Professional Documents
Culture Documents
Restatement Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian 20220312
Restatement Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian 20220312
b
cover_kebatalan perjanjian_v4_arsip_dpn.pdf 1 12/15/10 4:48 PM
u
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
ne
ng
do
gu
In
A
ah
lik
am
ub
C
M
ep
k
Y
ah
CM
R
si
MY
CY
ne
ng
CMY
do
gu
In
A
ah
lik
m
ub
ka
ep
Elly Erawati
ah
Herlien Budiono
R
es
M
ng
on
gu
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
ne
ng
do
gu
In
A
ah
lik
PENJELASAN HUKUM
TENTANG KEBATALAN
am
PERJANJIAN ub
ep
k
ah
si
ne
ng
do
gu
In
A
ah
lik
m
ub
ka
ep
ah
es
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian
ne
ng
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang.
Diterbitkan pertama kali oleh Nasional Legal Reform Program, Jakarta, 2010
do
gu
In
A
ah
lik
Penulis: Elly Erawati, Herlien Budiono Editor: Sebastian Pompe
Pengulas: Didi Dermawan Gregory Churchill
Ahli Internasional: Prof. Dr. Jaap Hijma Mardjono Reksodiputro
am
ub
Pelaksana Penelitian: Komisi Hukum Nasional (KHN) Binziad Kadafi
Peneliti: Frans Hendra Winarta Fritz Edward Siregar
A.F. Elly Erawaty Harjo Winoto
Mujahid A. Latief
Fisella Mutiara A.L.Tobing
ep
T. Rifqy Thantawi
k
M. Djodi Santoso
Hardian Aprianto
ah
Aryanti Hoed
Ikhwan Fakhrojih
R
si
Diani Indah Rachmitasari
Totok Suryawan Wibowo
Yuniarti Widyaningsih
ne
ng
Jamil Burhan
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun (seperti cetak, fo-
do
tokopi, mikrofilm, VCD, CD-ROM, dan rekaman suara) tanpa izin tertulis dari Penerbit.
gu
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
ah
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu
lik
ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
m
ub
ka
ep
es
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
ne
ng
do
gu
DAFTAR ISI
In
A
ah
lik
Kata Pengantar ............................................................................................................... v
am
ub
Ringkasan Eksekutif ...................................................................................................
ep 1
3
k
35
R
Perspektif Internasional .........................................................................................
si
45
ne
ng
do
gu
lik
ub
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
2. Tidak Terpenuhinya Syarat Sahnya Perjanjian ..................................................... 64
si
C. Analisis Putusan Pengadilan tentang
ne
ng
Topik Kebatalan Perjanjian ......................................................................... 85
Daftar Putusan ....................................................................................................................... 107
do
gu
Daftar Literatur . .................................................................................................................... 109
In
109
A
A. Daftar Literatur Penelitian ..........................................................................................
B. Daftar Skripsi, Tesis, dan Disertasi ............................................................................ 112
ah
115
lik
C. Daftar Artikel/Makalah . ...............................................................................................
ub
A. Pengaturan Batal Demi Hukum dalam Peraturan Perundang-
Undangan di Luar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/BW
ep
(Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan
k
Presiden) dari Tahun 1945 Hingga 2009 yang Masih Berlaku ............... 117
ah
si
2. Peraturan Pemerintah .................................................................................................. 119
120
ne
ng
do
gu
lik
ub
ep
es
iv Dokumen
Daftar Isi Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
KATA PENGANTAR
si
PENJELASAN HUKUM TENTANG KEBATALAN PERJANJIAN
ne
ng
Ketidakpastian hukum merupakan masalah utama di Indonesia pada zaman modern
ini. Ketidakpastian hukum merupakan masalah besar dan sistemik yang mencakup
do
gu
keseluruhan unsur masyarakat. Ketidakpastian hukum juga merupakan hambatan
untuk mewujudkan perkembangan politik, sosial dan ekonomi yang stabil dan adil.
Singkat kata, jika seseorang ditanya apa hukum Indonesia tentang subjek tertentu,
In
A
sangat sulit bagi orang tersebut untuk menjelaskannya dengan pasti, apalagi
bagaimana hukum tersebut nanti diterapkan. Ketidakpastian ini banyak yang
ah
lik
bersumber dari hukum tertulis yang umumnya tidak jelas dan kontradiktif satu sama
lain. Selain itu, ketidakpastian dalam penerapan hukum oleh institusi pemerintah
maupun pengadilan. Yang menjadi garis bawah dari ketidakpastian hukum adalah
am
ub
lemahnya lembaga dan profesi hukum. Itu dapat kita lihat di lingkungan peradilan,
di mana hakim terus-menerus tidak menjaga konsistensi dalam putusan mereka.
Advokasi pun tidak berhasil untuk betul-betul menjaga standar profesi mereka.
ep
k
Ketidakpastian hukum juga bersumber dari dunia akademik yang ternyata kurang
ah
berhasil untuk membangun suatu disiplin ilmiah terpadu dalam analisis peraturan
R
perundangan dan putusan pengadilan. Lemahnya ‘legal method’ di dunia akademik
si
adalah alasan pokok kenapa akuntabilitas pengadilan dan lembaga negara tetap
lemah.
ne
ng
do
gambar yang jelas tentang beberapa konsep penting hukum Indonesia modern.
gu
Metode yang digunakan adalah analisis terhadap tiga sumber hukum: peraturan
perundang-undangan, putusan pengadilan, dan literatur yang otoritatif. Tujuan
In
A
kedua dari proyek ini adalah untuk membangun kembali ‘the legal method’, yaitu
sistem penelitian dan diskursus hukum yang riil oleh kalangan universitas, institusi
penelitian dan organisasi swadaya masyarakat. Tentunya restatement ini tidak
ah
lik
dimaksudkan sebagai kata terakhir atau tertinggi untuk suatu topik hukum yang
dibahas di dalamnya. Namun, restatement ini bisa memperkaya nuansa hukum
m
ub
jelas mempunyai kebebasan untuk menyetujui atau menolak hasil analisis dalam
ep
restatement ini, namun kami berharap supaya restatement ini bisa mencapai suatu
kepastian hukum lebih besar untuk topik-topik tertentu, terutama dalam struktur
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
analisis terhadap disiplin hukum tertentu, agar pembahasan tentang topik tersebut
si
mampu menapak suatu tingkatan intelektual yang lebih tinggi.
Alasan kami memilih topik kebatalan perjanjian sebagai salah satu pokok
ne
ng
bahasan restatement adalah pentingnya arti restatement sebagai satu rujukan
yang mendalam dan sistematik tentang suatu topik yang masih mengandung
ketidakpastian di dalamnya. Salah satu isu dalam hukum perdata yang masih
do
gu
mengandung ketidakpastian konsep dan interpretasi adalah masalah kebatalan
khususnya masalah batal demi hukum (null and void).
Akhir kata, kami berharap “mimpi” kami untuk mewujudkan koherensi,
In
A
konsistensi dan kesesuaian diskursus hukum perdata dapat terakomodasi dengan
baik dalam program restatement ini sehingga mempunyai faedah bagi para
ah
lik
stakeholders.
am
ub
Hormat kami,
ep
k
ah
Sebastiaan Pompe
R
Program Manager
si
ne
ng
do
gu
In
A
ah
lik
m
ub
ka
ep
ah
es
vi Dokumen
Kata Pengantar
Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
RINGKASAN EKSEKUTIF
si
Restatement penting artinya sebagai satu rujukan yang mendalam dan sistematik tentang
ne
ng
suatu topik yang masih mengandung ketidakpastian di dalamnya. Salah satu isu dalam
hukum perdata yang masih mengandung ketidakpastian konsep dan interpretasi adalah
masalah kebatalan, khususnya masalah batal demi hukum (null and void).
do
gu
Kebatalan menyangkut persoalan tidak terpenuhinya syarat sahnya suatu
perjanjian, yaitu (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan untuk
membuat suatu perikatan; (3) suatu hal tertentu; (4) suatu sebab yang halal. Menurut
In
Prof. Subekti, keempat syarat tersebut diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu syarat
A
subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif meliputi sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Sementara syarat objektif
ah
lik
meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
Tidak terpenuhinya syarat subjektif berakibat suatu perjanjian dapat dibatalkan/
dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak, sedangkan tidak terpenuhinya
am
ub
syarat objektif menyebabkan suatu perjanjian batal demi hukum secara serta merta atau
perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian
tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum telah gagal. Dengan demikian, tidak
ep
ada dasar bagi para pihaknya untuk saling menuntut di depan hakim. Hal ini dalam
k
bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu adalah null and void.
ah
si
kebatalannya, nulitas dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan mutlak. Yang
dimaksud dengan kebatalan mutlak dan kebatalan relatif menurut Prof. Dr. R. Wirjono
ne
Prodjodikuro, S.H., adalah suatu pembatalan mutlak (absolute nietigheid), apabila suatu
ng
perjanjian harus dianggap batal meskipun tidak diminta oleh suatu pihak. Perjanjian
seperti ini dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap siapa pun juga, sedangkan
do
pembatalan relatif (relatief nietigheid), yaitu hanya terjadi jika diminta oleh orang-orang
gu
lik
ub
adalah dapat dibatalkan. Hal ini dapat kita jumpai dalam Pasal 1446 BW.
Mr. A. Pitlo berpendapat bahwa dalam soal nulitas (kebatalan), alasan-alasan yang
ka
ditentukan oleh undang-undang terdapat dalam sekian banyak variasi, dan beraneka
ep
ragamnya corak alasan-alasan yang dapat menjadi landasan kebatalan. Masalah yang
muncul dalam soal kebatalan, khususnya mengenai batal demi hukum, antara lain
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
pengertian, batasan, dan unsur-unsur untuk menyatakan tidak terpenuhinya syarat
si
objektif, yaitu hal tertentu dan sebab yang halal. Yang dimaksud hal tertentu adalah suatu
perjanjian harus memiliki objek yang diperjanjikan dan objek tersebut harus ditentukan
ne
jenisnya. Pasal 1332 KUH Perdata menyatakan bahwa hanya barang-barang yang dapat
ng
diperdagangkan yang dapat dijadikan sebagai objek perjanjian sehingga barang-barang
yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat dijadikan objek perjanjian.
do
Dalam hal batal demi hukum karena peraturan perundang-undangan menentukan
gu
demikian, berdasarkan penelusuran, didapatkan sejumlah peraturan perundang-
undangan yang menentukan batal demi hukum, yaitu berupa Undang-Undang (UU),
Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Keppres) dari tahun 1945 sampai
In
A
dengan 2009. Berdasarkan hasil penelusuran awal tim peneliti, terdapat 22 UU, 13 PP, dan
4 Keppres yang memuat secara tegas ketentuan tentang batal demi hukum. Isu menarik
ah
lik
hukum adalah peraturan perundang-undangan tingkat mana yang seharusnya dapat
mengatur tentang ketentuan batal demi hukum, apakah setiap tata urutan perundang-
am
ub
undangan berwenang mengatur tentang batal demi hukum. Dalam perkembangannya,
setelah dilakukan seleksi terhadap jumlah tersebut, hanya beberapa UU yang termasuk
berkaitan erat dengan tema penelitian.
ep
Tim peneliti juga telah melakukan pengumpulan dan analisis awal terhadap
k
putusan-putusan yang menyatakan batal demi hukum. Jumlah putusan yang diteliti,
ah
antara lain Yurisprudensi MA RI tahun 1969 sampai dengan tahun 2008 berjumlah 17
R
yurisprudensi yang menyatakan suatu kebatalan. Dari jumlah tersebut, 11 yurisprudensi
si
menyatakan suatu perjanjian itu batal demi hukum, sedangkan sisanya menyatakan dapat
dibatalkan. Selain itu, tim peneliti juga telah melakukan pengumpulan dan analisis awal
ne
ng
terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang putusannya
menyatakan bahwa suatu perjanjian itu dinyatakan batal demi hukum, dari tingkat PN,
PT sampai MA sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 2008 sejumlah 49 putusan. Dalam
do
gu
tanah atau bangunan rumah, serta kasus utang piutang dengan jaminan tanah atau
bangunan rumah. Sebagian besar putusan menyatakan bahwa suatu perjanjian itu
dinyatakan batal demi hukum karena tidak terpenuhinya unsur sebab yang halal, yaitu
ah
lik
ub
di dalam kasus tersebut dinyatakan batal demi hukum karena jual-beli tanah dengan hak
membeli kembali tidak dikenal dalam hukum adat. Jual-beli dengan hak membeli kembali
ka
merupakan bentuk perjanjian menurut Pasal 1519 BW, sedangkan jual-beli tanah/rumah
ep
harus mengikuti ketentuan di dalam UU Pokok Agraria yang dikuasai hukum adat, dan
hukum adat tidak mengenal bentuk jual-beli dengan hak membeli kembali.
ah
es
2 Dokumen Penjelas
Ringkasan Eksekutif
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
DOKUMEN PENJELAS
si
TENTANG KEBATALAN PERJANJIAN
ne
ng
Penulisan restatement hukum tentang kebatalan dalam perjanjian ini dimaksudkan
do
untuk menyatakan atau menegaskan kembali secara tertulis apa yang merupakan
gu
kaidah atau norma hukum tentang persoalan kebatalan dalam perjanjian, sesuai
dengan hukum tertulis, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
In
A
(KUH Perdata), yang dikuatkan oleh keputusan hakim dan pendapat para ahli
hukum di bidang hukum perdata. Dengan demikian, diharapkan restatement ini
dapat dimanfaatkan sebagai rujukan bagi para praktisi dan akademisi hukum ketika
ah
lik
mereka menghadapi persoalan mengenai kebatalan dalam perjanjian. Oleh karena
itu, restatement ini bukan merupakan norma hukum baru, melainkan pengulangan
am
ub
kembali norma hukum yang telah ada untuk mempertegas atau memperjelas.
Restatement ini ditulis berdasarkan hasil penelitian normatif terhadap (1) KUH
Perdata sebagaimana diterbitkan dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan
ah
Republik Indonesia Menurut Sistem Engelbrecht, Vol. 1, PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
R
si
Cetakan I, Jakarta, 2006; (2) pendapat para ahli hukum perdata yang ditulis dalam
buku teks ataupun artikel ilmiah; (c) beberapa putusan hakim yang telah menjadi
ne
ng
do
praktisi yang juga sebagai akademisi hukum perdata untuk dipastikan kebenaran
gu
dan ketepatannya. Draf tersebut kemudian didiskusikan dalam forum diskusi (focused
group discussion) dan kemudian dipresentasikan melalui forum seminar, keduanya
In
A
dihadiri oleh para pakar hukum, seperti pengacara, konsultan hukum, notaris,
hakim, corporate lawyers, dan dari kalangan akademisi. Setelah melalui serangkaian
uji publik tersebut, draf restatement diedit dan ditulis ulang sehingga menghasilkan
ah
lik
ub
tentang unsur atau bagian perjanjian. Penulisan berbagai persoalan tersebut hanya
akan tepat apabila restatement ini tentang Hukum Kontrak secara utuh.
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
C. Luas Lingkup Isi Restatement
si
Dalam Buku III KUH Perdata ditemukan banyak pasal yang menyebut kata “batal,
batalnya, membatalkan, pembatalan, kebatalan, dan batal demi hukum”. Sehubungan
ne
ng
dengan hal itu maka isi keseluruhan restatement ini akan menegaskan kembali:
1. Pengertian beberapa istilah, yaitu ‘batal’, ‘batal demi hukum’, ‘dapat dibatalkan’,
do
gu
‘membatalkan’, ‘pembatalan’, dan ‘kebatalan’.
2. Dalam hal apa atau kondisi bagaimana suatu perjanjian yang menimbulkan
perikatan bagi pihak yang membuatnya akan batal demi hukum atau dapat
In
A
dibatalkan.
3. Siapa yang dapat meminta atau menuntut pembatalan suatu perjanjian, syarat agar
tuntutan tersebut berhasil, dan siapa yang berwenang membatalkan perjanjian.
ah
lik
4. Batas waktu penuntutan pembatalan suatu perjanjian.
5. Akibat hukum dari perjanjian yang batal demi hukum atau yang dapat
am
ub
dibatalkan.
Frasa ‘batal demi hukum’ merupakan frasa khas bidang hukum yang bermakna
ep
‘tidak berlaku, tidak sah menurut hukum’. Dalam pengertian umum, kata batal (saja)
k
sudah berarti tidak berlaku, tidak sah.1 Jadi, walaupun kata‘batal’sesungguhnya sudah
ah
cukup menjelaskan bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau tidak sah, rupanya
R
si
frasa ‘batal demi hukum’ lebih memberikan kekuatan sebab tidak berlaku atau tidak
sahnya sesuatu tersebut dibenarkan atau dikuatkan menurut hukum, bukan hanya
ne
ng
do
gu
lik
hukum’ sebab ‘dapat dibatalkan’ menyiratkan makna perlunya suatu tindakan aktif
untuk membatalkan sesuatu, atau batalnya sesuatu itu terjadi tidak secara otomatis,
tidak dengan sendirinya, tetapi harus dimintakan agar sesuatu itu dibatalkan.
m
ub
Kecuali itu, frasa ‘dapat dibatalkan’ juga berarti bahwa sesuatu yang menjadi pokok
ka
ep
1 Arti lain dari lema atau kata ‘batal’ dalam Bahasa Indonesia adalah tidak jadi dilangsungkan, ditunda,
urung, tidak berhasil, gagal. Lihat, Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat,
Gramedia Pustaka Utama, 2008.
ah
es
4 Dokumen Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
persoalan tidak selalu harus dibatalkan, tetapi bila dikehendaki maka sesuatu
si
itu dapat dimintakan pembatalannya. Dengan kata lain, bila sesuatu hal ‘dapat
dibatalkan’ maka bisa terjadi dua kemungkinan:
ne
ng
1. sesuatu itu benar-benar menjadi batal karena dinyatakan pembatalannya akibat
adanya permintaan untuk membatalkan, atau
2. sesuatu itu tidak jadi batal karena tidak dimintakan pembatalan sehingga tidak
do
gu
ada pernyataan batal.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa 2008), pada lema ‘batal’
In
A
tercantum bentuk derivasinya, yaitu membatalkan dan pembatalan, tidak tercantum
bentuk derivasi ‘kebatalan’.2 Hal ini berbeda dengan lema absah, yang bentuk
ah
lik
derivasinya mengabsahkan, pengabsahan, dan keabsahan. Tampaknya, bentuk
derivasi ‘kebatalan’ dianggap tidak lazim dalam Bahasa Indonesia, berbeda dengan
‘keabsahan’ yang mungkin lebih banyak digunakan dalam bahasa lisan maupun
am
ub
tulis. Namun demikian, karena dalam Hukum Perjanjian selalu ditemukan persoalan
tentang perjanjian yang dapat dibatalkan dan yang batal demi hukum, agar isi
restatement ini mencakup kedua hal itu, istilah yang dipakai adalah ‘kebatalan’
ep
k
si
D. Isi Restatement
ne
ng
do
beberapa alasan untuk membatalkan perjanjian. Alasan itu dapat dikelompokkan
gu
lik
2 Ibid.
ep
3 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa: 2008), keabsahan adalah kata benda yang
berarti sifat yang sah, atau kesahan. Ibid.
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
e. pembatalan oleh pihak yang diberi wewenang khusus berdasarkan undang-
si
undang.
ne
2. Perjanjian Batal Demi Hukum (Null and Void; Nietig)
ng
Apabila perjanjian batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan
suatu perjanjian, dan dengan demikian tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan
do
gu
para pihak yang membuat perjanjian semacam itu, yakni melahirkan perikatan
hukum, telah gagal. Jadi, tidak ada dasar untuk saling menuntut di muka hakim.4
In
Berikut ini restatement tentang alasan mengapa perjanjian batal demi hukum.
A
a. Batal Demi Hukum Karena Syarat Perjanjian Formil Tidak Terpenuhi
ah
lik
Pada perjanjian yang tergolong sebagai perjanjian formil, tidak dipenuhinya
ketentuan hukum tentang, misalnya bentuk atau format perjanjian, cara
pembuatan perjanjian, ataupun cara pengesahan perjanjian, sebagaimana
am
ub
diwajibkan melalui peraturan perundang-undangan, berakibat perjanjian
formil batal demi hukum. Ahli hukum memberikan pengertian perjanjian formil
sebagai perjanjian yang tidak hanya didasarkan pada adanya kesepakatan para
ep
k
R
tertentu itu, misalnya tentang bentuk atau format perjanjian yang harus dibuat
si
dalam bentuk tertentu, yakni dengan akta otentik ataupun akta di bawah
tangan. Akta otentik yang dimaksud adalah akta yang dibuat oleh notaris atau
ne
ng
pejabat hukum lain yang memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik
menurut undang-undang.
do
Beberapa contoh perjanjian di bidang Hukum Kekayaan yang harus
gu
KUH Perdata.
•
Pendirian perseroan terbatas: Pasal 7 butir 1 UU No 40 tahun 2007 tentang
ah
lik
Perseroan Terbatas.
m
ub
6 Herlien Budiono, ibid., hlm. 47–48; Subekti, Catatan No. 4, hlm. 15. Cessie (Pasal 613 KUH Perdata)
dan dading (Pasal 1851 KUH Perdata) dapat dibuat dengan akta otentik ataupun di bawah tangan sebab
KUH Perdata hanya mensyaratkan pembuatan dalam bentuk tertulis.
ah
es
6 Dokumen Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
•
a
Jaminan fidusia: Pasal 5 butir 1 UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan
si
Fidusia.
• Perjanjian penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi:
ne
ng
Pasal 9 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
• Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT): Pasal 15 ayat (1) UU
do
gu No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda
yang Berkaitan dengan Tanah. SKMHT dapat pula dibuat dengan Akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) menurut Pasal 15 ayat (1) UU tersebut.
In
A
Pengaturan oleh undang-undang tentang formalitas tertentu yang harus
ah
lik
dipenuhi untuk perjanjian formil di atas, memang merupakan pengecualian
dari asas konsensualisme dalam hukum perjanjian yang berlaku secara umum.7
Sebab, menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian sudah terbentuk
am
ub
dengan adanya kesepakatan dari para pihak yang membuatnya. Kemudian,
agar perjanjian itu sah adanya maka harus memenuhi syarat-syarat dalam Pasal
1320 KUH Perdata. Namun, asas tersebut tidak cukup untuk perjanjian formil
ep
k
karena masih ada formalitas lain yang diatur dalam undang-undang yang harus
ah
dipatuhi. Jadi, perjanjian formil memang tidak cukup bila hanya berdasarkan
R
pada asas konsensualisme.
si
Apabila perbuatan hukum yang wajib dilakukan dalam bentuk formal tertentu
ne
yang diwajibkan oleh UU tidak dipatuhi, akan berakibat bahwa perbuatan hukum
ng
tersebut batal demi hukum.8 Hal ini ditegaskan, antara lain, dalam:
do
gu
1) Pasal 617 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “Tiap-tiap akta dengan
mana kebendaan tak bergerak dijual, dihibahkan, dibagi, dibebani, atau
dipindahtangankan, harus dibuat dalam bentuk otentik, atas ancaman
In
kebatalan”.
A
2) Pasal 1682 KUH Perdata yang berbunyi “Tiada statu hibah, kecuali yang
disebutkan dalam Pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan
ah
selainnya dengan status akta notaris yang aslinya disimpan oleh notaris
lik
itu”.
3) Pasal 22 KUHDagang yang menyebut “Tiap firma harus didirikan dengan
akta otentik, tetapi ketiadaan akta tidak dapat dikemukakan untuk
m
ub
ep
7 Subekti, Ibid.
8 Subekti, ibid.; Herlien Budiono, Ibid.
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
4) Pasal 15 ayat (6) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
si
atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah,
menyebutkan bahwa “(6) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan
ne
ng
dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum”.
do
gu
5) Pasal 9 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa: “(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian
sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan
In
mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang
A
ditandatangani oleh para pihak. (2) Dalam hal para pihak tidak dapat
menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta
ah
lik
notaris. (3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus memuat: (a) masalah yang dipersengketakan; (b) nama lengkap
dan tempat tinggal para pihak; (c) nama lengkap dan tempat tinggal
am
ub
arbiter atau majelis arbitrase; (d) tempat arbiter atau majelis arbitrase
akan mengambil keputusan; (e) nama lengkap sekretaris; (f) jangka
waktu penyelesaian sengketa; (g) pernyataan kesediaan dari arbiter; (h)
ep
pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung
k
si
b. Batal Demi Hukum Karena Syarat Objektif Sahnya Perjanjian Tidak
ne
ng
Terpenuhi
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus ada
suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Keduanya sering disebut sebagai
do
gu
syarat objektif untuk sahnya perjanjian. Syarat objektif pertama, yaitu suatu hal
tertentu diartikan oleh Mariam Darus Badrulzaman9 dan Herlien Boediono10
sebagai objek atau pokok perjanjian, atau apa yang menjadi hak dari kreditor
In
A
dan kewajiban bagi debitor menurut Subekti.11 Objek perjanjian berupa barang,
sebagaimana disebut dalam Pasal 1332, 1333, dan 1334 ayat (1).12
ah
lik
9 Mariam Darus Badrulzaman, “Perikatan pada Umumnya”, dalam buku berjudul Kompilasi Hukum Per-
ikatan, Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 79–80.
m
ub
12 Istilah barang dalam ketiga pasal tersebut harus ditafsirkan secara ekstensif sehingga mencakup penger-
ep
tian objek perjanjian yang prestasinya adalah untuk melakukan sesuatu, dengan demikian dapat men-
cakup pengertian jasa juga. Hal ini penting karena dalam transaksi bisnis modern, objek perjanjian tidak
hanya terbatas pada barang, tetapi juga berupa jasa.
ah
es
8 Dokumen Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
Pasal 1332: “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat
si
menjadi pokok persetujuan”.
Pasal 1333 “Suatu persetujuan harus mempunyai pokok suatu barang yang
paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa
ne
ng
jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan
atau dihitung”.
Pasal 1334 ayat (1) “Barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat
do
gu
menjadi pokok suatu persetujuan”.
Berdasarkan Pasal 1332 dan 1333 KUH Perdata, jelaslah bahwa untuk sahnya
In
A
perjanjian maka objeknya haruslah tertentu, atau setidaknya cukup dapat
ditentukan. Objek perjanjian tersebut dengan demikian haruslah:13
ah
lik
1) dapat diperdagangkan;
2) dapat ditentukan jenisnya;
3) dapat dinilai dengan uang, dan
am
ub
4) memungkinkan untuk dilakukan/dilaksanakan.
Selain itu, objek perjanjian dapat juga berupa barang yang baru akan ada,
ep
k
sebagaimana disebut dalam Pasal 1334 ayat (1).14 Maksudnya adalah ketika
ah
perjanjian dibuat barang yang diperjanjikan itu belum ada sebab mungkin
R
belum dibuat atau sedang dalam proses pembuatan, dan bukan berarti bahwa
si
barang tersebut tidak ada.
Perjanjian yang objeknya tidak jelas karena tidak dapat ditentukan jenisnya,
ne
ng
atau tidak dapat diperdagangkan, atau tidak dapat dinilai dengan uang, atau
yang tidak mungkin dapat dilakukan, menjadi batal demi hukum. Tanpa objek
do
gu
yang jelas, perjanjian akan sulit atau bahkan mustahil dilakukan oleh para pihak.
Perjanjian yang tidak jelas objeknya bukanlah perjanjian yang sah sehingga ipso
jure batal demi hukum.
In
A
Syarat objektif kedua untuk sahnya perjanjian adalah suatu sebab atau kausa
yang halal. Tidak ada penjelasan dalam KUH Perdata tentang makna ‘sebab yang
ah
lik
ub
14 Namun, pasal ini juga menyebutkan “Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan
yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekalipun
dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok persetujuan
ka
itu; dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan Pasal 169, 176, dan 178 yang dilarang oleh un-
ep
dang-undang untuk dijadikan pokok perjanjian adalah benda-benda yang berada di luar perdagangan
dan warisan yang belum terbuka”. Artinya, perjanjian dengan objek warisan yang belum jatuh terbuka
adalah batal demi hukum.
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
halal’ itu, tetapi para ahli hukum sepakat memaknainya sebagai isi atau dasar
si
perjanjian,15 bukan sebagai penyebab ataupun motif dibuatnya perjanjian.16
Perjanjian yang dibuat tanpa adanya sebab yang halal maka perjanjian tersebut
ne
ng
tidak sah, tidak berkekuatan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1335 KUH
Perdata yang berbunyi “Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat
karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. 17
do
gu
Kausa suatu perjanjian dinyatakan bukan merupakan sebab yang halal
sehingga terlarang, apabila kausa tersebut menurut Pasal 1337 KUH Perdata
merupakan kausa yang “dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan
In
A
dengan kesusilaan, baik atau ketertiban umum”. Perjanjian seperti ini tidak boleh
atau tidak dapat dilaksanakan sebab melanggar hukum atau kesusilaan atau
ah
lik
ketertiban umum. Kondisi semacam itu menurut Subekti, sudah sangat jelas
dapat diketahui seketika oleh hakim dan juga oleh umum sehingga untuk
alasan ketertiban dan keamanan umum maka perjanjian semacam itu dengan
am
ub
sendirinya batal demi hukum.18
undangan yang bersifat memaksa sehingga tidak boleh disimpangi para pihak,
ah
perlu diperhatikan apakah rumusan ketentuan itu menyebut secara eksplisit akibat
R
hukum bila apa yang diatur dalam perundang-undangan itu dilanggar. Terdapat
si
beberapa UU yang secara jelas dan eksplisit menyatakan bahwa menjadikan apa
yang terlarang menurut UU sebagai kausa perjanjian, berakibat perjanjian itu batal
ne
ng
do
gu
15 Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 18 dan Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 113.
16 Subekti, ibid.; Mariam Darus Badrulzaman, Catatan No. 9 di atas, hlm. 81.
ah
lik
17 Pasal 1335 seperti dipatahkan oleh Pasal 1336 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Jika tak dinya-
takan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, atau jika ada sebab lain yang tidak dilarang
selain dari yang dinyatakan itu, persetujuan itu adalah sah”. Namun, menurut Herlien Boediono,
m
ub
Pasal 1336 dimaksudkan untuk perjanjian yang kausanya tidak dinyatakan secara eksplisit oleh para
pihak atau kausanya berbeda dari apa yang dinyatakan, namun tetap merupakan sebab yang halal se-
hingga perjanjian seperti itu tetap sah. Tampaknya, latar belakang rumusan pasal ini berkaitan dengan
ka
pengakuan utang. Dalam perjanjian pengakuan utang asal mula timbulnya utang tidak disebut secara
eksplisit, atau dikenal sebagai utang tanpa kausa. Lihat, Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm.
ep
112.
18 Subekti, Catatan No. 4, hlm. 19.
ah
es
10 Dokumen Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak
si
milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing
atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah
ne
ng
termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan
tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak
lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran
do
gu
yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali”.
2) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 124: “(3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan
In
A
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi
hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-
ah
lik
undangan”.
Pasal 127: “(1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/
am
ub
buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama. (2)
Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka
ep
ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan yang
k
3) UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-
R
si
Benda yang Berkaitan dengan Tanah
Pasal 12: “Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak
Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera
ne
ng
do
gu
lik
demi hukum”.
ub
Pasal 18: “(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha
ep
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
6) UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
si
Pasal 33: ”(1) Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing
yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas
dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan
ne
ng
bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama
orang lain. (2) Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam
modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana
do
gu
dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan
batal demi hukum”.
7) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
In
A
Pasal 37: ”(2) Pembelian kembali saham, baik secara langsung maupun
tidak langsung, yang bertentangan dengan ayat (1) batal karena hukum.
(3) Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian
ah
lik
yang diderita pemegang saham yang beritikad baik, yang timbul akibat
pembelian kembali yang batal karena hukum sebagaimana dimaksud
pada ayat (2)” .
am
ub
8) UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Pasal 27: ”(1) Saham penyelenggara yang berbentuk badan usaha milik
negara dan badan usaha milik daerah yang berkaitan dengan pelayanan
ep
publik dilarang dipindahtangankan dalam keadaan apa pun, baik
k
si
dalam peraturan perundang-undangan. (2) Perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dinyatakan batal demi hukum”.
ne
ng
do
gu
yang berkaitan dengan Paten itu. (3) Segala bentuk pengalihan Paten
sebagimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicatat dan diumumkan dengan
dikenai biaya. (4) Pengalihan Paten yang tidak sesuai dengan ketentuan
ah
lik
ub
c. Batal Demi Hukum Karena Dibuat oleh Orang yang Tidak Berwenang
Melakukan Perbuatan Hukum
ka
es
12 Dokumen Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
berwenang melakukan tindakan hukum adalah orang-orang yang oleh undang-
si
undang dilarang melakukan tindakan hukum tertentu.19 Jadi, seseorang yang
oleh undang-undang dikualifikasi sebagai tidak berwenang melakukan tindakan
ne
ng
hukum tertentu, tidak berarti bahwa ia juga tidak cakap. Dengan kata lain, orang
yang menurut undang-undang adalah cakap atau mampu melakukan tindakan
hukum ternyata dapat tergolong sebagai tidak berwenang melakukan tindakan
do
gu
hukum tertentu menurut undang-undang.
Perjanjian yang dilakukan oleh orang atau pihak yang menurut undang-
undang dinyatakan tidak berwenang, berakibat batal demi hukum. Artinya,
In
A
ketentuan dalam undang-undang tertentu yang menyatakan bahwa orang
atau pihak tertentu tidak berwenang, merupakan aturan hukum yang bersifat
ah
lik
memaksa sehingga tidak dapat disimpangi. Orang atau pihak tersebut adalah
mereka yang karena jabatan atau pekerjaannya, berdasarkan undang-undang
tertentu, dikategorikan tidak berwenang melakukan perbuatan hukum
am
ub
tertentu.
Dapat pula terjadi seseorang dinyatakan tidak wenang melakukan
perbuatan hukum tertentu karena menurut undang-undang, orang tersebut
ep
k
1999 tentang Bank Indonesia, Pasal 55 yang berbunyi: “(4) Bank Indonesia
R
dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang negara sebagaimana
si
dimaksud pada ayat (1), kecuali di pasar sekunder. (5) Perbuatan hukum Bank
Indonesia membeli surat utang negara untuk diri sendiri tidak di pasar sekunder
ne
ng
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dinyatakan batal demi hukum”. Pasal 56:
“(1) Bank Indonesia dilarang memberikan kredit kepada Pemerintah. (2) Dalam
do
gu
hal Bank Indonesia melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
perjanjian pemberian kredit kepada Pemerintah tersebut batal demi hukum”.
In
A
lik
perjanjian itu sepakat bahwa bila peristiwa atau fakta tersebut benar terjadi
maka perjanjian tersebut menjadi batal. Syarat batal ini merupakan kebalikan
m
ub
dari syarat tangguh, yang apabila peristiwa atau fakta yang belum tentu terjadi
di masa depan itu benar terjadi adanya maka justru membuat lahirnya per
ka
ep
19 Lihat, Pasal 907, 1467, 1468, 1469, 1470, 1471 KUH Perdata. Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas,
hlm. 105.
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
janjian yang bersangkutan. Ketentuan tentang kedua syarat ini diatur dalam
si
Pasal 1253 KUH Perdata yang menyebut bahwa “Suatu perikatan adalah
bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin terjadi dan
ne
ng
memang belum terjadi, baik dengan cara menangguhkan berlakunya perikatan
itu sampai terjadinya peristiwa itu, maupun dengan cara membatalkan perikatan
itu, tergantung pada terjadi tidaknya peristiwa itu”.
do
gu
Perjanjian bersyarat yang pelaksanaannya semata-mata digantungkan
pada kemauan orang yang membuat perjanjian itu menurut Pasal 1256 KUH
Perdata adalah batal demi hukum. Pasal 1256 KUH Perdata menegaskan bahwa
In
A
“Semua perikatan adalah batal, jika pelaksanaannya semata-mata tergantung
pada kemauan orang yang terikat. Tetapi jika perikatan tergantung pada suatu
ah
lik
perbuatan itu telah terjadi, maka perikatan itu adalah sah”. Alasan dari ketentuan
ini masuk akal mengingat bahwa mengharapkan terjadinya suatu perjanjian
am
ub
semata-mata hanya pada kehendak atau kemauan seseorang merupakan hal
aneh kalau tak dapat disebut sia-sia, sebab perjanjian seperti itu tidak akan
terjadi bila orang itu tidak menghendakinya.
ep
Demikian pula bila perjanjian memuat syarat yang bertujuan melakukan
k
sesuatu yang tak mungkin terlaksana, atau yang bertentangan dengan kesusilaan
ah
yang baik, atau bahkan yang dilarang oleh undang-undang, adalah batal demi
R
si
hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1254 KUH Perdata yang berbunyi “Semua
syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, sesuatu
ne
ng
yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau sesuatu yang dilarang oleh
UU adalah batal dan mengakibatkan persetujuan yang digantungkan padanya
tak berlaku.” Aturan ini mirip dengan syarat objektif untuk sahnya perjanjian,
do
gu
pada kondisi semula pada saat timbulnya perikatan itu atau dengan kata lain,
perjanjian yang batal demi hukum seperti itu berlaku surut hingga ke titik awal
ah
lik
perjanjian itu dibuat. Akibat selanjutnya adalah pihak yang telah menerima
prestasi atau sesuatu dari pihak lain maka ia harus mengembalikannya. Pasal
1265 KUH Perdata mengatur hal ini dengan menyebut bahwa “Suatu syarat batal
m
ub
adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa
segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu
ka
es
14 Dokumen Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
3. Perjanjian Dapat Dibatalkan (Voidable atau Vernietigbaar)
si
Secara teoretik, terdapat perbedaan antara perjanjian yang batal demi hukum
dengan perjanjian yang dapat dibatalkan. Hal yang disebut terakhir ini terjadi
ne
ng
apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi unsur subjektif untuk sahnya perjanjian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu kesepakatan para pihak dan
do
kecakapan para pihak untuk melakukan perbuatan hukum. Berikut ini restatement
gu
tentang hal tersebut.
In
A
a. Dapat Dibatalkan Karena Ada Cacat pada Kehendak Pihak yang Membuatnya
Unsur subjektif pertama untuk sahnya perjanjian adalah kesepakatan antarpihak
yang membuatnya. KUH Perdata tidak menjelaskan tentang apa yang diartikan
ah
lik
dengan sepakat, tetapi sebaliknya justru mengatur tentang kondisi yang
menyebabkan tidak adanya kata sepakat dari para pihak yang membuatnya.
am
ub
Dengan kata lain, KUH Perdata menyebutkan beberapa jenis keadaan atau
kondisi tertentu yang menjadikan perjanjian menjadi cacat sehingga terancam
kebatalan. Pasal-pasal tersebut adalah 1321, 1322, 1323, 1324, 1325, 1328
ep
sebagai berikut.
k
ah
Pasal 1321: “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan
R
si
karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.
Pasal 1322: “Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan,
ne
ng
kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi
pokok persetujuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan kebatalan, jika
kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya seseorang
do
bermaksud untuk mengadakan persetujuan, kecuali jika persetujuan itu
gu
lik
ub
Pasal 1325: “Paksaan menjadikan suatu persetujuan batal, bukan hanya bila
dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan, melainkan
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
juga bila dilakukan terhadap suami atau istri atau keluarganya dalam garis
si
ke atas maupun ke bawah”.
Pasal 1328: “Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan
suatu persetujuan bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak
ne
ng
adalah sedemikian rupa sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan
mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak
dapat hanya dikira-kira melainkan harus dibuktikan”.
do
gu
Subekti menjelaskan bahwa kekhilafan terjadi bila salah satu pihak khilaf
tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat
In
A
yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai
orang dengan siapa diadakan perjanjian itu.20 Mariam Darus Badrulzaman
ah
lik
menguraikan bahwa kekhilafan dapat terjadi mengenai orang yang dinamakan
error in persona, dan kekhilafan atau kesesatan mengenai hakikat barangnya yang
disebut error in substantia.21 Lebih lanjut, menurut Herlien Budiono, kekhilafan
am
ub
atau kekeliruan atau kesesatan itu dapat bersifat sebenarnya dan dapat pula
bersifat semu.22 Kekeliruan yang sebenarnya terjadi dalam hal antara kehendak
dan pernyataan para pihak saling berkesesuaian, namun kehendak salah satu
ep
k
pihak atau kedua pihak terbentuk secara cacat. Artinya, perjanjian memang
ah
si
kekeliruan atau kesesatan sehingga bila kekeliruan itu diketahui sebelumnya
maka tidak akan terbentuk perjanjian.23 Subekti juga menyebutkan bahwa
ne
ng
“kekeliruan itu harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak
khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.”
24
Dalam kekeliruan yang bersifat semu, menurut Herlien Budiono, sebenarnya
do
gu
tidak terbentuk perjanjian sebab pada situasi seperti itu belum terbentuk
kata sepakat di antara para pihak sehingga belum memenuhi unsur subjektif
pertama untuk sahnya perjanjian.25
In
A
ub
23 Ibid.
ep
es
16 Dokumen Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 23
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
hukum sehingga orang yang berada di bawah ancaman itu berada di bawah
si
ketakutan dan akhirnya memberikan persetujuannya dengan tidak secara
bebas.26 Ancaman itu menimbulkan ketakutan sedemikian rupa sehingga
ne
ng
meskipun kehendak orang yang diancam itu betul telah dinyatakan, kehendak
tersebut menjadi cacat hukum karena terjadi akibat adanya ancaman. Tanpa
adanya ancaman, kehendak itu tidak akan pernah terwujud. Paksaan juga dapat
do
gu
dilakukan oleh pihak ketiga yang sebenarnya tidak berkepentingan dalam
perjanjian tersebut, hal ini terlihat dari Pasal 1323 KUH Perdata.27
Apa yang diancamkan berupa kerugian pada orang atau kebendaan milik
In
A
orang tersebut atau kerugian terhadap pihak ketiga atau kebendaan milik pihak
ketiga.28 Hal ini tampak dari ketentuan dalam Pasal 1325. Namun demikian, perlu
ah
lik
diperhatikan bahwa pembuat undang-undang membedakan antara paksaan
yang membuat perjanjian mengandung unsur cacat kehendak dari pihak
yang membuatnya sehingga terancam pembatalan, dengan rasa takut karena
am
ub
hormat kepada anggota keluarga dalam garis lurus ke atas. Hal ini tampak dari
bunyi Pasal 1326, yaitu bahwa “Rasa takut karena hormat terhadap ayah, ibu atau
keluarga lain dalam garis lurus ke atas, tanpa disertai kekerasan, tidak cukup untuk
ep
k
dapat berupa sarana yang tergolong legal ataupun illegal, misalnya senjata
R
tajam atau pistol, sedangkan sarana yang legal, misalnya ancaman penyitaan
si
harta benda ataupun ancaman kepailitan.29
Penipuan terjadi bila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan
ne
ng
palsu atau tidak benar disertai akal cerdik atau tipu muslihat untuk membujuk
pihak lawan agar memberikan persetujuannya. Pihak yang menipu bertindak
do
gu
sengaja diberikan, atau bisa juga terjadi dengan tipu daya lainnya.31 Dalam hal
penipuan ini, jarang terjadi bahwa si pelaku hanya melakukan kebohongan suatu
hal, melainkan ia melakukan suatu rangkaian kebohongan. Hal ini tampak dari
ah
lik
26 Subekti, Catatan No. 4 di atas, hlm. 22; Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 97–98.
m
ub
27 Subekti, Ibid.
28 Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 97.
ka
29 Ibid.
ep
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 24
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
pilihan frasa dalam pasal di atas, yaitu ‘tipu muslihat’. Untuk menetapkan dan
si
membuktikan adanya hubungan kausalitas antara penipuan dan dilakukannya
perbuatan hukum berupa membuat persetujuan, harus dapat ditunjukkan
ne
ng
bahwa tanpa adanya penipuan itu, persetujuan untuk membuat perjanjian
tidak akan pernah dilakukan.
Akibat hukum bagi perjanjian yang dibuat karena adanya cacat pada
do
gu
kehendak pihak yang membuatnya sehingga tidak ada kata sepakat, adalah
dapat dibatalkan. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1449 KUH Perdata
In
A
yang menegaskan bahwa “Perikatan yang dibuat dengan paksaan, penyesatan
atau penipuan, menimbulkan tuntutan untuk membatalkannya”. Kalimat terakhir
ah
lik
bahwa perjanjian yang cacat pada kehendak pihak-pihak yang membuatnya
tidak otomatis batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, tetapi menjadi
am
ub
batal apabila ada penuntutan untuk membatalkannya.
Subekti mengatakan bahwa ketidakbebasan seseorang dalam memberikan
persetujuan pada sebuah perjanjian, memberikan hak kepada pihak
ep
k
si
harus dimengerti bahwa pihak lawan dari orang tersebut tidak boleh minta
pembatalan itu; hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak, yaitu
ne
ng
b. Dapat Dibatalkan Karena Dibuat oleh Orang yang Tidak Cakap Melakukan
do
gu
Tindakan Hukum
Syarat subjektif kedua untuk sahnya perjanjian adalah kecakapan para pihak
In
untuk membuat perjanjian. Pada prinsipnya, setiap orang sepanjang tidak
A
lik
menimbulkan perikatan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1329 KUH Perdata
yang berbunyi “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan,
m
ub
ep
es
18 Dokumen Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 25
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
termasuk membuat perjanjian.34 Pasal 1330 KUH Perdata menyebut bahwa
si
“Tidak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah
a. orang-orang yang belum dewasa;
ne
ng
b. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan”.
do
gu
tindakan hukum. Orang yang dapat mewakili mereka melakukan tindakan hukum
adalah orang tua atau wali yang sah menurut undang-undang, atau pengampu
dalam hal orang yang tidak cakap itu berada di bawah pengampuan.35
In
A
Akibat hukum bagi perikatan yang ditimbulkan dari perjanjian yang dibuat
oleh mereka yang tidak cakap hukum, diatur dalam Pasal 1446 yang menyatakan
ah
lik
bahwa “(1) Semua perikatan yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa atau
orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan
atas tuntutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal,
am
ub
semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya; (2) Perikatan
yang dibuat oleh perempuan yang bersuami dan oleh anak-anak yang belum
ep
dewasa yang telah disamakan dengan orang dewasa, tidak batal demi hukum,
k
si
batal demi hukum, para ahli hukum berpendapat bahwa frasa ‘batal demi
hukum’ itu tidak tepat. Mereka berpendapat akibat hukum dari perjanjian
ne
ng
seperti itu yang benar adalah ‘dapat dibatalkan’. Hal ini ditegaskan oleh Subekti,
Mariam Darus Badrulzaman, dan Herlien Budiono. Menurut Subekti, “Perjanjian
yang tidak memenuhi syarat subjektif, tidak begitu saja dapat diketahui
do
gu
oleh Hakim jadi harus dimajukan oleh pihak yang berkepentingan, dan bila
dimajukan kepada Hakim mungkin sekali disangkal oleh pihak lawan sehingga
memerlukan pembuktian. Oleh karena itu maka dalam halnya ada kekurangan
In
A
lik
34 Istilah undang-undang di sini dipakai karena Pasal 1329 KUH Perdata menyebutnya demikian. Namun,
m
ub
sebaiknya perlu diingat bahwa undang-undang lebih sempit maknanya daripada perundang-undangan
sebab yang terakhir ini mencakup peraturan hukum yang tidak hanya berupa undang-undang.
35 Perwalian untuk anak di bawah umur atau belum dewasa dapat dibedakan menjadi perwalian menurut
ka
undang-undang (Pasal 50 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Pasal 345 KUH Per-
ep
data), perwalian orang tua atas anak yang diakui, perwalian berdasarkan penetapan hakim (Pasal 331a
KUH Perdata), perwalian menurut wasiat (Pasal 51 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
juncto Pasal 355–357 KUH Perdata). Sumber: Herlien Budiono, Catatan No. 5 di atas, hlm. 103–104.
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 26
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
Jadi, perjanjian yang demikian itu bukannya batal demi hukum, tetapi dapat
si
dimintakan pembatalan.”36
Mariam Darus Badrulzaman juga menegaskan bahwa “karena alasan-alasan
ne
ng
yang dapat menimbulkan kebatalan suatu perikatan ialah kalau perikatan
tersebut cacat pada syarat-syarat objektif saja. Oleh karena itu, kata-kata batal
demi hukum pada Pasal 1446 KUH Perdata itu harus dibaca dengan dapat
do
gu
dibatalkan”.37 Dengan kata lain, sebenarnya yang dimaksud dengan batal demi
hukum dalam Pasal 1446 ayat (1) KUH Perdata adalah dapat dibatalkan. Herlien
Budiono juga memberi penegasan sekaligus menambah penjelasan dengan
In
A
menyebut bahwa “Perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak wenang galibnya
batal demi hukum (nietig), sedangkan perjanjian yang dilakukan oleh mereka
ah
lik
yang tidak cakap tidak ipso jure batal, tetapi dapat dibatalkan (vernietigbaar)”.38
Artinya, harus dibedakan antara orang yang tidak wenang melakukan tindakan
hukum dengan orang yang tidak cakap melakukan tindakan hukum.39 Perjanjian
am
ub
yang dilakukan oleh orang yang masuk kategori pertama, berakibat batal demi
hukum. Sementara perjanjian yang dibuat oleh orang yang masuk kelompok
kedua berakibat dapat dibatalkan.
ep
k
Tampaknya, pendapat para ahli hukum di atas paralel dan memang kuat
ah
apabila melihat ketentuan dalam Pasal 1331 KUH Perdata yang berbunyi “Oleh
R
karena itu, orang-orang yang dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap untuk
si
membuat persetujuan, boleh menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka
buat dalam hal kuasa itu tidak dikecualikan oleh UU. Orang-orang yang cakap
ne
ng
untuk mengikatkan diri, sama sekali tidak dapat mengemukakan sangkalan atas
dasar ketidakcakapan anak-anak yang belum dewasa, orang-orang yang ditaruh
do
gu
satu) tahun dan sebelumnya belum kawin”. Dengan demikian, kalimat ‘orang-
orang yang dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap untuk membuat
persetujuan, boleh menuntut pembatalan perikatan ....’, bermakna bahwa
ah
lik
orang yang belum dewasa (yang berarti tidak cakap hukum) yang membuat
persetujuan, boleh menuntut pembatalan. Konsekuensinya, perjanjian seperti
m
ub
es
20 Dokumen Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 27
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
itu dapat dimintakan pembatalannya, dan bukannya secara otomatis batal demi
si
hukum.
Jadi, apabila syarat subjektif untuk sahnya perjanjian tidak terpenuhi, baik
ne
ng
itu karena dibuat oleh pihak yang tidak cakap hukum atau karena tidak adanya
kehendak bebas atau kesepakatan, sesungguhnya ‘nasib’ perjanjian seperti itu
tidaklah pasti dan bergantung pada kesediaan satu pihak untuk menaatinya,
do
gu
yaitu pihak yang tidak cakap melakukan tindakan hukum atau pihak yang
tidak memiliki kehendak bebas tersebut. Apabila pihak ini menerima, dan
tidak menuntut pembatalan perikatan maka perjanjian tersebut tetap akan
In
A
mengikat. Sebaliknya, apabila pihak tersebut menuntut pembatalan perikatan,
perjanjian tersebut menjadi batal. Perjanjian seperti itu selalu terancam dengan
ah
lik
pembatalan.
ub
yang Dapat Dibatalkan’
Terhadap perjanjian yang dapat dibatalkan karena dibuat tanpa memenuhi
unsur subjektif pertama ataupun kedua untuk sahnya perjanjian, dapat
ep
k
si
1) Penuntutan Pembatalan Perjanjian ‘Yang Dapat Dibatalkan’
ne
ng
do
gu
Batas waktu penuntutan pembatalan perjanjian ini dapat lebih pendek apabila
hal ini diatur demikian oleh undang-undang. Norma hukum ini ditemukan
dalam Pasal 1454 KUH Perdata ayat (1) yang berbunyi “Bila suatu tuntutan untuk
ah
lik
ub
Waktu tersebut mulai berlaku ... dalam hal paksaan sejak hari paksaan itu berhenti;
dalam hal penyesatan atau penipuan sejak hari diketahuinya penyesatan atau
ka
penipuan itu”.
ep
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
perjanjian yang dibuatnya itu. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1331 KUH
si
Perdata sebagai berikut “... orang yang tidak cakap membuat persetujuan boleh
menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka buat...”. Pihak ini, dalam hal
ne
ng
seorang anak yang belum dewasa, adalah sang anak itu sendiri apabila ia sudah
mencapai usia dewasa atau orang tua atau walinya. Apabila pihak yang tidak
cakap melakukan tindakan hukum tersebut adalah orang yang berada di bawah
do
gu
pengampuan, pihak yang berhak meminta pembatalan perikatan adalah sang
pengampunya.
Kemudian, Pasal 1450 KUH Perdata juga menyebutkan bahwa “Dengan
In
A
alasan telah dirugikan, orang-orang dewasa, dan juga anak-anak yang belum
dewasa bila mereka dapat dianggap sebagai orang dewasa, hanyalah dapat
ah
lik
menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka buat dalam hal-hal khusus
yang ditetapkan dengan undang-undang”. Dengan kata lain, menurut Subekti,
perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif berupa kecakapan melakukan
am
ub
tindakan hukum dari si pembuat perjanjian, tetap mengikat selama tidak
dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan
tersebut.40
ep
k
si
belum dewasa ketika membuat perjanjian, atau sejak tanggal pencabutan
pengampuan dalam hal pihak tersebut berada dalam pengampuan ketika
ne
ng
membuat perjanjian. Norma ini ditemukan dalam Pasal 1454 KUH Perdata
yang berbunyi “Bila suatu tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan
do
gu
tidak dibatasi dengan suatu ketentuan UU khusus mengenai waktu yang lebih
pendek, maka waktu itu adalah lima tahun. Waktu tersebut mulai berlaku dalam
hal kebelumdewasaan sejak hari kedewasaan, dalam hal pengampuan sejak hari
In
A
pencabutan pengampuan...dstnya”.
Walaupun pihak yang tidak cakap melakukan tindakan hukum dapat
meminta pembatalan perjanjian yang telah dibuatnya, hal ini tidak berlaku
ah
lik
apabila perikatan itu ternyata diterbitkan dari suatu kejahatan atau pelanggaran
atau yang telah menerbitkan kerugian bagi orang lain. Hal ini ditemukan dalam
m
ub
ketentuan Pasal 1447 KUH Perdata yang berbunyi “Ketentuan pasal yang lalu tidak
berlaku untuk perikatan yang timbul dari suatu kejahatan atau pelanggaran atau
ka
dari suatu perbuatan yang telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Begitu juga
ep
es
22 Dokumen Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 29
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
kebelumdewasaan tidak dapat diajukan sebagai alasan untuk melawan perikatan
si
yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa dalam perjanjian perkawinan
dengan mengindahkan ketentuan Pasal 151, atau dalam persetujuan perburuhan
ne
ng
dengan mengingat ketentuan Pasal 1601 g, atau persetujuan perburuhan yang
tunduk pada ketentuan Pasal 1601 h”.
Harus diperhatikan pula bahwa batas waktu 5 tahun yang ditetapkan
do
gu
dalam Pasal 1454 KUH Perdata hanya berlaku untuk penuntutan pembatalan,
dan tidak berlaku terhadap kebatalan yang dimajukan di depan hakim sebagai
pembelaan atau tangkisan. Untuk hal terakhir ini, dapat dilakukan kapan saja.
In
A
Artinya, terbuka 2 cara untuk meminta pembatalan perjanjian yang tidak
memenuhi unsur subjektif untuk sahnya perjanjian.41 Pertama, pihak yang
ah
lik
berkepentingan dapat secara aktif bertindak sebagai penggugat agar perjanjian
tersebut dibatalkan. Kedua, pihak yang berkepentingan menunggu sampai ia
digugat di muka hakim untuk memenuhi isi perjanjian tersebut. Pada saat itulah,
am
ub
dia di depan hakim dapat mengemukakan bahwa ketika membuat perjanjian
itu, ia belum cakap hukum, atau dia memberi persetujuan karena paksaan,
kekhilafan, atau penipuan sehingga kemudian dia meminta agar perjanjian
ep
k
tersebut dibatalkan oleh hakim.42 Dalam situasi terakhir inilah tidak berlaku
ah
batas waktu 5 tahun tersebut. Norma hukum ini tampak dalam Pasal 1454 ayat
R
(2) KUH Perdata yang menyebutkan: “Waktu tersebut di atas, yaitu waktu yang
si
ditetapkan untuk mengajukan tuntutan, tidak berlaku terhadap kebatalan yang
diajukan sebagai pembelaan atau tangkisan yang selalu dapat dikemukakan”.
ne
ng
do
gu
Apabila jangka waktu lima tahun dalam Pasal 1454 terlewati, namun mereka
yang berada dalam keadaan paksaan, kekhilafan, penipuan, ataupun tidak
cakap melakukan perbuatan hukum, tidak mengajukan pembatalan perjanjian,
In
A
akibatnya perjanjian tersebut tetap berlaku dan mengikat para pihak walau
tidak memenuhi unsur subjektif sahnya perjanjian. Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 1327 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Pembatalan suatu persetujuan
ah
lik
berdasarkan paksaan tidak dapat dituntut lagi bila setelah paksaan berhenti
persetujuan itu dibenarkan, baik secara tegas maupun secara diam-diam, atau
m
ub
jika telah dibiarkan lewat waktu yang ditetapkan oleh UU untuk dapat dipulihkan
seluruhnya ke keadaan sebelumnya”.
ka
ep
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 30
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
Demikian pula bila setelah paksaan atau kekhilafan atau penipuan itu
si
berakhir pihak yang berada di bawah paksaan, kekhilafan atau penipuan
tersebut kemudian membenarkan persetujuan yang telah diberikannya, baik
ne
ng
secara tegas ataupun diam-diam maka penuntutan pembatalan perjanjian
menjadi tidak berlaku lagi. Hal ini diatur dalam Pasal 1456 KUH Perdata yang
menegaskan bahwa “Tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan,
do
gu
gugur jika perikatan itu dikuatkan secara tegas atau secara diam-diam, sebagai
berikut ... oleh orang yang mengajukan alasan adanya paksaan, penyesatan atau
penipuan, setelah paksaan itu berhenti atau setelah penyesatan atau penipuan itu
In
A
diketahuinya”.
Hal yang sama juga berlaku untuk perjanjian yang dibuat oleh pihak
ah
lik
yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Apabila perjanjian seperti ini
dikuatkan sendiri secara tegas ataupun diam-diam oleh mereka yang tidak
cakap hukum itu, perjanjian tersebut menjadi tetap berlaku dan mengikat para
am
ub
pihak. Pihak yang tidak cakap hukum yang melakukan penegasan/penguatan/
penetapan perjanjian tersebut adalah (a) bila ketika membuat perjanjian dia
adalah anak-anak maka penegasan tersebut dilakukan ketika dia dewasa; (b) bila
ep
k
si
secara tegas melalui pembuatan akta pengesahan ataupun akta penguatan
sebagaimana diharuskan oleh KUH Perdata. Hal ini diatur dalam Pasal 1892 KUH
ne
ng
Perdata yang berbunyi “(1) Suatu akta yang menetapkan atau menguatkan suatu
perikatan yang terhadapnya dapat diajukan tuntutan untuk pembatalan atau
do
gu
sedianya dapat menjadi dasar tuntutan tersebut; (2) Jika tidak ada akta penetapan
atau penguatan, maka cukuplah perikatan itu dilaksanakan secara sukarela
setelah saat perikatan itu sedianya dapat ditetapkan atau dikuatkan secara sah;
ah
lik
ub
es
24 Dokumen Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 31
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
disahkan melalui penetapan ataupun penguatan dengan akta yang bentuknya
si
diharuskan oleh undang-undang.43 Akta penetapan atau akta penguatan harus
mencantumkan isi pokok perbuatan dan alasan yang menyebabkan dapat
ne
ng
dituntutnya pembatalan serta maksud untuk memperbaiki cacat yang sedianya
menjadi dasar tuntutan pembatalan.44 Akta semacam itu mengakibatkan
dilepaskannya hak untuk membatalkan perbuatan hukum yang sedianya
do
gu
dapat diajukan. Dengan demikian, perbuatan hukum yang sebenarnya dapat
dibatalkan tersebut menjadi sah sejak perbuatan hukum tersebut dilakukan.45
Melalui akta penguatan atau akta penetapan itulah maka perjanjian yang
In
A
sebenarnya terancam pembatalan itu menjadi sah terhitung sejak perjanjian
tersebut dibuat. Hal ini tidak berlaku untuk perjanjian yang terancam batal
ah
lik
demi hukum. Artinya, untuk perjanjian semacam ini tidak mungkin dapat
dilakukan pengesahan, penguatan ataupun penetapan melalui akta tertentu.
Jadi, simpulannya sebagai berikut.
am
ub
(a) Perjanjian yang dibuat oleh orang yang tidak cakap dan/atau perjanjian yang
dibuat tanpa adanya kesepakatan atau kehendak bebas dari para pihaknya,
masih dapat dikuatkan melalui akta penguatan atau akta penetapan.
ep
k
(b) Perjanjian formil yang tidak memenuhi syarat sah, perjanjian yang dibuat
ah
oleh orang yang tidak berwenang, perjanjian yang tidak mempunyai objek
R
tertentu, perjanjian yang tidak memiliki kausa yang halal, tidak mungkin
si
dapat disahkan atau dikuatkan dalam bentuk akta apa pun.
(c) Demikian pula perjanjian yang batal akibat terpenuhinya syarat batal, atau
ne
ng
do
gu
Pada bagian kelima dari Bab I dalam Buku III KUH Perdata yang mengatur tentang
Perikatan Bersyarat, yang beberapa pasalnya telah dijelaskan dalam nomor 22–
ah
lik
24 di atas, masih terdapat ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1267. Kedua pasal ini
m
ub
45 Ibid.
ep
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 32
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
sebenarnya berisi tentang pembatalan perjanjian timbal balik akibat salah satu
si
pihak wanprestasi karena kelalaiannya. Penempatan kedua pasal dengan topik
tersebut dalam bagian tentang perikatan bersyarat menimbulkan kritik,48 tetapi juga
ne
ng
ditemukan alasan pembenarnya.49 Tampaknya, pembuat KUH Perdata menganggap
bahwa kelalaian debitur sehingga wanprestasi tergolong sebagai suatu syarat batal
yang dicantumkan dalam setiap perjanjian timbal balik.
do
gu
Menurut Pasal 1267 KUH Perdata, dalam perikatan yang timbul dari perjanjian
timbal balik apabila debitor tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dijanjikan dalam perjanjian itu, kreditor atas dasar wanprestasi dari debitor berhak
In
A
untuk memilih apakah (a) memaksa debitor untuk memenuhi perjanjian apabila
hal itu masih dapat dilakukan, atau (b) menuntut pembatalan perjanjian disertai
ah
lik
penggantian biaya, kerugian, dan bunga dari pihak debitor. Hal ini ditegaskan dalam
pasal tersebut yang berbunyi “Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi,
dapat memilih: memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu
am
ub
masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian
biaya, kerugian dan bunga”.
Pasal di atas jelas terkait dengan Pasal 1266 KUH Perdata yang menyebutkan
ep
k
bahwa “(1) Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal
ah
balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. (2) Dalam hal demikian
R
persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada
si
pengadilan. (3) Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai
tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. (4) Jika syarat batal tidak
ne
ng
dinyatakan dalam persetujuan maka hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan
tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi
do
gu
Kedua pasal tersebut hanya berlaku untuk perjanjian timbal balik, bukan
perjanjian sepihak.50
Wanprestasi merupakan syarat telah dipenuhinya syarat batal dalam perjanjian
ah
lik
timbal balik, dan wanprestasi tersebut terjadi bukan karena keadaan memaksa atau
m
ub
50 Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi atau kewajiban hanya pada satu
ep
pihak. Contoh: perjanjian hibah, perjanjian penanggungan, perjanjian pemberian kuasa tanpa upah,
perjanjian pinjam pakai, perjanjian penitipan barang tanpa biaya, perjanjian pinjam-meminjam tanpa
bunga.
ah
es
26 Dokumen Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 33
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
keadaan di luar kekuasaan (force majeure atau overmacht), tetapi terjadi karena
si
kelalaian pihak tergugat.
Akibat wanprestasi tersebut penggugat dapat menuntut pembatalan perjanjian
ne
ng
di depan hakim, dengan demikian perjanjian tersebut tidak batal demi hukum.
Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata yang menempatkan wanprestasi sebagai
syarat batal, sebagaimana pengertian syarat batal dalam Pasal 1253 KUH Perdata,
do
gu
dianggap tidak tepat. Alasannya adalah kepatutan dan logika, yakni tidak akan selalu
adil menghukum debitor yang wanprestasi karena kelalaiannya dengan pembatalan
perjanjian. Terhadap kritik ini, Subekti, justru menjelaskan bahwa ketentuan kedua
In
A
pasal tersebut sebenarnya tidak salah.51 Mengapa demikian? Sebab sekalipun
wanprestasi dianggap sebagai syarat batal sehingga menyebabkan perjanjian
ah
lik
berakhir, berakhirnya perjanjian itu bukan karena demi hukum, melainkan harus
melalui pernyataan pembatalan oleh hakim. Hal ini jelas terlihat dari Pasal 1266
ayat (2) KUH Perdata: ”Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi
am
ub
pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan”. Bahkan, ayat (3) pasal ini juga
menegaskan bahwa perjanjian itu tetap bukan batal demi hukum, melainkan dapat
dibatalkan, sekalipun di dalam perjanjian itu dicantumkan soal wanprestasi sebagai
ep
k
syarat batal. Kemudian, ayat (4) menambahkan bila wanprestasi sebagai syarat
ah
si
pihak yang wanprestasi untuk memenuhi kewajibannya. Dalam konteks terakhir
ini, bahkan menurut Subekti,52 hakim berhak pula untuk mempertimbangkan dan
ne
ng
menilai besar kecilnya kelalaian debitur yang wanprestasi itu dibandingkan dengan
akibat pembatalan perjanjian yang akan menimpa debitur itu. Dengan kata lain,
do
gu
lik
ub
wanprestasi sebagai syarat batalnya perjanjian. Artinya, para pihak dengan tegas
ka
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 34
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
dapat mengesampingkan Pasal 1266 ayat (2) hingga ayat (4) sehingga pembatalan
si
perjanjian akibat terjadinya wanprestasi dari salah satu pihak tidak perlu dimintakan
kepada hakim. Akibatnya, perjanjian seperti itu akan otomatis batal demi hukum.54
ne
ng
Pengesampingan Pasal 1266 ayat (2) hingga ayat (4) yang berakibat pelepasan hak
para pihak untuk menuntut pembatalan perjanjian di depan hakim, secara tegas
harus dicantumkan di dalam akta perjanjian yang bersangkutan.55
do
gu
5. Perjanjian Batal Karena Wanprestasi Akibat dari Keadaan
Memaksa
In
A
Apabila wanprestasi yang dilakukan salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik
terjadi akibat dari keadaan memaksa (force majeure atau overmacht), perjanjian
ah
lik
menjadi batal. Namun demikian, menjadi kewenangan hakimlah untuk menilai
apakah benar telah terjadi keadaan memaksa atau bukan. Untuk itu, hakim
am
ub
akan membuat putusan yang bersifat deklaratoir. Jadi, keadaan memaksa juga
dapat menjadi syarat batal bagi sebuah perjanjian, tetapi syarat ini tidak perlu
diperjanjikan oleh para pihak.56 Ada beberapa contoh dalam KUH Perdata yang
ep
k
R
musnahnya barang yang disewakan, Pasal 1607 tentang musnahnya pekerjaan di
si
luar kelalaian pemborong, dan Pasal 462 tentang berakhirnya carter kapal karena
kapal musnah.57
ne
ng
do
gu
Secara praktis, perjanjian yang dapat dibatalkan ataupun yang batal demi hukum
pada akhirnya akan berakibat sama, yakni perjanjian-perjanjian itu menurut hukum
dinilai tidak memiliki efek hukum. Perjanjian yang batal demi hukum tidak lantas
In
A
berarti perjanjiannya tidak ada atau dianggap tidak ada sebab bagaimanapun
perjanjian itu telah ada atau telah terjadi, hanya menurut hukum perjanjian
ah
lik
semacam itu tidak diberi akibat atau tidak berefek. Pada keadaan seperti itu, hukum
menilai bahwa kondisi dikembalikan mundur ke kondisi semula seperti pada saat
m
ub
54 Ibid.
ka
55 Ibid.
ep
es
28 Dokumen Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 35
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
perikatan itu timbul atau pada saat perjanjian tersebut ditutup. Karena perjanjian
si
tidak berakibat hukum maka para pihak tidak perlu melakukan prestasi, dan kepada
pihak yang telah melakukan prestasi dianggap telah terjadi pembayaran yang tidak
ne
ng
diwajibkan. Pembayaran yang tidak diwajibkan seperti ini, menurut Pasal 1359 harus
dikembalikan. Pasal 1359 berbunyi “Tiap pembayaran mengandaikan adanya suatu
utang; apa yang telah dibayar tanpa diwajibkan untuk itu, dapat dituntut kembali.
do
gu
Terhadap perikatan bebas yang secara sukarela telah dipenuhi, tak dapat dilakukan
penuntutan kembali”.
In
Perjanjian yang dibuat oleh orang yang tidak cakap hukum yang kemudian
A
dimintakan pembatalannya oleh orang yang bersangkutan di depan Hakim,
mengakibatkan ‘kembalinya’ barang dan orang yang bersangkutan dalam keadaan
ah
lik
seperti sebelum perjanjian dibuat. Dengan kata lain, batalnya perikatan membuat
keadaan kembali seperti kondisi semula ketika perikatan belum terjadi. Hal ini
am
ub
ditegaskan dalam Pasal 1451 yang berbunyi “Pernyataan batalnya perikatan-
perikatan berdasarkan ketidakcakapan orang-orang tersebut dalam Pasal 1330,
mengakibatkan pulihnya barang-barang dan orang-orang yang bersangkutan dalam
ep
k
keadaan seperti sebelum perikatan dibuat, dengan pengertian bahwa segala sesuatu
yang telah diberikan atau dibayar kepada orang yang tak berwenang, akibat perikatan
ah
itu, hanya dapat dituntut kembali, bila barang yang bersangkutan masih berada
R
si
di tangan orang yang tidak berwenang itu, atau bila ternyata bahwa orang ini telah
mendapat keuntungan dari apa yang telah diberikan atau dibayar itu, atau bila apa
ne
ng
do
di bawah paksaan, kekhilafan ataupun penipuan, hal yang sama seperti di atas
gu
disebutkan dalam Pasal 1452, yakni “Pernyataan batal yang berdasarkan adanya
paksaan, penyesatan atau penipuan, juga mengakibatkan barang dan orang yang
In
A
perjanjian yang telah dibuatnya itu, mereka juga wajib untuk mengganti biaya,
kerugian, dan bunga kepada pihak lawan jika memang ada alasan untuk itu. Hal
m
ub
ini ditegaskan dalam Pasal 1453 yang berbunyi “Dalam hal-hal tersebut dalam Pasal
1446 dan 1449, orang yang terhadapnya tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu
ka
perikatan dikabulkan, wajib juga mengganti biaya, kerugian, dan bunga, jika ada
ep
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 36
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
7. Pembatalan Perjanjian Oleh Pihak Ketiga (Actio Pauliana)
si
Dalam uraian no. 35–39 telah disebutkan tentang siapa atau pihak mana yang berhak
meminta pembatalan perjanjian karena tidak terpenuhinya syarat subjektif sahnya
ne
ng
perjanjian dan tentang batas waktu untuk meminta pembatalan. Namun, masih
ada satu hal lain yang relevan dengan persoalan siapa saja yang berhak meminta
do
pembatalan atas suatu perjanjian atau perbuatan hukum tertentu, yaitu ketentuan
gu
Pasal 1341 KUH Perdata yang dalam hukum perjanjian disebut mengatur tentang
actio pauliana.
In
A
Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi “Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak
yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan tidak
dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan
ah
lik
dalam Pasal 1317”. Kemudian, Pasal 1341 menyebutkan bahwa “(1) Meskipun
demikian, tiap kreditur boleh mengajukan tidak berlakunya segala tindakan yang tidak
am
ub
diwajibkan yang dilakukan oleh debitur, dengan nama apa pun juga, yang merugikan
kreditur, asal dibuktikan bahwa ketika tindakan tersebut dilakukan, debitur dan orang
yang dengannya atau untuknya debitur itu bertindak, mengetahui bahwa tindakan itu
ep
mengakibatkan kerugian bagi para kreditur. (2) Hak-hak yang diperoleh pihak ketiga
k
dengan itikad baik atas barang-barang yang menjadi objek dari tindakan yang tidak
ah
sah, harus dihormati. (3) Untuk mengajukan batalnya tindakan yang dengan cuma-
R
si
cuma dilakukan debitur, cukuplah kreditur menunjukkan bahwa pada waktu melakukan
tindakan itu debitur mengetahui, bahwa dengan cara demikian dia merugikan para
ne
ng
kreditur tak peduli apakah orang yang diuntungkan juga mengetahui hal itu atau
tidak”.
Terhadap kedua pasal di atas, Herlien Budiono menegaskan bahwa58
do
gu
Pengertian kreditor dalam Pasal 1341 mencakup tidak hanya orang yang berhak
atas pembayaran utang saja, tetapi juga orang yang berhak untuk memperoleh
prestasi yang dijanjikan orang lain (yakni debitor) terhadapnya, seperti prestasi
In
A
lik
ub
ternyata meminta pembatalan perjanjian yang dibuat oleh debitor tersebut dengan
orang lain (yang merupakan pihak kedua dalam perjanjian dengan sang debitor itu),
ka
ep
es
30 Dokumen Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 37
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
dengan alasan perjanjian tersebut bukanlah sesuatu yang diwajibkan oleh undang-
si
undang kepada debitor untuk melakukannya, dan juga perjanjian itu merugikan
kepentingan kreditor. Hak menggugat yang dimiliki pihak ketiga untuk meminta
ne
ng
pembatalan perjanjian yang dibuat oleh orang lain inilah yang dinamakan actio
pauliana.
do
gu
8. Pembatalan Perjanjian Oleh Pihak yang Berwenang Karena
UU
In
A
Selain beberapa hal atau kondisi tertentu yang dapat mengakibatkan batalnya
perjanjian seperti dijelaskan di atas, masih ada satu kondisi ‘khusus’ lagi, yaitu
ah
lik
pembatalan perjanjian oleh pihak tertentu atas kuasa undang-undang yang secara
eksplisit menyatakan hal tersebut. Maksudnya, terdapat norma hukum dalam sebuah
am
ub
UU yang menyatakan bahwa lembaga atau pejabat publik tertentu berdasarkan UU
tersebut berwenang untuk membatalkan perjanjian tertentu. Hal ini ditemukan
dalam peraturan berikut ini:
ep
k
si
Bank Gagal dengan kewenangan:
ne
ng
do
gu
kontrak bank yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut
LPS merugikan bank.
ah
lik
• Pasal 52 ayat (1): ”Untuk kepentingan aset atau kewajiban bank dalam
likuidasi, tim likuidasi dapat meminta pembatalan kepada pengadilan
niaga atas segala perbuatan hukum bank yang mengakibatkan
m
ub
pada ayat (1) adalah perbuatan hukum bank yang bersangkutan yang
wajib dilakukan berdasarkan Undang-Undang”.
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 38
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
b. UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1992
si
tentang Perbankan
• Pasal 37 A:
ne
ng
1. Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan Perbankan
yang membahayakan perekonomian nasional, atas permintaan Bank
Indonesia, Pemerintah setelah berkonsultasi kepada Dewan Perwakilan
do
gu
Rakyat Republik Indonesia dapat membentuk badan khusus yang bersifat
sementara dalam rangka penyehatan Perbankan.
2. Badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan
In
A
program penyehatan terhadap bank-bank yang ditetapkan dan
diserahkan kepada badan dimaksud.
3. Dalam melaksanakan program penyehatan terhadap bank-bank
ah
lik
khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) serta wewenang lain,
yaitu
am
ub
d. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau mengubah
kontrak yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut
pertimbangan badan khusus merugikan bank.
ep
k
Dari dua contoh UU di atas tampak bahwa Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),
ah
tim likuidasi bank gagal, dan ’badan khusus ad hoc penyehatan perbankan’ masing-
R
si
masing memiliki kewenangan untuk membatalkan perjanjian yang dibuat oleh
pihak lain, yaitu bank yang berada dalam masalah seperti bank gagal atau tidak
ne
ng
sehat. Ketentuan dalam UU yang secara khusus memberi mandat atau kewenangan
kepada lembaga khusus untuk membatalkan perjanjian yang dibuat oleh pihak lain
seperti tercantum di atas mirip dengan norma hukum dalam KUH Perdata tentang
do
gu
actio pauliana. Namun demikian, tampak sedikit perbedaan, yaitu norma hukum
actio pauliana mensyaratkan bahwa pembatalan perjanjian oleh pihak ketiga dapat
In
dilakukan apabila pihak ketiga itu mengalami kerugian akibat dari perjanjian tersebut
A
yang bukan merupakan perbuatan yang diwajibkan oleh hukum atau undang-
undang. Dalam UU tentang LPS ataupun Perbankan di atas, kewenangan LPS dan
ah
lik
ub
ep
es
32 Dokumen Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 39
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
perbankan yang memperoleh fasilitas penjaminan oleh Pemerintah, dan tentang
si
perlunya menyehatkan perbankan yang sedang mengalami kesulitan sehingga
dapat membahayakan ekonomi nasional.
ne
ng
9. Putusan Hakim tentang Kebatalan Perjanjian yang Menjadi Yurisprudensi
Sejak tahun 1960-an hingga dekade pertama abad ke-21, ditemukan banyak putusan
do
gu
hakim tertinggi, yaitu Mahkamah Agung (MA) yang dinyatakan sebagai yurisprudensi
oleh MA sendiri di bidang hukum perdata, khususnya hukum perjanjian. Namun
demikian, sangat sedikit di antara yurisprudensi itu yang relevan dengan persoalan
In
A
kebatalan perjanjian. Lebih sedikit lagi, yurisprudensi yang memuat pertimbangan
hakim (ratio decidendi) yang memperjelas, memperkuat, atau membantah sebuah
ah
lik
norma hukum ataupun doktrin hukum tentang kebatalan perjanjian. Oleh sebab
itu, untuk memperkuat penulisan restatement ini telah diteliti kurang lebih hampir
100 putusan hakim, termasuk di dalamnya sekitar 20 yurisprudensi, yang kemudian
am
ub
ternyata hanya berhasil menemukan 2 yurisprudensi yang relevan, yakni59
a. Putusan MA No. 147K/SIP/1979 tanggal 25 September 1980 tentang perjanjian
jual beli tanah dan rumah yang ternyata tidak memenuhi syarat objektif sahnya
ep
k
perjanjian, yaitu unsur kausa yang halal. Dalam perjanjian yang menjadi pokok
ah
perkara, kausa atau objeknya dilarang oleh Pasal 5 juncto 21 UU No. 5 tahun
R
1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
si
b. Putusan MA No. 522K/Pdt/1990 tanggal 29 April 1992 tentang perjanjian jual
beli tanah yang juga tidak memenuhi syarat objektif untuk sahnya perjanjian.
ne
ng
Dalam perjanjian yang menjadi pokok perkara, kausanya dilarang oleh Stb tahun
1875 No. 179 tentang Larangan Pengasingan Tanah, yang berlaku sebelum UU
do
gu
tentang syarat sahnya perjanjian serta akibat hukumnya bila syarat tersebut tidak
terpenuhi. Dengan kata lain, kedua yurisprudensi di atas merupakan contoh riil
dan praktis bagaimana Hakim mengaplikasikan dan menafsirkan norma hukum
ah
lik
perjanjian dalam suatu perkara hukum. Di sisi lain, sangat disayangkan bahwa
hingga restatement ini ditulis, tidak ditemukan yurisprudensi ataupun putusan hakim
m
ub
Padahal apabila yurisprudensi semacam itu dapat ditemukan maka akan membantu
ep
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 40
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
memperkuat dan memperjelas norma hukum dalam KUH Perdata tentang perjanjian
si
yang dapat dibatalkan.
Pada lampiran dari restatement ini juga disertakan yurisprudensi, yaitu Putusan
ne
ng
MA No. 1180K/SIP/1971 tanggal 12 April 1972 tentang perjanjian jual-beli mesin
generator yang mengharuskan terjadinya impor barang dengan pembayaran
uang yang meningkat jumlahnya akibat terjadinya perubahan kurs mata uang.
do
gu
Yurisprudensi ini memang tidak langsung relevan dengan topik restatement ini, tetapi
cukup bernilai karena hakim dalam pendapatnya menegaskan bahwa kausa yang
halal dalam sebuah perjanjian berbeda maknanya dengan norma hukum tentang
In
A
keadaan memaksa. Kausa yang halal dinilai atau ditetapkan pada saat perjanjian
dibuat, sementara persoalan keadaan memaksa dinilai atau ditetapkan pada saat
ah
lik
perjanjian dilaksanakan. Pendapat hakim dalam yurisprudensi ini bermanfaat untuk
memperjelas makna dari kausa yang halal yang merupakan syarat objektif untuk
sahnya perjanjian.
am
ub
ep
k
ah
si
ne
ng
do
gu
In
A
ah
lik
m
ub
ka
ep
ah
es
34 Dokumen Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 41
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
PERSPEKTIF INTERNASIONAL
si
NULLITY AND ANNULLABILITY
ne
ng
ACCORDING TO THE CIVIL CODE
OF THE NETHERLANDS
do
gu
Indonesian Restatement Project/June 2010
In
A
Oleh: Prof. Dr. Jaap Hijma
ah
lik
Table of contents
Introduction
The concepts of nullity and annullability Nullity
am
ub
Conflicts with good morals or public order
Consequences of a nullity
Mitigation of (the consequences of ) a nullity annullability
Grounds for annullability
ep
Consequences of annullability and annulment
k
si
A. Introduction
ne
ng
do
gu
voidability).1
Nullity (voidity) is chosen whenever, in short, public aims or public interests are
at stake. Nullities operate automatically. An invocation by one of the parties is not
In
A
necessary; the court can apply the nullity of its own accord (ex officio). Regarding the
nullity as such, an eventual court decision has a declaratory character.
Problems typically suitable for nullity are: non-compliance with a required
ah
lik
form (art. 3:39 DCC2,) the violation of a mandatory statutory provision (art. 3:40 par. 2
DCC), the violation of good morals (art. 3:40 par. 1 DCC), the violation of public order
m
ub
1 ‘Nullity’ and ‘voidity’ I consider interchangeable, as well as ‘annullability’ and ‘voidability’; I will use
ep
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 42
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
1.2. Annullability (voidability) is chosen when solely the interests of one of the
si
parties need to be protected. An annullability does not operate automatically,
but only strikes if it is activated by the protected party. An annullable juridical act
ne
ng
can be annulled in two ways: either by means of an extra-juridical declaration
issued by the protected party, or by means of a court decision (art. 3:49 DCC). In
the latter case too, an invocation by the protected party is essential; the court
do
gu
cannot annul of its own accord. After annulment the contract is considered
null, with retroactive effect to the time it was concluded (art. 3:53 DCC). As long
as the contract is not annulled however it is valid and binding.
In
A
Underlying idea is that when only the interests of one of the parties are at
stake, it can be left to the protected party to decide whether the contract shall stand
ah
lik
or fall.
Problems typically suitable for annullability are: incapacity (art. 3:32 DCC),
fraud, duress, undue influence (art. 3:44 DCC), mistake (art. 6:228 DCC), unreasonably
am
ub
onerous general conditions (art. 6:233 sub a DCC).
1.3. The concepts of nullity and annullability not only refer to contracts, but also
to other types of juridical acts, including unilateral acts. Therefore most of the
ep
k
relevant provisions are located in the General Part of Patrimonial Law (Book
ah
si
B. NULLITY
ne
ng
do
gu
fundamental–borders which the contracting parties are not allowed not cross:
mandatory law, good morals, public order. A contract contrary to one of these
ah
lik
ub
ka
3 For nullity and annullability see: Asser/Hartkamp & Sieburgh 6-III* Asser series, Algemeen overeen-
ep
komstenrecht, Deventer: Kluwer 2010, Chapters 23―25; Hijma, Van Dam, Van Schendel & Valk, Re-
chtshandeling en Overeenkomst, Deventer: Kluwer 2007, Chapter 5 (by Van Dam); Hijma, Nietigheid
en vernietigbaarheid van rechtshandelingen, diss. Leiden, Deventer: Kluwer 1988.
ah
es
36 Perspektif Internasional
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 43
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
protection of one of the parties to a multilateral juridical act, the act may only
si
be annulled; in both cases this applies to the extent that the provision does not
provide otherwise.4
ne
ng
2.3 The documentary history of art. 3:40 par. 2 DCC demonstrates that the cited
provision has a rather limited scope.5 In the first place, art. 3:40 par. 2 is written
with a view to cases wherein the conclusion of the contract is forbidden. If the
do
gu
content or the necessary implication of the contract is forbidden art. 3:40 par.
2 is not applicable (but art. 3:40 par. 1 presumably is6.) In the second place,
art. 3:40 par. 2 exclusively covers conflicts with provisions constructed at the
In
A
highest national level (wetten in formele zin). Legislation made by a provincial
or a municipality is not maintained by par. 2, but–indirectly–by par. 1 of art.
ah
lik
3:40 DCC.
2.4 It is self-evident that art. 3:40 par. 2 only refers to mandatory law. In practice
it is not always perfectly clear whether a violated provision has a mandatory
am
ub
character or not.7 As a general rule, the law of obligations and the law of
contracts are considered non-mandatory (so: merely supplementary). Two
groups of exceptions to this rule are recognized.
ep
k
stake (see e.g. art. 6:250 DCC). In connection herewith, property law provisions are
R
considered mandatory.
si
Secondly, provisions will be mandatory if they specifically aim the protection
of a weak type of party against a strong type of party. Examples of the latter are: the
ne
ng
do
gu
hire), the protection of employees against employers (title 7.10 DCC, contract of
employment).
2.5 The violation of a mandatory statutory provision covered by art. 3:40 par. 2 DCC
In
A
will generally result in a nullity. The article recognizes two kinds of exceptions
to this rule.
The first exception concerns provisions which are intended solely for the
ah
lik
m
ub
4 In this contribution I mainly follow the English translation by Haanappel: Haanappel c.s., New Neth-
erlands Civil Code, Deventer/Boston: Kluwer Law & Taxation 1990.
5 Parlementaire Geschiedenis van het Nieuwe BW (Parl. Gesch. Nieuw BW), Boek 3, Deventer: Kluwer
ka
1981, p. 189―192.
ep
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 44
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
protection of one of the parties. An example is art. 7:6 DCC regarding consumer sales.
si
Art. 7:6 par. 1 DCC ordains that in a consumer sale there may be no limitations on or
exclusions of the legal rights and remedies of the buyer. Evidently this prohibition
ne
ng
is written with the singular aim of protecting the buyer’s interests. Therefore,
annullability is the suitable remedy;8 a nullity would overreach itself.
The second exception is found in art. 3:40 par. 3 DCC, which establishes the
do
gu
possibility that a violated provision does not purport to invalidate juridical acts in
conflict therewith. In such cases, the remedies mentioned in art. 3:40 par. 2 DCC do
not apply. Art. 3:40 lid 3 is written with a view to so-called leges imperfectae, which
In
A
e.g. do not carry any civil law remedy but only a public law one (like a fine for one or
both of the parties).
ah
lik
reading: ‘Save as otherwise provided by the law, juridical acts which have not
been performed in the required form are a nullity’. The phrase ‘save as otherwise
am
ub
provided’ holds no limitation to explicit statutory provisions; the law can also
provide otherwise in an implicit way.9 ep
3. Conflicts with good morals or public order
k
3.1 Art. 3:40 par. 1 DCC reads: A juridical act which by its content or necessary
ah
si
3.2 Good morals and public order are, necessarily, rather vague concepts. ‘Good
morals’ refers primarily to ethical issues; ‘public order’ refers primarily to the
ne
ng
way public life is organized. In practice the criterion of public order is especially
relevant regarding contracts concluded by a government body, e.g. by a
municipality. The concepts of good morals and public order do not exclude
do
gu
one another; quite often they show an overlap. Together they embody the–
unwritten–fundamental requirements of human conduct, which are current in
a certain society at a certain period in time.
In
A
3.3 Art. 3:40 (1) DCC distinguishes the content of a contract from the necessary
implication of a contract. ‘Content’ means: the mutual obligations of the parties,
ah
lik
upon which they have agreed (e.g. the delivery of goods, the rendering of a
service). Whenever the fulfillment of one of these obligations infringes upon
good morals or public order, the contract will be a nullity, regardless whether
m
ub
9 For an example: HR 5-10-2001, NJ 2002, 410 (Van der Vijver/Stoll), in the matter of a testament not
mentioning the year it was drawn up.
ah
es
38 Perspektif Internasional
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 45
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
3.4 ‘Necessary implication’ (strekking) is a complex, two-headed, concept. In the
si
first place, it comprises the necessary consequences of the contract, foreseeable
for both parties.10
ne
ng
The second component of the concept of ‘necessary implication’ is concerned with
the aims of the parties. This component is more visible in the Dutch word ‘strekking’
than in its English translation (necessary implication). If the parties conclude the
do
gu
contract with a common motive which is against public order or good morals, the
contract will be a nullity. The same applies when only one of the parties had such a
wrong motive, provided this one-sided motive was recognizable to the other party.
In
A
An example of the latter: a knife is sold; the buyer plans to use it to kill his neighbor.
If the seller recognizes this intolerable aim the contract will be null (void). If the seller
ah
lik
does not recognize the buyer’s reprehensible aim however, the contract will be valid
and binding.
am
ub
4. Consequences of a nullity
4.1 A null contract does not give rise to the obligations the parties aimed at. Neither
party can be held to perform. When one of them performs nevertheless, this
ep
k
performance lacks a legal basis. The performing party can demand restitution
ah
si
reaches the buyer (art. 3:84 par. 1 DCC).
4.2 Sometimes a null contract is performed by both parties. If afterwards the issue
ne
ng
of nullity is raised, both parties can file a claim for restitution. Where one of
the prestations cannot, by its nature, be reversed, and where this prestation
do
gu
lik
A-B is null. This claim of A’s could be met, whereas B’s counter-claim to restitution
(regarding his activities c.q. the financial value thereof ) cannot. Ultimately A could
m
ub
get what he wanted without paying at all, which is an unreasonable result. The cited
article prevents such an outcome.
ka
ep
10 Famous is HR 11-5-1951, NJ 1952, 128 (Burgman/Aviolanda), in the matter of the sale of combs by
an airplane-constructor (who altered his factory without the required government permit).
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 46
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
5. Mitigation of (the consequences of) a nullity
si
5.1 Formerly a void contract was considered non-existent; it had no juridical
consequences whatsoever. Nowadays the concept of nullity (voidity) has
ne
ng
become increasingly complex.
The Dutch Supreme Court (Hoge Raad der Nederlanden) has expressed that one
of the general principles underlying the new Civil Code is, that–as a rule–nullities will
do
gu
not intervene beyond their purport.11 This underlying principle notably comes to light
through partial nullity (art. 3:41 DCC), conversion (art. 3:42 DCC) and convalescence
(art. 3:58 DCC).
In
A
5.2 Partial nullity. The nullity of part of a juridical act does not affect the rest of the
act, to the extent that, taking into consideration the content and necessary
ah
lik
implication of the act, the parts are so inextricably related so as not to be
severable (art. 3:41 DCC). If the parts are not inextricably related, the null part
can and will be separated from the remainder; the remainder of the contract
am
ub
stays valid and binding. Before art. 3:41 DCC was enacted, the Supreme Court
(Hoge Raad) already applied the same formula.12
In practice, the concept of partial nullity is especially important regarding
ep
k
company often argues that it would never have concluded the contract without this
R
specific condition, claiming it shall be ‘all or nothing’. Art. 3:41 DCC however is not
si
dependant of the hypothetic consent of the parties. ‘Inextricably linked’ allows for
ne
the use of more objective points of view. As a rule, almost every general condition
ng
will be considered to be severable: when one condition is null, the remainder of the
contract stays untouched.13
do
gu
5.3 Conversion. When the necessary implication of a juridical act which is a nullity
corresponds to such a degree to that of another juridical act, considered as
valid, so as to imply that the latter juridical act would have been performed had
In
A
the former been abandoned because of its invalidity, then the former shall be
given the effect of the latter juridical act, unless this would be unreasonable to
ah
an interested person not party to the juridical act (art. 3:42 DCC).14
lik
m
ub
13 Cf. art. 3.16 of the Unidroit Principles of International Commercial Contracts, Roma 2004.
14 Likewise, before the new Code was enacted: HR 23-1-1981, NJ 1981, 284 (Neon-Brabant/Mulders).
ah
es
40 Perspektif Internasional
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 47
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
Whereas the concept of partial nullity tackles a problem of quantity, the doctrine
si
of conversion tackles a problem of quality. Conversion supposes that the parties
could have pursued their goal(s) successfully by means of contract type X, while they
ne
ng
actually chose contract type Y, which is unsuitable and therefore encumbers nullity.
In such a case, the null contract of type Y will–automatically–be ‘converted’ into a
valid contract of type X. Examples of such a conversion under Dutch law are rather
do
scarce.15 gu
5.4 Convalescence. When a legal condition for the validity of a juridical act is fulfilled
only after its performance and, during the period between the act and the
In
A
fulfilment of the legal condition, all directly interested parties who could have
invoked such defect have treated the act as valid, the juridical act is thereby
ah
lik
ratified (art. 3:58 DCC).
In the legislator’s view, such a convalescence has retro-active effect.16 From a
theoretical point of view the possibility of a convalescence is important; in practice
am
ub
the phenomenon is scarce.17
C. ANNULLABILITY
ep
k
6.1 The main grounds for annullability under Dutch law are:
R
si
-- incapacity of one of the parties (art. 3:32 DCC);
-- duress (art. 3:44 par. 2 DCC);
ne
ng
do
gu
natural person has the capacity to perform juridical acts, to the extent that the
law does not provide otherwise.
ah
lik
The law does provide otherwise for minors (unmarried persons under 18; art. 1:234
DCC) and for persons under legal restraint (art. 1:381 DCC). Such incapable persons
m
ub
15 A famous judgment is HR 21-1-1944, NJ 1944, 120 (Van de Water/Van Hemme), in a matter of mar-
ka
riage articles.
ep
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 48
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
have a legal representative (parent, guardian, curator) to serve their interests. A contract
si
concluded by the incapable person himself is annullable (art. 3:32 par. 2 DCC).
This structural incapacity has to be distinguished from a specific disqualification.
ne
ng
Certain persons are disqualified to be a party to certain juridical acts; for instance a
judge cannot acquire property in respect of which a procedure is pending before his
court (art. 3:43 par. 1 sub a DCC). Such disqualifications serve public interests (e.g.
do
gu
integrity). Therefore the appropriate remedy is not annullability, but a nullity (art. 3:43
par. 1 in fine DCC reads: ‘... are a nullity and oblige the acquirer to pay damages’).
In
A
7. Consequences of annullability and annulment
7.1 As long as the ground for annulment is not invoked by the protected party, the
ah
lik
contract is perfectly valid and binding.
7.2 Its annullability puts the fate of the contract into the hands of the protected
party; the contract’s future is insecure.
am
ub
This insecurity comes to an end in case of prescription. According to art. 3:52
par. 1 DCC, the prescription period for actions to annul a juridical act–including extra-
juridical declarations (art. 3:52 par. 2 DCC)–is three years. Afterwards, the annulment
ep
k
ground may still be invoked at law as a defense against a claim by the other party
ah
si
person confirms the contract (art. 3:55 par. 1 DCC). This power also lapses when
the other party has given notice to the protected person, requiring him within a
ne
ng
reasonable period to choose between confirmation and annulment, and that person
has made no choice within that period (art. 3:55 par. 2 DCC). By giving such a notice,
do
gu
the other party forces the protected person to make up his mind.
7.3 When an annullable contract is annulled, the annulment has retroactive effect
to the time the contract was concluded (art. 3:53 par. 1 DCC). Therefore the
In
A
lik
because of undue performance (art. 6:203 ff DCC). When property was transferred,
in retrospect the property never left the seller (art. 3:84 par. 1 DCC).
m
ub
7.4 An annulment, like a nullity, can give rise to restitution. The Civil Code knows
other phenomena giving rise to restitution, like the fulfillment of a resolutory
ka
condition (art. 6:24 DCC) and the setting aside of a contract because of non-
ep
es
42 Perspektif Internasional
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 49
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
performance (art. 6:265 DCC). These phenomena are kept apart from nullity
si
and annullability however, because they relate to (the performance of ) a valid
contract. Non-performance does not carry invalidity.
ne
ng
8. Mitigation of (the consequences of) annullability
8.1 The concepts of partial nullity, conversion and convalescence are applicable
do
gu
not only when a contract is null and void, but also after the annulment of an
annullable contract.19
8.2 Specifically concerning annullabilities, the Dutch Civil Code introduces a few
In
A
more in-between-solutions.
According to art. 3:53 par. 2 DCC, the court may, upon request, refuse to give
ah
lik
effect to an annulment in whole or in part, if the juridical act has already produced
consequences which can only be undone with great difficulty. By means of this
article e.g. the retroactive effect of the annulment can be limited by the court.
am
ub
According to art. 6:230 par. 2 DCC, instead of pronouncing the annulment
because of mistake the court may, upon the demand of one of the parties, modify
the effects of the contract to remove the detriment. Dutch law thus embraces
ep
k
the possibility that a contract is neither upheld nor annulled, but lives on with an
ah
si
(dwaling, art. 6:230 DCC) and with undue influence (misbruik van omstandigheden,
art. 3:54 par. 2 DCC).
ne
ng
do
gu
In
A
ah
lik
m
ub
ka
ep
19 See e.g. Hijma & Olthof, Compendium van het Nederlands vermogensrecht, Deventer: Kluwer 2008,
no. 59.
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 50
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
ne
ng
do
gu
In
A
ah
lik
am
ub
ep
k
ah
si
ne
ng
do
gu
In
A
ah
lik
m
ub
ka
ep
ah
es
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 51
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
LAPORAN PENELITIAN
si
ne
ng
A. Analisis Peraturan Perundang-
undangan tentang Topik Kebatalan
do
Perjanjian
gu
Terdapat beberapa istilah dalam sistem hukum perdata Indonesia, yaitu ‘batal’,
In
A
‘batal demi hukum’, ‘dapat dibatalkan’, ‘membatalkan’, ‘pembatalan’, dan ‘kebatalan’.
Terdapat beberapa dasar atas kebatalan suatu perjanjian, yaitu sebagai berikut.
ah
lik
1. Tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk
jenis perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal demi hukum.
am
ub
2. Tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, yang berakibat:
a. perjanjian batal demi hukum, atau
ep
b. perjanjian dapat dibatalkan.
k
R
4. Pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar actio pauliana.
si
5. Pembatalan oleh pihak yang diberi wewenang khusus berdasarkan undang-
ne
ng
undang.
Frasa ‘batal demi hukum’ merupakan frasa khas bidang hukum yang bermakna ‘tidak
do
gu
berlaku, tidak sah menurut hukum’. Dalam pengertian umum, kata batal (saja) sudah
berarti tidak berlaku, tidak sah. Jadi, walaupun kata ‘batal’ sesungguhnya sudah
cukup menjelaskan bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau tidak sah, rupanya
In
A
frasa ‘batal demi hukum’ lebih memberikan kekuatan sebab tidak berlaku atau tidak
sahnya sesuatu tersebut dibenarkan atau dikuatkan menurut hukum, bukan hanya
ah
lik
ub
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 52
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
1. Tidak Terpenuhinya Persyaratan yang Ditetapkan oleh
si
Undang-Undang untuk Jenis Perjanjian Formil, yang Berakibat
Perjanjian Batal Demi Hukum
ne
ng
Pada perjanjian yang tergolong sebagai perjanjian formil, tidak dipenuhinya
ketentuan hukum tentang misalnya bentuk atau format perjanjian, cara pembuatan
do
gu
perjanjian, ataupun cara pengesahan perjanjian, sebagaimana diwajibkan melalui
peraturan perundang-undangan, berakibat perjanjian formil batal demi hukum.
Ahli hukum memberikan pengertian perjanjian formil sebagai perjanjian yang tidak
In
A
hanya didasarkan pada adanya kesepakatan para pihak, tetapi oleh undang-undang
juga disyaratkan adanya formalitas tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian
ah
tersebut sah demi hukum. Formalitas tertentu itu, misalnya tentang bentuk atau
lik
format perjanjian yang harus dibuat dalam bentuk tertentu, yakni dengan akta
otentik ataupun akta di bawah tangan. Akta otentik yang dimaksud adalah akta
am
ub
yang dibuat oleh Notaris atau pejabat hukum lain yang memiliki kewenangan untuk
membuat akta otentik menurut undang-undang.
Berikut beberapa contoh perjanjian di bidang Hukum Kekayaan yang harus dilakukan
ep
k
• Hibah, kecuali pemberian benda bergerak yang bertubuh atau surat penagihan
R
utang atas tunjuk dari tangan ke tangan: Pasal 1682 dan 1687 KUH Perdata.
si
• Pendirian perseroan terbatas: Pasal 7 butir 1 UU No 40 tahun 2007 tentang
ne
Perseroan Terbatas.
ng
• Jaminan fidusia: Pasal 5 butir 1 UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
• Perjanjian penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi: Pasal
do
gu
Berkaitan dengan Tanah. SKMHT dapat pula dibuat dengan Akta Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) menurut Pasal 15 ayat (1) UU tersebut.
ah
lik
ub
kesepakatan dari para pihak yang membuatnya. Kemudian, agar perjanjian itu sah
ep
maka harus memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Namun, asas
ah
es
46 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 53
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
tersebut tidak cukup untuk perjanjian formil karena masih ada formalitas lain yang
si
diatur dalam undang-undang yang harus dipatuhi. Jadi, perjanjian formil memang
tidak cukup bila hanya berdasarkan pada asas konsensualisme.
ne
ng
Apabila perbuatan hukum yang wajib dilakukan dalam bentuk formal tertentu yang
diwajibkan oleh UU tidak dipatuhi, akan berakibat bahwa perbuatan hukum tersebut
do
gu
batal demi hukum. Hal ini ditegaskan, antara lain, dalam:
a. Pasal 617 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “Tiap-tiap akta dengan
In
A
mana kebendaan tak bergerak dijual, dihibahkan, dibagi, dibebani, atau
dipindahtangankan, harus dibuat dalam bentuk otentik, atas ancaman
ah
lik
kebatalan”.
b. Pasal 1682 KUH Perdata yang berbunyi “Tiada status hibah, kecuali yang
am
disebutkan dalam Pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya
ub
dengan statu akta notaris yang aslinya disimpan oleh notaris itu”.
c. Pasal 22 KUH Dagang yang menyebut “Tiap firma harus didirikan dengan akta
ep
otentik, tetapi ketiadaan akta tidak dapat dikemukakan untuk merugikan pihak
k
ketiga”.
ah
d. Pasal 15 ayat (6) UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah
R
si
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, menyebutkan bahwa
“(6) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan
ne
ng
do
gu
ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal
demi hukum.”
e. Pasal 9 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
In
A
Sengketa: “(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui
arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat
ah
lik
dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. (2) Dalam
hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk
m
ub
akta notaris. (3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memuat: a. masalah yang dipersengketakan; b. nama lengkap dan tempat tinggal
ka
ep
para pihak; c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase; d.
tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; e. nama lengkap
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 54
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
sekretaris; f. jangka waktu penyelesaian sengketa; g. pernyataan kesediaan dari
si
arbiter; h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung
segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. (4)
ne
ng
Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
batal demi hukum”.
do
gu
2. Tidak Terpenuhinya Syarat Sah Perjanjian
a. Syarat Objektif Perjanjian
In
A
Syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya,
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
ah
lik
3. suatu pokok persoalan tertentu, dan
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
am
ub
Dalam diskursus ilmu hukum perdata, syarat 1dan 2 digolongkan sebagai syarat
subjektif artinya bergantung pada subjek yang mengikat dirinya, sementara syarat
ep
3 dan 4 digolongkan sebagai syarat objektif, yaitu kondisi atas terjadinya suatu
k
perjanjian.
ah
si
Syarat objektif pertama adalah perjanjian mengatur suatu pokok persoalan
tertentu/terdapat suatu objek perjanjian. Berikut adalah beberapa pasal KUH
ne
ng
do
Pasal 1332: “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat men-
gu
Pasal 1333:”Suatu persetujuan harus mempunyai pokok suatu barang yang paling
sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak
tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
ah
lik
Pasal 1334 ayat (1): “Barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi
m
ub
ep
Objek perjanjian berupa barang, sebagaimana disebut dalam Pasal 1332, 1333, dan
1334 ayat (1).
ah
es
48 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 55
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
Pasal 1332: “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat men-
jadi pokok persetujuan”.
ne
ng
Pasal 1333: “Suatu persetujuan harus mempunyai pokok suatu barang yang paling
sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak
do
gu
tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
Pasal 1334 ayat (1): “Barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi
In
A
pokok suatu persetujuan”.
ah
lik
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 1332 dan 1333 KUH Perdata, jelaslah bahwa untuk
sahnya perjanjian maka objeknya haruslah tertentu, atau setidaknya cukup dapat
am
ub
ditentukan. Objek perjanjian tersebut dengan demikian haruslah:20
- dapat diperdagangkan,
- dapat ditentukan jenisnya,
ep
k
si
Syarat objektif kedua adalah perjanjian tidak memuat suatu sebab yang
dilarang. Berikut adalah beberapa pasal KUH Perdata tentang sebab-sebab yang
ne
ng
dilarang.
do
Pasal 1335: Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu
gu
lik
Beberapa pasal di luar KUH Perdata yang mengatur tentang suatu sebab yang
m
ub
ep
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 56
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
a. UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
si
Pasal 26 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Setiap jual-beli, penukaran,
ne
penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain
ng
yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak
milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang di samping
do
gu
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing
atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah
termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya
In
A
jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah
diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali”.
ah
lik
b. UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 124: “(3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan
am
ub
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan
yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.”
ep
k
Pasal 127: ”(1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/
ah
buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama. (2). Dalam
R
si
hal ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, maka ketentuan dalam
ne
ng
perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan
dalam perjanjian kerja bersama”.
do
gu
lik
ub
Pasal 20: “(4) Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan
ka
dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan
ep
es
50 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 57
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
d. UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
si
Pasal 32: “Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap Benda yang
ne
menjadi objek Jaminan Fidusia dengan cara yang bertentangan dengan
ng
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31, batal demi
hukum”.
do
gu
Pasal 33: “Setiap janji yang memberikan kewenangan kepada Penerima
Fidusia untuk memiliki Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia apabila
debitor cidera janji, batal demi hukum”.
In
A
e. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
ah
lik
Pasal 18: “(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha
pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum”.
am
ub
f. UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Pasal 33: “(1) Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing
ep
k
kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang
R
si
lain. (2) Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing
membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat
ne
ng
do
gu
Pasal 37: “(2) Pembelian kembali saham, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang bertentangan dengan ayat (1) batal karena hukum. (3) Direksi
secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
In
A
pemegang saham yang beritikad baik, yang timbul akibat pembelian kembali
yang batal karena hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”.
ah
lik
Pasal 27: “(1) Saham penyelenggara yang berbentuk badan usaha milik
m
ub
negara dan badan usaha milik daerah yang berkaitan dengan pelayanan
publik dilarang dipindahtangankan dalam keadaan apa pun, baik langsung
ka
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 58
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
hak-hak yang menjadi milik korporasi sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan. (2) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ne
ng
dinyatakan batal demi hukum.”
do
gu
Pasal 66: “(1) Paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun
sebagian karena: a. pewarisan, b. hibah, c. wasiat, d. perjanjian tertulis, atau
e. sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. (2)
In
A
Pengalihan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan
huruf c, harus disertai dokumen asli Paten berikut hak lain yang berkaitan
dengan Paten itu. (3) Segala bentuk pengalihan Paten sebagaimana dimaksud
ah
lik
pada ayat (1) wajib dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya. (4)
Pengalihan Paten yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal ini tidak sah dan
am
ub
batal demi hukum”.
Pasal 5
ah
si
yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini adalah batal karena
ne
ng
hukum”.
do
gu
Pasal 12 ayat 3
In
A
“Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak, yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d batal
demi hukum”.
ah
lik
Pasal 18 ayat 2
ub
ep
ah
es
52 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 59
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
l. UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
si
Sengketa
ne
ng
Pasal 9 pada dasarnya menyatakan bahwa perjanjian untuk mengadakan
arbitrase setelah sengketa muncul yang tidak dibuat secara tertulis
dinyatakan batal demi hukum.
do
gu
In
b. Syarat Subjektif Perjanjian
A
Terdapat perbedaan antara perjanjian yang batal demi hukum dengan perjanjian
yang dapat dibatalkan. Hal yang disebut terakhir ini terjadi apabila perjanjian
ah
lik
tersebut tidak memenuhi unsur subjektif untuk sahnya perjanjian sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu kesepakatan para pihak dan kecakapan
para pihak untuk melakukan perbuatan hukum. Akibat hukumnya adalah perjanjian
am
ub
tersebut dapat dibatalkan (voidable atau vernietigbaar). ep
1) Cacat pada Pihak yang Membuat Perjanjian
k
Pada prinsipnya, setiap orang sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-
ah
undang, dianggap cakap atau mampu melakukan tindakan hukum yang dalam
R
si
konteks ini adalah membuat perjanjian sehingga menimbulkan perikatan. Hal
ini ditegaskan dalam Pasal 1329 KUH Perdata yang berbunyi “Setiap orang adalah
ne
ng
do
gu
Pasal 1330 KUH Perdata menyebut bahwa “Tidak cakap untuk membuat
persetujuan-persetujuan adalah:
In
A
lik
Akibat hukum bagi perikatan yang ditimbulkan dari perjanjian yang dibuat oleh
mereka yang tidak cakap hukum, diatur dalam Pasal 1446 yang menyatakan
m
ub
bahwa “(1) Semua perikatan yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa atau
ka
ep
21 Istilah undang-undang di sini dipakai karena Pasal 1329 KUH Perdata menyebutnya demikian. Namun,
sebaiknya perlu diingat bahwa undang-undang lebih sempit maknanya daripada perundang-undangan
sebab yang terakhir ini mencakup peraturan hukum yang tidak hanya berupa undang-undang.
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 60
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan
si
atas tuntutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal,
semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya (2) Perikatan
ne
ng
yang dibuat oleh perempuan yang bersuami dan oleh anak-anak yang belum
dewasa yang telah disamakan dengan orang dewasa, tidak batal demi hukum,
sejauh perikatan tersebut tidak melampaui batas kekuasaan mereka”.
do
gu
Contoh pasal yang mengatur tentang kecakapan bertindak.
In
A
Pasal 1446 ayat (1) KUH Perdata
“Semua perikatan yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa atau orang-
ah
lik
orang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan atas tun-
tutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-
mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya (2) Perikatan yang dibuat
am
ub
oleh perempuan yang bersuami dan oleh anak-anak yang belum dewasa yang telah
disamakan dengan orang dewasa, tidak batal demi hukum, sejauh perikatan terse-
but tidak melampaui batas kekuasaan mereka”.
ep
k
ah
si
untuk membuat persetujuan, boleh menuntut pembatalan perikatan yang telah mer-
ne
eka buat dalam hal kuasa itu tidak dikecualikan oleh UU. Orang-orang yang cakap
ng
untuk mengikatkan diri, sama sekali tidak dapat mengemukakan sangkalan atas
dasar ketidakcakapan anak-anak yang belum dewasa, orang-orang yang ditaruh di
do
gu
“Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang negara seba-
gaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali di pasar sekunder. (5) Perbuatan hukum
ah
Bank Indonesia membeli surat utang negara untuk diri sendiri tidak di pasar sekunder
lik
ub
es
54 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 61
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
2) Tidak Adanya Kata Sepakat
si
Unsur subjektif kedua untuk sahnya perjanjian adalah kesepakatan antarpihak
yang membuatnya. KUH Perdata tidak menjelaskan tentang apa yang diartikan
ne
ng
dengan sepakat, tetapi sebaliknya justru mengatur tentang kondisi yang
menyebabkan tidak adanya kata sepakat dari para pihak yang membuatnya.
do
gu
Dengan kata lain, KUH Perdata menyebutkan beberapa jenis keadaan atau
kondisi tertentu yang menjadikan perjanjian menjadi cacat sehingga terancam
kebatalan. Pasal-pasal tersebut adalah 1321, 1322, 1323, 1324, 1325, 1328
In
A
sebagai berikut.
ah
lik
Pasal 1321: “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan
karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.
am
ub
Pasal 1322: “Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan,
kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok
ep
persetujuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan kebatalan, jika kekhilafan itu
k
hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya seseorang bermaksud untuk
ah
si
diri orang yang bersangkutan”.
ne
ng
Pasal 1324: “Paksaan telah terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa
hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan
do
itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau
gu
kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Dalam
mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan usia, kelamin, dan kedudukan
In
A
Pasal 1323: “Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu
lik
ub
Pasal 1325: “Paksaan menjadikan suatu persetujuan batal, bukan hanya bila
ep
dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan, melainkan juga
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 62
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
bila dilakukan terhadap suami atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas
si
maupun ke bawah”.
ne
ng
Pasal 1328: “Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu
persetujuan bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian
rupa sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian
do
gu
itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira melainkan
harus dibuktikan”.
In
A
Tentang kekhilafan, kekhilafan terjadi bila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal
ah
yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari
lik
barang yang menjadi objek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa
diadakan perjanjian itu. Perjanjian memang telah terbentuk, namun terjadinya
am
ub
perjanjian itu berada di bawah pengaruh kekeliruan atau kesesatan sehingga
bila kekeliruan itu diketahui sebelumnya maka tidak akan terbentuk perjanjian.
Kekeliruan itu harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf
ep
k
si
Tentang paksaan dalam KUH Perdata adalah paksaan secara kejiwaan atau
rohani, atau suatu situasi dan kondisi di mana seseorang secara melawan hukum
ne
ng
do
gu
kehendak itu tidak akan pernah terwujud. Paksaan juga dapat dilakukan oleh
pihak ketiga yang sebenarnya tidak berkepentingan dalam perjanjian tersebut.
ah
lik
Apa yang diancamkan berupa kerugian pada orang atau kebendaan milik orang
tersebut atau kerugian terhadap pihak ketiga atau kebendaan milik pihak ketiga
m
ub
(Pasal 1325 KUH Perdata). Namun, perlu diperhatikan bahwa pembuat undang-
undang membedakan antara paksaan yang membuat perjanjian mengandung
ka
pembatalan, dengan rasa takut karena hormat kepada anggota keluarga dalam
ah
es
56 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 63
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
garis lurus ke atas. Hal ini tampak dari bunyi Pasal 1326, yaitu “Rasa takut karena
si
hormat terhadap ayah, ibu atau keluarga lain dalam garis lurus ke atas, tanpa
disertai kekerasan, tidak cukup untuk membatalkan persetujuan”.
ne
ng
Terkait penipuan, penipuan terjadi bila satu pihak dengan sengaja memberikan
keterangan palsu atau tidak benar disertai akal cerdik atau tipu muslihat untuk
do
gu
membujuk pihak lawan agar memberikan persetujuannya. Pihak yang menipu
bertindak aktif untuk menjerumuskan pihak lawan. Akibat hukum bagi perjanjian
In
A
yang dibuat karena adanya cacat pada kehendak pihak yang membuatnya
sehingga tidak ada kata sepakat, adalah dapat dibatalkan. Hal ini didasarkan
ah
pada ketentuan Pasal 1449 KUH Perdata yang menegaskan bahwa “Perikatan
lik
yang dibuat dengan paksaan, penyesatan atau penipuan, menimbulkan tuntutan
untuk membatalkannya”.
am
Syarat batal dalam sebuah perjanjian adalah suatu peristiwa atau fakta tertentu
ah
yang belum tentu akan terjadi di masa depan, namun para pihak dalam perjanjian
R
si
itu sepakat bahwa bila peristiwa atau fakta tersebut benar terjadi maka perjanjian
tersebut menjadi batal. Syarat batal ini merupakan kebalikan dari syarat tangguh,
ne
ng
yang apabila peristiwa atau fakta yang belum tentu terjadi di masa depan itu benar
terjadi adanya maka justru membuat lahirnya perjanjian yang bersangkutan.
Ketentuan tentang kedua syarat ini diatur dalam Pasal 1253 KUH Perdata yang
do
gu
dengan cara membatalkan perikatan itu, tergantung pada terjadi tidaknya peristiwa
itu”.
ah
lik
ub
kemauan orang yang membuat perjanjian itu menurut Pasal 1256 KUH Perdata
adalah batal demi hukum. Pasal 1256 KUH Perdata menegaskan bahwa “Semua
ka
kemauan orang yang terikat. Tetapi jika perikatan tergantung pada suatu perbuatan
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 64
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
yang pelaksanaannya berada dalam kekuasaan orang tersebut, dan perbuatan itu
si
telah terjadi, maka perikatan itu adalah sah”. Alasan dari ketentuan ini masuk
akal mengingat bahwa mengharapkan terjadinya suatu perjanjian semata-mata
ne
ng
hanya pada kehendak atau kemauan seseorang merupakan hal aneh kalau tak
dapat disebut sia-sia sebab perjanjian seperti itu tidak akan terjadi bila orang itu
tidak menghendakinya.
do
gu
Demikian pula bila perjanjian memuat syarat yang bertujuan melakukan sesuatu
In
yang tak mungkin terlaksana, atau yang bertentangan dengan kesusilaan
A
yang baik, atau bahkan yang dilarang oleh undang-undang, adalah batal demi
hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1254 KUH Perdata yang berbunyi “Semua
ah
lik
syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, sesuatu
yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau sesuatu yang dilarang oleh
am
ub
berlaku”. Aturan ini mirip dengan syarat objektif untuk sahnya perjanjian, yaitu
syarat kausa yang halal.
ep
k
Perjanjian dengan syarat batal yang menjadi batal demi hukum karena syarat
ah
si
kondisi semula pada saat timbulnya perikatan itu atau dengan kata lain,
perjanjian yang batal demi hukum seperti itu berlaku surut hingga ke titik awal
ne
ng
perjanjian itu dibuat. Akibat selanjutnya adalah pihak yang telah menerima
prestasi atau sesuatu dari pihak lain maka ia harus mengembalikannya. Pasal
1265 KUH Perdata mengatur hal ini dengan menyebut bahwa “Suatu syarat batal
do
gu
adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa
segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu
In
perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan perikatan; ia hanya mewajibkan
A
lik
ub
Pembatalan oleh pihak ketiga berdasarkan actio pauliana diatur dalam Pasal
1341 KUH Perdata.
ka
ep
Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi “Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak
yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan
ah
es
58 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 65
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
tidak dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam hal yang
si
ditentukan dalam Pasal 1317”. Kemudian, Pasal 1341 menyebutkan bahwa “(1)
Meskipun demikian, tiap kreditur boleh mengajukan tidak berlakunya segala
ne
ng
tindakan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitur, dengan nama apa
pun juga, yang merugikan kreditur, asal dibuktikan bahwa ketika tindakan tersebut
dilakukan, debitur dan orang yang dengannya atau untuknya debitur itu bertindak,
do
gu
mengetahui bahwa tindakan itu mengakibatkan kerugian bagi para kreditur. (2)
Hak-hak yang diperoleh pihak ketiga dengan itikad baik atas barang-barang yang
In
A
menjadi objek dari tindakan yang tidak sah, harus dihormati. (3) Untuk mengajukan
batalnya tindakan yang dengan cuma-cuma dilakukan debitur, cukuplah kreditur
ah
lik
bahwa dengan cara demikian dia merugikan para kreditur, tak peduli apakah
orang yang diuntungkan juga mengetahui hal itu atau tidak”.
am
ub
5) Pembatalan oleh Pihak yang Diberi Wewenang Khusus Berdasarkan
ep
Undang-Undang
k
Selain beberapa hal atau kondisi tertentu yang dapat mengakibatkan batalnya
ah
perjanjian seperti dijelaskan di atas, masih ada satu kondisi ‘khusus’ lagi, yaitu
R
si
pembatalan perjanjian oleh pihak tertentu atas kuasa undang-undang yang
secara eksplisit menyatakan hal tersebut. Maksudnya, terdapat norma hukum
ne
ng
do
gu
• Pasal 6 ayat (2): “LPS dapat melakukan penyelesaian dan penanganan Bank
ah
lik
ub
kontrak yang mengikat Bank Gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga
yang merugikan bank”.
ka
ep
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 66
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah kontrak
si
bank yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut LPS merugikan
bank.
ne
ng
• Pasal 52 ayat (1): “Untuk kepentingan aset atau kewajiban bank dalam
likuidasi, tim likuidasi dapat meminta pembatalan kepada pengadilan niaga
do
gu
atas segala perbuatan hukum bank yang mengakibatkan berkurangnya aset
atau bertambahnya kewajiban bank, yang dilakukan dalam jangka waktu 1
In
A
(satu) tahun sebelum pencabutan izin usaha”.
ah
lik
Pasal 52 ayat (2): “Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah perbuatan hukum bank yang bersangkutan yang wajib
dilakukan berdasarkan Undang-Undang”.
am
b. UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang
ub
ep
k
Perbankan
ah
Pasal 37 A:
R
si
1. Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan Perbankan
ne
ng
do
gu
lik
ub
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) serta wewenang lain, yaitu
meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau mengubah kontrak
ka
ep
es
60 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 67
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
B. Analisis Literatur tentang Topik Kebatalan
si
Perjanjian
ne
ng
Analisis literatur ini dilakukan dengan bersandar pada beberapa isu berikut ini:
1. tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk
jenis perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal demi hukum,
do
gu
2. tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, yang berakibat:
a. perjanjian batal demi hukum, atau
b. perjanjian dapat dibatalkan.
In
A
3. terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat, dan
4. pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar actio pauliana.
ah
lik
1. Tidak Terpenuhinya Persyaratan yang Ditetapkan oleh
am
ub
Undang-Undang untuk Jenis Perjanjian Formil, yang Berakibat
Perjanjian Batal Demi Hukum
Walaupun terdapat konsensualisme/kesepakatan di antara para pihak, suatu
ep
k
perjanjian tidak serta merta sah di hadapan hukum, jika terdapat syarat formil yang
tidak dipenuhi.
ah
si
a. Subekti22
Terhadap Asas Konsensualisme yang dikandung oleh Pasal 1320 KUH Perdata, ada
ne
ng
do
gu
lik
b. Herlien Boediono23
Perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak dari pihak-pihak.
Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak
m
ub
23 Herlien Boediono, Ajaran Umum: Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan,
Cetakan I, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009.
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 68
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
Di dalam sistem hukum Romawi, perjanjian baru dianggap terbentuk jika kebendaan
si
yang bersangkutan diserahkan. Hukum Romawi berpegang teguh pada aturan
bahwa semua perjanjian, dengan memperhatikan beberapa pengecualian khusus,
ne
ng
harus memenuhi sejumlah persyaratan sebelum dapat dikatakan telah terbukti.
Sekalipun ada kecenderungan untuk memberikan pengakuan terhadap asas
konsensualisme tersebut, aturan umum, nudus consensus obligat pada waktu itu
do
gu
dianggap tidak berlaku.
In
Perkembangan dari hukum pada umumnya ataupun hukum kontrak pada
A
khususnya selain itu juga sangat dipengaruhi oleh hukum gereja (hukum kononik)
yang berkembang pada Abad Pertengahan di Eropa. Gereja sebagai institusi politik,
ah
lik
tidak saja menyediakan sakramen (upacara gereja), tetapi sekaligus juga menjaga
ketertiban umum. Pada zaman itu, tuan-tuan tanah lokal tiada hentinya saling
am
ub
berperang. Akibat terlalu sibuk berebut kekuasaan, acapkali urusan menjalankan
kekuasaan administrasi atau menjaga dan memelihara kepentingan hukum atau
ketertiban masyarakat menjadi terabaikan. Gerejalah ysng kemudian menjadi satu-
ep
satunya otoritas yang berhasil menjaga kepentingan dan ketertiban umum. Bahkan
k
si
Gereja sadar bahwa mereka memiliki kemampuan untuk membuat ketentuan-
ketentuan yang didukung ancaman sanksi. Berkenaan dengan itu, gereja tidak saja
ne
ng
dapat mengggunakan hukum yang bersifat duniawi, tetapi juga rohani. Alat paksa
yang didayagunakan gereja ialah ex communication (pengecualian dari komunitas).
do
Pada waktu itu, berkembang kebiasaan untuk menggunakan sumpah sebagai cara
gu
formil untuk menegaskan adanya perjanjian. Kira-kira pada abad ke-13, di bawah
pengaruh para teolog moral, secara perlahan berkembang pandangan bahwa
In
A
kesepakatan atau perjanjian yang tidak dikukuhkan dengan sumpah juga memiliki
kekuatan mengikat. Dengan adanya asas nudus consensus obligat, hukum kontrek
memasuki tahapan yang sama sekali baru.
ah
lik
ub
UU menghendaki agar perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk tertentu. Dalam hal
ep
es
62 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 69
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
Tujuan pembuat UU dengan membuat pengecualian di atas adalah untuk memberikan
si
perlindungan kepada pihak lemah, terhadap dirinya sendiri, atau terhadap pihak
lawan, satu dan lain dengan mengingat sifat terbukanya perjanjian. Singkat kata,
ne
ng
tujuannya ialah memberikan jaminan kepastian hukum dan keseimbangan dalam
lalu lintas pergaulan hukum. Tujuan lain dari persyaratan demikian adalah untuk
memberikan suatu kekhidmatan pada perjanjian atau semacam jaminan untuk
do
gu
akibatnya di kemudia hari.
In
A
Akta untuk perjanjian formil adalah syarat mutlak bagi keabsahan pembuatan
hukum yang bersangkutan. Sementara untuk perjanjian yang tidak digolongkan
ah
lik
pada perjanjian formil, fungsi akta adalah sekadar sebagai alat bukti. Dengan
perkataan lain, untuk perbuatan hukum yang tidak digolongkan pada perjanjian
formil, tetapi oleh para pihak dibuat dalam bentuk tertulis, fungsi akta dalam hal ini
am
ub
adalah sebagai alasan alat bukti. ep
k
bentuk tertentu untuk perjanjian formil dan apa akibatnya jika kewajiban tersebut
R
dilanggar. Sebagaimana disebutkan di dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Fidusia,
si
pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam
ne
ng
bahasa Indonesia. Jaminan fidusia yang dibuat tidak dalam bentuk akta notaris
dalam bahasa Indonesia secara yuridis dogmatis menjadi nonexistent dengan
akibat hukumnya adalah batal. Namun, ada pihak-pihak yang menafsirkannya
do
gu
berbeda. Mereka dengan mendasarkan diri pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata berpendapat bahwa perjanjian tersebut tetap sah dan berdalih bahwa
semua perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
In
A
lik
Kehendak bebas tersebut masih “dibatasi”, yaitu harus pula “dibuat secara sah”. Berarti
m
ub
fidusia baru dianggap absah apabila dibuat dalam bentuk akta notaris dalam bahasa
ep
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 70
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
c. Kartini Muljadi24
si
Selain ketidakpemenuhannya syarat objektif dalam suatu perjanjian yang berakibat
batal demi hukum, undang-undang juga merumuskan secara konkret untuk tiap-
ne
ng
tiap perbuatan hukum (terutama pada perjanjian formil) yang mensyaratkan
dibentuknya perjanjian dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, yang
jika tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum (tidak memiliki
do
gu
kekuatan dalam pelaksanaannya) (hlm. 142).
In
A
2. Tidak Terpenuhinya Syarat Sahnya Perjanjian
a. Subekti25
ah
lik
Empat syarat sahnya suatu perjanjian tersebut tercantum dalam Pasal 1320 KUH
Perdata. Dua syarat pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif karena mengenai
orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat
am
ub
terakhir dinamakan syarat- syarat objektif karena mengenai perjajiannya sendiri atau
objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
ep
k
bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju
R
mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Untuk syarat yang
si
kedua, yaitu setiap orang yang membuat perjanjian itu harus cakap, yang dimaksud
di sini pada asasnya adalah setiap orang yang sudah dewasa atau akil balik dan sehat
ne
ng
pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata disebut
sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu
do
gu
lik
Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang
dipikul oleh seseorang yang mengadakan suatu perjanjian, yaitu seperti orang
m
ub
ka
24 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan (Perikatan pada Umumnya), Cetakan II,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
ep
es
64 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 71
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
yang ditaruh di bawah pengampuan menurut hukum, tidak dapat berbuat bebas
si
dengan harta kekayaannya. Ia berada di bawah pengawasan pengampuan, dan
kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Sebagai syarat
ne
ng
ketiga, disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu,
artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul
suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit
do
gu
harus ditentukan jenisnya. Sementara itu, berpindahnya hak milik barang itu atau
barang itu sudah berada di tangannya berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak
diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja
In
A
kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Sebagai syarat keempat, yaitu “suatu
sebab yang halal” yang dimaksud dalam hal ini adalah yang dimaksudkan dengan
ah
lik
sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.
Apabila keempat syarat sahnya perjanjian tersebut tidak terpenuhi maka ada
am
ub
beberapa hal yang dapat terjadi, yaitu sebagai berikut.
Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Dalam
ep
k
hal syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari
ah
semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan,
R
dan tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu
si
perikatan hukum telah gagal. Dengan demikian, tidak ada dasar bagi para pihaknya
untuk saling menuntut di depan hakim. Hal ini dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa
ne
ng
perjanjian yang demikian itu adalah “null and void”. Sementara dalam hal suatu syarat
subjektif, jika syarat itu tidak dipenuhi maka perjanjiannya bukan batal demi hukum,
do
gu
tetapi salah satu pihaknya mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu
dibatalkan. Dalam hal ini, pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak
yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Hal
In
A
ini biasa dikatakan bahwa perjanjian yang telah dibuat tersebut tetap mengikat para
pihaknya selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak
meminta pembatalan tadi. Dengan demikian, keberlakuan perjanjian seperti itu
ah
lik
tidaklah pasti dan bergantung pada kesediaan suatu pihak untuk menaatinya.
m
ub
yang terikat (debitur), dinamakan syarat Potestatif. Begitu pula ada suatu ketentuan
ep
dalam Hukum Perjanjian bahwa semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 72
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
yang tak mungkin terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan, atau
si
sesuatu yang dilarang oleh undang-undang, adalah batal dan berakibat bahwa
perjanjian yang digantungkan padanya tidak mempunyai sesuatu kekuatan hukum
ne
ng
apa pun. Jika suatu perjanjian digantungkan pada syarat bahwa sesuatu peristiwa
akan terjadi di dalam suatu waktu tertentu, syarat tersebut harus dianggap tidak
terpenuhi apabila waktu tersebut telah lampau dengan tidak terjadinya peristiwa
do
yang dimaksud. gu
Dalam Hukum Perjanjian, pada asasnya suatu syarat batal selalu berlaku surut hingga
In
A
saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi
akan menghentikan perjanjiannya, dan membawa segala sesuatu kembali pada
ah
lik
keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian, seperti yang diatur
di dalam Pasal 1265 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa:
am
ub
“Suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan
perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula,
ep
seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan.
k
si
apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi”.
ne
ng
do
gu
b. Herlien Boediono26
Herlien Boediono membagi penjelasan tentang syarat sah perjanjian dan
In
keterkaitannya dengan kebatalan hukum sebagai berikut.
A
lik
ub
ep
26 Herlien Boediono, Ajaran Umum: Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan,
Cetakan ke- 1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009.
ah
es
66 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 73
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
saja mempunyai kewajiban, tetapi juga berhak atas prestasi yang telah
si
diperjanjikan. Suatu perjanjian sepihak yang memuat hak atau kewajiban
satu pihak untuk mendapatkan/memberikan prestasi, tetap mensyaratkan
ne
ng
adanya kata sepakat dari kedua belah pihak. Lain halnya dengan tindakan
hukum sepihak. UU tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan
kata “sepakat”. Akan tetapi, ketentuan Pasal 1321 KUH Perdata justru
do
gu menyebutkan hal-hak “sepakat” tidak terbentuk, yaitu jika sepakat diberikan
karena “kekhawatiran atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
In
A
Jika salah satu pihak mengambil keputusan yang “cocok” dengan lawannya
untuk melakukan jual-beli, misalnya, syarat utama untuk terbentuknya
ah
lik
suatu perjanjian telah dipenuhi. Untuk adanya kesepakatan tidaklah cukup
bahwa keputusan sudah diambil oleh para pihak. Keputusan atau kehendak
tersebut bagaimanapun juga harus disampaikan oleh pihak yang satu
am
ub
kepada pihak yang lain secara timbal balik.
b. Teori Kehendak
ep
k
si
hanya menafikkan hukum keperdataan. Kehendak sebagai batu penjuru
dan seluruh hukum keperdataan masih diakui sebagai ajaran yang berlaku
ne
ng
di dunia belahan Barat. Menurut teori ini, faktor yang menentukan adanya
perjanjian adalah kehendak. Namun, suatu kehendak harus dinyatakan dan
do
gu
lik
c. Teori Pernyataan
m
ub
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 74
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
perjanjian. Kekuatan mengikat perjanjian dikaikan pada fakta bahwa
si
pihak yang bersangkutan telah memilih melakukan tindakan tertentu dan
tindakan tersebut mengarah atau memunculkan keterikatan. Tindakan
ne
ng
menjadi dasar bagi keterikatan karena “kehendak yang tertuju pada suatu
akibat hukum tertentu sebagaimana terejawantahkan dalam pernyataan”.
Terikatnya individu dilandaskan pada pernyataan individu tersebut, tanpa
do
gu
perlu memperlihatkan bahwa dalam perjanjian selalu ada dua atau lebih
orang yang masing-masing membuat pernyataan. “Bukan kata-kata yang
menentukan, melainkan tujuan yang hendak dicapai melalui pilihan
In
A
pernyataan”. Demikian menurut Hijman.
ah
lik
d. Teori Kepercayaan
Teori ini beranjak dari teori pernyataan, tetapi yang diperlunak. Tidak semua
pernyataan melahirkan perjanjian. Pernyataan yang melahirkan perjanjian
am
ub
hanyalah pernyataan kepada pihak lain yang menurut kebiasaan di dalam
masyarakat menimbulkan kepercayaan bahwa hal yang dinyatakan
memang benar dikehendaki.
ep
k
ah
si
lawan. Kepercayaan tersebut tertuju pada suatu perilaku faktual tertentu,
“Hidup saya kuarahkan pada tujuan itu,” ungkapan ini digunakan Schoordijk
ne
ng
do
gu
Ketiga teori tersebut mempunyai segi positif dan negative. Oleh karena itu,
ah
lik
tidak dapat diterapkan secara konsekuen tanpa adanya koreksi. KUH Perdata
disusun beranjak dari teori kehendak yang diikuti hingga pertengahan abad
m
ub
atas.
ah
es
68 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 75
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
2. Pernyataan Tidak Diinginkan
si
a. Vis Absoluta
Paksaan dapat terjadi karena paksaan secara fisik ataupun psikis. Paksaan
ne
ng
secara fisik terjadi dalam hal, misalnya, tangan seseorang dipegang untuk
memaksakannya menandatangani suatu akta. Sementara paksaan secara
psikis dapat dilakukan dengan mengancam atau menakut-nakuti seseorang
do
gu untuk melakukan sesuatu. Misalnya, orang lain (anggota keluarga) akan
dicederai. Paksaan psikis diatur di dalam Pasal 1324 KUH Perdata. Dalam
hal adanya paskaan, tidak terjadi kesepakatan. Satu dan lain hal disebabkan
In
A
tidak adanya kehendak yang tertuju pada akibat hukum. Adanya paksaan
demikian yang tanpanya tidak akan dibuat perjanjian harus dibuktikan.
ah
lik
b. Gangguan Kejiwaan
Oleh UU, akibat hukum dari tindakan hukum yang dilakukan oleh orang
am
ub
yang sakit jiwa hanya diatur jika mereka itu ditaruh di bawah pengampunan
atau curatele (Pasal 433 KUH Perdata dan seterusnya). Tindakan mereka akan
tunduk pada aturan umum dan asas-asas hukum mereka yang digolongkan
ep
k
si
tidak dapat menyatakan kehendaknya dengan benar atau sadar akan akibat
hukumnya–tidaklah dapat diminta pertanggungjawaban hukum atas apa
ne
ng
yang dilakukannya.
do
gu
lik
ub
bicara atau salah menulis. Perjanjian tetap terjadi jika pernyataan yang
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 76
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
diberikan karena salahnya sendiri dan memberi kesan kepada pihak lawan
si
bahwa memang itulah yang dimaksud. Jika kekeliruan terletak pada wakil
yang menyampaikan, kesalahan tidak dapat dibebankan pada pihak yang
ne
ng
menyuruh. Artinya, risiko dipikul oleh wakilnya tersebut.
do
gu
Di dalam kehidupan sehari-hari, sering kali perjanjian dilakukan dengan
menggunakan modal baku/standar. Di dalam perjanjian baku, isi perjanjian
telah disusun secara terperinci, misalnya, polis asuransi, syarat-syarat
In
A
angkutan, sewa beli, dan leasing. Perjanjian baku atau perjanjian standar
sering kali ditandatangani tanpa dibaca atau diketahui keseluruhannya
ah
lik
oleh penanda tangan. Ciri-ciri perjanjian baku menurut Mariam Darus
Badrulzaman adalah
- isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditor yang posisinya relatif
am
ub
kuat dari debitor,
- debitor sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu,
- terdorong oleh kebutuhannya, debitor terpaksa menerima perjanjian
ep
k
itu,
ah
si
Menjadi pertanyaan, apakah dalam hal ini telah terjadi pernyataan yang
ne
ng
do
gu
ini, dianggap tidak terjadi deskripsi antara kehendak dan pernyataan, orang
menghendaki apa yang dinyatakannya. Hampir selalu perjanjian baku/standar
ditandatangani tanpa dibaca terlebih dahulu atau diketahui isinya. Namun,
ah
lik
ub
es
70 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 77
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
3. Pernyataan Dikehendaki, Tetapi Tidak Dalam Arti yang
si
Dimaksudkan Pihak Lawan
a. Pernyataan Tidak Cukup Jelas Atau Disalahartikan
ne
ng
Secara umum dapat dikatakan bahwa pernyataan yang tidak cukup jelas atau
disalahartikan mengakibatkan tidak terbentuknya perjanjian. Satu dan lain
do
gu
hal karena tidak adanya kesepakatan. Hanya dalam hal pihak, kepada siapa
pernyataan disampaikan, tidak memiliki alasan untuk tidak menerima atau
adanya kesan bahwa demikianlah kehendak pihak lawan sebagaimana telah
In
A
dinyatakan maka terbentuklah perjanjian. Singkatnya, perjanjian tetap dianggap
terjadi jika kesalahmengertian tersebut seluruhnya karena kurang teliti atau
ah
lik
perlu membedakan penjelasan salah pengertian dalam arti ada pernyataan
yang disalahartikan dengan salah mengerti motivasi para pihak berdasarkan apa
am
ub
perjanjian itu dibuat. Untuk yang disebut terakhir, diterapkan ajaran berkenaan
dengan cacat pada kehendak, yaitu cacat yang terjadi karena kekeliruan. Salah
pengertian dapat diselesaikan dengan mengacu pada penafsiran perjanjian
ep
k
si
Surat penawaran yang sedianya adalah untuk A ternyata disampaikan kepada
B. Apakah dalam hal ini jika B menerima penawaran tersebut dapat terbentuk
ne
ng
do
gu
disampaikan kepada yang benar. Ajaran cacat pada kata sepakat karena
kekeliruan harus diterapkan di sini.
In
A
lik
ub
Dalam hal ini kita berbicara tentang orang yang menyatakan suatu maksud. Namun,
ia sebenarnya tidak menginginkan akibatnya (dan hanya disimpan di dalam
ka
hatinya sendiri). Dalam kenyataan tidak dapat dipungkiri telah ada pernyataan.
ep
Artinya, orang terkait pada pernyataan yang telah diberikan, sedangkan pihak
lawan berpegang pada kepercayaan yang ditimbulkan oleh pernyataan yang
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 78
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
diberikan, termasuk pada maksud yang terkandung di dalamnya. Dalam hal
si
demikian, berdasarkan teori kepercayaan telah terbentuk perjanjian.
ne
ng
b. Senda Gurau yang Tidak Diketahui Pihak Lawan
Pernyataan yang diberikan sebagai senda gurau pada dasarnya akan diterima
sebagaimana adanya. Guyonan dianggap mengena apabila senda gurau tersebut
do
gu
setelah beberapa waktu menyebabkan orang baru sadar dan mulai curiga, ragu-
ragu apakah pernyataan tersebut benar atau main-main. Bergantung pada
pihak lawan, apakah pernyataan tersebut diterima secara serius atau seyogianya
In
A
ia harus lebih bijak di dalam menerima “penawaran” yang disampaikan sebagai
senda gurau itu. Penilaian harus dilakukan, apakah kita berhadapan dengan
ah
senda gurau yang jelas atau senda gurau yang samar-samar dan tidak jelas.
lik
Senda gurau yang berada dalam kawasan yang meragukan harus dianggap
sama dengan keadaan mengenai reservation mentalis.
am
ub
c. Perbuatan Pura-Pura
Perbuatan pura-pura yang terejahwantah ke dalam perjanjian pura-pura
ep
k
yang tercapai” telah dilakukan antara para pihak untuk secara diam-diam dan
R
si
secara sadar melakukan tindakan hukum tertentu yang menyimpang dari apa
yang seharusnya terjadi. Dapat dikatakan di sini bahwa para pihak melakukan
ne
ng
“persekongkolan”.
do
gu
lik
ub
jika ada persesuaian pernyataan kehendak atau perjumpaan kehendak dari para
ah
es
72 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 79
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
pihak. Namun, perlu diperhatikan di sini bahwa sistem hukum yang terwujud
si
dalam KUH Perdata telah melepaskan diri dari dan karenanya berada dari
sistem hukum Romawi yang merupakan akar dari sistem hukum Barat. Di dalam
ne
ng
sistem hukum Germania dan sistem hukum Romawi, perjanjian baru dianggap
terbentuk secara formal (dengan akta), tetapi juga dengan diserahkannya
kebendaan objek perjanjian (perjanjian riil). Oleh karena itu, dari sudut pandang
do
gu
sistem hukum Germania dan hukum Romawi, pernyataan-pernyataan tersebut
bukan pokok masalah. Perjanjian terbentuk tatkala para pihak bertemu muka
dengan dibuat aktanya atau penyerahan objek perjanjian.
In
A
Satu momen penting dalam proses pembentukan atau penutupan perjanjian
ah
lik
adalah perjumpaan kehendak, saling bertuatnya pernyataan kehendak para
pihak sebagaimana disampaikan satu pihak pada pihak lainnya secara timbal
balik. Dari pernyataan-pernyataan tersebut, masing-masing pihak menurut
am
ub
hukum mengikatkan diri pada pihak lainnya dan dengan tercapainya “kata
sepakat” perjanjian terbentuk.
ep
k
Berdasarkan apa yang tersebut di atas, perjanjian terjadi atau terbentuk melalui
ah
proses penawaran yang disampaikan oleh satu pihak yang kemudian diterima
R
pihak lainnya. Proses penawaran dan penerimaan melandasi terbentuknya
si
perjanjian.
ne
ng
do
gu
saat pihak yang menawarkan mengetahi bahwa pihak lainnya telah menerima
penawarannya, setidaknya ia dianggap patut telah dapat mengetahui telah
diterimanya penawaran. Terbentuknya perjanjian cukup dengan terjadinya
In
A
lik
tidak sulit untuk menentukan kapan kata sepakat tercapai. Di sini kata sepakat
dianggap terbentuk pada saat pihak yang menawarkan mengetahui bahwa
m
ub
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 80
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
jauh. Ilustrasi dari itu ialah kontrak elektronik. Apakah kata sepakat terbentuk
si
sejak pihak yang menawarkan menulis surat penawarannya? Pandangan ini
diajukan oleh teori pernyataan. Ataukah kata sepakat terbentuk pada saat
ne
ng
surat penawaran telah dikirimkan? Pandangan ini dilandaskan pada teori
penyampaian/pengiriman. Kemungkinan lain adalah kata sepakat terbentuk
pada saat pihak yang menawarkan mengetahui bahwa penawarannya telah
do
gu
diterima oleh pihak lainnya. Pandangan ini disebut dengan teori penerimaan.
Dari ketiga teori di atas, dapat dikatakan bahwa teori pernyataan dan teori
In
A
penyampaian/pengiriman mengandung banyak kelemahan. Kedua teori
tersebut dianggap tidak memenuhi asas kepatutan dan kepantasan. Alhasil,
tidak banyak yang menganut teori ini. Sebaliknya, teori penerimaan adalah teori
ah
lik
yang dianggap paling memenuhi asas kepatutan dan kepantasan sekalipun
tetap memiliki kelemahan.
am
ub
b. Tempat Terbentuknya Perjanjian
Jika para pihak pada saat terjadinya perjanjian tidak sedang “berhadapan dan
ep
berada pada satu tempat, dikatakan bahwa perjanjian tersebut terbentuk
k
pada saat kedua pihak berada di dua tempat yang berbeda. Jika dua tempat
ah
berbeda tersebut masih berada di negara yang sama, tentunya tidak akan ada
R
si
pengaruhnya. Persoalan baru akan muncul jika dua tempat tersebut ada di dua
negara yang berbeda. Artinya, ada dua sistem hukum yang berlaku. Penentuan
ne
ng
do
gu
Berkenaan dengan hak tersebut, ketentuan Pasal 1346 KUH Perdata membuat
petunjuk umum. Ketentuan ini yang juga berkaitan dengan keterkaitan hukum
perdata internasional, locus regit actu, menetapkan bahwa “Apa yang meragu-
In
A
ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri
atau di tempat, di mana persetujuan telah dibuat”.
ah
lik
ub
es
74 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 81
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
ikhwal akibat dari kekeliruan/kesesatan, kekerasan/paksaan, dan penipuan dalam
si
ketentuan Pasal 1322–1328 KUH Perdata. Sementara ikhwal penyalahgunaan
keadaan tidak kita temukan pengaturannya di dalam KUH Perdata.
ne
ng
6. Kecakapan untuk Melakukan Tindakan Hukum
do
gu
a. Cakap Bertindak
Pemangku atau pengemban hak dan kewajiban adalah subjek hukum dan sebab
itu juga dari kacamata hukum memiliki kewenangan bertindak. Anak yang baru
In
A
dilahirkan, bahkan juga anak dalam kandungan yang dari kacamata hukum
dianggap sebagai telah dilahirkan, berkedudukan sebagai subjek hukum.
ah
Sepanjang oleh hukum positif, apabila seseorang diakui sebagai subjek hukum,
lik
ia akan memiliki kewenangan hukum. Di dalam lingkup batas yang ditetapkan
hukum baginya, kewenangan hukum dari subjek hukum tidaklah terbatas.
am
ub
Dengan kata lain, setiap subjek hukum yang memiliki kewenangan untuk
melakukan tindakan hukum adalah pengemban hak dan kewajiban hukum.
ep
Untuk terbentuknya suatu hubungan hukum, disyaratkan ada atau dilakukannya
k
dapat dan boleh bertindak serta mengikatkan diri adalah mereka yang cakap
R
si
bertindak dan mampu untuk melakukan suatu tindakan hukum yang membawa
akibat hukum.
ne
ng
Artinya, mereka yang tidak mempunyai kecakapan bertindak atau tidak cakap
adalah orang yang secara umum tidak dapat melakukan tindakan hukum.
do
gu
padanya dalam pergaulan sehari-hari dan juga tidak merujuk pada sifat alamiah
seseorang.
ah
lik
Tidak cakap menurut hukum adalah mereka yang oleh UU dilarang melakukan
tindakan hukum, terlepas dari apakah secara faktual ia mampu memahami
m
ub
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 82
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
b. Perwakilan
si
- Perwakilan menurut UU (Pasal 50 ayat (1) UUP Jo Pasal 345 KUH Perdata).
Perwakilan orang tua yang hidup terlama: “Salah seorang dari orang tua
ne
ng
yang hidup terlama demi hukum adalah wali atas anak-anaknya yang sah
(sepanjang ia tidak dipecat atau dibebaskan), pemisahan meja dan tempat
tidur tidak berpengaruh terhadap kedudukan sebagai wali”.
do
gu
- Perwakilan orang tua atas anak yang diakui. “Anak di luar perkawinan berada
di bawah perwakilan ibu (Pasal 43 UUP); anak di luar perkawinan yang diakui
oleh ayahnya, demi undang-undang berada di bawah perwalian ayah yang
In
A
mengakui, terkecuali ayah tersebut dipecat atau dibebaskan atau sudah ada
wali orang lain; ayah yang mengakui anak luar kawin, jika sudah ada wali
yang diangkat hakim, ayah yang mengakui anak luar kawin tidak menjadi
ah
lik
wali. Namun, ia dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri
untuk menjadi wali dan jika permohonan tersebut dikabulkan, wali hakim
am
ub
diberhentikan.
- Perwakilan berdasarkna penetapan hakim (wali datif )–(Pasal 331a KUH
Perdata)
ep
- Perwakilan menurut wasiat (Pasal 51 ayat (1) UUP Jo Pasal 335–357 KUH
k
Perdata)
ah
si
c. Ketidakcakapan dan Ketidakwenangan
Ketidakcakapan melakukan tindakan hukum haruslah dibedakan dengan
ne
ng
do
gu
lik
ub
Tidak cakap tidaklah sama dengan secara faktual tidak mampu untuk melakukan
tindakan hukum. Misalnya, dalam hal sekalipun orang-orang tertentu tidak
ka
es
76 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 83
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
mereka, sekalipun tidak dapat digolongkan pada tidak cakap. Mereka pada saat-
si
saat tertentu dapat memutuskan dan menentukan sendiri kehendak mereka.
Penentuan ketidakcakapan dan ketidakwenangan seseorang untuk melakukan
ne
ng
tindakan hukum, demi kepastian hukum, dikaitkan pada fakta eksternal yang
mudah dipastikan dan dikenal batas-batasnya secara jelas, misalnya, akta
kelahiran atau pernyataan umum lainnya (putusan pengadilan), surat/akta bukti
do
gu
pemilikan. Dalam hal ketidakmampuan faktual, keadaan tersebut justru harus
dibuktikan keberadaannya di muka hakim.
In
A
7. Suatu Hal Tertentu
a. Objek Perjanjian
ah
lik
Menurut tradisi, untuk sahnya suatu perjanjian, objek perjanjian haruslah:
- dapat ditentukan,
- dapat diperdagangkan (diperbolehkan),
am
ub
- mungkin dilakukan, dan
- dapat dinilai dengan uang.
ep
k
Barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat pula menjadi pokok
R
perjanjian. Kemungkinan ini dibuka di dalam ketentuan Pasal 1334 ayat (1)
si
KUH Perdata. Pengertian “barang-barang yang baru akan ada” mengacu pada
pengertian bahwa barang tersebut belum ada. Ini terjadi dalam hal orang
ne
ng
memesan pada perusahaan mebel untuk dibuatkan sebuah lemari dan dikenal
dengan sebutan barang yang baru ada bersifat objektif. Sebaliknya, barang yang
do
akan ada yang bersifat subjektif adalah barang yang belum menjadi miliknya.
gu
Syarat keempat untuk sahnya perjanjian adalah suatu sebab yang halal atau
kuasa yang halal. Ketentuan Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa “Suatu
ah
lik
perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu
atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan (hukum). Dengan kata lain, batal
demi hukum”.
m
ub
Kuasa yang palsu dapat terjadi jika suatu kuasa yang tidak sesuai dengan
ka
ep
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 84
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
bukan apa yang dinyatakan sebagai kuasa, melainkan apa yang menjadi kuasa
si
yang sebenarnya.
ne
ng
a. Ahmadi Miru27
Isu selanjutnya adalah apa akibat hukum dari tidak terpenuhinya syarat sah
perjanjian. Terkait akibat hukum tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian,
do
gu
Ahmadi Miru berpendapat sebagai berikut.
Istilah batal demi hukum yang disamakan dengan istilah kebatalan adalah
kontrak yang perjanjiannya tidak memenuhi syarat objektif dari syarat sahnya
In
A
kontrak. Yang merupakan syarat objektif dari syarat sahnya perjanjian adalah
“suatu hal tertentu” dan “sebab yang halal”, misalnya objek kontrak tidak jelas
ah
lik
atau bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan.
Sementara untuk perjanjian yang dapat dibatalkan, juga digunakan istilah
pembatalan. Pembatalan kontrak sangat terkait dengan pihak yang melakukan
am
ub
kontrak, maksudnya apabila pihak yang melakukan kontrak tersebut tidak cakap
menurut hukum, baik itu karena belum cukup umur 21 tahun atau karena di
bawah pengampuan, kontrak tersebut dapat dimintakan pembatalan oleh pihak
ep
k
yang tidak cakap tersebut apakah diwakili oleh wali atau pengampunya atau
ah
setelah dia sudah berumur 21 tahun atau sudah tidak di bawah pengampuan.
R
Pembatalan perjanjian dapat juga dilakukan karena salah satu pihak maupun
si
kedua belah pihak:
- belum dewasa,
ne
ng
- di bawah pengampuan,
- kontrak tersebut dibuat karena adanya paksaan, atau
do
gu
lik
selama barang tersebut masih ada pada pihak lawan atau pihak lawan tersebut
telah memperoleh manfaat daripadanya atau berguna bagi kepentingannya.
m
ub
ka
ep
27 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Cetakan II, Yogyakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007).
ah
es
78 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 85
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
b. Hendry P. Panggabean28
si
Selanjutnya, terdapat syarat sah subjektif perjanjian, yaitu kesepakatan, yang
terkait erat dengan ajaran penyalahgunaan keadaan. Jika syarat sah subjektif
ne
ng
kesepakatan tidak terpenuhi, terhadap perjanjian tersebut dapat dimintakan
pembatalan.
do
gu
Mahkamah Agung di Indonesia ataupun Hoge Raad di Belanda yang mengakui
adanya penyalahgunaan keadaan dalam kasus-kasus tersebut dan bahwa
NBW telah menambahkan ajaran penyalahgunaan keadaan sebagai alasan
In
A
hukum keempat untuk pembatalan perjanjian sehingga di dalam NBW
dapat diperinci alasan pembatalan perjanjian itu, dapat diakibatkan karena
ancaman (bedreiging), tipuan (bedrog), penyalahgunaan keadaan (misbruik van
ah
lik
omstandigheden) berdasarkan Pasal 3: 44 lid 1 NBW dan bisa akibat adanya
kesesatan (dwaling) berdasarkan Pasal 6 : 228 lid 1 NBW.
am
ub
c. R.M. Suryodiningrat29
R.M. Suryodiningrat lebih lanjut menjelaskan tentang pembedaan kebatalan
ep
dan pembatalan perjanjian.
k
si
hapusnya perikatan. Penulis menguraikan bahwa penggunaan istilah mengenai
kebatalan/pembatalan tidak ada keseragaman, bahkan tidak begitu tegas apa
ne
ng
yang menjadi dasar pembedanya. Hal demikian juga kerap kali muncul dalam
undang-undang yang menggunakan istilah “kebatalan~batal demi hukum”,
sedangkan maksudnya adalah “pembatalan”. Contoh yang diberikan, misalnya
do
gu
Pasal 1446 ayat 1 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perikatan yang dibuat
oleh orang yang belum dewasa atau yang berada di bawah pengampuan adalah
“batal demi hukum”, sedangkan yang dimaksudkan ialah “pembatalan” yang
In
A
terbukti dari kalimat selanjutnya yang menyatakan bahwa harus ada tuntutan
untuk dan atas nama mereka di muka pengadilan agar….(teks terpenggal)
ah
lik
ub
ka
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 86
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
demi hukum” dengan “pembatalan” dilihat dari ada/tidaknya tuntutan di muka
si
pengadilan untuk membatalkan perikatan. “Pembatalan” perjanjian harus ada
tuntutan, sedangkan “kebatalan” ditafsirkan negatif tidak harus ada tuntutan.
ne
ng
Pembedaan antara “kebatalan~batal demi hukum” dengan “pembatalan”,
diuraikan secara ringkas, yang dimulai dengan penjelasan mengenai “kebatalan
do
gu
(nietigheid)~batal demi hukum”. “Kebatalan~batal demi hukum” yang dengan
kekuatan sendiri membuat perbuatan hukum tidak tercapai maksudnya,
menyebabkan perikatan berakhir dan perbuatan hukum dari semula tidak
In
A
menimbulkan akibat-akibat hukum yang dimaksudkan. Perbuatan hukum
adalah “batal demi hukum” (perikatannya mengalami kebatalan) jika:
ah
lik
dianggap “batal demi hukum” apabila hibah tidak dibuat dengan akta notaris;
- melanggar ketertiban umum, contohnya Pasal 1468 KUH Perdata: Pemilikan
am
ub
hak-hak dan tuntutan-tuntutan hukum karena penyerahan kepada para
hakim, jaksa, panitera dan juru sita pengadilan, pengacara dan notaris
yang sedang menjadi sengketa pengadilan di dalam wilayahnya mereka
ep
melakukan pekerjaan mereka, adalah “batal demi hukum” atau contoh lain
k
Pasal 1469 KUH Perdata: Pembelian di bawah tangan yang dilakukan oleh
ah
si
yang dijual oleh atau di hadapan mereka untuk dirinya sendiri atau orang-
orang perantara adalah “batal demi hukum”;
ne
ng
do
gu
d. Hardjan Rusli30
Selanjutnya adalah isu tentang makna dari kata “hal tertentu” dan “sebab/kasus
In
A
satu syarat sahnya perjanjian adalah “hal” yang tertentu dan kata “hal” ini berasal
lik
dari bahasa Belanda onderwerp yang dapat diartikan pokok uraian atau pokok
pembicaraan (atau pokok persoalan) maka Zaak lebih tepat bila diterjemahkan
m
ub
sebagai pokok persoalan (arti nomor 4 dalam kamus Prof. Drs. S. Wojowasito)
(hlm. 86).
ka
ep
30 Hardjan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1993.
ah
es
80 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 87
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
Undang-undang tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan sebab atau
si
kausa yang dalam bahasa Belanda disebut Oorzaak. Oleh karena itu, banyak
ahli hukum yang mencoba memberikan tafsirannya, antara lain H.F.A. Vollmar
ne
ng
dan Dr.R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. yang menafsirkan sebab (kausa) sebagai
maksud atau tujuan dari perjanjian. Sementara Prof. Subekti menyatakan bahwa
sebab adalah isi perjanjian itu sendiri. Misalnya perjanjian sewa-menyewa,
do
gu
isinya satu pihak mengingini kenikmatan suatu barang, sedangkan pihak lain
menghendaki uang. Jadi, Prof. Subekti mengatakan sebab sebagai prestasi dan
kontraprestasi (hlm. 91).
In
A
Istilah sebab (kausa) dalam bahasa Inggris adalah consideration. Menurut
Arres H.R. 29 Desember 1911, dulu orang menganggap bahwa sebab atau
ah
lik
consideration merupakan kewajiban (promise) saja (hlm 92). Karena pengertian
sebab atau consideration harus merupakan suatu kontrajanji (kewajiban) sudah
am
ub
tidak diikuti lagi maka sebab yang dimaksudkan dalam Pasal 1320 KHU Perdata
itu adalah sebab perjanjian, yaitu dapat sebagai kewajiban (promise) atau dapat
sebagai prestasi/syarat (performance).
ep
k
si
a. suatu perbuatan (an act) yang bukan suatu janji (kewajiban);
b. tidak berbuat sesuatu (a for bearance); atau
ne
ng
do
gu
Salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah sebab yang halal. Pengertian
sebab yang halal adalah:
In
A
lik
ep
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 88
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
e. Yanti Ariavianti31
si
Terkait dengan syarat subjektif sah perjanjian, yaitu“kesepakatan”, Yanti Ariavianti
menjelaskan lebih lanjut tentang dapat dibatalkannya suatu perjanjian ketika
ne
ng
terdapat cacat tersembunyi dalam suatu perjanjian jual-beli.
do
gu
berhubungan dengan kontrak jual-beli internasional) dengan alasan terdapat
cacat tersembunyi dalam barang yang menjadi objek jual-beli. (Pasal 1502 KUH
Perdata). Namun, berdasarkan hasil penelitian Penulis, pembatalan perjanjian
In
A
karena cacat tersembunyi ini, tidak terdapat dalam CISG. Kesimpulan Penulis,
alasan pembatalan kontrak jual-beli internasional dengan alasan cacat
tersembunyi dapat menimbulkan dampak kerugian yang cukup besar bagi para
ah
lik
pihak sehingga tidak tepat kalau perjanjian tersebut serta merta menjadi batal.
Oleh sebab itu, kontrak jual-beli internasionalnya tetap dinyatakan berlaku
am
ub
(walaupun menurut Pasal 1503 KUH Perdata dinyatakan batal) dan upaya yang
dapat dilakukan lebih baik dengan meminta penggantian barang dan menuntut
ganti rugi kepada pihak lainnya, daripada menyatakan perjanjian tersebut batal
ep
sehingga Penulis menyimpulkan bahwa ketentuan Pasal 1502 KUH Perdata
k
perjanjian jual-beli).
R
si
9. Terpenuhinya Syarat Batal pada Jenis Perjanjian yang Bersyarat
ne
ng
a. Subekti32
Dalam Hukum Perjanjian, pada asasnya suatu syarat batal selalu berlaku
do
surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat
gu
menyatakan bahwa:
ah
lik
Suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan,
dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula, seolah-olah tidak
pernah ada suatu perikatan.
m
ub
ka
31 Yanti Ariavianti, “Analisis Yuridis terhadap Asas-Asas Hukum Kontrak Jual-Beli di Dalam Hukum
Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Indonesia Dalam Rangka Upaya
ep
es
82 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 89
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan; ia hanyalah mewajibkan
si
si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa
yang dimaksudkan terjadi.
ne
ng
b. Herlien Boediono33
Selanjutnya, juga dibahas tentang andil “asas keseimbangan” dalam pembatalan
do
gu
suatu perjanjian berdasarkan syarat batal yang tercantum dalam perjanjian itu
sendiri.
In
A
Alasan pembatalan perjanjian yang termuat di dalam perundang-undangan
menjadi relevan dalam hal suatu perjanjian memuat syarat-syarat batalnya
ah
perjanjian dan selanjutnya pembatalan akan terjadi bila syarat tersebut terpenuhi.
lik
Selain itu, pembatalan perjanjian dapat terjadi karena salah satu pihak diberi
kewenangan membatalkan perjanjian dengan mengeluarkan suatu pernyataan,
am
ub
yakni jika fakta atau keadaan tertentu terjadi. Pada prinsipnya, kewenangan
pihak dalam kontrak untuk membatalkan perjanjian baik seluruhnya maupun
sebagian, dilandaskan pada asas keseimbangan. Keseimbangan tersebut
ep
k
sosial secara patut. Pembatalan hanya menjadi mungkin bila pilihan tersebut
R
si
merupakan opsi yang riil dan secara nyata ada “cacat/penyimpangan yang
mendasar”. Pilihan riil demikian dikatakan muncul bila dalam suatu perjanjian
ne
ng
do
bagi para pihak (salah satu pihak) dalam menentukan pilihan tersebut karena
gu
alasan yang wajar dan tetap memperhatikan keseimbangan antara hak dan
kewenangan yang dimilikinya.
In
A
lik
a. Subekti34
Pasal 1340 KUH Perdata menegaskan lagi asas kepribadian suatu perjanjian,
seperti yang sudah dikemukakan oleh Pasal 1315 dengan menyebutkan janji
m
ub
33 Herlien Boediono, Ajaran Umum: Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan,
ep
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 90
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
ketiga untuk memperoleh sesuatu manfaat dari suatu perjanjian. Dengan nama
si
Actio Pauliana oleh Pasal 1341 kepada seorang kreditur diberikan hak untuk
mengajukan pembatalan terhadap segala perbuatan yang tak perlu dilakukan
ne
ng
oleh debiturnya, yang merugikan baginya. Perkataan mengajukan pembatalan
ditafsirkan demikian sehingga kreditur itu tidak usah mengajukan gugatan
membatalkan perbuatan atau perjanjian yang telah dilakukan atau dibuat oleh
do
gu
debitur-debiturnya, tetapi ia juga boleh menganggap batal semua perbuatan
atau perjanjian tersebut, yang berarti tidak berlaku baginya.
In
A
b. Herlien Boediono35
Terdapat perbedaan antara perjanjian atas beban dengan perjanjian cuma-cuma.
ah
lik
Rutten berpendapat bahwa untuk membedakan perjanjian atas beban dengan
perjanjian cuma-cuma cukup menilai apakah salah satu pihak mendasarkan
pada keinginan semata-mata untuk memberi.
am
ub
Pembedaan antara kedua ragam perjanjian tersebut penting dalam kaitannya
dengan Actio Pauliana (Pasal 1341 KUH Perdata). Salah satu unsur untuk tuntutan
ep
k
si
kecuma-cumaan, tentunya masih ada unsur lain untuk membuktikan adanya
Actio Pauliana.
ne
ng
do
gu
lik
semula.
m
ub
ka
35 Herlien Boediono, Ajaran Umum: Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan,
Cetakan ke-1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009.
ep
36 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan (Perikatan pada Umumnya), Cetakan
II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
ah
es
84 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 91
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
Yang cukup menarik dalam buku ini, Penulis menghubungkan masalah
si
pembatalan yang notabene karena adanya Actio Pauliana dengan Undang-
Undang Kepailitan (tidak disebutkan nomornya) Pasal 41 sampai dengan
ne
ng
Pasal 44. Adanya actio pauliana yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan
ini menyebabkan dapat dimintakan pembatalan perbuatan hukum melalui
Pengadilan (Pengadilan Niaga).
do
gu
Akibat pembatalan terhadap perjanjian yang telah dibuat karena adanya
ketidakcakapan dan yang terjadi karena kekhilafan, paksaan, penipuan,
In
A
membawa akibat bahwa semua kebendaan dan orang-orangnya dipulihkan
sama seperti keadaan sebelum perjanjian dibuat.
ah
lik
C. Analisis Putusan Pengadilan tentang
am
ub
Topik Kebatalan Perjanjian
Pengumpulan data putusan pengadilan dilaksanakan di Mahkamah Agung Republik
ep
k
yang memuat bahwa suatu perjanjian dinyatakan batal demi hukum dan putusan
R
telah berkekuatan hukum tetap. Pengumpulan data juga dilakukan terhadap
si
putusan-putusan MA di bidang perdata yang telah menjadi yurisprudensi.
ne
ng
Sementara ini, tim peneliti telah melakukan analisis awal terhadap putusan-
putusan tersebut. Berdasarkan hasil analisis awal terhadap Yurisprudensi MA RI
do
gu
tahun buku 1969 sampai dengan tahun 2008, tim peneliti telah menyeleksi 17
yurisprudensi yang berkaitan dengan pembatalan perjanjian. Dari 17 yurisprudensi
tersebut, sebanyak 12 yurisprudensi di dalamnya memuat amar putusan yang
In
A
menyatakan bahwa suatu perjanjian itu batal demi hukum. Yurisprudensi lainnya
di dalamnya memuat amar putusan yang menyatakan bahwa suatu perjanjian itu
dinyatakan batal.
ah
lik
ub
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 92
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
5. Putusan No. 522 K/Pdt/1990;
si
6. Putusan No. 2370 K/Pdt/1992;
7. Putusan No. 2691 K/Pdt/1996;
ne
ng
8. Putusan No. 701 K/Pdt/1997;
9. Putusan No. 1974 K/Pdt/2001;
10. Putusan No. 1400 K/Pdt/2001;
do
gu
11. Putusan No. 252 K/Pdt/2002.
In
A
berkekuatan hukum tetap sejak tahun 1980 sampai 2008, tim peneliti telah
menyeleksi kurang lebih 49 putusan MA di bidang perdata yang telah berkekuatan
ah
lik
hukum tetap, yang di dalamnya memuat amar putusan yang menyatakan bahwa
suatu perjanjian dinyatakan batal demi hukum. Berikut ini hasil seleksi terhadap
putusan MA RI di bidang perdata yang telah berkekuatan hukum tetap, sejak tahun
am
ub
1980 sampai 2008:
ep
No. Klasifikasi Tahun No. Perkara Kaidah dan Dasar Hukum
k
Perkara
ah
si
Civ./1949 kesepakatan para pihak mem-
buat perjanjian baru.
ne
ng
2. Sebab yang tidak 1951 PT Jakarta No. Perjanjian atas dasar causa
diizinkan 62/1951 Pdt Tanggal yang tidak diperkenankan/
29 Agustus 1951 tidak diizinkan adalah batal se-
do
luruhnya dan seharusnya oleh
gu
lik
4. Perjanjian menurut 1954 MA RI No. 57/ K./ Menurut Hukum Adat, suatu
Hukum Adat Sip./1953 Tanggal 18 perjanjian yang antara kedua
m
es
86 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 93
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
5. Pemungkiran per- 1956 MA RI No. 152 K/ Pemungkiran suatu perjanjian
si
janjian Sip./1955 yang tidak sempurna dijalan
kan tidak dapat dipandang
ne
ng
sebagai suatu pemungkiran
yang sah.
do
gu
(force majeure) RI Reg. No. 15 K/
Sip./1957 Tanggal 16
Desember 1957
batkan pelaksanaan prestasi
secara normal tidak mung-
kin dilakukan. Debitur tidak
dapat dihukum membayar
In
A
cicilan apabila dapat mem-
buktikan bahwa terhalangnya
pelaksanaan prestasi timbul
ah
lik
dari keadaan yang selayaknya
ia tidak bertanggung gugat.
Hanya saja, dalam putusan
tersebut disebutkan bahwa
am
ub
risiko yang termasuk dalam
overmacht harus dimasukkan
dalam klausula perjanjian.
ep
k
si
disebutkan oleh Pasal 1320 BW,
merupakan salah satu unsur
ne
ng
do
gu
lik
ub
undang-undang (ongeoor-
ep
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 94
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
dalam kasus ini, ingin me-
nyelundupi ketentuan dalam
Pasal 5 jo 21 Undang-Undang
ne
ng
Pokok Agraria (UUPA) yang
menyatakan bahwa hanya WNI
dapat mempunyai hak milik.
Dari kesaksian kuasa penjual
do
gu diketahui bahwa para tergu-
gat asal bukan pembeli yang
sebenarnya, melainkan hanya
dipinjam namanya, sedang-
In
A
kan pembeli yang sebenarnya
adalah penggugat asal yang
pada waktu itu masih seorang
ah
lik
warga negara asing. Dengan
dibatalkannya akta jual-beli
maka rumah dan tanah seng-
keta (objek jual-beli) kembali
am
ub
pada pemilik semula.
9. Akibat dari over- 1984 Putusan MA No. 409 Jika dapat dibuktikan bahwa
ep
k
si
ne
ng
10. Akibat dari over- 1984 Putusan MA No. 3389 MA mengakui bahwa mun-
macht terhadap K/PDT/1984 culnya tindakan administratif
perjanjian penguasa yang menentukan
atau mengikat adalah suatu
do
gu
lik
ub
an prestasi.
ah
es
88 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 95
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
11. Perjanjian jual-beli 1987 Putusan MA RI No. Jual-beli tanah/rumah sesuai
si
dengan hak mem- 3597 K/Pdt/1985 dengan UUPA dikuasai oleh
beli kembali Tanggal 7 Mei 1987 hukum adat, dan berdasar-
kan yurisprudensi, hukum
ne
ng
Adat tidak mengenal bentuk
jual-beli dengan hak mem-
beli kembali. Oleh karena itu,
do
perjanjian antara penggugat
gu dan tergugat dalam perkara ini
adalah batal demi hukum.
12. Jual-beli tanah 1991 Putusan MA RI No. Akta pelepasan hak dengan
In
A
4091 K/PDT/1989 pemberian ganti rugi dinyata-
Tanggal 30 November kan batal demi hukum karena
1991 tidak memenuhi ketentuan
ah
lik
Pasal 1320 BW, dalam hal ini
pihak pelepas hak tidak mem-
punyai hak sedikit pun untuk
menjual, menjaminkan, dan
am
ub
atau memiliki objek perkara
sehingga perjanjian pelepasan
hak dianggap tidak pernah ter-
jadi.
ep
k
si
1991 demi hukum karena tidak sah
dan melawan hukum. Selain
merugikan hak ahli waris yang
ne
ng
do
14. 1991 Putusan MA RI No. Dalam kasus ini, perjanjian
gu
ub
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 96
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
yang halal mengenai objek
si
juga merupakan salah satu
syarat sahnya perjanjian (1337
ne
ng
BW).
15. Perjanjian jual-beli 1992 Putusan MA RI No. Perjanjian dibuat bukan atas
1535 K/PDT/1990 keinginan diri sendiri, padahal
do
gu Tanggal 29 Februari
1992
hukum acara perdata men-
syaratkan perjanjian terhadap
semua objek yang bernilai di-
lakukan sendiri oleh pemilik/
In
A
diri sendiri (yang berwenang)
atau berdasarkan kuasa khusus
untuk itu. Oleh karena itu, su-
ah
lik
dah selayaknya perjanjian din-
yatakan batal demi hukum.
16. Hak atas tanah 1992 Putusan MA RI No. 1. Jual-beli tanah adat oleh
am
ub
522K/Pdt/1990 Tang- Pribumi (penduduk asli)
gal 29 April 1992 kepada nonpribumi (Tiong-
hoa, Arab, Eropa) yang ter-
ep jadi sebelum dibentuknya
k
ketentuan Vervreemdings-
R
verbod St. 1875No.179.
si
2. Dan dengan dibatalkan-
ne
ng
do
gu
lik
ub
es
90 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 97
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
17. Sewa menyewa 1994 Putusan MA RI No. 613 Adanya itikad tidak baik dari
si
K/Pdt/1991 Tanggal 26 pihak pemberi sewa di mana
Februari 1994 pemberi sewa bukanlah pihak
yang berwenang atas tanah
ne
ng
tersebut karena proses pemi-
likannya melalui hibah tidak
memenuhi syarat objektif se
do
hingga tindakan pemberi sewa
gu menyewakan objek kepada
pihak ketiga tidak memenuhi
syarat sebab yang halal, oleh
In
A
karenanya perjanjian batal
demi hukum, sejak semula di-
anggap tidak pernah terjadi.
ah
lik
18. Perjanjian jual-beli 1994 Putusan MA RI No. Dalam kasus perjanjian jual-
1405 K/Pdt/1992 Tang- beli, salah satu pihak wan-
gal 15 Agustus 1994 prestasi atau tidak melakukan
kewajibannya, misalnya tidak
am
ub
membayar cicilan yang diten-
tukan. Pelanggaran terhadap
perjanjian yang belum sele-
sai tersebut harus dinyatakan
ep
k
si
perikatan dan keadaan dikem-
balikan seperti semula.
ne
ng
19. Perjanjian jual-beli 1994 Putusan MA RI No. Salah satu pihak melakukan
hak sewa 1435 K/Pdt/1992 Tang- wanprestasi maka perjanjian
gal 18 Agustus 1994 dinyatakan batal demi hukum.
Dengan demikian, tidak ada
do
gu
ub
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 98
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
Buana Industri tanpa sepenge-
si
tahuan dan seizin pemilik. De
ngan demikian, syarat objektif
perjanjian tidak terpenuhi,
ne
ng
yaitu sebab yang halal. Perbu
atan yang telah dilakukan oleh
tergugat telah menunjukkan
do
adanya itikad tidak baik (Pasal
gu 1338 BW).
In
A
2456 K/Pdt/1993 tidak sah jika surat perjan-
Tanggal 31 Maret jian penjaminan adalah surat
1995 blanko.
ah
lik
22. Jual-beli 1998 Putusan MA RI No. Perjanjian mengenai peralihan
2046 K/PDT/1995 hak atas tanah dan bangunan
Tanggal 23 Juni 1998 sengketa yang diterbitkan ber-
dasarkan adanya causa yang
am
ub
dilarang sehingga kedua akta
tersebut harus dinyatakan
batal demi hukum.
ep
23. Jual-beli 1997 Putusan MA RI No. Dalam hal tidak dapat dibuk-
k
si
jual-beli tetap dianggap sah.
Dengan sahnya jual-beli maka
perbuatan penghibahan ber-
ne
ng
do
Desa Nagarawangi adalah sah
gu
lik
ub
es
92 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 99
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
25. Jual-beli tanah 1999 Putusan MA RI No. Jual-beli tanah yang merupa
si
701 K/PDT/1997 Tang- kan harta bersama harus di
gal 24 Maret 1999 setujui pihak istri atau sua-
mi. Harta bersama berupa
ne
ng
tanah yang dijual suami tanpa
persetujuan istri adalah tidak
sah dan batal demi hukum.
do
Sertifikat tanah yang dibuat
gu atas dasar jual-beli yang tidak
sah tidak mempunyai kekua-
tan hukum.
In
A
26. Pelelangan 1999 Putusan MA RI No. Bahwa yang menjadi pokok
112 K/PDT/1997 Tang- persoalan dalam perkara ini
gal 20 April 1999 adalah apakah pelelangan da-
ah
lik
pat dibatalkan atas alasan:
1. harga lelang jauh lebih ren-
dah dari nilai hipotek;
2. harga lelang jauh lebih ren-
am
ub
dah dari nilai objek jami-
nan;
3. pemenang lelang adalah pe-
gawai dari Pemohon lelang.
ep
k
si
secara ceroboh dan tidak
sesuai dengan peraturan
ne
ng
do
gu
an Negeri.
27. Perjanjian jual- 1999 Putusan MA RI No. Apabila suatu putusan pidana
beli batal karena 309 K/PDT/1997 Tang- mempunyai sangkut paut den-
In
terkait dalam pu- gal 22 Juli 1999 gan perjanjian yang dibuat
A
lik
ub
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 100
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
29. Harta bersama 2002 Putusan MA RI No. Putusan batal demi hukum
si
209 K/PDT/2000 Tang- atas perjanjian kredit tersebut
gal 26 Februari 2002 disebabkan tidak terpenuhi
nya suatu sebab yang halal
ne
ng
sebagaimana diatur dalam
Pasal 1320 BW. Objek yang
diperjanjikan adalah harta ber-
do
sama sehingga apabila hendak
gu dijaminkan/dialihkan kepada
pihak lain oleh suami harus
mendapatkan persetujuan
In
A
dari istri sebagai pihak yang
berhak.
30. Jual-beli 2002 Putusan MA RI No. Akta yang dalam pembuatan
ah
lik
Tanggal 3 Oktober hendak dan juga penipuan
2002 dinyatakan batal demi hukum.
31. Hibah 2002 Putusan MA RI No. Hibah yang tidak dilakukan
am
ub
2992 K/PDT/2000 oleh pemilik objek hibah keti-
Tanggal 08 Oktober ka masih hidup dan yang tidak
2002 dilakukan dengan akta otentik
(akta yang dibuat oleh notaris)
ep
k
si
K/PDT/2000 Tanggal tidak ada aturan yang meng-
18 Oktober 2002 atur atau mengharuskan para
pihak yang terlibat jual-beli
ne
ng
do
gu
33. Penguasaan tanah 2003 Putusan MA RI No. Karena hak penguasaan di
343 K/PDT/2004 Tang- nyatakan tidak sah maka su-
gal 22 Januari 2003 rat-surat yang terkait dengan
In
A
34. Utang piutang 2003 Putusan MA RI No. Perjanjian utang piutang de
lik
ub
es
94 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 101
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
35. Jual-beli 2003 Putusan MA RI No. Perjanjian jual-beli atas suatu
si
5072 K/PDT/1998 objek yang kepemilikannya
Tanggal 29 Septem- belum pasti adalah batal demi
ber 2003 hukum karena tanpa alas hak
ne
ng
yang sah dan tidak memenuhi
syarat halalnya dasar perjan-
jian tersebut.
do
36. Jual-beli dan per 2003 Putusan MA RI No. Bahwa peralihan hak atas ta-
gu
alihan hak atas
tanah
1974 K/PDT/2001
Tanggal 29 Septem-
nah batal demi hukum apabila
akte jual-beli tanah dinyata-
ber 2003 kan cacat hukum oleh karena
In
pemalsuan tanda tangan. Na-
A
mun, mengenai pemalsuan
tersebut harus dibuktikan ter-
lebih dahulu melalui pemerik-
ah
lik
saan laboraturium kriminologi
atau ada putusan pidana yang
menyatakan tanda tangan di-
palsukan.
am
ub
37. Jual-beli dan hak 2001 Putusan MA RI No. Perjanjian jual-beli dengan hak
membeli kembali 153 K/PDT/2001 membeli kembali adalah batal
demi hukum berdasarkan pu-
tusan Mahkamah Agung RI
ep
k
merupakan/dijadikan standar
yurisprudensi. Dengan jelas
R
si
dinyatakan sebagai berikut.
1. Perjanjian jual-beli tanah
ne
dengan hak membeli kem-
ng
do
adalah ilegal.
gu
lik
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 102
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
3. Bahwa dengan demikian,
si
perjanjian jual-beli tanah
dengan hak membeli kem-
bali atas tanah sengketa
ne
ng
adalah batal demi hukum.
Karena itu, menjadi batal
demi hukum juga perjan-
do
jian jual-beli atas tanah
gu sengketa berdasar atas akta
jual-beli.
In
A
1400 K/Pdt/2001 kuasa mutlak sebagai pemin-
Tanggal 2 Januari dahan hak atas tanah tidak
2003 diperbolehkan berdasarkan
ah
lik
instruksi Menteri Dalam Ne
geri No. 14/1982. Oleh karena
itu, pengalihan hak atas tanah
yang berdasarkan surat kuasa
am
ub
mutlak batal demi hukum.
si
lam Pasal 1314 ayat (1), Pasal
1666 sampai Pasal 1693 BW.
Oleh karena digolongkan se-
ne
ng
do
gu
ub
es
96 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 103
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
41. Jual-beli 2004 Putusan MA RI No. Perjanjian jual-beli dianggap
252 K/PDT/2002 Tang- tidak wajar karena tidak me-
gal 11 Juni 2004 menuhi syarat sahnya jual-beli
ne
ng
dalam BW, yaitu jual-beli di-
lakukan secara nilai dan kontan.
Oleh karena itu, disimpulkan
perjanjian jual-beli tersebut
do
gu hanya rekayasa dan cacat hu-
kum, dan oleh karenanya harus
dinyatakan batal demi hukum
beserta semua akibat hukum
In
A
yang timbul akibatnya.
ah
42. Utang piutang 2004 Putusan MA RI No. Perjanjian kredit yang men
lik
653 K/PDT/2002 Tang- jaminkan tanah tanpa melibat-
gal 16 Desember 2004 kan persetujuan dari pemilik
tanah adalah perbuatan me
am
ub
lawan hukum sehingga harus
dibatalkan demi hukum.
si
44. Jual-beli 2005 Putusan MA RI No. Dengan tidak terpenuhinya
3335 K/PDT/2003 syarat-syarat sebagaimana
ne
ng
do
kesepakatan dari pihak peng-
gu
lik
ub
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 104
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
46. Utang piutang 2006 Putusan MA RI No. Perjanjian utang piutang de
si
1864 K/PDT/2003 ngan jaminan tanah yang di
Tanggal 30 Januari alihkan kepada pihak lain un-
ne
ng
2006 tuk diadakan perjanjian utang
piutang lain, tanpa ada surat
kuasa yang sah dari penggugat
kepada tergugat dan tanpa izin
do
gu penggugat penggunaan ser-
tifikat atas tanah yang dimiliki
penggugat sebagai jaminan
utang lain maka semua per
In
A
janjian dan penjaminan serta
perbuatan hukum lainnya yang
terkait dengan pengalihan ja-
ah
lik
minan milik penggugat adalah
batal demi hukum dan kembali
kepada kondisi semula (Pasal
1320 BW).
am
ub
47. Perjanjian dengan 2006 Putusan MA RI No. 09 Walaupun perjanjian jual-beli
menggunakan do- K/PDT/2005 Tanggal di bawah tangan telah me-
kumen palsu 31 Mei 2006 menuhi syarat sahnya per
ep
k
si
nya syarat formil untuk pem-
buatan akta tentang peng
ne
ng
do
gu
48. Perjanjian cessie 2007 Putusan MA RI No. Perjanjian cessie batal demi
1820 K/PDT/2005 hukum atas piutang kepada
Tanggal 12 Januari negara yang diselesaikan de
ah
lik
es
98 Laporan Penelitian
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 105
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
49. Hibah 2006 Putusan MA RI No. Perjanjian hibah tanah antara
si
2333 K/PDT/2005 orang tua kepada anak-
Tanggal 30 Mei 2006 anaknya batal demi hukum
apabila tanah objek hibah su-
ne
ng
dah diperjualbelikan dan men-
jadi hak milik pihak lain.
50. Jual-beli pelepasan 2006 Putusan MA RI No. Batal demi hukum karena telah
do
gu
hak atas tanah 659 K/PDT/2006 Tang-
gal 17 Oktober 2006
melakukan wanprestasi dan
juga perbuatan melanggar
hukum.
In
51. Jual-beli 2006 Putusan MA RI No. Perbuatan hukum apapun
A
1001 K/PDT/2006 yang berlandaskan kepada su-
Tanggal 30 November rat palsu merupakan perbuat
2006 an melanggar hukum. Segala
ah
lik
akibat yang terjadi terhadap
perbuatan hukum yang dilaku-
kan dengan dasar melanggar
hukum menjadi batal demi
am
ub
hukum.
si
53. Jual-beli 2007 Putusan MA RI No. Terhadap tanah yang sedang
1233 K/PDT/2006 dalam status diletakkan dalam
Tanggal 24 April 2007 sita jaminan, dengan demikian
ne
ng
do
gu
54. Jual-beli tanah 2007 Putusan MA RI No. 82 Perjanjian jual-beli tanah wari-
warisan K/PDT/2004 Tanggal san batal demi hukum karena
22 Mei 2007 boedel waris belum terbagi,
masih terdapat harta bersama
In
A
lik
ub
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 106
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
55. Utang piutang 2008 Putusan MA RI No. Tanah hak milik yang merupa-
si
dengan jaminan 3005 K/PDT/1998 kan harta bersama, tidak da-
tanah Tanggal 14 Januari pat dijadikan jaminan atas per-
2008 janjian utang piutang tanpa
ne
ng
persetujuan salah satu pihak,
baik itu pihak istri maupun
suami, sesuai dengan keten-
do
gu tuan Pasal 36 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974. Dengan demikian,
perjanjian yang melanggar
ketentuan tersebut dapat di-
In
A
batalkan demi hukum karena
tidak memenuhi syarat objektif
perjanjian (sebab yang halal).
ah
lik
56. Jual-beli 2008 Putusan MA RI No. Konsekuensi logis dari suatu
1808 K/PDT/2007 perjanjian yang dibuat ber-
Tanggal 28 Januari dasarkan ketidakwenangan
am
ub
2008 mengakibatkan batalnya per-
janjian dan seluruh tindakan
dan dokumen yang dibuat ber-
dasarkan perjanjian tersebut.
ep
k
si
kerugian bagi penggugat. Per-
buatan melawan hukum mun-
ne
ng
do
gu
ub
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 107
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
60. Jual-beli 2008 Putusan MA RI No. Objek perjanjian yang berada
si
1783 K/PDT/2008 dalam keadaan tidak bebas
Tanggal 12 Desember atau tidak tertentu dinyatakan
2008 batal demi hukum.
ne
ng
61. Perjanjian 2009 Putusan MA RI No. Suatu perjanjian yang tidak
1790 K/PDT/2008 disertai suatu prestasi, dinyata-
Tanggal 20 Februari kan batal demi hukum (suatu
do
62.
gu
Sewa menyewa 2009
2009
Putusan MA RI No.
hal tertentu) (Pasal 1320 BW).
Pemakaian/penempatan tanah
2928 K/PDT/2008 perumahan atas dasar surat-
In
A
Tanggal 7 Mei 2009 surat yang diterbitkan tanpa
izin dan tanpa sepengetahuan
pemilik tanah harus dinyata-
ah
lik
Seperti diketahui secara umum bahwa menurut Pasal 1320 KUH Perdata,
am
ub
suatu perjanjian dapat dinyatakan batal demi hukum apabila tidak terpenuhinya
syarat objektif, yakni suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Berdasarkan data
yurisprudensi dan Putusan MA yang telah diperoleh, sebagian besar putusan
ep
MA menyatakan suatu perjanjian batal demi hukum karena tidak terpenuhinya
k
syarat sebab yang halal, dalam hal ini hakim memutuskan bahwa perjanjian yang
ah
dilakukan itu batal demi hukum karena bertentangan dengan ketentuan peraturan
R
si
perundang-undangan yang berlaku.
Berikut ini beberapa kaidah hukum yang ditemukan oleh tim peneliti di dalam
ne
ng
putusan-putusan MA, yang telah berkekuatan hukum tetap dan/atau yang telah
menjadi yurisprudensi.
do
gu
lik
BW, yaitu adanya kesepakatan para pihak. Dalam kasus ini, salah satu pihak namanya
tercantum di dalam perjanjian, sementara pihak tersebut tidak pernah menyepakati
perjanjian tersebut. Oleh karena itu, apabila terbukti demikian maka perjanjian harus
m
ub
dibatalkan.
Dalam Yurisprudensi MA RI No. 1974 K/PDT/2001 Tanggal 29 September 2003
ka
diterangkan bahwa perjanjin peralihan hak atas tanah batal demi hukum apabila
ep
akta jual-beli tanah dinyatakan cacat hukum oleh karena pemalsuan tanda tangan.
Namun, mengenai pemalsuan tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu melalui
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 108
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
pemeriksaan laboratorium kriminologi atau ada putusan pidana yang menyatakan
si
tanda tangan dipalsukan. Apabila terbukti palsu, yang berarti pihak yang berhak
belum/tidak melakukan kesepakatan maka perjanjian harus dibatalkan demi hukum.
ne
ng
2. Kebatalan Perjanjian Karena Tidak Memenuhi Syarat Objektif
Sahnya Perjanjian, yaitu Hal Tertentu, Sebagaimana Diatur
do
dalam Pasal 1320 BW
gu
Putusan MA RI No. 406 K/PDT/2007 Tanggal 15 Agustus 2008 dan Putusan MA RI No.
1790 K/PDT/2008 Tanggal 20 Februari 2009 menerangkan bahwa suatu perjanjian
In
A
yang tidak ada objeknya/prestasinya harus batal demi hukum karena tidak sejalan
dengan Pasal 1320 BW, yang mensyaratkan bahwa perjanjian harus mengenai suatu
ah
hal tertentu.
lik
Perjanjian yang tidak mengandung suatu hal tertentu dapat dikatakan tidak
dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh masing-masing
am
ub
pihak. Sebagai contoh, seperti yang terdapat di dalam kasus dalam Putusan MA
No. Reg. 309 K/PDT/1997, Putusan MA No. Reg. 1783 K/PDT/2008, dan Putusan MA
No. Reg. 1233 K/PDT/2006, yang menyatakan bahwa perjanjian jual-beli tanah yang
ep
dilakukan oleh para pihak dinyatakan batal demi hukum karena tanah yang dijadikan
k
objek perjanjian tidak dalam keadaan bebas atau tidak tertentu, berkaitan dengan
ah
lokasi dan luas atau batas-batas tanah tersebut. Selain itu, perjanjian jual-beli tanah
R
si
juga dapat dinyatakan batal demi hukum apabila tanah yang dijadikan objek jual-
beli ternyata masih menjadi sengketa dalam kasus lain di pengadilan, atau masih
ne
ng
do
Sahnya Perjanjian, yaitu Sebab yang Halal, sebagaimana
gu
ub
2002, yang batal demi hukum atas perjanjian kredit karena objek yang diperjanjikan
adalah harta bersama sehingga apabila hendak dijaminkan/dialihkan kepada pihak
ka
lain oleh suami, harus mendapatkan persetujuan dari istri sebagai pihak yang
ep
berhak. Jika tidak maka perjanjian tersebut terjadi tanpa alas hak karena objek
perjanjian merupakan hak orang lain. Putusan MA RI No. 5072 K/PDT/1998 Tanggal
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 109
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
29 September 2003 juga menegaskan bahwa perjanjian jual-beli atas suatu objek
si
yang kepemilikannya belum pasti adalah batal demi hukum karena tanpa alas hak
yang sah dan tidak memenuhi syarat halalnya dasar perjanjian tersebut.
ne
ng
4. Kebatalan Karena Hak Membeli Kembali Objek dalam
Perjanjian Jual-beli
do
gu
Putusan MA No. 381/PK/PDT/1986 dan Yurisprudensi MA No. Reg. 3597 K/PDT/1985
menyatakan bahwa perjanjian jual-beli tanah dengan hak membeli kembali, yang
dilakukan oleh para pihak dalam kasus tersebut, dinyatakan batal demi hukum
In
A
karena jual-beli tanah dengan hak membeli kembali tidak dikenal dalam hukum
adat. Jual-beli dengan hak membeli kembali merupakan bentuk perjanjian menurut
Pasal 1519 dan seterusnya BW. Jual-beli tanah/rumah harus mengikuti ketentuan di
ah
lik
dalam UU Pokok Agraria (UUPA) yang dikuasai oleh hukum adat, dan hukum adat
tidak mengenal bentuk jual-beli dengan hak membeli kembali.
am
ub
Putusan MA RI No. 153 K/PDT/2001
a) Perjanjian jual-beli tanah dengan hak membeli kembali pada hakikatnya adalah
sama dengan gadai gelap/bank gelap, yang keduanya adalah ilegal.
ep
k
No. 5/1960 telah ditentukan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi,
R
si
air, dan ruang angkasa ialah berdasarkan Hukum Adat. Hal ini berarti Lembaga
Hukum Jual-beli dengan Hak Membeli Kembali sejauh mengenai tanah, tidak
ne
ng
do
gu
batal demi hukum juga, Perjanjian Jual-beli atas tanah sengketa berdasar atas
Akta Jual-beli.
In
A
bahwa penggunaan surat kuasa mutlak sebagai pemindahan hak atas tanah tidak
lik
ub
demi hukum.
ka
Yurisprudensi MA RI No. Reg. 701 K/PDT/1997 serta Putusan MA RI No. Reg. 209 K/
PDT/2000 menyatakan bahwa suatu perjanjian jual-beli harta bersama suami atau
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 110
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
istri dinyatakan batal demi hukum karena tidak mendapat persetujuan bersama
si
(istri dan suami). Hal ini melanggar ketentuan yang terdapat di dalam UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketiadaan persetujuan salah satu pihak tersebut
ne
ng
mengakibatkan jual-beli batal demi hukum.
Selanjutnya, Putusan MA RI No. 2691 K/Pdt/1996 Tanggal 18 September 1998
menjelaskan bahwa perjanjian yang dimaksud harus merupakan perjanjian yang
do
gu
sudah dibuat di depan notaris. Perjanjian lisan baru merupakan perjanjian permulaan
yang akan ditindaklanjuti, dan apabila belum dibuat di depan notaris maka belum
mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuatnya, dan karena itu
In
A
tidak mempunyai akibat hukum. Perjanjian lisan menjual tanah harta bersama yang
dilakukan suami dan belum disetujui istri tidak sah menurut hukum.
Dalam hal harta bersama merupakan tanah, Putusan MA RI No. 3005 K/PDT/1998
ah
lik
Tanggal 14 Januari 2008 menjelaskan bahwa tanah hak milik yang merupakan
harta bersama, tidak dapat dijadikan jaminan atas perjanjian utang piutang tanpa
persetujuan para pihak, baik pihak istri maupun suami, sesuai dengan ketentuan
am
ub
Pasal 36 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. Dengan demikian, perjanjian yang melanggar
ketentuan tersebut dapat dibatalkan demi hukum karena tidak memenuhi syarat
objektif perjanjian (sebab yang halal).
ep
k
perjanjian jual-beli tanah warisan batal demi hukum karena harta waris belum
R
terbagi, masih terdapat harta bersama orang tua yang mana masih hidup salah satu
si
orang tua, dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai alas hak yang sah untuk
melakukan perbuatan hukum melakukan perjanjian jual-beli, dilakukan tanpa
ne
ng
izin dan persetujuan orang tua dan saudara kandung, belum ada pembagian dan
pengalihan hak dan penyerahan hak secara sah dengan pembagian warisan, jual-
beli tanah warisan juga melampaui hak.
do
gu
jual-beli dianggap tidak wajar karena tidak memenuhi syarat sahnya jual-beli dalam
BW, yaitu jual-beli dilakukan secara nilai dan kontan. Dapat disimpulkan bahwa
ah
lik
perjanjian jual-beli tersebut hanya rekayasa dan cacat hukum, oleh karenanya harus
dinyatakan batal demi hukum beserta semua akibat hukum yang timbul akibatnya.
Putusan MA RI NO. 2249 K/PDT/2003 Tanggal 11 Mei 2005 menerangkan bahwa
m
ub
hukum.
ep
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 111
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
syarat sahnya perjanjian Pasal 1320 KUH Perdata, akan tetapi karena dokumen
si
surat-surat atas objek jual-beli sebagai bukti telah dipenuhinya syarat formil untuk
pembuatan akta tentang pengikatan jual adalah tidak benar (dipalsukan) maka
ne
ng
perjanjian jual-beli di bawah tangan dan pengikatan jual-belinya adalah sah menjadi
cacat hukum, dan oleh karenanya harus dibatalkan.
do
8. Kebatalan dalam Hal Keadaan Darurat (Noodtoestand)
gu
Keadaan darurat dapat dijadikan dasar untuk memutus batal demi hukum suatu
perjanjian. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 26/1971/PT Perdata, yang
In
A
kemudian dibatalkan oleh Putusan MA yang telah menjadi Yurisprudensi MA RI
No. Reg. 1180 K/SIP/1971, menyatakan bahwa keadaan darurat (noodtoestand)
ah
yang diatur dalam Pasal 1144 dan Pasal 1245 BW merupakan suatu keadaan yang
lik
dinilai pada saat pelaksanaan perjanjian, sedangkan ongeoorloofdeoorzaak yang
diatur dalam Pasal 1335 Jo Pasal 1337 Jo Pasal 1320 BW dinilai pada saat perjanjian
am
ub
diadakan atau dibuat.
Sementara itu, unsur paksaan (dwang), yang menurut Pasal 1321 jo Pasal 1323
BW menghilangkan adanya perizinan bebas yang disebutkan oleh Pasal 1320 BW,
ep
merupakan salah satu unsur sahnya perjanjian. Apakah yang diartikan paksaan
k
diatur dalam Pasal 1324 BW, dan merupakan suatu persoalan hukum yang menjadi
ah
si
Pasal 1324 BW mengenai paksaan adalah ketakutan akan terjadinya suatu kerugian
yang besar dan mendadak pada dirinya atau kekayaan orang yang bersangkutan.
ne
ng
do
gu
1/1960, tanah tetap menjadi hak pemilik asal. Sertifikat tanah yang berasal dari
lik
ub
dinyatakan batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat objektif perjanjian
sebab yang halal.
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 112
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
ne
ng
do
gu
In
A
ah
lik
am
ub
ep
k
ah
si
ne
ng
do
gu
In
A
ah
lik
m
ub
ka
ep
ah
es
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 113
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
ne
ng
do
gu
DAFTAR PUTUSAN
In
A
ah
lik
Berikut ini hasil seleksi terhadap Yurisprudensi Mahkamah Agung di bidang perdata,
sejak tahun 1969 sampai 2008:
am
ub
1) Putusan No. 1180 K/SIP/1971;
2) Putusan No. 76 K/SIP/1973;
ep
3) Putusan No. 147 K/SIP/1973;
k
si
6) Putusan No. 2370 K/Pdt/1992;
7) Putusan No. 2691 K/Pdt/1996;
ne
ng
do
gu
Berikut ini hasil seleksi terhadap putusan MA RI di bidang perdata yang telah
In
A
lik
ub
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 114
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
9) Putusan No. 1485 K/Pdt/2006;
si
10) Putusan No. 1820 K/Pdt/2005;
11) Putusan No. 2333 K/Pdt/2005;
ne
ng
12) Putusan No. 82 K/Pdt/2004;
13) Putusan No. 1864 K/Pdt/2003;
14) Putusan No. 2249 K/Pdt/2003;
do
gu
15) Putusan No. 2668 K/Pdt/2003;
16) Putusan No. 1435 K/Pdt/1992;
17) Putusan No. 5072 K/Pdt/1998;
In
A
18) Putusan No. 2928 K/Pdt/2008;
19) Putusan No. 2992 K/Pdt/2000;
ah
lik
20) Putusan No. 09 K/Pdt/2005;
21) Putusan No. 507 K/Pdt/2001;
22) Putusan No. 2338 K/Pdt/1998;
am
ub
23) Putusan No. 2082 K/Pdt/1995;
24) Putusan No. 48 K/Pdt/2000;
25) Putusan No. 3335 K/Pdt/2003;
ep
k
si
29) Putusan No. 153 K/Pdt/2001;
30) Putusan No. 209 K/Pdt/2000;
ne
ng
do
gu
lik
ub
43) Putusan No. 406 K/Pdt/200 (ini tahun 200 berapa ya?);
ep
es
108 Dokumen
Daftar Putusan
Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 115
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
DAFTAR LITERATUR
ne
ng
do
gu
In
A
A. Daftar Literatur Penelitian
ah
lik
No. Judul Buku Penulis Halaman
am
ub
1. Hukum Perjanjian Prof. Subekti, S.H. 2
si
dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan
ne
ng
do
gu
Perjanjian Berlandaskan
Asas-Asas Wigati Indonesia
ah
lik
ub
di Indonesia
ka
Gunawan Widjaya
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 116
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
9. Hapusnya Perikatan Kartini Muljadi dan 71
si
Gunawan Widjaya
ne
ng
10. Seri Hukum Perikatan (Perikatan Kartini Muljadi dan 72
pada Umumnya) Gunawan Widjaya
do
gu
11. Asas-Asas Hukum Perjanjian Wiryono Prodjodikoro 73
In
A
13. Pokok-Pokok Hukum Perikatan R. Setiawan 78
ah
lik
14. Hukum Perikatan Abdulkadir Muhammad 79
ub
Penyusunan Kontrak)
si
18. Asas-Asas Hukum Perikatan R.M. Suryodiningrat, S.H. 83
ne
ng
do
20. Hukum Kontrak dan Perancangan Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.S. 85
gu
Kontrak
Penyusunan Kontrak
ah
23. K.U.H. Perdata Buku III Hukum Prof. Dr. Maria Darus 94
m
ub
Hukum Perjanjian I
ah
es
110 Dokumen
Daftar Literatur
Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 117
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
25. Tafsiran Singkat tentang Beberapa Pitlo 97
si
Bab dalam Hukum Perdata
(diterjemahkan oleh M. Moerasad)
ne
ng
26. Hukum Perdata I B Achmad Ichsan 98
do
gu
27. Panduan Lengkap Membuat Surat- Frans Satriyo Wicaksono
Surat Kontrak
99
In
A
28. Buku tentang Perikatan dalam Gr. Van der Burght 101
Teori dan Yurisprudensi (Berisi
Yurisprudensi Nederland Setelah
ah
lik
Perang Dunia II)
am
ub
29. Penyalahgunaan Keadaan Hendry P. Panggabean 102
(Misbruik van Omstandigheden)
sebagai Alasan (Baru) untuk
ep
k
si
30. Pengantar Studi Hukum Perdata H.F.A. Völlmar 104
ne
ng
do
gu
lik
ub
Penyusunan Kontrak
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 118
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
37. Hukum Perjanjian Indonesia dan Hardjan Rusli 115
si
Common Law
ne
ng
38. Pokok-Pokok Perjanjian Beserta A. Qirom Syamsudin Meliala 117
Perkembangannya
do
gu
B. Daftar Skripsi, Tesis, dan Disertasi
In
A
No. Judul Penulis Keterangan Halaman
1. Peranan Mahkamah Agung Henry Disertasi/ UGM 119
ah
lik
dalam Pembangunan Hukum Pandapotan
Melalui Putusan-putusannya Panggabean
di Bidang Hukum Perikatan
am
ub
2. Tinjauan Yuridis tentang Meyliani Tesis/UGM 120
Wanprestasi dalam Perjanjian Febrianti
ep
k
(KPR) di Samarinda
R
si
3. Pelaksanaan Perjanjian Anastasia Tesis/UGM 120
Pengadaan Alat-Alat Yurintawati
ne
ng
do
gu
lik
Kendaraan Bermotor
yang Tidak Dibuat dalam
Bentuk Akta Notariil (Studi
m
ub
Yogyakarta)
ep
ah
es
112 Dokumen
Daftar Literatur
Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 119
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
5. Penyelesaian Sengketa Supeno Tesis/UGM 121
si
Perjanjian Pembelian
Kendaraan Bermotor
ne
ng
dengan Sistem Pembayaran
Angsuran di Pengadilan
do
Negeri Samarinda
gu
6. Tinjauan terhadap Perjanjian Muhammad Nur Tesis/UGM 122
Jual-beli Perumahan yang
In
A
Memuat Klausula Eksonerasi
di Kabupaten Sleman
ah
lik
7. Pelaksanaan Perjanjian Kredit Tomi Oktomison Disertasi/ UGM 122
Usaha Kecil, Menengah pada
am
ub
PT BRI (Persero) Cabang
Jambi ep
8. Pembatalan Perjanjian Sunarko, S.H. Tesis/Unair 123
k
si
9. Keabsahan Perjanjian Riza Meiyanto Tesis/Unair 126
ne
ng
Pengikatan Jual-beli
atas Rumah yang Belum
Dibangun: Sebuah Tinjuan
do
gu
lik
ub
ep
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 120
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
12. Keabsahan dan Akibat Justian Pranata Skripsi/ Unair 132
si
Hukum Jual-beli Hak Milik
ne
atas Satuan Rumah Susun
ng
Sebelum Dipenuhi Izin Layak
Huni
do
gu
13. Unsur “Coersion” pada Yulandari Skripsi/ Unair 134
Perjanjian Hutang Luar Meriaji
In
A
Negeri antara Indonesia dan
IMF
ah
lik
14. Pertanggungjawaban PPAT Fenny Febrianty Tesis/UI 137
terhadap Pembuatan Akta
am
ub
Jual-beli yang Dinyatakan
Batal Demi Hukum oleh
Putusan Pengadilan
ep
k
R
Klausula Baku sebagai Suatu
si
Perjanjian Dilihat dari Sisi
Kitab Undang-Undang
ne
ng
do
gu
Pusat)
ah
ub
Korupsi di Indonesia
ah
es
114 Dokumen
Daftar Literatur
Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 121
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
17. Analisis Yuridis terhadap Yanti Ariavianti Tesis/ 145
si
asas-asas Hukum Kontrak jual UNPAR
-beli di dalam Hukum Islam
ne
ng
dan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH
do
Perdata) Indonesia dalam
gu
rangka upaya Pembangunan
Hukum Indonesia di
In
A
Bidang Kontrak Jual-Beli
Internasional
ah
lik
18. Penyalahgunaan Keadaan Yessica Adeline Tesis/ 148
dan Dasar Pembatalan Kustaman UNPAR
Perjanjian (Penelitian Yuridis
am
ub
Normatif terhadap Buku III
KUH Perdata)
ep
k
ah
C. Daftar Artikel/Makalah
R
si
No. Judul Buku Penulis Halaman
ne
ng
do
gu
lik
ub
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 122
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
ne
ng
do
gu
In
A
ah
lik
am
ub
ep
k
ah
si
ne
ng
do
gu
In
A
ah
lik
m
ub
ka
ep
ah
es
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 123
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
ne
ng
DAFTAR PERATURAN
do
gu
PERUNDANG-UNDANGAN
In
A
ah
lik
A. Pengaturan Batal Demi Hukum dalam Peraturan
Perundang-undangan di Luar Kitab Undang-
am
ub
Undang Hukum Perdata/BW (Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden)
ep
dari Tahun 1945 Hingga 2009 yang Masih
k
Berlaku
ah
si
Pengaturan mengenai batal demi hukum ditelusuri dan ditemukan tidak hanya
terdapat di dalam BW, tetapi juga di peraturan perundang-undangan di luar BW,
ne
ng
do
gu
rinci.
In
A
1. Undang-Undang
Undang-undang tentang pengaturan mengenai batal demi hukum tersebut
ah
lik
a. Bisnis
m
ub
ep
Penyelesaian Sengketa
3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 124
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
si
Kewajiban Pembayaran Utang
5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
ne
ng
b. Investasi
1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1962
do
gu
tentang Penggunaan dan Pengawasan atas Penggunaan Dana-Dana
Investasi
2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran
In
A
3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
ah
lik
c. Perbankan
1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
am
ub
2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
ep
Simpanan
k
ah
d. Agraria
R
si
1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1954 tentang Penetapan Undang-
Undang Darurat tentang Pemindahan Hak Tanah-Tanah dan Barang-Barang
ne
ng
do
gu
Pokok Agraria
3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960
In
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
A
lik
ub
e. Administrasi Negara
ep
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 125
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
si
3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
ne
ng
f. Ketenagakerjaan
1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
do
gu
2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
In
A
2. Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah tentang pengaturan mengenai batal demi hukum
ah
lik
tersebut terbagi ke dalam bidang-bidang berikut ini.
am
ub
a. Agraria
1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1956 tentang Pengawasan terhadap
Pemindahan Hak atas Tanah-Tanah Perkebunan Konsesi
ep
2) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1956 tentang Peraturan-peraturan
k
si
Menyewa Perumahan
4) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
ne
ng
Milik
5) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun
6) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
do
gu
b. Administrasi Negara
1) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1958 tentang Prosedur Pembelian
In
A
Barang-Barang Pemerintah
2) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah
ah
lik
c. Ketenagakerjaan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah
m
ub
d. Pendidikan
ka
Dinas bagi Mahasiswa Calon Pegawai Negeri Sipil yang Belajar di Dalam dan
di Luar Negeri
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 126
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
3. Keputusan Presiden
si
Keputusan Presiden tentang pengaturan mengenai batal demi hukum tersebut
terbagi ke dalam bidang-bidang berikut.
ne
ng
a. Administrasi Negara
do
1) Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Anggaran
gu
Pendapatan dan Belanja Negara
In
A
2) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
ah
lik
b. Internasional
1) Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1996 tentang Pengesahan
am
ub
Amandemen Agreement Relating to The International Telecommunications
Satellite Organization “Intelsat”, Denmark-1995 (Perjanjian Berkenaan dengan
Organisasi Satelit Telekomunikasi Internasional “Intelsat”, Denmark-1995)
ep
k
si
tentang Organisasi Satelit Bergerak Internasional yang Telah Diubah)
ne
ng
do
gu
lik
ub
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 127
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
1. Kejelasan Tujuan
si
Artinya, setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai
tujuan yang jelas.
ne
ng
2. Kelembagaan Atau Organ Pembentuk yang Tepat
Artinya, setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/
do
gu
pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang.
Peraturan perundang-undangan dapat dibatalkan atau batal demi hukum
apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
In
A
3. Kesesuaian antara Jenis dan Materi Muatan
ah
lik
benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundang-undangannya.
am
ub
4. Dapat Dilaksanakan
Artinya, setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus
ep
k
si
5. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan
Artinya, setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-
ne
ng
do
gu
6. Kejelasan Rumusan
Artinya, setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan
In
teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, dan pilihan kata
A
atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga
tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
ah
lik
7. Keterbukaan
Artinya, dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, dari
m
ub
ep
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 128
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
1. Mengisi Kebutuhan Pengaturan Substansi Batal Demi Hukum
si
yang Tidak Terdapat di dalam BW
Beberapa undang-undang mengatur lebih lanjut mengenai substansi batal demi
ne
ng
hukum, khususnya dalam pengaturan suatu hal tertentu dan suatu sebab yang
halal.
do
gu
a. Pengaturan Suatu Hal Tertentu
1) Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
In
A
Alternatif Penyelesaian Sengketa
2) Pasal 12 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin
Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
ah
lik
3) Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
4) Pasal 124 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
am
ub
Ketenagakerjaan
5) Pasal 127 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
ep
6) Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1958 tentang Prosedur
k
si
b. Pengaturan Suatu Sebab yang Halal
1) Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
ne
ng
Konsumen
2) Pasal 66 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
3) Pasal 37 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
do
gu
Terbatas
4) Pasal 95 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas
In
A
lik
Investasi
6) Pasal 33 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal
m
ub
ep
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 129
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
Tetap yang Lainnya yang Bertakluk kepada Hukum Eropa (Undang-Undang
si
Darurat Nomor 1 Tahun 1952) sebagai Undang-Undang
10) Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
ne
ng
Pokok-Pokok Agraria
11) Pasal 10 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun
1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
do
gu
12) Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
13) Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
In
A
atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
14) Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
ah
lik
15) Pasal 32 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
16) Pasal 33 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
am
ub
17) Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
18) Pasal 12 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin
ep
k
si
20) Pasal 49 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
21) Pasal 84 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
ne
ng
do
gu
lik
ub
Tanah Milik
30) Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun
ka
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 130
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
32) Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman
si
Daerah
33) Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan
ne
ng
Upah
34) Pasal 22 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
do
gu
35) Pasal 35 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
In
A
2. Keadaan yang Mengakibatkan atau Tata Cara Terjadinya atau
Akibat yang Ditimbulkan Batal Demi Hukum
ah
lik
Beberapa undang-undang mengatur lebih lanjut mengenai suatu keadaan yang
am
mengakibatkan batal demi hukum, tata cara terjadinya batal demi hukum atau
ub
akibat yang ditimbulkan batal demi hukum. Berikut adalah beberapa undang-
undang tersebut.
ep
a) Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
k
Penyelesaian Sengketa
ah
si
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
c) Pasal 135 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
ne
ng
do
gu
lik
Tanah
i) Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1954 tentang Tunjangan Ikatan
m
ub
Dinas bagi Mahasiswa Calon Pegawai Negeri Sipil yang Belajar di Dalam dan di
Luar Negeri
ka
Dinas bagi Mahasiswa Calon Pegawai Negeri Sipil yang Belajar di Dalam dan di
Luar Negeri
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 131
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
3. Kewenangan untuk Menyatakan Batal Demi Hukum
si
Beberapa undang-undang mengatur lebih lanjut beberapa pihak, lembaga atau
institusi yang berwenang untuk menyatakan batal demi hukum.
ne
ng
a) Pasal 37A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
do
gu
b) Pasal 6 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan
c) Pasal 26 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
In
A
Simpanan
d) Pasal 52 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
ah
Simpanan
lik
e) Penjelasan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional
am
ub
f ) Pasal 43 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
g) Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1956 tentang Pengawasan
ep
k
si
i) Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1956 tentang Peraturan-peraturan
dan Tindakan-tindakan Mengenai Tanah-Tanah Perkebunan Konsesi
ne
ng
do
gu
lik
ub
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 132
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
Tiga belas undang-undang yang memuat ketentuan tentang perjanjian yang
si
batal demi hukum tersebut ialah:
ne
ng
Agraria
b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah
do
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
gu
c) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
d) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1962 tentang
In
A
Penggunaan dan Pengawasan atas Penggunaan Dana-Dana Investasi
e) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
ah
lik
f ) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
g) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit
am
ub
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
h) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
i) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
ep
k
si
l) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
ne
ng
do
gu
lik
m
ub
ka
ep
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 133
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
ne
ng
do
gu
DAFTAR PUSTAKA
In
A
ah
lik
Ariavianti, Yanti. “Analisis Yuridis terhadap Asas-Asas Hukum Kontrak Jual Beli di
am
ub
Dalam Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Indonesia dalam Rangka Upaya Pembangunan Hukum Indonesia di Bidang
Kontrak Jual Beli Internasional. Perpus FH UNPAR.
ep
k
Boediono, Herlien. 2009. Ajaran Umum: Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
ah
si
Cf. art. 3.16 of the Unidroit Principles of International Commercial Contracts, Roma
ne
ng
2004.
do
gu
Hijma & Olthof, Compendium van het Nederlands vermogensrecht, Deventer: Kluwer
2008, no. 59.
In
A
lik
ub
ep
Miru, Ahmadi. 2007. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Cetakan ke-2.
Yogyakarta: Raja Grafindo Persada.
ah
es
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 134
am
u b
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2003. Seri Hukum Perikatan (Perikatan pada
si
Umumnya). Cetakan II. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
ne
ng
Panggabean, Hendry. 2001. Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden)
SEBAGAI ALASAN (BARU) UNTUK PEMBATALAN PERJANJIAN (Berbagai
Perkembangan Hukum di Belanda). Yogyakarta: Liberty.
do
gu
Parlementaire Geschiedenis van het Nieuwe BW (Parl. Gesch. Nieuw BW), Boek 3,
Deventer: Kluwer 1981, p. 189-192.
In
A
Parlementaire Geschiedenis van het Nieuwe BW, Boek 3, p. 247-251.
ah
lik
Rusli, Hardjan. 1993. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law. Cetakan
I.Yogyakarta: Pustaka Sinar Harapan.
am
ub
Subekti. 1998. Hukum Perjanjian. Cetakan ke-17. Jakarta: Intermasa.
ep
k
si
ne
ng
do
gu
In
A
ah
lik
m
ub
ka
ep
ah
es
128 Dokumen
Daftar Pustaka
Penjelas
M
ng
on
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 135
am
b
cover_kebatalan perjanjian_v4_arsip_blk.pdf 1 12/15/10 4:53 PM
u
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk
a
R
si
Penjelasan Hukum tentang
ne
ng
KEBATALAN PERJANJIAN
do
gu
Ketidakpastian hukum merupakan masalah besar dan sistemik yang
mencakup keseluruhan unsur masyarakat. Di samping itu, ketidakpastian
hukum juga merupakan hambatan untuk mewujudkan perkembangan
In
A
politik, sosial, dan ekonomi yang stabil serta adil. Ketidakpastian ini
umumnya bersumber dari hukum tertulis yang tidak jelas dan
kontradiktif satu sama lain. Selain itu, juga karena ketidakpastian dalam
ah
lik
penerapan hukum oleh institusi pemerintah ataupun pengadilan.
am
ub
Salah satu isu dalam hukum perdata yang masih mengandung ketidakpastian
Zkonsep dan interpretasi adalah masalah kebatalan, khususnya masalah batal demi hukum
C
(null and void). Bagaimana akibat pembatalan suatu perjanjian serta syarat-syarat apa saja
ep
M yang harus dipenuhi untuk memenuhi unsur suatu perjanjian dinyatakan batal demi hukum.
k
Y
Oleh karena itu, topik kebatalan perjanjian sebagai salah satu pokok bahasan Restatement
sangat penting untuk dibahas.
ah
CM
R
si
MY Buku ini merupakan salah satu upaya untuk menjawab ketidakpastian konsep dan interpretasi
CY
tersebut. Tujuan utama dari buku ini adalah mewujudkan gambaran yang jelas tentang
beberapa konsep penting hukum Indonesia modern. Metode yang digunakan adalah analisis
ne
ng
CMY
terhadap tiga sumber hukum, yaitu peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,
K dan literatur yang otoritatif.
do
gu
In
A
ah
lik
m
ub
34608100146
R
es
M
ng
on
gu
d
In
A
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas
h
pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.
ik
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 136