You are on page 1of 8

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA

TERHADAP MALE RAPE DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA


BERDASARKAN NILAI KEADILAN

Anis Widiyanti
Email: anis.widiyanti00@yahoo.com

Abstract
The Impact of globalization facility access of foreign cultures, including ease of access to
the means of pornography and pornographic, resulting in the absence of a strong handle on
life, causing rape behavior. Rape itself is usually synonymous with women as victims and men
as perpetrators. In fact, men can be victims of rape and women are able to become actors.
Positive criminal law that applies in Indonesia contains the definition of rape is too shallow. In
the legislation in Indonesia implements rape sex offenders must be a male and a female rape
must be victim. This of course is loaded with elements of discrimination because it does not
include the various forms of rape that occurred in the community. The protection of victims of
crime of rape cannot be separated from the consequences experienced by the victim after
the rape that happened. Victims not only suffered financial losses and social losses, but also
suffered physical and psychological suffering that needs to be formulated on the formulation of
criminal law reform regarding criminal offenses of rape based on the value of justice.
Keywords: Policy Formulation, Rape, the value of justice

Abstrak
Pengaruh globalisasi mempermudah mengakses budaya luar termasuk kemudahan
mengakses sarana pornografi dan pornoaksi, berakibat tidak adanya pegangan hidup yang
kuat sehingga menyebabkan perilaku perkosaan. Perkosaan itu sendiri biasanya identik
dengan perempuan sebagai korban dan laki-laki sebagai pelaku. Pada kenyataannya laki-laki
dapat menjadi korban perkosaan dan perempuan pun mampu menjadi pelaku. Hukum pidana
positif yang berlaku di Indonesia memuat definisi mengenai perkosaan terlalu dangkal. Didalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia mengimplementasikan jenis kelamin pelaku
perkosaan haruslah seorang laki-laki dan korban perkosaan haruslah seorang perempuan.
Hal ini tentu saja sarat dengan unsur diskriminasi karena tidak mencakup beragam bentuk
perkosaan yang terjadi di masyarakat. Perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan
tidak lepas dari akibat yang dialami korban setelah perkosaan yang dialaminya. Korban
tidak saja mengalami kerugian secara finansial dan kerugian sosial,tetapi juga mengalami
penderitaan secara fisik maupun penderitaan secara psikis sehingga perlu dirumuskan
tentang formulasi tentang pembaharuan hukum pidana mengenai tindak pidana perkosaan
berdasarkan nilai keadilan.
Kata kunci : Kebijakan Formulasi, Perkosaan, nilai keadilan

A. PENDAHULUAN wanita.1 Dalam perkembangan kehidupannya


Tuhan menciptakan laki-laki dan wanita pada mereka mempunyai keinginan yang sama yaitu
dasarnya, keduanya diciptakan dengan memiliki ingin hidup dalam kondisi damai, bahagia dalam
perbedaan masing-masing. Salah satu perbedaan kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, rasa
yang mendasar adalah perbedaan secara kodrati 1 Yesmil Anwar dan Adang, 2010, Kriminologi, Refika Aditama,
bahwa laki-laki lebih kuat dibandingkan dengan Bandung, hlm.318.

Jurnal Pembaharuan Hukum Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Male Rape
Volume I No.1 Januari –April 2014 dalam Pembaharuan Hukum Pidana Berdasarkan Nilai Keadilan 99
Anis Widiyanti
aman serta dapat memenuhi kepentingan- “Barangsiapa dengan kekerasan atau
kepentingannya dalam keserasian. ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
Berbagai masalah sosial yang berkembang bersetubuh dengan dia di luar perkawinan,
dalam kehidupan bermasyarakat membuktikan diancam karena melakukan perkosaan dengan
bahwa kehidupan manusia mengalami pidana penjara paling lama dua belas tahun“.
permasalahan yang semakin kompleks yang Berdasarkan Pasal 285 KUHP tersebut, dapat
menyebabkan penyimpangan tingkah laku. ditarik kesimpulan bahwa, korban perkosaan
Berbagai wujud penyimpangan tingkah laku harus seorang wanita, tanpa batas umur dan
tersebut antara lain; pembunuhan, pencurian, korban harus mengalami kekerasan atau
perkosaan, pencabulan dan perilaku menyimpang ancaman kekerasan. Hal ini berarti tidak ada
lainnya. persetujuan dari pihak korban mengenai perbuatan
Perbuatan menyimpang dewasa ini, banyak pelaku. Persetubuhan di luar perkawinan adalah
mengarah kepada kemerosotan moral, misalnya tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan
tindakan yang melanggar kesusilaan. Pengertian kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap
dan batas-batas kesusilaan cukup luas dan dapat wanita tersebut.
berbeda-beda menurut pandangan dan nilai- Rumusan RUU KUHP Tahun 2010 Bagian
nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Karena Kelima Perkosaan dan Perbuatan Cabul Paragraf
berbeda-beda, maka diperlukan kesepakatan 1 Perkosaan, Pasal 490 menyatakan secara
dalam mengambil kebijakan tehnik perundang- tegas bahwa sebagai korban perkosaan haruslah
undangan dalam menentukan materi atau wanita dan sebagai pelaku adalah laki-laki. Pasal
substansinya. 490 Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-
Melihat fenomena yang kerap terjadi di tengah Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Paragraf
masyarakat sehubungan dengan beraneka 1 tentang Perkosaan sebagai berikut:2
modus kejahatan seksual yang belum sempat (1) Dipidana karena melakukan tindak pidana
ditafsirkan dan dirumuskan oleh para ahli, definisi perkosaan, dengan pidana penjara paling
perkosaan saat ini belum mengakomodasi adanya singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
perbuatan kekerasan seksual lainnya termasuk 12 (dua belas) tahun:
adanya pembatasan jenis kelamin baik pelaku a. Laki-laki yang melakukan persetu-
maupun korban perkosaan. buhan dengan perempuan diluar
Bentuk pengakuan korban atau pelaku perkawinan, bertentangan dengan
perkosaan hanya dari satu jenis kelamin kehendak perempuan tersebut;
tertentu menurut Pasal 285 KUHP berdampak b. Laki-laki yang melakukan persetu-
pada pengabaian korban perkosaan dari jenis buhan dengan perempuan di luar
kelamin yang lain. Beragam jenis kekerasan perkawinan, tanpa persetujuan per-
seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia, empuan tersebut;
atau pengakuan pada tindak kekerasan seksual c. Laki-laki yang melakukan persetu-
tersebut masih belum utuh. buhan dengan perempuan, dengan
Masyarakat Indonesia yang patriarkhi persetujuan perempuan tersebut, tetapi
ditunjang dengan kurangnya kesadaran sebagian persetujuan tersebut dicapai melalui
besar masyarakat, aparat penegak hukum dan ancaman untuk dibunuh atau dilukai;
oleh para profesional, berkontribusi terhadap d. Laki-laki yang melakukan persetubu-
kurangnya layanan dan tanggapan yang sesuai, han dengan perempuan, dengan per-
yang sering menimbulkan diskriminasi dan setujuan perempuan tersebut karena
pembungkaman terhadap korban, hal inilah perempuan tersebut percaya bahwa
yang menyebabkan ketiadaan laporan tentang laki-laki tersebut adalah suaminya
male rape selama ini. yang sah;
Rumusan tindak pidana perkosaan
2 RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2010, Direktorat
sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP Jenderal Peraturan Perundang- undangan, Departemen Hu-
adalah sebagai berikut: kum dan Hak Asasi Manusia,hlm.121.

Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Male Rape Jurnal Pembaharuan Hukum
100 dalam Pembaharuan Hukum Pidana Berdasarkan Nilai Keadilan Volume I No.1 Januari –April 2014
Anis Widiyanti
e. Laki-laki yang melakukan perse- mana kepentingan korban yang menderita dan
tubuhan dengan perempuan yang dirugikan mendapatkan perlindungan hukum.
berusia di bawah 14 (empat belas) Berdasarkan uraian diatas, maka penulis
tahun, dengan persetujuannya; atau merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
f. laki-laki yang melakukan persetu- 1. Bagaimanakah kebijakan formulasi hukum
buhan dengan perempuan, padahal pidana perkosaan terhadap male rape
diketahui bahwa perempuan tersebut yang berdasarkan nilai keadilan dalam
dalam keadaan pingsan atau tidak Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
berdaya. di Indonesia?
(2) Dianggap juga melakukan tindak 2. BagaimanaPerlindungan Negara Sebagai
pidana perkosaan, jika dalam keadaan Negara Hukum Terhadap Male Rape
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) : ditinjau dari Sudut Pandang Keadilan?
a. laki-laki memasukkan alat kelaminnya
ke dalam anus atau mulut perempuan; B. Pembahasan
atau 1. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana
b. laki-laki memasukkan suatu benda Perkosaan Terhadap Male Rape Yang
yang bukan merupakan bagian Berdasarkan Nilai Keadilan Dalam
tubuhnya ke dalam vagina atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
anus perempuan.; di Indonesia
Sementara itu di dalam kamus besar Bahasa Perkosaan didefinisikan findings
Indonesia dikatakan bahwa kata “perkosaan” from the British Crime Survey sebagai
berasal dari kata dasar “perkosa” yang berarti, “dipaksa untuk melakukan hubungan
gagah, kuat, paksa, kekerasan, Memperkosa seksual (penetrasi vagina atau anal)”.
berarti menundukkan dan sebagainya dengan Hal ini tidak sepenuhnya identik dengan
kekerasan, menggagahi, memaksa dengan definisi hukum, yang mengatur penetrasi
kekerasan.3 harus “penis”. Ada kemungkinan bahwa
Rumusan Pasal 285 KUHP dan Pasal 490 responden termasuk korban penetrasi
RUU KUHP, bahwa pelaku/korban perkosaan digital, atau penetrasi oleh obyek. Istilah
digambarkan sebagai sesuatu yang hanya dialami ini digunakan merujuk pada insiden yang
oleh jenis kelamin tertentu, hal ini berbeda dengan dilaporkan survei yang tidak sesuai
definisi dari kamus besar bahasa Indonesia, dengan kriteria perkosaan. Meskipun
perkosaan diartikan sebagai sesuatu yang lebih hal ini dapat mencakup berbagai insiden,
universal, tidak terdapat spesifikasi gender baik termasuk kata memaksa, yang berarti
pelaku maupun korban, disadari atau tidak, ini serangan.4
merupakan pelanggaran terhadap “Asas Non- Pada konteks perkosaan laki-laki,
diskriminasi” yang menjadi salah satu jiwa dalam kita menyadari bahwa masyarakat
penerapan Hak Asasi Manusia. Indonesia yang patriarkhi, konsep
Pembaharuan hukum pidana baik formil perkosaan terhadap laki-laki masih
dan materiil khususnya yang mengatur tentang belum diterima dan dipahami, sebagian
perkosaan perlu perubahan definisi yang bersifat besar masyarakat menganggap bahwa
gender free. Sehingga perkosaan terhadap laki- perkosaan terhadap laki-laki hanya terjadi
laki (male rape) dipandang sebagai kejahatan di dalam area penjara yang dilakukan
kekerasan yang sama seperti perkosaan terhadap oleh para narapidana atau pada penderita
perempuan. Karena perkosaan dan kekerasan homoseksual, kebanyakan masyarakat
seksual tidak tentang seks atau hubungan berpendapat bahwa perkosaan yang
seksual, melainkan kejahatan serius tentang dialami korban adalah akibat dari
kekuasaan, kontrol, penghinaan dan dominasi. Di
4 Andy Myhill and Jonathan Allen, 2002, Rape and sexual
3 Suharso dan Ana Retnoningsih, 2012, Kamus Besar Bahasa assault of women: findings from the British Crime Survey,
Indonesia, Widya Karya, Semarang,hlm. 375. TABS , London, hlm.2.

Jurnal Pembaharuan Hukum Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Male Rape
Volume I No.1 Januari –April 2014 dalam Pembaharuan Hukum Pidana Berdasarkan Nilai Keadilan 101
Anis Widiyanti
kesalahan atau kelakuan mereka sendiri, Oleh pembentuk Undang-Undang
sehingga konsep HAM bagi korban guna memenuhi kebutuhan masyarakat
perkosaanpun terabaikan, sementara sebagai implikasi dari perkembangan
secara jelas bahwa perkosaan sekalipun zaman, maka memandang perlu
yang menjadi korban adalah laki-laki atau membentuk KUHP Nasional. Dalam
narapidana atau penderita homoseksual Rancangan Undang-Undang Kitab
tetap saja melanggar HAM dan ketentuan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU
konstitusional serta sudah sepantasnya KUHP) Tahun 2010, Tindak Pidana
pelaku tersebut dapat dipidana. Perkosaan telah diuraikan mencakup
Richie J. McMullen dalam bukunya pengertian perkosaan dan pengertian
Male Rape: Breaking the Silence on persetubuhan. Untuk memahaminya
the Last Taboo, McMullen merangkum tindak pidana perkosaan dirumuskan
keadaan kontemporer menyangkut pada Bagian Kelima Perkosaan dan
urusan kekerasan seksual male-on-male, Perbuatan Cabul Paragraf 1 tentang
dengan cara menunjukkan bagaimana Perkosaan dan Paragraf II sebagai
keengganan korban dan kelalaian institusi berikut:
menggabungkan atau menghilangkan Pasal 4906
korban laki-laki dari pertimbangan. 1) Dipidana karena melakukan tindak
McMullen menyatakan5 dalam budaya pidana perkosaan, dengan pidana
yang didominasi laki-laki, laki-laki tidak mau penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
menerima bahwa mereka dapat menjadi dan paling lama 12 (dua belas) tahun:
korban pemerkosaan. Oleh karenanya : a. laki-laki yang melakukan perse-
1. Sangat sedikit perkosaan laki-laki tubuhan dengan perempuan di
dilaporkan. luar perkawinan, bertentangan
2. Hal ini tidak secara terbuka, berbicara dengan kehendak perempuan
tentang hal tersebut menjadi hal yang tersebut;
tabu. b. laki-laki yang melakukan perse-
3. Ada sedikit pemahaman umum tubuhan dengan perempuan di
tentang hal itu. luar perkawinan, tanpa perse-
4. Hal ini tidak diakui dalam hukum. tujuan perempuan tersebut;
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana c. laki-laki yang melakukan per-
sebagai hukum positif yang berlaku di setubuhan dengan perempuan,
Indonesia, kita ketahui bersama sebagai dengan persetujuan perempuan
warisan Pemerintah Kolonial Belanda. tersebut, tetapi persetujuan ter-
Ketidaksesuaian dalam banyak hal sebut dicapai melalui ancaman
terutama banyak Pasal-Pasal yang untuk dibunuh atau dilukai;
menurut penulis masih berlaku namun d. laki-laki yang melakukan per-
tidak laku menghadapi eksistensi dan setubuhan dengan perempuan,
perkembangan bangsa Indonesia. Bila dengan persetujuan perempuan
dilihat dari segi yuridis, sebagai hukum tersebut karena perempuan ter-
positif Kitab Undang-Undang Hukum sebut percaya bahwa laki-laki
Pidana masih berlaku. Sedangkan bila tersebut adalah suaminya yang
ditinjau secara empiris dalam aplikasi sah;
di masyarakat, aturan-aturan yang e. laki-laki yang melakukan perse-
terkandung di dalamnya sudah tidak laku tubuhan dengan perempuan yang
atau aturan-aturan tersebut sudah mati. berusia di bawah 14 (empat belas)
5 Dalam Augusta DelZotto dan Adam Jones, Male-on-Male
tahun, dengan persetujuannya;
Sexual Violence in Wartime:Human Rights› Last Taboo?,Paper atau
presented to the Annual Convention of the International Studies
Association (ISA),New Orleans, LA, 23-27 March 2002. 6 RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2010, hlm.121.

Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Male Rape Jurnal Pembaharuan Hukum
102 dalam Pembaharuan Hukum Pidana Berdasarkan Nilai Keadilan Volume I No.1 Januari –April 2014
Anis Widiyanti
f. laki-laki yang melakukan per- Aspek substansi, struktur dan
setubuhan dengan perempuan, budaya hukum merupakan tiga aspek
padahal diketahui bahwa perem- hukum yang harus diperhatikan dalam
puan tersebut dalam keadaan memahami hambatan yang dihadapi
pingsan atau tidak berdaya. korban. Di tingkat substansi, sekalipun ada
2) Dianggap juga melakukan tindak penegasan pada hak atas perlindungan
pidana perkosaan, jika dalam keadaan dari kekerasan dan diskriminasi, namun
sebagaimana dimaksud pada ayat laki-laki korban perkosaan belum diakui
(1) : sehingga penegasan tersebut sebenarnya
a. laki-laki memasukkan alat sarat dengan diskriminasi, beragam jenis
kelaminnya ke dalam anus atau kekerasan seksual belum dikenali oleh
mulut perempuan; atau hukum Indonesia, ataupun pengakuan
b. laki-laki memasukkan suatu benda pada tindak kekerasan seksual tersebut
yang bukan merupakan bagian masih belum utuh. Konteks tindak pidana
tubuhnya ke dalam vagina atau perkosaan, dalam hukum Indonesia
anus perempuan.” hanya mengakomodir tindak pemaksaan
Berdasarkan rumusan di atas, hubungan seksual yang berbentuk
Kebijakan Formulasi Hukum Pidana penetrasi penis ke vagina dan dengan
Perkosaan Terhadap Male Rape bukti-bukti kekerasan fisik akibat penetrasi
berdasarkan RUU KUHP tahun 2012 tersebut. Padahal, ada banyak keragaman
mendeskripsikan perkosaan masih pengalaman korban akan perkosaan,
dirasakan terlalu dangkal, perkosaan sehingga korban tidak dapat menuntut
masih dianggap sebagai tindak pidana keadilan dengan menggunakan hukum
kesusilaan, artinya, perkosaan tidak yang hanya memiliki definisi sempit dan
dipandang sebagai kejahatan seksual usang atas tindak perkosaan tersebut.
yang mengancam nyawa, sebagaimana Di tingkat struktur, lembaga penegak
terjadi dalam realitasnya. Terkait dengan hukum baru membuat unit dan prosedur
kekerasan, pengertiannya masih terfokus khusus untuk menangani kasus kekerasan
pada definisi kekerasan fisik. Kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak,
dalam arti ekonomi dan psikologis tidak khususnya kekerasan seksual. Sedangkan
disentuh sama sekali. untuk korban laki-laki dewasa unit dan
Definisi perkosaan menurut RUU prosedur belum tersedia di semua tingkat
tersebut di atas semakin mempertajam penyelenggaraan hukum.
eksistensi jenis kelamin pelaku perkosaan Di tingkat kultur atau budaya hukum,
haruslah seorang laki-laki dan korban masyarakat Indonesia yang cenderung
perkosaan haruslah seorang perempuan. patriarkhi, konsep perkosaan terhadap
Hal ini tentu saja sarat dengan unsur laki-laki masih belum dipahami, sebagian
diskriminasi karena tidak mencakup besar masyarakat maupun penegak hukum
beragam bentuk perkosaan yang terjadi menganggap bahwa perkosaan terhadap
di masyarakat. Deskripsi perkosaan laki-laki hanya terjadi di dalam penjara
dan percabulan pun tidak dijelaskan yang dilakukan oleh napi-napi atau pada
batasannya. Apa saja parameter yang penderita homoseksual, kebanyakan
digunakan untuk menentukan suatu masyarakat berpendapat bahwa perkosaan
tindak pidana merupakan perkosaan yang dialami korban adalah akibat dari
atau pelecehan seksual atau percabulan kesalahan atau kelakuan mereka sendiri,
tidak jelas dan tumpang tindih. Orientasi akibat cara pandang yang keliru tersebut,
objek pengaturan dalam RUU lebih penyelenggara hukum tidak menunjukkan
ditujukan kepada hal-hal yang tidak empati pada korban, bahkan cenderung
substansial. ikut menyalahkan korban.

Jurnal Pembaharuan Hukum Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Male Rape
Volume I No.1 Januari –April 2014 dalam Pembaharuan Hukum Pidana Berdasarkan Nilai Keadilan 103
Anis Widiyanti
Masalah kejahatan dalam hal ini peraturan hukum antara lain Peraturan
menyakut tindak pidana perkosaan tidak Perundang-undangan. 7
harus diatur dalam suatu kodifikasi hukum Ada keterkaitan erat antara kebijakan
seperti KUHP atau KUHAP karena tidak formulasi/legislasi dengan penegakan
sesuai dengan tuntutan yang ada. Pada era hukum dan pemberantasan kejahatan,
modernisasi dimana konsep kesetaraan namun secara konseptual/teoretis dan dari
gender selalu diperdebatkan dalam sudut realitas, kebijakan penanggulangan
masyarakat yang patriarkhi , kebutuhan kejahatan tidak dapat dilakukan semata-
akan adanya peraturan-peraturan khusus mata hanya dengan memperbaiki/
yang bisa menjangkau permasalahan memperbarui sarana undang-undang
di lapangan semakin mendesak untuk Sebagai Negara hukum Indonesia
segera diakomodir. Masalah perkosaan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
yang bersifat netral gender atau gender Undang Dasar 1945 mengambil konsep
free perlu diatur secara khusus dalam prismatik atau integratif dari dua konsep
sebuah Undang-Undang, mengingat negara hukum yaitu Rechtsstaat dan
konteks permasalahannya yang juga The Rule of Law. Konsep prismatik
spesifik. mengintegrasikan konsepsi negara
KUHP dan KUHAP sejauh ini terbukti hukum “Rechtsstaat” yang menekankan
tidak mampu memberi perlindungan pada civil law dan kepastian hukum serta
bagi male rape. Karena kedua aturan konsepsi negara hukum “the Rule of
tersebut masih sangat umum, tidak Law” yang menekankan pada common
mempertimbangkan kesulitan-kesulitan law dan rasa keadilan. 8
korban untuk mengakses perlindungan Konsepsi di atas memadukan unsur-
hukum, terutama karena jenis kelaminnya. unsur nilai kebaikan dari berbagai unsur-
KUHP maupun KUHAP  terlalu dominan unsur nilai yang saling bertentangan,
dalam mempertimbangkan konteks tercermin dalam konsepsi Negara
budaya patriarkhi dan feodal dalam Pancasila diantaranya adalah, setiap
perbedaan kelas/status sosial yang individu memiliki hak dan kewajiban
membuat adanya ketimpangan dalam yang bersifat asasi sebagai mahkluk
hubungan sosial. Tuhan dan mahkluk sosial, Pancasila
memadukan unsur nilai kebaikan dari
2. Perlindungan Negara Sebagai Negara paham individualisme dengan paham
Hukum Terhadap Male Rape ditinjau kolektivisme. Pancasila menerima hukum
dari Sudut Pandang Keadilan. sebagai alat pembaruan masyarakat
Negara berdasarkan hukum sekaligus mencerminkan rasa keadilan
ditandai oleh beberapa asas, antara yang hidup di masyarakat. Negara
lain asas bahwa semua perbuatan atau Pancasila melindungi semua pemeluk
tindakan pemerintahan atau negara agama tanpa diskriminasi, karena
harus didasarkan pada ketentuan pancasila menganut paham religious
hukum tertentu yang sudah ada nation state.
sebelum perbuatan atau tindakan itu Nilai keadilan dalam berhukum
dilakukan. Campur tangan atas hak dan tidaklah bertentangan dengan tujuan
kebebasan seseorang atau kelompok hukum secara universal sebagaimana
masyarakat hanya dapat dilakukan yang dikemukakan oleh Paul Scholten
berdasarkan aturan-aturan hukum 7 Kusnu Goesniadhie, Perkembangan Konsep Negara Hukum,
Jurnal Reformasi Hukum, ISSN: 1829-5304, Vol.10 No.1
tertentu. Asas ini lazim disebut asas April 2009: 1-18, Http://Kgsc.Wordpress. Com/2009/07/11/
legalitas (legaliteits beginsel). Untuk Perkembangan-Konsep-Negara-Hukum/ Di Akses Tanggal
memungkinkan kepastian perwujudan 2 Juni 2013 Pukul 20.00 WIB.
8 Moh. Mahfud M.D., 2006, Membangun Politik Hukum,
asas legalitas ini, harus dibuat berbagai Menegakkan Konstitusi, LP3ES Indonesia, Jakarta, hlm.26.

Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Male Rape Jurnal Pembaharuan Hukum
104 dalam Pembaharuan Hukum Pidana Berdasarkan Nilai Keadilan Volume I No.1 Januari –April 2014
Anis Widiyanti
bahwa ilmu hukum adalah ilmu tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
keadilan. Keadilan inilah yang pada dan Rancangan Undang-Undang
hakekatnya harus diciptakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
bermasyarakat. Selain tidak bertentangan tidak adil dapat dilihat dari tiga aspek
dengan tujuan universal pengutamaan yaitu Aspek Substansi Hukum, Aspek
keadilan dalam berhukum juga tidak Struktur Hukum, Aspek Kultur atau
bertentangan dengan pedoman hidup Budaya Hukum.
bangsa Indonesia yakni Pancasila karena 2. Perlindungan terhadap korban
keadilan adalah salah satu sila yang ada perkosaan (termasuk male rape)
dalam Pancasila. Keadilan Pancasila adalah bentuk pemenuhan rasa
berarti keadilan berke-Tuhanan, keadilan keadilan sebagai warga negara,
berkemanusiaan, keadilan nasionalistik, sebagaimana tertuang dalam
demokratik, dan berkeadilan sosial. Pancasila sila kelima yang berbunyi,
Perlindungan terhadap korban “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
perkosaan (termasuk male rape) adalah Indonesia”.
bentuk pemenuhan rasa keadilan 2. Saran
sebagai warga negara, sebagaimana Peraturan perundangan tentang tindak
tertuang dalam Pancasila sila kelima pidana perkosaan perlu direvisi lebih
yang berbunyi, “Keadilan sosial bagi cermat mengenai rumusan perkosaan
seluruh rakyat Indonesia”. yang bersifat netral gender perlu
Perlindungan terhadap korban diatur secara khusus dalam sebuah
tindak pidana perkosaan tidak lepas Undang-Undang Anti Perkosaan,
dari akibat yang dialami korban setelah mengingat konteks permasalahannya
perkosaan yang dialaminya. Korban yang sangat serius dan spesifik
tidak saja mengalami kerugian secara mencakup perlindungan korban
finansial dan kerugian sosial, tetapi juga yang harus secara cepat dan tepat
mengalami penderitaan secara fisik ditangani, maka diperlukan “Rape
maupun penderitaan secara psikis. Victim Assistance and Protection”,
yang berperan menyediakan bantuan
C. Penutup dan perlindungan yang profesional
1. Kesimpulan bagi korban perkosaan serta adanya
1. Kebijakan formulasi hukum pidana crisis center bagi semua jenis korban
perkosaan terhadap male rape dalam perkosaan

DAFTAR PUSTAKA

● Buku-Buku
Anis Ibrahim, 2008, Legislasi dalam Perspektif Demokrasi: Analisis Interaksi Politik dan
Hukum dalam Proses Pembentukan Peraturan Daerah di Jawa Timur, Program
Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang.
Arif Gosita, 2004, Masalah Korban Kejahatan–Edisi ke-3, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
Made Darma Weda, 1996, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Yesmil Anwar & Adang, 2008, Pembaruan Hukum Pidana – Reformasi Hukum, Grasindo,
Jakarta.

9 Satjipto Rahardjo, 1982, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hal. 139

Jurnal Pembaharuan Hukum Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Male Rape
Volume I No.1 Januari –April 2014 dalam Pembaharuan Hukum Pidana Berdasarkan Nilai Keadilan 105
Anis Widiyanti
● Jurnal / Artikel / Ensiklopedia / Kamus Bahasa
Kusnu Goesniadhie S, Perkembangan Konsep Negara Hukum, Jurnal Reformasi Hukum,
ISSN: 1829-5304, Vol.10 No.1 April 2009: 1-18, Http://Kgsc.Wordpress.Com/2009/07/11/
Perkembangan-Konsep-Negara-Hukum/ Di Akses Tanggal 2 Juni 2013 Pukul 20.00
WIB.
Muchamad Iksan, Dasar-dasar kebijakan hukum pidana berperspektif pancasila, http://
hukum.ums.ac.id, di akses 4 maret 2013, 11.00 WIB.

● Peraturan Perundang-undangan
RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-
undangan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2012.(RUU KUHAP)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang : Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Male Rape Jurnal Pembaharuan Hukum
106 dalam Pembaharuan Hukum Pidana Berdasarkan Nilai Keadilan Volume I No.1 Januari –April 2014
Anis Widiyanti

You might also like