You are on page 1of 427
Say GORGEOUS BURGUNDY SANG PENGGODA By Gorgeous Burgundy Copyright ©2020 by Gorgeous Burgundy All rights reserved including the right of reproductions in whole or in part any form. This is a work of fiction. Name, characters, businesses, places, events and incidents are either the products of the author’s imagination or used in a fictitious manner. Any resemblance to actual persons, living or dead, or actual events in purely coincidental. All rights reserved Cetakan ke-1, April 2020 Semarang, Evolif Media 2020 20 cm; v +421 Halaman SANG PENGGODA oleh Gorgeous Burgundy Tata letak : Siti Kholifah Editor : Nella Pratika Desain cover : ShyesilArt Pictures from : Pinterest Dicetak pertama kali melalui : Evolif Media Kota Semarang, Jawa Tengah, Indonesia Email : evolifmedia@ gmail.com Wattpad : EvolifMedia Instagram : evolifmedia Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin penulis maupun penerbit. Isi diluar tanggu jawab percetakan dan penerbit > EVOLIF MEDIA Veapan Seria kasile ejujurnya, aku merasa tak ada orang yang pantas aku beri ucapan terima kasih selain penerbit Evolif Media, yang sudah menerima naskahku untuk dijual di pasaran. Karena proses penulisan novel ini benar-benar hanya aku yang tahu. Tak ada seorang pun, yang mengenal aku di dunia nyata—tahu bahwa Gorgeous Burgundy adalah aku. Boleh dibilang jika aku memang mempunyai “dunia” yang lain, di mana aku bebas mengekspresikan ide-ide paling gelap sekali pun dari dalam kepalaku. Dengan menjadi Gorgeous Burgundy, aku bisa mengerti bagaimana rasanya menjadi manusia yang bebas. Terlepas dari segala kekurangan cerita-cerita yang kubuat, aku harap tulisanku dapat menghibur pembaca. fspecially, to teach and delight seperti kata Horace. Sebagaimana sebuah karya harus bekerja. Nah, selanjutnya, terima kasih untuk orang-orang yang sudah membaca ceritaku baik itu di Dreame atau Wattpad. Untuk mereka yang bersedia memberi apresiasi, bahkan rela mengeluarkan wang untuk membeli kain di Dreame—karena kalian ada, para penulis bisa tetap hidup, termasuk aku. Maka bagiku, penghargaan paling tinggi adalah untuk pembaca. Mungkin hanya itu yang bisa aku tuliskan di sini. Sekali lagi, terima kasih untuk Kak Eva dan ‘eam Juga para pembaca sekalian. Semoga kita semua bisa sukses bersama. Best Regard, Gorgeous Burgundy. Daftar Isi. Bab | : Gadis Bernama Kinanti Bab 2 : Memantik Hasrat... Bab 3 : (Bukan) Sepasang Bab 4: Perang Dingit Bab 5 : Api Yang Menyal Bab 6 : Badai Sepanjang Malam Bab 7: Terendap Lara .. Bab 8 :Yang Menyakitkan Dari Mencin' Bab 9 : Kabut Dosa .. Bab IO : Patah Berk Bab Il: Dandelio Bab [2 :Iblis Jahanam Bab [2 : Rahasia Besar Bab |4 :Jerat Kedua Bab I6 : Segenggam Amarah . Bab IB : Bam Waktu. Bab |7:Samudra Our Bab IB : Sekelumit Dendam. Bab I9 : Seseorang Dari Masa Lalu Bab 20 : Undangan Untuk Kembal Bab 21 : Selimut Merah Muda. Bab 22:: Titik Nol..... Bab 23 : Siksaan Jaral Bab 24 : Sang Penggod: Epilog 25 : Malam Di Vienn Tentang Penulis Bab? : i backstage, jantung Kinanti berdebar-debar. Bagaimana Dita, jika sesaat lagi, karya yang diciptakannya akan ditampilkan ke khalayak umum. Dilihat oleh banyak orang! Lewat sebuah pameran 23 Fashion District 2015 ini, Kinanti tahu satu demi satu mimpinya bakal terwujud. Pameran yang merupakan ajang mode terbesar di Bandung ini berkolaborasi dengan Indonesia Fashion Chamber, saking prestisiusnya, berhasil menghadirkan peragaan busana dengan menggandeng lima puluh desainer ternama. Bayangkan, deh! Para desainer terkenal Indonesia yang belum pernah Kinanti jumpai—karena mereka tinggal di luar negeri—kini berseliweran di ruang make-uptanpa ada sekat bersama mahasiswa-mahasiswi Seni Kriya. Meski ada beberapa pula yang sering bertemu Kinanti di acara-acara perusahaan keluarganya. Lumayan, buat nambah link, 'kan? Forecast Your Future Fashion, adalah tema yang diangkat untuk pameran besar ini. Mahasiswa-mahasiswi Program Studi Kriya Tekstil dari berbagai daerah, menjadi desainer atas karya mereka sendiri. Dalam masing-masing karyanya, memiliki ciri khas yang pastinya memuat warna lokal. Karya yang tampil ialah tugas akhir para mahasiswa yang masih memiliki benang merah dengan tema “Aggrandising Tactile”. Yang bermakna menonjolkan unsur sentuhan tangan pada setiap fashion. Hal ini karena sisi filosofis dari keilmuan kriya itu sendiri yang berarti kerajinan tangan. “Gimana? Ada yang perlu dibantu?” Saat Kinanti sedang sibuk-sibuknya merapikan pakaian modelnya, ada seorang desainer yang menghampirinya. Gadis itu menyengir. “Gini aja sih, Mbak. Enggak ada masalah kayaknya.” Busana yang Kinanti ciptakan dibuat seperti pakaian adat pada umumnya. Atasan dan rok. Namun dengan setiap perpotongan yang dinamis. Style-nya benar-benar berbeda dari biasanya. Desainer itu menyuruh si model berputar. “Udah pas, kok. Bagus.” Ada binar kagum di matanya atas hasil kerja anak muda yang belum dikenalnya itu. “Wah, motif tapis kaca yang unik sekali,” gumamnya, sontak membuat Kinanti dengan isengnya cengengesan. Agak malu, Kinanti menggaruk rambut cokelatnya yang sebetulnya tak gatal. “Aku pakai serat dan pewarna alami,” balas Kinanti riang. Desainer itu mengangguk-angguk, tentu dia bisa melihat jika anak muda ini mengerjakan semua aspek dalam pakaian melalui tangannya sendiri. Agaknya, kekayaan alam menjadi inspirasinya. Gadis ini menggunakan bentuk lamella jamur tiram yang apik diaplikasikan pada pakaiannya dengan teknik bordir dan pleats, guna memainkan tekstur serta volume. Tetiba, desainer itu mengulurkan tangannya, mengajak Kinanti berjabatan. “Senang bertemu calon desainer yang bertalenta seperti kamu.” Kata-katanya itu membuat Kinanti kontan berbunga-bunga. “Arlene Sumardi.” “Kinanti.” Senyum di mulut Kinanti lebar. “Namaku Kinanti Taliana Mirano.” “Tunggu.” Desainer bernama Arlene itu mengernyitkan keningnya. “kamu anak bungsunya Pak Tristan Mirano?” “Tya.” Mulut Kinanti nyaris robek sekarang. Bukannya mau sombong, nama papanya yang dikenal sebagai seorang 2 pengusaha, memang top banget. See, sekali disebut, orang pada kaget. Barangkali, hanya wajah Kinanti yang kurang familiar di antara keluarga mereka. Jarang tersorot oleh kamera sih lebih tepatnya. “Eh, tapi kalau dilihat-lihat, kamu juga seperti tidak asing.” Arlene menimang-nimang. “Kamu selebgram, ya?” Waduh, gimana, ya? Kinanti sih bukan selebgram. Tak terima endorsment, dan yang lainnya. Hanya sesekali posting foto liburan saja, tapi followers Instagramnya sudah tembus ratusan ribu. Sepertinya karena efek lahir di keluarga Mirano. Atau jangan-jangan, Arlene Sumardi pernah melihat beritanya di majalah gosip? Kinanti sih jujur, dia pernah kok melakukan kekacauan dalam masa mudanya, sampai sekarang malah. Dan karena dia salah satu anak Mirano, jadilah apa pun yang dia lakukan menjadi sasaran empuk pemangsa berita. “Enggak juga.” Kinanti akhirnya menjawab, dengan cengiran yang masih setia melebarkan bibirnya. “Pokoknya selamat, deh, ayahmu pasti bangga punya anak-anak yang sukses.” “Makasih ya, Mbak.” Kinanti mengamini, semoga dia mampu membuat papanya proud of her. Gadis muda yang tentu tidak bisa disandingkan kemampuannya dengan kedua kakak Jelakinya, tapi boleh juga ‘kan unjuk sedikit bakat? “Good luck, Kinanti.” Dan Kinanti pun membalasnya dengan acungan ibu jari. Arlene berlalu, mengecek persiapan mahasiswi lain dengan sangat perhatiannya. Oh, Kinanti suka sekali deh senior yang tidak sombong dan mau mengemongi. Beruntungnya dia ikut event ini. “Kamu deg-degan enggak?” Si model perempuan yang keturunan bule itu mengulas senyum simpul. “Enggak.” Wah, hebat. Kinanti yang malah tak karuan sekarang. Jantungan, kepingin pipis, dan pokoknya kompleks banget deh. “Karena aku sudah biasa berjalan di atas catwalk, Kinanti. Kamu tenang aja, pakaian yang kamu buat ini pasti jadi yang terbaik.” Kata-kata itu membuat Kinanti merasa percaya diri. 3 “Duh, Alana.” Kinanti memeluk perempuan yang agak lebih tinggi darinya itu. “Makasih udah semangatin aku, kamu juga yang semangat, ya.” “Tya, bawel.” “Aku emang bawel?” Kinanti melepas pelukannya. “Banget,” tukas Alana, sontak Kinanti tertawa. Ingat selama pembuatan baju, dia selalu ingin ini dan itu banyak sekali seperti Nobita. “Jangan terlalu pecicilan, ya, Nona cantik satu ini, nanti enggak ada yang mau naksir kamu.” Kinanti tertawa makin lepas karena candaan itu. “Biarin jomblo, asal sukses dan banyak uang.” Lantas gadis itu menarik tangan Alana. “Udah ah, ayo, yang lain udah pada briefing tuh, ngomongin naksir-naksirannya nanti aja.” Mereka bergabung dengan teman-teman yang lain. Di luar gedung yang juga berlokasi di Bandung, pembawa acara telah meramaikan suasana. Apalagi dengan hadirnya bintang tamu yang menghibur penonton. Musik-musik akustik yang lembut terdengar begitu indah ketika Mocca tampil. Setengah jam kemudian, acara puncak, fashion show pun baru dimulai. Model-model yang mengenakan pakaian dari hasil kreasi anak-anak muda, muncul silih berganti. Diiringi oleh lagu-lagu tradisional Indonesia yang sudah diaransemen ulang, hingga sedikit jadi lebih modern. Tim penata lampu dan artistik pasti bekerja dengan sangat keras karena menghasilkan kombinasi panggung yang enak dipandang. Pakaian yang para model kenakan terlihat sangat eksklusif dibuatnya. Ketika peragaan busana itu akhirnya usai. Kinanti dan teman-teman mahasiswanya yang lain diminta untuk naik ke atas panggung dan menjelaskan karya mereka. Ini memang bukanlah ajang perlombaan, ini benar-benar pameran untuk mengapresiasi karya anak bangsa. Namun, penyelenggara telah memutuskan untuk memberi karya-karya terbaik dari yang paling baik, sebuah piagam penghargaan. Piagam penghargaan ini akan jatuh ke tangan lima dari total seratus lima belas mahasiswa yang berpartisipasi. To be honest, Kinanti sendiri tak terlalu berharap menang. You know what, gadis itu hanya 4 ingin mengumpulkan sebanyak-banyaknya pengalaman. Tetapi saat namanya masuk ke dalam daftar yang disebutkan oleh penyelenggara, Kinanti bahagia. Bahagianya itu datang dari hatinya yang tak pernah menargetkan ekspektasi tinggi untuk dirinya sendiri. “Selamat, Kinanti. Nah, apa kubilang.” Arlene Sumardi memberikan ucapan selamat. “Kamu membuat pakaian yang sangat unik. Pantas jika karyamu itu adalah yang terbaik.” “Makasih, Mbak. Aku harap kita bisa berkolaborasi juga suatu hari nanti.” Kinanti berbisik-bisik pada perempuan itu dan cekikikan. “Tentu saja, dengan senang hati.” Arlene memberi lampu hijau. Wah, gila! Kalau Kinanti sudah graduate nanti bakal ditawari kerja tidak, ya? “Sudah, ke depan sana.” Kinanti mengangguk, lalu melangkahkan kakinya dan kini sejajar dengan empat orang Jain yang bajunya dinobatkan sebagai yang terbaik. Tepuk tangan para penonton mengiringi senyum sumringah mereka, perempuan-perempuan muda dan cantik yang penuh talenta. Hal ini menunjukkan bahwa kaum perempuan pun, sangat berhak untuk bersaing mendapat yang terbaik. Apalagi Kinanti, yang berdiri di sana dengan gaun nude semata kaki. Berbahan satin tanpa payet. Walau mengekspose punggungnya, namun tak nampak vulgar. Sebaliknya, gadis itu sangat anggun dan modis. Semua orang pasti tahu bahwa dari penampilannya, Kinanti berasal dari keluarga berada. Bahkan banyak penonton yang mengenalinya sebagai putri tunggal dari pengusaha sukses, Pak Tristan Mirano. Saat pembawa acara memintanya untuk menyampaikan beberapa patah kata seperti yang lainnya tadi—Kinanti dengan percaya dirinya mulai berbicara. Ini adalah dunianya. Tempat paling nyaman untuk berkreasi. Maka, Kinanti tak akan pernah ragu untuk berkata-kata. “Selamat malam semuanya.” Dijawab dengan hangat oleh penonton. “Aku sebetulnya, enggak pernah kepikiran akan berdiri di sini karena ada begitu banyak karya yang sangat bagus. 5 Semuanya luar biasa. Tapi puji Tuhan, terima kasih jika karyaku diakui sebagai salah satu yang terbaik. Aku sangat senang.” Semua orang tertawa kecil karena terkadang, Kinanti berbicara dengan cara yang lucu. Orang cantik bebas ‘kan, mau apa saja? “Terima kasih ya piagamnya, nanti aku bakal bingkai di rumah.” Semua orang tertawa lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. “Well, tidak mudah menuntaskan empat tahun dengan tepat waktu di prodi ini. Seni kriya tekstil yang bermain-main menggunakan kain, benang, serat, dan lain sebagainya pasti butuh inspirasi yang sangat tinggi pada setiap tahap ujiannya.” Yang lain mengangguk-angguk setuju, sebab karya itu harus baru. Seni tak boleh monoton atau berakhir. Selalu ada bentuk kesenian yang terlahir. Entah itu gerak, tari, lagu dan lukisan. Juga mode. Seni adalah kisah tanpa akhir. “Dan bukan hanya kain yang kita geluti, tapi kita belajar tentang manajemen produksi, marketing, sampai unsur interior, fashion, hingga kimia. Jadi, untuk kalian semua, kalian adalah juaranya.” Orang-orang bersorak dan bertepuk tangan dengan cara yang beradab. Kinanti adalah representasi perempuan masa kini yang penuh passion dan tentu saja cerdas. Di balik sifat kekanakan dan manjanya, Kinanti menyimpan sosok yang tangguh di dalam dirinya. “Bagiku, seni kriya khususnya tekstil adalah sebuah wadah yang paling tepat, untuk menampung potensi yang aku miliki. Buat sebagian orang, seni menjadi bagian penting yang sulit dipisahkan dari diri mereka. Begitu pula untukku. Seni merupakan bentuk pelarian, caraku untuk melampiaskan emosi jiwa. Mungkin karena itulah, seni terkadang mampu mengubah orang.” Gadis itu menjeda dengan senyum yang teramat manis untuk dilihat. “Untuk terakhir kalinya, marilah kita bertepuk tangan untuk mereka yang bekerja dari dan untuk hatinya.” Agaknya, semua orang kagum pada mahasiswi IKJ angkatan 2012 itu. Yang sebentar lagi akan segera lulus dari kampusnya. Berita apa pun yang pernah ditulis media, baik itu 6 karena unggahan pakaian yang seksi di Instagram, beberapa pesta hedon bersama teman-temannya, skandal keributan di lokasi pemotretan dengan fotografernya, tak membuat mereka meremehkan Kinanti. Hei, diamond is still a diamond. Dan lagi pula, gadis itu masih sangat muda. Darah mudanya tentu perlu kita maklumi. Setelah foto bersama, acara itu terus berlanjut ke sesi hiburan dari para penyanyi yang juga cukup beken. Mereka membawakan beberapa lagu, yang membuat penonton pun ikut terhanyut. Kinanti dan teman-temannya yang lain sudah kembali berada di belakang panggung. Saling berpelukan satu sama lain, dan mengucapkan selamat. Mendadak, buket bunga memenuhi ruangan itu. Datang dari orang-orang terkasih para mahasiswa itu sendiri. Sama halnya pula dengan yang terjadi pada Kinanti. Saat gadis itu memutar tubuh karena bahunya ada yang menyentuh, senyumnya yang manis terpahat. “Mas Bara.” “Hai.” Pria itu membawa dua buket bunga mawar yang besar. Dengan senyum untuk Kinanti. Dia adalah salah satu pihak penyelenggara acara ini. Bara Chandrakala, pengusaha tekstil yang sukses asal Surabaya. “Selamat, Kinanti. Kedua bunga ini adalah milikmu.” “Wah, makasih, Mas. Ini dari—* Kinanti kesusahan mengambil kartu-kartu di dalam buket tersebut. Dan Bara akhirnya turun tangan untuk membantu. “Aku dan papamu.” “Papa?” Kelopak mata Kinanti berbinar. Meski tak bisa datang ke acaranya, Tristan Mirano selalu punya cara yang manis untuk membuatnya bahagia. “Papamu minta maaf tidak bisa datang, lalu beliau menitipkan buket bunganya padaku.” Kinanti tidak sabar membuka kartu-kartunya. Nyaris bersorak kegirangan karena yang dilihatnya kini adalah tulisan tangan papanya sendiri. Dear, Kinantiku yang cantik. Bagaimana malammu, menyenangkan? Berbahagialah dan selamat untuk peragaan busana pertamamu, putriku. Papa 7 tidak bisa hadir, jangan marah. Tapi kamu selalu membuat Papa bangga, sampai jumpa di rumah. T love you. Ada tandatangan Papanya dan cap perusahaan. Kinanti senang sekali membacanya. Dia mendekap kartu itu dengan perasaan meledak-ledak di dada. Eh, tunggu, ada satu Kartu lagi dari buket bunga pemberian Bara. Kinanti membukanya. Ketika menulis ini, aku tahu kamu akan tampil cantik saat malam tiba. Pesan yang sangat singkat, tapi Mereka bertatapan, lurus dan dalam. Lalu tiba-tiba keduanya sama-sama tertawa kecil, dan keadaan menjadi kian canggung. Kinanti berdehem. “Eh, iya. Makasih.” Dia jawab apaan, sih? “Kamu ada waktu luang setelah ini?” “Eh, apa?” Suara Bara tersalip oleh dering telepon dari clutch Kinanti. “Tadi bilang apa?” “Angkat saja dulu teleponmu.” Bara tersenyum. Kinanti memohon maaf lewat ekspresi wajahnya. “Aku angkat dulu, ya.” Lalu sedikit menyerong dan melihat nama sahabatnya tertera di layar ponsel. Eugh, Sana! Ke mana saja coba anak itu? Dia mendampingi Kinanti ke Bandung, namun nampak tak ada dalam barisan penonton. “Halo, Sana? Kamu ada di mana, sih? Kok hilang?” “Dengan—Mbak Kinanti?” Eh, kok bukan Sana? Dengan bingung Kinanti baca ulang nama orang yang menghubunginya. Sana, kok. Jelas-jelas ada namanya. Dan Kinanti pula yang menamai dengan Sana Rese. “Tya, dengan Kinanti. Maaf, tapi ini ponsel—teman saya.” “Teman Mbak, saya tidak tahu namanya. Rambutnya pirang—* Wah, ada apa nih? Kinanti was-was, jangan-jangan sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya? “Pakai baju warna merah, nyaris tidak sadarkan diri karena mabuk berat di club kami. Jadi, saya memutuskan untuk menghubungi orang yang paling sering berkomunikasi dengan yang bersangkutan karena teman Mbak, membuat kekacauan dan kami tidak tahu ke mana harus memulangkannya.” 8 Apa? Sana ada di club malam? Mabuk lagi! Bisa-bisanya anak itu. “Aduh.” Kinanti bingung dan panik. “Oke, kirimkan alamatnya, deh. Saya akan jemput segera.” Lalu dia memutus sambungan telepon itu dan semakin kalut. Terburu Kinanti bergerak, lupa tadi sedang apa dan dengan siapa. “Kinanti, kamu mau ke mana?” Lengannya dicekal. Ya ampun, Mas Bara! Kenapa Kinanti bego sih meninggalkan orang begitu saja? “Eh, Mas, anu.” Kinanti tidak tahu mau mengatakan apa. “Aku harus pergi sekarang, maaf ya. Kita ngobrol lain kali.” “Tya, ke mana?” Bara mencegah lagi. “Kamu kelihatan panik, tidak baik pergi sendiri. Aku yang antar.” “Eh, tapi.” Kinanti bingung ketika tangannya ditarik oleh Bara. Yang jelas sekarang, mereka sudah benar-benar keluar dari backstage. “Baiklah, Mas Bara boleh ikut.” Kinanti memutuskan pada akhirnya. -—~ ~ Ketika sampai di club malam itu, mereka tidak perlu susah-susah mencari di mana Sana. Karena pihak club sudah mengamankannya yang tengah mengoceh-oceh tak jelas. Sana nampak emosional ketika ditenangkan. Kinanti spontan berlari mendatangi, tak peduli dengan hak sepatunya yang tinggi itu. “Sana, astaga—kamu ngapain sih malah di sini, mabuk lagi.” Gadis itu mencoba menangkap tangan Sana yang terbang tak keruan di udara. Hingga akhirnya, Sana menatapnya dan agak lebih tenang sedikit melihat wajah yang dikenalnya. “Kinanti, Sobatku.” Sana menangis tanpa air mata dan memeluknya. Wah, mabuk parah. “Aku minta maaf karena tak hadir di acaramu dan malah nekat bertemu dengan pria sialan itu di sini! Aku menyesal, Kinanti. Aku menyesal!” jeritnya histeris. “Dia bisanya cuma menyakiti aku saja!” “Aduh, aduh.” Kinanti kelabakan. “Ya udah, ayo kita pulang dulu. Udah, Sana. Ceritanya jangan di sini, ya.” Dan 9 tanpa diminta pun, Bara dengan sigap membantu. Mereka berdua bekerja sama memapah Sana, setelah Kinanti meminta maaf pada pihak-pihak yang terusik atas tingkah laku temannya itu. Dengan napas yang satu-satu, akhirnya Kinanti berhasil juga mendudukkan pantatnya di kursi penumpang mobil Bara. Gila, Sana berat juga. “Kalian menginap di mana?” Bara bertanya, Kinanti menyebutkan nama hotel yang mereka sewa untuk dua hari di kota Bandung. Mobil pun melaju. Sana kini semakin tenang meski ocehan-ocehan ngawurnya sesekali masih terlempar dari mulutnya. Diam-diam Kinanti tin, dia tahu penyebabnya mengapa Sana sampai bertindak sejauh ini. Well, mereka akan bicara saat gadis itu sudah sadar dan akal sehatnya kembali. Bara diam selama perjalanan, dia tahu Kinanti sedang resah. Maka yang dilakukannya adalah tidak mengganggu gadis itu dengan pertanyaan apa pun. Hingga mobil yang dikendarai olehnya sampai di halaman parkir hotel. Sekali lagi, mereka berkerja sama untuk memapah Sana masuk hotel, hingga lift. Di lift, Sana yang tidak bisa diam membuat Kinanti agak terhuyung karena menahan berat badannya. Hingga hal itu membuat kaki-kaki Kinanti bergerak ke depan dan hak sepatunya yang tinggi membuat Kinanti goyah. Gadis itu pun memekik kaget, limbung, nyaris jatuh, dan untungnya Bara menangkap tubuhnya. Posisi pria itu kini seperti memeluk dua orang wanita. Dan untungnya, hotel tidak ramai dan hanya ada mereka bertiga di dalam lift. “Hati-hati, Kinanti,” bisik Bara, begitu dekat dengan telinga Kinanti. Sampai nyaris wajah mereka bersentuhan saat kepala Kinanti mulai mendongak. Mereka saling tatap dengan jarak yang sangat minimalis. “Hati-hati.” Ingatkan Bara lagi, membuat Kinanti tersadar. Gadis itu dengan amat susah payah kembali ke posisinya semula. Sial, kakinya sakit. Pergelangan kaki Kinanti pasti terkilir. Beberapa detik kemudian, lift itu pun terbuka. Mereka berjalan, dan sesekali pelayan berhenti untuk menawarkan diri membantu. Tapi kamar sudah dekat, Kinanti membukanya 10 dengan kunci. Sementara Bara memapah Sana masuk, dan Kinanti menyiapkan kamar serta selimut. “Huh, akhirnya.” Kinanti membuang napas dengan lega setelah melihat Sana terbaring di ranjang dan tubuhnya telah dia selimuti. Biarkan gadis tengil itu beristirahat dulu sebelum besok Kinanti menceramahinya panjang lebar. “Makasih, Mas Bara, sudah mau membantu.” Kinanti mengalihkan perhatiannya pada pria itu. Yang pasti juga kerepotan, tapi tidak terlihat capek, ya? Alih-alih menjawab, Bara malah menundukkan tubuh untuk mengambil kaki kanan Kinanti. “Eh, Mas?” Kinanti kaget. “Pergelangan kakimu terkilir, Kinanti. Jika dibiarkan besok bisa membengkak.” Bara menegakkan tubuhnya, lantas mengambil tangan gadis itu dengan lembut dan dituntunnya menuju sofa kamar hotel. “Duduk di sini. Kamu punya /otion?” “Biar aku aja yang ambil.” “Tunjukkan padaku tempatnya,” tegas Bara. Kinanti mencebik, namun tak urung dagunya mengedik pada laci di samping ranjang. Dan tak butuh waktu lama bagi Bara untuk kembali. “Aduh.” Kinanti kesakitan, padahal Bara baru meraba sekali untuk menemukan area yang terkilir. “Aku bahkan belum memulainya.” Bara menatap mata gadis itu dengan sinar geli di matanya sendiri. Dan untungnya saja, Kinanti bisa menahan jeritannya di kerongkongan agar tak memalukan di depan Bara. Masa Kinanti harus menangis gara- gara dipijit? Walaupun memang sakit sih. Kinanti meringis. “Aduh, Mas. Pelan sedikit. Jangan kencang-kencang, dong.” Kalimat itu terdengar ambigu di telinga Kinanti. Ih, kenapa mulutnya tanpa rem sekali, sih? Jadi tengsin ‘kan. “Eh, pelan aja mijitnya maksudku.” “Sudah selesai, kok.” Bara menyembunyikan senyum simpulnya. Duduk di sofa yang sama dengan Kinanti, tepat di samping gadis itu sembari menyeka kedua tangannya yang penuh Jotion dengan tissue. 11 Kinanti memerhatikan Bara dari samping. Dengan matanya yang sembunyi-sembunyi. Kalau dilihat-lihat, Bara ini seperti aktor Indonesia Ario Bayu—versi lebih kekar. Kulit cokelatnya, dan wajahnya yang tegas itu seperti Ario Bayu yang pernah Kinanti tonton filmnya. Dan, apakah itu artinya Bara lebih tampan? Eh, mikir apa, sih? Kinanti menggeleng. “Kenapa?” “Enggak.” Kinanti menatap Bara di antara kamar yang gelap. Mereka sampai lupa lampunya tak dinyalakan. Tapi untungnya pintu kamar yang terbuka, mendapatkan sedikit cahaya dari ruang utama kamar hotelnya. “Aku hanya enggak nyangka ninggalin acaraku sendiri.” Eits, bukan main. Bisa juga alasannya. Bara tersenyum, kalau Kinanti melihatnya. Tangan pria itu lantas terulur untuk mengusap-usap rambut Kinanti yang panjang bergelombang. Kinanti sampai tak bergerak dibuatnya. “Lain kali hati-hati, ya.” Tangan yang kokoh itu masih mengusap manis rambut Kinanti. “Jangan lupa semalaman ini kompres pakai air hangat. Biar bengkaknya cepat hilang. Sudah enggak begitu sakit, ‘kan?” Kinanti mengangguk dengan sedikit kaku, apa yang mesti dia katakan coba? “Kamu sudah makan?” “Belum.” “Mau kubelikan?” “Enggak usah.” Lah, itu sih namanya Kinanti dengan tak tahu dirinya merepotkan berkali-kali. “Tunggu di sini.” “Th, Mas Bara.” Kinanti menangkap tangan pria itu hingga membuat Bara kembali duduk di sofa. Kaget juga atas tindakan spontannya itu. “Aku bisa pesan di sini.” “Pasti lama kalau pesan di hotel.” “Enggak,” debat Kinanti. “Udah ya, Mas Bara pasti juga capek. Kita makan di sini aja, biar aku hubungi restoran hotelnya.” Pada akhirnya, Bara setuju. Apa pun itu demi membuat gadis bernama Kinanti tenang. 12 BabZ : Menutth flawal™ ce ku pasti malu-maluin, ya, semalam?” “Enggak.” “Enggak? Huh, syukur deh.” “Tapi malu-maluin banget.” “Kinanti!” Sana galau lagi. Sejak bangun tidur, gadis itu berguling-guling di kasur dan menangis. Ya Tuhan, kenapa pula dia mabuk-mabukan? Mabuk! Entah berapa banyak botol alkohol yang Sana tenggak beberapa jam yang lalu. Gara-gara lelaki itu. Hanya karena seonggok manusia yang Tuhan berikan kelamin berbeda dengannya, mengapa Sana harus merasakan kehancuran seperti ini di dalam hatinya? Hingga merambat ke kepala dan merampas akal sehatnya. Di dalam selimut, Sana menangis. Tidak bergerak. Dan diam. Kinanti yang melihatnya menghela napas. “Bangun. Ceritakan padaku.” Bagaimanapun, Sana adalah sahabatnya sejak mereka berkenalan di OSPEK IKJ empat tahun lalu. Meski berbeda prodi, Sana adalah mahasiswi Seni Tari. Well, Sana suka rese, tapi Kinanti sayang. Di balik kereseannya, gadis itu punya hati yang tulus. Dan hati itulah juga yang seringkali dipermainkan orang. 13 “Aku minta maaf soal tadi. Enggak ada yang salah denganmu kok, Sana. Kamu tetap temanku gimana pun itu kondisinya.” Kinanti kali ini membujuk dengan jujur. ”Ayolah.” Setelah ditarik-tarik, gadis itu bangun. Ada bekas jejak air mata yang terlihat di pipinya. Kinanti jadi bertanya dalam hati, apakah suatu saat nanti, dia juga akan merasakan suatu patah hati yang dalam, yang cintanya begitu terluka? “Salah satu hal yang bisa membuat hatimu lega adalah bicara padaku. Aku jamin itu.” Sana menyeka air matanya. “Kamu tahu apa yang menjadi biang masalahku?” Kinanti mengangguk, dia tahu biang masalah yang di maksud Sana—seorang lelaki di kampus mereka. Sebetulnya, sudah sejak awal Kinanti tak suka Sana berpacaran dengan lelaki itu. Sebab, masa lalunya yang kelam terdengar mengerikan ketika Sana membagi cerita pacarnya itu padanya. Edwin pecandu. “Dia mengajakku bertemu di club malam,” jujur saja, club malam bukan tempat yang asing dalam pergaulan mereka. Kinanti juga sering mengunjunginya saat merasa sumpek. “Aku minta maaf karena hal ini, aku dengan tega meninggalkan acaramu. Aku teman yang egois.” Sana menunduk, Kinanti menenangkannya. “Hei, tak apa. Kamu berhak mengejar sesuatu yang kamu harapkan bisa membuatmu bahagia.” “Tapi, nyatanya tidak.” Sana menyesal, “Aku pergi karena dia tiba-tiba menyusulku ke Bandung. Aku pikir dia sedang memberiku kejutan, dan ya, memang sebuah kejutan.” Kinanti menunggu. “Orang yang selama ini kuanggap baik, Kinanti, dia ternyata tidak sungguh-sungguh.” Sana mendongak untuk bisa menatap Kinanti. Di bola mata itu, Kinanti melihat emosinya kian menguat. “Dia masih menggunakan obat-obatan.” Oh, Kinanti sudah menduganya. Untuk seorang yang tidak menjalani rehabilitasi dengan tepat, memang sulit untuk berhenti dari kecanduannya. 14 “Dan uang yang selama ini kuberikan padanya untuk pengobatan ibunya, adalah uang yang digunakan oleh mereka untuk membeli narkoba,” cicit Sana, yang kini air matanya mengalir kembali. “Dia membohongiku tentang ibunya. Dan ibunya—” Sana sesenggukan. “Aku pikir ibunya memang sedang sakit. Tapi mereka sama saja! Keluarga pecandu itu, mereka memanfaatkanku. Padahal Kinanti, kamu tahu aku ingin mulai percaya pada seseorang. Bahwa mungkin ada yang benar-benar tulus meski masa lalunya buruk. Pada awalnya ya, dia sangat baik. Kemarin? Tidak. Aku sudah tahu semuanya.” “Gimana kamu bisa tahu?” “Aku ambil ponselnya dan melihat banyak bukti di sana.” Bicara Sana mulai tak jelas. “Dia marah-marah padaku sampai membuka topeng aslinya yang busuk itu.” Dan Kinanti rasanya bisa menerka-nerka kejadian apa selanjutnya. Sana yang frustrasi, hilang kendali, pada akhirnya melampiaskan rasa kesal itu pada botol-botol alkohol. /t was dumb, tapi Kinanti tak bisa menganggap enteng psikologi setiap orang. Dia tahu ketika itu sahabatnya sedang terguncang. Dikhianati pasti sakit. Lalu, hening. Sebelum Kinanti bicara lagi. “Aku tahu sekarang, apa yang terparah dari patah hatimu, Sana. Kamu menyakiti dirimu sendiri.” Ucapannya itu membuat Sana mau melihatnya dengan mata yang kering, menghentikan tangis. “Sana, dengar.” Kinanti beringsut makin dekat pada sahabatnya itu. “Jangan pernah berpikir kamu bisa mengubah orang lain. Jadikan ini pelajaran yang sangat berharga. Mulailah sebuah hubungan yang sehat, dengan orang yang tepat. Kenal bahkan pacaran dengan orang yang ‘tidak sehat’ hanya akan berujung pada toxic relationship. Ingat, kamu itu berharga.” Sana mendengarkan Kinanti dengan baik. “Jangan buang-buang waktumu untuk orang yang salah. You deserve more happiness.” Kinanti mengulas senyum agar sahabatnya terhibur. “Kamu mengerti, Nona penari?” Perlahan-lahan, Sana mulai tersenyum kecil. “J don’t know what I’m going to say. Makasih, Kinanti. Aku jadi bakal mikir dua kali kalau mau ngisengin kamu, nih.” Sana yang suka cengengesan kembali lagi. 15 Kinanti menahan diri untuk tidak menoyor kepala sahabatnya itu. “Emang mesti gitu, dong. Enggak boleh rese lagi sama aku.” Dan seperti ibu-ibu yang galak, gadis itu memperingati Sana. “Satu lagi, jangan berani sentuh alkohol sembarangan!” “Siap, Sobat.” “Serius!” “Tya, bawel.” Dan Kinanti tidak bisa menahan-nahan diri lagi untuk melempar wajah Sana dengan bantal. Yang dilempar malah tertawa. Padahal, omongannya yang tak mau rese lagi masih basah. Huh, dasar. Batin Kinanti. “Bangun. Mandi. Siap-siap pulang ke Jakarta.” Kinanti sih sudah siap dari tadi, dia sudah beres merapikan barang- barangnya ke dalam koper. Tinggal minta diangkut pelayan. Yang lama adalah menunggu Sana. “Come on, Sana!” “Tya, iya, bangun nih dari kasur.” Sana menjangkau ponselnya dan menyalakannya. Jangan bilang gadis itu mau berlama-lama di kamar mandi dengan menyalakan musik? “Kinanti.” “Hm.” “Gawat.” Kinanti yang mondar-mandir memasukkan alat-alat make- up nya berhenti di samping Sana. “Ada apa, sih?” “Kamu harus baca ini.” Sana terbengong. “Aku rasa ada masalah baru lagi.” Kinanti mengambil ponsel gadis itu dan tiga detik kemudian, reaksinya sama seperti reaksi Sana. Shock sekali sampai ke ubun-ubun. Holly shit. Breaking News: Dua Lawan Satu.Wah, parah! Judul macam apa ini? Mengapa mereka seenak jidat saja menulis berita tanpa mengonfirmasi kebenarannya terlebih dulu? Meski pun hatinya berang, tapi Kinanti tetap melanjutkan membaca isinya. Dua remaja yang diduga tengah mabuk terekam CCTV hotel sedang berbuat mesum di dalam lift, bersama seorang pria dewasa. Salah satu dari gadis tersebut dicurigai sebagai 16 anak pengusaha terkenal asal Indonesia, yang namanya cukup populer di jagat maya. Di dalam cuplikan CCTV, terlihat kedua gadis muda ini sedang asik berada di pelukan si pria yang nahasnya, juga merupakan pengusaha tekstil yang lahir di kota Surabaya. Skandal ini tentunya menambah daftar negatif kehidupan kelam anak-anak pengusaha yang sudah di luar batas. What the fuck. Kinanti dengan menahan sabar, memutar cuplikan CCTV yang hanya berdurasi sepuluh detik itu. Memang benar, itu dirinya, Sana dan Bara. Peristiwa ketika pergelangan kakinya terkilir, kini menjadi bumerang. Karena jika dilihat dari sisi tersebut, mereka terlihat seperti sedang bercumbu. Kinanti menjatuhkan bokongnya di kasur. Baru saja kemarin dia mengukir prestasi, dan hari ini fitnah sialan itu menghancurkannya. Ya Tuhan, bagaimana caranya Kinanti menjelaskan semua ini pada papanya? Padahal, Kinanti sudah berjanji takkan tersandung kasus apa pun yang akan mencoreng nama baik Mirano. Dan sumpah demi Neptunus, rekaman CCTV itu pasti sengaja disebarkan! Apakah hotel ini telah bersekongkol dengan para predator gosip? “Kamu mau ke mana?” “Aku harus bicara sama manajer hotel ini!” Kinanti marah sekali. Pagi yang menyebalkan menghantamnya. “Dan mereka mesti kasi penjelasan padaku kenapa CCTV ini bisa tersebar. Fitnah. Bikin malu aja. Sampai dibuat berita yang aneh-aneh di internet lagi!” Hak sepatu Kinanti menggema di lantai hotel. Gadis cantik itu sekejap berubah menjadi singa. —~ ~ Kinanti dan Sana melewati perjalanan pulang mereka menuju Jakarta dengan murung. Tak ada percakapan yang seru- seru di dalam mobil. Keduanya diam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Terlebih Kinanti. Ketika dikonfirmasi pada pihak hotel, mereka juga kaget dengan berita yang masih 17 beredar di internet. Juga setelah dicek, CCTV asli hotel masih berada di tempatnya. Kinanti kesal. Kurang ajar sekali memang mereka! Para pemangsa berita itu akan menghalalkan segala cara untuk menghasilkan uang, sekali pun merugikan hidup orang lain. Benar saja, ada yang menguntitnya entah sejak kapan dan membuat perangkap di tempat-tempat yang sangat tersembunyi. Hei, mengambil rekaman secara diam-diam ‘kan ilegal! Mereka bisa dituntut dan Kinanti jebloskan ke penjara atas tuduhan pencemaran nama baik. “Pak, nanti anterin dulu Sana ke rumahnya, ya.” “Baik, Non.” Supir keluarganya mengangguk, yang dari Jakarta buat menjemputnya datang pukul enam pagi. Sudah menunggu di lobi hotel dengan sabarnya. Bahkan, ikut menyelidiki tentang insiden CCTV itu. Ah, sudahlah. Kinanti rasanya ingin sekali mengistirahatkan pikirannya. Jadi, gadis itu memutuskan untuk tidur. Sama seperti Sana yang mendengkur halus sejak tadi. Hingga beberapa jam kemudian, mereka tiba di Jakarta saat hari sudah menjelang senja. Supirnya bilang jalanan sangat macet. Untung saja Kinanti tidur, kalau tidak, dia pasti sudah uring-uringan berat karena jalan raya yang penuh sesak oleh kendaraan, dan tak jua maju-maju. Sebelum tiba di rumahnya sendiri, Kinanti masih sempat mengantar sahabatnya sampai rumah. Yang mukanya pucat itu, dan berkali-kali bertanya apa semuanya akan baik-baik saja. Dengan tegas Kinanti bilang semuanya bakal aman dan terkendali. “Kinanti, sorry. Ini semua gara-gara ulahku. Kalian jadi ikut terseret,” sesalnya. “Kalau aja aku enggak mabuk—* “Kita lagi kena sial, jangan nyalahin diri sendiri.” Gadis itu mengingatkan lagi. “Udah, mending kamu masuk terus mandi biar tenang. Abis itu baru jelasin ke Papa dan mamamu kalau semuanya enggak bener. Kalau mereka masih enggak percaya, kontek aku.” Sana mengangguk. Dia sangat percaya pada Kinanti sekarang. Lantas Kinanti pulang. Disambut rumah yang sepi. “Non Kinanti,” tegur seorang asisten rumah tangga. 18 “Bi, Papa mana?” Kinanti mengurungkan niatnya buat naik ke lantai dua. “Tumben, kok sepi? Ini ‘kan weekend.” “Ttu, Non.” Raut muka perempuan itu nampak tak tega menyampaikan berita pada Kinanti. Sementara Kinanti sangat mendesaknya. “Pak Tristan masuk rumah sakit.” “Apa?” Kepala Kinanti pening, rasanya seperti dipukul palu Thor. “Kapan? Kenapa? Kok enggak ada yang ngabarin aku, sih?” Kinanti nyaris menangis. Sudah banyak hal yang terjadi hari ini membuat emosinya kian tak stabil. Kabar buruk satu ini berhasil memperparahnya. “Jahat tahu enggak!” “Tadi siang, Non.” Perempuan itu menunduk. “Dokter ada bilang ke rumah ini, Pak Tristan titip pesan supaya jangan kasih tahu Non selama masih di perjalanan.” Kinanti tidak peduli lagi pada apa pun. Dia harus pergi ke rumah sakit. Sekarang! -— ~ “Papal” Kinanti membuka pintu kamar rawat VVIP papanya tergesa, dan langsung menghambur ke dalam peluk pria yang rambutnya telah memutih itu. Tak acuh meski tahu buku yang sedang dibaca papanya jatuh. Juga, abai pada kehadiran asisten sang Ayah yang juga berada di dalam sana. Kinanti khawatir sekali, sampai tak sempat memerhatikan apa pun. “Kenapa Papa tega enggak kasih kabar ke Kinanti.” “Kamu ‘kan sedang di jalan.” Papanya tertawa, sembari mengusap-usap rambut Kinanti yang berantakan sehabis tadi lari-lari. “Yang ada, malah bikin kamu panik. Sekarang kamu sudah tahu dan ada di sini.” Kinanti melepas pelukan di tubuh papanya. Terlihat pipinya basah oleh air mata. “Loh, kok nangis?” “Jantung Papa kambuh gara-gara Kinanti, ya?” Gadis itu terisak-isak seperti anak kecil. Sangat merasa_bersalah, 19 mustahil kalau papanya tidak baca berita itu. Papanya pasti kaget sampai penyakit jantungnya menyerang lagi dan akhirnya harus masuk rumah sakit. “Sok tahu.” Papanya menjawil hidung Kinanti. “Papa yang jujur sama Kinanti, Papa pasti tahu berita itu.” Tangisannya makin keras. “Kinanti enggak yakin Papa akan percaya, tapi Kinanti berani sumpah demi Tuhan, Kinanti enggak lakuin seperti apa yang disebutkan di artikel itu. Artikel itu fitnah Kinanti, Pa. Kinanti hanya sedang bantu Sana yang lagi sakit.” Gadis itu sesenggukan. “Tapi Kinanti bener-bener minta maaf udah bikin Papa sakit lagi. Kinanti bisanya cuma nyusahin Papa.” “Sudah, sudah.” Tristan Mirano menghela napas, dia mengusap bahu putri yang amat dicintainya. Berusaha agar putrinya itu tak menangis. “Awalnya Papa memang kaget lihat berita itu. Tapi siang tadi, Bara sudah jelasin semuanya lewat telepon pada Papa.” “Ng?” “Kamu sama Bara ‘kan, di rekaman CCTV itu?” “Tya.” “Tya, Bara sudah jelasin kronologisnya.” Papanya ter- senyum melihat Kinanti yang bingung. Namun tangisannya sudah mereda. Pelan-pelan, Tristan Mirano merapikan anak rambut Kinanti yang berantakan. Wajah keriputnya begitu memancarkan rasa sayang yang dalam. Bola mata senja itu hangat memandang Kinanti. “Kamu adalah putri Papa yang sangat berharga. Papa menyayangimu, Kinanti. Apa pun yang kamu lakukan akan sangat berpengaruh pada Papa. Ketika kamu terluka, Papa juga terluka.” Air mata Kinanti yang panas menggenang di pelupuk mata. Kinanti mengambil tangan Tristan Mirano yang jauh lebih kurus dari beberapa tahun lalu, dan menciumnya sangat lama. Kemudian berkata, “Kinanti janji, Kinanti enggak akan bikin Papa kecewa.” Di usia Papanya yang sudah menginjak enam puluh lima tahun, Kinanti takkan bikin ulah lagi. Tristan Mirano tersenyum. Lebar dan bahagia. “Kalau begitu, hapus air matamu. Kamu kalau lagi nangis jadi jelek.” 20 Kinanti merengek. “Papa.” “Masa mau cantik terus?” “Th.” Kinanti menukas. Papanya kalau sudah kumat jahilnya, ya gitu. Di depan karyawan-karyawan sih tegasnya setengah mati. Tapi di hadapannya, Tristan Mirano selalu berubah menjadi malaikat pelindung. Tiba-tiba, Kinanti teringat oleh sesuatu. “Pa, Mas Bara memangnya bilang apa aja sama Papa?” “Kamu tidak perlu tahu.” “Kok gitu, sih?” Kinanti cemberut. “Pokoknya, Papa suka pria yang cepat mengonfirmasi sesuatu. Dia gesit dan bertanggung jawab.” Jawaban Papanya membuat Kinanti bertanya-tanya apa yang Bara katakan. Tapi sayangnya, dia tak diperbolehkan untuk tahu isi percakapan mereka. Ingat Bara, Kinanti jadi merasa bersalah juga. Pria itu tak seharusnya ikut-ikutan menjadi bahan gosip. Repot-repot memberi klarifikasi pada papanya pula. Duh, apa Kinanti mesti minta maaf sekaligus bilang terima kasih, ya? Tak ada salahnya “kan mengajak pria itu bertemu di luar? Baiklah. Kinanti sudah memutuskan. Kinanti mengambil ponsel di dalam clutch, lalu mengaktifkannya sebab sengaja dimatikan sejak dia berada di Bandung, sampai tiba di Jakarta. Ternyata, Bara juga berusaha menghubunginya lewat WhatsApp. Kinanti, kamu di mana? Aku di hotel. Kinanti melihat kapan pesan itu dikirim. Tepat setengah jam setelah Kinanti berada dalam perjalanan pulang. Jadi, pria itu menyusulnya ke hotel, setelah mungkin membaca berita di internet? “Pa, aku keluar dulu sebentar, ya.” Tepat saat Kinanti akan beranjak dari ranjang papanya, pintu kamar rawat itu terbuka. “Selamat petang, Om.” Ya ampun, Bara! Dan mata mereka bertemu segaris lurus. “Dan selamat petang, Kinanti.” “Eh, iya.” Hanya Kinanti yang menjawabnya dengan kikuk, sementara papanya membalas dengan sapaan yang sama seperti Bara lontarkan. Pria itu kini berjalan ke arah mereka lantas meletakkan parsel buah-buahan di nakas. Kinanti benar- 21 benar turun dari ranjang sekarang, dan merapikan kursi jenguk yang nyaris dia tendang tadi. “Silahkan duduk, Mas.” Aduh, Kinanti malu entah karena apa. Apakah karena Bara bilang terima kasih dengan sebuah senyum yang ganteng itu? “Aku keluar dulu ya, Pa. Mau telepon, Sana.” Kinanti langsung menyerobot pintu saat Papanya mengangguk. Di luar, bukannya cepat-cepat menghubungi Sana seperti apa yang dia bilang. Kinanti malah dibuat penasaran atas obrolan papanya dengan Bara. Tuh ‘kan. Bego. Siapa juga coba yang menyuruhnya keluar? Ih, Kinanti memang oonnya enggak bisa dikendalikan, batinnya. Percakapan mereka pun hanya samar-samar terdengar. Tapi Kinanti bisa merasakan keakraban mereka. Well, jelas akrab. Bara adalah pengusaha tekstil yang sudah sering berbisnis dengan perusahaan garment milik papanya. Jauh sebelum Kinanti PPL di tempat usaha tekstil yang Bara pimpin. Masa PPL itu pula yang menandai awal perkenalan Kinanti dan Bara hingga cukup dekat. Pada mulanya, Kinanti memanggil pria itu dengan Pak Bara. Karena usianya memang sudah matang, tiga puluh tujuh tahun. Wajar kalau Kinanti panggil Bapak ‘kan? Tapi semakin lama, Bara meminta Kinanti untuk mengubah panggilan terhadapnya. Jadi, Mas Bara. Kok terdengar makin manis ya kalau dipikirkan sekarang? “Kinanti.” “Eh, iya?” Kinanti berdiri dan lingung. Siapa tadi yang menyapanya? Hele Kinanti_ menengok dan menemukan Bara yang juga memandangnya dengan heran. Pria itu baru keluar dari kamar rawat Papanya. “Oh, Mas Bara.” “Aku memanggilmu empat kali.” Alis Kinanti nampak turun. “Maaf ya, Mas. Tadi aku enggak dengar.” Bara mengulum senyumnya. “Anak gadis enggak baik sering melamun.” Katanya, membuat Kinanti jadi ikut senyum juga. Lalu, Bara mengamati ekspresi Kinanti seksama. “Kamu 22 sudah makan?” Kinanti menggeleng. Sejak pagi belum sempat makan. “Kamu mau makan malam di luar bersamaku?” Gadis itu berpikir sejenak. “Aku—” Gimana nih? Tapi bukannya ini yang Kinanti inginkan, ya? “Aku bilang dulu sama Papa.” “Aku sudah minta izin sama papamu sebelum keluar ruangannya. Aku tahu kamu belum makan, bahkan mungkin sejak pagi.” Bara tegas dan perhatian, ditatap begitu Kinanti jadi deg-degan. Maka, gadis itu menganggukkan kepalanya. “Gimana kakimu, masih sakit?” Selagi mereka berjalan menyusuri lorong rumah sakit, Bara bertanya. Pria itu selalu memastikan jika kondisinya baik-baik saja, membuat Kinanti mengerutkan dahi. Bahkan dia sama sekali sudah melupakan rasa sakit di kakinya. Gara-gara banyak hal yang terjadi. -—~ ~ Mereka makan malam di rumah makan khas makanan Bali. Rekomendasi Bara. Enak sekali, sampai Kinanti bahkan menghabiskan es kuwutnya tak bersisa usai menyantap banyak makanan berat. Malu, semua dibayar Bara pula akhirnya. “Mas, masa kamu yang bayar, sih?” Problem of girls are being complicated. lya, ‘kan? “Aku juga—” “Kamu tahu apa yang cukup membayarku?” Bara langsung memotong, daripada Kinanti jadi tak bisa diajak berkompromi. “Dengan hanya melihatmu lahap makan.” Kok Bara manis banget, sih? Kinanti melting tapi juga khawatir. “Aku rakus banget ya makannya?” Bara mengacak-acak poni Kinanti yang sudah mulai menyentuh mata, “Kamu lucu.” Pria itu lagi-lagi memberi sentuhan yang membuat Kinanti tercekat. Banyak lelaki yang menaruh perhatian padanya, tapi tak seperti Bara. “Bohong banget,” Tukas Kinanti, sesungguhnya hanya untuk menutupi rasa gugup. Bara tersenyum. 23 “Udah, yuk, mau pulang sekarang?” Bara menawari dan anggukan Kinanti yang cepat-cepat menyusul kemudian. Mereka lantas meninggalkan rumah makan pukul 9 sembilan malam. Tetapi semakin malam, justru Jakarta kian padat sebab banyak yang ingin menghabiskan waktu di luar ketika langit sedang gulita. Sedangkan di dalam mobil, Kinanti menjangkau radio untuk memecahkan keheningan mereka. Dengan volume kecil, yang penting tak membuatnya canggung. “Kamu mau diantar ke mana, Kinanti? Kembali ke rumah sakit?” Bara bertanya saat mereka sudah setengah jalan. “Papa enggak izinin aku nginap di sana. Aku disuruh pulang dan tidur di rumah.” Ada nada sebal yang tertangkap di suaranya, membuat Bara tersenyum menanggapi. “Oke, kalau begitu ke rumahmu.” Sepi kembali. Bara konsentrasi menyetir, kecepatannya sedang, menyesuaikan dengan kondisi jalan. Kalau lengang pun Kinanti tak suka yang ngebut. Dan selalu, kejadian tadi pagi mengganggunya. Kinanti melempar pandangannya ke luar kaca mobil, dan memutuskan untuk bicara. “Kamu pasti terganggu dengan berita-berita itu.” “Enggak, kenapa harus terganggu? Itu ‘kan berita bohong.” Bara menjawabnya tangkas, tidak bertele-tele atau pura-pura tidak tahu. Tapi matanya masih fokus dan tertuju ke jalan raya. “Kamu enggak keberatan dengan asumsi orang meski itu berita bohong?” Kali ini Kinanti menatap Bara dari arah samping. Raut pria itu serius sekali ketika menyetir. “Setiap orang berhak berasumsi, tergantung kita mau menanggapinya bagaimana.” Mobil Bara mulai masuk ke area perumahaan mewah di mana Kinanti tinggal. “Kalau aku, aku memilih untuk tidak memedulikan apa pun.” Kinanti kaget ketika Bara tiba-tiba menoleh padanya untuk memberi tatapan yang—sedikit mengintimidasi. “Jangan kamu pikirkan lagi masalah itu, Kinanti. Berita bohong itu terlalu rendah untuk bisa mempengaruhi hidupmu. Mereka akan jera dengan perbuatannya sendiri.” Bara membunyikan Klakson mobilnya, dan security rumah Kinanti dengan sigap 24 membuka gerbang. Setelah lewat halaman yang luas, sekarang mobil Bara berhenti tepat di depan rumah Kinanti. Pria itu menatapnya lagi. “Kamu mengerti? Berita itu tidak menggangguku, yang menggangguku justru saat kamu malah memikirkannya terlalu dalam.” Kinanti terdiam atas kata-kata itu. Dengan sepasang mata yang mengawasi gerak Bara. Yang kini semakin mendekat padanya. Pria itu mengulurkan tangannya untuk menyentuh rambut di sisi wajah Kinanti. “Jawab aku, Kinanti.” “Ya,” bisik gadis itu. Suaranya yang pelan membuat tatapan Bara jatuh ke atas bibir Kinanti. Biasanya, apa pun yang keluar dari bibir itu, selalu bisa didengar Bara dengan jelas, tapi sekarang tidak. Karenanya, Bara menelusurkan ibu jarinya di atas bibir Kinanti yang ranum—mengusapnya hati- hati seolah bibir gadis itu adalah benda yang sangat berharga dan mudah rapuh. Tekstur bibir itu persis seperti apa yang selalu Bara bayangkan. Lembut sekali, sudah sejak lama Bara ingin tahu rasanya. “Boleh aku menciummu?” Kinanti diam saja, hanya bulu matanya yang lentik bergerak-gerak dengan lamban. Kinanti tidak tahu apa yang sedang terjadi pada mereka. Tetapi Bara membuatnya tidak mampu menggerakkan tubuh. “T guess yes.” Bara mengambil sejumput dagu Kinanti lalu menariknya, menyatukan bibir mereka. Dan tanpa aba-aba terlebih dulu, Bara melumatnya. Tak ada kecupan yang manis atau malu-malu. Bibir itu mengulum bergantian bibir atas dan bibir bawah Kinanti dengan intens. Terkadang membelainya menggunakan lidah, sebelum melumatnya kembali. Kinanti tahu Bara menciumnya, meski sebelumnya refleks otak dan tubuhnya buruk sekali dalam merespon tindakan Bara. Gadis itu hanya membiarkan semuanya terjadi. Kepala Kinanti jadi mendadak pening. Dan ketika ciuman mereka selesai, Kinanti malu sekali. Apa yang sudah dia lakukan? Bara menatap bibir Kinanti yang merah dan basah karena habis dipagut, lantas memanjat naik ke mata gadis yang pipinya bersemu-semu itu. Cantik sekali. Dengan sensual, Bara 25 menyelipkan helai rambut Kinanti ke balik telinga. Kemudian mengecup lagi bibir yang mengundang itu. Kinanti kelihatan masih bingung. Gemas, Bara mengecupnya. Lagi dan lagi. “Mas Bara.” “Kinanti.” Bara balas berbisik. Diusap-usapnya dengan lembut wajah Kinanti oleh jari-jemarinya. “Kenapa kamu menciumku?” “Karena aku ingin menciummu.” Pria itu memiringkan lehernya sebelum mendorong tengkuk Kinanti untuk dekat padanya. “Jangan lupakan ciumanku malam ini.” Bara menciumnya lagi. Dengan tempo ciumannya yang lebih cepat dari pertama. Kinanti seperti candu, membuat Bara ingin memahat rasa gadis itu di dalam mulutnya. Dan pada akhirnya, Kinanti membuka diri. Bara masuk, menyusupkan lidahnya di dalam rongga mulut Kinanti yang hangat. Dengan pelan, digodanya lidah gadis itu. Sebelum Bara mengisapnya hingga desahan halus Kinanti lolos dan terdengar. Di tengah lumatannya yang menggelora, Bara tersenyum. Meski pria itu melepas bibir Kinanti ketika mereka membutuhkan oksigen. Bara terengah, tapi Kinanti lebih hebat lagi. Kedua pipi gadis itu merah muda, hangat kala disentuh. “Kamu sangat cantik saat sedang malu, Kinanti.” Bara masih sempat-sempat menggoda Kinanti sembari menyeka bibirnya yang basah. Itu pujian yang jujur, tapi Kinanti tambah malu mendengarnya. Gadis itu mengerjapkan kelopak mata, iris ambernya menghindari Bara. Kinanti lantas mendorong pelan dada pria itu yang terasa liat. Dan berkata, “Aku turun sekarang.” Gadis itu buru-buru membuka pintu mobil, meski kakinya terasa lembek seperti jelly. Tidak peduli jua pada Bara yang mencoba untuk menahannya, hingga akhirnya pria itu hanya tersenyum membiarkan kursi di sampingnya kosong. Bara menurunkan kaca mobilnya. “Malam, Kinanti.” Kinanti yang gugup membalasnya dengan gumam yang tak jelas. Aduh, rasanya Kinanti ingin tenggelam ke bumi saja kalau begini. Bisa tidak Bara berhenti memandanginya yang sedang berjalan dan pergi? Tapi sampai Kinanti masuk lantas 26 menutup pintu, Bara masih di sana dan Kinanti bersumpah masih melihat senyum di wajah pria itu. “Non.” “Th, Bibi, ngagetin Kinanti aja.” Gadis itu meringis sambil memegangi dadanya. Ada asisten rumah tangga yang tiba-tiba muncul di sampingnya saat Kinanti masih menyandari pintu rumah. “Bibi ‘kan tadi jalan dari sana waktu denger Non buka pintu.” Ya mana Kinanti lihat. “Bibi mau tanya, Non Kinanti mau makan malam sama apa? Bibi belum masak, Non.” “Udah, enggak usah masak. Aku udah makan di luar kok.” Kinanti mulai melangkahkan kakinya menjauh dari pintu. ”Bibi istirahat aja, aku mau langsung ke kamar.” Gadis itu menaiki undakan tangga menuju lantai dua. Lega ketika melihat kamarnya yang penuh dengan hiasan dinding—khas kamar perempuan. Akhirnya, Kinanti bisa sendirian untuk menenangkan debaran jantungnya yang menggila. Gadis itu menjatuhkan tubuhnya di kasur yang empuk. Sudah memutuskan untuk tidak ganti baju, cuci muka serta pakai skincare. Kinanti ingin berbaring seperti ini saja dan menatap langit-langit kamar. Dia masih terpengaruh oleh Bara serta ciumannya yang gila itu. Jujur saja, Kinanti pernah pacaran waktu SMA. Tapi mereka tidak pernah ciuman di bibir seperti tadi. Sedangkan semenjak kuliah, Kinanti tak banyak dekat dengan pria untuk memulai hubungan yang romantis. Karena teman sekelasnya di kampus didominasi oleh perempuan. Jadi, ini adalah sensasi pertamanya, merasakan kecupan dan ciuman sekaligus. Bara mencuri dua-duanya. Saat Kinanti memejamkan kelopak mata, ponsel yang berada di samping tubuhnya berdenting dengan suara yang lucu. Ada sebuah pesan baru yang masuk ke akun Linenya. Bara. Duh, Pria itu menulis, selamat tidur. Dan— Aku menyayangimu, Kinanti. Siapa yang tidak suka pada Bara? Lelaki itu sangat tampan, pintar, dan lembut dalam memperlakukan wanita. Tapi ciuman tadi itu lembut? Kinanti meraba bibirnya yang agak 27 bengkak dan merasakan kedua pipinya kini memanas. Bisa tak tidur semalaman kalau dia terus-terusan memikirkan Bara 28 Bab3 : (Bukan) Sapasang (Kebasile alam tidurnya itu, Kinanti seperti mendengar dering telepon. Aduh, ganggu saja. Siapa sih? Tangannya lantas meraba ranjang, menemukan benda pipih lalu diletakkannya di daun telinga. “Hm?” “Pagi, Kinanti.” Gadis itu spontan membuka matanya. “Aksa?” Yang dipanggil di ujung sana, cengengesan. Kinanti langsung terduduk karenanya di kasur. “Aksa! Ya Tuhan, aku enggak lagi mimpi, ‘kan? Ini betulan kamu?” Kesadarannya mulai memulih, satu demi satu nyawanya kembali. Aksara yang sibuk dan suka melancong itu akhirnya menghubunginya, meyakinkan Kinanti bahwa semua ini bukan mimpi. “Aku ada jadwal bertanding hari ini di Bulungan, mau nonton?” “Mau, dong!” jawab Kinanti. “Aku pasti akan datang menyemangati kamu. Sudah lama enggak ketemu.” Terakhir kapan, ya? Beberapa bulan yang lalu pastinya. Sekarang, Aksara ada di Jakarta. Semoga saja lelaki itu diizinkan menginap di rumah untuk beberapa hari. Eh, tunggu, Kinanti mengerutkan kening. “Ke Jakarta kok enggak bilang-bilang dulu sebelumnya, sih?” 29 “Kamu aja yang malas cek jadwal pertandinganku di internet.” Aksara tertawa karena tahu Kinanti pasti sedang cemberut menanggapi kata-katanya. “Dan, aku enggak sempat mampir ke rumah dulu, karena begitu tiba di Jakarta kemarin pagi, timku langsung ditempatkan di hotel. Latihan.” Kinanti tersenyum, memakluminya, “Tunggu deh, aku mandi dulu, ya!” Duh, kedatangan Aksara ini moodboster amat sih. Semangatnya langsung naik. Pasti Kinanti bakal mendapat hari yang menyenangkan! Gadis itu melakukan semuanya dengan kecepatan yang sangat kilat. Seperti dikejar waktu, meski pertandingan masih beberapa jam lagi, namun jalanan ‘kan tak pernah lengang. Dia tak mau sampai terjebak macet. Apalagi, jarak antara rumahnya ke Bulungan lumayan jauh. Dan seperti biasa, setiap kali dia mau menonton Aksara bertanding, Kinanti pasti mengenakan jersey yang kakaknya itu berikan. Lalu, Kinanti pakai skincare paginya, lotion dan parfum yang disemprotkan di pergelangan tangan serta leher. Well, she is ready. Karena Aksara jelas tak membawa kendaraan, Kinanti memutuskan untuk menyetir mobil sendiri. Perjalanannya diisi oleh musik instrumental yang lahir dari 2CELLOS. Kinanti sangat menyukai permainan cello dan biola. Baginya, kualitas musik dari keduanya menciptakan sihir yang merasuk ke dalam jiwa. Begitu menggetarkan. Dan tentu saja, Kinanti juga mahir memainkannya.Tak terasa, 2CELLOS dan violinnya Lindsey Stirling mengantarkan Kinanti sampai di Bulungan tanpa rasa jenuh. Di luar arena, penonton telah berdatangan. Ada yang sudah mengantre untuk segera masuk pula. Kinanti turun dari mobil setelah diparkirkan. Sedikit menyesal, mengapa dia tak mengajak teman-temannya buat menemaninya? Sendiri ya berarti harus menghadapi semuanya sendirian. Banyak muda-mudi penggemar bola basket yang memandanginya. Mereka pasti tahu Kinanti siapa. Selebgram serta adik dari dua orang kakak laki-laki yang sukses. Yang satu. pemain basket nasional, yang satunya memimpin perusahaan keluarga. Siapa yang tak iri? Tapi sayangnya, gadis yang mereka sedang lihat itu sering melakukan kontroversi. 30

You might also like