You are on page 1of 3

Belajar dari Hari Proklamasi

(Refleksi terhadap sikap kebangsaan)

Dimasa awal 1940an, Indonesia memasuki saat - saat dimana rasa jenuh terhadap
penjajahan mulai muncul. Selama kurun waktu tiga setengah abad alias 350 tahun
bangsa yang besar ini terlelap dalam kenikmatan penjajahan. Dimulai sejak invasi
Portugis terhadap kerajaan -kerajaan pinggiran Sumatra yang bermodus sebagai
pembeli rempah - rempah. Disini saya akan intens menggunakan modus karena
kaitannya modus adalah menggunakan kepercayaan sebagai alat penjajahan.

Bukan suatu hal yang mudah untuk merubah sikap dan mental bangsa saat itu, bahkan
mungkin rasa nasionalisme yang selama ratusan tahun tersebut terpendam di dasar
kerak bumi, mulai digali oleh beberapa tokoh nasional melalui munculnya berbagai
situasi genting. Disaat rakyat yang terlelap dalam kegiatan Rodi dan Romusa tersebut
masih bertahan dan menikmati kesehariannya, di sisi lain lahirlah tunas - tunas
bangsa yang gerah terhadap penjajahan.

Adalah Cut Nyak Dien, Kapitan Pattimura, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam
Bonjol dan masih banyak lainnya yang mulai melakukan perlawanan terhadap
penjajah. Tanpa adanya media sosial, maupun alat komunikasi yang canggih seperti
abad 21, mereka membangun gairah kemerdekaan dengan masif dibalik tekanan para
penjajah.

Hingga sampailah pada saat perang dunia ke 2 dan Jepang menduduki Indonesia,
disitu semaikin muncul tokoh nasional yang terlahir dari sakitnya bernegara dalam
penjajahan. Adalah Ir. Soekarno yang sudah sering menjadi santapan lezat para
penjajah ketika mencari provokator atas bangkitnya semangat kemerdekaan. Ruang
tahanan bukan menjadi hal yang tabu bagi Bapak Proklamator Indonesia tersebut.
Semangat juangnya yang selalu menggelora di seantero negeri membuat bulu kuduk
Belanda maupun Jepang merinding.
Begitulah yang namanya perjuangan, tak pernah ada yang indah. Semua dilalui
dengan kerah yang basah penuh darah. Merdeka atau mati menjadi semboyan dasar
dalam peperangan. Kalimat takbir “ Allahu Akbar “ menjadi saksi atas kesyahidan
para pahlawan.

Sampailah pada saat dimana Allah telah takdirkan Indonesia merdeka. Perang Dunia
ke 2 diakhiri dengan serangan Jepang atas Pearl Harbour, lalu pembalasan sekutu
melalui Bom Atom Hiroshima dan Nagasaki. Yang menewaskan jutaan manusia. Hal
tersebut lumrah dalam peperangan.

Mendengar kabar kekalahan Jepang, pemuda Indonesia lantas tak hanya bersikap
diam. Diceritakan dalam berbagai macam versi bahwa pemuda lah yang awalnya
mendorong Ir. Soekarno dan Moh. Hatta untuk segera membahas kemerdekaan
bangsa Indonesia. Disamping adanya bantuan dari Laksamana T.Maeda. Maka
“diculiklah” Ir. Soekarno dan Moh. Hatta menuju perasingan di daerah
Rengasdengklok, Karawang untuk membahas agenda proklamasi negeri. Hingga
waktu mengantarkan Indonesia untuk memproklamasikan negaranya pada 17 Agustus
1945.

73 tahun kemudian.

Bangsa yang megah, gemah ripah repeh loh jinawi ini menancapkan cakar garudanya
pada kehormatan dunia. Namun banyak pula hal yang disesalkan. Terkadang muncul
beberapa oknum anak bangsa yang mengaku terlahir sebagai proklamator ideologi
terbaharui. Mereka beranak pinak melalui pemikiran Komunis, Radikalis, Marxis,
Individualis dan lain sebagainya.

Dengan membentangkan al liwa’ dan ar rayah atau panji Islam, mereka mengatakan
bahwa negeri ini darurat kekhalifahan. Mereka yakin ideologi Pancasila yang
dibangun atas dasar Tauhid ini merupakan kesalahan. Mereka tidak sadar bahwa
tanpa mengibarkan bendera pun diatas dahi mereka telah termaktub kalimat syahadah.
Sebaliknya mereka yang membentangkan bendera panji Islam dan tidak
mencerminkan sikap toleransi kepada masyarakat adalah kaum Neo-Penjajahan.
Radikalisme dan Terorisme tidak diajarkan dalam Islam maupun kebangsaan !

Disamping itu, media massa menjadi senjata utama untuk mempropagandakan agenda
besar. Yaitu tunduknya masyarakat dalam alam bawah sadar. Industri hiburan sudah
mendominasi dalam penjajahan pola pikir pemuda, mayoritas pemuda saat ini lebih
suka bermain ataupun memuja berbagai macam idola terbarunya.

17 Agustus 2018 aku mengheningkan diriku sejenak. Aku teringat perjuangan


Rasulullah SAW, perjuangan para pahlawan yang telah membawa kedamaian pada
negeri ini. Maaf kan aku sebagai pemuda abad millenial belum mampu
menyeimbangi perjuanganmu. Oh negeriku, semoga dengan berkacanya diriku ini,
aku bisa lebih optimis dalam memerdekakanmu bangsaku.

You might also like