Professional Documents
Culture Documents
Tugas Cerpen
Tugas Cerpen
CERPEN
Gegara Sepatu
Menjadi orang kaya mungkin menjadi impian semua orang, begitupun dengan
harapan akan terlahir menjadi anak di keluarga kaya. Di keheningan malam,
seringkali Rika berkhayal menjadi salah satu anak beruntung seperti yang ia
harapkan di atas becak milik ayahnya. Banyaknya nyamuk yang hinggap bergantian
di tubuhnya setiap malam tidak menjadi penghalang. Ayahnya pun sudah enggan
menyuruh Rika untuk masuk ke rumah, ia sudah lelah karena sudah bekerja dari
pagi hingga sore untuk membanting tulang demi Rika.
Rika gemar mengunggah foto kesehariannya di media sosial. Foto yang ia unggah di
sana sangat jauh berbeda dengan kehidupan aslinya. Ia seringkali memposting foto
ketika ia sedang pergi ke tempat yang terbilang mahal untuk golongan orang
sepertinya sampai teman-temannya mengira jika Rika adalah anak yang terlahir dari
keluarga kaya raya. Padahal, ayahnya hanya seorang tukang becak.
Saat itu, Rika sedang asyik melakukan panggilan telepon bersama teman-temannya
melalui ponsel. Mereka sedang membahas sepatu keluaran terbaru dari salah satu
merek sepatu luar negeri. Harga sepatu itu mahal untuknya, tetapi temannya sudah
ada yang memiliki sepatu tersebut. Tak mau kalah, Rika juga berniat untuk membeli
sepatu yang sedang mereka bahas dan memberitahu kepada teman-temannya
bahwa ia akan memiliki sepatu itu minggu depan. Karena Rika belum bekerja
sehingga ia belum memiliki penghasilan, ia tidak tahu harus mendapatkan uang
darimana selain meminta uang untuk membeli sepatu kepada ayahnya.
“Yah, Rika boleh minta uang untuk beli sepatu? Sepatu Rika sudah jelek, nih.”
Rika sebenarnya sudah tahu jawaban apa yang akan diucapkan oleh ayahnya. Rika
merengek, berharap ayahnya iba dan masih memiliki sedikit tabungan sehingga
dapat membeli barang yang tadi ia minta. Ayahnya tidak mau membelikan Rika
sepatu, karena kondisi sepatunya masih layak pakai. Ayahnya sempat menawarkan
agar sepatunya dibawa ke tukang sol saja untuk memperbaiki bagian sepatunya
yang hampir lepas, namun Rika tidak mau. Dengan muka yang tertekuk, Rika
kembali ke kamarnya karena ia merasa kesal dan sangat sedih.
Rika mengecek dompet, tas, lemari, hingga kolong kasur. Kamarnya yang tadinya
rapih, kini menjadi sedikit berantakan. Bagaimana tidak, ia mengeluarkan semua
barang dengan harapan akan menemukan uang yang terselip di sudut-sudut barang
di kamarnya. Usahanya cukup membuahkan hasil. Akan tetapi, uang yang ia
temukan hanya sejumlah dua ratus ribu rupiah. Dengan nominal yang hanya segitu,
ia tidak mungkin bisa membeli sepatu keinginannya, yang harganya satu juta rupiah.
Rika segera mengambil ponselnya untuk membuka aplikasi belanja dan mencari
barang yang semirip mungkin dengan aslinya. Tanpa membutuhkan waktu lama, ia
dapat langsung menemukannya dan langsung memesan barang tersebut. Barang
seharga seratus enam puluh sembilan ribu rupiah itu akan ia bayar ketika barang itu
sampai dan barang itu akan datang paling lama dalam waktu tiga hari.
Keesokan harinya, Rika masih marah dengan ayahnya. Ia sama sekali tidak
berbicara dengan ayahnya. Saat ayahnya pergi untuk bekerja hari ini, Rika tidak
bersalaman, tidak seperti yang ia dan anak-anak lain seharusnya lakukan ketika
melihat orangtuanya pergi bekerja. Sikapnya yang seperti itu memang sudah
menjadi kebiasaan apabila ayahnya tidak mau menuruti keinginannya.
*******
lima hari telah berlalu. Di sore hari, terdengar suara pria berjaket jingga berdiri di
depan rumah Rika membawa sebuah kotak persegi panjang dilapisi plastik hitam.
Rika segera menyiapkan uang. Sepatunya telah datang. Sepatunya tidak buruk.
Tetapi, karena barang yang dibelinya bukan produk asli, Rika tidak merasa begitu
senang ketika membuka paketnya yang baru datang itu.
Rika pun memakai sepatu yang baru saja ia beli untuk dipamerkan ke teman-
temannya. Teman-temannya banyak yang memujinya. Banyak pertanyaan yang
ditujukan untuknya mengenai sepatu yang ia kenakan. Rika tidak memberikan
respon. Ia hanya tersenyum lebar dan segera menuju ke kantin. Ia takut jika ada
yang menyadari bahwa barang yang ia beli adalah sepatu kw.
Saat di kantin, ketika Rika ingin memesan makanan, ia menemukan sebuah dompet
berwarna coklat. Ia membuka dompet tersebut. Dalam dompet itu, tidak terdapat
apa-apa selain sepuluh lembar uang seratus ribu rupiah. Karena pemilik dompet
tersebut tidak diketahui, Rika memutuskan untuk mengambil dompet tersebut. Rika
tidak berniat untuk mencuri, ia takut jika uang tersebut jatuh ke tangan orang yang
salah.
Rika mengenakan sepatu itu lagi. Tetapi, sekarang ia sudah tidak mengenakan
sepatu kw miliknya itu. Sayang sekali, tidak ada satu pun yang menotis dirinya.
Kelas sedang ramai memperbincangkan dompet yang hilang. Dompet itu milik
bendahara kelas. Di situlah tempat bendahara menyimpan uang. Uangnya senilai
satu juta rupiah. Bendahara kelas beserta anak-anak akan mencari dompet itu di
jam istirahat. Karena nominal uang dan ciri dompetnya sangat persis, Rika menjadi
sangat yakin jika dompet coklat yang ia temukan kemarin itu adalah dompet milik
bendahara kelasnya.
Kaki Rika gemetar. Badannya pucat. Sungguh, ia berniat akan mengganti uang yang
telah ia gunakan. Ayahnya mengajarkannya untuk selalu bersikap jujur. Tapi, nasi
sudah menjadi bubur. Ia tetap bersalah. Ia tidak berani mengaku kepada teman-
teman jika ia telah menemukan dompet dan telah menghabiskan uang milik kelas.
Jadi, ia berpura-pura tidak tahu dan ikut mencari dompet agar tidak ada yang
mencurigainya.
Lima jam telah berlalu. Dompet tak kunjung ditemukan. Hari pun juga sudah malam.
Tapi, kampus masih cukup ramai oleh mahasiswa yang menghabiskan waktunya
untuk kerja kelompok, organisasi, atau sekedar nongkrong bersama teman di kantin.
Akan makin sulit untuk melakukan pencarian ketika kantin sedang ramai. Akhirnya,
salah satu anak pun mengusulkan kami untuk mengecek CCTV. Aku pasrah, tidak
bisa berbuat apa-apa lagi selain menyiapkan mental karena sebentar lagi aku akan
terciduk.