You are on page 1of 2

Nama Kelompok : Jasmine Nafiisa Habibah (2019730132)

Lirisia Eka Nareswari (2019730135)

Zalfa Zahirah (2019730157)

Peran Nyai Walidah Dahlan sebagai “Pahlawan Nasional”

Siti walidah atau Nyai Ahmad Dahlan lahir di Kauman pada 1872 M. Pada 1889 Siti Walidah
dinikahkan dengan Muhammad Darwis nama kecil Kyai Ahmad Dahlan. Pernikahan tersebut
merupakan pernikahan sistem family yang kala itu banyak terjadi di Kauman. Ahmad Dahlan
sendiri adalah saudara sepupu Siti Walidah. Setelah Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah
pada tahun 1912, Ahmad Dahlan yang juga memberi perhatian khusus pada kemajuan kaum
perempuan mendorong berdirinya ‘Aisyiyah. Siti Walidah merintis gerakan ini dengan memulai
pendidikan (pengajian) bagi kaum perempuan di Kauman.

Pembangunan pendidikan yang dirintis Nyai Walida kepada anak-anak perempuan agar setara
dengan pendidikan anak laki-laki. Dalam jiwanya, Nyai walida sudah terbekali dengan memiliki
ide serta gagasan untuk mendobrak stigma masyarakat zaman dahulu yang berpikiran mengenai
perempuan hanya sebagai konco wingking saja. Stigma masyarakat yang melekat pada
perempuan sebagai makhluk lemah dan tak berdaya dapat ditanggulangi jika mendapatkan
dukungan dari laki-laki untuk saling melindungi.

Nyai Walida mampu menggagas untuk mendirikan perkumpulan Sopo Tresno, TK Aisyiyah
Bustanul Athfal, serta beliau tidak pernah mau membebani siapapun meskipun beliau istri dari
seorang pendiri organisasi Muhammadiyah. Menyimak perkembangan Sopo Tresno yang
sedemikian pesat, K.H. Mukhtar, K.H. Bagus Hadikuumo, K.H. Fakhruddin, dan tentunya K.H.
Ahmad Dahlan sendiri yang merupakan tokoh-tokoh penting di Muhammadiyah mengusulkan
agar Sopo Tresno diarahkan menjadi organisasi yang lebih bagus dan berkembang. Dengan
berbagai pertimbangan, pada 28 Jumadil Akhir 1335 H bertepatan dengan Sabtu Legi, 21 April
1917 Sopo Tresno menjadi organisasi yang bernama ‘Aisyiah.

Usaha ‘Aisyiah merupakan bagian dari bentuk kepedulian Siti Walidah terhadap sesama. Bagi
Siti Walidah kaum perempuan harus memberikan keteladanan kepada masyarakat yang sedang
membutuhkan pertolongan. Keberadaan ‘Aisyiah semakin mendapatkan tanggapan positif dari
masyarakat. Pada perkembangannya, organisasi ini semakin menyempurnakan amal usaha untuk
melayani dan mendidik masyarakat. Nilai manfaat juga bertambah bagus dari waktu ke waktu.
Keikutsertaan ‘Aisyiah dalam membangun kebersamaan dengan kelompok perempuan lainnya
tidak lain merupakan cerminan jiwa nasionalisme dan ajaran Islam yang memberikan dorongan
untuk kerja sama dengan saudara-saudara sebanga dan setanah air.

Fakta ini menunjukkan ketokohan Siti Walidah dalam perkembangan organisasi Aisyiyah.


Siti Walidah menjabat sebagai president HB Muhammadiyah bagian Aisyiyah dari tahun 1921 yang
kemudian berpindah status sebagai adviseur (penasihat) Aisyiyah sejak tahun 1927.
Semasa aktif di Aisyiyah, Siti Walidah dikenal sebagai tokoh perempuan yang memiliki pergaulan luas
dan terlibat di ranah publik.
Ia bahkan pernah diundang dalam sidang Ulama Solo di Serambi Masjid Besar Keraton Surakarta yang
notabene pesertanya adalah kaum laki-laki.
Beliau juga berpidato di hadapan kongres pada kongres Aisyiyah ke-15 di Surabaya pada 1926.
Kongres ini kemudian diwartakan di beberapa harian Surabaya seperti Pewarta Surabaya dan Sin Tit Po
yang memprovokasi kaum isteri Tionghoa agar berkemajuan seperti yang dipraktikkan warga Aisyiyah.
Kiprah Siti Walidah di Aisyiyah terus berlangsung selama puluhan tahun berikutnya.
Terakhir kali ia mengikuti kongres pada 1940 yang kala itu diadakan di Yogykarta.

Tidak sampai setahun setelah beliau menyampaikan wasiat, tepatnya 31 Mei 1946 wafat
menyusul suaminya. Pemerintah member gelar Pahlawan Nasional pada perempuan yang lebih
dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan semasa hidupnya ini. Jasanya dalam melahirkan generasi
perempuan untuk terlibat di ranah publik menjadi keteladanan yang tidak akan pernah lekang
oleh waktu.

Nyai Walidah memegang prinsip, pendidikan bisa menjadi awal penyadaran individu dan
kolektif. Hasil dari pendidikan adalah membentuk manusia yang mandiri. Terutama mandiri
dalam berpikir. Lalu meluas pada sikap mandiri dalam mengambil keputusan dan bertindak.
Lepas dari budaya taklid, takhayul, dan khurafat. Kemandirian pada akhirnya akan membuahkan
keberdayaan yang seutuhnya. Jika perempuan sudah berdaya, maka tingkat ketergantungan dan
subordinasinya di bawah laki-laki akan luntur. Sesuai dengan norma umum, perempuan yang
kerap didudukkan sebagai sosok yang berada di rumah dalam pengawasan laki-laki diubah
oleh Nyai Dahlan dengan tindakan sebaliknya.

Dalam kenangan sesepuh Muhammadiyah Muchlas Abror, Nyai Dahlan terbiasa bertabligh
dengan menunggangi kuda hingga ke Banjarnegara. Sementara Siti Ruhaini Dzuhayatin
menyebut, bahkan Nyai Dahlan juga melawan tabu dengan bersepeda, yang sangat identik
dengan Belanda ketika itu.

You might also like