You are on page 1of 24

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/351165642

Habitus Kesiapsiagaan Masyarakat Jepang terhadap Bencana

Thesis · August 2017

CITATION READS

1 4

1 author:

Firman Budianto
Indonesian Institute of Sciences
3 PUBLICATIONS   3 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Disaster Management in Japan View project

All content following this page was uploaded by Firman Budianto on 29 April 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

Habitus Kesiapsiagaan Masyarakat Jepang Terhadap Bencana

Firman Budianto

Abstract
The topic on disaster preparedness making always become a relevant issue on
disaster management- related research. However, there are not many research
focusing on disaster preparedness making from a socio-historical perspective. By
choosing Japanese society as the research subject, this article discusses and
analyzes Japanese disaster preparedness making by applying Bourdieu’s theory of
habitus. In-depth interview was carried out to Japanese informants who have
experienced a natural disaster and have participated in disaster drills and exercices
in Japan. The research found that Japanese’ disaster preparedness on preparation
as well as response to disaster have become their habitus that is closely related to
their disaster memory as well as their long experience in participating in disaster
drills and exercises. Therefore, the finding supports the Bourdieu’s theory of
habitus which can be applied to the Japanese disaster preparedness making that
finally creates the disaster culture among Japanese people in general.

Keywords: Bourdieu;disaster management; disaster preparedness; habitus;


Japanese society.

1. Pendahuluan
Topik utama dalam penelitian kebencanaan terletak pada dua hal,
yaitu penelitian dan mitigasi sebelum terjadinya bencana, serta respon dan
pemulihan pascabencana. Kedua topik ini berada dalam ranah sebelum dan
setelah terjadinya bencana, sehingga manusia memiliki kemampuan untuk
mengontrolnya.Di antara kedua topik utama ini, terdapat satu dimensi yang
berfungsi sebagai penghubung, yaitu dimensi kesiapsiagaan (preparedness)
terhadap bencana (Sutton 2006: 6). Kesiapsiagaan terhadap bencana
merupakan salah satu dimensi dalam manajemen bencana dan sering
diasosiasikan sebagai tindakan-tindakan yang memungkinkan individu
maupun masyarakat untuk dapat merespon kejadian bencana secara cepat
dan efektif (Sutton 2006: 3).
Kesiapsiagaan dalam konteks manajemen bencana sering kali
dimaknai sama dengan mitigasi. Pada dasarnya, kedua konsep ini bertujuan

41
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

sama, yaitu mengurangi dampak resiko suatu bencana, dan sama-sama


berada dalam ranah sebelum terjadinya bencana. Namun, mitigasi
umumnya didefinisikan sebagai tindakan yang diambil sebelum terjadinya
bencana untuk menghindari atau mengurangi kerusakan sebagai efek dari
bencana. Biasanya, mitigasi dilaksanakan oleh pemerintah sebagai
pemegang regulasi mengenai kebencanaan. Di sisi lain, Carter (1991: 54)
lebih menekankan pentingnya kesadaran aktif individu dalam kesiapsiagaan.
Dia menekankan bahwa tindakan-tindakan dalam kesiapsiagaan lebih
cenderung mengacu pada tindakan yang dilakukan oleh individu, bukan oleh
pemerintah. Sifat mendasar inilah yang membedakan konsep kesiapsiagaan
dengan konsep mitigasi yang menekankan pentingnya peran aktif dari
individu sebagai aktor utama dalam kesiapsiagaan. Pentingnya peran
individu dalam kesiapsiagaan, salah satunya terlihat saat kejadian Gempa
Bumi Besar Jepang Timur yang melanda Jepang bagian utara pada tanggal
11 Maret 2011.
Gempa Bumi Besar Jepang Timur atau The Great East Japan
Earthquake, gempa dengan kekuatan gempa M9.0 ini, tercatat sebagai
gempa bumi terbesar kedua di dunia dari segi magnitude-nya, dan
merupakan gempa bumi terbesar yang melanda Jepang sejak masa
pengukuran dan pencatatan gempa bumi modern dimulai tahun 1900.
Bencana ini bahkan dianggap sebagai megadisasters atau bencana terburuk
yang pernah terjadi di dunia karena melibatkan tiga bencana sekaligus
dalam waktu yang hampir bersamaan: gempa bumi berskala M9,0; tsunami
setinggi sepuluh meter; serta krisis reaktor nuklir Fukushima. Bencana
Gempa Bumi Besar Jepang Timur ini melanda daerah Tohoku, khususnya
Prefektur Iwate, Miyagi, dan Fukushima, serta mengakibatkan jatuhnya
korban meninggal sebanyak 15,894 jiwa, sementara 6,152 jiwa terluka dan
2.562 jiwa lainnya belum ditemukan (Japan National Police Agency, 2016).
Pada hari terjadinya bencana Gempa Bumi Besar Jepang Timur
tanggal 11 Maret 2011, dilaporkan bahwa seluruh siswa-siswi SD dan SMP
yang saat itu berada di sekolah masing-masing, berhasil menyelamatkan diri
mereka. Bahkan, siswa SMP Kamaishi Timur turut membantu siswa-siswi
sekolah dasar di sekitarnya untuk mengevakuasi diri ke tempat yang aman

42
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

(Nishikawa, 2011: 42). Dari total 2.924 orang siswa SD dan SMP di Kota
Kamaishi, hanya lima orang yang menjadi korban, dan dari kelima orang
tersebut, empat orang di antaranya adalah mereka yang tidak masuk
sekolah atau mereka yang meninggalkan sekolah lebih dulu, dan satu orang
lainnya diketahui hilang tersapu tsunami setelah pulang berkumpul bersama
keluarganya (The Asahi Shimbun, 2011). Informasi baik ini kemudian
tersebar ke seluruh Jepang dan disebut sebagai “The Miracle of Kamaishi”
(Nishikawa 2011: 42, dan The Asahi Shimbun, 2011). Para siswa tersebut
menyatakan bahwa tindakan-tindakan tersebut bisa mereka ambil berkat
pengetahuan yang mereka peroleh dari pendidikan kebencanaan melalui
latihan menghadapi bencana yang mereka ikuti di sekolahnya (Nishikawa
2011: 42).
“The Miracle of Kamaishi” menunjukkan pentingnya peran aktif dari
individu sebagai aktor utama dalam kesiapsiagaan terhadap
bencana.Fenomena tersebut juga menunjukkan bahwa pengetahuan
kebencanaan dapat lahir dari pendidikan kebencanaan, yang pada akhirnya
melahirkan praktik kesiapsiagaan yang sampai saat ini masih menjadi topik
penting dalam kesiapsiagaan secara umum di samping praktik respons dan
rekonstruksi pascabencana (Nakabayashi, 2008 & Adiyoso, 2012).Praktik
kesiapsiagaan terhadap bencana menjadi isu penting karena dalam
menyelenggarakan kehidupan di dunia, manusia tidak pernah terlepas dari
resiko terdampak bencana, baik bencana alam maupun bencana hasil dari
perbuatan manusia sendiri. Data IFRC (2012) menunjukkan sepanjang tahun
2001-2011, terdapat 500 kejadian bencana yang menimbulkan lebih dari
satu juta korban jiwa dengan total kerugian lebih dari USD 40 milyar setiap
tahunnya. Terlepas dari perbedaan cara pandang mengenai makna bencana
itu sendiri, bencana telah menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-
hari, sehingga pengetahuan kebencanaan perlu dimiliki oleh setiap individu
untuk melakukan praktik kesiapsiagaan.
Beberapa tahun terakhir, penelitian mengenai pentingnya
pengetahuan kebencanaan masih menjadi topik yang menarik untuk diteliti,
khususnya hubungan antara pengetahuan kebencanaan dan usaha
pengurangan risiko bencana (Weichselgartner, et. al., 2015).Namun

43
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

demikian, penelitian pembentukan pengetahuan kebencanaan khususnya


praktik kesiapsiagaan, masih didominasi oleh penelitian dengan pendekatan
kuantitatif.Penelitian Oral et.al.(2015) dilakukan untuk menganalisis
hubungan antara pengalaman kebencanaan dan kepemilikan rumah tapak
pribadi dengan pembentukan praktik kesiapsiagaan.Fujimura et.al.(2013)
menganalisis hubungan antara pengetahuan, sikap, dan praktik terkait
kebencanaan seseorang dengan kemampuannya merawat dirinya sendiri
pasca terdampak bencana. Adiyoso dan Kaneage (2012) menganalisis
hubungan antara pelaksanaan pendidikan kebencanaan di lingkungan
pendidikan dasar dengan pembentukan kesadaran siswa akan bencana. Ada
juga penelitian yang secara kuantitatif menjelaskan hubungan antara
pembentukan kesiapsiagaan dengan peran aktif masyarakat, misalnya
penelitian Bajek et., al. (2008) dan Okada, et., al. (2013). Penelitian Bajek
et., al. (2008) fokus pada partisipasi aktif masyarakat Jepang dalam kegiatan
yang dilaksanakan oleh organisasi pengurangan risiko bencana di tingkat
masyarakat lokal. Dia menemukan bahwa konten kegiatan tersebut
cenderung dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah setempat secara satu
arah. Okada et. al. (2013) juga mendukung pentingnya kegiatan
pengurangan risiko bencana berbasis komunitas lokal. Dengan menganalisis
hubungan antar berbagai konsep kebencanaan maupun organisasi
tradisional terkait manajemen bencana di Jepang, Okada et., al. (2013)
menemukan bahwa disaster culture masyarakat Jepang berhubungan erat
dengan pengambilan keputusan berbasis komunitas dalam hal manajemen
bencana.
Tulisan ini akan melengkapi penelitian-penelitian terdahulu yang
telah dilakukan oleh Weichselgartner, et. al., (2015)., Oral et.al. (2015),
Fujimura et.al. (2013), Adiyoso dan Kaneage (2012), Bajek et., al. (2008),
dan Okada, et., al. (2013) di atas. Dengan mengambil masyarakat Jepang
sebagai subjek penelitian, tulisan ini secara sosiologis dan historis
menjelaskan dan menganalisis pembentukan praktik kesiapsiagaan,
khususnya melalui pendekatan kualitatif, dalam konteks hubungannya
dengan peran aktifmasyarakat di dalamnya. Berdasar pada data di awal,
tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan: (i) bagaimana pengetahuan dan

44
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

praktik kesiapsiagaan masyarakat Jepang terhadap bencana dibentuk dan


diwujudkan dalam kehidupan sosial mereka; (ii) bagaimana hubungan
antara pelaksanaan manajemen bencana dengan pembentukan
kesiapsiagaan tersebut dilihat dari perspektif teori habitus Bordieu (1977,
1990).

2. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam untuk
mengumpulkan data primer, serta studi dokumen untuk memperoleh data
sekunder.Metode wawancara mendalam (in-depth interview) dipilih karena
metode ini paling sesuai untuk menggali informasi mengenai perasaan,
pendapat, pemikiran, serta pemilihan tindakan kesiapsiagaan informan
dalam konteks analisis habitus.Wawancara mendalam dilakukan terhadap
empat orang Jepang yang tinggal untuk sementara di Kota Depok,
Indonesia.Wawancara mendalam dilakukan dalam bahasa Jepang, selama
beberapa kali pertemuan untuk setiap informan pada bulan November 2013
bertempat di Kampus UI Depok di mana para informan sedang berada.
Informan ditentukan berdasarkan teknik purposive sampling dengan
mempertimbangkan perbedaan usia, jenis kelamin, pekerjaan, daerah
domisili di Jepang, serta pengalaman dan memori terdampak bencana.
Informan pertama, yaitu YY, seorang laki-laki berusia 41 tahun yang
berprofesi sebagai wartawan dan berdomisili di daerah Nagoya, kota di
mana bencana besar yang merenggut lima ribu korban jiwa terjadi pada
tahun 1959. Informan kedua, yaitu TM, seorang perempuan berusia 41
tahun yang berprofesi sebagai karyawati swasta dan berdomisili di daerah
Kobe, kota di mana bencana besar terjadi pada tahun 1995 yang merenggut
enam ribu korban jiwa. Informan ketiga, yaitu KJ, seorang laki-laki berusia 22
tahun yang berstatus mahasiswa dan berdomisili di Kota Shizuoka namun
menghabiskan lebih dari separuh usianya menempuh pendidikan di Inggris.
Informan keempat, yaitu KR, seorang perempuan berusia 22 tahun yang
berstatus mahasiswi dan berdomisili di daerah Kagoshima, pulau Kyūshū,
daerah yang jarang terjadi gempa bumi, namun rawan terjadi erupsi gunung
berapi.

45
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

Metode kedua, yaitu studi dokumen, digunakan untuk memperoleh


data sekunder yang dikumpulkan dari dua buah dokumen resmi pemerintah
Jepang (hakusho), yaitu “Nihon no Saigai Taisaku” (Buku Putih Pelaksanaan
Manajemen Bencana Jepang” tahun 2011 dan “Heisei 25 Nen Do Sougou
Bousai Kunren Taikou” (Laporan Resmi Pemerintah Jepang mengenai
Pelaksanaan Latihan Menghadapi Bencana Terpadu Tahun 2013). Metode ini
dipilih karena metode inilah yang paling memungkinkan bagi penulis untuk
mengumpulkan data-data yang terbatas pada dimensi ruang dan waktu.
Dengan menjadikan dokumen resmi pemerintah Jepang sebagai sumber
utama, diharapkan data yang didapat merupakan data yang valid.

3. Hasil dan Pembahasan


3.1 Perjalanan Panjang Bencana di Jepang
Seperti Indonesia, Jepang merupakan negara yang terletak di ring of
fire dengan aktifitas seismik dan vulkanik yang sangat aktif di seluruh
kepulauannya. Menurut laporan FDMA (2011), dalam kurun waktu tahun
1945-2011, Jepang dilanda 22 kejadian gempa bumi dengan kekuatan
masing-masing gempa di atas M6,8 dengan lebih dari 25.000 korban jiwa.
Tingginya frekuensi Jepang dilanda gempa bumi ini menyebabkan konsep
bencana terinternalisasi ke dalam pikiran masyarakat Jepang, sehingga
ketika mendengar kata bencana, hal yang terlintas dalam pikiran sebagian
besar masyarakat Jepang adalah gempa bumi dan kebakaran (wawancara
TM, 11 Nov 2013).
Sejarah Jepang mencatat perjalanan panjang negara tersebut dalam
menghadapi bencana.Jepang telah berhadapan dengan bencana sejak abad
ke-4, misalnya Gempa Bumi Yamato-Kochi (416) dan Gempa Bumi Hakuho-
Nankai (684).Kedua gempa tersebut tercatat dalam Nihon Shoki, dan
disebutkan bahwa keduanya diikuti oleh gelombang besar
tsunami.Dokumen kedua yang mencatat bencana gempa bumi di Jepang
adalah Nihon Sandai Jitsuroku yang menggambarkan Gempa Bumi Jogan
(869) yang melanda daerah Mutsu no Kuni (sekarang daerah Tohoku), yang
juga diikuti tsunami besar dengan korban jiwa lebih dari 1.000 orang
(Nishikawa, 2011: 37).

46
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

Sejarah panjang menghadapi bencana secara tidak langsung


memberikan pengaruh kepada masyarakat Jepang, dalam membentuk
persepsi mereka tentang bencana. Hal ini tampak pada ungkapan tradisional
tentang tiga hal yang ditakuti oleh anak-anak Jepang :jishin, kaji, dan oyaji
(gempa bumi, kebakaran, dan ayah). Cerita rakyat bertemakan bencana,
“Inamura no Hi“, juga berkembang di masyarakat.Cerita heroik ini diangkat
dari kisah nyata pengevakuasian darurat masyarakat dari tsunami pada saat
Gempa Bumi Ansei-Nankai tahun 1854 yang dilakukan oleh seorang kepala
desa.Cerita ini kemudian dipublikasikan secara luas sebagai bahan bacaan
siswa sekolah dasar di Jepang tahun 1937-1947 dan dikenal luas di kalangan
masyarakat Jepang (Nishikawa, 2011: 31).
Pada masa pascaperang dunia kedua, Jepang kembali dilanda bencana
besar. Pada tahun 1959, Nagoya yang merupakan kota metropolitan
terbesar ketiga di Jepang dilanda Angin Topan Ise-wan yang menimbulkan
korban sekitar 5.000 jiwa. Bencana besar inilah yang menjadi titik tolak
Pemerintah Jepang untuk mulai memikirkan langkah yang tepat dalam
menghadapi bencana alam yang bisa datang kapanpun dan merumuskan
kerangka hukum yang mengatur penanganan kebencanaan (wawancara YY,
13 Nov 2013). Dua tahun kemudian, pada tahun 1961, Pemerintah Jepang
mengesahkan Disaster Countermeasures Basic Act 1961 (Saigai Taisaku
Kihonhou 1961) atau Undang-Undang Penanggulangan Bencana Tahun 1961
yang mengatur tindakan dasar sehubungan dengan penanggulangan
bencana secara nasional. Nishikawa (2011: 32) menyebutkan tiga
konsekuensi utama dari pelaksanaan hukum ini.
Pertama, dibentuknya (Chuō Bōsai Kaigi) atau Dewan Penanggulangan
Bencana Pusat yang diketuai langsung oleh Perdana Menteri Jepang.Dewan
ini beranggotakan seluruh menteri di kabinet dan beberapa kepala lembaga
semipublik di Jepang, seperti lembaga penyiaran NHK, Bank of Japan, dan
Japanese Red Cross. Dewan Penanggulangan Bencana Pusat ini mempunyai
dua peran utama, yaitu : (1) sebagai lembaga perumus kebijakan-kebijakan
terkait manajemen bencana, dan (2) sebagai lembaga koordinator untuk
manajemen bencana nasional. Kedua, diterapkannya pembagian peran dan
tanggungjawab seluruh pemangku kepentingan dalam usaha

47
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

penanggulangan bencana dari level pemerintah hingga level individu,


meliputi pemerintah pusat-daerah, organisasi, komunitas, dan seluruh
warga masyarakat. Ketiga, diberlakukannya kewajiban bagi kabinet untuk
menyerahkan laporan tahunan kepada parlemen terkait dengan status
pelaksanaan manajemen bencana nasional dan alokasi anggaran untuk
program-program pengurangan resiko bencana. Selain itu, Pemerintah Pusat
juga berkewajiban atas tiga hal (Fukami dan Hisamoto, 2010), yaitu:
pengembangan dan pelaksanaan sistem kesiapsiagaan, respons terhadap
bencana, dan pemulihan pascabencana. Salah satu wujud nyata
implementasi pelaksanaan Disaster Countermeasures Basic Act 1961 di atas
adalah diterapkannya sebuah kebijakan baru, yaitu: penetapan hari
pencegahan bencana (wawancara YY, 13 Nov 2013). Disaster
Countermeasures Basic Act yang diterapkan sejak tahun 1961 kemudian
dijadikan landasan hukum penyelenggaraan manajemen bencana di Jepang,
yang mencakup seluruh tahapan manajemen bencana secara umum hingga
terjadinya Gempa Bumi Besar Hanshin-Awaji tahun 1995 yang
meluluhlantakkan Kota Kobe.
Gempa Bumi Besar Hanshin-Awaji (1995) (Hanshin-Awaji Daishinsai),
atau yang dikenal luas sebagai Gempa Kobe, terjadi pada tanggal 17 Januari
1995 di daerah Kobe. Gempa besar ini berkekuatan M7,3 dan menyebabkan
jatuhnya 6.437 korban jiwa. Bencana gempa ini merupakan bencana
terburuk yang melanda Jepang setelah bencana Topan Ise-wan (1959) dan
menunjukkan kepada Pemerintah Jepang kelemahan sistem yang mereka
bangun sejak tahun 1961 (Nishikawa 2011:35). Berdasarkan pengalaman
selama menghadapi Gempa Bumi Besar Hanshin-Awaji, Pemerintah Jepang
mengambil langkah untuk meninjau ulang dan mengamandemen pasal 105
dari Disaster Countermeasures Basic Act pada tahun 1995 dengan lebih
memfokuskan perhatian pada sistem respons cepat saat terjadinya bencana
(Nishikawa 2011: 35). Hasil dari amandemen tersebut adalah: (1) Perdana
Menteri dapat segera memobilisasi Self-Defense Forces tanpa menunggu
permohonan dari pemerintah daerah setempat terlebih dahulu; dan (2)
Perdana Menteri dapat segera menetapkan kondisi darurat bencana.

48
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

3.1. Dari Bōsai no Hi ke Ryukku-sakku


Sejak tahun 1961 atau pada masa diundangkannya Disaster
Countermeasures Basic Act di Jepang, hingga saat ini, tanggal 1 September
setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Pencegahan Bencana atau Bōsai no
Hi sebagai salah satu konsekuensi diterapkannya Disaster Countermeasures
Basic Act. Selama peringatan Bōsai no Hi atau dalam pekan tersebut,
dilaksanakan berbagai kegiatan pengurangan resiko bencana, termasuk
latihan menghadapi bencana. Kewajiban pelaksanaan latihan menghadapi
bencana menjadi salah satu konsekuensi dari penerapan Disaster
Countermeasures Basic Act 1961 (Cabinet Office, 2013) yang mewajibkan
pelaksanaan pelatihan menghadapi bencana sebagai implementasi dari
pencegahan bencana (DCBA, 1961: Art. 46, Para. 2). Dalam Laporan
Pemerintah Jepang mengenai pelaksanaan latihan menghadapi bencana
terpadu tahun 2013, Heisei 25-Nendo Sougou Bōsai Kunren Taikou (2013),
disebutkan empat tujuan dari pelaksanaan latihan menghadapi bencana,
yaitu :
1) mengimplementasikan fungsi evaluasi jaringan dan lembaga terkait
bencana, memverifikasi efektivitasnya, serta memfasilitasi kerjasama
antar lembaga tersebut;
2) menemukan tantangan dan kelemahan dalam rancangan pencegahan
bencana yang mungkin muncul selama pelaksanaan latihan, serta
merencanakan perbaikan berkelanjutan dari rancangan tersebut;
3) meningkatkan pengetahuan dan kesadaran warga akan bencana
sehingga warga akan mampu berpikir mengenai “apa yang harus saya
lakukan” ketika bencana terjadi, serta mampu mengambil tindakan
respons dengan tepat;
4) menjadi media pengembangan diri dan pembelajaran mandiri bagi
warga terkait kebencanaan.
Di Jepang, latihan menghadapi bencana dilaksanakan oleh berbagai
pihak, baik di sektor pemerintahan maupun swasta, di sekolah-sekolah, di
lingkungan tempat tinggal, bahkan di pusat perbelanjaan (wawancara KN,
27 Nov 2013), dari tingkat pusat, prefektur, kota, hingga organisasi bencana
tingkat masyarakat, dengan frekuensi satu sampai dua kali dalam setahun.

49
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

Pada tingkat pemerintah pusat maupun daerah, latihan menghadapi


bencana dilaksanakan secara terpadu pada tanggal 1 September atau pada
pekan tersebut setiap tahunnya, atau bertepatan dengan peringatan Bōsai
no Hi. Latihan menghadapi bencana terpadu ini disebut sebagai sougo
bōsaikunren dan dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini stakeholder
terkait kebencanaan, yang bertujuan untuk memastikan perencanaan
terhadap bencana berjalan dengan baik, menguji sistem penanganan
bencana, dan memastikan estimasi kerusakan yang disebabkan oleh
bencana (Cabinet Office 2011: 3).
Dalam konteks pelaksanaan latihan menghadapi bencana (bōsai
kunren) di Jepang, terdapat satu konsep penting yang terintegrasi di
dalamnya, yaitu: latihan mengevakuasi diri atau latihan evakuasi (hinan
kunren). Secara umum konsep hinan kunren dapat dimaknai sebagai
latihan bagaimana seseorang mampu untuk mengambil tindakan respons
yang cepat dan tepat ketika bencana terjadi, kemudian mengevakuasi
dirinya sendiri dengan selamat ke tempat yang aman. Selain latihan
mengevakuasi diri, ada juga latihan bagaimana cara merespons bencana,
misalnya latihan memadamkan api ketika terjadi kebakaran. (wawancara
YY (49), 12 Nov 2013). Berbeda dengan latihan evakuasi yang dilaksanakan
di dalam gedung dengan tujuan untuk berlatih mengevakuasi diri keluar
dari gedung tersebut saat terjadinya bencana. Latihan merespons bencana
biasanya dilakukan di area yang lapang dan terbuka. Di situ, orang-orang
akan berlatih cara-cara merespons bencana, seperti cara memadamkan api
baik dengan tabung pemadam api maupun dengan selang air (wawancara
KJ (22), 12 Nov 2013).
Latihan menghadapi bencana tersebut secara nyata dilaksanakan di
sekolah-sekolah. Latihan inilah yang kemudian menjadi ciri khas dari
pendidikan kebencanaan yang diselenggarakan di Jepang. Latihan ini
diselenggarakan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah,
dilaksanakan sebanyak dua kali setahun, dan wajib diikuti oleh seluruh
warga sekolah, mulai dari siswa, guru, hingga juru masak sekolah. Latihan
menghadapi bencana di lingkungan sekolah dilaksanakan selama setengah
hari, dari pagi hingga menjelang siang sehingga selama pelaksanaan

50
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

latihan, kegiatan belajar mengajar di kelas akan digantikan oleh materi


seputar pengetahuan kebencanaan serta latihan-latihan dalam
menghadapi bencana (wawancara KJ (22), 9 Nov 2013). Bagi siswa SD
maupun SMP, latihan ini dianggap menyenangkan karena memberikan
kesempatan bagi mereka untuk terbebas sejenak dari rutinitas belajar
sehari-hari, namun di sisi lain, menurut pengalaman informan semasa
duduk di bangku SD, walaupun dia pribadi merasa tidak terlalu memahami
pentingnya latihan tersebut, dia tetap mengikutinya karena sifatnya wajib.
Setelah duduk di bangku SMP kemudian SMA, informan telah mulai
mengerti pentingnya latihan tersebut, namun karena sudah merasa bosan,
dia dan teman-temannya pun mengikutinya dengan tidak terlalu serius.
Dilihat dari jenis latihan yang dilakukan, sebagian besar aktivitas
latihan yang dilakukan di lingkungan sekolah adalah latihan evakuasi,
maksudnya adalah latihan bagaimana mengevakuasi diri keluar dari
gedung sekolah atau universitas dengan cepat, tenang, dan tertib saat
terjadi bencana, dengan melewati jalur evakuasi yang telah ditentukan
sebelumnya. Selain itu, diajarkan pula langkah-langkah yang harus diambil
saat terjadi bencana, misalnya latihan melindungi diri di bawah meja saat
gempa bumi terjadi. Selanjutnya, seluruh warga sekolah akan melakukan
simulasi evakuasi diri ketika terjadi gempa bumi. Setelah mereka semua
keluar dari gedung, mereka akan berkumpul di tempat lapang dan
diberikan pengarahan dan pengetahuan kebencanaan oleh guru atau
penanggungjawab pendidikan kebencanaan di sekolah (wawancara TM
(41), 12 Nov 2013).
Selain di lingkungan pendidikan dasar-menengah, dan sejak tahun
2011 mulai dilaksanakan di lingkungan perguruan tinggi, latihan
menghadapi bencana juga dilaksanakan di lingkungan kerja dan lingkungan
masyarakat. Jika konten latihan di sekolah sebagian besar fokus pada
latihan bagaimana cara bertindak ketika terjadi bencana, misalnya gempa
bumi, serta latihan bagaimana cara untuk mengevakuasi diri keluar dari
bangunan, konten latihan di perkantoran biasanya juga dilengkapi dengan
latihan penggunaan tabung pemadam api dan alat AED 1. Latihan
penggunaan alat pemadam ini dilakukan di areal lapang di luar gedung

51
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

perkantoran dan dilakukan dengan metode simulasi, yaitu praktik


memadamkan api secara langsung.
Pelaksanaan latihan menghadapi bencana di Jepang juga
dilaksanakan di lingkungan sekitar tempat tinggal masyarakat. Berbeda
dengan keikutsertaan dalam latihan di lingkungan sekolah dan lingkungan
kerja yang bersifat wajib, keikutsertaan dalam latihan di lingkungan
masyarakat ini lebih bersifat sukarela atas kemauan sendiri (wawancara TM
(41), 26 Nov 2013).
Dalam konteks pelaksanaan latihan menghadapi bencana di
lingkungan masyarakat ini, terdapat konsep jishu bousai soshiki atau
jishubou. Jishubou ini merupakan organisasi tingkat masyarakat yang
berhubungan dengan usaha pencegahan dan penanggulangan bencana.
Jishubou ini sudah ada di Jepang sejak era Edo dan pada awalnya terbentuk
dari shouboudan atau semacam perkumpulan petugas pemadam
kebakaran, dan tetap ada hingga saat ini (wawancara YY (49), 12 Nov
2013). Bajek et., al. (2007) menyebut bahwa jishubou ini merupakan
konsep khas Jepang yang membedakannya dengan negara-negara lain
dalam konteks partisipasi aktif komunitas masyarakat dalam usaha
pencegahan bencana. Di Jepang, sifat dari jishubou ini adalah swadaya
sehingga status keanggotaannya pun bersifat sukarela. Anggota jishubou ini
biasanya merupakan orang-orang yang peduli dengan isu-isu pendidikan
bencana, sehingga mereka meluangkan waktu mereka untuk
menyelenggarakan latihan menghadapi bencana di lingkungan mereka
tinggal (wawancara TM (41), 26 Nov 2013). Eksistensi jishubou ini berkaitan
erat dengan adanya chounaikai2 di lingkungan masyarakat Jepang yang di
dalamnya terdapat para tantousha yang bertanggungjawab terhadap
pelaksaanaan latihan tersebut. “Di sekolah (pendidikan kebencanaan)
diperoleh dari guru, di lingkungan tempat tinggal, diperoleh dari tantousha
(PIC; penanggungjawab) di daerah tersebut ...” (wawancara TM (41), 26
Nov 2013).
Eksistensi jishubou ini mengalami peningkatan terutama setelah
kejadian bencana Gempa Bumi Besar Hanshin-Awaji di Kobe tahun 1995
dan seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat Jepang akan

52
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

bencana. Peningkatan jumlah jishubou ini tidak terlepas dari campur


tangan Pemerintah Jepang, khususnya pemerintah daerah, yang
mendorong pembentukan jishubou, salah satunya adalah melalui
chounaikai (Bajek, et., al., 2007). Pelaksanaan latihan yang diadakan oleh
jishubou ini biasanya dilaksanakan di kouen atau di taman atau di tempat-
tempat yang lapang, dan diikuti oleh masyarakat yang tinggal di sekitar
wilayah dilaksanakannya latihan tersebut. Konten dari latihan ini pun lebih
berfokus pada bagaimana cara merespons bencana, seperti latihan cara
memadamkan api ketika terjadi kebakaran. Latihan di lingkungan
masyarakat ini biasanya diadakan satu kali dalam satu tahun dan
dilaksanakan pada hari libur, pada pekan peringatan bousai no hi, sehingga
akan lebih banyak elemen masyarakat yang bisa ikut serta dalam latihan.
Selain berlatih cara menggunakan alat pemadam api, masyarakat juga
diberikan pengetahuan mengenai titik evakuasi ketika bencana terjadi
(wawancara dengan KJ (22), 12 Nov 2013), dengan begitu, masyarakat di
lingkungan tersebut akan saling mengenal dan menjadi tahu lokasi titik
evakuasi ketika terjadi bencana besar yang menyebabkan mereka harus
mengungsi untuk sementara waktu.

3.3.Habitus Kesiapsiagaan Masyarakat Jepang


Di Jepang, pelaksanaan latihan menghadapi bencana diatur dalam
lima pasal dalam Disaster Countermeasures Basic Act 1961, dan
diselenggarakan secara nasional, baik di tingkat prefektur maupun di tingkat
kota (DCBA, 1961: Art. 46, Para. 2). Terhitung sejak pertama kali
dilaksanakan pada tahun 1961 hingga saat ini (tahun 2017), latihan telah
diadakan di Jepang selama 56 tahun, dan dilaksanakan di lingkungan
pendidikan dasar-menengah, dan setahun sekali di lingkungan pekerjaan.
Dengan begitu, penulis berasumsi bahwa seluruh masyarakat Jepang yang
berusia di bawah 58 tahun saat penelitian ini dilakukan, mempunyai
pengalaman ikut serta dalam latihan menghadapi bencana. Setidaknya
mereka telah mengikuti latihan selama 12 tahun atau sebanyak 24 kali
latihan (setahun dua kali) selama mereka duduk di bangku SD-SMA.
Hubungan antara pelaksanaan manajemen bencana, keikutsertaan

53
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

masyarakat Jepang dalam latihan menghadapi bencana,sertapembentukan


dan perwujudan kesiapsiagaan mereka dalam dunia sosial seperti yang telah
dijelaskan pada subbab sebelumnya, dapat dilihat dari perpektif teori
habitus dan praktik Bourdieu (1977, 1991). Secara teoretis, habitus
berperan sebagai medium dalam mengintegrasikan struktur dan agen,
namun di sisi lain, sebagai stuktur mental, habitus hanya diwujudkan di
dunia sosial melalui praktik. Bourdieu (1977: 72) menyebut habitus sebagai
structured structure, artinya sebagai struktur mental, habitus distruktur oleh
dunia sosial. Dalam konteks kesiapsiagaan masyarakat Jepang, konsep
tersebut dapat dipahami dari kutipan wawancara informan berikut ini:

“Karena (kami) sudah mengikuti latihan menghadapi bencana sejak masa


kanak-kanak, maka lahirlah pengetahuan mengenai apa yang harus dilakukan
(jika bencana gempa terjadi) secara alami, sesuai (dengan apa yang kami
dapatkan) saat mengikuti latihan yang berulang kali, sehingga ketika (bencana)
itu terjadi, tindakan-tindakan yang harus dilakukan tersebut, karena
pengetahuan itu sudah terinternalisasi (mi ni tsuiteiru), kami akan dapat
bertindak secara alami.”(wawancara TM (41), 26 Nov 2013).

Berdasarkan pengalamannya, pengetahuan kesiapsiagaan informan


TM lahir sebagai hasil keikutsertaannya dalam latihan menghadapi bencana.
Kesiapsiagaan tersebut, dilihat sebagai struktur mental yang terstruktur
melalui pelaksanaan latihan menghadapi bencana sebagai struktur objektif
yang berada di luar individu agen. Kesiapsiagaan informan tersebut
merupakan struktur mental yang terstruktur (structured structure) melalui
keikutsertaannya dalam latihan menghadapi bencana yang kemudian
terwujud dalam praktik kesiapsiagaan terhadap bencana. Dengan demikian,
dalam konteks penelitian ini, kesiapsiagaan tersebut bisa dilihat sebagai
habitus informan yang terstruktur melalui keikutsertaan dia dalam latihan,
sejak masa kecilnya. Selanjutnya, dalam pemikiran Bourdieu, habitus
merupakan product of history (1990: 91) yang nantinya akan mengarahkan
tindakan-tindakan agen, dan tindakan tersebut sesuai dengan skema yang
dihasilkan oleh sejarah (1990: 54). Bourdieu (1977: 72) menyebut habitus
sebagai structuring structure.

54
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

Dalam konteks habitus sebagai product of history, habitus merupakan


seperangkat struktur mental yang bertahan lama dan diperoleh melalui
latihan berulang-ulang (Kleden, 2005 dalam Adib, 2012). Sebagai habitus,
kesiapsiagaan informan diperoleh melalui latihan menghadapi bencana yang
dilakukan berulang-ulang sejak masa kecil mereka, sehingga kesiapsiagaan
tersebut merupakan produk historis. Sedangkan habitus sebagai structuring
structure, dimaknai sebagai struktur yang menstruktur praktik agen dalam
dunia sosial. Kesiapsiagaan informan mempengaruhi dan mengarahkan
praktik kesiapsiagaannya dalam konteks respons terhadap bencana,
terutama dalam hal ini, bencana gempa bumi. Sebagai structuring structure,
habitus mampu mengarahkan agen dalam pemilihan tindakan mereka
dalam bentuk praktik kesiapsiagaan.
Dari hasil wawancara, didapatkan informasi bahwa informan
mempunyai kebiasaan-kebiasaan terkait praktik kesiapsiagaan, sebagai
berikut: (1) menyiapkan tas darurat (ryukkusakku) berisi cadangan pangan di
tempat tinggalnya di Jepang, sehingga jika sewaktu-waktu terjadi bencana,
mereka bisa mengungsi dengan tenang karena telah memiliki cadangan
makanan dan minuman (wawancara KJ, 12 Nov 2013 dan KR, 27 Nov 2013).
Di Jepang, tidak lazim ditemukan air konsumsi yang dikemas dalam kemasan
galon karena masyarakat bisa langsung mengonsumsi air dari pipa saluran
air di tiap-tiap rumah tangga. Oleh karenanya, masyarakat di daerah-daerah
yang sering dilanda gempa bumi memiliki kebiasaan menyiapkan air dalam
kemasan botol, sehingga jika sewaktu-waktu terjadi gempa besar, mereka
bisa mengungsi dengan membawa air minum dalam botol yang telah
disiapkan sebelumnya; (2) menyediakan tabung pemadam api di tempat
tinggalnya (wawancara TM, 12 Nov 2013); dan (3) tidak meletakkan barang-
barang besar di dekat tempat tidur agar terhindar dari resiko tertimpa
barang tersebut ketika terjadi gempa saat waktu tidurnya (wawancara YY, 27
Nov 2013). Praktik kesiapsiagaan tersebut dilakukan atas dasar kesadaran
pribadi akan resiko bencana yang sewaktu-waktu dapat terjadi.
Sedangkan dalam konteks proses perwujudan habitus dalam dunia
sosial, terutama dalam karakteristiknya sebagai structuring structure,
habitus mempunyai karakteristik utama, yaitu bersifat pre-concious. Pre-

55
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

conscious berarti habitus berada di luar pertimbangan rasional (Kleden,


2005 dalam Adib, 2012). Habitus bukan merupakan hasil dari refleksi rasio
semata, habitus lebih merupakan spontanitas yang tidak disadari dan tidak
pula dikehendaki dengan sengaja, tetapi di lain sisi, habitus juga bukan
merupakan suatu gerakan mekanistis yang terjadi tanpa latar belakang
sejarah sama sekali (Kleden, 2005 dalam Adib, 2012). Dalam merespons
gempa bumi, tindakan pertama yang diambil masyarakat Jepang adalah
bersikap tenang, yang tercermin dalam ungkapan “reisei ni narimashou!”
(bersikaplah tenang!), dan kemudian segera bersembunyi di bawah meja
untuk melindungi dirinya dari resiko tertimpa perabotan atau pecahan kaca
sambil menunggu guncangan gempa bumi selesai (wawancara KJ, 9 Nov
2013; TM, 12 Nov 2013; YY, 13 Nov 2013, dan KN, 27 Nov 2013). Telah
tertanam dalam pikiran setiap informan, bahwa bencana seringkali
bersumber dari rasa panik berlebihan dan tidak terkontrol. Dengan
demikian, hal terpenting adalah untuk tidak bersikap panik dan segera
mengamankan diri mereka sendiri terlebih dahulu. Setelah guncangan
gempa berhenti, barulah mereka mengevakuasi diri ke luar
bangunan.Tindakan ini diambil juga didasarkan pada kepercayaan mereka
bahwa bangunan di Jepang yang dibangun setelah tahun 1981 telah
mengadaptasi struktur bangunan tahan gempa. Di samping itu, perabotan di
rumah tangga maupun di perkantoran di Jepang juga telah dilengkapi
dengan semacam besi penahan guncangan sehingga perabotan seperti
lemari atau rak buku, tidak akan jatuh karena goncangan gempa. Dalam
melakukan tindakan-tindakan respons tersebut, mereka berada dalam posisi
antara sadar dan tidak sadar.Oleh karena itu, kesiapsiagaan dalam konteks
respons tersebut bersifat pre-concious atau pra-sadar. Namun, sekali lagi
perlu ditekankan bahwa tindakan kesiapsiagaan tersebut bukan sebagai
tindakan mekanistis saja, namun juga dipengaruhi oleh analisis bagaimana
kesiapsiagaan tersebut distruktur dalam konteksnya sebagai product of
history dari pengalaman setiap informan, yang dalam konteks penelitian ini,
merupakan hasil dari keikutsertaan mereka dalam latihan menghadapi
bencana sejak masa kecil mereka.
Namun demikian, dalam konteks habitus dalam diri agen yang, sesuai

56
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

pandangan Bourdieu (1990: 14) dilihat secara individual, kesiapsiagaan


mungkin terwujud dalam praktik yang berbeda antara satu orang dengan
yang lainnya. Misalnya, informan TM yang notabene tinggal di apartemen di
daerah dekat Kobe, akan mengecek saluran gas di rumah tangganya, segera
setelah guncangan gempa utama berhenti dikarenakan di daerah Kobe,
Osaka, dan Hyogo jarang terjadi tsunami. Informan YY yang tinggal di daerah
Nagoya, prefektur Aichi yang terletak di daerah pesisir, akan segera
mengecek status tsunami melalui sistem informasi peringatan dini gempa
bumi atau jishin sokuhou yang bisa diakses melalui internet dan juga
disiarkan melalui media elektronik, seperti televisi dan radio. Kedua hal ini
menunjukkan bahwa walaupun habitus merupakan struktur mental yang
menstruktur tindakan agen, habitus tersebut dapat terwujud dalam praktik
yang berbeda untuk tiap-tiap agen.
Dari hasil wawancara mendalam, juga diperoleh informasi mengenai
karakteristik habitus yang kedua, yaitu transposable yang berarti bisa
dialihkan ke kondisi sosial yang lain walaupun habitus lahir dalam kondisi
sosial tertentu (Kleden, 2005 dalam Adib, 2012). Setiap informan diminta
untuk memperagakan tindakan yang harus diambil jika pada saat
wawancara berlangsung tiba-tiba terjadi gempa bumi. Hasilnya, setiap
informan merespons dengan tindakan-tindakan yang sama seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya jika seandainya terjadi gempa bumi saat itu,
meskipun mereka sedang berada di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa
habitus kesiapsiagaan dalam konteks respons terhadap bencana gempa
bumi tersebut akan tetap diwujudkan walaupun mereka berada dalam
kondisi sosial yang lain.
Sebagai struktur mental, habitus terinternalisasi ke dalam pikiran agen
dan dapat dialihkan ke kondisi sosial yang lain. Habitus kesiapsiagaan
informan lahir sebagai produk dari keikutsertaan mereka dalam pelaksanaan
latihan menghadapi bencana di Jepang, namun demikian, habitus tersebut
tetap dapat terwujud di Indonesia. Selain dalam konteks respons, habitus
kesiapsiagaan juga terwujud dalam konteks persiapan terhadap bencana,
seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yang tampak pada sikap
informan KR yang menyiapkan alat-alat darurat, seperti senter (wawancara

57
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

KR, 27 Nov 2013) dan informan YY yang tidak meletakkan barang berukuran
besar di dekat tempat tidurnya (wawancara YY, 27 Nov 2013). Informasi
tersebut menunjukkan kemampuan habitus kesiapsiagaan informan yang
tetap terwujud meskipun mereka sedang berada di Indonesia.
Kembali kepada karakteristik habitus sebagai structuring structure
(Bourdieu 1977: 72), dari hasil wawancara juga didapatkan informasi bahwa
kesiapsiagaan juga menggerakkan masyarakat Jepang untukikut serta dalam
pelaksanaan latihan menghadapi bencana secara sukarela. “Namun, latihan
yang diadakan oleh lingkungan, bukan merupakan kewajiban. Orang yang
berminat, silakan untuk ikut, (keikutsertaan dalam latihan itu) bukan
merupakan sebuah kewajiban” (wawancara TM, 26 Nov 2013).
Keikutsertaan masyarakat Jepang dalam pelaksanaan latihan di lingkungan
masyarakat tidak lagi sepenuhnya merupakan ketertundukan mereka
terhadap peraturan tertentu, melainkan merupakan praktik yang diproduksi
oleh habitus dalam diri mereka. Habitus kesiapsiagaan yang mereka peroleh
sebagai produk internalisasi struktur dalam pelaksanaan latihan
menghadapi bencana, kemudian terwujud dalam keikutsertaan mereka
secara sukarela dalam pelaksanaan latihan di lingkungan masyarakat. Hal
tersebut diperkuat oleh data hasil penelitian Bajek, et., al. (2007) yang
menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan perkembangan jishubou
di Jepang, yang pada tahun 1988 hanya sebesar 31,7% meningkat menjadi
61,3% pada tahun 2003.
Dengan demikian, dalam penelitian ini, sesuai dengan pandangan
Bourdieu mengenai habitus dan praktik, pelaksanaan latihan menghadapi
bencana dilihat sebagai struktur dalam pembentukan habitus dan praktik
kesiapsiagaan informan terhadap bencana gempa bumi. Sedangkan agen
atau keagenan dalam penelitian ini, masih dalam pandangan Bourdieu
mengenai habitus, dilihat sebagai individual yang pendapat serta
pemikirannya berperan dalam pemilihan tindakan mereka di dunia nyata.
Sebagai struktur, pelaksanaan latihan menghadapi bencana menstruktur
habitus kesiapsiagaan informan, yang kemudian terwujud dalam dunia
sosial sebagai praktik kesiapsiagaan informan dalam konteks persiapan dan
respons terhadap bencana gempa bumi.

58
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

4. Kesimpulan
Penelitian ini menemukan bahwa kesiapsiagaan informan dalam
konteks persiapan dan respons terhadap bencana gempa bumi, telah
menjadi suatu kebiasaan yang mendarah daging dan mengakar sedemikian
rupa sebagai akibat dari keikutsertaan mereka dalam latihan menghadapi
bencana di Jepang yang dilakukan secara periodik, berulang-ulang, dan
berkelanjutan sejak masa kecil mereka. Di samping itu, faktor memori dan
kondisi geografis juga turut mempengaruhi proses pembentukan
kesiapsiagaan tersebut. Kesiapsiagaan akan diwujudkan dalam bentuk yang
berbeda antar individu karena sangat dipengaruhi oleh faktor memori, yaitu
pengalaman terdampak bencana besar, dan faktor geografis, yaitu
kerentanan jenis bencana berdasarkan tempat tinggal. Pada tataran
struktur, sistem manajemen pencegahan bencana di Jepang yang sangat
menekankan pentingnya kesiapsiagaan pada tataran individu, secara tidak
langsung membentuk mental masyarakat Jepang yang siaga bencana. Dilihat
dari pandangan Bourdieu mengenai habitus dan praktik, kesiapsiagaan
tersebut dapat dilihat sebagai integrasi struktur dan agen, dalam hal ini
individu masyarakat Jepang, dalam konteks pelaksanaan manajemen
bencana di Jepang.
Habitus kesiapsiagaan dan praktik kesiapsiagaan adalah dua hal yang
saling berkaitan. Habitus kesiapsiagaan masyarakat Jepang yang distruktur
melalui pelaksanaan latihan menghadapi bencana hanya terwujud dalam
dunia sosial melalui praktik kesiapsiagaan, di sisi lain, praktik kesiapsiagaan
masyarakat Jepang tersebut distruktur oleh habitus kesiapsiagaan dalam diri
mereka. Temuan penelitian ini berimplikasi terhadap teori Bourdieu, bahwa
hubungan antara struktur, habitus, praktik, dan memori adalah benar dapat
diamati dalam hubungan antara pelaksanaan manajemen bencana dengan
pembentukan kesiapsiagaan informan terhadap bencana, yang pada
akhirnya akan melahirkan apa yang disebut sebagai “disaster culture” bagi
masyarakat Jepang atau dengan kata lain masyarakat Jepang yang siaga
bencana.

59
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

Daftar Referensi
Act No. 223. Disaster Countermeasures Basic Act. DCBA.15 November 1961.
Japan.
Adib, M. (2012).Struktur dan Agen dalam Pandangan Pierre Bourdieu.Jurnal
Bio Kultur, I, 2, 91-110.
Adiyoso, W.,& Kanegae, H. (2012).The Effect of Different Disaster Education
Programs on Tsunami Preparedness among School Children in Aceh,
Indonesia.Disaster Mitigation of Cultural Heritage and Historic Cities,6,
165-172.
Aoki, M., & Hayashi, K. 2007-Nen Notohantō jishin hassei-ji ni okeru chiiki
jūmin no tsunami ni kansuru ishiki to saigai kaihi kōdō (Attitudes and
Evacuation Behavior of Residents during the Tsunami after the Noto
Hanto Earthquake in 2007). Chirigaku Hyouron (Journal of Geographical
Review of Japan),82(3), 243-257.
Bajek, R., Matsuda, Y., Okada, N. (2008). Japan’s Jishu-bōsai-soshiki
Community Activities: Analysis of Its Role in Participatory Community
Disaster Risk Management. Natural Hazards, 44, 281-292.
Bourdieu, P. (1977). Outline of Theory of Practice.Cambridge: Cambridge
University Press.
_____. (1990). The Logic of Practice. Cambridge: Polity Press.
Budianto, F. Pelaksanaan Latihan Menghadapi Bencana sebagai Struktur
dalam Pembentukan Habitus dan Praktik Kesiapsiagaan Masyarakat
Jepang Terhadap Bencana Gempa Bumi. Skripsi Sarjana, Program
Sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia,
Jakarta.
Briceno, S. (2015). Looking back and beyond Sendai: 25 years of
international policy experience on disaster risk reduction. International
Journal of Disaster Risk Science 6(1), 1–7.
Cabinet Office Japan. (2008). Shizen saigai no `gisei-sha zero' o mezasu
tame no sōgō puran (Rencana Terpadu Yang bertujuan untuk Zero
Victim ketika Bencana Alam terjadi). Tokyo: Cabinet Office.
_____. (2011). Nihon no Saigai Taisaku. (Manajemen Bencana di Jepang).
Tokyo: Director General for Disaster Management. Diakses pada 18

60
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

Agustus 2013 dari laman


http://www.bousai.go.jp/1info/pdf/saigaipanf_e.pdf
_____. (2013). Heisei 25 Nen Do Sōgō Bōsai Kunren Taikō. (Laporan Resmi
Pemerintah Jepang mengenai Pelaksanaan Latihan Menghadapi
Bencana Terpadu). Tokyo: Cabinet Office. Diakses pada 30 September
2013 dari laman http://www.bousai.go.jp/oukyu/pdf/h25taiko.pdf
Carter, W. N. (1991). Disaster Management.MandaluyongCity : Asian
Development Bank.
Fujimura, K., Ishii, K., Sakaguchi, M., Murakawa, Y., Akihara, S. (2013). Saigai
sabaiparu shimin wo mezasu serufukea shien dai 1-pō: Toshi-bu ni
sumu chiiki jūmin no saigai ni taisuru chishiki, ishiki, kōdō no kanren.
(Self-care Support for Survival Citizens: Relationship between
Knowledge, Attitude, and Practice of Disaster Preparedness). Osakashi
Ritsudaigaku Kangogaku Zasshi, (Journal of Nursing Science, Osaka City
University), 9,21-30.
Fukami, Maki dan Hisamoto, Norio.(2010). A General View of Japanese
Disaster Prevention System.Kyoto Daigaku Gakuin Keizaigaku
Kenkyuuka. Diakses iunduh pada 4 Oktober 2013 dari laman
http://repository.kulib.kyoto-
u.ac.jp/dspace/bitstream/2433/108675/1/115.pdf
International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies. (2012).
World Disasters Report 2012 : Focus on Forced Migration and
Displacement. Geneva: IFRC.
Kamaishi City, Gunma University. (2010). Kamaishi Tsunami Bousai Kyouiku
no tame no Tebiki. (Buku Petunjuk Pendidikan Pencegahan Bencana
Kota Kamaishi). Diakses pada 12 Desember 2013 dari laman
http://www.ce.gunma-u.ac.jp/kamaishi_tool/doc/manual_full.pdf
Oral, M., Yenel, A., Oral, E., Aydin, N., Tuncay, T. (2015).Earthquake
experience and preparedness in Turkey.DisasterPrevention and
Management, Vol. 24, Iss: 1, 21 – 37.
Nakabayashi, I., Aiba, S., & Ichiko, T. (2008). Pre-Disaster Restoration
Measure of Preparedness for Post-Disaster Restoration in
Tokyo.Journal of Disaster Research Vol. 3, 6, 407-415.

61
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

National Police Agency, Japan. (2016). "Damage Situation and Police


Countermeasures”. Report by National Police Agency of Japan. Diakses
pada 4 Maret 2016 dari laman
http://www.npa.go.jp/archive/keibi/biki/higaijokyo_e.pdf
Navarro, Z. (2006). “In Search of a Cultural Interpretation of Power: The
Contribution of Pierre Bourdieu.” IDS Bulletin Vol. 37, 6, 11-22.
Nishikawa, S. (2011). Japan’s Preparedness and the Great Earthquake and
Tsunami. in Y. Funabashi & H. Takenaka (Eds.), Lesson From the
Disaster: Risk Management and the Compound Crisis presented by the
Great East Japan Earthquake. Tokyo: The Japan Times Press.
Okada, N., Fang, L., Kilgour D. Marc. (2013). Community-based Decision
Making in Japan.Operation Research & Decision Theory, 22, 45-52.
Sutton, J. & Tierney, K. (2006).Disaster Preparedness: Concept, Guidance,
and Research. Boulder: University of Colorado.
The Asahi Shimbun. (2011). Tsunami Drills Paid Off for Hundreds of
Children. The Asahi Shimbun Diakses pada 7 Desember 2013 dari
laman
http://ajw.asahi.com/article/0311disaster/life_and_death/AJ20110323
3378
Wacquant, L. (2011). Habitusas Topic and Tool: Reflections on Becoming a
Prizefighter. Qualitative Research in Psychology, 8, 81-92.
Weichselgartner, J., Pigeon, P. (2015). The Role of Knowledge in Disaster
Risk Reduction.International Journal of Disaster Risk Science, 6, 107-
116.
Winchester, D. (2008). Embodying the Faith: Religious Practice and the
Making of a Muslim Moral Habitus.Social Force Vol. 86, 4, 1754-
1780.

Wawancara Mendalam
K, J. (9 November 2013).
---------- (12 November 2013).
---------- (27 November 2013).
K, N. (27 November 2013).

62
Jurnal Kajian Jepang
Vol. 1 No. 1, Oktober 2017
______________________________________________________________

T, M. (12 November 2013).


---------- (26 November 2013) .
---------- (29 November 2013) .
Y, Y. (13 November 2013).
---------- (25 November 2013).
Panduan Wawancara Mendalam:
個人情報:氏名、年齢、出身
1. 災害について、思い浮かぶことは何ですか。
2. 自然災害のこと、例えば、吹雪、地震、津波等をどういう風に考
えているのでしょうか。
3. 地震の際、何を準備するのですか。
4. 地震の際、何をすればいいですか。
5. もし、今、地震が起こったら、どのような活動を取るべきです
か。
6. 防災訓練に参加したことありますか。
7. どこで防災訓練に参加しましたか。
8. そのとき、どのような訓練・活動をしていましたか。
9. なぜ防災訓練に参加しようと思いましたか。
10. 防災訓練のメリットは何と考えるのでしょか。
11. 防災訓練はあなたの生活にどのような影響を与えましたか。

Catatan:
1
AED (automated external defibrillator) adalah sejenis alat portabel untuk
pertolongan pertama pada serangan jantung pada manusia.
2
Chounaikai adalah semacam organisasi di tingkat masyarakat
Jepang sebagai penghubung antara warga masyarakat dengan pemerintahan
dalam hubungan kooperatif *Kurata (2000) dalam Bajek et., al., (2007)+.
Chounaikai bisa dimaknai sebagai organisasi semacam Rukun Tetangga/
Rukun Warga (RT/RW) di Indonesia.

63

View publication stats

You might also like