You are on page 1of 21

MAKALAH

LANDASAN – LANDASAN PEMBELAJARAN TEMATIK

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Pembelajaran Tematik
Dosen Pengampu: Khodijah, M.Pd.I.

Disusun Oleh
Kelompok 2:

1. Awalul Kusna 1901032006


2. Echa Veronika 1901031025

PGMI C
Semester 6

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO
T.P 2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yan telah memberikan kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin
penyususn tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan baik. shalawat dan
salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta yakni Nabi
Muhammad SAW.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang
“Landasan – landasan Pembelajaran Tematik”, yang disajikan berdasarkan
pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan
berbagai rintangan. Baik itu dari diri penyususn maupun yang datang dari luar.
Namun dengan penuh kesabaran dan pertolongan dari Allah SWT akhirnya
makalah ini dapat kami selesaikan.
Kami berterimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalammengerjakan makalah ini. Dan kami minta maaf apabila terdapat
kekurangan dan kesalahan dalam tulisan makalah ini, karena pada dasarnya kami
masih seorang Mahasiswa yang masih dalam proses pembelajaran. Kami harap
adanya saran dan kritikan yang bersifat membangun agar makalah ini menjadi
lebih baik.
Akhir kata kami berharap semoga makalah sederhana ini dapat dipahami
dan memberikan manfaat maupun inspirasi untuk pembaca.
Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

Metro, 27 Februari 2022

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL..........................................................................i
KATA PENGANTAR...........................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................1
C. Tujuan..........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................2
A. Landasan – landasan Pembelajaran Tematik..............................2
B. Kurikulum Dalam Pembelajaran tematik....................................11

BAB III PENUTUP...............................................................................16


A. Kesimpulan..................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA............................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembelajaran tematik merupakan pembelajaran yang bermakna bagi
siswa. Pembelajaran tematik ini lebih menekankan pada penerapan konsep
belajar sambil melakukan sesuatu. Oleh karena itu, guru harus merancang
pengalaman belajar yang akan mempengaruhi kebermaknaan belajar siswa.
Pengalaman belajar menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual yang
menjadikan proses pembelajaran lebih efektif.
Kaitan konseptual antar mata pelajaran yang dipelajari akan membentuk
skema, sehingga siswa memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan.
Selain itu, dengan penerapan pembelajaran tematik disekolah dasar akan
sangat membantu siswa, hal ini dilihat dari tahap perkembangan siswa yang
masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan.
Pembelajaran tematik adalah pembelajaran terpadu yang menggunakan
tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan
pengalaman yang bermakna kepada siswa, tema adalah pokok pikiran atau
gagasan pokok yang menjadi pembicaraan. Dengan tema diharapkan akan
memberikan banyak keuntungan.

B. Rumusan Masalah
1. Apasaja Landasan – landasan dalam Pembelajaran Tematik?
2. Bagaimanakah Kurikulum dalam Pembelajaran tematik?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Landasan – landasan dalam Pembelajaran Tematik.
2. Untuk mengetahui Kurikulum dalam Pembelajaran Tematik.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. LANDASAN – LANDASAN PEMBELAJARAN TEMATIK


Landasan pembelajaran tematik berangkat pada 3 (tiga) landasan, yaitu
landasan filosofis, landasan psikologis, dan landasan yuridis.
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis dalam pembelajaran tematik maksudnya adalah
jenis-jenis aliran filsafat yang menjadi dasar pembelajaran tematik. Dalam
hal ini, gagasan tentang model pembelajaran tematik lahir sudah cukup
lama, yaitu semenjak munculnya tokoh filsafat John Dewey. Secara
filosofis, kemunculan pembelajaran tematik sangat dipengaruhi oleh tuga
aliran filsafat modern yaitu: progresivisme, konstruktivisme, dan
humanisme1.
Penjelasan lengkapnya mengenai tiga filsafat modern yang menjadi
basis pembelajaran tematik duraikan sebagai berikut.
a) Aliran Progresivisme
Memandang bahwa proses pembelajaran perlu ditekankan pada
pembentukan kreatifitas, pemberian sejumlah kegiatan, suasana yang
alamiah (natural), dan memperhatikan pengalaman siswa. Dalam
proses belajar siswa dihadapkan pada permasalahan yang menuntut
pemecahan. Untuk memecahkan masalah tersebut siswa harus
memilih dan menyusun ulang pengetahuan dan pengalaman belajar
yang telah dimilikinya. Atau dengan kata lian, filsafat progresivisme
menekankan pada fungsi kecerdasan para siswa.2
Ada enam prinsip aliran progresivisme yang menjadi landasan
dalam proses pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh George R.

1
Rusman, Model-model Pembelajaran tematik, (Yogyakarta: Diva Press, 2013), hlm.
255.
2
Ibnu Hajar, Panduan Lengkap Kurikulum tematik, (Yogyakarta: Diva Press, 2013),
hlm. 26.

2
Knight sebagai berikut:3pertama, proses pendidikan menemukan asal-
muasal dan tujuan pada anak. Maksudnya, subjek didik (siswa)
merupakan pusat pembelajaran; oleh karenanya, kebutuhan,
kepentingan, dan inisiatif siswa menjadi pangkal dalam
pengembangan kurikulum dan metode pembelajaran. Siswa disini
dipandang mempunyai suatu keinginan lama untuk belajar dan
menemukan berbagai hal tentang dunia di sekelilingnya. Ia tidak
hanya mempunyai keinginan bawaan lahir (nborn), melainkan juga
mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi dalam
hidupnya. Keinginan dan kebutuhan ini memberi anak ketertarikan
tertentu untuk mempelajari berbagai hal yang akan membuatnya
memecahkan problem-problem dan karena itu dapat memenuhi
keinginan-keinginannya.
Kedua, para siswa adalah aktif bukan pasif. Maksudnya, siswa
bukanlah makhluk pasif yang sekedar menanti guru mengisi akal
pikirannya dengan banyak informasi. Para siswa adalah makhluk
dinamis yang secara alamiah berkeinginan untuk belajar dan akan
belajar jika mereka tidak dibuat frustasi dalam belajar oleh para guru
yang berusaha menyodorkan kemauannya pada mereka. Dewey dalam
Knight mencatat bahwa “anak selalu siap aktif, dan persoalan
pendidikan adalah persoalan memandu keaktifannya dalam
memberikan arahan.”4
Ketiga, peran guru adalah sebagai penasihat, pembimbing, dan
pemamdu, dari-pada sebagai rujukan otoriter (tidak bisa dibantah) dan
pengarah ruang kelas. Guru tidak bisa menjadi “rujukan” dalam
pengertian tradisional, yaitu sebagai penyalur informasi esensial. Hal
ini benar karena realitas utama eksistensi manusia itu berubah, dan
sebagai akibatnya tidak seorang pun mengetahui bentuk masa yang
akan datang dan informasi esensial (baku tidak berubah) yang
3
George R. Knight, Filsafat Pendidikan, Diterj. Oleh: Mahmud Arif, (Yogyakarta:
CDIE bekerja sana dengan Gama Media, 2007), hlm. 148-156.
4
Ibid., hlm. 151

3
dibutuhkan di masa depan. Oleh karena itu, tidak bisa ada
pembelajaran otoritatif pun tentang serangkaian terbatas pengetahuan
esensial.
Di sisi lain, ada pula pandangan bahwa guru mempunyai
pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak dibandingkan siswa.
Hal inilah yang menempatkannya pada posisi sebagai pemandu
diwilayah yang pernah ia lalui, sebagai penasihat dalam keadaan para
siswa menemui jalan buntu, dan sebagai pengawal perjalanan di
lingkungan yang baru baginya dalam dunia yang berkembang dan
berubah terus-menerus. Peran guru dapat dilihat sebagai peran
pembantu siswa dalam belajar mandiri sehingga ia akan menjadi
sosok orang dewasa yang mandiri dalam lingkungan yang berubah.
Keempat, sekolah atau madrasah adalah sebuah dunia kecil
(miniatur) masyarakat besar. Dalam aliran progresivisme, sekolah
tidak akan dilihat sebagai suatu setting sosial yang berbeda di mana
pendidikan terselenggara dalam cara yang betul-betul unik.
Pendidikan di sekolah-sekolah ataupun madrasah perlu dilihat dalam
sudut pandang bagaimana orang-orang itu didik dan diajar dalam
dunia yang luas di sekeliling mereka, karena pendidikan berarti adalah
kehidupan itu sendiri dan tidak mengambil tempat dunia tersendiri
dalam dinding-dinding sekolah atau madrasah. Dengan kata lian,
pendidikan di sekolah atau madrasah senantiasa selalu responsif dan
antisipatif terhadap dinamika perubahan masyarakat.
Kelima, aktivitas diruang kelas memfokuskan pada pemecahan
masalah dari pada metode-metode artifisial (buatan) untuk pengajaran
materi kajian. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa pengetahuan
tidak datang lewat penerimaan informasi sebagai sebuah substansi
abstrak yang entah bagaimana dialihkan dari guru kepada siswa.
Keenam, atmosfer sosial sekolah atau madrasah harus kooperatif
dan demokratis. Pemikiran ini merupakan pengembangan lebih lanjut
dari keyakinan kalangan progresisme bahwa “sekolah adalah sebuah

4
miniatur dari masyarakat yang lebih besar (luas)” dan bahwa
“pendidikan adalah kehidupan itu sendiri lebih dari sekedar sebagai
sebuah persiapan untuk hidup.”

b) Aliran Konstruktivisme
Filsafat konstruktivisme merupakan salah satu jenis filsafat
pengetahuan. Dikatakan oleh Paul Suparno, filsafat pengetahuan
adalah bagian dari filsafat yang mempertanyakan soal pengetahuan
dan juga bagaimana kita dapat mengetahui sesuatu; adapun tiga
pertanyaan utama dari filsafat ini yaitu: pertama, apakah pengetahuan
itu, kedua, bagaimana kita memperoleh pengetahuan, bagaimana kita
tahu tentang sesuatu, ketiga, apakah kebenaran itu.5
Lebih lanjut dikatakan oleh Paul Suparno prinsip-prinsip
konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan
matematika titik secara umum prinsip-prinsip itu berperan sebagai
referensi dan refleksi kritis terhadap praktik, pembaruan, dan
perencanaan pendidikan sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang
sering diambil dari konstruktivisme antara lain: pertama, pengetahuan
dibangun oleh siswa secara aktif; kedua, tekanan dalam proses belajar
terletak pada siswa; ketiga, mengajar adalah membantu siswa belajar;
keempat, tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada
hasil akhir; kelima, kurikulum menekankan partisipasi siswa; keenam,
guru adalah fasilitator.6
Konstruktivisme melihat anak megkonstruksi pengetahuannya
melalui pengalaman langsung siswa (direct experiences) sebagai kunci
dalam pembelajaran. Menurut aliran ini, pengetahuan adalah hasil
konstruksi atau bentukan manusia. Manusia mengkonstruksi
pengetahuannya melalui interaksi dengan obyek, fenomena,
pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer
5
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalm pendidikan, (Yogyakarta: Kanisus,
2010), hlm. 19
6
Ibid., hlm. 73

5
begitu saja dari seorang guru kepada anak, tetapi harus
diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing siswa. Pengetahuan
bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang
berkembang terus menerus. Keaktifan siswa yang diwujudkan oleh
rasa ingin tahunya sangat berperan dalam perkembangan
pengetahuannya.

c) Filsafat Humanisme
Aliran humanisme melihat siswa dari segi keunikan/kekhasannya,
potensinya, dan motivasi yang dimilikinya. Sehingga siswa dipandang
memiliki kesamaan dan keunikan masing-masing.7 Aliran ini lebih
menekankan penanaman nilai moral individu dalam pembelajaran
terutama dalam gaya belajarnya.8
Implikasi dari pandangan humanistik tersebut dalam kegiatan
pembelajaran diungkap oleh Rusman, yaitu: pertama, layanan
pembelajaran selain yang bersifat klasikal juga bersifat Individual;
kedua, Pengakuan adanya siswa yang lambat (slow learner) Dan siswa
yang cepat; ketiga, penyikapan terhadap hal-hal yang unik dari diri
siswa, baik yang menyangkut faktor personal dan individual atau yang
menyangkut faktor lingkungan sosial atau kemasyarakatan.9
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa secara filosofis,
pembelajaran tematik itu sangat memperhatikan kebutuhan siswa,
berdasarkan pengalaman siswa, kreativitas yang dapat dikembangkan
pada usia dasar, serta potensi dan motivasi yang berbeda di siswa
sipandang secara holistik sehngga membangun keunikan dan ciri khas
dari masing-masing siswa usia dasar.

d) Landasan Psikologis
7
Mohamad Muklis, “PEMBELAJARAN TEMATIK”, FENOMENA Vol, IV No. 1,
2012, hlm. 67
8
Nur Hamzah, Cakap Dan Kreatif Mendidik, (Jawa Barat: Edu Publish, 2020), hlm.
129.
9
Rusman, loc. Cit.

6
Landasan psikologis dalam pembelajaran Tematik terutama
berkaitan dengan psikologi perkembangan peserta didik dan psikologi
belajar. psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam menentukan
isi/materi pembelajaran tematik yang diberikan kepada siswa agar tingkat
keluasan dan kedalamannya sesusai dengan tahap perkembangan peserta
didik.10
Melalui hasil observasinya, Piaget meyakini bahwa perkembangan
kognitif terjadi dalam empat tahapan. Masing-masing tahapan
berhubungan dengan usia dan tersusun dari jalan pikiran yang berbeda-
beda. Menurut Piaget, semakin banyak informasi tidak membuat pikiran
anak lebih maju. Kulaitias kemajuan berbeda-beda setiap anak. Tahapan
Piaget tersebut terdiri dari fase sensorimotor, pra-operasional, operasional
konkret, dan operasional format.11
Tahapan tersebut dapat dilihat dari karakteristik belajar anak usia
SD/MI (7-11 tahun), yang dimana pada usia tersebut anak pada tahapan
operasional-konkret. Anak pada usia tersebut memiliki kecenderungan
perilaku, yaitu: pertama, anak mulai Memandang dunia secara objektif,
bergeser dari satu aspek aspek lain secara reflektif dan memandang unsur-
unsur secara serentak. Kedua, anak mulai berpikir secara operasional;
ketiga, anak mampu menggunakan cara berpikir operasional untuk
mengklasifikasikan benda-benda; dan keempat, anak dapat memahami
konsep substansi, panjang, lebar, luas, tinggi, rendah, ringan, dan berat.12
Dalam tahap perkembangannya tersebut kecenderungan anak usia
SD/MI (7-11 rahun) ketika belajar mempunyai tiga karakteristik yang
menonjol, yaitu: konkret, integratif, dan huerarkis. Dijelaskan secara lebih
detail ketiga hal tersebut oleh Rusman sebagai berikut:
1. Pertama, konkret maksudnya proses belajar beranjak dari hal-hal
yang konkret dengan titik penekanan pada pemanfaatan lingkungan

10
Nur Hamzah,op. Cit. hlm. 130.
11
John W. Santrock, Psikologi Pendidikan Edisi Kedua, Diterj. Oleh: Tri Wibowo B.S,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2007), hlm. 47.
12
Rusman, op. Cit. hlm. 251

7
sebagai sumber belajar yang dapat dioptimalkan untuk pencapaian
proses dan hasil pembelajaran yang berkualitas bagi anak usia
SD/MI. Penggunaan lingkungan akan menghasilkan proses dan hasil
belajar yang lebih bermakna dan bernilai, karena siswa dihadapkan
dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya, keadaan yang alami,
sehingga lebih nyata, lebih faktual, lebih bermakna, dan
kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan.
2. Kedua, integratif maksudnya adalah memandang sesuatu yang
dipelajari sebagai suatu kebutuhan dan terpadu. Anak usia SD/MI
belum mampu memilih-milih konsep dan berbagai disiplin ilmu, hal
ini menggambarkan cara berpikir deduktif. Dengan demikian,
keterpaduan konsep tidak dipilah-pilah dalam berbagai disiplin ilmu,
tetapi dikait-kaitkan menjadi pengalaman belajar yang bermakna
(meaningful learning).
3. Ketiga, hierarkis maksudnya adalah berkembang secara bertahap
mulai dari hal yang sederhana ke hal-hal yang lebih kompleks. Oleh
karena itu, dalam hal ini persoalan-persoalan seperti urutan logis,
keterkaitan antar materi pelajaran, dan cakupan keluasan materi
pelajaran menjadi penting dan sangat perlu untuk diperhatikan.13
Menurut Retno Widyaningrum Dalam tulisannya yang dimuat jurnal
Cendekia menerangkan bahwa landasan psikologis dalam pembelajaran
tematik terutama berkaitan dengan psikologi perkembangan peserta didik
dan psikologi belajar. Lebih lanjut Retno menjelaskan Psikologi
Perkembangan dibutuhkan, lebih utama dalam upaya menentukan isi,
bahan ajar atau materi pembelajaran tematik yang diberikan kepada siswa
agar tingkat keluasan dan kedalamannya sesuai dengan fase perkembangan
peserta didik. Kemudian pada tahap selanjutnya, dibutuhkan dukungan
dari aspek psikologi belajar untuk memberikan kontribusi dalam hal

13
Ibid., hlm. 251-252

8
bagaimana isi/ materi pembelajaran tematik tersebut disampaikan atau
diajarkan kepada siswa dan bagaimana pula siswa harus mempelajarinya.14
Lebih lanjut, Trianto menerangkan beberapa konsep yang mendasari
pentingnya pembelajaran tematik bagi anak secara psikologi sebagai
berikut:
1. Pemahaman terkait konsep perkembangan anak didik dapat
ditempuh melalui proses study perkembangan, diantaranya bersifat
longitudinal, cross sectional, psikoanalitik, sosiologis dan studi
kasus. Studi longitudinal seperti pernah dicontohkan Wiliard C.
Olson Yakni dengan memperoleh sejumlah informasi tentang
perkembangan individu melalui pengamatan dan pengkajian
perkembangan sepanjang tahapan perkembangannya mulai dari lahir
hingga dewasa. Studi dengan metode cross sectional seperti yang
pernah dipraktekkan Arnold Gessel ditempuh dengan melakukan
pengamatan dan kajian terhadap berbagai kelompok selama satu
periode yang singkat, sebagaimana dicontohkannya (Arnold Gessel)
dengan mempelajari ribuan anak dari berbagai jenjang atau tahapan
usia, mencatat ciri-ciri fisik dan mental, pola-pola perkembangan
dan kemampuan serta tingkah laku mereka. Selanjutnya, studi
psikoanalitik yang dikembangkan oleh Sigmund Freud lebih
menekankan pada pengamatan untuk mempelajari perkembangan
anak, terutama pada masa balita (kanak-kanak), Sehingga dalam
kajiannya ia menemukan bahwa anak-anak yang yang yang pernah
mendapatkan pengalaman tidak menyenangkan akan berdampak
pada masa-masa berikutnya. Metode sosiologik, digunakan oleh
Robert havighurst yang mempelajari perkembangan anak atas tugas-
tugas yang diembannya dalam kehidupan bermasyarakat serta
penyelesaian masalah yang diperlihatkan anak. Terakhir metode

14
Retno Widyaningrum, MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK DI MI/SD, Cendikia Vol.
10 No. 1, 2012, hlm. 111.

9
studi kasus yang dipraktekkan ujian Piaget terkait perkembangan
kognitif anak.
2. Berasas ikan tiga teori pendekatan terkait perkembangan individu,
yakni pendekatan penahapan (stage approach), pendekatan
diferensial (differential approach), dan pendekatan ipsatif (ipsative
approach). Adapun pendekatan penahapan memaknai bahwa
setiap individu melalui tahapan perkembangan pada setiap
pertambahan bilangan usia, dan setiap tahapan perkembangan
tersebut memiliki karakteristik tertentu yang berbeda dengan tahap
lainnya. Di sisi lain, pendekatan diferensial memandang bahwa
individu memiliki persamaan dan perbedaan yang menjadikan
kesemuanya memiliki keunikan tertentu. Sedangkan pendekatan
ipsatif adalah suatu pendekatan yang berupaya melihat individu
berdasarkan karakteristiknya atau ciri khas.15
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dipahami bahwa secara
psikologis, pembelajaran tematik berkaitan erat dengan perkembangan
peserta didik dan psikologi belajar. Adapun Psikologi perkembangan
peserta didik memiliki kegunaan dalam menentukan luas dalamnya materi
yang diberikan kepada anak, sedangkan psikologi belajar lebih kepada
penekanan cara mengajarkan materi tematik terhadap anak didik. Sehingga
Selaras antara pembelajaran yang diberikan dengan tingkat perkembangan
anak didik.

e) Landasan Yuridis
Dalam jurnal Cendekia Retno Widyaningrum berpendapat bahwa
landasan yuridis dalam pembelajaran tematik berkaitan erat dengan
berbagai kebijakan atau peraturan yang mendukung pelaksanaan
pembelajaran tematik pada anak usia dini. Adapun landasan yuridis yang
dimaksud ialah sebagai berikut:
15
Trianto Ibnu Badar al-Tabany, Desain Pengembangan Pembelajaran Tematik: Bagi
Anak Usia Dini TK/RA & Anak Usia Kelas Awal SD/MI, ed. Jauharoh Alfin, (Jakarta: Kencana,
2011), hlm. 51-54.

10
1. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak“ Setiap anak
berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan
minat dan bakatnya.”16
2. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional“ Setiap
peserta didik Pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan
pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya.”17

Berdasarkan regulasi tersebut, dapat dipahami bahwa pembelajaran


tematik ditunjukkan kepada pembentukan karakter pada anak, dengan
ditambah pemenuhan kebutuhan minat, Bakat, dan potensi anak sesuai
tahap perkembangannya.

B. KURIKULUM DALAM PEMBELAJARAN TEMATIK


Istilah kurikulum “curriculum” pada mulanya berasal dari kata “curir”
yang berarti pelari dan “curere” yang mengandung makna tempat berpacu,
yang pada awal mulanya kata tersebut digunakan di dalam dunia olah raga.
Pada saat itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh
seorang pelari mulai dari start sampai finish untuk memperoleh medali atau
penghargaanlam kurikulum 2013 yaitu untuk meningkatkan mutu proses dan
hasil pendidikan18.
Di Indonesia, pengertian kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu19.
Dalam kurikulum 2013, Pembelajaran tematik merupakan suatu
pendekatan dalam pembelajaran yang secara sengaja mengaitkan atau
16
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 9 Ayat 1
17
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB
IV 1 Pont B
18
Mida Latifatul Muzamiroh, Kumpas Tuntas Kurikulum 2013, (Jakarta: Kata Pena,
2013), hlm. 13
19
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat
19.

11
memadukan beberapa kompetensi dasar (KD) dan indicator dari kurikulum
atau standard isi (SI) dari beberapa mapel menjadi satu kesatuan untuk
dikemas dalam satu tema.20
Perkembangan zaman yang mulai memasuki kurikulum 2013 menuntut
pembelajarannya sudah bersentra pada pembelajaran tematik yang
menggabungkan antara mata pelajaran satu dengan pelajaran lainnya.
Penggabungan berbagai pelajaran tentunya akan menyulitkan para guru.
Perubahan Kurikulum KTSP menjadi Kurikulum 2013 menghendaki lembaga
pendidikan untuk melakukan perubahan secara terpadu, termasuk standar
pendidik dan tenaga kependidikan, standar proses dan standar penilaian.
Penggunaan pembelajaran tematik integratif, dalam kurikulum 2013 ini
pendekaran pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan scientific atau
pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah ini juga membingungkan para guru
jika mereka tidak mempelajarinya.21
Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang menekankan agar materi
pelajaran sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik. Juga perlunya
pembelajaran yang mampu mengembangkan kreativitas siswa. Dan yang
sangat diperlukan adalah pendidikan karakter. Konsep dasar kurikulum 2013
dikembangkan berdasarkan faktor-fakor sebagai berikut:
1. Tantangan internal, antara lain terkait dengan kondisi pendidikan
dikaitkan dengan tuntutan pendidikan yang mengacu kepada 8 Standar
Nasional Pendidikan.
2. Tantangan eksternal, antara lain terkait dengan arus globalisasi dan
berbagai isu yang terkait dengan masalah lingkungan hidup, kemajuan
teknologi dan informasi, kebangkitan industri kreatif dan budaya, dan
perkembangan pendidikan ditingkat internasional.
3. Penyempurnaan pola pikir.
4. Penguatan tata kelola kurikulum.

20
Daryanto, Pembelajaran Tematik Terpadu Terintegrasi Kurikulum 2013, (Jakarta:
Gava Media,2014), hlm.31.
21
Bayu Purbha Sakti , dan Sri Budiyono, PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
TEMATIK DI SDN 1 KRAGILAN, Jurnal Ilmiah Kependidikan Volume 10 Nomor 1, 2019, hlm. 2.

12
5. Penguatan materi.22
Kurikulum 2013 sering disebut juga dengan kurikulum berbasis
karakter. Kurikulum ini merupakan kurikulum baru yang dikeluarkan oleh
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Kurikulum
2013 sendiri merupakan sebuah kurikulum yang mengutamakan pada
pemahaman, skill, dan pendidikan berkarakter, dimana siswa dituntut untuk
paham atas materi, aktif dalam proses berdiskusi dan presentasi serta
memiliki sopan santun dan sikap disiplin yang tinggi.23
Kurikulum 2013 bersifat tematikintegratif yang mengambil pokok
bahasan pelajaran berdasarkan tema dengan menggabungkan beberapa
pelajaran menjadi satu. Kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak generasi
yang siap di dalam menghadapi masa depan. Karena itu kurikulum disusun
untuk mengantisipasi perkembangan masa depan. Titik beratnya, bertujuan
untuk mendorong peserta didik agar memiliki pengalaman belajar dalam 5 M
yakni mengamati, menanya, mencari informasi, mengasosiasi, dan
mengomunikasikan apa yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah
menerima materi. Selain yang telah disebutkan terdahulu, Kurikulum 2013
juga menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu
menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific appoach)
yang dalam pembelajarannya lebih menitik beratkan pada kegiatan
mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring.
Proses pembelajaran menyentuh tiga ranah, yaitu pengetahuan, sikap,
dan keterampilan. Proses penilaian terhadap hasil belajar menggunakan
Penilaian autentik (Authentic Assessment) yakni penilaian yang dilakukan
berlandaskan pada hasil pengukuran yang bermakna secara signifikan atas
hasil belajar peserta didik untuk ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Secara konseptual, kurikulum 2013 membawa perubahan signifikan.

22
Masrifa Hidayani, PEMBELAJARAN TEMATIK DALAM KURIKULUM 2013, At-
Ta’lim, Vol. 15, No. 1, 2016, hlm. 155.
23
Ibid., hlm. 156

13
Perubahan itu tentunya dimaksudkan agar pendidikan menjadi lebih baik
(Permendikbud No. 66, 2013).24
Kemendikbud (2013) memaparkan ada sepuluh elemen yang harus
dikuasai guru dalam mengaplikasikan pembelajaran tematik.
a. Mereduksi tingkat kealpaan atau bernilai tambah berfikir reflektif
b. Memperkaya sensori pengalaman di bidang sikap, pengetahuan dan
keterampilan
c. Menyajikan isi atau substansi pembelajaran yang bermakna
d. Lingkungan yang memperkaya pembelajaran
e. Bergerak memacu pembelajaran (Movement to Enhance Learning)
f. Membuka pilihan-pilihan
g. Optimasi waktu secara tepat
h. Kolaborasi
i. i. Umpan balik segera
j. Umpan balik segera
k. Ketuntasan atau aplikasi
Proses pembelajaran merupakan sebuah fenomena kompleks, dimana
guru lebih banyak berhubungan dengan pola pikir peserta didik (siapapun -
diamanapun) yang memiliki setumpuk kata, pikiran, tidakan yang dapat
mengubah lingkungan baik di keluarga, di sekolah maupun di masyarakat.25
Dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan
peraturan, mengenai isi dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan dalam
menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar. Inti dari kurikulum adalah
pengalaman belajar yang banyak kaitannya dengan melakukan berbagai
kegiatan, interaksi sosial, dilingkungan sekolah, proses kerjasama dengan
kelompok, bahkan interaksi dengan lingkungan fisik seperti gedung sekolah
dan ruang sekolah. Dengan demikian pengalaman itu bukan sekedar

24
Rini Kristiantari, ANALISIS KESIAPAN GURU SEKOLAH DASAR DALAM
MENGIMPLEMENTASIKAN PEMBELAJARAN TEMATIK INTEGRATIF MENYONGSONG
KURIKULUM 2013, Jurnal Pendidikan Indonesia Vol. 3, No. 2, 2014, hlm. 2.
25
Asnawi Ronald Fransyaigu Bunga Mulyahati, KONSEP PEMBELAJARAN
TERPADU DALAM KURIKULUM 2013 DI SEKOLAH DASAR, Jurnal Seuneubok Lada, Vol. 3,
No.2, 2016, hlm. 7.

14
mempelajari mata pelajaran, tetapi yang terpenting adalah pengalaman
kehidupan.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Landasan filoofis dalam pembelajaran tematik sangat dipengaruhi oleh
tiga aliran filsafat yaitu: (1) progresivisme, (2) konstruktivisme, dan (3)
humanisme. Aliran progresivisme memandang proses pembelajaran perlu
ditekankan pada pembentukan kreatifitas, pemberian sejumlah kegiatan,
suasana yang alamiah (natural), dan memperhatikan pengalaman siswa.
Aliran konstruktivisme melihat pengalaman langsung siswa (direct
experiences) sebagai kunci dalam pembelajaran. Menurut aliran ini,
pengetahuan adalah hasil konstruksi atau bentukan manusia. Manusia
mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan obyek, fenomena,
pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu
saja dari seorang guru kepada anak, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh
masing-masing siswa. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan
suatu proses yang berkembang terus menerus. Keaktifan siswa yang
diwujudkan oleh rasa ingin tahunya sangat berperan.
Landasan psikologis dalam pembelajaran tematik terutama berkaitan
dengan psikologi perkembangan peserta didik dan psikologi belajar.
Psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam menentukan isi/materi
pembelajaran tematik yang diberikan kepada siswa agar tingkat keluasan dan
kedalamannya sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik. Psikologi
belajar memberikan kontribusi dalam hal bagaimana isi/materi pembelajaran
tematik tersebut disampaikan kepada siswa dan bagaimana pula siswa harus
mempelajarinya.
Landasan Yuridis dalam pembelajaran tematik berkaitan dengan
berbagai kebijakan atau peraturan yang mendukung pelaksanaan
pembelajaran tematik pada anak usia dini. Landasan yuridis tersebut adalah:
(1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan
bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam

16
rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan
minat dan bakatnya (pasal 9); (2) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menyatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap
satuan pendidikan berhak mendapatkanpelayanan pendidikan sesuai dengan
bakat, minat, dan kemampuannya.
Dalam kurikulum 2013, Pembelajaran tematik merupakan suatu
pendekatan dalam pembelajaran yang secara sengaja mengaitkan atau
memadukan beberapa kompetensi dasar (KD) dan indicator dari kurikulum
atau standard isi (SI) dari beberapa mapel menjadi satu kesatuan untuk
dikemas dalam satu tema.
Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang menekankan agar materi
pelajaran sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik. Juga perlunya
pembelajaran yang mampu mengembangkan kreativitas siswa. Dan yang
sangat diperlukan adalah pendidikan karakter.

17
DAFTAR PUSTAKA

Al-Tabany, Trianto Ibnu Badar. Desain Pengembangan Pembelajaran Tematik:


Bagi Anak Usia Dini TK/RA & Anak Usia Kelas Awal SD/MI, ed.
Jauharoh Alfin. Jakarta: Kencana. 2011.
Daryanto. Pembelajaran Tematik Terpadu Terintegrasi Kurikulum 2013. Jakarta : Gava
Media. 2014.
Hajar,Ibnu. Panduan Lengkap Kurikulum tematik. Yogyakarta: Diva Press. 2013.
Hamzah, Nur. Cakap Dan Kreatif Mendidik. Jawa Barat: Edu Publish. 2020.
Hidayani, Masrifa. “KURIKULUM 2013 DI SEKOLAH DASAR”. Jurnal Seuneubok Lada. Vol. 3.
No.2. 2016.
Knight, George R. Filsafat Pendidikan.Diterj. Oleh: Mahmud Arif. Yogyakarta:
CDIE bekerja sana dengan Gama Media. 2007.
Kristiantari, Rini. “ANALISIS KESIAPAN GURU SEKOLAH DASAR DALAM
MENGIMPLEMENTASIKAN PEMBELAJARAN TEMATIK INTEGRATIF
MENYONGSONG KURIKULUM 2013”. Jurnal Pendidikan Indonesia Vol. 3. No.
2. 2014.
Mulyahati, Asnawi Ronald Fransyaigu Bunga. “KONSEP PEMBELAJARAN TERPADU DALAM
KURIKULUM 2013 DI SEKOLAH DASAR”. Jurnal Seuneubok Lada, Vol. 3. No.2.
2016.
Muklis, Mohamad. “PEMBELAJARAN TEMATIK”. FENOMENA Vol. IV No. 1.
2012.
Muzamiroh, Mida Latifatul.Kumpas Tuntas Kurikulum 2013. Jakarta: Kata Pena. 2013.
Rusman.Model-model Pembelajaran tematik. Yogyakarta: Diva Press. 2013.
Sakti, Bayu Purbha dan Sri Budiyono.“PELAKSANAAN PEMBELAJARAN TEMATIK DI SDN 1
KRAGILAN”. Jurnal Ilmiah Kependidikan Volume 10 Nomor 1. 2019.
Santrock, John W. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. Diterj. Oleh: Tri Wibowo
B.S. Jakarta: Prenada Media Group. 2007.
Suparno, Paul. Filsafat Konstruktivisme dalm pendidikan. Yogyakarta: Kanisus.
2010.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 9 Ayat
1
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB
IV 1 Pont B
Widyaningrum, Retno. MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK DI MI/SD.
Cendikia Vol. 10 No. 1. 2012.

18

You might also like