You are on page 1of 46

1

LAPORAN KASUS

EPIDURAL HEMATOM (EDH)

Disusun oleh:

Danzen Junammi Wibowo 22104101011

Sylma Okta Fianasari 22104101012

Yorda Liosa Aditama 22104101010

Pembimbing:

dr. Firman Adi Sanjaya, Sp. BS

KEPANITERAAN KLINIK MADYA

LABORATORIUM ILMU BEDAH

RSUD BLAMBANGAN BANYUWANGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG

2022
1

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah,
serta inayah-Nya kepada penyusun sehingga laporan kasus tentang “Epidural Hemato
m” ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana yang diharapkan. Tujuan
penyusunan laporan kasus ini guna memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya serta
melatih dalam menangani kasus kedokteran.

Penyusun menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan. Untuk
itu, saran dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan demi perbaikan laporan kas
us ini. Atas saran dan kritik dokter pembimbing dan pembaca, penyusun ucapkan
terima kasih.

Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi penyusun, pembaca serta rekan-
rekan lain yang membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di bidang
kedokteran.

Banyuwangi, 21 Januari 2022

Penulis
2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................1
DAFTAR ISI................................................................................................................2
BAB I............................................................................................................................3
PENDAHULUAN........................................................................................................3
1.1 Latar Belakang..............................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................4
1.3 Tujuan.................................................................................................................4
1.4 Manfaat..........................................................................................................4
BAB II...........................................................................................................................5
LAPORAN KASUS.....................................................................................................5
2.1 Identitas Pasien..................................................................................................5
2.2 Anamnesis...........................................................................................................5
2.3 Primary Survey.............................................................................................6
2.4 Pemeriksaan Fisik..............................................................................................6
2.5 Asessment.......................................................................................................7
2.6 Pemeriksaan Penunjang...............................................................................7
2.7 Planning Diagnostic......................................................................................9
2.8 Diagnosis Kerja...........................................................................................10
2.9 Planning dan Monitoring...........................................................................10
BAB III.......................................................................................................................18
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................18
3.1. Anatomi Kepala..........................................................................................18
3.2. Subdural Hematoma...................................................................................20
BAB IV........................................................................................................................42
PEMBAHASAN.........................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................44
3

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera kepala merupakan kasus yang sering terjadi, dan hampir selalu
dijumpai pada kasus kegawatdaruratan. Di Indonesia kasus cedera kepala, me
nurut Depkes RI 2007, menempati urutan ke tujuh pada 10 penyakit utama pe
nyebab kematian terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit. Insidensi p
asien dengan cedera kepala berat (GCS kurang dari 8) mencapai 100 per 100.0
00 populasi. Salah satu cedera kepala yang bisa terjadi adalah perdarahan epid
ural (Sastrodiningrat, 2006).

Kasus cedera kepala lebih banyak terjadi pada seseorang dengan usia
produktif karena berhubungan dengan mobilitas yang tinggi dan kesadaran
akan keselamatan di jalan juga masih rendah. Selain itu juga penanganan awal
yang belum benar dan keterlambatan penanganan. Penyebab terbanyak
terjadinya cedera kepala karena kecelakaan mobil dan motor (Girloy, 2000).
Perdarahan Epidural merupakan 2% komplikasi dari seluruh trauma
kepala dan 5-15% trauma kepala berat dengan rata-rata 40.000 kasus pertahun
di USA. Angka mortalitas perdarahan epidural diestimasikan 5-50% yang
dipengaruhi oleh tingkat kesadaran, jumlah perdarahan dan lokasi. Pada
pasien dengan kesadaran penuh angka mortalitas 0%, pada penurunan
kesadaran tingkat ringan-sedang 9% dan pasien koma 20% (Liebeskind,
2016).
Epidural Hematom (EDH) merupakan akumulasi perdarahan akibat
robekan pembuluh darah terutama arteri meningea media yang masuk
kedalam tengkorak melalui foramen spinosum dan berjalan diantara
durameter dan tulang dipermukaan dalam os temporale. Desakan akibat EDH
ini akan memisahkan durameter dari tulang kepala sehingga EDH dapat
bertambah besar (Sjamsuhidajat, 2014).
4

EDH tanpa cedera lain dapat tidak bergejala, setelah bertambah besar
akan terdapat peningkatan tekanan intracranial. Pasien akan mengalami nyeri
kepala, mual muntah, dan penurunan kesadaran. Jika EDH diikuti dengan
cedera otak gejala tandanya akan menjadi kabur. Diagnosa dapat ditegakkan
dengan gejala klinis, pemeriksaan penunjang seperti foto rontgen kepala
(Sjamsuhidajat, 2014).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi Epidural Hematom (EDH)?
2. Apa etiologi dari Epidural Hematom (EDH)?
3. Apa manifestasi klinis dari Epidural Hematom (EDH)?
4. Bagaimana patofisiologi Epidural Hematom (EDH)?
5. Bagaimana penatalaksaan kasus Epidural Hematom (EDH)?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi Epidural Hematom (EDH).
2. Mengetahui etiologi dari Epidural Hematom (EDH).
3. Mengetahui manifestasi klinis dari Epidural Hematom (EDH).
4. Mengetahui patofisiologi Epidural Hematom (EDH).
5. Mengetahui penatalaksaan kasus Epidural Hematom (EDH).
1.4 Manfaat
Sebagai bekal klinisi agar mampu menegakan diagnosis dan memberi terapi serta
memberikan edukasi dan informasi kepada keluarga pasien.
5

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. A

Usia : 40 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Suku : Jawa

Alamat : Banyuwangi

Status Perkawinan : Menikah

Tanggal masuk IGD: 10 Januari 2022

2.2 Anamnesis
1. Keluhan utama : Pasien jatuh dengan posisi kepala di bawah
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan tidak sadar. Saksi mengatakan pasien jatuh saat
berkerja mengangkat barang. Pasien jatuh dari tangga dan sempat keluar darah
dari hidung dan telinga kanan.
3. Keluhan penyerta :
Tidak ada.
4. Riwayat Penyakit Dahulu:
Hipertensi
5. Riwayat Penyakit Keluarga:
6

Hipertensi, DM disangkal
6. Riwayat Kebiasaan:
Merokok
7. Riwayat Sosial-Ekonomi
Cukup
2.3 Primary Survey
Airway : Bebas
Breathing : Spontan
Circulation : Nadi kuat, CRT <2detik, warna kulit normal, perdarahan (+)
Disability : GCS E2M3Vx

2.4 Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan Umum : Tidak sadar
2. GCS : E2M3VX
3. Tanda Vital
- TD : 130/90 mmHg
- Nadi : 96x/menit
- RR : 20x/menit
- Tax : 36,7C
- SpO2 : 99%
4. Kepala : Bentuk normocephal, tidak terdapat jejas
5. Mata : Conjungtiva anemis (-/-) Sklera ikterik (-/-), Cyanosis (-)
6. Telinga : terdapat darah (+) otorhoe
7. Hidung : terdapat darah (+) rhinorhoe
8. Mulut : simetris, tidak sianosis, tidak ada kelainan lain.
9. Tenggorokan :-
10. Leher : JVP normal, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar parotis
(-)
11. Pulmo :
Perkusi : sonor
Auskultasi : Ronchi (-), wheezing (-)
7

12. Cor :
Auskultasi : bising jantung (-), ekstrasistol (-)
13. Abdomen :
Palpasi : Hepar-Lien tidak teraba, asites (-)
14. Ekstremitas :
- Atas kanan : tidak terdapat jejas
- Atas kiri : tidak terdapat jejas
- Bawah kanan : tidak terdapat jejas
- Bawah kiri : tidak terdapat jejas
2.5 Asessment
Diagnosa Banding:
- Cedera kepala sedang
- Cedera kepala berat
- Epidural Hematom
- Subdural Hematom
2.6 Pemeriksaan Penunjang
- Lab Darah Lengkap
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Leukosit 24.3 X10^3/pl 3.8-10.6
Lym 34.8 % 20-40
Mix 5.7 % 0.8-10.8
Neu 59.4 % 73.7-89.7
Alc 8.5 X10^3/pl 0.8-4
Eritrosit 5.3 X10^6/pl 4.4-5.9
MCV 87.0 Fl 80-100
MCH 29.8 Pg 26-34
MCHC 34.3 g/Dl 32-36
Hemoglobin 15.8 g/Dl 13.2-18
Hematokrit 46.1 % 40-52
Trombosit 408 X10^3/pl 150-44-
8

Kimia Klinik
GDA 231 mg/Dl 70-125
BUN 10.32 MG/Dl 8-25
Kreatinin 1.44 mg/Dl 0.6-1.4
SGOT 41.6 U/L <50
SGPT 43.1 U/L <50
Rapid antigen Negatif negatif
SARS CoV-2

- CT SCAN Kepala
- X-ray Thorax
- X-ray Humerus Dextra
- X-ray Manus Dextra
9

2.7 Planning Diagnostic


- Pemeriksaan radiologis  CT SCAN Kepala
X-ray thorax
X-ray manus dextra
X-ray antebracii dextra
 CT SCAN KEPALA

Tampak lesi hiperdens berdensitas darah mengisi epidural space temporal kanan
dengan ketebalan maximal 1,6cm, densitas darah juga mengisi subdural space regio
temporal kiri dengan ketebalan <1cm, dan mengisi girus regio temporal kanan dan di
brain parenkim regio frontal kiri diameter <1cm.
10

Kesimpulan: EDH regio temporal kanan dengan ketebalan max 1,6cm, SDH regio
temporal kiri dengan ketebalan <1cm, SAH regio temporal kiri, ICH minimal di regio
frontal kiri dan Linier fraktur region temporal kanan.

X-Ray Thorax

Complete fraktur clavicula kanan

X-ray Manus Dextra

Manus kanan dalam batas normal


11

X-ray Antebrachii dextra

Complete fraktur di 1/3 distal os radius kanan dengan displace fragmen distal ke sisi
dorsal

2.8 Diagnosis Kerja


Fraktur Temporal Dextra + COS
Epidural hematoma
Fraktur Antebrachii Dextra
2.9 Planning dan Monitoring
Tatalaksana sementara :

- O2 Masker 8 Lpm
- Infus PZ 14 tpm
- Inj peinios 400mg
- Inj diazepam 1 amp IV pelan
12

- Loading phenytoin 300mg dalam PZ 100cc


- Loading mannitol 200cc lanjut 6x100 tap off
- Ambacyn 2x1
- Ondansetron 3x1
- Inj lansoprazole 1x1

Konsul dr.Firman Sp.BS-> PRO CITO OP Evakuasi EDH


13

Tanggal S O A P
10/01/2022 Menerima KU: lemah, Perfusi Lanjut infus
pasien baru akral hangat jaringan Headup 30°
dari IGD GCS : derilium cerebral Peinlos
Headup 30° 400mg/8jam
Monitor (+) Anbacim
TD: 151/104 1gr/12jam
mmHg Ondansetron
N: 96x/menit 4mg/8jam
RR: 18x/menit Lansoprazole
SpO2: 100% 30mg/12jam
Tax: 37° Phenitoin
Terpasang 100mg/8jam
infus (+) Mannitol
DC(+) 6x100cc
Produksi (+) Kalnex 500mg
Fartison
Pump morfin
10mg/50ml
Cefazolin
1gr/12jam
11/01/2022 - KU: lemah Post Op Lanjutkan
GCS : 2-3-5 trepanasi EDH intervensi
TD: 156/96 Headup 30°
mmHg Infus PZ
N: 95x/menit 1500cc/24jam
RR: 13x/menit Cefzolin 2x1g
SpO2: 100% Manitol
Tax: 37° 6x100cc
GDA 231 Phenytoin
Headup 30° 3x100mg
O2 simple Peinlos
14

mask 3x400mg
Rh -/-, Wh -/- Omeprazole
akral hangat 2x1
Odem ext (-) As Tranexamat
Monitor (+) 3x500mg
IV line (+) Pasang NGT
DC(+)
Produksi (+)
Luka post op
kepala (+)
12/01/2022 - KU: lemah Post trepanasi Peinlos
GCS : 4-4-5 evakuasi EDH 3x400mg
TD: 130/98 H-2 Phenytoin
mmHg C.Fraktur 3x100mg
N: 81x/menit antebrachii Manitol
RR: 14x/menit Dextra 6x100cc
SpO2: 100% C.Fraktur As.
Tax: 37° Parietal + COS Tranexamat
Headup 30° Hipertensi (+) 3x500mg
O2 simple Diabetes Fartison
mask Militus (+) 3x1amp
Rh -/-, Wh -/- Cefazoline
akral hangat 2x1gr
Odem ext (-) Omeprazole
Monitor (+) 2x40mg
IV line (+) Captopril
DC(+) 25mg SL
Produksi (+) Novorapid 3x4
Luka post op u SC
kepala (+) Rencana
pasang GIP
13/01/2022 Bicara KU: lemah Post trepanasi Peinlos
15

melantur GCS: 4-3-5 evakuasi EDH 3x400mg


TD: 193/115 H-3 Phenytoin
mmHg Fraktur 3x100mg
N: 117x/menit parietal+COS As.
RR: 14x/menit Fr.Antebrachii Tranexamat
SpO2: 100% Dextra 3x500mg
Tax: 37° Hipertensi (+) Fartison
UT Diabetes 3x1amp
1500cc/24jam Militus (+) Cefazoline
GDA 147 2x1gr
Headup 30° Omeprazole
O2 simple 2x40mg
mask Manitol 5x100
Rh -/-, Wh -/- tapoff
akral hangat Novorapid 3x4
Odem ext (-) u
Monitor (+) Amlodipin
IV line (+) 10mg
DC(+) Candesartan
Produksi (+) 1x16mg
Luka post op
kepala (+)
14/01/2022 - KU: cukup Post op Infus PZ
GCS : 3-4-5 trepanasi EDH 1000cc/24jam
TD: 97/68 H-4 Infus Asering
mmHg Fraktur 1000cc/24jam
N: 127x/menit parietal+COS Cefazoline
RR: 14x/menit Fr.Antebrachii 2x1gr
SpO2: 100% Dextra Phenytoin
Tax: 37° Hipertensi (+) 3x100mg
GDA 135 Diabetes Manitol 4x100
Headup 30° Militus (+) tapoff
16

O2 nasal canul Peinlos


Rh -/-, Wh -/- 3x400mg
akral hangat Omeprazole
Odem ext (-) 2x40mg
Monitor (+) Cefazoline
IV line (+) 2x1gr
DC(+) Novorapid 3x4
Produksi (+) u
Luka post op Amlodipin
kepala (+) 10mg
Candesartan
1x16mg
Paracetamol
3x1gr
Pump NE
5,6cc/jam
15/01/2022 - KU: cukup Post op Infus PZ
GCS : 3-4-5 trepanasi EDH 1000cc/24jam
TD: 121/84 H-5 Infus Asering
mmHg Fraktur 500cc/24jam
N: 107x/menit parietal+COS Cefazoline
RR: 14x/menit Fr.Antebrachii 2x1gr
SpO2: 98% Dextra Phenytoin
Tax: 37° Hipertensi (+) 3x100mg
GDA 174 Diabetes Manitol 3x100
Headup 30° Militus (+) tapoff
O2 nasal canul Peinlos
Rh -/-, Wh -/- 3x400mg
akral hangat Omeprazole
Odem ext (-) 2x40mg
Monitor (+) Cefazoline
IV line (+) 2x1gr
17

DC(+) Novorapid 3x6


Produksi (+) u
Luka post op Amlodipin
kepala (+) 10mg
Candesartan
1x16mg
Paracetamol
3x1gr
Pindah RBK
16/01/2022 Pasien KU: lemah Post trepanasi Infus PZ
mengeluh GCS : 3-5-6 evakuasi EDH 1500cc/24jam
kepala nyeri TD: 107/65 Close fraktur Inj mannitol
BAB sering mmHg antebrachii 3x100mg
1jam BAB N: 107x/menit dextra Inj phenytoin
3x RR: 14x/menit DM 3x100mg
SpO2: 98% HT Inj peinloss
Tax: 37° 3x400mg
GDA 151 Inj OMZ 2x1
Headup 30° vial
O2 nasal canul Inj cefazolin
Rh -/-, Wh -/- 2x1gr
akral hangat Novorapid
Odem ext (-) 3x6u
IV line (+) Paracetamol
DC(+) 3x1gr
Produksi (+)
Luka post op
kepala (+)
17/01/2022 Pasien KU: lemah Post trepanasi Infus PZ
kepala nyeri GCS : 3-4-5 evakuasi EDH 1500cc/24jam
TD: 107/65 Close fraktur Inj mannitol
mmHg antebrachii 3x100mg
18

N: 107x/menit dextra Inj phenytoin


RR: 14x/menit DM 3x100mg
SpO2: 98% HT Inj peinloss
Tax: 37° 3x400mg
GDA 146 Inj OMZ 2x1
Headup 30° vial
O2 nasal canul Inj cefazolin
Rh -/-, Wh -/- 2x1gr
akral hangat Novorapid
Odem ext (-) 3x6u
Monitor (+) Paracetamol
IV line (+) 3x1gr
DC(+)
Produksi (+)
Luka post op
kepala (+)
19

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi Kepala


3.1.1. Kulit kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kul
it, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeuroti
ka, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium (Sylvi
a, 2006).

3.1.2. Os cranial

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang ten
gkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.
Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar
otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar
dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat te
mporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum
(Sylvia, 2006).
20

3.1.3. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapi
san yaitu :

3.1.3.1. Duramater

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endost
eal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas j
aringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari 3 kranium. Kar
ena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang
potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana se
ring dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena y
ang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah
atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdara
han subdural (Sylvia, 2006).

Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan si


nus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan heb
at. Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi p
ada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering me
ngalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (f
osa media) (Sylvia, 2006).

3.1.3.2. Arachnoid
21

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Sela
put arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar
yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, di
sebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi o
leh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat
cedera kepala (Sylvia, 2006).

3.1.3.3. Piamater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan men
yatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga
diliputi oleh piamater (Sylvia, 2006).

3.2. Subdural Hematoma


3.2.1. Definisi

Subdural hematoma adalah kumpulan dari darah ekstraserebral, yang dapat


ditemukan dalam bentuk gumpalan darah atau cairan, terletak diantara duramater
dan lapisan tengah meningens (arakhnoid) dan tidak meluas pada daerah subarakh
noid ataupun pada bagian basal sisterna (Iliescu, 2015).

3.2.2. Klasifikasi
22

Berdasarkan Waktu subdural hematom terbagi menjadi :

1. Akut subdural hematom (1-3 hari)

Akut subdural hematom seringkali muncul setelah terjadinya cedera kepal


a berat dan muncul biasanya dari laserasi kortikal. Tindakan bedah kraniotomi seri
ng diperlukan untuk mengevakuasi hematom. Jika hematoma berupa darah dapat
di bersihkan dengan melakukan irigasi. Gejala yang timbul segera kurang dari 72 j
am setelah trauma. Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang da
pat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terga
nggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya t
etapi melebar luas. Pada gambaran Ct-scan, didapatkan lesi hiperdens.

2. Subakut subdural hematom (4-21 hari)

Biasanya berkembang dalam beberapa hari sekitar 4-21 hari sesudah traum
a. Awalnya pasien mengalami periode tidak sadar lalu mengalami perbaikan status
neurologi yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu penderita memper
lihatkan tanda-tanda status neurologis yang memburuk. Sejalan dengan meningkat
nya tekanan intrakranial, pasien menjadi sulit dibangunkan dan tidak berespon ter
hadap rangsang nyeri atau verbal. Pada tahap selanjutnya dapat terjadi sindrom he
rniasi dan menekan batang otak. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan
lesi isodens atau hipodens. Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel
darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.

3. Kronik subdural hematom (>21 hari)

Kronik subdural hematom dibedakan menjadi dua kategori yakni traumati


k dan non traumatic. Sepertiga dari total keseluruhan pasien dengan kronik subdur
al hematom tidak memiliki riwayat cedera kepala berat.

Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu bermingg


u- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas,
bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabi
la pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah.
23

Jamieson dan Yelland mengklasifikasikan SDH berdasarkan keterlibatan j


aringan otak karena trauma. Dikatakan SDH sederhana (simple SDH) bila hemato
ma ekstra aksial tersebut tidak disertai dengan cedera parenkim otak, sedangkan S
DH kompleks (complicated SDH) adalah bila hematoma ekstra axial disertai deng
an laserasi parenkim otak, perdarahan intraserebral (PIS) dan apa yang disebut seb
agai ’exploded temporal lobe’. Lebih dari 70% perdarahan intraserebral, laserasi d
an kontusio parenkim otak yang berhubungan dengan SDH akut disebabkan oleh
kontra kup (contrecoup) trauma, kebanyakan dari lesi parenkim ini terletak di lobu
s temporal dan lobus frontal. Lebih dari dua pertiga fraktur pada penderita SDH a
kut terletak di posterior dan ini konsisten dengan lesi kontra cop.

3.2.3. Etiologi

Perdarahan pada ruang subdural terjadi akibat pecahnya atau rusaknya ven
a penghubung (Bridging vein) yang ada dan melintas antara dura dan arachnoid.

Penyebab terjadinya rupture atau pecahnya bridging vein pada ruang subd
ural dibagi menjadi dua yakni traumatik dan nontraumatik (Andrew, 2005).

1. Traumatik : diakibatkan oleh karena adanya energy dari luar (trauma) yang
mengakibatkan terputusnya vena, banyak ditemukan pada akut subdural
hematom.
24

2. Non-Traumatik : diakibatkan oleh rapuhnya vena yang suatu saat dapat ruptur.
Biasa ditemukan pada pasien lanjut usia ataupun pasien dengan kasus kronik
subdural hematom.

3.2.4. Patofisiologi

Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas
hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging
vein” perdarahan seringkali terkumpul 100-200 cc saja, perdarahan biasanya akan
berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai men
gadakan reorganisasi dan selesai dalam 10-20 hari (Sylvia, 2006).

Inisiasi trauma terhadap vena penghubung menghasilkan perdarahan pada


ruang subdural. Setelah beberapa hari cloth dari perdarahan akan dilapisi oleh lapi
san tipis fibrin dan fibroblast pada hari keempat. Bagian luar dari membran akan
membesar dan fibroblast menginvasi hematom dan membentuk membran pada mi
nggu kedua (Adhiyaman & Asghar, 2002).

Membran vascular terbentuk disekeliling lesi.Darah dari dalam hematoma


subdural menarik cairan serebrospinal secara osmosis, menambah ukuran hemato
ma, membuat neomembran yang tersusun dari jaringan ikat. Membran ini mengan
dung pembuluh darah yang tipis terutama di sisi duramater. Pembuluh darah ini ra
puh dan seiring bertambahnya ukurna pembuluh darah ini dapat pecah dan terjadi
perdarahan baru kembali (Satyanegara, 2014).

Darah yang terdapat dalam kapsul akan terurai membentukcairan kental (o


smolaritas meningkat) yang dapat mengisap cairan dari ruang subarachnoid meny
ebabkan hematoma membesar. Hematomo yang 8 membesar menekan jaringan ot
ak sekitarnya, meregangkan pembuluh darah lainya menyebabkan jumlah darah d
alam rongga subdural bertambah banyak (Satyanegara, 2014).

Disamping itu, peningkatan aktivitas fibrinolisis dalam hematoma mengak


tivasi system renin-kalikrein yang menyebabkan terbentuknya bradikinin. Bradiki
nin memicu vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskuler yang pada akhirn
25

ya menambah jumlah cairan dalam rongga subdural. Akibat suplai arteri yang bai
k, perdarahan berulang, arus balik yang tidak adekuat dan thrombosis vascular, ne
omembran pada SDH kronik dapat mengalami hialinisasi, kalsifikasi bahkan osifi
kasi (Satyanegara, 2014).

Terdapat dua teori yang dipaparkan terkait patofisiologi kronik subdural h


ematom, tekanan osmotik dan perdarahan rekuren dari kapsul hematom berhubun
gan dengan hiperfibrinolisis.Gardner pertama kali memaparkan bahwa membrane
sekitar hematom bertindak sebagai membrane osmotic, dengan cairan serebrospin
al berdifusi kedalam 9 hematoma yang hiperosmotik. Hal ini yang menerangkan b
ahwa terjadi proses peningkatan ukuran dari hematoma (Sakellaridis, 2015).

3.2.5. Manifestasi klinis (Adhiyaman & Asghar, 2002), (Sjamsuhidajat, 2004).


1. Perdarahan akut

Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya cedera otak yang terj
adi pada saat benturan trauma dan kecepatan pertambahan volume SDH. Penderit
26

a-penderita dengan trauma berat dapat menderita kerusakan parenkim otak difus y
ang membuat mereka tidak sadar dengan tanda-tanda gangguan batang otak.

Penderita dengan SDH yang lebih ringan akan sadar kembali pada derajat
kesadaran tertentu sesuai dengan beratnya benturan trauma pada saat terjadi kecel
akaan (initial impact). Keadaan berikutnya akan ditentukan oleh kecepatan pertam
bahan hematoma dan penanggulangannya. Pada penderita dengan benturan trauma
yang ringan tidak akan kehilangan kesadaran pada waktu terjadinya trauma. SDH
dan lesi massa intrakranial lainnya yang dapat membesar hendaklah dicurigai bila
ditemukan penurunan kesadaran setelah kejadian trauma. Stone dkk melaporkan b
ahwa lebih dari separuh penderita tidak sadar sejak kejadian trauma, yang lain me
nunjukkan beberapa lucid interval.

Gejala-gejala klinis terjadi akibat cedera otak primer dan tekanan oleh mas
sa hematoma. Pupil yang anisokor dan defisit motorik adalah gejala klinik yang p
aling sering ditemukan. Lesi pasca trauma baik hematoma atau lesi parenkim otak
biasanya terletak ipsilateral terhadap pupil yang melebar dan kontralateral terhada
p defisit motorik. Akan tetapi gambaran pupil dan gambaran motorik tidak merup
akan indikator yang mutlak bagi menentukan letak hematoma. Gejala motorik mu
ngkin tidak sesuai bila kerusakan parenkim otak terletak kontralateral terhadap SD
H atau karena terjadi kompresi pedunkulus serebral yang kontralateral pada tepi b
ebas tentorium. Trauma langsung pada saraf okulomotor atau batang otak pada sa
at terjadi trauma menyebabkan dilatasi pupil kontralateral terhadap trauma. Perub
ahan diamater pupil lebih dipercaya sebagai indikator letak SDH.

Secara umum, gejala yang nampak pada subdural hematom seperti pada ti
ngkat yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan kesadar
an hematom subdural tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal primer, kec
uali bila ada efek massa atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak khas dan meru
pakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti: sakit kepala, mual,
muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisok
or pupil, dan defisit neurologis lainnya, kadang kala dengan riwayat trauma yang t
idak jelas, sering diduga tumor otak.

2. Perdarahan kronik
27

a. Common presentation
- Perubahan status mental

Tampak pada 50-70% dari lansia, dapat tampak sebagai bingung, koma. A
kut delirium sulit dibedakan dengan gejala psiktik. Beberapa pasien mungkin akan
mengalami gejala paranoid atau depresi. Pada era dimana belum ditemukan adany
a CT –scan didapatkan dari 200 pasien psikiatri terdapat 14 diantaranya menderita
SDH.

- Defisit fokal neurologis fokal

Hemiparesis ditemukan 58 % pada pasien. Kelemahan pada tungkai biasa r


ingan, deficit biasa terjadi pada daerah kontralateral namun terdapat juga laporan
akan ipsilateral.

- Sakit kepala

Insidensi terjadinya sakit kepala 14- 80 %, dan sering tampak pada pasien
usia lanjut dibanding pasien muda. Hal ini merupakan bagian dari pengaruh besar
nya hematom sehingga dapat memberikan tekanan kepada otak.

- Jatuh

74 % pasien dilaporkan sering jatuh, kebiasaan akan sering jatuh dapat me


ngakibatkan perdarahan kembali pada subdural hematom.

- Kejang

6% dari kasus didapatkan pasien mengalami kejang. Pada pasien yang dik
etahui mengidap epilepsi didapatkan bahwa lebih sering terjadi kejang.

- Defisit transient neurologis (TND)

Tidak selalu (TND) menggambarkan adanya iskemia serebral, angka kejad


ian berkisar 1-12%. Intermiten paraparesis dapat muncul setelah dilakukan drainas
e. Mekanisme yang mungkin terjadi peningkatan sesaat parenkim yang membeng
kak akibat kesalahan vascular ataupun iskemia.

b. Uncommon presentation
28

- Defisit Neurologis terisolasi

Pasien tampak vertigo dan nystagmus, okulomotor palsy juga dilaporkan.


Peningkatan tekanan intracranial mengakibatkan herniasi uncal dan menarik saraf
kranialis.

- Extrapyramidal sindrom

Akinetic-rigid sindrom yang dapat kembali pulih setelah operasi dilakukan


Mekanisme yang mungkin terjadi adalah adanya tekanan pada bangsal ganglia, p
enekanan pada midbrain, gangguan sirkulasi pada basal ganglia akibat kesalahan p
osisi dan kompresi dari arteri khoridalis anterior.

- Sindrom neurologis lain

Gerstmann sindrom (disorientasi kanan-kiri, agnosia jari,agraphia dan acal


culia) dan progresif quadriparesis.

- Mudah terjatuh

Biasa muncul pada akut onset defisit kontralateral postural lesi pada basal
ganglia. Hal ini berhubungan juga dengan lesi kecil yang iskemik. 12 Jatuh dari p
asien biasa tampak bergeser kea rah lateral atau diagonal belakang.

3.2.6. Diagnosa (Richard, 2012)


1. Anamnesa

Dari anamnesis di tanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan jej
as dikepala atau tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan kes
adaran atau pingsan. Jika ada pernah atau tidak penderita kembali pada keadaan sa
dar seperti semula. Jika pernah apakah tetap sadar seperti semula atau turun lagi k
esadarannya, dan di perhatikan lamanya periode sadar atau lucid interval. Untuk ta
mbahan informasi perlu ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah terj
adinya trauma kepala.

Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk mencari penyeb


ab utama penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau sumbatan nafas atas, a
tau karena proses intra kranial yang masih berlanjut. Pada penderita sadar perlu dit
29

anyakan ada tidaknya sakit kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak ses
isi dan muntahmuntah yang tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yan
g sedang diderita, obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat ini, dan apakah dalam
pengaruh alkohol.

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang me


ncakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan darah atau nadi (c
irculation) yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas harus dibersihkan apabi
la terjadi sumbatan atau obstruksi, bila perlu dipasang orofaring tube atau endotra
keal tube lalu diikuti dengan pemberian oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempert
ahankan perfusi dan oksigenasi jaringan tubuh. Pemakaian pulse oksimetri sangat
bermanfaat untuk memonitor saturasi O2. Secara bersamaan juga diperiksa nadi d
an tekanan memantau apakah terjadi hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan t
ekanan intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau syok harus segera dilakukan 13 pe
mberian cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Terjadinya peningkata
n tekanan intrakranial ditandai dengan refleks Cushing yaitu peningkatan tekanan
darah, bradikardia dan bradipnea.

Pemeriksaan neurologik yang meliputkan kesadaran penderita dengan men


ggunakan Skala Koma Glasgow, pemeriksaan diameter kedua pupil , dan tanda- ta
nda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan Skala Koma Glasgow
menilai kemampuan membuka mata, respon verbal dan respon motorik pasien ter
dapat stimulasi verbal atau nyeri. Pemeriksaan diamter kedua pupil dan adanya de
fisit neurologi fokal menilai apakah telah terjadi herniasi di dalam otak dan tergan
ggunya sistem kortikospinal di sepanjang kortex menuju medula spinalis.

Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial melip


uti GCS, lateralisasi dan refleks pupil. Hal ini dilakukan sebagai deteksi dini adan
ya gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah d
ilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma langsung
pada mata membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit.

3. Pemeriksaan penunjang (Sjamsuhidajat, 2004)


30

a. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin, elek


trolit, profil hemostasis/koagulasi.

b. Foto tengkorak

Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan ada


nya SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai untuk meramalkan kemungkinan adan
ya perdarahan intrakranial tetapi tidak ada hubungan yang konsisten antara fraktur
tengkorak dan SDH. Bahkan fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap SDH.

c. CT-Scan

Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila disangka terdap


at suatu lesi pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat seluruh jaringa
n otak dan secara akurat membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-aksial dan ek
stra-aksial. :

- Perdarahan Subdural Akut

Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak seba
gai suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang ba
gian dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas ot
ak di daerah parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit di daerah bagian a
tas tentorium serebelli. Subdural hematom berbentuk cekung dan terbatasi oleh ga
ris sutura. Jarang sekali, subdural hematom berbentuk lensa seperti epidural hemat
om dan biasanya unilateral.

Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan gamb
aran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT window
width. Pergeseran garis tengah (midline shift) akan tampak pada perdarahan subd
ural yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada midline shift harus dicuriga
i adanya massa 15 kontralateral dan bila midline shift hebat harus dicurigai adany
a edema serebral yang mendasarinya.
31

Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena serebelum rela


tif tidak bergerak sehingga merupakan proteksi terhadap ’bridging veins’ yang ter
dapat disana. Perdarahan subdural yang terletak diantara kedua hemisfer menyeba
bkan gambaran falks serebri menebal dan tidak beraturan dan sering berhubungan
dengan child abused.

- Perdarahan Subdural Subakut

Di dalam fase subakut perdarahan subdural menjadi isodens terhadap jarin


gan otak sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh karena itu pemeriks
aan CT dengan kontras atau MRI sering dipergunakan pada kasus perdarahan sub
dural dalam waktu 48 – 72 jam setelah trauma kapitis. Pada gambaran T1-weighte
d MRI lesi subakut akan tampak hiperdens. Pada pemeriksaan CT dengan kontras,
vena-vena kortikal akan tampak jelas dipermukaan otak dan membatasi subdural h
ematoma dan jaringan otak. Perdarahan subdural subakut sering juga berbentuk le
nsa (bikonveks) 16 sehingga membingungkan dalam membedakannya dengan epi
dural hematoma. Pada alat CT generasi terakhir tidaklah terlalu sulit melihat lesi s
ubdural subakut tanpa kontras.
32

- Perdarahan Subdural Kronik

Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat
pada gambaran CT tanpa kontras. Sekitar 20% subdural hematom kronik bersifat
bilateral dan dapat mencegah terjadi pergeseran garis tengah. Seringkali, hematom
a subdural kronis muncul sebagai lesi heterogen padat yang mengindikasikan terja
dinya perdarahan berulang dengan tingkat cairan antara komponen akut (hyperden
se) dan kronis (hipodense).
33

d. MRI (Magnetic resonance imaging)

Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk mengidentifikas


i perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan mempunyai proses yang lebih ce
pat dan akurat untuk mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis menggunakan CT-
scan ketimbang MRI pada fase akut penyakit. MRI baru dipakai pada masa setela
h trauma terutama untuk menetukan kerusakan parenkim otak yang berhubungan
dengan trauma yang tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan CT-scan. MRI lebih s
ensitif untuk mendeteksi lesi otak nonperdarahan, kontusio, dan cedera axonal dif
us. MRI dapat membantu mendiagnosis bilateral subdural hematom kronik karena
pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada CT-scan.
34
35

3.2.7. Tatalaksana
1. Non-Operatif (Jehuda, 2017)

Tindakan konservatif terkait tatalaksana SDH menggunakan berbagai mac


am obat-obatan.

a. Kortikosteroid

Kortikosteroid menghambat sintesis pro-inflamasi, system imun, enzim pr


oinflamasi dan sintesis nitric oxide dan siklooxygenase. Kortikosteroid menguran
gi serta mengacaukan reaksi inflamasi yang terinduksi angiogenik. Hal ini dibukti
kan dalam uji coba pada hewan tikus, tikus yang diberi dexamethasone pada strukt
ur histologinya didapatkan bahwa tidak terbentuknya neomembran pada SDH. Stu
di pertama penggunaan kortikosteroid dimulai pada tahun 1974 oleh Bender. Nam
un tetap opsi pembedahan masih menjadi opsi pertama sebagai tatalaksana. Dikata
kan bahwa penggunaan kortikosteroid untuk pengobatan konservatif direkomenda
sikan pada pasien tanpa gejala fokal dan nonsopor atau nokomatous pasien. Kortik
osteroid dapat menjadi alternative pengobatan pada pasien dengan subdura hemat
om kronik yang tidak dapat dilakukan pembedahan untuk drainase.

Pada 2009 Delgado-Lopez menggunakan tindakan konservatif kortikostero


id, dexamethasone 4 mg setiap 8 jam selama 48-72 jam, jika pasien mengalami pe
rbaikan maka dosis dikurangi menjadi 1 mg/ hari selama 3 hari. 96 % dari keselur
uhan pasien yang diberikan memberikan efek yang baik.

Dalam studi meta analisis didapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang sig
nifikan akan rekurensi,morbiditas, mortality, dari pasien yang diobati dengan korti
kosteroid ataupun dengan tindakan pembedahan.Namun dosis ideal dan durasi dar
i pengobatan masih belum jelas dan butuh studi lebih lanjut dalam populasi yang
besar.

b. ACE inhibitor

Efek dari penggunaan ACE inhibitor masih tidak jelas. Obat ini digunakan
untuk mengobati hipertensi pada arteri, namun patologis dengan meningkatkan ak
tivitas angiogenik seperti Kaposi’s sindrom dan diabetic retinopati. Dikatakan bah
36

wa ACE inhibitor dapat mengurangi risiko akan rekurensi dan berkembangnya SD


H. ACE inhibitor diketahui meningkatkan 20 level dari bradikinin, produk akhir d
ari kalikrein –kinin system. Bradkinin, peptide vasoaktif , menginduksi permeabili
tas dan vasodilatasi, memicu terjadinya ekstravasasi darah dari neomembran pada
SDH, mempengaruhi berkembangnya hematoma. Studi mempelajari belum adany
a efekasi dari ACE inhibitor sebagai pengobatan konservatif yang berdiri sendiri.

c. Asam Traneksamat

Fibrinolisi dan hiperkoagulasi tampak memainkan peran dalam terjadinya l


iquefikasi dan progresi dari SDH. Sebagai tambahan, peningkatan permeabilitas d
ari kapiler pada bagian luar membrane hematoma membuat terjadinya perdarahan
mikro yang membuat hematoma menjadi berkembang. Kalikrein system , yang ter
aktivasi oleh plasmin, terinduksi oleh inflamasi dan peningkatan permeabilitas vas
cular, migrasi dari sel leukosit ditemukan pada bagian luar dari membrane kronik
SDH.

Asam traneksamat memiliki antifibrinolitik efek melalui inhibisi aktivasi p


lasminogen dan plasmin. Terdapat hipotesa mengatakan bahwa asam traneksamat
mungkin dapat menghambat aktivitas fibrinolitik dan meningkatkan permeabilitas
vascular dari membrane hematom, berpengaruh terhadap penyerapan dari hemato
m. Dengan adanya asumsi ini , Kageyama melakukan penilitian dengan memberik
an 750 mg asam traneksamat satu kali per hari didapatkan penyerapan menyeluruh
yang komplit terhadap seluruh hematoma, dapat disimpulkan bahwa pengobatan d
engan menggunakan asam traneksamat dapat menjadi pengobatan konservatif yan
g valid.

Namun sampai saat ini penggunaan akan asam traneksamat padapasien kro
nik SDH masih dalam penelitian, terutama penggunaanya pada pasien dengan risi
ko tromboembolik, harus dievaluasi kembali dengan studi yang lebih besar

d. Manitol

Mannitol adalah diuretik osmotik yang digunakan untuk pengobatan tekan


an intrakranial yang meningkat. Pada kronik SDH, hipotesa bahwa hematoma me
ningkat sebagai hasil gradien osmotik dalam kapsul hematoma. Akibatnya, pening
37

katan hematoma menghasilkan ketegangan pada kapsul, yang menyebabkan perda


rahan mikro dan pembesaran hematoma lebih lanjut. Pengurangan tekanan hemato
ma dengan menggunakan manitol dapat mencegah rangkaian kejadian ini, menghe
ntikan persinggahan terus-menerus di dalam rongga hematoma dan secara serenta
k membiarkan resorpsi spontan hematoma.

Berdasarkan asumsi tersebut, Suzuki dkk. diberikan 500-1000 ml mannitol


drip (20%) setiap hari sebagai modalitas pengobatan konservatif untuk kronik SD
H. Dari 23 pasien yang berurutan, 22 menunjukkan penurunan volume hematoma
dan pemulihan neurologis yang lengkap saat menindaklanjuti, sedangkan dalam sa
tu kasus drainase lubang bor dibutuhkan setelah 12 hari pengobatan manitol.

Mereka merekomendasikan penggunaan dosis 1000 ml, karena ini menunj


ukkan hasil yang lebih baik daripada dosis 500 ml, dan jika pengobatan menguran
gi gejala setelah 3 sampai 4 hari, evakuasi bedah harus segera dilakukan.

e. Platelet

activating factor receptor antagonist Peradangan tampaknya memainkan pe


ran utama dalam patogen dari kronik SDH. Faktor pengaktif platelet (PAF), media
tor lipid yang sangat manjur, telah terbukti terlibat dalam pembentukan dan pertu
mbuhan Kronik SDH.

Sebuah studi yang melibatkan 62 pasien yang didiagnosis dengan cSDH d


an hanya menunjukkan gejala ringan (tidak ada paresis, tanpa herniasi), secara ber
gantian ditugaskan ke kelompok perlakuan (etizolam 3 mg per hari selama 14 har
i) dan kelompok kontrol secara prospektif. Karena putus sekolah, 53 pasien 22 ter
masuk dalam analisis akhir, 24 pada kelompok perlakuan dan 29 pada kelompok k
ontrol.

Penulis menyimpulkan bahwa etizolam dapat meningkatkan resolusi cSD


H, terutama pada pasien dengan hygroma atau tumor dengan kepadatan rendah pa
da CT dan tanpa paresis pada saat presentasi.

f. Statin
38

Laporan sebelumnya menunjukkan bahwa statin meningkatkan angiogenes


is dan menahan peradangan. Sebuah studi pada tikus menunjukkan bahwa resolusi
SDH dan pemulihan neurologis tikus yang diobati dengan atorvastatin lebih cepat
dan lebih baik daripada tikus yang diobati dengan garam.

Selain itu, pemeriksaan mikroskopik membran menunjukkan kepadatan C


D31 + neovaskulatur yang lebih tinggi, tingkat interleukin-6 yang lebih rendah, fa
ktor nekrosis tumor-α dan VEGF, dan jumlah granulosit neutrofil yang lebih rend
ah pada kelompok atorvastatin. Para penulis menyimpulkan bahwa modulasi infla
masi yang diinduksi oleh statin pada tikus menghilangkan SDH dan memperbaiki
pemulihan neurologis.

Berdasarkan asumsi serupa, Wang et al. melakukan penelitian proseptif ter


masuk 23 pasien yang dirawat secara konservatif untuk kronik SDH dengan atorv
astatin (dosis oral 20 mg sekali sehari selama 1-6 bulan). Dari 23 pasien, satu men
galami pembedahan karena kerusakan neurologis setelah 4 minggu pengobatan ko
nservatif, dan 22 pasien lainnya mengalami penurunan volume hae matoma yang s
ignifikan pada bulan pertama pengobatan. Tidak satu pun dari 22 pasien ini meng
alami kekambuhan selama 36 bulan masa tindak lanjut dan tidak ada efek sampin
g atorvastatin yang didokumentasikan. Hasilnya menunjukkan bahwa atorvastatin
adalah alternatif yang aman dan hemat biaya untuk perawatan bedah.

Studi tambahan menganalisis efek atorvastatin sebagai pengobatan konser


vatif (dosis oral 20 mg sekali sehari selama 1-6 bulan) dan sebagai pengobatan adj
uvan untuk operasi. Pada tujuh 23 pasien yang diobati secara konservatif, pengura
ngan hematoma signifikan terlihat setelah 1 bulan; Pada 6 bulan semua haematom
as telah hilang. Tidak ada pasien yang membutuhkan evakuasi bedah. Selain itu, b
ila atorvastatin digunakan sebagai pengobatan adjuvant pada 39 dari 102 pasien be
dah, perbedaan yang signifikan dalam hasil yang mendukung kelompok atorvastat
in terlihat.

Sebagai kesimpulan, tampaknya atorvastatin adalah pilihan yang valid dan


aman untuk pengobatan konservatif pasien kronik SDH tanpa gejala atau sedikit si
mtomatik. Penelitian prospektif lebih lanjut dengan bantuan yang lebih besar dipe
39

rlukan untuk menentukan nilai statin sesungguhnya dalam pengobatan konservatif


kronik SDH.

2. Operatif (Tim neurotrauma RSU dr. Soetomo, 2007)

Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejalag
ejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pen
geluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan
operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation
(ABCs). Tindakan operasi ditujukan kepada:

- Evakuasi seluruh SDH


- Merawat sumber perdarahan
- Reseksi parenkim otak yang nonviable
- Mengeluarkan ICH yang ada.

Guideline :

Menurunkan TIK dengan drainase CSS transventrikel dan monitoring TIK lebih p
enting daripada operasi dekompresi pada SDH tipis (tebal ≤ 10 mm).

Option :

Indikasi pembedahan pada SDH akut sesuai penjelasan rekomendasi. Indikasi Pe


mbedahan:

a. Pasien subdural hematoma, tanpa melihat GCS


- dengan ketebalan >10mm
- atau pergeseran struktur midline > 5mm pada CT scan
b. Semua pasien subdural hematoma dengan GCS < 9 harus dilakukan
monitoring tekanan intrakranial.
c. Pasien subdural hematoma dengan GCS < 9,
- ketebalan subdural hematoma < 10mm dan pergeseran struktur
midline, jika mengalami penurunan GCS lebih dari 2 poin atau lebih
antara saat kejadian dengan saat masuk ke rumah sakit
- dan/atau jika didapatkan pupil yang dilatasi asimetris atau fixed
- dan/atau TIK > 20mmHg.
40

Waktu

Pada pasien subdural hematoma akut dengan indikasi pembedahan, pembedahan d


ilakukan secepat mungkin. Kemampuan untuk mengontrol TIK lebih penting dari
pada evakuasi hematom.

Metode

Metode penanganan pasien dengan subdural hematoma akut tipis traumatik denga
n drainase CSF transventrikel juga untuk monitor TIK. Metode operasi craniotom
y dekompressi dan pemasangan drainase CSF transventrikel dilakukan pada pende
rita dengan indikasi tertentu.

Penjelasan Rekomendasi

Penderita cedera otak berat dengan komplikasi subdural hematom akut merupakan
penyebab utama kematian pada cedera otak berat dengan lesi massa intrakranial.
Angka kematian mencapai 42% - 90%. Kerusakan otak yang terjadi lebih berat ka
rena mekanisme trauma yang hebat, kerusakan parenkim otak yang luas dan edem
a serebral.Secara patofisiologi, pengaruh cedera otak primer yang terjadi terhadap
hasil akhir lebih penting dari efek hematom subdural itu sendiri. 25 Kemampuan u
ntuk mengontrol TIK lebih penting daripada waktu pelaksanaan evakuasi hemato
m.

Teknik Operasi

a. Minimal craniotomy (kurang dari 3 cm) ; Single burr hole dengan


pemasangan system drain vakum tertutup.
b. Minimal craniotomy (under 3 cm) ; dengan system drain tertutup dan
irigasi dengan nacl, merupakan varian teknik pertama
c. Twist dril trephination ; dilakukan bersama dengan system drain tertutup
d. Craniotomy (> 3 cm) biasa dilakukan pada kasus lama, kronik subdural
hematom.

3 teknik utama yang sering digunakan yakni :

a. Craniotomy
41

Paling sering digunakan di masa lalu, ia memiliki keuntungan untuk meng


ekspos bagian penting otak. Biasanya dilakukan dengan anestesi umum dan ini ad
alah pilihan pengobatan yang paling invasif dari hematoma subdural kronis karena
memerlukan banyak waktu dan ini memerlukan banyak kehilangan darah intraope
rator. Namun, tetap pilihan yang dipilih pada kasus haematoma subdural lama, ter
organisir, multiseptasi. Dalam penelitian Markwalder (1981) mengenai hematoma
subdural kronis, kraniotomi, yang dianggap sebagai pendekatan radikal, dicadang
kan untuk kasus di mana: a) hematoma subdural kambuh; b) hematoma tampak sa
ngat terorganisasi dengan baik dalam pemeriksaan CT dan memiliki konsistensi y
ang solid; c) otak tidak melakukan ekspansi ulang dan melenyapkan area subdural.

b. Minimal craniotomy

Minimal kraniotomi (trephination) - adalah salah satu teknik bedah yang p


aling sering digunakan pada kasus hematemat subdural saat ini. Menurut sebuah p
enelitian di Kanada pada tahun 2005, 85% responden mengindikasikan teknik ini
sebagai pengobatan yang paling umum digunakan. Namun, dalam kasus kambuh,
43,1% lebih menyukai kraniotomi dan hanya 35,1% yang trepinasi. Biasanya dila
kukan dengan 27 anestesi umum, beberapa ahli bedah hanya memilih satu trephin
ation, yang lainnya dua. Namun demikian, tidak satu pun dari 2 varian tersebut me
rupakan pilihan yang jelas walaupun dalam sebuah penelitian ditunjukkan bahwa
pasien yang diaplikasikan hanya satu trephination menghadirkan tingkat relaps tin
ggi, masa rawat inap yang lebih lama dan tingkat infeksi yang tinggi pada luka.

c. Single twist drill trephination

Memberikan keuntungan besar yang dapat dilakukan di tempat tidur ruma


h sakit saat menggunakan anestesi lokal atau di ruang operasi dengan anestesi lok
al atau umum. Hal ini dianggap berguna pada kasus pasien dengan komorbiditas
multipel, yang sudah sangat tua dan di antaranya risiko operasi kompleks sangat ti
nggi. Ini hanya efisien dalam kasus di mana hematoma subdural benar-benar cair
dan, biasanya sistem pengeringan vakum Jackson-Pratt juga digunakan. Yang jug
a harus disebutkan adalah bahwa sebagian besar penelitian menyoroti bahwa tingk
at kambuh dalam kasus bedah. Pengobatannya antara 5 dan 33%. Kambuh pada k
asus haematoma subdural kronis berarti kambuh simtomatik hematoma subdural d
42

i daerah yang sudah dioperasi. Faktor risiko kambuhan adalah sebagai berikut: kec
enderungan pendarahan, hipotensi intrakranial, perdarahan neomembran berulang.

Drainase Burr-hole adalah teknik yang paling disukai dan prac sed dan bia
sanya dilakukan melalui penempatan dua lubang burr diikuti dengan pencucian de
ngan salin, merupakan teknik yang aman dan adekuat. Perluasan kembali otak dan
hematoma evakuasi adalah faktor pembimbing yang paling penting untuk hasil ya
ng baik. Reekspansi otak dihambat oleh adanya bekuan residu dan membran, udar
a di ruang subdural, dan elastisitas permukaan otak yang tinggi. Lubang burr tung
gal cukup memadai untuk drainase hematoma. Irigasi pada ruang subdural yang m
engikuti membantu evakuasi pada sisa bekuan dan serpihan membran.
43

BAB IV

PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien Tn.A dibawa ke Igd Rumah Sak
it pada tanggal 10 Januari 2022 dengan keluhan tidak sadarkan diri, saksi mata me
ngatakan pasien jatuh dari tangga saat bekerja mengangkat barang dengan posisi k
epala dibawah, didapatkan darah keluar dari hidung dan telinga kanan. Pasien me
miliki riwayat Hipertensi, dan kebiasaan merokok. Dari pemeriksaan fisik didapat
akan penurunan kesadaran dengan GCS 5 (E2M3VX), dengan tanda vital dalam b
atas normal. Pada pemeriksaan regio kepala ditemukan perdarahan pada telinga (o
torhoe) dan hidung (rhinorhoe). Dan pada ekstremitas ditemukan bengkak antara
phalanx dan metatarsal 1 kanan kiri, kemerahan, fluktuasi dan nyeri tekan pada an
kle kanan.

Selain itu dilakukan juga pemeriksaan darah lengkap dan didapatkan kesan
leukositosis (24,3 103/µl). Lalu pasien dilakukan pemeriksaan foto rontgent thora
x dan didapatkan hasil dalam batas normal. Kemudian dilakukan juga pemeriksa
an brain CT scan tanpa kontras didapatkan gambaran tampak lesi hiperdens (dar
ah 60-90 HU) bentuk bikonveks pada

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatka


n diagnose epidural hematom dengan GCS 5. GCS normal adalah 15 dengan E4
M6V5, pasien dengan GCS 5 masuk kategori cedera kepala berat (< 8), tindakan
yang dilakukan yaitu atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathin
g), dan sirkulasi (Circulation), pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal
serebral, dan cedera organ lain.

Berdasarkan teori pasien dengan EDH dari anamnesis akan ditemukan ke


sadaran menurun secara progresif, dan pada pemeriksaan fisik ditemukan keluar
darah dari hidung ataupun telinga. Pada pasien diberikan terapi sementara non
medikamentosa kepala pasien dielevasikan 30 o pemasangan O2 masker 8 Lpm.
Dan terapi medikamentosa diberikan infus PZ 14 tpm, injeksi peinios 400 mg, in
jeksi diazepam 1 amp IV, loading phenytoin 300 mg dalam PZ 100 cc, loading
44

mannitol 200 cc lanjut 6x 100 tappering off, injeksi lansoprazole 1x1, Ambacyn
2x1, Ondansetron 3x1, pheniyoin 100mg/8 jam, Mannitol 6x100cc, Kalnex 500
mg, Fartison, pump morfin 10mg/50 ml, cefazolin 1 gram/12 jam. Setelah itu di
konsulkan kepada dokter spesialis bedah saraf dr. Firman Sp. BS hasilnya dilaku
kan operasi transpanasi EDH.

Pada teori indikasi pembedahan secara radiologi yaitu jika volume perdar
ahan >30 cc, ketebalan > 15 mm, dan midline shift > 5 mm. Secara klinis jika G
CS < 9, pupil anisokor, dan penurunan fungsi neurologis secara progresif.

Setelah operasi transpanasi EDH pasien dipindahkan pada ruang ICU dil
anjutkan intervensi pengobatan seperti sebelumnya, ditambahkan asam tranexam
at 3x500 mg dan pemasangan NGT dan kateter untuk memantau pengeluaran ca
iran. Kemudian pada tanggal 12 Januari rencana dilakukan pemasangan GIP. Pa
da 13 Januari pasien mulai berbicara melantur terdapat hipertensi (193/115) kem
udian diberikan tambahan terapi Amlodipin 10 mg untuk mengatasi tekanan dara
h tingginya dan pemberian Novorapid untuk mengontrol gula darah pasien (GD
A 147). Pada tanggal 16 Januari pasien selanjuitnya dipindahkan ke RBK atas, d
idapatkan keluhan nyeri kepala, BAB sebanyak 3x dalam selang waktu satu jam.
45

DAFTAR PUSTAKA
Adhiyaman, V; Asghar, M. 2002. Chronic subdural haematoma in the elderly. Pos
tgrad Med J , 78, 71-5.

Andrew, H. 2005. Traumatic intracranial haematomas. In A. H.Kaye, Essential Ne


urosurgery (3 ed., pp. 59-62). Mellbourne, Australia: Blackwell.

Iliescu, I. 2015. Current diagnosis and treatment of chronic subdural haematomas.


Journal of medicine and life , 8 (3), 278-84.

Jehuda, S. 2017. The conservative and pharmacological management of chronic s


ubdural haematoma. Swiss Medical Weekly , 147, 1-9.

Liebeskind David, Lutsep Helmi, Epidural Haematom in Emergency Medicine


www. Emedicine medscape.com/article/824029-overview.2016
Richard, J. 2012. Subdural Hematoma Workup. (H. L. Lutsep, Editor) Retrieved f
rom Medscape: https://emedicine.staging.medscape.com/article/1137207-work
up#c9

Sakellaridis, N. 2015. Pathophysiology of chronic subdural hematoma. Brain Diso


rders & Therapy , 4 (4).

Sastrodiningrat, A. G. 2006. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural


Akut. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39, No.3 Halaman 297- 306. FK
USU: Medan.
Satyanegara, S. 2014. Trauma Kepala. ILMU BEDAH SARAF (5 ed, pp.313-43).
Jakarta, DKI, Indonesia: PT GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA.

Sjamsuhidajat, R. 2004. Subdural Hematoma. In W. D. Jong, Buku ajar ilmu Beda


h (2 ed., p. 818). Jakarta, EGC.

Sylvia P, 2006. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses proses Penyakit (pp.1174-76).


Jakarta: EGC.

Tim neurotrauma RSU dr. Soetomo. 2007. Indikasi operasi pada Subdural. In T. n
eurotrauma, & J. wahyunadi (Ed.), Pedoman tatalaksana cedera otak (pp. 36-7).
Universitas Airlangga, Surabaya.

You might also like