You are on page 1of 16

METODE IJTIHAD

WELLA ARISTA PUTRI

DOSEN PEMBIMBING: ANTON AKBAR

EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

IMAM BONJOL PADANG

E-MAIL: Lhaarista@gmail.com

Abstrak:

Ijtihad merupakan langkah yang dilakukan oleh para sahabat Nabi untuk menemukan
suatu jalan keluar yang tidak terdapat penjelasannya dalam Al-quran maupun Sunnah Nabi. Pada
saat Rasulullah hidup para sahabat selalu datang kepada Rasulullah untuk bertanya mengenai
masalah yang dihadapinya dan Rasulullah pun menjawabnya dan menjelaskannya kepada
sahabat. Setelah para sahabat tersebut mengetahui maksudnya, barulah para sahabat tersebut
menjelaskan kepada masyarakat. Namun, setelah Rasulullah wafat, para sahabat pun kocar kacir
daalam menyelesaikan suatu permasalahan tersebut, sehingga banyaklah muncul perbedaan
pendapat para sahabat dikala itu, untuk menyatukannya agar tidak terjadi penyimpangan maka
para sahabat membuat suatu keputusan bahwa ijtihad itu tidak boleh bertentangan dengan Nash.
Karena banyaknya perbedaan pendapat maka para sahabat menggunakan beberapa metode dalam
ijtihad yaitu istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, istishab, syar’u man qablana, sad al-zari’ah, dan
qaul sahabi.
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Perkembangan hukum dalam prosesnya ada yang namanya periode nabi, periode sahabat,
periode tabi’in dan periode tabi’ tabi’in. Seperti yang kita ketahui bahwa pada zaman nabi cara
menyelsesaikan suatu masalah pada kasus-kasus hukum itu diselesaikan oleh nabi itu sendiri
melalui wahyu dari allah. Dalam kasus lain, ketika nabi menghadapi berbagai macam persoalan
umat yang muncul pada saat itu, dimana nabi pada saat itu tidak mendapatkan wahyu dari allah
sedangkan persoalan tersebut harus segera diselesaikan, maka ketika itulah nabi
menyelesaikannya dengan jalan berijtihad. Ijtihad yang dilakukan nabi, kemudian dilanjutkan
kepada generasi-generasi selanjutnya melalui sunnah atau cara nabi.

Ketika nabi wafat, persoalan atau masalah-masalah umat tidaklah berhehnti tetapi terus
berkembang sehingga muncul lah ijtihad baik dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in dan
generasi seterusnya sampai kepda ulama-ulama akhir zaman yang disebut dengan ulama
kontemporer. Karena itu, ijtihad merupakan solusi yang aling efektif dan baik untuk
menyelesaikan permasalahan umat.

Sehingga untuk itulah tulisan ini dibuat supaya lebih mengetahui apa itu ijtihad
sebenarnya dan apa saja metode yang terlibat dalam ijtihad.

1.2 Uraian Permasalahan


a. Untuk mengetahui apa itu ijtihad
b. Apa saja metode yang digunakan dalam berijtihad
c. Contoh dari masing-masing metode ijtihad

1.3 Tujuan

Tujuan dilakukannya penulisan ini untuk mencari jawaban dari pertanyaan tentang
ijtihad.

2. PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad

Ijtihad secara etimologi berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisik
maupun fikiran. Sedangkan Abu zahrah mengemukakan ijtihad itu adalah mencurahkan seluruh
kemampuan secara maksimal, baik untuk meng-istinbat-kan hukum syara’ maupun dalam
penerapannya.1

Kata ijtihad berasal dari kata al-jahdu, berarti mengerahkan segala kemampuan untuk
memperoleh sesuatu yang diinginkan. Menurut Al-farra, kata al-juhdu berarti kemampuan dan
kata al-jahdu berarti kesulitan. Dalam pengertian yang umum, ijtihad adalah megerahkan segala
kemampuan dan energy sampai dalam batas maksimal dalam memahami suatu persoalan.2

Adapun pengertian ijtihad secara istilah seperti yang diungkapkan oleh al-ghazali3:

“ijtihad pengerahan segala kemampuan oleh seorang mujtahid dalam mendapatkan ilmu
tentang hukum syara’ “.

Jadi, ijtihad itu adalah suatu usaha yang dilakukan dengan seluruh kekuatan dan fikiran untuk
menetapkan suatu hukum dalam suatu permasalahan yang di dalam permasalahan itu terdapat
unsur kesulitan dalam mencari solusinya.

Ijtihad dapat dikelompokkan menjadi 2, pertama ijtihad istinbathi yaitu ijtihad yang
dilakukan para ulama khusus untuk mengistinbatkan hukum dari dalil. Ijtihad bentuk ini hanya
mampu dilakukan orang-orang tertentu yang dalam Ushul Fiqh disebut dengan mujtahid 4.
Menurut kalangan Hanabilah tidak boleh satu masa pun yang kosong dari kegiatan ijtihad karena
senantiasa banyak masalah-masalah baru yang muncul untuk segera dijawab. 5 Kedua ijtihad
tathbiqi yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menerapkan hukum islam. Ijtihad bentuk ini
disepakati ulama akan selalu ada dan tidak akan terputus sepanjang masa selama umat islam
melaksanakan ajaran agama mereka. Umat Islam yang melakukan ijtihad ini berperan untuk
menerapkan hukum islam termasuk terhadap hasil ijtihad ulama terdahulu.6

Jadi, maksud dari ungkapan diatas berarti pertama, yaitu ijtihad istinbathi ini hanya bisa
dilakukan oleh para pakar nya saja dan pada masa ini terjadi vakum waktu dari ijtihad seperti
apabila hasil-hasil ijtihad ulama terdahulu masih dianggap berlaku atau cukup untuk menjawab
masalah-masalah baru yang muncul tersebut. Kedua, berarti ijtihad ini akan selalu ada sepanjang
masa dan tidak akan pernah hilang dimakan zaman.

B. Metode Ijtihad

1
Abu Zahrah, ushul fiqh, mesir
2
Jalaluddin Abd al-Rahman Jalal, al-ijtihad Dhowabituhu wa ahkamuhu. Hal. 10
3
Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa fi ilmi al- Ushul(Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1983), jilid I
4
Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Syatibi. Cet. Ke-1, jilid 5, hal.11
5
Ibid. hal. 11
6
Ibid. hal. 11
1. Istishan

Dari segi bahasa, istishan berarti menganggap sesuatu baik, yang terambil dari kata al-husnu
(baik). Sedangkan istishan menurut istilah Ushul Fiqh seperti yang dikemukakan oleh Wahbah
az-Zuhaili yaitu memakai qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jalli karena ada petunjuk untuk
itu.7

Namun, disini dapat pula kita bandingkan pengertian istishan dengan pendapat lain, yaitu
pendapat al- Sarakhsi ia mengatakan bahwa istishan itu secara bahasa adalah berusaha untuk
mendapatkan yang terbaik untuk diikuti bagi sesuatu masalah yang diperhitungkan untuk
dilaksanakan. Sedangkan istishan secara istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu Hasan
al Karkhi yang dikutip dari Muastafa Ahmad Zarqa ialah perpindahan mujtahid dalam suatu
masalah dari hukum yang serupa dengannya kepada hukum lain karena ada alasan yang lebih
kuat menghendaki perpindahan itu atau disebut juga istishan qiyasi.8

Maksudnya dari pendapat yang dikemukakan oleh para ahli Ushul Fiqh itu adalah istishan
qiyasi ini terjadi pada kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari 2 bentuk qiyas,
yaitu qiyas khafi dan qiyas jalli. Jika dilihat dari segi keillatan-nya maka qiyas jalli lebih pantas
didahulukan dari pada qiyas khafi. Tetapi Imam Hanafi mengatakan bahwa apabila seorang
mujtahid memandang jika qiyas khafi yang lebih besar kemaslahatannya maka ia boleh
meninggalkan qiyas jalli. Itulah yang disebut dengan istishan qiyasi.

Macam-macam istishan:

1. Istishan bi al-nash, diterapkan apabila ada nash tentang suatu hukum yang berbeda
dengan ketentuan umum. Misalnya secara kaidah umum batal puasa orang yang terlupa
makan dan minum di siang hari pada bulan ramadhan. Hukum ini dikecualikan hadis
Nabi untuk orang yang lupa akan hal itu maka tidak batal puasanya.
2. Istishan bi al-ijma’, muncul ketika dalam kondisi tertentu maka tidak dipakai kaidah
umum lagi demi menghindari manusia dari kesuliatan. Misalnya, penggunaan pemandian
umum yang membayar dengan harga tertentu, tanpa dijelaskan lama waktu mandi dan air
yang dipakai. Secara kaidah umum ini tidak dibenarkan, dan para ulama sepakat
membolehkan demi menghindari kesulitan manusia.
3. Istishan bi al-maslahah, diterapkan dalam kasus memperlihatkan aurat kepada laki-laki
yang bukan mahram. Menurut ketentuan umum, perbuatan yang demikian dilarang.
Namun, dalam kondisi tertentu, wanita boleh memperlihatkan aurat kepada bukan
mahram nya, dengan tanda kutip bahwa ia adalah seorang dokter misalnya untuk
kepentingan pemeriksaan kesehatan yang harus dilakukan tanpa ia menutup auratnya.9
7
Wahbah al-Zuhaili, al-Wasit fi Ushul Fiqh
8
Wahbah, Ushul Fiqh, juz 2, hlm. 734-746, Zaidan, Ushul Fiqh, hlm. 232-235, Zahrah, Ushul Fiqh.
9
Wahbah, Ushul Fiqh, Juz 2, hlm. 743-746, Zaidan, Ushul Fiqh,, hlm. 232-235, Zahrah, Ushul Fiqh, hlm.
267
4. Istishan yang sandarannya kepada darurat (istishan bi al-dharurah). Keadaan darurat
mendorong seorang mujtahid keluar dari kaidah umum atau qiyas. Misalnya, pada
dasrnya sumur yang kemasukan najis mengakibatkan air yang berada di dalamnya
bernajis. Begitu pula dengan air ynag dimasukkan ke dalam sumur atau air yang muncul
dari mata air sumur itu turut menjadi najis. Secara realitas, sumur tersebut sulit
dibersihkan dengan mengeluarkan air dalam sumur itu. Dalam kasus ini, para ulama
menggunakan istishan bi al-dharurah ini dengan menetapkan kesucian air dalam sumur
karena dalam keadaan darurat menuntut orang agar tidak mengalami kesulitan dalam
menggunakan air untuk ibadah dan keperluan hidup.10

2. al-Maslahah al-Mursalah

Kata Maslahah Mursalah terdiri dari kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata maslahah
menurut bahasa berarti “manfaat”, dan kata mursalah berarti “lepas”. Gabungan dua kata tersebut
yaitu maslahah mursalah menurut istilah, seperti yang dikemukakan oleh Abdul-Wahhab
Khallaf, berarti sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk
merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang
menolaknya, sehingga ia disebut Maslahah Mursalah (maslahah yang lepas dari dalil secara
khusus).

A. Macam-macam maslahah :
1. Al-Maslahah al-Mu’tabarah, ialah suatu kemaslahatan yang dijelaskan dan diakui
keberadaannya secara langsung oleh nash. Contohnya mengenai masalah Qishas dan
ganjaran bagi pencuri dan zina.
2. Al-Maslahah al-Mulghah, suatu kemaslahatan yang bertentangan dengan ketentuan nash.
Karenanya segala bentuk kemaslahatan seperti ini ditolak syara’. Menurut Abdul Wahhab
Khallaf, contohnya adalah seorang ulama mazhab Maliki di Spanyol yang bernama Laits
ibn Sa’ad dalam menetapkan kafarat orang yang melakukan hubungan suami istri pada
siang hari di bulan ramadhan. Berdasarkan hadis Nabi, kafarat orang yang demikian itu
adalah dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut atau memberi
makan 60 orang fakir miskin. Mengingat pelaku adalah orang kaya, apabila kaffarat nya
hanya memerdekan budak tentu dengan mudah ia dapat membayarnya karena
mempunyai banyak uang dan dengan mudah ia kembali melakukan pelanggaran tersebut.
Maka laits ibn sa’ad menetapkan kaffarat bagi si kaya ini puasa dua bulan berturut-turut.
3. Al-Maslahah al-Mursalah, Sa’id ramadhan al-buthi mendefenisikannya adalah setiap
manfaat yang termasuk dalam maqashid al-syar’i, baik ada nash yang mengakui atau
menolaknya. Maksudnya adalah kemaslahatan yang sejalan dengan apa yang terdapat

10
Ali Rabi’ah, ‘Abd al-Aziz bin ‘Abd Rahman bin Ali, Adillah Tasyri’ al Mukhtallaf fi Ihtijaj biha, cet. Ke-
1, hlm.170-171
dalam nash, tetapi tidak ada nash secara khusus yang memerintahkan dan melarang untuk
melakukannya.

B. Syarat Berhujjah dengan al-maslahah al-mursalah

Ulama yang menerima al-maslahah al-mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hukum
dengan menetapkan sejumlah syarat:11

a. Bahwa kemaslahatan tersebut bersifat hakiki bukan didasarkan pada praduga semata.
Tegasnya, maslahat itu dapat diterima secara logika keberadaannya. Sebab, tujuan
pensyariatan suatu hukum dalam islam bertujuan untuk mendatangkan manfaat atau
menghilangkan kemudharatan. Hal ini tidak akan terwujud apabila penetapan hukum
didasarkan pada kemaslahatan yang didasarkan praduga.
b. Kemaslahatan itu sejalan dengan maqashid syar’i dan tidak bertentangan dengan nash
atau dalil-dalil qath’i. Dengan kata lain, kemaslahatan tersebut sejalan dengan
kemaslahatan yang telah ditetapkan syar’i. Atas dasar ini, tidak diterima pendapat yang
menyamakan hak anak laki-laki dan anak perempuan dalam kewarisan meskipun
didasarkan atas alasan maslahat. Sebab, kemaslahatan seperti ini bertentangan dengan
nash qath’i dan ijma’ ulama
c. Kemaslahatan itu berlaku umum bagi orang banyak, bukan kemaslahatan bagi individu
tertentu saja. Ini mengingat bahwa syariat islam itu berlaku bagi semua manusia. Oleh
sebab itu, menetapkan hukum atas dasar maslahat bagi kalangan tertentu, seperti
penguasa, pemimpin dan keluarganya tidak sah dan tidak boleh karena bertentangan
dengan prinsip-prinsip islam yang berlaku bagi semua manusia.

3. ‘Urf

‘Urf secara bahasa berarti sesuatu yang telah dikenal dan dipandang baik serata dapat
diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminology, seperi yang dikemukakan oleh abdul-
karim zaidan ‘urf adalah sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi
kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan maupun perkataan.

Sebagian ahli tidak setuju menyamakan antara istilah adat dengan ‘urf. Dari sisi maknanya,
adat mengandung art perulangan. Karenanya, segala sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum
dinamakan adat. Namun, beberapa kali suatu perbuatan harus dilakukan baru disebut adat.
Sementara, yang dikatakan ‘urf tidak dilihat dari sisi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan,
tetapi lebih dilihat dari sisi bahwa perbuatan ini telah dikenal, diakui dan diterima orang
banyak.12
11
Wahbah, Ushuhl Fiqh, Jilid 2, hlm. 799-800, Khalaf, ilmu Ushul, hlm. 86-87
12
Amir, Ushul Fiqh, hlm. 363
Sementara ‘urf yang berbentuk perbuatan yaitu kebiasaan masyarakat melakukan berbagai
aktivitas jual beli, terutama di super market, baik dalam jumlah besar maupun kecil, tanpa
menyatakan ucapan ijab qabul secara jelas yang seharusnya diucapkan sebagaimana ditentukan
syariat. ‘Urf yang berbentuk perkataan dapat diamati dari kebiasaan masyarakat tidak
menggunakan kata daging pada iikan. Padahal ikan sendiri termasuk pada daging.

A. Bentuk-Berntuk ‘Urf

Dilihat dari sisi kesesuaiannya dengan nash, ‘urf dapat dibagi menjadi 2:13

1. ‘Urf Shahih, ialah suatu kebiasaan yang telah dikenal secara baik dalam masyarakat dan
kebiasaan itu sejalan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran islam serta kebiasaan
itu tidak tidak menghalalkan yang haram atau sebaliknya. Umpamanya kebiasaan
masyarakat dalam melakukan transaksi istisna’i.14
2. ‘Urf Fasid, ialah suatu kebiasaan yang telah berjalan dalam masyarakat, tetapi kebiasaan
itu bertentangan dengan ajaran islam atau menghalalkan yang haram atau sebaliknya,
seperti perbuatan-perbuatan mungkar yang telah menjadi tradisi pada sebagian
masyarakat. 15 ‘Urf seperti ini sering kali bertentangan dengan nash-nash yang qath’I,
sehingga harus ditolak dan tidak dapat diterima sebagai dalil untuk mengistinbathkan
hukum.

Abdul-Karim Zaidan juga membagi ‘Urf berupa perbuatan maupun perkataan kepada dalam
dua bentuk:16

1. ‘Urf ‘Am, ialah adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri di satu masa. Contohnya,
adat kebiasaan yang berlaku di beberapa negeri dalam memakai ungkapan “engkau telah
haram aku gauli” kepada istrinya, berarti itu ungkapan untuk mentalak istri nya tersebut.
2. ‘Urf Khas, ialah adat istiadat yang berlaku pada masyarakat atau negeri tertentu.
Misalnya, kebiasaan masyarakat Irak dalam menggunakan kata al-dabbah hanya kepada
kuda, dan menganggap catatan jual beli yang berada pada pihak penjual sebagai bukti
yang sah dalam masalah utang-piutang.

B. Kedudukan ‘Urf Sebagai Metode Istinbath Hukum

13
Zahrah, Ushul Fiqh, hlm. 273
14
Khallaf, Ushul Fiqh, hlm. 89
15
Ibid, hlm. 89
16
Zaidan, Ushul Fiqh.
Para ulama yang menerima ‘urf sebagai dalil dalam mengistinbathkan hukum, menetapkan
sejumlah persyaratan bagi ‘urf tersebut untuk dapat diterima. Syarat itu menurut Amir
Syarifuddin adalah:17

a. ‘Urf itu mengandung kemaslahatan dan logis


b. ‘Urf tersebut berlaku umum pada masyarakat yang terkait dengan lingkungan ‘urf, atau
minimal di kalangan sebagian besar masyarakat.
c. ‘Urf yang dijadikan dasar bagi penetapan suatu hukum telah berlaku pada saat itu, bukan
‘urf yang muncul kemudian.
d. ‘Urf tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang ada atau bertentangan dengan prinsip
yang pasti.
e. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan perkataan atau keterangan yang sudah jelas.

Syarat ini mempunyai kedudukan penting dalam kegiatan muamalah juga. ‘Urf yang
berkembang di masyarakat dipakai ketika tidak ada perkataan atau keterangan yang jelas dari
dua pihak yang berakad menyalahi kandungan ‘Urf.18

4. Istishab

Kata Istishab secara bahasa mengandung arti meminta ikut secara terus menerus. Menurut
Ibn Qayyim al-Jauziyah, tokoh Fiqih mazhab Hambali, istishab adalah menetapkan berlakunya
suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada dalil yang
mengubahnya.19 Umpamanya, seseorang yang telah meyakini secara penuh bahwa ia telah
berwudhu’, dianggap ia tetap berwudhu’ selama belum ada bukti bahwa wudhu’ nya batal.
Sejalan dengan itu, keraguan seseorang tentang batalnya wudhu’ tanpa bukti nyata tidak bias
mengubah kedudukan hukum wudhu’nya.

Istishab memang bukan dalil yang berdiri sendiri, tetapi bersandar pada dalil-dalil yang lain.
Ia merupakan metode istinbath hukum yang berlandaskan pada dalil syara’(nash) atau bersandar
pada dalil akal. Atas dasar itu, sebagian ulama mengatakan pantas dan boleh dilakukan tarjih
terhadap istishab.20

A. Pembagian Istishab

Menurut Abu Zahrah, istishab terbagi kepada empat macam,21 yaitu:


17
Amir, Ushul, hlm. 376-378
18
Wahbah, Ushul Fiqh, Jilid 2, hlm. 848
19
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh(Jakarta: t. p., 1997), hlm. 58
20
Muhammad Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ud al-Ayubi, Maqasid al-Syariah(Riayadh:Dar al-Hijrah, 1998)
21
Zahrah, Ushul, hlm. 297-298
a. Istishab al-ibahah al-asliyah. Istishab berlandaskan pada prinsip bahwa hukum asal
sesuatu itu boleh(mubah). Istishab ini mempunyai peranan yang besar dan penting bagi
kehidupan manusia, terutama yang terkait dengan maslah muamalat. Keberadaan istishab
ini dilandaskan pada suatu prinsip yang mengatakan hukum asal sesuatu yang bermanfaat
boleh dilakukan selam abellum ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
b. Istishab al-bara’ah al- asliyah. Adapun yang dimaksud dengan istishab ini adalah
memberlakukan asuatu ketentuan bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan
taklif(beban) hukum sampai ada dalil yang mengubah statusnya. Dengan kata lain,
seseorang bebas dari tanggung jawab dan kesalahan selama tidak ada bukti yang
mengubah statusnya.22
c. Istishab al-hukm. Dalam pandangan ahli Ushul Fiqh, istishab ini adalah tetap berlakunya
status hukum yang telah ada selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Sejalan dengan
prinsip ini, hukum boleh atau terlarang tentang sesuatu tetap berlaku terus demikian
sampai ada dalil yang mengharamkan untuk yang mubah atau membolehkan untuk ynag
haram.23
d. Istishab al-wasf. Menurut kalangan Ushuliyun, istishab ini adlah menetapkan sifat yang
telah ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Umpamanya, sifat hidup
yang dimiliki orang yang hilang tetap berlaku bagi dirinya sampai ada bukti yang
menunjukkan bahwa orang tersebut telah meninggal. Begitu pula mmenetapkan air suci
lagi mensucikan tetap berlaku selama tidak ada bukti yang mengubah status hukumnya.

Dari keempat pembagian Istishab yang telah dikemukakan para ulama, menurut Abu Zahrah,
ulama Ushul Fiqh sepakat menjadikan istinbath urutan satu sampai tiga diatas sebagai dalil
menetapkan hukum.

5. Syar’u man Qablana

Yang dimaksud dengan Syar’u man Qablana ialah syariat atau ajaran-ajaran Nabi-nabi
sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi
22
Al-Suyuthi, Al-Asbah wa al-Nazhoir, hlm. 74-75
23
Zahrah, Ushul, hlm. 297-298
Isa. Persoalannya, apakah syariat-syariat yang diturunkan kepada mereka itu berlaku pula bagi
umat Nabi Muhammad. Masalah ini merupakan topic tersendiri dalam pembahasan Ushul Fiqh.24

A. Kedudukan Syar’u man Qablana

Ahli Ushul Fiqh sepakat menetapkan syariat para Nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam
Al- quran dan sunnah Nabi tidak berlaku bagi umat Islam. Kedatangan syariat Islam yang
dibawa Nabi Muhammad Saw memang untuk membatalkan keberlakuan syariat-syariat
sebelumnya. Ini juga berlaku bagi syariat para Nabi terdahulu yang tercantum dalam Al-quran
dan sunnah, tetapi ada dalil yang membatalkannya(nasakh), maka para ahli Ushul Fiqh sepakat
menetapkan bukan syariat bagi umat Islam.25

Ahli Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang keberlakuan hukum-hukum syariat sebelum Islam
yang terdapat dalam Al-quran, tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu berlaku bagi
umat Islam dan tidak ada penjelasan yang membatalkannya. Misalnya, hukum qisash yang
terdapat dalam syariat Nabi Musa yang dijelaskan dalam Q. S Al-Maidah:45.

Dari beberapa bentuk qishas yang secara jelas ada ketegasan berlakunya bagi umat Islam
hanya qishas karena pembunuhan sebagimana tercantum dalam Q. S Al-baqarah 187. Sedangkan
bentuk-bentuk qishas lain, ulama berbeda pendapat tentang pemberlakuannya bagi umat Islam.

Menurut mayoritas kalangan Hanafiyah, Syafiiyah, sebagian kalangan Malikiyah dn stu


riwayat dari Ahman bin Hanbal, hukum-hukum yang demikian berlaku bagi umat islam selama
tidak ada yang membatalkannya. Mereka beralasan bahwa syariat itu juga berasal dari Allah.
Oleh sebab itu, apa yang disyariatkan kepada umat terdahulu yang tercantum dalam Al-quran
berlaku bagi umat islam.26

Menanggapi prebedaan pendapat ini, Abdul Wahhab Khallaf secara tegas menyatakan secara
tegas bahwa pendapat yang pertama yaitu Hanafiyah, Syafiiyah, sebagian kalangan Malikiyah
tentang keberlakuan syariat para Nabi terdahulu yang tercantum dalam Al-quran berlaku bagi
umat Islam lebih kuat dari pendapat yang terkhir. Mereka beralasan, syariat Islam hanya
membatalkan syariat para Nabi terdahulu yang kebetulan berbeda dengan syariat Islam.27

6. Sadd al- Zari’ah

Secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan al-zari’ah berarti wasilah atau jalan menuju
suatu tujuan. Ada kalangan tertentu yang memaknai al-zari’ah secara khusus, yiutu sesuatu yang
24
Zahrah, Ushul, hlm. 305
25
Khallaf, ilmu Ushul, hlm. 93
26
Zahrah, Ushul, hlm. 307
27
Khallaf, ilmu Ushul, hlm. 94
membawa kepada yang dilarang dan menimbulkan kemudhoratan. Namun, makna al-zari’ah
yang terkhir ini dalam pandangan Ibn Qayyim(691-751 H) sebagaimana diungkapkan Nasrun
Harun tidak tepat karena al-zari’ah tidah hanya terbatas untuk sesusatu yang terlarang, tetapi
meliputi pula sesuatu yang membawa pad yang dianjurkan.28

Sejalan dengan itu, apabilah wasilah tersebut membawa kepada yang haram, maka hukum
wasilah pun menjadi haram. Demikian pula apabila wasilah tersebut membawa kepad wajib,
maka hukum wasilah itu menjadi wajib pula. Untuk yang terakhir ini dapat dikemukakan contoh,
ibadah jumat bagi lak-laki hukumnya wajib, berjalan untuk melaksanakan ibadah jumat
merupakan wasilah yang hukumnya juga wajib.

Berdasarkan pendapat Ibn Qayyim ini, maka al-zari’ah lebih baik dikemukakan secara umum
sehingga ia dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu yang dilarang disebut dengan Sadd al-zari’ah
dan yang diperintahkan dilaksanakan disebut Fath al-zari’ah. Jadi al-zari’ah berarti menutup
jalan yang mencapaikan kepad tujuan. Dalam kajian Ushul Fiqh, sebagaimana dikemukakan
Abdul Karim Zaidan, zat al-zari’ah adalah menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan
atau kejahatan.29

7. Qaul Sahabi

Secara bahasa Qaul Sahabi ini adalah perkataan sahabat Nabi. Menurut Jumhur Ulama ahli
Ushul Fiqh bahwa sahabat adalah orang mukmin yang bertemu dan hidup bersama Nabi dalam
waktu yang relative lama.30

Dalam pandangan Muhammad Ajjaj sahabat Nabi adalah setiap orang islam yang hidup
bergaul dengan Nabi Saw dalam waktu yang cukup lama dan menimba ilmu darinya, seperti Abu
Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Aisyah dan lainnya.31

Kajian mengenai Mazhab Sahabi menjadi salah satu tema yang menarik di kalangan Ushul
Fiqh, meskipun mereka menempatkannya dalam bahasan mengenai dalil syara’ yang
diperselisihkan.

Dengan demikian Mazhab Sahabi berbeda denga Ijma’ Sahabi yang mempunyai kedudukan
kuat dan tinggi sebagai dalil syara’ karena kehujjahannya diterima oleh semua ahli ushul fiqh.

Bentuk-bentuk fatwa sahabat terdiri dari beberapa bentuk:

a. Apa yang disampaikan sahabat itu berupa berita yang didengarnya dari Nabi, tetapi ia
tidak menyatakan berita itu sebagai sunnah Nabi.
28
Nasrun, Ushul, hlm. 160
29
Zaidan, Al-Wajiz, hlm. 245
30
Wahbah, Ushul, Jilid 2, hlm. 879
31
Muhammad Ajjaj al-Khatib, hlm. 389.
b. Apa yang diberitakan sahabat itu sesuatu yang didengarnya dari orang yang pernah
mendengarnya dari Nabi, tetapi orang itu tidak menjelaskan bahwa yang didengarnya itu
berasal dari Nabi.
c. Sesuatu yang disampaikan sahabat itu merupakan hasil pemahamannya terhadap ayat-
ayat Al-quran yang orang lain tidak memahaminya.
d. Sesuatu yang disampaikan oleh sahabat telah disepakati dilingkungannya, namun yang
menyampaikannya hanya sahabat itu seorang diri.
e. Apa yang disampaikan sahabat merupakan hasil pemahamannya atas dalil-dalil karena
kemampuannya dalam bahasa dan penggunaan dalil lafal.32

Kehujjahan Qaul Sahabi

Dalam menentukan kehujjahan atau kekuatan mazhab sahahbi sebagai dalil hukum terkait
dengan bentuk dan asal fatwa sahabat tersebut.33

a. Fatwa sahabat yang bukan berasal dari hasil ijtihadnya. Para ulama sepakat
menjadikannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum bagi generasi sesudahnya.34
Misalnya, fatwa Ibn Mas’ud tentang batas minimal waktu haid tiga hari dan batas
minimal mas kawin sebanyak sepuluh dirham. Fatwa-fatwa sahabat seperti ini dikatakan
kuat karena bukan dari hasil ijtihad mereka, tetapi mereka terima langsung dari nabi.
b. Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka yang dikenal dengan ijma’
sahabat. Fatwa sahabat seperti ini merupakan hujjah dan mengikat bagi generasi
sesudahnya.
c. Fatwa sahabat secara individu tidak mengikat sahabat yang lainnya. Oleh sebab itu, tidak
jarang para mujtahid dikalangan sahabat berbeda pendapat dalam suatu masalah.
d. Fatwa sahabat secara individu yang berasal dari ijtihadnya dan tidak terdapat kesepakatan
sahabat tentangnya. Mengenai ini terjadi perbedaan pendapat ulama, apakah fatwa itu
mengikat generasi sesudahnya atau tidak. Dalam menanggapi hal ini, kalangan
Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Iman Syafii dalam qaul qadimnya menetapkan
fatwa sahabat yang demikian itu dapat dijadikan hujjah dan pegangan bagi generasi
sesudahnya. Mereka beralasan dengan surah Ali-Imran:110.
Ayat ini menjelaskan bahwa umat islam merupakan umat terbak yang diciptakan Allah
dari sekalian manusia dengan misi menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang
mungkar. Umat Islam yang dimaksud ayat ini adalah para sahabat Nabi Saw. Misi
mereka jalankan haruslah diikuti dan dijalankan umat Islam sesudah mereka.
Para ulama yang menerima kehujjahan fatwa sahabat berbeda pendapat dalam
menempatkannya bila ia berbenturan dengan qiyas. Sebagian ulama berpendirian fatwa

32
Amir, Ushul Fiqh, Jilid 2, hlm. 378
33
Satria, Ushul, hlm. 63.
34
Khallaf, ilmu Ushul, hlm. 95.
sahabat menjadi hujjah dan lebih tinggi kedudukannya dari qiyas. Apabila terjadi
benturan antara keduanya, fatwa sahabat lebih didahulukan daripada qiyas. Sebagian
ulama berpendapat bahwa fatwa sahabat memang menjadi hujjah, tetapi kedudukannya
berada dibawah qiyas. Apabila terjadi pertentangan antara fatwa sahabat dengan qiyas,
qiyas lebih didahulukan dari fatwa sahabat.

3. KESIMPULAN
Setelah dilakukan analisis dari perbedaan-perbedaan pendapat, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:

1. Jadi, ijtihad itu adalah suatu usaha yang dilakukan dengan seluruh kekuatan dan fikiran
untuk menetapkan suatu hukum dalam suatu permasalahan yang di dalam permasalahan
itu terdapat unsur kesulitan dalam mencari solusinya.
2. Istishan itu adalah berusaha untuk mendapatkan yang terbaik untuk diikuti bagi sesuatu
masalah yang diperhitungkan untuk dilaksanakan.
3. Maslahah Mursalah berarti sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan
hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung
maupun yang menolaknya, sehingga ia disebut Maslahah Mursalah (maslahah yang lepas
dari dalil secara khusus).
4. ‘Urf adalah sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi
kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan maupun
perkataan.
5. Istishab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan
sesuatu yang memang tiada sampai ada dalil yang mengubahnya.
6. Syar’u man qablana ialah syariat atau ajaran-ajaran Nabi-nabi sebelum Islam yang
berhubungan dengan hukum.
7. Sadd al-zari’ah berarti menutup jalan untuk mencapai kemudhoratan.
8. Qaul Sahabi adalah perkataan sahabat kemudian dijadikannya sebagai hujjah yang
didapat dari nabi.

DAFTAR PUSTAKA

al-Ayubi, Muhammad bin Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ud. Maqashid al-Syariah. Cet ke 1.
Riyadh:Dar al-Hijrah, 1998.
al-Ghazali, Abu Hamid. al-Mushtashfa fi ‘Ilm al-Ushul. Jilid I. Beirut:Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1983.

Harun, Nasrun. Ushul Fiqh I. Cet. Ke-2. Jakarta: Logos, 1997.

Jalal, Jalaluddin Abd al-Rahman. al-Iijtihad Dhawabithu wa Ahkamuhu.

Khallaf, Abd al-Wahhab. Ilm Ushul Fiqh. Cet. Ke-12. Kairo: Dar al-Qalam, 1978.

al-Sarakhsi. Ushul al-Sarakhsi. Juz. II. Cet. Ke-12. Kuwait:Dar al-Qalam, 1977.

al-Suyuthi, Abi al-Fadl Jalal al-Din Abd al-Rahman. Al- Asbah wa al-Nazhoir.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jilid 2. Jakarta:Logos, 1999

al-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah. Cet.
Ke-1. t. k. Dar ibn Affan, 1997

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1985

Zaidan, Abdul Karim, al- Wajiz fi Ushul Fiqh. Cet. Ke-6. Baghdad:Dar al-Arabiyah Littiba’ah,
1971.

al-Zuhaili, Wahbah. Ushul Fiqh al-islami. Jilid I. Cet. Ke-2. Beirut:Dar al- Fikr, 2001.

Khallaf, Abd al-Wahhab al-Syeikh, Khulasat Tarikh al-Taryri’ al-Islami, Kuwait:Dar al-Qalam,
1984, Cet. Ke-IV

Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, Beirut:Dar al-Fikr, Cet. Ke-3, 1975.

Wahbah al-Zuhaili, al-Wasit fi Ushul al-fiqh, Damaskus: al-Matba’ah al-Islamiyah, 1969, Cet. II.

You might also like