You are on page 1of 13

HADIS TARBAWI

HADIS TENTANG SYUF’AH DALAM BERSYARIKAT DAN RIBA

Dosen Pengampu : Muh. Khaidir Lutfi, S.Th.I.,M.A.g

DISUSUN OLEH :

Fifi Wulandari Firman (105191103620)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah
dari-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya meskipun dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.

Sholawat dan salam semoga senantisa tercurahkan kepada junjungan besar kita , Nabi
Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran
agama islam yang sempurnah dan menjadi anugrah terbasar bagi seluruh alam semesta.

saya sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Hadis Tarbawi ini.
Disamping itu, saya mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu saya selama pembuatan paper ini berlangsung sehingga dapat terealisasikanlah paper
ini.

Demikian yang dapat saya sampaikan, harapan saya semoga paper ini dapat digunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman, juga membantu menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca. Saya menyadari bahwa paper ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu saya mengharapkan kritik dan saran terhadap paper ini agar dapat meningkatkan
kualitas paper ini di masa yang akan datang.

Mamuju, 20 Januari 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam menetapkan beberapa peraturan dalam bidang muamalah yang bertujuan untuk
mendapatkan kemaslahatan pada pihak yang saling berhubungan dan menghindari terjadinya
kemudharatan ataupun kerugian, diantara ketentuan yang ditetapkan adalah syuf’ah dalam
bersarikat. Syuf’ah adalah hal yang sudah dikenal oleh orang-orang Arab pada zaman
Jahiliiyyah. Dahulu seseorang jika hendak menjual rumah atau kebunnya, maka tetangga,
kawan serikat atau kawannya datang mensyuf’ahnya, dijadikannya ia sebagai orang yang
lebih berhak membeli bagian itu. Dari sinilah disebut Syuf’ah, dan orang yang meminta
syuf’ah disebut syafii’. Ada yang mengatakan, bahwa dinamakan syuf’ah karena pemiliknya
menggabung sesuatu yang dijual kepada miliknya, sehingga menjadi sepasang setelah
sebelumnya terpisah.

Sering kita dengaran bahwa dalam Islam kegiatan riba merupakan hal yang diharamkan,
sementara itu , terdapat banyak muamalah yang tersamar sebenarnya termasuk dalam riba.
Riba adalah adanya kelebihan tambahan dalam pembayaran utang piutang atau jual beli yang
telah disyaratkan sebelumnya oleh slah satu pihak.

B. Rumusan masalah
1. Apa isi kandungan dari hadis tentang syuf’ah dalam bersyarikat
2. Apa isi kandungan dari hadis tentang riba

C. Tujuan pembahasan
1. Mengetahui isi kandungan dari hadis tentang syuf’ah dalam bersyarikat
2. Mengetahui isi kandungan dari hadis tentang riba
BAB II

KAJIAN TEORI

Syuf’ah adalah hal yang sudah dikenal oleh orang-orang Arab pada zaman Jahiliiyyah.
Dahulu seseorang jika hendak menjual rumah atau kebunnya, maka tetangga, kawan serikat
atau kawannya datang mensyuf’ahnya, dijadikannya ia sebagai orang yang lebih berhak
membeli bagian itu. Dari sinilah disebut Syuf’ah, dan orang yang meminta syuf’ah disebut
syafii’. syuf’ah adalah hubungan dekat terhadap seseorang yang dapat diartikan sebagai
kerabat dekat. Hikmah disyari’atkan syuf’ah adalah untuk menghindari bahaya dan
pertengkaran yang mungkin sekali timbul.

riba merupakan muamalah yang diharamkan dalam islam, riba adalah adanya tambahan
atau kelebihan dalam muamalah utang piutang atau jual beli yang dilakukan. Pemakan riba
akan di laknat dan dijauhkan dari rahmat Allah dan Rasul-Nya.
BAB III

PEMBAHASAN

A. Hadis syuf’ah dalam bersyarikat


5‫عن جابر بن عبد هّللا رع قال قضى النّب ّي صلعم بالشفعة في ك ّل مال لم يقسم فإذا وقعت الحدود وصرّفت‬
)‫الطرق فال شفعة ( متفق عليه واللفظ للبخاري‬
Artinya : Hadis dari jabir bin Abdullah ra, ia berkata: Rasulullah telah putuskan (adanya)
syuf’ah pada tiap-tiap harta yang belum dibagi, tetapi apabila sudah dibatasi dan sudah diatus
jalannya, maka tidak ada syuf’ah . (HR. Disepakati Bukhari Muslim, dan lafaz ini menurut
redaksi Bukhary).

1. Pengertian Syuf’ah

Syuf’ah secara bahasa diambil dari kata syaf’, yang artinya pasangan. Syuf’ah menurut
fuqaha (ahli fiqh) adalah keberhakan kawan sekutu mengambil bagian kawan sekutunya
dengan ganti harta (bayaran), lalu syafii’ mengambil bagian kawan sekutunya yang telah
menjual dengan pembayaran yang telah tetap dalam akad. Para ulama juga telah sepakat
tentang tetapnya hak syuf’ah bagi sekutu yang belum melakukan pembagian pada sesuatu
yang dijual, baik berupa tanah, rumah maupun kebun.

2. Hikmah Syuf’ah

Hikmah disyari’atkan syuf’ah adalah untuk menghindari bahaya dan pertengkaran yang
mungkin sekali timbul. Hal itu, karena hak milik syafii’ terhadap harta yang dijual yang
hendak dibeli oleh orang lain menolak adanya madharat yang mungkin timbul dari orang lain
tersebut. Imam Syafi’i lebih memilih bahwa bahaya tersebut adalah bahaya biaya pembagian,
peralatan baru dsb. Ada yang mengatakan bahwa bahaya tersebut adalah bahaya tidak
baiknya persekutuan.

Ibnul Qayyim berkata, “Di antara keindahan syari’at, keadilannya dan berusaha menegakkan
maslahat hamba adalah mengadakan syuf’ah. Karena hikmah syari’ menghendaki
dihilangkan madharrat dari kaum mukallaf semampu mungkin. Oleh karena serikat
(bersekutu) itu biasanya sumber madharrat, maka dihilangkanlah madharrat itu dengan
dibagikan atau dengan syuf’ah. Jika ia ingin menjual bagiannya dan mengambil ganti, maka
kawan serikatnya itulah yang lebih berhak daripada orang lain, dapat menghilangkan
madharat dari serikat itu dan tidak merugikan penjual, karena akan menghubungkan kepada
haknya berupa bayaran. Oleh karena itu, syuf’ah termasuk di antara keadilan yang sangat
besar dan hukum terbaik yang sejalan dengan akal, fitrah dan maslahat hamba.”

3. Syuf’ah bagi kafir dzimmy

Sebagaimana syuf’ah berlaku bagi setiap muslim, maka berlaku juga bagi kafir dzimmiy
menurut jumhur fuqaha’. Namun menurut Imam Ahmad, Al Hasan dan Asy Sya’biy, bahwa
syuf’ah tidak berlaku bagi dzimmiy berdasarkan hadits riwayat Daruquthni dari Anas secara
marfu’:

‫الَ ُش ْف َعةَ لِنَصْ َرانِ ٍّي‬

“Tidak ada sytuf’ah bagi orang nasrani.” (Al Haitsamiy dalam Al Majma’ berkata,
“Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Ash Shaghiir, dan dalam sanadnya terdapat Na’il bin
Najih, ia ditsiqahkan oleh Abu Hatim dan didha’ifan oleh yang lain.” Di antara yang
mendha’ifkannya adalah Al Hafizh Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi).

4. Meminta izin terhadap kawan sekutu ketika ingin menjual

Bagi kawan sekutu wajib meminta izin kepada kawan sekutunya yang lain sebelum
dilakukan penjualan. Jika ternyata langsung dijual tanpa izinnya, maka dia lebih berhak
daripada yang lain. Tetapi jika kawan sekutunya mengizinkan dijual (kepada yang lain) dan
berkata, “Saya tidak butuh terhadapnya,” maka setelahnya kawan sekutu tidak dapat
menuntut lagi. Inilah ketetapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir ia berkata:

‫ الَ يَ ِحلُّ لَهُ َأ ْن يَبِي َع‬.‫ بِال ُّش ْف َع ِة فِى ُك ِّل ِشرْ َك ٍة لَ ْم تُ ْق َس ْم َر ْب َع ٍة َأوْ َحاِئ ٍط‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ضى َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ق‬
‫ق بِ ِه‬ ُّ ‫ْو َأ َح‬5َ ‫ك فَِإ َذا بَا َع َولَ ْم يُْؤ ِذ ْنهُ فَه‬
َ ‫َحتَّى يُْؤ ِذنَ َش ِري َكهُ فَِإ ْن َشا َء َأخَ َذ َوِإ ْن َشا َء تَ َر‬

.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan syuf’ah dalam semua persekutuan yang
belum dibagi; baik rumah maupun kebun, tidak halal bagi seseorang menjualnya sampai
memberitahukan kawan sekutunya. Jika ia mau, ia berhak mengambil dan jika mau, ia berhak
ditinggalkan. Apabila dijual, namun belum memberitahukannya, maka ia lebih berhak
terhadapnya.”

Dari Jabir juga ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ‫ض َى َأخَ َذ َوِإ ْن َك ِرهَ ت ََرك‬


ِ ‫ْس لَهُ َأ ْن يَبِي َع َحتَّى يُْؤ ِذنَ َش ِري َكهُ فَِإ ْن َر‬
َ ‫ك فِى َر ْب َع ٍة َأوْ ن َْخ ٍل فَلَي‬
ٌ ‫َم ْن َكانَ لَهُ َش ِري‬

“Barang siapa yang memiliki bagian pada sebuah rumah atau pohon kurma, maka ia tidak
berhak menjualnya sampai memberitahukan kawan sekutunya. Jika ia suka, ia berhak
mengambilnya dan jika ia tidak mau, maka ia tinggalkan. (HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan tidak halalnya melakukan penjualan sebelum ia tawarkan kepada
kawan sekutunya.

Ibnu Hazm berkata, “Tidak halal bagi seorang yang memiliki hal itu langsung menjualnya
sampai ia tawarkan kepada sekutunya atau para sekutunya. Jika sekutunya mau
mengambilnya dengan harga seperti orang lain, maka sekutu lebih berhak. Jika ternyata ia
tidak mau (membelinya), maka gugur haknya dan ia tidak berhak lagi setelahnya apabila
telah dijual kepada pembelinya. Tetapi, jika ia belum menawarkan (kepada kawan sekutu)
seperti yang telah kami terangkan, ia pun langsung menjual kepada selain kawan sekutu,
maka sekutunya berhak khiyar antara meneruskan jual beli itu atau membatalkannya dan
mengambil bagian itu untuk dirinya dengan harganya.”

Ibnul Qayyim berkata, “Haram bagi sekutu menjual bagiannya sampai diizinkan kawan
sekutunya. Jika ternyata dijual tanpa izinnya, maka ia lebih berhak, namun jika diizinkannya
untuk dijual dan kawan sekutunya itu mengatakan, “Saya tidak perlu lagi pada bagian ini,”
maka sekutu ini tidak bisa lagi menuntut setelah dijual. Ini adalah konsekwensi hukum syara’
dan tidak ada penentangnya dari sisi (apa pun), dan inilah yang benar sekali.”
Apa yang dikatakan Ibnul Qayyim di atas, yakni bahwa syuf’ah menjadi gugur ketika
pemilik syuf’ah menggugurkannya sebelum dilakukan jual beli merupakan salah satu di
antara dua pendapat dalam masalah ini, adapun menurut yang lain, dimana ini adalah
pendapat jumhur, bahwa syuf’ah tidaklah gugur dengannya, dan izin menjualnya tidaklah
membatalkannya, wallahu a’lam.

Sebagian ulama, di antaranya adalah ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa perintah
tersebut hanyalah sebagai anjuran. Imam Nawawi berkata, “Hal itu menurut kawan-kawan
kami menunjukkan sunat untuk memberitahukannya dan makruhnya dijual sebelum
diberitahukan, namun tidak haram.”

B. Hadis Riba
1. Pemakan riba

)‫عن جابر رع قال لعن رسول هّللا صلعم أ ّكل الرّبا ومؤكله وكاتبه وشاهديه وقال هم سواء (رواه مسلم‬

Artinya : Hadis dari jabir, ia berkata: Rasulullah saw melaknat orang yang memakan harta
ribawy, yang memberi makan dengannya, penulis serta dua saksi (yang menyaksikan proses
ribawi berlangsung), dan ia (Nabi saw) bersabda :mereka itu sama saja. (HR. Muslim)

a) Pengertian riba menurut pendapat para ahli dan fuqaha

1) Menurut Muhammad Asad.


Dalam pengertian terminologi yang umum,istilah tersebut bermakna “tambahan”
kepada atau “kenaikan” dari sesuatu melebihi dan di atas jumlah atau ukurannya yang asal.
Dalam terminologi al-Qur’an, istilah riba itu menunjukkan tambahan apapun, melalui bunga,
terhadap sejumlah uang atau barang yang dipinjamkan oleh seseorang atau lembaga kepada
orang atau lembaga lain. Mengingat masalah ini, dalam hubungannya dengan situasi
ekonomi yang berlaku luas pada atau sebelum masa itu, sebagian besar fuqaha zaman dahulu
melihat “tambahan” ini sebagai ‘laba’ yang diperoleh malalui pinjaman-berbunga apa pun
juga, tidak tergantung pada tingkat bunga dan motivasi ekonominya.
2) Menurut Syeh Abul A’la al-Mauludi.
Kata Arab ‘riba’ secara literal, berarti “peningkatan atas” atau “tambahan untuk” apa pun
juga. Secara teknis, istilah itu digunakan untuk menyebut sejumlah tambahan yang dikenakan
oleh kreditur kepada debitur secara tetap pada pokok utang yang ia pinjamkan, yakni bunga.
Pada masa diwahyukannya al-Qur’an, bunga dipungut dengan berbagai cara. Misalnya,
seseorang menjual sesuatu dan menetapkan suatu jangka waktu bagi pembayarannya, dan
jika pembeli tidak mampu membayar dalam waktu yang telah ditetapkan itu, maka ia diberi
perpanjangan waktu tetapi harus menambah jumlah uang yang ia harus bayarkan. Atau
seseorang meminjamkan sejumlah uang dan minta agar debitur melunasinya bersama dengan
sejumlah tambahan uang yang telah disepakati dalam periode waktu tertentu, atau suatu
tungkat bunga ditetapkan untuk suatu masa tertentu dan jika pokok utang berikut bunganya
tidak dibayar dalam jangka waktu tersebut, maka suku bunga dinaikkan karena perpanjangan
waktu tersebut, dan sebagainya.
3) Menurut Afzalur Rahman.
Afzalur Rahman menerangkan arti riba secara rinci berdasarkan pendapat beberapa
fukaha Islam klasik sebagai berikut:
Al-Qur’an menggunakan kata riba untuk bunga. Menurut kamus, arti riba adalah kelebihan
atau peningkatan atau surflus, tetapi, dalam ilmu ekonomi, kata itu berarti surflus
pendapatan yang didapat oleh pemberi utang dari pengutang, lebih tinggi dan di atas jumlah
pokok utang, sebagai imbalan karena menunggu atau memisahkan bagian yang likuid dari
modalnya selama suatu jangka waktu tertentu.
Riba, di dalam Islam, secara khusus menunjuk pada kelebihan yang dituntut dengan suatu
cara tertentu. Ibnu Hajar al-Asqalani, ketika membicarakan riba, menyatakan bahwa “intinya,
riba adalah kelebihan, baik dalam komoditas (itu sendiri) atau pun dalam uang, seperti dua
dinar ditukarkan dengan tiga dinar.
Nabi Muhammad, dalam hadis beliau, telah menerangkan dan menjelaskan bahwa unsur
riba itu didapati tidak hanya dalam pinjaman uang saja melainkan juga dalam semua bentuk
transaksi barter ketika seseorang menerima kelebihan dari barang yang dipertukarkan.
b) Hukum dan ancaman riba
1) Hukum Riba
Secara garis besar pandangan tentang hukum riba ada dua kelompok, yaitu:
a. Kelompok pertama: mengharamkan riba yang berlipat ganda/ ad’afan muda’afa, karena
yang diharamkan al-Qur’an adalah riba yang berlipat ganda saja, yakni riba nasi’ah,
terbukti juga dengan hadis tidak ada riba kecuali nasi’ah. Karenanya, selain riba nasi’ah
maka diperbolehkan.
b. Kelompok kedua: mengharamkan riba, baik yang besar maupun kecil. Riba dilarang
dalam Islam, baik besar maupun kecil, berlipat ganda atau idak. Riba yang berlipat
ganda/ ad’afan muda’afa haram hukumnya karena zatnya, sedang riba kecil tetap haram
karena untuk menutup pintu ke riba yang lebih besar (haramun lisyadudzari’ah).(Lifi
Nurdiana, Hadis-Hadis Ekonomi, 2008: 142-143).

Dari beberapa uraian tentang hukum riba tersebut di atas, maka penulis dapat menarik
suatu kesimpulan bahwa dosa riba itu hukumnya haram, bahkan sekecil apapun bentuk
riba itu dosanya sangat besar, dan pelaku riba itu dosanya sama dengan orang yang
berzina dengan ibu kandungnya sendiri atau sama dengan orang yang menikahi ibu
kandungnya.
2) Ancaman Riba
 Hadis Riwayat Jabir ra., tersebut di atas menyatakan bahwa orang yang terlibat dalam
riba akan mendapat ancaman dijauhkan, yaitu dari rahmat Allah melalui lisan Nabi-
Nya (hadis Nabi) yang dimaksud dengan orang yang terlibat di sini adalah mereka
yang memakan riba atau tindakan lain yang serupa dengannya, mereka yang
menyediakan dan memberi kesempatan terjadinya riba, dan juga mereka yang
mendukung dan memperlancar terjadinya riba. (Taufuk Rahman, Hadis-Hadis Hukum
Islam, 2000: 132).
 Mereka akan diperangi Allah dan Rasul-Nya. Maksudnya Allah akan menimpakan
azab yang pedih kepada mereka di dunia dan di akhirat. Diperangi Rasul-Nya ialah
para Rasul telah memerangi pemakan riba dizamannya. (Kementerian Agama, 2012:
428).
 Rasulullah saw., melaknat pemakan riba, pemberinya, penulisnya, kedua saksinya,
mereka semua sama. (Ilfi Nur Diana, 2008: 138).
 Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu ia berhenti, maka apa yang
telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, kekal di dalamnya, QS.
al-Baqarah/2: 275). (Kementerian Agama, 2012: 420).

Dari uraian di atas maka terdapat beberapa ancaman bagi pemakan riba Yakni,
ancamannya jauh dari rahmat Allah, Allah dan Rasul-Nya akan menimpakan azab yang
pedih kepada mereka di dunia dan di akhirat, Rasulullah saw., melaknat pemakan riba,
dan yang mengulangi memakan riba, Allah akan menjadikan penghuni neraka, kekal di
dalamnya.

2. Benda-benda Ribawi
ّ ‫الذهب‬
‫بالذهب ااّل مثال بمثل وال تشفوا بعضا‬ ّ ‫أن رسول هّللا صلعم قال ال تبيعوا‬
ّ ‫ي رع‬
5ّ ‫عن أبي سعيد الخدر‬
‫ االّمثال بمثل وال تشفوا بعضها على بعض وال تبيع منها غا ئبا‬5‫ الورق باالورق‬5‫على بعض وال تبيعوا‬
)‫بناجر (متفق عليه‬
Artinya : dari abu sa’id al-khudriy ra. bahwa Rasullah SAW bersabda : “janganlah kamu
menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian
atas sebagian yang lain, janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan
janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan
perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai”.

Dari penjelasan hadis di atas dapat di ambil rujukan bahwa yang termasuk dalam barang
ribawi adalah emas dan perak yang mana proses jual beli harus sama banyak nilainya.

Dalam sabda nabi juga pada hadis yang lain menyebutkan bahwasanya benda-benda ribawi
itu ada enam yaitu : emas, perak, gandum, syair, kurma dan garam dalam hadis riwayat
Muslim dan Ahmad.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara sederhana syuf’ah adalah hubungan dekat terhadap seseorang yang dapat
diartikan sebagai kerabat dekat. Hikmah disyari’atkan syuf’ah adalah untuk menghindari
bahaya dan pertengkaran yang mungkin sekali timbul. Sebagian ulama, di antaranya adalah
ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa perintah tersebut hanyalah sebagai anjuran. Imam
Nawawi berkata, “Hal itu menurut kawan-kawan kami menunjukkan sunat untuk
memberitahukannya dan makruhnya dijual sebelum diberitahukan, namun tidak haram.”

Riba menurut bahasa artinya lebih atau bertambah. Dan yang dimaksud disini menurut
syara’ : “Akad yang terjadi dalam penukaran barang-barang yang tertentu, tidak diketahui
sama atau tidaknya menurut aturan syara’, atau terlambat menerimanya. riba itu hukumnya
haram, bahkan sekecil apapun bentuk riba itu dosanya sangat besar, dan pelaku riba itu
dosanya sama dengan orang yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri atau sama dengan
orang yang menikahi ibu kandungnya. ada beberapa ancaman bagi pemakan riba Yakni,
ancamannya jauh dari rahmat Allah, Allah dan Rasul-Nya akan menimpakan azab yang
pedih kepada mereka di dunia dan di akhirat, Rasulullah saw., melaknat pemakan riba, dan
yang mengulangi memakan riba, Allah akan menjadikan penghuni neraka, kekal di
dalamnya. benda-benda ribawi itu ada enam yaitu : emas, perak, gandum, syair, kurma dan
garam.

B. Saran
Dalam penyusunan paper ini saya selaku manusia biasa menyadari bahwa adanya
beberapa kesalahan. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik maupun saran yang bersifat
membantu agar saya tidak melakukan kesalahan yang sama dilain waktu. Dan semoga paper
ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA

Ensiklopedia hadis islam,


Marwan bin Musa Fikih Muamalah Syuf’ah dan hukumnya
Maraji’: Fiqhus Sunnah (Syaikh Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhi (Syaikh Shalih Al Fauzan),
Fiqh Muyassar,
Jurnal Al-adl, hukum riba dalam perspektif hadis Jabir Ra.
Syafe’i Rachmat, al-Hadis, Aqidah, Akhlaq, Sosial, dan Hukum, Cet. I; Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2000.

You might also like