You are on page 1of 17

Nama : Anastasya Lea Tessara Takapaha

NIM : 711540119041
Prodi : D-III Kebidanan Tkt 2A
MK : Medical Science
Dosen : Ibu Agnes Montolalu,S.Pd,MPH

TUGAS BUAT MATERI PENYAKIT MALARIA,DEMAN BERDARAH


VARISELA,INFEKSI NASOKOMIAL,DERMATITIS HERPES ZOSTERS
PENYAKIT MALARIA

Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit Plasmodium. Penyakit ini
menyebar lewat gigitan nyamuk yang terinfeksi parasit. Jika tidak ditangani dengan cepat dan
tepat, dapat menimbulkan komplikasi berat yang dapat berujung pada kematian.
Infeksi malaria dapat terjadi hanya dengan satu gigitan nyamuk saja. Penyakit ini tidak
menular secara langsung dari satu individu ke individu lainnya. Penularan dapat terjadi
apabila ada kontak dengan darah penderita, misalnya seorang ibu hamil menularkan kepada
janin yang dikandungnya.
Walaupun mudah menular melalui gigitan nyamuk, malaria bisa sembuh secara total bila
ditangani dengan tepat. Namun jika tidak ditangani, penyakit ini bisa berakibat fatal dari
menyebabkan anemia berat, gagal ginjal, hingga kematian. Di Indonesia, jumlah penderita
malaria cenderung menurun dari tahun ke tahun. Namun, beberapa provinsi di Indonesia
masih banyak yang menderita malaria, terutama di wilayah timur Indonesia, yaitu Papua dan
Papua Barat. Sementara itu, provinsi DKI Jakarta dan Bali sudah masuk ke dalam kategori
provinsi bebas malaria.
 Gejala Malaria

Gejala malaria paling cepat muncul sekitar satu minggu setelah Anda digigit nyamuk
Anopheles yang terinfeksi. Umumnya, masa inkubasi (waktu antara gigitan nyamuk malaria
dan dimulainya gejala) berlangsung 7-18 hari.
Lamanya masa inkubasi tergantung jenis parasit yang menginfeksi. Bahkan, ada kasus
malaria yang gejalanya baru muncul setahun setelah terinfeksi.
Gejala yang timbul sering kali ringan dan sulit diidentifikasi sebagai malaria, kecuali
dilakukan pemeriksaan darah. Beberapa gejala malaria mirip dengan gejala flu, seperti:
 Demam tinggi
 Sakit kepala
 Berkeringat
 Menggigil
 Muntah

Pada beberapa jenis malaria, demam muncul setiap 48 jam. Ketika suhu tubuh sedang
turun, Anda akan merasa kedinginan dan menggigil. Lantas, timbul demam yang disertai
keringat berlebihan dan rasa lelah. Gejala-gejala tersebut dapat berlangsung selama 6-12 jam.
Gejala malaria lainnya dapat berupa nyeri otot dan diare.
Kasus malaria paling berbahaya disebabkan oleh parasit Plasmodium falciparum. Jika
tidak ditangani dengan cepat, malaria jenis ini dapat menyebabkan komplikasi yang dapat
berakibat fatal, seperti masalah pernapasan atau kegagalan fungsi organ tubuh.
 Penyebab Malaria

Manusia dapat terkena malaria setelah digigit nyamuk yang terdapat parasit malaria di
dalam tubuh nyamuk. Gigitan nyamuk tersebut menyebabkan parasit masuk ke dalam tubuh
manusia. Parasit ini akan menetap di organ hati sebelum siap menyerang sel darah merah.
Parasit malaria ini bernama Plasmodium. Jenis Plasmodium bermacam-macam, dan akan
berpengaruh terhadap gejala yang ditimbulkan serta pengobatannya.
Dari lima jenis parasit Plasmodium yang dapat menginfeksi manusia, kasus yang paling
banyak ditemukan di Indonesia hanya dua jenis:
 Plasmodium falciparum

Ini adalah penyebab malaria paling umum dan menempati urutan pertama sebagai
penyebab kematian yang diakibatkan oleh malaria.
 Plasmodium vivax

Parasit ini menimbulkan gejala yang sedikit lebih ringan daripada malaria yang
disebabkan Plasmodium falciparum. Namun, Plasmodium vivax dapat membuat malaria
kambuh kembali karena dapat bertahan di dalam organ hati selama tiga tahun.
Waktu kemunculan gejala dari gigitan nyamuk atau masa inkubasi adalah:
 9 hingga 14 hari pada malaria akibat Plasmodium falciparum.
 12 hingga 18 hari pada malaria akibat Plasmodium vivax.

Penyebaran malaria dilakukan oleh nyamuk Anopheles betina yang sudah terinfeksi
parasit Plasmodium. Nyamuk akan terinfeksi apabila menggigit penderita malaria. Kemudian,
nyamuk akan menyebarkan parasit pada manusia lain melalui gigitannya. Biasanya nyamuk
ini menggigit pada malam hari.
Pada saat gigitan, parasit masuk ke aliran darah dan bergerak ke organ hati. Infeksi awal
akan terjadi dan berkembang di organ hati. Parasit kemudian kembali masuk ke aliran darah
dan menyerang sel darah merah.

Parasit menggunakan sel darah merah sebagai tempat berkembang biak. Dengan interval
reguler, sel darah merah yang sudah penuh parasit malaria akan meletus. Ini menyebabkan
ada lebih banyak lagi parasit yang berada di dalam aliran darah.
Sel darah merah yang sudah terinfeksi ini meletus setiap dua hingga tiga hari. Pada saat
hal itu terjadi, penderita malaria akan mengalami gejala demam, menggigil, dan berkeringat.
Parasit penyebab malaria memengaruhi sel darah merah, ini menyebabkan penularan juga
dapat terjadi apabila terjadi kontak antara individu dan darah yang terinfeksi.
Meski jarang sekali terjadi, proses berikut dapat menularkan infeksi malaria juga:
 Penderita malaria yang sedang hamil dapat menularkannya ke janin yang sedang
dikandung
 Berbagi jarum suntik dengan penderita malaria
 Transfusi darah
 Diagnosis Malaria

Bila seseorang mengalami gejala malaria, dokter akan menanyakan apakah ia tinggal atau
baru saja bepergian ke daerah yang banyak kasus malaria. Setelah itu, dokter akan melakukan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah.
Diagnosis malaria dapat dipastikan dengan memerhatikan gejala yang dialami penderita,
pemeriksaan fisik, serta tes diagnostik cepat (rapid diagnostic test/RDT). RDT dilakukan
untuk mengetahui keberadaan dan jenis parasit yang menyebabkan malaria.
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan sampel darah penderita. Dalam 20 menit,
biasanya hasilnya sudah bisa didapat. Hasil RDT sangat penting dalam menentukan tipe
pengobatan antimalaria yang akan diberikan kepada penderita.
Pemeriksaan darah juga akan dilakukan untuk mengetahui apakah pasien juga menderita
anemia. Anemia adalah salah satu komplikasi yang dapat terjadi sebagai akibat dari malaria.
Pemeriksaan darah untuk mendiagnosa malaria meliputi tes diagnostik cepat malaria
(RDT malaria) dan pemeriksaan darah penderita di bawah mikroskop. Tujuan pemeriksaan
darah di bawah mikroskop adalah untuk mendeteksi parasit penyebab malaria dan
mengetahui jenis malarianya. Perlu diketahui, pengambilan sampel darah dapat dilakukan
lebih dari sekali dan menunggu waktu demam muncul.
 Pengobatan Malaria

Penderita malaria dapat sembuh total jika malaria diobati dan ditangani dengan benar.
Proses pengobatan harus segera dimulai setelah diagnosis diketahui. Obat antimalaria yang
akan diberikan dokter tergantung pada faktor berikut:

 Jenis parasit yang menyebabkan malaria


 Tingkat keparahan malaria yang diderita
 Kehamilan penderita

Beberapa jenis malaria diketahui resisten terhadap obat-obatan tertentu. Misalnya,


malaria yang banyak ditemukan di Indonesia tidak akan bisa sembuh jika diberikan obat
antimalaria chloroquine.
Jika terjadi kasus demikian, dokter akan menyarankan kombinasi obat antimalaria.
Apabila kasus malaria yang diderita cukup parah, obat akan diberikan dalam bentuk cairan
infus di rumah sakit.
Untuk menangani malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum, obat-obatan
yang diberikan dokter adalah:
 Kombinasi artesunate dan amodiaquine
 Kombinasi dihydroartemisinin, piperaquine dan primaquine
 Kombinasi quinine, doxycycline dan primaquine

Sedangkan, untuk malaria yang disebabkan oleh Plasmodium vivax akan diobati dengan:
 Kombinasi artesunate dan amodiaquine
 Kombinasi dihydroartemisinin, piperaquine, dan primaquine

Untuk penderita malaria yang sedang hamil, risiko terjadinya malaria parah akan
meningkat. Baik ibu maupun janin yang dikandung dapat mengalami komplikasi serius.
Dokter yang merawat penderita akan melibatkan dokter kandungan agar pengobatan sesuai
dengan kondisi.
 Komplikasi Malaria

Beberapa komplikasi serius yang disebabkan oleh malaria, di antaranya anemia berat,
hipoglikemia, kerusakan otak, dan banyak organ gagal berfungsi. Komplikasi tersebut dapat
berakibat fatal dan lebih rentan dialami oleh balita serta lansia.
Beberapa komplikasi serius akibat malaria, termasuk:
Anemia berat. Sel-sel darah merah tidak dapat membawa cukup oksigen ke
seluruh tubuh. Hal ini menyebabkan rasa kantuk dan penderita merasa lemas.
 Malaria cerebral. Dalam kasus yang jarang terjadi, pembuluh darah kecil yang
menuju ke otak dapat terhambat atau bahkan tersumbat. Ini menyebabkan kejang,
kerusakan otak, dan koma.
 Kegagalan fungsi organ tubuh. Malaria dapat mengakibatkan gagal ginjal, gagal
fungsi organ hati, dan pecah organ limpa.
 Gangguan pernapasan. Penumpukan cairan di paru-paru yang akan menyulitkan
Anda bernapas.
 Hipoglikemia. Kadar gula dalam darah abnormal.
 Dehidrasi.
 Tekanan darah menurun tiba-tiba.
 Pencegahan Malaria

Pencegahan Malaria
Cara paling efektif untuk mencegah malaria adalah dengan menjaga diri agar tidak
tergigit nyamuk. Anda bisa melakukan langkah-langkah berikut ini:
 Memakai losion antiserangga
 Menggunakan pakaian yang bisa maksimal menutupi kulit
 Membersihkan bak mandi dan mencampurkan abate untuk membasmi jentik
nyamuk
 Menjaga kebersihan dengan menyingkirkan genangan air yang berpotensi menjadi
sarang nyamuk
 Memakai kelambu di kamar tidur
 Memasang jaring penutup pintu dan jendela
 Memakai obat nyamuk secara teratur

Jika Anda berencana pergi ke daerah endemik malaria, sebaiknya konsumsi obat
antimalaria terlebih dahulu agar menurunkan risiko terjangkit parasit penyebab malaria.
PENYAKIT DEMAN BERDARAH

Demam berdarah atau demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan
oleh infeksi virus Dengue. Virus ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang hidup di wilayah tropis dan subtropis.
Diperkirakan terdapat setidaknya 50 juta kasus demam berdarah di seluruh dunia tiap
tahunnya.
 Faktor Risiko Demam Berdarah

Demam berdarah dapat dipicu oleh faktor risiko tertentu. Beberapa faktor risiko demam
berdarah, yaitu:
 Pernah mengalami infeksi virus dengue sebelumnya;
 Tinggal atau bepergian ke daerah tropis; dan
 Bayi, anak-anak, orang lanjut usia, dan orang dengan kekebalan tubuh yang lemah.

 Penyebab Demam Berdarah

Demam berdarah disebabkan oleh virus Dengue yang dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti
dan Aedes albopictus. Virus tersebut akan masuk ke aliran darah manusia melalui gigitan
nyamuk. Biasanya, jenis nyamuk ini menggigit di pagi hari sampai sore menjelang petang.
Penularan virus Dengue terjadi bila seseorang yang terinfeksi digigit oleh nyamuk
perantara. Virus dari orang yang terinfeksi akan dibawa oleh nyamuk, dan menginfeksi orang
lain yang digigit nyamuk tersebut. Virus Dengue hanya menular melalui nyamuk, dan tidak
dari orang ke orang.
Virus Dengue terbagi menjadi empat tipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, dan DEN 4.
Ketika seseorang terinfeksi salah satu tipe virus Dengue dan berhasil pulih, maka tubuhnya
akan membentuk kekebalan seumur hidup terhadap tipe virus tersebut. Akan tetapi,
kekebalan terhadap salah satu virus tidak menutup kemungkinan terjadinya infeksi oleh tipe
virus Dengue yang lain. Bahkan, seseorang yang pernah terinfeksi virus Dengue lebih
berisiko terinfeksi untuk kedua kalinya.
Selain pernah mengalami infeksi virus Dengue, faktor lain yang dapat meningkatkan
risiko seseorang terkena demam berdarah adalah tinggal atau bepergian ke daerah tropis.
Demam berdarah juga lebih berisiko dialami oleh bayi, anak-anak, lansia, dan orang dengan
kekebalan tubuh lemah.
 Gejala Demam Berdarah

Gejala umumnya timbul 4-7 hari sejak gigitan nyamuk, dan dapat berlangsung selama 10
hari. Beberapa gejala demam berdarah, yaitu:
 Demam tinggi mencapai 40 derajat Celsius;
 Nyeri kepala berat;
 Nyeri pada sendi, otot, dan tulang;
 Nyeri pada bagian belakang mata;
 Nafsu makan menurun;
 Mual dan muntah;
 Pembengkakan kelenjar getah bening;
 Ruam kemerahan sekitar 2-5 hari setelah demam;
 Kerusakan pada pembuluh darah dan getah bening; dan
 Perdarahan dari hidung, gusi, atau di bawah kulit.

 Diagnosis Demam Berdarah

Diagnosis penyakit demam berdarah akan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan fisik
dan wawancara medis. Selain itu pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan darah di
laboratorium juga harus dilakukan. Sebaiknya, setelah merasakan ada gejala-gejala demam
berdarah, segera konsultasi dokter di Halodoc atau langsung kunjungi rumah sakit terdekat,
agar bisa langsung dilakukan diagnosis.
 Komplikasi Demam Berdarah

Saat demam berdarah terlambat untuk ditangani, maka komplikasi akan terjadi.
Komplikasi demam berdara atau dengue shock syndrome (DSS) memiliki beberapa gejala
dan tanda, yaitu:
 Tanda perdarahan, seperti mimisan, gusi berdarah, perdarahan di bawah kulit, muntah
hitam, batuk darah, maupun buang air besar dengan feses kehitaman;
 Tekanan darah menurun;
 Kulit basah dan terasa dingin;
 Denyut nadi melemah;
 Frekuensi buang air kecil menurun dan jumlah urine yang keluar sedikit;
 Mulut kering; dan
 Sesak nafas atau pola napas tidak beraturan.

Penanganan yang tepat dan cepat harus dilakukan ketika pengidap sudah mengalami DSS.
Jika tidak segera dilakukan penanganan, maka bisa mengakibatkan gangguan fungsi organ
tubuh yang berujung pada kematian.
 Pengobatan Demam Berdarah

Pengobatan yang spesifik untuk mengobati demam berdarah saat ini belum ada.
Pengobatan bertujuan untuk mengatasi gejala dan mencegah infeksi virus semakin memberat.
Beberapa upaya yang dianjurkan dokter, yaitu:
 Banyak minum cairan agar terhindar dari dehidrasi;
 Cukup istirahat;
 Konsumsi obat penurun panas yang relatif aman dan dianjurkan dokter;
 Menghindari konsumsi obat-obatan pereda nyeri. Hal ini dikarenakan obat-obatan
tersebut dapat menimbulkan komplikasi perdarahan.
 Pantau frekuensi buang air kecil dan jumlah urine yang keluar.

 Pencegahan Demam Berdarah

Terdapat berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah demam berdarah, yaitu:
 Anak usia 9-16 tahun seharusnya divaksinasi dengue, sebanyak 3 kali dengan jarak 6
bulan;
 Memberantas sarang nyamuk yang dilakukan dalam dua kali pengasapan insektisida
atau fogging dengan jarak 1 minggu;
 Menguras tempat penampungan air, seperti bak mandi, minimal setiap minggu;
 Menutup rapat tempat penampungan air;
 Melakukan daur ulang barang yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan
nyamuk Aedes aegypti;
 Mengatur cahaya yang cukup di dalam rumah;
 Memasang kawat anti nyamuk di ventilasi rumah;
 Menaburkan bubuk larvasida (abate) pada penampungan air yang sulit dikuras;
 Menggunakan kelambu saat tidur;
 Menanam tumbuhan pengusir nyamuk;
 Menghentikan kebiasaan menggantung pakaian;
 Menghindari wilayah daerah yang rentan terjadi infeksi;
 Mengenakan pakaian yang longgar; dan
 Menggunakan krim anti-nyamuk yang mengandung N-diethylmetatoluamide (DEET),
tetapi jangan gunakan DEET pada anak di bawah 2 tahun.

PENYAKIT VARISELA

Penyakit cacar air atau dalam istilah medis disebut varicella adalah infeksi yang
disebabkan virus Varicella zoster. Penderita yang terinfeksi virus ini ditandai dengan
munculnya ruam kemerahan berisi cairan yang sangat gatal di seluruh tubuh.
Pada sebagian besar penderitanya, cacar air merupakan penyakit ringan, khususnya
setelah digalakkan program vaksinasi cacar air pada pertengahan tahun 1990-an. Kendati
demikian, cacar air tetap dapat menimbulkan komplikasi yang lebih serius pada penderita
yang memiliki sistem kekebalan tubuh lemah, misalnya penderita HIV/AIDS.
 Gejala

Gejala cacar air muncul setelah 10 hingga 21 hari tubuh terpapar virus Varicella.
Gejala cacar air ditandai dengan:
 Demam
 Pusing
 Lemas
 Nyeri tenggorokan
 Selera makan menurun

Ruam merah, yang biasanya berawal dari perut, punggung, atau wajah, dan dapat
menyebar ke seluruh tubuh. Ruam tersebut berwarna merah, kecil, dan berisi cairan.
Kemunculan ruam ini terjadi secara bertahap dan bertambah banyak selama 2 hingga 4
hari.
Terdapat 3 tahap perkembangan ruam sebelum mencapai tahap penyembuhan. Tahap
tersebut berupa:
 Ruam merah menonjol
 Ruam mejadi seperti luka lepuh berisi cairan (vesikel), yang dapat pecah
dalam beberapa hari
 Luka lepuh yang pecah menjadi kerak kering, dan dapat hilang dalam waktu
beberapa hari.

Ketiga tahap perkembangan ruam cacar air dalam tubuh tidak berlangsung dalam
waktu yang bersamaan. Ruam baru bermunculan secara terus-menerus selama masih
terjadi infeksi, dan baru mereda hingga hilang sepenuhnya dalam waktu 14 hari.
Kondisi lebih parah dapat terjadi pada penderita dengan sistem kekebalan tubuh yang
lemah atau bayi baru lahir, di mana penyebaran ruam dapat semakin luas. Selain itu,
penderita dalam kondisi tersebut juga perlu memperhatikan tanda-tanda terjadinya
komplikasi, di antaranya:

Ruam menyebar pada satu atau kedua belah mata

Warna ruam menjadi sangat merah dan hangat, yang menunjukkan terjadi
infeksi bakteri sekunder
 Ruam diikuti keluhan pusing, disorientasi, detak jantung yang cepat, napas
pendek, tremor, kehilangan koordinasi otot, muntah, batuk yang semakin
parah, leher kaku, atau demam melebihi 39 derajat Celsius.
 Penyebab

Cacar air disebabkan oleh virus Varicella zoster yang bisa menular dengan sangat mudah
dan cepat. Infeksi virus ini bisa menyebar melalui udara saat penderita batuk atau bersin, dan
kontak langsung dari lendir, air ludah, atau cairan dari luka lepuh. Penularan ini terjadi pada
dua hari sebelum ruam muncul hingga seluruh kerak kering pada luka hilang.
Sejumlah kondisi dapat menyebabkan seseorang rentan mengalami cacar air. Di
antaranya adalah:
 Belum pernah terkena cacar air
 Belum menerima vaksin cacar air, terutama ibu hamil
 Memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, misalnya karena menderita HIV,
menggunakan obat kortikosteroid, atau menjalani kemoterapi
 Bekerja di tempat umum, seperti di sekolah atau rumah sakit
 Bayi yang baru lahir dari ibu yang yang belum divaksinasi cacar air
 Berusia di bawah 12 tahun

 Diagnosis

Diagnosis cacar air dapat ditetapkan dokter melalui pemeriksaan fisik, terutama dengan
melihat kondisi ruam pada tubuh penderita. Di samping pemeriksaan fisik, dokter juga dapat
melakukan tes darah untuk memastikan terjadinya infeksi virus, dan kultur sampel cairan
ruam atau luka pada tubuh penderita untuk mengetahui penyebabnya, namun kedua hal
tersebut jarang dilakukan.
 Pengobatan Cacar Air

Cacar air yang terjadi pada penderita dengan sistem kekebalan tubuh yang baik tidak
memerlukan pengobatan khusus. Namun, untuk meringankan gejala yang dialami penderita,
beberapa upaya berikut ini dapat dilakukan di rumah, yaitu:
 Banyak minum dan dan mengonsumsi makanan yang lembut dan tidak asin atau
asam, terutama jika ruam cacar tedapat pada mulut.
 Jangan menggaruk ruam atau luka cacar air, karena meningkatkan risiko infeksi.
Guna mencegahnya, potong kuku hingga pendek atau kenakan sarung tangan,
terutama saat malam hari.
 Kenakan pakaian berbahan lembut dan ringan.
 Mandi dengan air hangat, 3-4 kali sehari, selama beberapa hari setelah timbulnya
ruam. Setelah itu, keringkan dengan cara tepuk-tepuk dengan handuk hingga kering.
 Kompres ruam atau luka dengan air dingin untuk meringankan gejala gatal.
 Beristirahat cukup dan hindari kontak dengan orang lain untuk mencegah penyebaran
cacar air.

Di samping upaya mandiri di rumah, dokter juga dapat memberi salep atau obat minum,
seperti antihistamin, untuk mengurangi rasa gatal. Sedangkan untuk meredakan demam dan
nyeri, dokter dapat meresepkan paracetamol. Sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu kepada
dokter jika hendak membeli obat pereda nyeri yang djual bebas di pasaran. Pemberian aspirin
pada penderita cacar air tidak dianjurkan karena dapat memicu penyakit sindrom Reye.
Begitu pula dengan obat antiinflamasi nonsteroid, seperti ibuprofen, yang dapat memicu
infeksi sekunder atau kerusakan jaringan.
Di sisi lain, bagi penderita yang menggaruk ruam cacar air, maka ruam tersebut rentan
mengalami infeksi bakteri. Bila terjadi infeksi bakteri sekunder, dokter dapat memberi
antibiotik yang sebetulnya tidak perlu diberikan bila menderita cacar air tanpa infeksi
sekunder.
Sedangkan untuk penderita cacar air yang berisiko mengalami komplikasi, maka dokter
dapat memberi obat antivirus, seperti acyclovir, valacyclovir, atau famciclovir. Obat jenis ini
tidak menyembuhkan cacar air, tapi dapat menghambat aktivitas virus, sehingga gejala yang
muncul lebih ringan. Dengan demikian, sistem imunitas tubuh dapat memulihkan tubuh lebih
cepat.
Pasca kesembuhan dari cacar air, penderita berisiko mengalami infeksi lanjutan dari
Varicella zoster yang menetap di dalam tubuh, yaitu cacar ular atau herpes zoster. Setelah
sembuh dari cacar air, virus Varicella zoster akan menetap di dalam sel saraf dan dapat aktif
kembali beberapa tahun kemudian dalam bentuk penyakit herpes zoster. Kemunculan cacar
ular ini dialami oleh orang dewasa yang sudah terkena cacar air, terutama orang dengan
sistem kekbalan tubuh yang rendah.
 Komplikasi

Komplikasi penyakit cacar air rentan dialami oleh bayi yang baru lahir, lansia, serta
penderita dengan sistem kekebalan tubuh lemah. Beberapa komplikasi tersebut meliputi:
 Infeksi bakteri sekunder yang menyerang kulit, jaringan lunak, tulang, sendi atau
aliran darah (sepsis)
 Pneumonia, terutama pada penderita cacar air dewasa yang merokok
 Dehidrasi
 Radang otak atau ensefalitis
 Toxic shock syndrome.

Ibu hamil yang terkena cacar air juga berisiko mengalami komplikasi. Cacar air pada
kehamilan juga berisiko menimbulkan komplikasi. Komplikasi cacar air pada awal kehamilan
dapat menyebabkan bayi berat badan lahir rendah, serta cacat lahir berupa ukuran kepala
yang kecil atau ganguan intelektual. Apabila cacar air terjadi seminggu sebelum melahirkan
atau beberapa hari pasca persalinan, maka bayi yang lahir berisiko mengalami infeksi serius.
 Pencegahan Cacar Air

Cacar air dapat dicegah dengan proses vaksinasi. Vaksinasi cacar air merupakan langkah
preventif agar cacar air dan komplikasinya bisa dicegah secara efektif. Di Indonesia, cacar air
tidak termasuk dalam daftar imunisasi wajib untuk Si Kecil, tetapi tetap dianjurkan.
Penularan cacar air mudah dan cepat terjadi. Langkah pencegahan cacar air terhadap
penyebaran pertama yang bisa dilakukan adalah dengan mengisolasi pengidap cacar air dari
tempat-tempat umum, seperti sekolah atau kantor. Terutama 1–2 hari sebelum kemunculan
ruam hingga 1 minggu ke depan setelah awal munculnya ruam (ketika bintil-bintil telah
mengering dan menjadi koreng).
PENYAKIT INFEKSI NASOKOMIAL

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di lingkungan rumah sakit. Seseorang
dikatakan mengalami infeksi nosokomial jika infeksinya didapat ketika berada atau menjalani
perawatan di rumah sakit.
Infeksi nosokomial bisa terjadi pada pasien, perawat, dokter, serta pekerja atau
pengunjung rumah sakit. Beberapa contoh penyakit yang dapat terjadi akibat infeksi
nosokomial adalah infeksi aliran darah, pneumonia, infeksi saluran kemih (ISK), dan infeksi
luka operasi (ILO).
 Penyebab Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial paling sering disebabkan oleh bakteri. Infeksi bakteri ini lebih
berbahaya karena umumnya disebabkan oleh bakteri yang sudah kebal (resisten) terhadap
antibiotik. Infeksi nosokomial akibat bakteri ini bisa terjadi pada pasien yang sedang
mendapatkan perawatan di rumah sakit atau pasien dengan sistem imun atau daya tahan
tubuh yang lemah.
Selain bakteri, infeksi nosokomial juga dapat disebabkan oleh virus, jamur, dan parasit.
Penularan infeksi nosokomial dapat terjadi lewat udara, air, atau kontak langsung dengan
pasien yang ada di rumah sakit.
 Faktor risiko infeksi nosokomial

Ada sejumlah faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang yang berada di
lingkungan rumah sakit untuk terkena infeksi nosokomial, antara lain:
 Memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, misalnya akibat HIV/AIDS atau
menggunakan obat imunosupresan
 Menderita koma, cedera berat, luka bakar, atau syok
 Memiliki akses atau sering kontak dengan pasien yang sedang menderita penyakit
menular, tanpa menggunakan alat pelindung diri yang sesuai standar operasional
(SOP)
 Mendapatkan perawatan lebih dari 3 hari atau dalam jangka panjang di ICU
 Berusia di atas 70 tahun atau masih bayi
 Memiliki riwayat mengonsumsi antibiotik dalam jangka panjang
 Menggunakan alat bantu pernapasan, seperti ventilator
 Menggunakan infus, kateter urine, dan tabung endotrakeal (ETT)
 Menjalani operasi, seperti operasi jantung, operasi tulang, operasi penanaman
peralatan medis (misalnya alat pacu jantung atau implan), atau operasi transplantasi
organ

Selain faktor-faktor di atas, lingkungan rumah sakit yang padat, kegiatan memindahkan
pasien dari satu unit ke unit yang lain, dan penempatan pasien sistem imun yang lemah
dengan pasien yang menderita penyakit menular di ruangan yang sama, juga dapat
meningkatkan risiko terjadinya infeksi nosokomial.
 Gejala Infeksi Nosokomial

Gejala yang diderita oleh penderita infeksi nosokomial dapat bervariasi, tergantung
penyakit infeksi yang terjadi. Gejala yang dapat muncul antara lain:
 Demam
 Ruam di kulit
 Sesak napas
 Denyut nadi yang cepat
 Tubuh terasa lemas
 Sakit kepala
 Mual atau muntah
Selain gejala umum yang disebutkan di atas, gejala juga bisa timbul sesuai jenis infeksi
nasokomial yang terjadi, seperti:
 Infeksi aliran darah, dengan gejala berupa demam, menggigil, tekanan darah
menurun, atau kemerahan dan nyeri pada tempat pemasangan infus bila infeksi terjadi
melalui pemasangan infus
 Pneumonia, dengan gejala berupa demam, sesak napas, dan batuk berdahak
 Infeksi luka operasi, dengan gejala berupa demam, kemerahan, nyeri, dan keluarnya
nanah pada luka
 Infeksi saluran kemih, dengan gejala berupa demam, sakit saat buang air kecil, sulit
buang air kecil, sakit perut bagian bawah atau punggung, dan terdapat darah pada
urine

Gejala infeksi nosokomial dapat muncul pada beberapa rentang waktu berikut ini:
 Sejak awal masuk rumah sakit hingga 48 jam setelahnya
 Sejak keluar dari rumah sakit hingga 3 hari setelahnya
 Sejak selesai operasi hingga 90 hari setelahnya

 Diagnosis Infeksi Nosokomial

Dokter akan menanyakan keluhan dan gejala yang dialami oleh pasien, kemudian
melakukan pemeriksaan fisik untuk mengetahui kondisi pasien dan ada tidak tanda infeksi
lokal pada kulit.
Untuk memastikan diagnosis, dokter akan melakukan pemeriksaan penunjang berikut:
 Tes darah, untuk mendeteksi tanda infeksi dari kadar sel-sel darah
 Tes urine, untuk mengetahui ada tidaknya infeksi pada saluran kemih, termasuk untuk
melihat jenis bakteri yang menginfeksi
 Tes dahak, untuk mengetahui jenis bakteri yang menginfeksi saluran pernapasan
 Kultur darah, dahak, atau cairan luka operasi, untuk memastikan keberadaan dan jenis
dari bakteri, jamur, atau parasit yang menyebabkan infeksi
 Pemindaian CT scan, MRI, USG, atau Rontgen, untuk mendeteksi ada tidaknya
kerusakan dan tanda infeksi pada organ-organ tertentu

 Pengobatan Infeksi Nosokomial

Jika dicurigai penyebab infeksi adalah bakteri, dokter akan memberikan antibiotik secara
empiris. Terapi antibiotik secara empiris adalah pemberian antibiotik di awal, sebelum jenis
bakteri penyebab infeksi diketahui dengan pasti.
Harapannya, antibiotik tersebut dapat mengontrol atau membunuh bakteri penyebab
infeksi sambil menunggu hasil kultur keluar. Setelah hasil kultur keluar, pemberian antibiotik
dan obat lain akan disesuaikan dengan jenis bakteri atau kuman yang menyebabkan infeksi
nosokomial.
Jika infeksi nosokomial disebabkan oleh infeksi luka operasi atau ulkus dekubitus, akan
dilakukan operasi debridement. Prosedur ini berguna untuk mengangkat jaringan yang
terinfeksi dan rusak agar infeksi tidak menyebar.
Terapi suportif, seperti pemberian cairan, oksigen, atau obat untuk mengatasi gejala, akan
diberikan sesuai kondisi dan kebutuhan pasien. Terapi suportif dilakukan untuk memastikan
agar kondisi pasien tetap stabil.
Bila memungkinkan, seluruh alat yang meningkatkan risiko terjadinya infeksi akan
dicabut atau diganti.
 Komplikasi Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial yang tidak segera ditangani dapat menyebabkan berbagai komplikasi
berupa:
 Endokarditis
 Osteomielitis
 Peritonitis
 Meningitis
 Sepsis
 Abses paru
 Gagal organ
 Gangren
 Kerusakan permanen pada ginjal

 Pencegahan Infeksi Nosokomial

Langkah-langkah pencegahan infeksi nosokomial menjadi tanggung jawab seluruh orang


yang berada di rumah sakit, termasuk petugas kesehatan, seperti dokter dan perawat, pasien,
dan orang yang berkunjung. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah
penyebaran infeksi ini adalah:
1. Cuci tangan
Penting bagi semua orang yang berada di rumah sakit untuk mencuci tangan dengan
cara yang benar sesuai rekomendasi WHO. Ada 5 waktu wajib untuk cuci tangan saat berada
di rumah sakit, yaitu:
 Sebelum memegang pasien
 Sebelum melakukan prosedur dan tindakan kepada pasien
 Setelah terpapar dengan cairan tubuh (misalnya darah, urin, atau feses)
 Setelah menyentuh pasien
 Setelah menyentuh barang-barang di sekitar pasien

2. Jaga kebersihan lingkungan rumah sakit


Lingkungan rumah sakit perlu dibersihkan dengan cairan pembersih atau disinfektan.
Lantai rumah sakit perlu dibersihkan sebanyak 2–3 kali per hari, sementara dindingnya perlu
dibersihkan setiap 2 minggu.
3. Gunakan alat sesuai dengan prosedur
Tindakan medis dan penggunaan alat atau selang yang menempel pada tubuh, seperti
infus, alat bantu napas, atau kateter urine, harus digunakan dan dipasang sesuai SOP (standar
operasional prosedur) yang berlaku di tiap-tiap rumah sakit dan sarana kesehatan.
4. Tempatkan pasien berisiko di ruang isolasi
Penempatan pasien harus sesuai dengan kondisi dan penyakit yang diderita.
Contohnya, pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah atau pasien yang berpotensi untuk
menularkan penyakit ke pasien lain akan ditempatkan di ruang isolasi.
5. Gunakan APD (alat pelindung diri) sesuai SOP
Staf dan setiap orang yang terlibat dalam pelayanan di rumah sakit perlu
menggunakan alat pelindung diri sesuai SOP, seperti sarung tangan dan masker, saat
melayani pasien.
PENYAKIT DERMATITIS HERPES ZOSTERS

Dermatitis herpetiformis adalah penyakit autoimun yang berdampak pada kulit. Penyakit
ini merupakan kondisi ruam gatal yang berkaitan dengan gluten-sensitive enteropathy (GSE).
Ini terjadi ketika sistem kekebalan imun tubuh bereaksi dengan gluten yang dicerna oleh
tubuh. Namun hal ini juga bisa disebabkan oleh beberapa masalah sistem imun lainnya.
Dermatitis herpetiformis adalah penyakit autoimun yang mengakibatkan peradangan
kulit. Penyakit ini memunculkan ruam kemerahan seperti luka bakar yang melepuh, mirip
dengan lesi atau luka akibat infeksi virus herpes zoster.
Ruam yang muncul biasanya terasa sangat gatal hingga dibutuhkan pengobatan untuk
mengatasinya. Pengobatan umumnya merupakan kombinasi antara perubahan gaya hidup
dengan penggunaan obat untuk mengurangi keparahan gejala.
Dibandingkan jenis dermatitis lainnya, dermatitis herpetiformis sebenarnya tergolong
langka. Kumpulan gejalanya banyak dialami oleh orang dewasa berusia 30 – 40 tahun,
dengan jumlah penderita laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Penyakit ini juga lebih umum ditemukan pada orang-orang yang mengidap penyakit
celiac. Menurut Celiac Disease Foundation, sekitar 10 – 15% orang yang terdampak oleh
dermatitis jenis ini juga mengalami penyakit celiac.
Kendati tidak dapat dicegah, Anda bisa mengurangi risikonya dengan beberapa cara.
Mengenali tanda-tandanya juga akan membantu diagnosis sehingga penyakit dapat ditangani
dengan segera.
 Gejala Dermatitis Herpetiformis

Dermatitis herpetiformis adalah kondisi yang memiliki gejala seperti merasa gatal, kulit
terbakar seperti melepuh. Kulit yang terbakar ini muncul di kulit kepala, wajah, siku, lengan
bawah, lutut, bahu, punggung, dan bokong.
Kemunculan dermatitis jenis ini ditandai dengan rasa terbakar yang menyengat pada
permukaan kulit. Setelah itu, barulah bintik-bintik kemerahan mulai muncul satu per satu.
Gejala umum dari dermatitis herpetiformis adalah sebagai berikut.
 Bintik-bintik kemerahan yang mengumpul.
 Luka yang melepuh mirip luka bakar (lesi).
 Luka mirip gigitan serangga.
 Rasa gatal yang tak tertahankan.
 Rasa panas seperti terbakar.

Bintik kemerahan dan luka lepuh dapat muncul di berbagai bagian tubuh, mulai dari
kepala dan wajah, lengan bawah, lutut, hingga punggung dan bokong. Akan tetapi, gejala
biasanya tidak langsung muncul pada kedua sisi tubuh.
Luka lepuh biasanya akan mengerak dan menjadi borok dalam 1-2 minggu. Bagian yang
terkelupas kemudian akan meninggalkan bekas keunguan, yang diikuti dengan munculnya
kumpulan bintik-bintik kemerahan baru pada bagian tubuh lainnya.
Beberapa penderita dermatitis herpetiformis yang mengidap penyakit celiac mungkin juga
akan menunjukkan gejala lain. Salah satunya adalah kecacatan permanen pada lapisan email
gigi.
 Penyebab Dermatitis Herpetiformis

Meskipun dokter masih belum sepenuhnya memahami penyebab dermatitis herpetiformis,


faktor genetika dan gaya hidup cenderung berperan.
Dermatitis herpetiformis disebabkan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Pada
faktor internal, terdapat dua gen yang diturunkan orangtua yang diduga berkaitan dengan
munculnya dermatitis herpetiformis dan penyakit celiac.
Warisan gen tersebut muncul pada anak yang lahir dalam bentuk gangguan autoimun.
Penyakit ini menyebabkan pelepasan antibodi immunoglobulin A (IgA) dalam jumlah
banyak. IgA lantas menumpuk pada pembuluh darah di dalam kulit.
Sementara itu, faktor eksternal yang turut berperan adalah konsumsi gluten. Gluten
adalah sejenis protein yang ditemukan dalam makanan bertepung. Penderita penyakit celiac
tidak bisa mengonsumsi gluten karena dapat merusak jaringan usus halusnya.
Konsumsi gluten diduga turut memperburuk penumpukan IgA pada darah dan memicu
reaksi sistem imun yang berlebihan. Hal ini lantas menyebabkan penyumbatan pada jaringan
kulit dan memicu terbentuknya luka lepuh pada kulit.
Beberapa studi terdahulu pun menunjukkan bahwa dengan mengurangi asupan gluten,
gejala dermatitis herpetiformis dapat berkurang. Dari sinilah para ahli menyimpulkan bahwa
konsumsi gluten berkaitan dengan kemunculan dermatitis herpetiformis.
Untuk waktu yang lama, dokter tidak tahu penyebab ruam kulit ini, yang membuat
kondisi ini sulit untuk ditangani. Para ahli kemudian mengamati bahwa gejala dermatitis
herpetiformis berkurang secara signifikan pada orang yang mengubah diet mereka untuk
memasukkan sedikit atau tidak ada gluten.
Pengamatan ini mengarah pada penemuan bahwa memiliki hubungan yang kuat dengan
sensitivitas gluten. Gluten adalah protein dalam biji-bijian yang termasuk gandum, gandum
hitam, dan gandum.
Contoh makanan yang mengandung gluten, meliputi:
 roti
 kue kering
 Mie
 Semacam spageti
 sereal
 makanan yang dipanggang

 Faktor Risiko Dermatitis Herpetiformis

Ada banyak faktor yang dapat meningkatkan risiko infeksi kulit ini. Namun, penyakit ini
cenderung terjadi pada orang-orang dengan:
 Anggota keluarga mengidap penyakit celiac atau dermatitis herpes.
 Diabetes tipe 1
 Sindrom down atau sindrom turner
 Penyakit kelenjar tiroid
 Sindrom sjogren
 Kolitis

 Diagnosis Dermatitis Herpetiformis

Dalam tahap awal diagnosis, dokter akan bertanya mengenai gejala yang pernah Anda
alami. Dokter juga akan memeriksa riwayat kesehatan Anda dan apakah sebelumnya pernah
mengalami penyakit kulit lainnya atau tidak.
Gejala dermatitis herpetiformis bisa saja salah dikenali sebagai dermatitis atopik (eksim),
dermatitis kontak, atau psoriasis. Oleh karena itu, biasanya dokter akan meminta Anda untuk
menjalani beberapa tes.
 Tes yang digunakan untuk mendiagnosis dermatitis herpetiformis adalah.
 Biopsi kulit. Pemeriksaan sampel kulit dengan mikroskop untuk mendeteksi
adanya IgA pada jaringan kulit.
 Tes darah. Pemeriksaan sampel darah untuk mengidentifikasi keberadaan antibodi
IgA pada darah.
 Skin patch test. Tes uji tempel dilakukan untuk mengetahui apakah ada jenis
alergen tertentu yang menyebabkan terjadinya peradangan pada kulit.

Proses diagnosis pada penderita penyakit celiac mungkin juga disertai dengan biopsi pada
usus atau saluran pencernaan. Hal ini bertujuan untuk melihat kerusakan yang terjadi pada
bagian usus.
 Pengobatan Dermatitis Herpetiformis
Proses pengobatan dermatitis herpes bergantung dari beratnya penyakit. Pengobatan yang
umum termasuk: rendam kulit dalam air dingin untuk meredakan bengkak, gatal, dan lakukan
diet gluten. Selain itu, obat-obatan seperti steroid, losion kalamin, dapson antihistamin atau
sulfapyridine dapat mengurangi inflamasi (bengkak, kemerah-merahan), dan mengurangi
berat dan lamanya penyakit.
Di bawah ini adalah perbaikan gaya hidup dan pengobatan rumahan untuk membantu
meringankan gejala dermatitis herpetiformis.
 Menghindari makanan yang mengandung gluten.
 Menghindari aktivitas yang membuat tubuh banyak berkeringat.
 Mandi secara rutin untuk mengurangi risiko infeksi.
 Mencuci pakaian, handuk, dan seprai secara teratur.
 Melakukan pemeriksaan rutin sesuai anjuran dokter.
 Menggunakan obat-obatan yang diresepkan oleh dokter.
 Menghubungi dokter jika lepuhan pada kulit memburuk atau muncul luka baru
selama pengobatan.

Dermatitis herpetiformis merupakan peradangan kulit yang berkaitan dengan penyakit


celiac. Anda bisa mengatasi gejalanya dengan obat-obatan, tapi cara terbaik mencegahnya
adalah dengan menghindari makanan mengandung gluten.
 Pencegahan Dermatitis Herpetiformis

Tidak ada cara untuk mencegah kondisi ini. Namun, perubahan gaya hidup seperti
diet gluten dapat mengurangi potensi munculnya kembali infeksi kulit atau gangguan
gastrointestinal

You might also like