You are on page 1of 3

PUISI-PUISI MELKI DENI

Ponsel Pintar

Ponsel, yang dijual mahal di toko-toko,

Yang dibawa ke mana-mana,

Yang menggenggam dunia, sejarah, jarak, garis dan kita

Tak bosan-bosannya menggoda siapa saja,

Seperti Tuhan yang kasat mata, misalnya.

Yang menolong siapa saja,

yang biasa disembah 24 jam.

Ponsel pintar, yang tidak lagi ingat asal-usulnya,

Yang digenggam di mana-mana,

Yang meningkatkan keomongkosongan dan ketidakpastian

Tak henti-hentinya menyihir siapa saja

Seperti zombie yang kelaparan, misalnya.

Yang hidup hanya dengan mengisap darah siapa saja

Yang biasa dibiarkan hidup 24 jam.

Harap Tenang

Hari-hari ini warta berita media sosial

sibuk mengusik kita untuk melontarkan tanda tanya berkali-kali.

Kita pun risau.

Mural-mural tidak pernah diam berseru:


Setelah Orde Baru, terbitlah reformasi;

Setelah reformasi birokrasi, terbitlah deformasi dan deforestasi;

Harap tenang, investor sedang membeli dan membajak tanah air;

Harap tenang, koruptor sedang menyumbat mulut kita dan mereka yang duduk berpangku
tangan di balik kantor megah itu;

Harap tenang, perempuan dan anak-anak sedang diperdagangkan dan dieksploitasi;

Harap tenang, profesor sedang dibobol dan dikontrol;

Harap tenang, para pemeluk agama menjual Tuhan;

Harap tenang, wartawan/wartawati diselundupkan ke ruang abstrak;

Harap tenang, buku-buku Marxisme (Kiri?) diberedel;

Harap tenang, kritikus dijuluki apatis dan komunis;

Harap tenang, kita tidak lagi tenang.

Militerisme

Negara tidak peka mendengarkan

Suara-suara minor dari bawah meja wakilnya,

Atau ia telanjur tuli.

Apakah kalian yakin intel siber, dan buzzer yang berserakan di ruang abstrak itu adalah
demokrasi?

Itu candu yang membuat warga negara bisu tuli,

Entah sambil menabung murka.

Hari-hari hanya satu teriakan,

Mereka menyebutnya Pancasila

Pancasila.
Paradoks Kota

Waktu masih kanak-kanak kita bermain patgulipat di antara bunga-bunga dan kolong dapur;
sebelum alat-alat berat melebarkan jalan-jalan; sebelum hutan-hutan digusur sampai ke akar-
akarnya; sebelum kita diusir secara membabi buta, minggat dari sini; sebelum pagar tembok
setinggi langit dibangun di kota ini.

Pagar tembok setinggi langit itu membayangkan ada yang mencoret-coret tubuhnya dengan
seni mural; melukis paradoks ekonomi-politik, sosiokultural, dan keagamaan kita. Pagar
tembok setinggi langit itu tidak pernah membayangkan dirinya menjadi batas, grafik, alat
kekuasaan, jarak dan lanskap yang cacat, yang memagari kasih dan kisah kita.

Di kota ini kita tidak tercatat lagi; asap industri mengepul siang malam; jeritan ringkih arwah
janin-janin korban aborsi; dan kita menjadi turis domestik di atas tanah tumpah darah. Sebab
di kota ini kebebasan, persaudaraan, dan keadilan sosial adalah imajinasi kemanusiaan yang
mustahil; muspra.

*Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT.

You might also like