You are on page 1of 4

Revta Fariszy 16/404125/PSP/05798

Manajemen dalam strategi PR

Dalam sebuah korporasi, tidak ada jalan pintas dalam menembus dan membina hubungan dengan
segala sesuatu yang terkait. Cakupan yang besar menandakan perlunya komunikasi yang efektif pula.
Menjadi tantangan tersendiri dimana sebuah organisasi atau perusahaan perlu mengoordinir
bagaimana jalannya komunikasi. Maka membentuk strategi sudah enjadi agenda yang wajib, baik
secara general maupun komunikasi yang spesifik. Dengan strategi, tujuan dan komunikasi yang
dilakukan organisasi diharapkan menjadi lebih terarah.

Bila melihat arti secara harafiah, menurut Robert (dalam Steyn, 2002: 2), strategi hanya diartikan
sebagai pemikiran yang digunakan dalam aksi dengan logika. Dengan arti ini, dalam kehidupan
personal kita sehari-hari, kita sering melakukan strategi, dalam membina hubungan misalnya. Cara
berpikir ini pun berlaku dalam organisasi, walaupun tidak sesimpel pada persoalan personal karena
cakupan dan jangkauan lebih besar sehingga memiliki resiko yang besar pula. Jika mengutip Steyn
(2002: 21), strategi dalam organisasi korporat menyangkut persoalan dari level bawah hingga atas.
Webster (dalam Cornelissen, 2008) lebih jelas menambahkan bahwa strategi harus berjalan selaras
dengan visi atau misi perusahaan yang harus mendukung upaya meraih tujuan. Sehingga kita dapat
menyimpulkan bahwa strategi yang dilakukan perusahaan perlu mempertimbangkan segala aspek,
dari atas hingga bawah, untuk mencapai tujuan.

Dalam lingkup organisasional, PR memiliki peran penting dalam praktiknya. Grunig (2011)
menyatakan bahwa terdapat prinsip yang menjadikan PR uggul. Prinsip pertama adalah PR perlu
dilibatkan dalam strategi manajemen dari organisasi atau perusahaan. Karena dalam praktiknya, PR
memiliki peranan dalam membina komunikasi dalam setiap level manajemen organisasi. Karenanya,
dalam menjalankan program, penerapan perlu mencakup pola komunikasi yang ada dalam setiap
bagian dalam manajemen organisasi. Prinsip kedua tentu adalah pengetahuan dari praktisioner PR.
Pengetahuan dalam arti merancang strategi PR yang paham terhadap kondisi organisasi maupun
publiknya. Praktisi harus mampu untuk melahirkan strategi PR yang sesuai dengan kondisi, masalah
dan isu yang ada. Dilihat dari cakupannya, dengan kata lain PR memiliki peran yang besar dimulai
dari internal perusahaan hingga eksternal perusahaan.

PR biasanya melakukan praktiknya dengan dua basis paradigma atau pemikiran besar (Grunig, 2011),
yakni sybolic-interpretive dan behavioral strategic manajemen. Symbolic-interpretive menempatkan
kepentingan publik dalam mempengaruhi organisasi. Dalam paradigma ini, pemahaman publik
dijadikan basis dalam merancang program PR. Hal yang diperhatikan dalam interpretasi kognitifnya
adalah seperti reputasi, citra, merk, impresi dan identitas perusahaan. Program yang biasanya
dilakukan adalah penyampaian pesan, seperti siaran pers, publisitas, hubungan media. Sedangkan
behavioral strategic manajemen berfokus pada proses decision-making yang menentukan dan
mengordinasi tindakan dari PR. Berbeda dengan symbolic-interpretive, behavioral lebih berfokus
pada komunikasi dua arah antara organisasi dengan publik. Sehingga dalam tindakannya, PR
mengadaptasi kebutuhan publiknya. Dua paradigma ini akan berpengaruh dalam konsepsi model
yang akan diterapkan oleh organisasi atau perusahaan.

Grunig & Hunt (dalam Oliver, 2007) membagi PR menjadi 4 model. Masing-masing model memiliki
penjelasan sebagai berikut:
 Press agency: praktik PR satu arah yang bersifat propaganda dengan konten yang
disesuaikan dengan kepentingan organisasi.
 Public information: praktik PR satu arah yang bertujuan menginformasikan fakta pada publik
guna mendukung organisasi.
 2-way asymetric: praktik PR yang dijalankan dengan latar belakang kepentingan publik.
 2-way symetric: praktik PR yang beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan kepentingan dan
kebutuhan publik.

Penjelasan tentang model PR dapat dilihat dalam tabel berikut:

(Grunig & Hunt dalam Oliver, 2007)

Secara umum, setiap model memiliki spesifikasi “pros & cons” tersendiri. Model tidak membatasi
program PR, kenyataannya, 4 model tersebut bahkan dapat diterapkan sekaligus dalam satu
program atau kampanye. Model PR dapat dijadikan sebagai landasan dalam menentukan kebijakan
strategi program yang akan dilaksanakan.

STRATEGI PR

Cutlip, Center & Broom (2013) menjelaskan tahapan-tahapan stretegis dalam menjalankan praktik
PR. Disebutkan bahwa terdapat 4 tahapan besar yang digambakan dalam skema berikut:
Tahap 1: Mendefinisikan masalah PR

Sebelum memulai program ataupun kampanye PR, mengetahui keadaan yang berkaitan menjadi
penting. Mengamati lingkungan dari organisasi merupakan langkah awal. Mengamati lingkungan
berguna untuk melihat dan mengidentifikasi masalah yang ada. Yang menjadi objek pengamatan
adalah stakeholder, publik, masalah dan isu berpotensi. Mengamati dilanjutkan dengan identifikasi
objek yang menentukan tentang lingkungan atau objek mana saja yang akan berpengaruh dalam
jalannya organisasi maupun program PR. Kedepannya, data tentang objek akan dijadikan rujukan
dalam menyusun strategi PR.

Grunig (2011) membagi lingkungan menjadi dua tipe. Tipe pertama adalah lingkungan ekonomi,
yang mencakup konsumen, kompetisi, penyuplai, dan lainnya yang berkaitan dengan proses
ekonomi dari perusahaan. Tipe kedua adalah lingkungan sosial politik, yang berkutat dengan
stakeholder, yakni seperti pemerintah, komunitas, dan media. Program PR berfokus pada lingkungan
sosial politik, yakni tentang bagaimana membina komunikasi dengan para stakeholder dengan baik
sehingga tidak mengganggu dan mendukung pergerakan dari organisasi dan perusahaan.
Stakeholder kemudian diidentifikasi dari segi keaktifannya, masalah dan isu potensial.

Untuk mengamati, mengidentifikasi, dan mendefinisikan masalah, diperlukan riset. Riset PR dapat
dilakukan beragam cara dengan menyesuaikan dengan kondisi target stakeholder. Riset digunakan
untuk menyatakan masalah yang ada di stakeholder dengan berbasi “5W1H” (Cutlip, Center &
Broom, 2013). Data mengenai masalah tersebut kemudian diterapkan dalam stretegi PR dengan
pendekatan skala prioritas. Sehingga pada dasarnya, program PR harus memecahkan masalah atau
menanggulangi isu yang ada pada stakeholder.
Tahap 2: Perencanaan dan pemrograman

Dalam perencanaan, terdapat 5 tahapan penting yang dijelaskan oleh Cutlip, Center & Broom (2013).

1. Tujuan atau misi


Seperti yang telah disampaikan diatas, sebuah program PR harus bertujuan untuk mengatasi
masalah yang ada dengan berdasar hasil riset. Dalam menentukan misi, perihal solusi dan
kondisi yang diharapkan harus jelas. Fungsi dari menentukan tujuan pertama adalah untuk
mengikat seluruh bagian organisasi dalam tanggung jawab, kemudian yang kedua adalah
memberikan kerangka program PR kedepannya (Cutlip, Center, & Broom, 2008)

2. Publik target
Melaksanakan program PR, praktisi perlu untuk menentukan target program secara spesifik.
Publik taegt dikategorikan menjadi laten, sadar dan aktif, yang kemudian menentukan
prioritas target dari program. Untuk mendefinisikan stakeholder target, terdapat beberapa
pendekatan sebagai berikut:
 Geografis
 Demografis
 Psikografis
 Kekuatan tersembunyi
 Posisi
 Reputasi
 Keanggotaan
 Peran dalam proses keputusan

3. Objektif atau sasaran


Objektif merupakan fokus yang akan dicapai dari program atau kampanye PR. Objektif
merupakan basis utama dalam strategi dan taktik yang digunakan dalam program. Sehingga
setiap pergerakan dan tindakan dalam program harusnya sesuai dengan apa yang telah
disasar. Objektif juga menjadi landasan dalam menilai keberhasilan dari program PR

4. Aksi
Aksi dalam program PR adalah tentang bagaimana strategi direalisasikan. Praktiknya akan
berhubungan dengan kegiatan, perubahan, tindakan dan taktik yang akan digunakan dalam
program PR. Manajemen dalam pelaksanaan pun perlu diperhatikan agar setiap peran
direalisasikan dengan baik.

5. Komunikasi
Yang menjadi pokok dalam program PR adalah pesan yang ingin disampaikan dalam
program. Tentunya, pesan harus bercermin pada tujuan dan objektif yang telah dirumuskan.
Media yang digunakan pun dapat berpengaruh dalam penyampaian pesan, sehngga
sebaiknya pesan juga sesuaikan dengan kapabilitas dari media yang digunakan.

You might also like