserasi vagina.

Selain itu, tes kehamilan harus dilakukan pada semua wanita usia subur.

Sistem Muskuloskeletal

Ekstremitas harus diperiksa untuk memar dan deformitas. Palpasi tulang dan

pemeriksaan identifikasi fraktur okultisme. Cedera ekstremitas yang signifikan dapat

terjadi tanpa adanya fraktur pada pemeriksaan atau rontgen. Pecahnya ligamen

menghasilkan ketidakstabilan sendi. Cedera unit otot tendon mengganggu gerakan aktif

dari struktur yang terkena. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kekuatan kontraksi otot

volunter dapat disebabkan oleh cedera saraf atau iskemia, termasuk yang disebabkan oleh

sindrom kompartemen. Pemeriksaan muskuloskeletal tidak lengkap tanpa pemeriksaan

punggung pasien. Kecuali punggung pasien diperiksa, cedera yang signifikan dapat

terlewatkan. (Lihat Bab 7: Trauma Tulang Belakang dan Tulang Belakang, dan Bab 8:

Trauma Muskuloskeletal.)

Sistem Neurologis

Pemeriksaan neurologis yang komprehensif meliputi evaluasi motorik dan

sensorik pada ekstremitas, serta evaluasi ulang tingkat kesadaran pasien dan ukuran serta

respons pupil. Skor GCS memfasilitasi deteksi awal perubahan dan tren status neurologis

pasien.

Konsultasi dini dengan ahli bedah saraf diperlukan untuk pasien dengan cedera

kepala. Pantau pasien sesering mungkin untuk penurunan tingkat kesadaran dan

perubahan dalam pemeriksaan neurologis, karena temuan ini dapat mencerminkan

memburuknya cedera intrakranial. Jika pasien dengan cedera kepala memburuk secara

neurologis, nilailah kembali oksigenasi, kecukupan ventilasi dan perfusi otak (yaitu,

ABCDEs). Intervensi bedah intrakranial atau tindakan untuk mengurangi tekanan

36
intrakranial mungkin diperlukan. Ahli bedah saraf akan memutuskan apakah kondisi

seperti hematoma epidural dan subdural memerlukan evakuasi, dan apakah fraktur

tengkorak yang tertekan memerlukan intervensi operatif. (Lihat Bab 6: Trauma Kepala.)

Fraktur tulang belakang toraks dan lumbal dan/atau cedera neurologis harus

dipertimbangkan berdasarkan temuan fisik dan mekanisme cedera. Cedera lain dapat

menutupi temuan fisik cedera tulang belakang, dan dapat tetap tidak terdeteksi kecuali

dokter melakukan pemeriksaan x-ray yang sesuai. Setiap bukti hilangnya sensasi,

kelumpuhan, atau kelemahan menunjukkan cedera besar pada tulang belakang atau sistem

saraf perifer. Defisit neurologis harus didokumentasikan ketika diidentifikasi, bahkan

ketika transfer ke fasilitas lain atau dokter untuk diperlukan pada perawatan khusus.

Perlindungan sumsum tulang belakang diperlukan setiap saat sampai cedera tulang

belakang dikecualikan. Konsultasi dini dengan ahli bedah saraf atau ahli bedah ortopedi

diperlukan jika cedera tulang belakang terdeteksi. (Lihat Bab 7: Trauma Tulang Belakang

dan Tulang Belakang.

37
TAMBAHAN UNTUK SECONDARY SURVEY

Tes diagnostik khusus dapat dilakukan selama secondary survey untuk

mengidentifikasi cedera tertentu. Ini termasuk pemeriksaan X-ray tambahan pada tulang

belakang dan ekstremitas; CT Scan kepala, dada, perut dan tulang belakang; kontras

urografi dan angiografi; USG transesofageal; bronskoskopi; esofagoskopi dan prosedur

diagnostik lainnya. Selama secondary survey, pencitraan tulang belakang servikal dan

torakolumbalis lengkap dapat diperoleh jika perawatan pasien tidak terganggu dan

mekanisme cedera menunjukkan kemungkinan cedera tulang belakang. Banyak pusat

trauma mengabaikan film polos dan menggunakan CT sebagai gantinya untuk mendeteksi

cedera tulang belakang.

Pembatasan gerak tulang belakang harus dipertahankan sampai cedera tulang

belakang telah dikecualikan. Film dada AP dan film tambahan berkaitan dengan lokasi

yang dicurigai cedera harus diperoleh. Seringkali prosedur ini memerlukan transportasi

pasien ke area lain di rumah sakit, dimana peralatan dan personel untuk menangani

kemungkinan yang mengancam jika mungkin tidak segera tersedia. Oleh karena itu, tes

khusus ini tidak boleh dilakukan sampai pasien periksa dengan cermat dan status

hemodinamiknya dengan cermat dan status hemodinamiknya telah dinormalisasi. Cedera

yang terlewatkan dapat meminimalkan dengan mempertahankan indeks kecurigaan yang

tinggi dan menyediakan pemantauan berkelanjutan terhadap status pasien selama

pelaksanaan pengujian tambahan

38
Gambar 7. Tes diagnostik khusus dapat dilakukan selama secondary survey untuk

mengidentifikasi cedera tertentu

Re-evaluasi

Pasien trauma harus dievaluasi kembali secara berkala untuk memastikan temuan

baru tidak diabaikan dan untuk menemukan adanya penurunan pada temua yang dicatat

sebelumnya. Saat cedera awal yang mengancam jiwa dapat ditangani, masalah lain yang

sama-sama mengancam jiwa dan cedera yang tidak terlalu parah dapat menjadi jelas yang

secara signifikan dapat mempengaruhi prognosis akhir pasien. Indeks kecurigaan yang

tinggi memfasilitasi diagnosis dan manajemen dini. Pemantauan terus menerus dari

tanda-tanda vital, saturasi oksigen dan keluaran urin sangat penting. Untuk pasien

dewasa, pemeliharaan output urin pada 0,5 mL/kg/jam diinginkan. Pada pasien anak yang

lebih tua dari 1 tahun, output 1 mL/kg/jam biasanya cukup. Analisis ABG berkala dan

pemantauan end-tidal Co2 berguna pada beberapa pasien. Menghilangkan rasa sakit yang

parah merupakan bagian penting dari pengobatan untuk pasien trauma. Banyak cederam

terutama cedera musculoskeletal, menghasilkan rasa sakit dan kecemasan pada pasien

yang sadar. Analgesia yang efektif biasanya memerlukan pemberian opiate atau ansiolitik

intravena (suntikan intramuscular harus dihindari). Agena-agen ini digunakan dengan

39
bijaksana dan dalam dosis kecil untuk mencapai tingkat kenyamanan pasien yang

diinginkan dan menghilangkan kecemasab sambil menghindari depresi pernafasan dan

mental dan perubahan hemodinamik.

Terapi Definitif

Setiap kali kebutuhan pengobatan pasien melebihi kemampuan institusi

penerima, transfer dipertimbangkan. Keputusan ini memerlukan penilaian rinci tentang

cedera pasien dan pengetahuan tentang kemampuan institusi, termasuk peralatan, sumber

daya, dan personel.

Pedoman transfer antar rumah sakit akan membantu menentukan pasien mana

yang memerlukan perawatan trauma tingkat tertinggi.Pedoman ini mempertimbangkan

status fisiologis pasien, cedera anatomi yang jelas, mekanisme cedera, penyakit penyerta,

dan faktor lain yang dapat mengubah prognosis pasien. UGD dan personel bedah akan

menggunakan pedoman ini untuk menentukan apakah pasien memerlukan transfer ke

pusat trauma atau rumah sakit terdekat yang sesuai mampu memberikan perawatan yang

lebih khusus. Fasilitas lokal terdekat yang sesuai dipilih, berdasarkan kemampuan

keseluruhannya untuk merawat pasien yang terluka.

Catatan dan Pertimbangan Hukum

Pertimbangan hukum khusus, termasuk catatan, persetujuan untuk perawatan, dan

bukti forensik, relevan dengan penyedia ATLS.

Catatan

Penyimpanan catatan sangat penting selama penilaian dan manajemen pasien

termasuk mendokumentasikan waktu dari semua kejadian. Seringkali lebih dari satu

dokter merawat pasien individu dan catatan yang tepat sangat penting bagi praktisi

selanjutnya untuk mengevaluasi kebutuhan pasien dan status klinis. Pencatatan yang

40
akurat selama resusitasi dapat difasilitasi dengan menugaskan anggota tim trauma

bertanggung jawab untuk mencatat dan menyusun semua informasi perawatan pasien

secara akurat.

Masalah medikolegal sering muncul dan catatan yang tepat sangat membantu

bagi semua individu yang bersangkutan. Pelaporan kronologis dengan lembar alur

membantu dokter yang hadir dan berkonsultasi dengan cepat menilai perubahan kondisi

pasien.

Persetujuan untuk Perawatan

Persetujuan diminta sebelum perawatan, jika memungkinkan. Dalam keadaan

darurat yang mengancam jiwa, seringkali tidak mungkin untuk mendapatkan persetujuan

tersebut. Dalam kasus ini, berikan perawatan terlebih dahulu, dan dapatkan persetujuan

formal nanti

Bukti forensik

Jika aktivitas kriminal diduga terkait dengan cedera pasien, personel yang

merawat pasien harus menyimpan bukti. Semua barang, seperti pakaian dan peluru,

disimpan untuk petugas penegak hukum. Penentuan laboratorium konsentrasi alkohol

dalam darah dan obat lain mungkin sangat relevan dan memiliki implikasi hukum yang

substansial. Di banyak pusat, pasien trauma dinilai oleh tim

Kerja Tim

Tim trauma biasanya mencakup pemimpin tim, manajer saluran napas, perawat

trauma, dan teknisi trauma, serta berbagai residen dan mahasiswa kedokteran. Spesialisasi

pemimpin tim trauma dan manajer saluran napas bergantung pada praktik lokal, tetapi

mereka harus memiliki pengetahuan kerja yang kuat tentang prinsip-prinsip ATLS.

41
Untuk tampil efektif, setiap tim trauma harus memiliki satu anggota yang

menjabat sebagai pemimpin tim. Ketua tim mengawasi, memeriksa, dan mengarahkan

penilaian; idealnya dia tidak terlibat langsung dalam penilaian itu sendiri. Pemimpin tim

belum tentu orang paling senior yang hadir, meskipun dia harus dilatih dalam ATLS dan

dasar-dasar manajemen tim medis. Ketua tim mengawasi persiapan kedatangan pasien

untuk memastikan kelancaran transisi dari lingkungan pra-rumah sakit ke lingkungan

rumah sakit. Dia memberikan peran dan tugas kepada anggota tim, memastikan bahwa

setiap peserta memiliki pelatihan yang diperlukan untuk berfungsi dalam peran yang

ditugaskan. Berikut ini adalah beberapa peran yang mungkin, tergantung pada ukuran dan

komposisi tim:

• Menilai pasien, termasuk jalan napas

• Penilaian dan manajemen

• Membuka pakaian dan mengekspos pasien

• Menerapkan peralatan pemantauan

• Mendapatkan akses intravena dan mengambil darah

• Berfungsi sebagai juru tulis atau pencatat kegiatan resusitasi

Pada saat kedatangan pasien, pemimpin tim mengawasi serah terima oleh

personel EMS, memastikan bahwa tidak ada anggota tim yang mulai menangani pasien

kecuali kondisi yang mengancam jiwa sudah jelas. (yaitu, “hands-off hand over”).

Akronim yang berguna untuk mengelola langkah ini adalah MIST:

• Mechanism (and time) of injury

• Injuries found and suspected

42
• Symptoms and Signs

• Treatment initiated

Saat penilaian ABC berlangsung, penting bagi setiap anggota untuk mengetahui

apa yang telah ditemukan dan/atau dilakukan oleh anggota lain. Proses ini difasilitasi

dengan memverbalisasikan setiap tindakan dan masing-masing menemukan dengan

lantang tanpa lebih dari satu anggota berbicara pada saat yang bersamaan. Permintaan dan

perintah tidak dinyatakan secara umum, melainkan ditujukan kepada individu, dengan

nama. Orang itu kemudian mengulangi permintaan/pesanan itu dan kemudian

mengkonfirmasi penyelesaiannya dan, jika berlaku, hasilnya.

Ketua tim memeriksa kemajuan penilaian, secara berkala merangkum temuan dan

kondisi pasien, dan memanggil konsultan sesuai kebutuhan. Ia juga memerintahkan

pemeriksaan tambahan dan, bila perlu, menyarankan/mengarahkan pemindahan pasien.

Selama proses berlangsung, semua anggota tim diharapkan untuk memberikan

komentar, mengajukan pertanyaan, dan memberikan saran, jika perlu. Dalam hal ini,

semua anggota tim lainnya harus memperhatikan dan kemudian mengikuti arahan

pemimpin tim. Ketika pasien telah meninggalkan UGD, pemimpin tim melakukan sesi

“Setelah Tindakan”.

43
Gambar 8. Dibanyak pusat, pasien trauma dinilai oleh tim. Untuk bekerja secara efektif,

setiap tim memiliki satu anggota yang bertindak sebagai pemimpin tim

44
RINGKASAN

1. Urutan prioritas yang benar untuk penilaian pasien cedera multipel adalah

persiapan; triase; survei primer dengan resusitasi; tambahan untuk survei primer dan

resusitasi; pertimbangkan kebutuhan transfer pasien; survei sekunder, tambahan untuk

survei sekunder; evaluasi ulang; dan perawatan definitif lagi mengingat kebutuhan untuk

transfer.

2. Prinsip-prinsip survei primer dan sekunder serta pedoman dan teknik dalam

fase perawatan resusitasi awal dan perawatan definitif berlaku untuk semua pasien cedera

multipel.

3. Riwayat medis pasien dan mekanisme cedera sangat penting untuk

mengidentifikasi cedera. Kesalahan yang terkait dengan penilaian awal dan manajemen

pasien cedera perlu diantisipasi dan dikelola untuk meminimalkan dampaknya.

4. Survei primer harus sering diulang, dan setiap kelainan akan meminta

penilaian ulang yang menyeluruh.

5. Identifikasi dini pasien yang memerlukan transfer ke tingkat perawatan yang

lebih tinggi meningkatkan hasil.

45

You might also like