You are on page 1of 8

REVIEW ANTROPOLOGI

“ Putusnya Perkawinan Menurut Antropologi dan UU


Perkawinan”

Disusun oleh :
Ardita Nuriya Aviani 3020210393
Bagas Maulana Akmal 3020210397
Daffa’ Khoiri 3020210373
Muhammad Irfan Sofyana 3020210417
Muhamad Rafi Ramadhan 3020210395
Andra Prismanda 3020210203

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANCASILA 2021
1. Putusnya Hubungan Perkawinan menurut UU dan KUHPerdata
Perkawinan merupakan penyatuan 2 (dua) jiwa lain jenis menjadi satu kesatuan yang
utuh dalam menuju kesempurnaan hidup. Maka perkawinan adalah suatu perjanjian suci
untuk hidup bersama sebagai suami-istri, tetapi kehidupan bersama ini tidak semudah seperti
yang dibayangkan, karena adakalanya perkawinan yang tadinya berjalan baik, penuh
keharmonisan di dalam suatu rumah tangga, bisa saja tiba-tiba muncul kesuraman dalam
kehidupan berumah tangga tersebut.
Perceraian pada dasarnya tidak dilarang apabila alasan-alasan perceraian
tersebut berdasarkan atas ketentuan-ketentuan yang mengatur, yaitu berdasarkan Undang-
undang Perkawinan. Walaupun perceraian tidak dilarang, akan tetapi itu merupakan sesuatu
yang paling dibenci oleh Tuhan. Akibat yang paling pokok dari putusnya hubungan
perkawinan adalah masalah hubungan suami-istri, pembagian harta bersama, nafkah dan
pemeliharaan bagi kelangsungan hidup anak-anak mereka.
1.1 Pengertian Perceraian
Pengertian mengenai perceraian tidak terdapat dalam Undangundang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, namun bukan berarti perceraian tidak diperbolehkan. Karena
tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal hingga akhir
hayat, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar atau mempersulit
terjadinya perceraian. Perceraian dimungkinkan, namun ada alasan-alasan tertentu serta harus
dilakukan di depan sidang pengadilan. Perceraian adalah sebagai upaya atau jalan
terakhir setelah segala upaya untuk mendamaikan suami-istri telah ditempuh namun tidak
berhasil dan kalupun suami-istri harus mempertahankan Perjanjian pembagian
perkawinannya dalam keadaan tidak bahagia, kekal dan sejahtera akan menimbulkan
masalah-masalah lebih lanjut.
1.2 Faktor-faktor Penyebab Putusnya Hubungan Perkawinan Menurut Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KUHPerdata
Menurut Undang-undang Perkawinan, ada beberapa hal yang dapat menyebabkan
putusnya hubungan perkawinan. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 38 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi:
Perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian.
b. Perceraian.
c. Atas keputusan pengadilan.
Putusnya hubungan perkawinan karena kematian dari salah satu pihak ini tidak
banyak menimbulkan persoalan. Sebab putusnya hubungan perkawinan tersebut bukan atas
kehendak bersama ataupun kehendak dari salah satu pihak, akan tetapi karena kehendak
Tuhan. Serta sudah jelas bahwa dengan meninggalnya salah seorang satu pihak sehingga
dengan sendirirnya perkawinan menjadi putus. Maka akibat putusnya perkawinan karena
kematian ini tidak diuraikan lebih lanjut.
Kemudian dari ketentuan-ketentuan tentang perceraian dalam Undang-
undang Perkawinan dan dalam peraturan pelaksanaan, maka dapat adanya 2 (dua) macam
perceraian, yaitu :
a. Cerai Talak
Talak adalah suatu bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya di
depan sidang pengadilan, yang dikenal umum dan banyak terjadi di Indonesia.
b. Cerai Gugat
Yaitu perceraian yang diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya. Dalam hal ini,
gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh seorang istri yang melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam dan oleh seorang suami atau seorang istri yang
melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama
Islam (Penjelasan Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975).
Serta putusnya hubungan perkwainan karena berdasarkan keputusan pengadilan, yaitu
perceraian yang dilakukan dengan putusan Pengadilan Agama bagi menganut agama Islam
ataupun dengan putusan Pengadilan Negeri bagi yang menganut selain agama Islam yang
Perjanjian pembagian didasarkan oleh suatu gugatan perceraian dari salah satu pihak suami
atau istri.
Oleh karena itu, di dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan disebutkan bahwa,
akibat putusnya perkawinan karena perceraian baik ibu atau bapak tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anakanaknya, bapak bertanggung jawab atas semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan si anak, bapak berkewajiban memberi biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istrinya. Dan pada Pasal 37
Undang-undang Perkawinan, yang berbunyi: “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta
bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Maksudnya dalam hal ini menurut
hukumnya masing-masing, yaitu bisa dari undang-undang, hukum Islam ataupun dari hukum
adat.
Menurut KUHPerdata Pasal 199, disebutkan 4 (empat) cara pemutusan perkawinan
secara limitatif, yaitu :
a. Karena kematian.
b. Karena keadaan tak hadir.
c. Karena pisah meja dan ranjang (scheiding van tafel en bed).
d. Karena perceraian.
Putusnya perkawinan karena kematian, maksudnya sudah jelas, yaitu salah satu pihak
meninggal dunia. Sedangkan putusnya perkawinan karena keadaann tidak hadir, sudah diatur
sendiri dalam Bab XVIII, Buku I KUHPerdata. Kemudian lebih lanjut mengenai perpisahan
meja dan ranjang (KUHPerdata).
1) Pengertian Perpisahan
Perpisahan antara suami dan istri yang tidak mengakhiri pernikahan. Akibat yang
terpenting adalah meniadakan kewajiban bagi suami-istri untuk tinggal bersama, walaupun
akibatnya di bidang hukum harta benda adalah sama dengan perceraian.66 Dengan demikian,
perkawinan belum menjadi bubar dengan adanya perpisahan meja dan ranjang.
1) Pengertian Perceraian
Perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena sesuatu sebab dengan
keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam
perkawinan. Menurut Pasal 208 KUHPerdata, perceraian atas persetujuan suami-istri tidak
diperkenankan.
1.3 Alasan-alasan Putusnya Hubungan Perkawinan (Undang-undang Perkawinan)
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian, dijelaskan lebih lanjut
dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undangundang Perkawinan jo. Pasal 19 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974, perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain-lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuan.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
1.4 Akibat Hukum Perceraian (Undang-undang Perkawinan)
Perceraian mempunyai akibat hukum yang luas, baik dalam lapangan Hukum
Keluarga maupun dalam Hukum Kebendaan serta Hukum Perjanjian. Akibat pokok dari
perceraian adalah bekas suami dan bekas istri, kemudian hidup sendiri-sendiri secara
terpisah. Seperti yang terdapat di dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan,
disebutkan bahwa akibat hukum yang terjadi karena perceraian adalah sebagai berikut:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-
mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-
anak, pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban
tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Oleh karena itu, dampak atau akibat
dari putusnya hubungan perkawinan karena perceraian, telah jelas diatur dalam Undang-
undang Perkawinan.
2. Putusnya Hubungan Perkawinan Menurut Antropologi
Pengertian perceraian menurut hukum adat adalah peristiwa luar biasa, merupakan
problema sosial dan yuridis yang penting dalam kebanyakan daerah. Menurut Djojodiguno,
perceraian ini dikalangan orang jawa adalah suatu hal yang tidak disukai. Cita-cita orang
jawa ialah berjodohan sekali seumur hidup, bilamana mungkin sampai kaken-kaken, ninen-
ninen, artinya sampai si suami menjadi aki (kakek) dan si istri menjadi nini (nenek), yaitu
orang tua-tua yang sudah bercucu-cicit. Apa yang dikemukakan oleh Djojodiguno tersebut,
pada umumnya sudah menjadi pandangan hidup seluruh bangsa Indonesia, jadi tidak terbatas
pada suku jawa saja. Bangsa Indonesia, menurut Soerojo wignjodipoero, juga memandang
perceraian itu sebagai suatu perbuatan yang sedapat-dapatnya wajib dihindari. Pada asasnya
tiap keluarga, kerabat serta persekutuan menghendaki sesuatu perkawinan yang sudah
dilakukan itu, dipertahankan untuk selama hidupnya. Pada asasnya dan sedapat-dapatnya,
artinya apabila memang menurut keadaan serta kenyataan, perceraian itu demi kepentingan
bukan bagi suami isteri saja, melainkan juga kepentingan keluarga kedubelah pihak, bahkan
malahan juga demi kepentingan keseluruhan perlu dilakukan, maka perbuatan itu perlu
dijalankan.
Perceraian tidak bisa dipisahkan dari perkawinan, tak ada perceraian  tanpa diawali
perkawinan. Perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan bathin  antara seorang laki-laki dan
seorang wanita untuk membina rumah tangga yang  sakinah, mawaddah warahmah. Namun
pada saat tujuan itu tidak tercapai,  maka perceraian merupakan jalan keluar (way out)
terakhir yang mesti  ditempuh. 
Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena berbagai hal. Putus ikatan bisa
berarti salah seorang diantara keduanya meninggal dunia, antara pria dengan wanita sudah
bercerai, dan salah seorang diantara keduanya pergi ke tempat yang jauh kemudian tidak ada
beritanya sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal.
Berdasarkan semua itu, dapat berarti ikatan perkawinan suami istri sudah putus dan/atau
bercerainya antara seorang pria dengan seorang wanita yang diikat oleh tali perkawinan.
Putusnya perkawinan karena kematian terjadi karena salah satu pihak dalam
perkawinan meninggal dunia apakah itu suami atau istri. Putusnya perkawinan karena
kematian merupakan kejadian yang berada di luar kehendak atau kuasa dari para pihak dalam
perkawinan. Tidak terdapat campur tangan dari pasangan yang hidup lebih lama ataupun
campur tangan dari pengadilan. Putusnya perkawinan karena kematian sepenuhnya
merupakan kehendak atau kuasa dari Tuhan. Putusnya perkawinan karena kematian lazim
disebut dalam masyarakat kita dengan istilah cerai mati.
Erna Karim lebih tegas menyebut perceraian sebagai cerai hidup antara
pasangan suami istri akibat dari kegagalan mereka menjalankan obligasi peran masing-
masing. Dalam hal ini, Erna Karim melihat perceraian sebagai akhir dari suatu
ketidakstabilan perkawinan di mana pasangan suami istri kemudian hidup berpisah dan
secara resmi disahkan oleh hukum yang berlaku di suatu tempat.
Menurut Viscoot (dalam Coloroso, 2010:132),
perceraian bisa menjadi tindakan berani atau tindakan pengecut, atau bukan pilihan sama
sekali. Perceraian bisa berbuah baik, bisaa juga berbuah buruk, kadang tidak keduanya.
Tetapi, untuk anak-anak, perceraian adalah hal yang pasti mengakibatkan kekacauan dan
munculnya rasa kehilangan. Sementara William J. Goode tidak memberi definisi perceraian
secara spesifik. Ia justru mengangkat isu yang lebih umum dan menurutnya lebih penting
Universitas Sumatera Utara dari sekedar persoalan perceraian, yaitu kekacauan dalam rumah
tangga. Menurut Goode, kekacauan
keluarga dapat ditafsirkan sebagai pecahnya suatu unit keluarga, terputusnya atau retaknya
struktur peran sosial jika satu atau beberapa anggota gagal menjalankan kewajiban peran
mereka sepenuhnya. Menurut Goode,
kekacauan keluarga tidak hanya terjadi dalam bentuk perceraian, melainkan dapat dilihat
dalam berbagai bentuk, di antaranya adalah:
1. Ketidaksahan Ini merupakan unit keluarga yang tidak lengkap. Dengan dianggap sama
dengan bentuk-bentuk kegagalan peran lainnya dalam keluarga, karena sang ayah/suami tidak
ada dan karenanya tidak menjalankan tugasnya seperti apa yang ditentukan oleh mayarakat
atau oleh sang ibu. Tambahan pula, setidaktidaknya ada satu sumber ketidaksahan dalam
kegagalan anggota-anggota keluarga baik ibu maupun bapak untuk menjalankan kewajiban
peranannya.
2. Pembatalan, perpisahan, perceraian dan meninggalkan. Terputusnya keluarga disini
disebabkan karena salah satu atau kedua pasangan itu memutuskan untuk saling
meninggalkan, dan dengan demikian berhenti melaksanakan kewajiban perannya.
3. Keluarga selaput kosong. Di sini anggota-anggota keluarga tetap tinggal bersama tetapi,
tidak saling menyapa atau bekerjasama satu dengan yang lain dan terutama gagal
memberikan dukungan emosional satu kepada yang lain.
2.1 Faktor-Faktor Penyebab Perceraian
Faktor internal :
1. Kekerasan dalam rumah tangga. Menurut Krauss dan Krauss (dalam Krahe, 2005: 244),
kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mengacu pada
bentukbentuk perilaku yang dilakukan dengan niat menyakiti atau mencederai salah seorang
anggota keluarga. Kekerasan ada dua bentuk yaitu kekerasan verbal dan non verbal.
2. Masalah ekonomi. Ekonomi juga turut menjadi indikator yang menentukan suatu keluarga
dapat atau tidaknya menjalankan fungsi sosial ekonominya dalam masyarakat. Menurut
Friedman (2004: 31), keadaan ekonomi merupakan kondisi atau fakta sosial yang terjadi
bagaimana seseorang bertahan hidup dengan kondisi ekonomi yang dimiliki.
Faktor eksternal :
1. Masalah perilaku buruk seperti kebiasaan berjudi. Perjudian adalah pertaruhan dengna
sengaja yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai dengan
menyadari adanya risiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa permainan,
pertandingan, perlombaan, dan kejadian-kejadian yang tidak/belum pasti hasilnya (Kartono,
2014: 58).
2. Perselingkuhan. Perselingkuhan merupakan sebuah perzinaan yang dilakukan oleh
seseorang terhadap orang lain yang bukan menjadi pasangan hidup yang sah, padahal ia telah
terikat dalam perkawinan secara resmi dengan pasangan hidupnya. Jadi perselingkuhan
sebagai aktivitas hubungan seksual di luar perkawinan dan mungkin semula tidak diketahui
oleh pasangan hidupnya, akan tetapi lama kelamaan diketahui secara pasti.
Daftar Pustaka
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/131145-T%2027458-Perjanjian%20pembagian-Tinjauan
%20literatur.pdf

You might also like