You are on page 1of 16

Ariadi, Usanti, dan Wahyudi, Peran Lembaga Peradilan dalam Pembatasan Upaya Hukum dalam Perkara 1

PERAN LEMBAGA PERADILAN DALAM PEMBATASAN UPAYA HUKUM


DALAM PERKARA PERDATA*
Bambang Sugeng Ariadi**, Trisadini P. Usanti***, Johan Wahyudi****

Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya


Jalan Dharmawangsa Dalam Selatan, Surabaya, Jawa Timur, 60286

Abstract
In order to application of judicial principle is simple, fast and low cost is to reduce accumulation of cases
in the Supreme Court especially at the level of Cassation. Along with the increasing number of incoming
cases, and was sentenced in the District Court and Court of Appeal, the amount of the proposed decision
legal remedy of Cassation to the Supreme Court also increased and began to be a serious problem. For
that we need to do some research on role of Judiciary in Legal action restrictions in order to reduce the
accumulation of civil cases.
Keywords: judiciary, restriction, legal effort.

Intisari
Penerapan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan bertujuan untuk mengurangi penumpukkan
perkara di Mahkamah Agung, terutama pada tingkat Kasasi. Seiring dengan makin meningkatnya jumlah
perkara yang masuk, dan diputus di PN dan PT, jumlah putusan yang diajukan upaya hukum Kasasi
ke MA juga semakin meningkat dan mulai menjadi masalah serius. Untuk itu perlu dilakukan suatu
penelitian tentang Peran Lembaga Peradilan dalam Pembatasan Upaya Hukum dalam rangka mengurangi
penumpukkan perkara perdata.
Kata Kunci: peradilan, pembatasan, upaya hukum.

Pokok Muatan
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................................................... 2
B. Metode Penelitian .............................................................................................................................. 5
C. Hasil Penelitian .................................................................................................................................. 6
1. Pembatasan Upaya Hukum melalui Lembaga Mediasi di Pengadilan ......................................... 6
2. Pembatasan Upaya Hukum melalui Alasan dan Syarat Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 ................................................................................................................. 12
D. Kesimpulan ........................................................................................................................................ 15

*
Hasil Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 2015.
**
Alamat korespondensi: bambangsasfhua@yahoo.com
***
Alamat korespondensi: aditris@ymail.com
****
Alamat korespondensi: jo.fhua99@gmail.com
2 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 1, Februari 2016, Halaman 1-16

A. Latar Belakang Masalah lebih dari 1 (satu) tahun, bahkan bisa sampai 2 (dua)
Dalam kehidupan bermasyarakat setiap tahun, belum lagi jika ada upaya hukum Kasasi
individu selalu mengharapkan untuk hidup damai, yang kemudian dilanjutkan dengan upaya hukum
dalam artian tidak bermusuhan antara satu dengan luar biasa, yaitu, upaya hukum Peninjauan Kembali.
yang lainnya, namun jika terjadi suatu permasalahan, Selain itu masih ada kemungkinan akan dilakukan
diharapkan permusuhan itu dihentikan dalam artian eksekusi, karena jarang sekali ditemui pihak yang
ada perdamaian, yaitu “penghentian permusuhan, kalah, dalam hal ini tergugat, dengan suka rela
permufakatan penghentian permusuhan”.1 Dengan memenuhi bunyi putusan pengadilan. Eksekusipun
timbulnya konflik dan masalah ini, maka hukum dalam pelaksanaannya sering mengalami hambatan
harus memegang peranan yang penting dalam dan kesulitan, misalnya, obyek sengketa yang
menyelesaikan masalah dan konflik tersebut.2 telah berpindah tangan, atau pihak Tergugat yang
Penyelesaian perkara perdata dapat dilakukan dikalahkan masih bersikukuh ingin tetap menguasai
baik melalui pengadilan (litigasi) maupun diluar obyek sengketa, atau adanya penurunan harga dari
pengadilan (non litigasi). Penyelesaian perkara obyek sengketa yang tidak menentu. Sehingga
melalui pengadilan dilakukan melalui proses secara ideal suatu sengketa yang diselesaikan
pemeriksaan perkara menurut ketentuan hukum melalui Pengadilan, mulai dari pengajuan gugatan
acara perdata. Pihak penggugat mengharapkan sampai terlaksananya suatu eksekusi, membutuhkan
adanya suatu putusan pengadilan terhadap waktu lebih kurang 5 (lima) tahun.
perkara yang diajukannya, apabila gugatannya Terkait dengan lamanya proses penyelesaian
dikabulkan oleh hakim dapat terpenuhi hak-hak perkara melalui pengadilan ini sebenarnya
keperdataannya secara pasti. Disamping itu, pihak bertentangan dengan pelaksanaan asas peradilan
penggugat mengharapkan terhadap putusan hakim yang sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana
yang memenangkan perkaranya sesegera mungkin ditentukan dalam pasal 2 ayat (4) Undang-Undang
dapat dimohonkan pelaksanaan eksekusinya, dan No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
dapat pula segera menikmati hasil-hasilnya dalam yang menyatakan bahwa ”Peradilan dilakukan
waktu yang relatif singkat, tanpa harus terlebih dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.”
dahulu menunggu berlama-lama sampai dengan Adanya pengaturan asas peradilan yang sederhana,
adanya putusan yang telah memperoleh kekuatan cepat dan biaya ringan tersebut, hal yang terpenting
hukum tetap (in kracht van gewijsde). guna untuk mengurangi penumpukkan perkara di
Namun pada kenyataannya, penyelesaian Mahkamah Agung terutama pada tingkat Kasasi.
sengketa melalui pengadilan seringkali terlalu Hal tersebut dikarenakan, seiring dengan makin
berbelit-belit, memakan waktu dan tidak efisien. meningkatnya jumlah perkara yang masuk, dan
Proses pemeriksaan penyelesaian sengketa dengan juga yang berhasil diputus di Pengadilan Negeri
berperkara di Pengadilan melalui beberapa dan Pengadilan Tinggi, maka jumlah putusan yang
tahapan, mulai dengan adanya pengajuan gugatan, masuk di Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi
jawab-menjawab, proses pembuktian, putusan, juga meningkat dan mulai menjadi masalah yang
upaya hukum sampai dilaksanakannya eksekusi, serius.
sehingga dapat dikatakan proses pemeriksaannya Berdasarkan laporan tahunan Mahkamah
memerlukan waktu yang relatif lama. Bahkan, Agung RI periode tahun 2009, jumlah perkara
apabila pemeriksaan perkara di dua tingkatan yang masuk dari tahun ke tahun terus bertambah.
peradilan dilalui, maka kadangkala memakan waktu Jika dibandingkan dengan perkara yang masuk ke

1
Poerwadarminta, 1989, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 224.
2
J. Van Kan dan J.H. Beekuis, 1983, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan Moh. O. Masdoeki), Cet X, Pembangunan Ghalia Indonesia, Jakarta,
hlm. 165.
Ariadi, Usanti, dan Wahyudi, Peran Lembaga Peradilan dalam Pembatasan Upaya Hukum dalam Perkara 3

Mahkamah Agung RI tahun 2005 sebanyak 7.468 mengalirnya perkara kasasi setiap tahunnya
perkara, maka pada tahun 2009 sebanyak 12.540 dipastikan tidak akan mampu diatasi para
hakim agung meskipun jumlah melebihi
perkara, mengalami peningkatan sebesar 67,9%.3
51 orang. Upaya penanggulangan untuk itu
Tunggakan perkara hingga Desember 2010 sampai tidak cukup dilakukan melalui pendekatan
13.450 perkara, ditambah perkara yang masuk managemen peradilan tanpa dikaitkan
sampai dengan November 2011 sebanyak 11.810 dengan perubahan ketentuan hukum acara
perkara.4 serta bantuan pendekatan sistemik terhadap
praktek peradilan.8
Pada tahun 2011, perkara yang ditangani MA
mencapai 20.234 perkara yang terdiri atas sisa 2010 Tunggakan perkara di Mahkamah Agung
sebanyak 8.413 perkara dan yang masuk tahun menimbulkan implikasi pada fungsi Mahkamah
ini 11.810 perkara. Perkara yang masuk selama Agung yang seharusnya memeriksa kasus-kasus
periode Januari-November 2011 mencapai 11.810 penting yang relevan dengan fungsi menjaga
perkara ini terdiri atas 9.575 perkara kasasi, 2.176 kesatuan penerapan hukum9, namun pada saat
perkara PK, 59 grasi, sedangkan sisa perkara 2010 ini Mahkamah Agung lebih berorientasi pada
yang mencapai 8.413 perkara terdiri atas 6.479 kuantitas pemutusan tunggakan perkara, sehingga
perkara kasasi, 1.934 perkara PK dan 10 grasi. mempengaruhi pada konsistensi putusan. Dengan
Dari seluruh perkara tersebut yang telah berhasil demikian, tunggakan perkara berdampak pada
diputus sebanyak 11.671 perkara, yakni putusan semakin terdegradasinya fungsi utama Mahkamah
kasasi sebanyak 9.357 perkara, Peninjauan Kembali Agung sebagai penjaga kesatuan hukum.10
(PK) 2.260 perkara dan grasi 54 perkara. Dengan Dalam konteks ini, penguatan fungsi peradilan
demikian, sisa perkara yang masih berjalan pada tingkat pertama (PN) dan tingkat II (banding)
tahun 2011 mencapai 8.563 perkara, yang terdiri menjadi penting dalam rangka pembatasan upaya
atas 6.697 perkara kasasi, 1.851 perkara PK dan hukum, terkhusus upaya hukum kasasi, sebagai
15 grasi.5 Sedangkan menurut laporan tahunan MA implementasi prinsip peradilan sederhana, cepat
RI periode tahun 2012 dinyatakan bahwa perkara dan biaya ringan.
yang diputus pada 2012 mencapai 10.991, padahal Diberlakukannya sistem kamar di Mahkamah
setahun sebelumnya bisa mencapai 13.719 perkara, Agung diharapkan proses pemeriksaan dan
artinya, ada penurunan produktivitas memutus pemutusan perkara menjadi lebih cepat, selain
perkara sekitar 19,88 persen.6 itu juga diharapkan putusan Mahkamah Agung
Penyebab tunggakan perkara di Mahkamah menjadi lebih konsisten karena untuk permasalahan
Agung menurut Harifin A. Tumpa7 disebabkan yang sama diputus majelis hakim yang sama,
karena hakim tingkat pertama dan banding serta kualitas putusan menjadi lebih maksimal
kurang cermat dalam memutus perkara, sehingga karena suatu perkara bisa diputus oleh mereka
dipertanyakan rasa keadilannya oleh masyarakat yang memang ahli dibidangnya, hal tersebut sesuai
sampai ke Mahkamah Agung. Untuk itu diperlukan dengan SK KMA No. 142/KMA/SK/IX/2011
beberapa tindakan strategis, sebagaimana dikatakan tertanggal 19 September 2011 tentang Pedoman
oleh Henry P. Panggabean, sebagai berikut:

3
Mahkamah Agung R.I, “Laporan Tahunan 2009”, http:/www.mahkamahagung.go.id./images/LTMARI-2009.pdf, diakses 25 Oktober 2015.
4
Mahkamah Agung R.I, “Laporan Tahunan 2012”, http:/www.mahkamahagung.go.id./images/LTMARI-2012.pdf, diakses 25 Oktober 2015.
5
Ibid.
6
Ibid.
7
Harifin M. Tumpa, “Pembatasan Perkara Dimasukkan Revisi UUMA”, http://www.id.berita.yahoo.com/harifin-pembatasan-perkara-
dimasukkan-revisi-uu-ma.html, diakses 3 Mei 2015.
8
Henry P. Panggabean, 2001, Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktek Sehari-hari Upaya Penanggulangan Tunggakan Perkara dan
Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung, Pustaka Sinar Harahap, Jakarta, hlm. 169.
9
Ibid.
10
Ibid.
4 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 1, Februari 2016, Halaman 1-16

Pelaksanaan sistem kamar di Mahkamah Agung.11 berkas perkara. Surat edaran ini untuk mengatasi
Dalam rangka mewujudkan asas peradilan hambatan praktek implementasi asas sederhana,
yang sederhana, cepat dan biaya ringan, Mahkamah cepat dan biaya ringan.
Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Berkenaan dengan tenggang waktu penye­
Agung Nomor 6 Tahun 1992 tentang Penyelesaian lesaian perkara di muka pengadilan, ternyata di
Perkara di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan dalam praktek peradilan, penyelesaian perkara
Negeri, yang pada pokoknya agar penyelesaian perdata masih melebihi enam (6) bulan, sebagaimana
setiap perkara di pengadilan tidak boleh melampaui diungkapkan oleh Mahkamah Agung dalam Surat
tenggang waktu 6 (enam) bulan. Di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 3 Tahun 1998,
Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1992 tanggal 10 September 1998, tentang Penyelesaian
tersebut, Mahkamah Agung telah menetapkan Perkara, bahwa:
batasan waktu atas tahapan proses persidangan, Dari hasil pengawasan Pimpinan Mahkamah
yaitu: Agung RI mengenai penyelesaian perkara,
1. Panitera harus menyerahkan berkas yang telah diatur dalam: a. Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun
perkara kepada ketua pengadilan 1962 tentang Cara penyelesaian perkara; b.
paling lama 7 (tujuh) hari sejak perkara Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
tersebut didaftar di kepaniteraan. Nomor 4 Tahun 1962 tentang Penyelesaian
2. Ketua pengadilan harus menunjuk perkara-perkara; c. Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1963
majelis Hakim yang akan memeriksa
tentang Penyelesaian perkara; d. Surat
perkara tersebut dan harus melim­ Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor
pahkan berkas perkara tersebut kepada 6 Tahun 1992 tentang Penyelesaian perkara
majelis Hakim paling lama 7 (tujuh) di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri;
Belum dilaksanakan sebagaimana mestinya.
hari sejak diterimanya berkas perkara
Dalam kenyataannya masih terdapat
tersebut dari panitera. penyelesaian perkara yang diputus melewati
3. Majelis Hakim yang ditunjuk untuk 6 (enam) bulan sebagaimana yang telah
memeriksa perkara tersebut harus ditetapkan dalam Surat Edaran Mahkamah
menetapkan hari/tanggal persidangan Agung tersebut.
paling lama 1 (satu) minggu sejak Upaya untuk melaksanakan asas sederhana,
perkara tersebut diterima oleh majelis cepat dan biaya ringan, dalam proses peradilan
Hakim.12 dilakukan dengan dikeluarkan Surat Edaran
Selanjutnya, berkenaan dengan asas seder­ Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002, tanggal
hana, cepat dan biaya ringan, Mahkamah Agung 30 Januari 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan
menerbitkan Surat Edaran, Nomor 2 Tahun Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai,
1985 tentang Seleksi Terhadap Saksi-Saksi yang yang telah diperbaharui dengan dikeluarkannya
Diperintahkan untuk Hadir di Sidang Pengadilan, Peraturan Mahkamah Agung No. (Perma) No. 2
yang isinya pada pokoknya hendaknya hakim Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan,
secara bijaksana melakukan seleksi terhadap saksi- sebagaimana kemudian disempurnakan dengan
saksi yang diperintahkan untuk hadir dipersidangan, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun
karena memang tidak ada keharusan bagi hakim 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
untuk memeriksa semua saksi yang ada dalam Melalui lembaga perdamaian (dading) diharapkan

Mahkamah Agung RI, “Laporan Tahunan 2012”, http://www.mahkamahagung.go.id./images/LTMARI-2012.pdf, diakses 25 Oktober 2015.
11

12
Mahkamah Agung RI, 2004, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, Mahkamah Agung RI, Jakarta, hlm. 104-
105.
Ariadi, Usanti, dan Wahyudi, Peran Lembaga Peradilan dalam Pembatasan Upaya Hukum dalam Perkara 5

proses peradilan perdata dapat berlangsung dengan karena memiliki karakter tersendiri yang tujuannya
sederhana, cepat dan biaya ringan. Dengan demikian untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam
nampak bahwa, Mahkamah Agung melalui Perma mengenai gejala hokum tertentu.14
No. 1 Tahun 2008 tersebut, mengharapkan adanya Sesuai dengan isu hukum yang telah ditetap­
penyelesaian sengketa dapat diselesaikan melalui kan dalam penelitian ini, maka tipe penelitian ini
pelembagaan lembaga Mediasi dalam rangka men­ merupakan penelitian hukum (legal research),
dukung pelaksanaan asas peradilan yang sederhana, yaitu, suatu proses untuk menemukan aturan
cepat dan biaya ringan tersebut. hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-
Pada mulanya penyelesaian sengketa alter­ doktrin hukum, menjaab isu hukum yang diha­
natif diposisikan berhadap-hadapan secara ber­ dapi.15 Penelitian hukum ini dilakukan untuk
lawanan atau merupakan pesaing dari penyelesaian menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru
sengketa konvensional melalui lembaga peradilan, sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah
namun disadari bahwa beberapa model penyelesaian yang dihadapi16, atau mengikuti pendapat Terry
sengketa alternatif dapat diintegrasikan ke Penga­ Hutchingson, merupakan penelitian hukum dengan
dilan (court connected mediation), yaitu untuk tipe reform-oriented research.
mediasi dan konsiliasi. Mengingat kondisi perkara 2. Pendekatan Masalah
yang menumpuk dan dengan mempertimbangkan Berdasarkan pada isu hukum yang telah
kelebihan-kelebihan penyelesaian sengketa alterna­ ditetapkan dan tujuan penelitian yang diinginkan
tif, maka Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan maka pendekatan yang digunakan adalah:
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang a. Pendekatan undang-undang (statute
Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang bertujuan approach), yaitu, menelaah semua
untuk pelembagaan lembaga mediasi di pengadilan. undang-undang dan peraturan lain
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan dalam bidang hukum acara perdata
masalah yang hendak dibahas dalam penulisan yang bersangkut dengan isu hukum
ini adalah: Pertama, pembatasan upaya hukum dengan maksud untuk mencari ratio
melalui lembaga mediasi di pengadilan; dan Kedua, legis dan dasar antologis lahirnya
pembatasan upaya hukum melalui alasan dan syarat undang-undang sehingga mampu
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 14 mengangkat kandungan filosofis
Tahun 1985. serta mempelajari konsistensi antara
undang-undang dengan peraturan
B. Metode Penelitian perundangan yang lainnya.
1. Tipe Penelitian b. Pendekatan konseptual (conceptual
Menurut Peter Mahmud Marzuki13, dilihat approach), yaitu, pendekatan yang
dari segi keilmuan hukum yang bersifat preskriptif beranjak dari pandangan-pandangan
maka tipe penelitian dasar (fundamental research) dan doktrin-doktrin yang berkembang
berada diluar penelitian hukum, karena obyek di dalam ilmu hukum, khususnya
kajiannya adalah masalah hukum sebagai gejala hukum acara perdata, sehingga dapat
social bukan hukum sebagai norma social. Sedangkan menemukan ide-ide yang melahirkan
doctrinal research, reform-oriented research, dan pengertian-pengertian hukum, kon­sep-
theoretical research merupakan penelitian hukum, konsep hukum, dan asas-asas hukum

13
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, hlm. 33.
14
Ibid., hlm. 35.
15
Ibid.
16
Ibid.
6 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 1, Februari 2016, Halaman 1-16

yang relevan dengan isu hukum serta identifikasi bahan hukum digunakan sistem
sehingga mampu membangun suatu kartu (card system) yaitu dengan mengurutkan
argumentasi hukum dalam meme­ bahan-bahan hukum sebagai sumbernya, sehingga
cahkan isu hukum. penatalaksanaan secara kritis, logis dan sistematis
c. Pendekatan kasus (case appproach), yang kemudian dilakukan analisis secara mendalam
yaitu, menelaah kasus-kasus yang (in depth) atas fakta-fakta hukum hukum yang
diputus oleh pengadilan berkaitan ditemukan. Dengan langkah-langkah demikian
dengan isu yang dihadapi. Dalam diharapkan akan lebih mempermudah alur
pendekatan ini, yang akan ditelaah penyesuaian penelitian ini. Setelah melalui tahapan-
adalah ratio decidendi atau legal tahapan inventarisasi dan identifikasi terhadap
reasoning, yaitu, pertimbangan hakim sumber bahan hukum yang relevan (primer
untuk sampai kepada suatu putusan dan sekunder), langkah berikutnya melakukan
yang menjadi referensi dalam penyu­ sistematisasi keseluruhan bahan hukum yang ada.
sunan argumentasi hukum dalam Proses sistematisasi ini juga diberlakukan terhadap
pemecahan isu hukum. teori-teori, konsep-konsep, doktrin serta bahan
3. Sumber Bahan Hukum rujukan lainnya. Rangkaian tahapan inventarisasi,
Tipe penelitian hukum ini merupakan identifikasi dan sistematisasi tersebut dimaksudkan
penelitian yang berbasis kepustakaan (library untuk mempermudah pengkajian dari permasalahan
based), yang berfokus pada analisis bahan hukum penelitian.
primer dan sekunder. Bahan hukum primer adalah 5. Analisis Bahan Hukum
sumber aktual dari hukum, yaitu, undang-undang Analisis bahan hukum dalam penelitian ini,
dan putusan pengadilan (the primary materials are diawali: Pertama, melakukan identifikasi terhadap
the actual sources of the law – the legislation and fakta-fakta hukum untuk menetapkan isu hukum
case law),17 dalam hal ini antara lain: peraturan yang hendak dipecahkan; Kedua, mengumpulkan
perundang-undangan, yaitu: HIR, RBG, RV, BW, bahan-bahan hukum (primer dan sekunder); Ketiga,
dan peraturan yang berkaitan dengan hukum acara melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan
perdata serta Rancangan Undang-Undang Hukum berdasarkan bahan-bahan hukum yang telah
Acara Perdata serta yurisprudensi Mahkamah dikumpulkan; Keempat, merumuskan kesimpulan
Agung RI Sedangkan bahan hukum sekunder, dalam bentuk argumentasi menjawab isu hukum;
adalah bahan yang meliputi komentar pada hukum dan Kelima, memberikan preskripsi berdasarkan
yang ditemukan pada buku dan jurnal hukum (the kesimpulan.19
secondary materials include he commentary on the
law found in texbooks and legal journal),18 dalam C. Hasil Penelitian
hal ini antara lain: buku-buku teks, kamus-kamus 1. Pembatasan Upaya Hukum melalui
hukum, jurnal-jurnal hukum. Lembaga Mediasi di Pengadilan
4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum Didorong oleh menumpuknya beban perkara
Bahan hukum baik primer maupun sekunder di pengadilan serta untuk memberikan akses yang
diperoleh akan diinventarisasi dan diidentifikasi luas kepada masyarakat untuk memperoleh keadilan
untuk selanjutnya dipergunakan dalam menganalisis dan penyelesaian yang memuaskan atas sengketa
permasalahan yang berhubungan dengan kajian yang mereka hadapi, maka Mahkamah Agung (MA)
penelitian ini. Dalam melakukan inventarisasi telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung

17
Terry Hutchinson, 2002, Resarching and Writing in Law, National Library of Australia, Sydney, hlm. 9.
18
Terry Hutchinson, Loc.cit.
19
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., hlm. 171.
Ariadi, Usanti, dan Wahyudi, Peran Lembaga Peradilan dalam Pembatasan Upaya Hukum dalam Perkara 7

No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di non-hakim dengan syarat telah memiliki sertifikat
Pengadilan (Perma No. 1 Tahun 2008). Perma No. 1 sebagai mediator yang telah diakreditasi oleh MA.22
Tahun 2008 ini merupakan revisi dari dari Peraturan Pelaksanaan mediasi dapat diselenggarakan
Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 dalam di salah satu ruang pengadilan dan untuk
Menerapkan Lembaga Damai yang merupakan penggunaan ruangan ini tidak dikenakan biaya,
pelaksanaan dari Pasal 130 HIR/154 RBg, dimana sedangkan apabila pelaksanaan mediasi dilakukan
menurut ketentuan tersebut hakim dalam perkara di tempat lain, maka biaya yang timbul dari
perdata wajib menganjurkan para pihak dalam penggunaan tempat tersebut dibebankan kepada
sidang pertama untuk menempuh perdamaian. para pihak berdasarkan kesepakatan. Demikian
Mediasi dalam rangka Perma No. 1 Tahun pula penggunaan mediator hakim tidak dikenakan
2008 bersifat wajib ditempuh dalam perkara perdata biaya sedangkan untuk mediator bukan hakim
yang diajukan ke pengadilan pada tingkat pertama biayanya ditanggung oleh para pihak berdasarkan
atau di pengadilan negeri, demikian Pasal 2 ayat (2) kesepakatan.23
Perma No. 1 Tahun 2008 menegaskan. Oleh karena Tahap mediasi dimulai lima hari kerja setelah
itu, sifat dari mediasi di pengadilan ini adalah pemilihan atau penunjukan mediator, para pihak
bersifat mandatory, para pihak tidak bisa menolak wajib menyerahkan resume perkara kepada satu
ataupun untuk meminta langsung dilakukannya sama lain dan kepada mediator.24 Proses mediasi
pemeriksaan perkara secara litigasi kepada berlangsung selama empat puluh hari kerja sejak
majelis hakim yang memeriksa perkara itu. Lebih mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh
lanjut, dalam Pasal 2 ayat (3) Perma No. 1 Tahun ketua majelis hakim25 dan atas dasar kesepakatan
2008 ditentukan bahwa apabila ada perkara yang para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang
diperiksa dan diputus tidak menempuh prosedur paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan berakhir masa 40 (empat puluh) hari sebagaimana
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan dimaksud dalam ayat (3).26 Dalam pelaksanaan
atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan mediasi para pihak ataupun kuasa hukumnya dan
batal demi hukum. mediator dapat mengundang saksi ahli dalam
Pada tahap pra mediasi, pada sidang pertama bidang tertentu untuk memberikan penjelasan
yang dihadiri penggugat dan tergugat atau kuasa ataupun pertimbangan terkait dengan penyelesaian
hukumnya, hakim mewajibkan para pihak untuk sengketa, dimana segala biaya pemanggilan saksi
terlebih dahulu menempuh mediasi.20 Hakim ahli ini dibebankan kepada para pihak.
mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling Baik dicapai kesepakatan ataupun tidak, hasil
lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding dari mediasi tetap dibawa ke pengadilan dan para
guna memilih mediator baik yang ada di dalam pihak menghadap kembali kepada mejelis hakim.
daftar yang dimiliki oleh pengadilan ataupun di luar Apabila dicapai kesepakatan maka kesepakatan
daftar pengadilan, termasuk biaya yang mungkin tersebut harus dirumuskan secara tertulis serta
timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan ditandatangani para pihak dan mediator memeriksa
hakim).21 Mediator yang dipilih bisa dari kalangan kembali kesepakatan tersebut untuk menghindari
hakim, asalkan bukan hakim yang memeriksa adanya kesepakatan yang saling bertentangan.
perkara tersebut, ataupun mediator dari kalangan Atas kesepakatan yang telah dicapai berdasarkan
20
Pasal 7 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
21
Pasal 11 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
22
Pasal 9 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
23
Pasal 10 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
24
Pasal 13 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
25
Pasal 13 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
26
Pasal 13 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
8 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 1, Februari 2016, Halaman 1-16

permintaan para pihak, hakim dapat mengukuhkan dengan dasar gugatan PMH (Perbuatan Melanggar
kesepakatan itu sebagai akta perdamaian (akta van Hukum) berlanjut proses pemeriksaannya atau
dading) yang memiliki kekuatan hukum tetap, dan dengan kata lain proses mediasi gagal, dan perkara
sebaliknya apabila para pihak tidak menghendaki berlanjut dengan mengajukan banding atau upaya
dikukuhkannya kesepakatan itu dalam akta hukum lainnya.29
perdamaian, maka dalam kesepakatan tertulis itu Demikian pula dalam periode yang sama
harus terdapat klausula yang memuat pernyataan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dari 505
pencabutan perkara.27 perkara gugatan perdata yang didaftarkan dan
Apabila tidak tercapai kesepakatan dalam kemudian menempuh mediasi, hanya 9 perkara saja
mediasi hingga batas waktu yang ditentukan, yang berhasil mencapai kesepakatan damai melalui
mediator wajib menyatakan bahwa proses mediasi mediasi atau hanya 1,78%.30 Melihat angka-angka
gagal dan memberitahukannya kepada Majelis tersebut dapat dikatakan bahwa tingkat keberhasilan
Hakim yang memeriksa perkara. Segera setelah proses mediasi pada dua pengadilan yang dijadikan
pemberitahuan itu hakim melanjutkan proses sampel data masih sangat rendah.
pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan Tidak dapat dipungkiri bahwa mediasi dalam
dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku rangka Perma No. 1 Tahun 2008 merupakan suatu
sebagaimana Pasal 18 Perma No. 1 Tahun 2008. terobosan yang patut diapresiasi dalam rangka
Apabila mediasi gagal mencapai kesepakatan upaya untuk mengurangi beban perkara yang harus
dan proses pemeriksaan perkara di persidangan diselesaikan oleh pengadilan maupun untuk memberi
dilanjutkan kembali, maka segala pernyataan dan akses masyarakat dalam memperoleh keadilan serta
pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak penyelesaian sengketa yang memuaskan para pihak.
dapat digunakan dalam proses persidangan yang Namun demikian beberapa kendala ditemui dalam
bersangkutan atau perkara lainnya. Demikian pula penerapan Perma No. 1 Tahun 2008, yaitu:
fotokopi dokumen, notulen dan catatan mediator a. Faktor Kendala dari Ketentuan
wajib dimusnahkan dan mediator tiodak dapat Perma No. 1 Tahun 2008
diminta untuk menjadi saksi dalam persidangan Sebagaimana dikatakan bahwa Perma
perkara yang bersangkutan. No. 1 Tahun 2008 menentukan bahwa
Dari hasil pengumpulan data yang diperoleh para pihak dalam gugatan perdata wajib
dari Pengadilan Negeri Surabaya terhitung semenjak menempuh terlebih dahulu mediasi sebelum
Perma No. 1 Tahun 2008 disahkan (11 September proses litigasi dilanjutkan. Dalam Pasal 2
2003) sampai dengan November 2004 tercatat ayat (1) dinyatakan: Semua perkara perdata
sebanyak 115 perkara gugatan perdata didaftarkan yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama
dan kemudian menempuh mediasi dan yang wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui
mencapai kesepakatan damai dari proses mediasi perdamaian dengan bantuan mediator.
dalam rangka Perma No. 1 Tahun 2008 hanya Ketentuan ini secara substansial tidak sesuai
0,87%.28 Berdasarkan data tersebut, dari tahapan dengan asas penyelesaian sengketa alternatif
mediasi yang berhasil, hampir lebih dari 99% perkara maupun asas mediasi dan semangat yang
(kecuali perceraian, karena gugatan perceraian dikandung dalam Pasal 130 HIR/154 RBg
dapat diputus verstek) yang didominasi oleh perkara yang hendak dilaksanakan oleh Peraturan

27
Pasal 17 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
28
Pasal 19 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
29
Daftar Perkara PN Surabaya tahun 2003 dan 2004
30
Salah seorang Hakim PN Surabaya, wawancara bulan Juni 2015.
31
Daftar Perkara PN Jakarta Pusat tahun 2003 dan 2004.
Ariadi, Usanti, dan Wahyudi, Peran Lembaga Peradilan dalam Pembatasan Upaya Hukum dalam Perkara 9

Mahkamah Agung ini.32 Menurut Perma No. mewajibkan para pihak pada
1 Tahun 2008 para pihak yang berperkara hari itu juga atau paling lama
2 (dua) hari kerja berikutnya
diwajibkan untuk menempuh mediasi, maka
untuk berunding guna memilih
dalam hal ini telah melanggar prinsip dari mediator termasuk biaya yang
penyelesaian sengketa alteranatif termasuk mungkin timbul akibat pilihan
prinsip mediasi itu sendiri yaitu prinsip penggunaan mediator bukan
kesukarelaan (voluntary) dan prinsip sesuai hakim.
2) Para pihak segera menyampaikan
kehendak sendiri (self-determination). mediator pilihan mereka kepada
Sebagaimana dinyatakan dalam American ketua majelis hakim.
Bar Association Model Standards of Conduct 3) Ketua majelis hakim segera
for Mediators. memberitahu mediator terpilih
untuk melaksanakan tugas.
Self-determination: a mediator shall 4) Jika setelah jangka waktu maksi­
recognize that mediation is based on mal sebagaimana dimaksud
the principle of self-determintion by ayat (1) terpenuhi, para pihak
the parties. tidak dapat bersepakat memilih
Self-determination is the fundamental mediator yang dikehendaki,
principle of mediation. It requires that maka para pihak wajib menyam­
the mediation process rely upon ability paikan kegagalan mereka
of the parties to reach a voluntary, memilih mediator kepada ketua
uncoerced agreement. Any party may majelis hakim.
withdraw from mediation at any time.33 5) Setelah menerima pemberita­
huan para pihak tentang kega­
Demikian halnya ketentuan Pasal 2 galan memilih mediator, ketua
ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2008 tidak sesuai majelis hakim segera menunjuk
dengan semangat dari Pasal 130 HIR/154 hakim bukan pemeriksa pokok
RBg dimana pasal tersebut menghendaki perkara yang bersertifikat pada
pengadilan yang sama untuk
hakimlah yang seharusnya mendamaikan
menjalankan fungsi mediator.
para pihak, karena memang dalam beberapa 6) Jika pada pengadilan yang sama
hal hakim dalam perkara perdata tidak tidak terdapat hakim bukan
sepenuhnya pasif, ia secara aktif dapat pemeriksa perkara yang berser­
tifikat, maka hakim pemeriksa
mendamaikan para pihak.34 Dengan adanya
pokok perkara dengan atau
Perma No. 1 Tahun 2008, maka peran hakim tanpa sertifikat yang ditunjuk
itu telah diambil alih oleh peran mediator. oleh ketua majelis hakim wajib
Berarti dalam hal ini terjadi pengalihan tugas menjalankan fungsi mediator.
dan wewenang mendamaikan dari hakim Dengan demikian ketentuan dalam
kepada mediator. Pasal 11 Perma No. 1 Tahun 2008 ini
Dalam Pasal 11 Perma No. 1 Tahun mengandung arti bahwa:
2008 yang mengatur mengenai tata cara 1. Personal mediator yang dapat
pemilihan atau penunjukan hakim dinyatakan dipilih sudah tertentu, yaitu
mediator yang terdapat dalam
demikian: daftar pengadilan dan di luar
1) Setelah para pihak hadir pada daftar pengadilan;
hari sidang pertama, hakim 2. Kepada para pihak, pada tahap
32
Otto Hasibuan, “Problematik Mediasi dalam Praktek Pengadilan Dihubungkan dengan Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan, Makalah, disampaikan dalam Launching Magister Hukum Minat Studi Peradilan Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan
Sosialisasi Perma No. 1 Tahun 2008, Surabaya, 14 Februari 2004.
33
Martindale-Hubbell, 1999, International Arbitration and Dispute Resolution Directory, Cavendish Publishing Limited, London, hlm. 319.
34
R. Supomo, 1971, Hukum Atjara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnja Paramita, Djakarta, hlm. 17-19.
10 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 1, Februari 2016, Halaman 1-16

pertama diberikan kesempatan mencapai kesepakatan penyelesaian, mereka


untuk memilih daftar mediator hanya secara formalitas saja menjalankan
yang dimiliki oleh pengadilan
mediasi hingga jangka waktu yang
atau di luar daftar mediator yang
dimiliki oleh pengadilan, kalau ditentukan dalam ketentuan Perma No. 1
tidak berhasil wajib memilih Tahun 2008 berakhir dan mereka kemudian
dari daftar pengadilan, apabila menghadap kembali dalam persidangan
masih belum juga menentukan untuk melanjutkan pemeriksaan perkara
pilihan, maka Hakim Ketua
Majelis akan menunjuk seorang dalam persidangan. Tentunya kondisi
mediator dengan penetapan. demikian ini berakibat bertambahlamanya
Hal ini menimbulkan permasalahan, apabila penyelesaian sengketa yang kemudian
para pihak memang sepakat berdamai dengan tentunya mengakibatkan peningkatan biaya
menggunakan jasa mediator, tentunya mereka yang harus dikeluarkan, terutama apabila
berhak pula dengan bebas memilih siapa yang menggunakan jasa advokat.
menjadi mediator, namun dengan adanya Kendala lain yang berkaitan dengan
ketentuan dalam Pasal 11 ayat (5) Perma No. ketentuan-ketentuan dalam Perma No. 1
1 Tahun 2008, maka dalam hal ini sekali lagi Tahun 2008 adalah mengenai jangka waktu
ada paksaan untuk menerima mediator yang proses mediasi paling lama empat puluh hari
ditunjuk oleh Hakim Ketua Mejelis melalui kerja, dan atas dasar kesepakatan para pihak
suatu penetapan dan ini adalah suatu bentuk dapat diperpanjang selama empat belas hari
dari pelanggaran prinsip self determination kerja, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
para pihak dalam menentukan mediator yang 13 ayat (3) dan (4) Perma No. 1 Tahun 2008.
akan memimpin proses mediasi. Permasalahan yang muncul dengan adanya
Adanya ketidaksesuaian prinsip dalam ketentuan ini adalah bahwa apabila para pihak
Perma No. 1 Tahun 2008 yang sebagaimana tidak menunjukkan kesungguhannya untuk
mestinya diterapkan dalam setiap pelaksanaan menempuh proses mediasi, sehingga proses
mediasi berakibat lebih lanjut pada tidak mediasi dijalankan tidak secara maksimal
efektifnya pelaksanaan mediasi di lapangan. hanya untuk memenuhi persyaratan formil
Para pihak yang berperkara di pengadilan yang diwajibkan, maka jangka waktu
sejak semula memang sudah bermusuhan tersebut justru memperlambat proses
secara psikologis sudah saling “membenci” penyelesaian sengketa. Hendaknya dalam hal
satu sama lain, dan hanya satu tujuan mereka ini mediator diberikan kewenangan, dengan
dalam berperkara di pengadilan, yaitu saling memperhatikan dan mempertimbangkan
membuktikan kesalahan pihak lawan dan ketidaksungguhan dari para pihak untuk
berusaha untuk mendapatkan putusan yang menempuh proses mediasi, untuk menyatakan
memenangkan dirinya serta sedapat mungkin mediasi gagal meskipun jangka waktu yang
putusan itu menghukum pihak lawan dengan diberikan belum berakhir sehingga proses
seberat-beratnya. Untuk itu upaya mediasi di persidangan dapat segera dilanjutkan.
pengadilan sejak semula memang sangat sulit Demikian pula apabila para pihak telah
untuk dicapai keberhasilannya. menunjukkan kemauan dan kesungguhan
Para pihak melaksanakan mediasi dalam menempuh proses mediasi, serta telah
dalam rangka Perma No. 1 Tahun 2008 dalam ada suatu kesepakatan awal yang konstruktif
suasana keterpaksaan. Dalam keterpaksaan namun belum mencapai kesepakatan final
itu para pihak tidak sungguh-sungguh untuk sedangkan jangka waktu mediasi yang
Ariadi, Usanti, dan Wahyudi, Peran Lembaga Peradilan dalam Pembatasan Upaya Hukum dalam Perkara 11

diberikan Perma No. 1 Tahun 2008 telah jumlah mediator profesional yang telah
berakhir, maka kiranya ketentuan ini juga menempuh pendidikan mediator terutama
kurang tepat. Alangkah baiknya apabila di daerah-daerah terpencil, sehingga jumlah
dalam kondisi seperti ini mediator diberikan pilihan mediatornya pun sangat kurang,
kewenangan apabila jangka waktu telah terpaksalah para pihak menjatuhkan pilihan
berakhir sedangkan para pihak telah mencapai pada mediator hakim.
suatu kesepakatan konstruktif namun belum Kendala yang lain berkaitan dengan
final sehingga masih memerlukan tambahan peranan advokat sebagai kuasa hukum dari
waktu lagi untuk menghadap kepada pihak-pihak yang bersengketa. Sebagaimana
majelis hakim yang memeriksa perkara diketahui honorarium advokat dalam
untuk memohon perpanjangan waktu. menangani suatu perkara dari kliennya dapat
majelis hakim hendaknya mendengar dan didasarkan pada rumitnya dan/atau lamanya
mempertimbangkan dengan seksama alasan- penyelesaian sengketa itu berlangsung.
alasan yang dimohonkan oleh mediator Hal ini berakibat dukungan advokat untuk
tersebut. menyelesaikan sengketa melalui mediasi
b. Kendala Penerapan dalam Praktek dalam rangka Perma No. 1 Tahun 2008
Selain kendala-kendala yang diaki­ kurang. Para advokat banyak berpikir bahwa
batkan oleh ketentuan-ketentuan dari Perma lebih baik penyelesaian sengketa dilanjutkan
No. 1 Tahun 2008 yang tidak sesuai dengan di persidangan pengadilan yang lebih lama
prinsip-prinsip penyelesaian sengketa prosesnya daripada diselesaikan lebih cepat
alternatif sehingga berakibat pada kurang melalui mediasi, satu dan lain hal dikarenakan
efektifnya pelaksanaan mediasi terdapat honorarium perkara yang akan ia terima dari
pula kendala-kendala penerapan di lapangan. kliennya.
Perma No. 1 Tahun 2008 memungkinkan Kendala mengenai peranan advokat
penggunaan mediator hakim pada pengadilan ini juga didukung oleh pandangan sebagian
yang bersangkutan dengan syarat bahwa hakim bahwa kehadiran advokat dalam
hakim tersebut tidaklah sebagai hakim mediasi seringkali malah menghambat proses
yang memeriksa perkara yang sedang mediasi dan tidak mendukung bagi proses
berusaha dimediasikan itu. Beberapa praktisi mediasi yang konstruktif. Di lain pihak para
mengemukakan keberatannya atas adanya advokat sebagai kuasa hukum berpendapat
hakim yang menjadi mediator, keberatan ini bahwa sebelum perkara didaftarkan sebagai
cukup beralasan dikarenakan hakim yang gugatan di pengadilan para pihak telah
dalam pekerjaannya adalah memeriksa, menempuh upaya damai dalam suatu
mengadili dan memutus perkara sekarang perundingan tanpa bantuan pihak ketiga
diharuskan untuk menjadi mediator yang (negosiasi), sehingga apabila kemudian
memerlukan kepiawaian dalam memfasilitasi mereka harus menempuh lagi perdamaian
perundingan, sedangkan Perma No. 1 Tahun melalui proses mediasi dalam rangka Perma
2008 tidak menyaratkan hakim yang menjadi No. 1 Tahun 2008 adalah sia-sia belaka.
mediator terlebih dahulu untuk mengikuti Masalah tempat pelaksanaan mediasi
pelatihan mediator. Akibatnya terdapat juga menjadi kendala tersendiri. Sebagaimana
kemungkinan yang cukup besar bahwa diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2008 bahwa
proses mediasi yang dipimpin oleh mediator pelaksanaan mediasi dapat dilakukan di salah
hakim mengalami kegagalan. Kendala di atas satu ruangan pengadilan dan untuk itu para
juga berkaitan erat dengan masih terbatasnya pihak dibebaskan dari biaya penggunaan
12 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 1, Februari 2016, Halaman 1-16

ruangan. Namun, sekali lagi terutama di Kasasi, yaitu di dalam Pasal 30 Undang-Undang
daerah-daerah terpencil terdapat kendala Nomor 14 Tahun 1985, yang menyatakan bahwa
penyediaan sarana dan prasarana ruangan dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung dapat
mediasi di pengadilan sehingga ruangan membatalkan putusan atau penetapan pengadilan
yang mediasi yang disediakan di pengadilan tingkat bawah karena:
kurang representatif. a) Tidak berwenang atau melampaui
Mengingat kendala-kendala yang batas wewenang;
demikian banyaknya dalam pelaksanaan b) Salah menerapkan atau melanggar
mediasi di pengadilan, maka untuk hukum;
mengefektifkan proses mediasi di pengadilan c) Lalai memenuhi syarat-syarat yang
ini dirasa perlu peranan yang lebih besar diwajibkan oleh peraturan perundang-
lagi dari mediator dalam menjalankan undangan yang mengancam kelalaian
proses mediasi. Beberapa kasus yang itu dengan batalnya putusan tersebut.
berhasil dimediasi menunjukkan peranan Selanjutnya, dalam perkara perdata untuk
mediator yang cukup besar terutama dalam alasan pengajuan upaya hukum Peninjauan
memberikan pemahaman kepada para pihak Kembali, yakni hanya dalam hal:35
yang bersengketa akan pentingnya proses a. Putusan didasarkan pada kebohongan/
mediasi untuk menyelesaiakan sengketa tipu muslihat yang diketahui setelah
perkaranya
melalui kesepakatan yang menguntungkan
b. Diputus atau didasarkan pada bukti
bagi pihak-pihak yang bersengketa. yang kemudian oleh hakim pidana
Dengan demikian jelas bahwa dinyatakan palsu;
keterpaksaan pihak-pihak yang bersengketa c. Ditemukan bukti yang menentukan
untuk menempuh mediasi wajib dalam rangka yang pada waktu perkara diperiksa
tidak ditemukan;
Perma No. 1 Tahun 2008 dapat direduksi d. Dikabulkan hal yang tidak dituntut
dengan pemahaman yang baik mengenai atau lebih yang dituntut;
pentingnya dan manfaatnya proses mediasi e. Ada tuntutan belum diputus tanpa
ini ditempuh dan untuk itu peranan mediator pertimbangan;
f. Adanya putusan yang bertentangan
untuk memberikan pemahaman (edukasi)
terhadap pihak yang sama mengenai
mengenai hal tersebut sangatlah penting. suatu soal yang sama;
2. Pembatasan Upaya Hukum melalui Alasan g. Atas dasar yang sama oleh pengadilan
dan Syarat Berdasarkan Undang-Undang yang sama atau sama tingkatnya;
h. Terdapat kekhilafan hakim atau
Nomor 14 Tahun 1985
kekeliruan yang nyata dalam putusan.
Penumpukkan perkara di Mahkamah Agung
Dengan demikian, dalam konteks perkara
disebabkan oleh pengaturan pembatasan perkara
perdata, praktis dapat dikatakan hampir tidak ada
yang ada saat ini dianggap masih kurang lengkap dan
jenis perkara atau putusan tertentu yang tidak dapat
tidak mampu menahan besarnya keinginan pencari
diajukan upaya hukum Kasasi atau Peninjauan
keadilan untuk meminta keadilan ke pengadilan
Kembali selama terpenuhinya alasan-alasan
tertinggi tersebut. Secara umum telah diatur alasan-
sebagaimana tersebut di atas.36 Selain itu, ada
alasan yang memungkinkan putusan atau penetapan
pengaturan tentang persyaratan yang harus dipenuhi
pengadilan tingkat bawah diajukan upaya hukum

35
Lihat Pasal 67 UU No. 14 Tahun 1985, Pasal 132 UU No. 5 Tahun 1986, Pasal 24 UU No. 48 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316 Tahun 1985).
36
Sebenarnya pembatasan perkara kasasi perdata pernah diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan,
dimana dalam Pasal 6 dikatakan bahwa perkara perdata dengan nilai kurang dari Rp. 100 tidak dapat diajukan banding ke pengadilan tinggi.
Namun karena kondisi Negara pada saat itu, UU tersebut tidak pernah belaku efektif.
Ariadi, Usanti, dan Wahyudi, Peran Lembaga Peradilan dalam Pembatasan Upaya Hukum dalam Perkara 13

oleh pihak-pihak yang ingin perkaranya dapat yang dimasud dengan persyaratan formal adalah
diajukan upaya hukum kasasi, yang secara tidak persyaratan yang wajib dipenuhi oleh pemohon
langsung juga dapat membatasi jumlah perkara kasasi dalam mengajukan permohonan kasasi
yang masuk ke Mahkamah Agung, sebagaimana sebagaimana diatur dalam Pasal 46 dan Pasal 47
ditentukan dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
14 Tahun 1985, yang mengatur bahwa “Kasasi Mahkamah Agung41, misalnya, mengenai jangka
dalam perkara perdata, agama dan tata usaha negara waktu pengajuan kasasi dan pengirimkan memori
hanya dapat diajukan oleh pihak yang berperkara kasasi atau kewajiban mengirimkan memori
atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk kasasi. Dalam PERMA tersebut ditegaskan bahwa
itu”. panitera pada Pengadilan Tingkat Pertama yang
Selain itu, masih banyak lagi pengaturan memutus perkara yang dimohonkan kasasi tidak
dalam undang-undang, ketentuan internal perlu meneruskan permohonan tersebut kepada
Mahkamah Agung atau putusan Mahkamah Agung Mahkamah Agung.42 Selanjutnya, substansi
yang mengatur pula kapan suatu perkara dapat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor
diajukan kasasi atau Peninjauan Kembali37, surat- 1 Tahun 2001 ini kemudian diadopsi di dalam
surat yang perlu lampirkan dalam pengajuannya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
ke mana pengajuan diajukan38, dan formalitas- Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
formalitas pengajuan kasasi dan Peninjauan 1985 tentang Mahkamah Agung.43
Kembali lainnya, yang jika dilanggar atau tidak Di dalam memori kasasi harus dimuat
dipenuhi mengakibatkan permohonan tersebut tidak keberatan-keberatan atau alasan-alasan kasasi yang
dapat diterima.39 berhubungan dengan pokok persoalan perkara,
Dalam prakteknya, terutama pada masa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30 Undang-
lalu, permohonan kasasi yang sebenarnya tidak Undang Nomor 14 Tahun 1985. Berdasarkan alasan-
memenuhi syarat formal sebagai dimaksud Pasal alasan tersebut di atas dapatlah kita ketahui, bahwa
46 dan 47 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 di dalam tingkat kasasi tidak diperiksa tentang
sebagaimana dijelaskan di atas tetap harus diterima duduknya perkara atau faktanya tetapi tentang
(didaftar) untuk diputus oleh Mahkamah Agung. hukumnya, sehingga tentang terbukti tidaknya
Hal ini mengakibatkan semakin menumpuknya peristiwa tidak akan diperiksa. Penilaian mengenai
perkara kasasi di Mahkamah Agung.40 Oleh karena hasil pembuktian tidak dapat dipertimbangkan
itu, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Mahkamah
Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2001 Agung terikat pada peristiwa yang telah diputuskan
tentang Permohonan Kasasi Perkara Perdata Yang dalam tingkat terakhir. Jadi dalam tingkat kasasi
Tidak Memenuhi Persyaratan Formal. Adapun peristiwanya tidak diperiksa kembali. Dengan

37
Lihat Pasal 46, 47 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 73 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor
3316 Tahun 1985).
38
Sebagai contoh, permohonan kasasi diajukan langsung ke MA tidak dapat diterima (Putusan MA tanggal 10 Maret 1959 No.2 K/Kr/1959).
39
Beberapa contoh persyaratan formal yang jika tidak dipenuhi dapat mengakibatkan permohonan kasasi tidak diterima antara lain: permohonan
diajukan oleh seorang kuasa tanpa kuasa khusus (putusan MA tanggal 11 September 1958 No.117 K/Kr/1958); permohonan kasasi dicap
jempol tanpa pengesahan oleh pejabat berwenang (putusan MA tanggal 5 Desember 1961 No.137 K/Kr/1961).
40
Konsideran huruf b Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2001 tentang Permohonan Kasasi Perkara Perdata Yang Tidak
Memenuhi Persyaratan Formal.
41
Pasal 1 huruf a Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2001 tentang Permohonan Kasasi Perkara Perdata Yang Tidak
Memenuhi Persyaratan Formal.
42
Dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2001 tersebut dijelaskan prosedur untuk tidak meneruskan permohonan kasai
yang tidak memenuhi syarat formal, yakni Panitera membuat Surat Keterangan Kepaniteraan yang diketahui dan ikut menandatangani oleh
Ketua Pengadilan Tingkat Pertama tempat permohonan diajukan (vide Pasal 2 ayat 1, 2, 3 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1
Tahun 2001).
43
Pasal 45A ayat (3) yang berbunyi “[...] permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat-syarat formal, dinyatakan tidak dapat diterima dengan
penetapan ketua pengadilan tingkat pertama dan berkas perkaranya tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung”.
14 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 1, Februari 2016, Halaman 1-16

demikian Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi antar pengadilan yang serupa, tergantung dari
bukan sebagai pengadilan judex factie. tempat tinggal tergugat (vide Pasal 118 HIR).
Ketentukan di dalam Pasal 30 Undang- Sedangkan yang dimaksud dengan
Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah melampaui batas wewenang bisa terjadi bila
Agung, yang telah diubah dengan Undang-Undang pengadilan mengabulkan gugatan dengan
Nomor 5 Tahun 2004, sebagaimana selanjutnya melanggar suatu asas menurut Pasal 178 ayat
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 (2) dan (3), HIR jo. Pasal 189 ayat (2) dan (3)
Tahun 2009, mengatur tentang alasan-alasan yang Rbg, bahwa: “Hakim wajib mengadili semua
dapat dijadikan dasar dalam pengajuan upaya bagian tuntutan dan dilarang menjatuhkan
hukum Kasasi. Dalam rangka pembatasan upaya putusan atas perkara yang tidak dituntut atau
hukum Kasasi, maka terkait dengan penerapan mengabulkan lebih daripada yang dituntut
alasan-alasan untuk pengajuan upaya hukum kasasi (melanggar asas ultra petita)”.
diperlukan pembatasan keberlakuan ketentuan Pasal Dengan demikian, nampak bahwa
30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, adalah penggunaan alasan sub a. ini, sebenarnya
sebagai berikut, yaitu, alasan Kasasi pada poin: relatif sangat sederhana dan sudah relatif
a. Tidak berwenang atau melampaui pasti cara penafsiran hukumnya, disamping
batas wewenang itu, sudah terdapat berbagai Yurisprudensi
Perkara Kasasi yang diajukan dengan putusan Mahkamah Agung yang sejenis,
alasan sub a ini, sebenarnya relatif sangat sehingga semestinya ditentukan bahwa
sederhana dan sudah relatif pasti cara alasan sub a) ini menjadi kewenangan Hakim
penafsiran hukumnya. Adapun yang dimaksud PN atau PT untuk menjatuhkan putusan akhir.
tidak berwenang disini adalah berkaitan Adapun beberapa Yurisprudensi putusan
dengan kompetensi relatif dan absolut Mahkamah Agung yang kaidah hukumnya
pengadilan. Makna kompetensi absolut berkenaan dengan kewenangan Pengadilan
adalah kewenangan memeriksa dan mengadili Negeri adalah sebagai berikut:
perkara diantara Badan-badan Peradilan 1. Putusan MARI No. 162K/
berdasarkan pada pembagian wewenang dan Pdt/1992 tanggal 28 April 1994,
kaidah hukumnya: Sengketa
pembebanan tugas (yurisdiksi), sebagaimana
hak Milik berdasarkan pasal 50
ditentukan di dalam Pasal 18 Undang-Undang Undang-Undang Nomor 7 Tahun
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan 1989 tentang Peradilan Agama
Kehakiman, dibedakan menjadi 4 (empat) yang berwenang mengadili
lingkungan badan peradilan, yakni; badan tentang sengketa tersebut adalah
Peradilan Umum/Pengadilan
peradilan umum, badan peradilan agama, Negeri.44
badan peradilan militer, dan badan peradilan 2. Putusan MARI No. 88K/
tata usaha negara, yang masing-masing TUN/1993 tanggal 7 September
mempunyai kompetensi absolut. Adapun 1994, kaidah hukumnya:
Meskipun sengketa terjadi
makna kompetensi relatif berkaitan dengan
akibat dari surat keputusan
kewenangan mengadili/memeriksa perkara pejabat tetapi perkara tersebut
dari suatu Pengadilan Negeri berdasarkan menyangkut pembuktian hak
pada pembagian daerah hukum (yurisdiksi). milik atas tanah, gugatan
hatus diajukan terlebih dahulu
Dengan kata lain kompetensi relatif
ke pengadilan umum karena
mengatur pembagian kekuasaan mengadili
44
Mahkamah Agung RI, 1995, Himpunan Putusan MARI tentang Kewenangan Mengadili, Mahkamah Agung RI dan the Asia Foundation,
Jakarta, hlm. 3.
Ariadi, Usanti, dan Wahyudi, Peran Lembaga Peradilan dalam Pembatasan Upaya Hukum dalam Perkara 15

merupakan sengketa perdata.45 alasan sub c ini, dapat ditentukan bahwa


3. Putusan Mahkamah Agung: alasan sub c ini sudah termasuk dalam
tanggal 5-12-1973 No. 261 K/
kewenangan Mahkamah Agung pada sub b,
Sip/1973, kaidah hukumnya:
Dalam hal ada lebih dari yaitu, dalam rangka memeriksa ada tidaknya
seorang tergugat masing. kesalahan penerapan hukum.
masing bertempat tinggal dalam
wilayah Pengadilan Negeri D. Kesimpulan
yang berbeda-beda, menurut
Pasal 118 H.I.R. penggugat Berdasarkan keseluruhan uraian di atas, maka
dapat mengajukan di Pengadilan dapat ditarik simpulan, bahwa: Pertama, dalam
Negeri dimana salah seorang rangka mewujudkan asas peradilan sederhana, cepat
tergugat bertempat tinggal.46 dan biaya ringan, serta mengurangi penumpukkan
b. Salah menerapkan atau melanggar perkara di tingkat kasasi dapat dilakukan dengan
hukum yang berlaku cara pelembagaan dan pendayagunaan mediasi
Perkara Kasasi yang diajukan dengan yang terintegrasi dengan proses berperkara di
alasan sub b ini saja yang dapat diterima pengadilan berdasarkan ketentuan di dalam
sebagai alasan pengajuan Kasasi, dikarenakan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor
Mahkamah Agung adalah bukan judex factie, 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di
dan hanya memeriksa ada tidaknya kesalahan Pengadilan. Kedua, dalam rangka pembatasan
penerapan hukum. upaya hukum Kasasi dapat dilakukan dengan
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang beberapa upaya diantaranya: Pembatasan Upaya
diwajibkan oleh peraturan perundang- Hukum melalui lembaga Mediasi di Pengadilan,
undangan yang mengancam kelalaian dan Pembatasan Upaya Hukum melalui Alasan dan
itu dengan batalnya putusan yang Syarat berdasarkan Ketentuan Undang-Undang
bersangkutan. Nomor 14 Tahun 1985.
Perkara Kasasi yang diajukan dengan

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku _______, 1995, Himpunan Putusan MARI tentang


Hutchinson, Terry, 2002, Resarching and Writing in Kewenangan Mengadili, Hasil kerjasama
Law, National Library of Australia, Sydney. Mahkamah Agung dengan the Asia
Kan, J. Van, dan J.H. Beekuis, 1983, Pengantar Ilmu Foundation, Jakarta.
Hukum (terjemahan Moh. O. Masdoeki), Cet. Panggabean, Henry P., 2001, Fungsi Mahkamah
X, Pembangunan Ghalia Indonesia, Jakarta,. Agung dalam Praktek Sehari-hari, Upaya
Martindale-Hubbell, 1999, International Arbitration Penanggulangan Tunggakan Perkara
and Dispute Resolution Directory, Cavendish dalam Pemberdayaan Fungsi Pengawasan
Publishing Limited, London. Mahkamah Agung, Sinar Harapan, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Poerwadarminta, 1989, Kamus Umum Bahasa
Cet. I, Prenada Media, Jakarta. Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Mahkamah Agung RI, 2004, Pedoman Pelaksanaan Supomo, R., 1971, Hukum Atjara Perdata
Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, Pengadilan Negeri, Pradnja Paramita,
Mahkamah Agung RI, Jakarta. Djakarta.

45
Ibid., hlm. 125.
46
Direktori Putusan Mahkamah Agung RI.
16 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 1, Februari 2016, Halaman 1-16

B. Makalah 2008, Surabaya, 14 Februari 2004.


Hasibuan, Otto, “Problematik Mediasi dalam Praktek
Pengadilan Dihubungkan dengan Perma No. C. Artikel Internet
1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Harifin M. Tumpa, ”Pembatasan Perkara
Pengadilan”, Makalah, disampaikan dalam Dimasukkan Revisi UUMA”, http://www.
Launching Magister Hukum Minat Studi id.berita.yahoo.com/harifin-pembatasan-
Peradilan Fakultas Hukum Universitas perkara-dimasukkan-revisi-uu-ma.html,
Airlangga dan Sosialisasi Perma No. 1 Tahun diakses 3 Mei 2015.

You might also like