You are on page 1of 28

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN STROKE


DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KHATULISTIWA

DISUSUN OLEH:

HANI SYADZA SHAFIRA MAHARANY


NIM.211133010

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK
JURUSAN KEPERAWATAN PONTIANAK
PRODI PROFESI NERS
TAHUN 2021/2022
KONSEP DASAR

A. Konsep Dasar Proses Penuaan


1. Definisi
Keluarga adalah unit pelayanan kesehatan yang terdepan dalam
meningkatkan derajat kesehatan komunitas. Apabila keluarga sehat maka akan
tercipta komunitas yang sehat. Masalah kesehatan yang dialami oleh salah satu
anggota keluarga dapat mempengaruhi anggota keluarga yang lain (Sudiharto,
2012).
Menurut Depkes RI (2001), Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak
dapat dihindari, berjalan secara terus-menerus, dan berkesinambungan.
Selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia
pada tubuh, sehingga akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara
keseluruhan (Maryam, 2008).
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi didalam
kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak
hanya dimulai dari suatu tertentu, tetapi dimulai sejak pemulaan kehidupan
(Kushariyadi, 2010) Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan
lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu
penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang
ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress
lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang
untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis.
Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta
peningkata kepekaan secara individual.
Gerontology adalah ilmu yang mempelajari proses menua dan masalah
yang mungkin terjadi pada lanjut usia. Keperawatan gerontik atau keperawatan
gerontology adalah praktik perawatan yang berkaitan dengan penyakit pada
proses menua yang dapat menjalankan perannya pada tiap tatanan pelayanan
(dirumah sakit, rumah dan panti) dengan menggunakan pengetahuan, keahlian,
dan keterampilan merawat untuk meningkatkan fungsi optimal para lansia secara

1
komprehensif. Tujuan keperawatan gerontik adalah memenuhi kenyamanan
lansia, mempertahankan fungsi tubuh, serta membantu lansia menghadapi
kematian dengan tenang dan damai melalui ilmu dan teknik keperawatan
gerontik (Maryam, 2008).
2. Tujuan gerontik
a. Mempertahankan derajat kesehatan setinggi-tingginya sehingga terhindar
dari penyakit atau gangguan/kesehatan.
b. Memelihara kondisi kesehatan dengan aktivitas fisik sesuai kemampuan dan
aktivitas mental yang mendukung.
c. Merangsang para petugas kesehatan untuk dapat mengenal dan menegakkan
diagnosa yang tepat dan dini, bila mereka menjumpai kelainan tertentu.
d. Memelihara kemandirian secara maksimal dengan mencari upaya
semaksimal mungkin agar para lanjut usia yang menderita penyakit atau
gangguan, masih dapat mempertahankan kebebasan yang maksimal tanpa
perlu suatu pertolongan.
e. Tetap memberikan bantuan moril dan perhatian sampai akhir hayatnya agar
kematiannya berlangsung dengan tenang (Maryam, 2008)
3. Batasan Lanjut Usia
WHO (1999) dalam Azizah 2011, menggolongkan lanjut usia berdasarkan usia
kronologis/biologis menjadi 4 kelompok yaitu usia pertengahan (middle age)
antara usia 45 – 59 tahun, lanjut usia(elderly) berusia antara 60 dan 74 tahun,
lanjut usia tua (old) usia 75 – 90 tahun, dan usia sangat tua ( Very old) di atas 90
tahun. Menurut Prof. Dr. Koesmanto Setyonegoro, lanjut usia dikelompokkan
menjadi usia dewasa muda (elderly adulthood) 18 atau 25 – 29 tahun, usia
dewasa penuh (middle years) atau maturitas 25 – 60 tahun atau 65 tahun, lanjut
usia (geriatric age) lebih dari 65 tahun atau 70 tahun yang dibagi lagi dengan 70
– 75 tahun (young old), 75 – 80 tahun (old), lebih dari 80 (very old). Menurut
UU No. 4 tahun 1965 pasal 1 seorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo
atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak
mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya
sehari – hari dan menerima nafkah dari orang lain. UU No. 13 tahun 1998

2
tentang kesejahteraan lansia bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia
60 tahun keatas (Azizah, 2011).
4. Teori-Teori Proses Menua
Teori penuaan secara umum dapat dibedakan menjadi dua yaitu teori penuaan
secara biologis dan teori penuaan psikososial.
a. Teori Biologis
Teori biologis dalam proses menua mengacu pada asumsi bahwa proses
menua merupakan perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi tubuh
selama masa hidup. Teori ini lebih menekankan pada perubahan kondisi
tingkat struktural sel/organ tubuh, termasuk didalamnya adalah pengaruh
agen patologis.
1) Teori Genetik
Menurut teori ini menua telah diprogram secara genetic untuk spesies-
spesies tertentu. Tiap spesies mempunyai di dalam nuclei (inti sel) suatu
jam yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu. Jam ini akan
menghitung mitosis dan menghentikan replikasi sel bila tidak berputar,
jadi menurut konsep ini bila jam berhenti akan meninggal dunia,
meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit akhir yang
katastrfal.
2) Teori Non-genetik
a) Teori penurunan sistem imun tubuh (auto immune theory)
Mutasi yang berulang dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan
sistem imun tubuh mengenai dirinya sendiri (self recognition). Jika
mutasi yang merusak membran sel, akan menyebabkan sistem imun
tidak mengenalinya sehingga merusaknya. Hal inilah yang mendasari
peningkatan penyakit auto imun pada lanjut usia.
b) Teori kerusakan akibat radikal bebas (free radical theory)
Radikal bebas dianggap sebagai penyebab penting terjadinya
kerusakan fungsi sel. Radikal bebas yang terdapat di lingkungan
seperti: Asap kendaraan bermotor, asap rokok, zat pengawet

3
makanan, radiasi, sinar ultraviolet yang mengakibatkan terjadinya
perubahan pigment dan kolagen pada proses menua.
c) Teori menua akibat metabolisme
Bahwa pengurangan asupan kalori ternyata bisa menghambat
pertumbuhan dan memperpanjang umur, sedangkan perubahan
asupan kalori menyebabkan kegemukan dan memperpendek umur.
d) Teori rantai silang
Teori ini menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh lemak, protein,
karbohidrat dan asam nukleat (molekul kolagen) bereaksi dengan zat
kimia dan radiasi, mengubah fungsi jaringan yang menyebabkan
perubahan pada membran plasma, yang mengakibatkan terjadinya
jaringan yang kaku, kurang elastic dan kehilangan fungsi pada proses
menua.
b. Teori Psikologis
1) Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Seseorang yang dimasa mudanya aktif dan terus memelihara
keaktifannya setelah menua. Sense of integrity yang dibangun dimasa
mudanya tetap terpelihara sampai tua. Teori ini menyatakan bahwa pada
lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam
kegiatan sosial. Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara
hidup dari usia lanjut. Mempertahankan hubungan antara sistem sosial
dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia.
2) Kepribadian Berlanjut (Continuity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia.
Identity pada lansia yang sudah mantap memudahkan dalam memelihara
hubungan dengan masyarakat, melibatkan diri dengan masalah di
masyarakat. Keluarga dan hubungan interpersonal. Pada teori ini
menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut
usia sangat dipengaruhi oleh tipe personality yang dimilikinya.
3) Teori Pembebasan (Disengagement Theory)

4
Putusnya pergaulan atau hubungan dengan masyarakat dan kemunduran
individu dengan individu lainnya. Teori ini menyatakan bahwa dengan
bertambahnya usia, seseorang secara pelan tetapi pasti mulai melepaskan
diri dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya.
Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik
secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjadi kehilangan
ganda (triple loss), yakni:
a) Kehilangan peran (loss of role)
b) Hambatan kontak sosial (restriction of contacts and relationships)
c) Berkurangnya komitmen (reduced commitment to social moes and
values). (Azizah, 2011)
5. Tugas Perkembangan Lanjut Usia
Seiring tahap kehidupan, lansia memiliki tugas perkembangan khusus. Tugas
perkembangan lansia meliputi:
a. Menyesuaikan terhadap penurunan kekuatan fisik dan kesehatan.
b. Menyesuaikan terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan.
c. Menyesuaikan terhadap kematian pasangan
d. Menerima diri sendiri sebagai lansia
e. Mempertahankan kepuasan pengaturan hidup
f. Mendefinisikan ulang hubungan dengan anak yang dewasa.
g. Menentukan cara untuk mempertahankan kualitas hidup
B. Konsep Dasar Stroke
1. Definisi Stroke
Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan di
peredaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak,
sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian
(fransisca, 2012). Stroke adalah gangguan peredaran darah otak yang
menyebabkan defisit neurologis mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragi
sirkulasi saraf otak (Amin, 2015).
Menurut WHO 1983 dalam Tarwoto dkk 2007 stroke merupakan sindrom
klinis dengan gejala gangguan fungsi otak secara fokal dan atau global yang

5
berlangsung 24 jam atau lebih yang dapat mengakibatkan kematian atau
kecacatan yang menetap lebih dari 24 jam tanpa penyebab lain kecuali gangguan
pembuluh darah otak.

2. Klasifikasi
Menurut Septi Shinta (2011) Stroke di kelompokkan menjadi dua yaitu Stroke
Iskemik (Non Hemorgik) dan Stroke Hemoragik.
a. Stroke Iskemik (Non Hemoragik) Terjadi apabila salah satu cabang dari
pembuluh darah otak mengalami penyumbatan, sehingga bagian otak yang
seharusnya mendapatkan suplai darah dari cabang pembuluh darah tersebut
akan mati karena tidak mendapatkan suplai oksigen dan aliran darah.
1) Stroke Trombotik yaitu proses terbentuknya thrombus yang membuat
penggumpalan
2) Stroke embolik yaitu tertutupnya pemuluh darah arteri oleh bekuan darah
3) Hipoperfusion sistemik yaitu berkurangnya aliaran darah ke seluruh
bagian tubuh karena adanya gangguan denyut jantung.
b. Stroke Hemoragik Terjadinya karena pecah pembuluh darah di otak terkait
dengan terjadinya peningkatan tekanan darah akibat gesekan dari darah yang
mengalir penderita hipertensi yang bisa menyebabkan pecahnya pembuluh
darah.

3. Etiologi
Stroke di bagi menjadi dua jenis yaitu Stroke iskemik dan Stroke hemorogik.
a. Stroke iskemik atau Non hemoragik yaitu tersumbatnya pembuluh darah
yang menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau seluruhan terhenti.
80% adalah Stroke iskemik.
1) Stroketrombotik: proses terbentuknya trombus yang menyebabkan
penggumpalan.
2) Strokeembolik: tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.
3) Hipoperfusion embolik: berkurangnya aliran darah keselurh bagian tubuh
karena adanya gangguan denyut jantung.

6
b. Stroke yang di sebebkan oleh pecahnya pembuluh darah otak. Hampir 70%
kasus Stroke hemoragik terjadi pada penderita hipertensi. Stroke hemoragik
terbagi menjadi 2 jenis yaitu:
1) Hemoragik intra serebral: perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak.
2) Hemoragik subaraknoid: perdarahan yang terjadi pada ruang subaraknoid
(ruang sempit antara permukaan otak dan selaput yang menutupi otak)
(Amin, 2015).

4. Tanda dan Gejala


Menurut Amin (2015) manifestasi klinis yang ada pada penderita Stroke
yaitu mengalami kelemahan dan kelumpuhan, tiba-tiba hilang rasa kepekaan,
bicara pelo atau cadel, gangguan bicara, gangguan penglihatan, mulut mencong
atau tidak simetris ketika menyeringai, gangguan daya ingat, nyeri kepala hebat,
vertigo, penurunan kesadaran, proses kencing terganggu dan mengalami
gangguan fungsi otak.

5. Komplikasi
Menurut (Smeltzer & bare, 2010) komplikasi Stroke meliputi hipoksia serebral,
penurunan aliran darah serebral dan embolisme serebral.
a. Hipoksia serebral
Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan
kejaringan. Hipoksia serebral diminimalkan dengan pemberian oksigenasi
yang adekuat ke otak. Pemberian oksigen berguna untuk mempertahankan
hemoglobin serta hematokrit yang akan membantu dalam mempertahankan
oksigenasi jaringan.
b. Penurunan aliran darah serebral
Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan
integrasi pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat cairan intravena,
memperbaiki aliran darah dan menurunkan viscositas darah. Hipertensi atau
hipotensi perlu di hindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah
serebral dan potensi meluasnya area cidera.

7
c. Embolisme serebral
Terjadi setelah imfak miokard atau vibrilasi atrium. Embolise akan
menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya akan menurunkan aliran
darah ke serebral. Distritmia dapat menimulkan curah jantung tidak
konsisten, distritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus segera
di perbaiki.

6. Pemeriksaan Penunjang Stroke


Menurut Lukman, Nurna, (2012) pemeriksaan yang dapat dilakukan pada
lansiaStroke sebagai berikut:
a. Angiografi Serebral
Membantu menentukan penyebab Stroke secara spesifik misalnya
pertahanan atau sumbatan arteri.
b. Scan Tomografi Komputer (CT-Scan)
Mengetahui adanya tekanan normal dan adanya thrombosis, emboli serebral,
dan tekanan normal dan adanya thrombosis, emboli serebral, dan tekanan
intracranial (TIK).Peningkatan TIK dan cairan yang mengandung darah
menunjukan adanya perdarahan subarakhnoid dan perdarahan intracranial.
Kadar protein total meningkat, beberapa kasus thrombosis disertai proses
inflamasi.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Menunjukan daerah infark, perdarahan, malformasi arteriovena (MAV).
d. Ultrasonografi Doppler (USG doppler)
Mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sistem arteri karotis atau
aliran darah timbulnya plak dan arteriosklerosis).
e. Elektroensefalogram (EEG)
Mengidentifikasi masalah pada gelombang otak dan memperlihatkan daerah
lesi yang spesifik.
f. Sinar tengkorak
Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pienal daerah yang
berlawanan dari massa yang meluas, klasifikasi karotis interna terdapat pada

8
thrombosis serebral; klasifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan
subarachnoid.
g. Pemeriksaan laboratorium rutin
Berupa cek darah, Gula darah, Urine, Cairan serebrospinal, AGD, Biokimia
dara dan elektrolit.

7. Penatalaksanaan
Penderita Stroke sejak mulai sakit pertama kali dirawat sampai proses
rawat jalan di luar rumah sakit, memerlukan perawatan dan pengobatan terus
menerus sampai optimal dan mencapai keadaan fisik maksimal. Pengobatan
pada Stroke non hemoragik dibedakan menjadi:
a. Pengobatan umum Untuk pengobatan umum ini dibedakan menjadi 5B,
yaitu:
1) Breathing
Harus dijaga agar jalan nafas bebas dan fungsi paru-paru cukup
baik.Fungsi paru sering terganggu karena curah jantung yang kurang,
maka jantung harus dimonitor dengan seksama. Pengobatan dengan
oksigen hanya perlu jika kadar oksigen dalam darah berkurang.
2) Blood - Tekanan darah
Tekanan darah dijaga agar tetap cukup tinggi untuk mengalirkan darah
ke otak. Pada fase akut pada umumnya tekanan darah meningkat dan
secara spontan akan menurun secara gradual. Pengobatan hipertensi pada
fase akut dapat mengurangi tekanan perfusi yang justru menambah
iskemik lagi. Komposisi darah Kadar Hb dan glukosa harus di jaga
cukup baik untuk metabolisme otak. Bila terdapat polisitemia harus di
lakukan hemodilusi. Pemberian infuse glukosa harus di hindari karena
akan menambah terjadinya asidosis di daerah infark yang mempermudah
terjadinya edem dan karena hiperglikemia menyebabkan perburukan
fungsi neurologis dan keluaran. Keseimbangan elektrolit harus di jaga.

9
3) Bowel
Defekasi dan nutrisi harus di perhatikan. Hindari terjadinya obstipasi
karena akan membuat lansia gelisah. Nutrisi harus cukup, bila
perludiberikan melalui nasogastic tube.
4) Bladder
Miksi dan balance cairan harus di pehatikan. Jangan sampai terjadi
retensio urine. Bila terjadi inkontinensia, untuk laki-laki harus di pasang
kondom kateter,kalau wanita harus di pasang kateter tetap
5) Brain
Edema otak dan kejang harus di cegah dan di atasi.Bila terjadi edema
otak, dapat di lihat dari keadaan penderita yang mengantuk, adanya
bradikardiatau dengan pemeriksaan funduskopi, dapat di berikan
manitol. Untuk mengatasi kejang-kejang yang timbul dapat di berikan
diphenylhydantion atau carbamazepine
b. Pengobatan Khusus
Pada fase akut pengobatan di tujukan untuk membatasi kerusakan otak
semaksimal mungkin agar kecatatan yang di timbulkan menjadi seminimal
mungkin.Untuk daerah yang mengalami infark, kita tidak bisa berbuat
banyak, yang penting adalah menyelamatkan daerah di sekitar infark yang di
sebut daerah penumbra.Neuron-neuron di daerah penumbra ini sebenarnya
masih hidup, akan terapi tidak dapat berfungsi oleh karena aliran darahnya
tidak adekuat. Daerah inilah yang harus di selamatkan agar dapat berfungsi
kembali.Untuk keperluan tersebut maka aliran darah tersebut harus di
perbaiki.
Menurut hukum hagen-poisseuille, viskositas darah memegang
peranan penting. Viskositas darah di pengaruhi oleh:
1) Hematokrit
2) Plasma fibrinogen
3) Rigiditas eritrosit
4) Agregasi trombosit

10
c. Terapi Farmakologi
1) Trombolisis
Satu-satunya obat yang di akui FDA sebagai standar adalah pemakaian
rTPA (recombinant- Tissue plasminogen Activitor) yang di berikan pada
penderita Stroke iskemik dengan syarat tertentu baik i.v maupun arterial
dalam waktu kurang dari 3 jam setelah onset Stroke.
2) Antikoagulan
Obat yang di berikan adalah heparin atau heparinoid (fraxiparine).Efek
antikoagualan heparin adalah inhibisi terhadap faktor koagulasi dan
mencegah atau memperkecil pembentukan fibrin dan propagasi
trombus.Antikoagulasia mencegah terjadinya gumpalan darah dan
embolisasi trombus.Antikoagulansia mencegah terjadinya gumpalan
darah dan emboisasi trombus.Antikoagulansia masih sering di gunakan
pada penderita Stroke dengan kelainan jantung yang dapat menimbulkan
embolus.
3) Anti agregasi trombosit
Obat yang di pakai untuk mencegah penggumpalan sehingga mencegah
terbentuknya trombus yang dapat menyumbat pembuluh darah.Obat ini
dapat digunakan pada TIA. Obat yang banyak digunakan adalah asetosal
(aspirin) dengan dosis 40mg-1,3 gram/hari. Akhir-akhir ini di gunakan
tiklodipin dengan dosis 2 x 250 mg.
4) Neuroprotektor
Mencegah dan memblok proses yang menyebabkan kematia sel-sel
terutama di daerah penumbra. Berperan dalam menginhibisi dan
mengubah reverbilitas neuronal yang terganggu akibat ischemic cascade.
Obat-obat ini misalnya puracetam, citikolin, nimodipin, pentoksifilin.
5) Anti edema
Obat anti edema otak adalah cairan hiperosmolar, missalnya manitol
20%, larutan gliserol 10%. Pembatas cairan juga dapat membantu.Dapat
pula menggunakan kortikosteroid.

11
d. Terapi Non Farmakologi
1) Terapi menggenggam bola
Terapi ini berpengaruh untuk meningkatkan kekuatan otot pada
ekstermitas atas, sehingga dapat terjadi peningkatan pada kekuatan
otot.Terapi ini juga pernah di teliti oleh Chaidir &Zuardi (2014) di RSSN
Bukit Tinggi.
2) Latihan keterampilan motorik
Latihan-latihan ini dapat membantu meningkatkan kekuatan dan
koordinasi otot lansia kembali.Biasanya orang yang melakukan terapi ini
adalah orang yang otot lidahnya melemah. Terapi ini bias memperkuat
otot lansia untuk berbicara atau menelan.
3) Terapi mobilitas
Alat bantu dalam terapi mobilitas itu alat bantu berjalan, tongkat, kursi
roda, atau penahan pergelangan kaki. Penyangga pergelangan kaki dapat
menstabilkan dan memperkuat pergelangan kaki lansia untuk membantu
mendukung berat badan lansia saat lansia belajar berjalan kembali.
4) Terapi constraint induced
Terapi ini di lakukan oleh anggota tubuh lain yang tidak terkena dampak
dari kondisi ini. Anggota tubuh yang tidak terkena harus membantu
anggota tubuh lain untuk meningkatkan fungsinya. Terapi stroke ini
kadang-kadang di sebut terapi penggunaan paksa.
5) Terapi Range of motion (ROM)
Latihan dan perawatan ini bertujuan untuk mengurang kekegangan otot
(kelenturan) dan membantu lansia mendapatkan kembali gerak tubuh
yang lentur.

12
BAB II
WEB OF CAUSATION (WOC)
A. Web Of Causation

Gambar 2.1 Web Of Cousation Stroke non-hemoragik

13
B. Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak.
Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh
darah dan adekuatan sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh
darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat)
gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Aterosklerosis
sering sebagai faktor penyebab infark pada otak. Trombus dapat berasal dari plak
aterosklerotik, atau darah dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran darah
mengalami pelambatan atau terjadi turbulensi. Thrombus dapat pecah dari dinding
pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam aliran darah.
Trombus mengakibatkan iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh
darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar area. Area edema ini
menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema
dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari.
Dengan berkurangnya edema klien mulai menunjukan perbaikan. Oleh karena
thrombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan massif. Oklusi pada
pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti
thrombosis. Jika terjadi septic infeksi akan meluas pada dinding pembuluh darah.
Hal ini akan menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisma pecah atau rupture.
Perdarahan pada otak disebabkan oleh rupture ateriosklerotik dan hipertensi
pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering
menyebabkan kematian dibandingkan keseluruhan penyakit serebro vaskular, karena
perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan intracranial
dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk serebri atau lewat
foramen magnum.
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral.
Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk waktu 4
sampai 6 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia
serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti
jantung. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Jika volume darah lebih
dari 60cc maka resiko kematian sebesar 93% pada perdarahan dalam dan 71% pada

14
perdarahan lobar. Sedangkan jika terjadi perdarahan serebral dengan volume antara
30 – 60 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75%, namun volume darah
5 cc yang terdapat di pons sudah berakibat fatal (Muttaqin, 2008).

15
BAB III
PROSES KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Pengkajian
a. Identitas diri
Untuk mengetahui identitas lansia, yang biasanya meliputi, nama, umur,
jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, pendidikan terakhir,
aktifitas keluarga, perkerjaan sebelumnya, alamat sebelumnya, tanggal
pengkajian, riwayat penyakit, genogram, dan status kesehatan saat ini.
b. Riwayat keluarga
Menggambarkan silsilah keluarga dengan tiga generasi.
c. Riwayat pekerjaan
Menjelaskan tentang pekerjaan lansia sebelum mengalami serangan Stroke
dan menjelaskan pekerjaan saat ini
d. Riwayat lingkungan hidup
Menggambarkan lingkungan hidup lansia seperti tipe rumah, jumlah kamar,
jumlah orang yang tinggal dalam satu rumah.
e. Riwayat rekreasi
Menjelaskan tentang penggunaan waktu luang lansia
f. Sumber / system pendukung
Meliputi perawat, dokter, apoteker dan tenaga kesehatan lainnya.
g. Deskripsi harian khusus kebiasaan ritual sebelum tidur
Menjelaskan tentang kegiatan yang dilakukan lansia sebelum tidur.
h. Status kesehatan saat ini
Menjelaskan tentang kondisi kesehatan 1 tahun yang lalu, 5 tahun yang lalu
dan keluhan yang masih dirasakan hingga saat ini. Riwayat penggunaan dan
pemakaian obat, siapa yang memberikan resep obat dan kelengkapan status
imunisasi lansia serta makanan dan minuman apa yang harus dihindari dan
dikonsumsi agar Stroke tidak bertambah parah.

16
i. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik adalah suatu proses memeriksa tubuh dan fungsinya
dari ujung kepala sampai ujung kaki (head to toe) untuk menemukan adanya
tanda-tanda dari suatu penyakit. Pemeriksaan fisik biasanya menggunakan
teknik seperti inpeksi (melihat), auskultasi (mendengar), palpasi (meraba),
dan perkusi (mengetuk).
Pada pemeriksaan kepala dan leher meliputi bentuk kepala, kulit
kepala, tulang kepala, jenis rambut, warna rambut, pola penebaran rambut,
kelainan, struktur wajah, warna kulit.kemudian pemeriksaan pada mata
meliputi kelengkapan dan kesimetrisan, kelopak mata/palpebral, kornea
mata, konjungtiva dan sclera, pupil dan iris, ketajaman penglihatan/visus,
tekanan bola mata dan kelainan yang ada pada mata.
Kemudian pada hidung meliputi cuping hidung, lubang hidung, tulang
hidung dan septum nasi. Pada telinga meliputi bentuk telinga, ukuran telinga,
ketegangan telinga, lubang telinga, ketajaman pendengaran menggunakan
test weber, rinne dan swabach.
Pada mulut dan faring meliputi keadaan bibir, keadaan gusi dan gigi,
keadaan lidah, palatum atau langit-langit dan orofaring. Kemudian pada
leher meliputi posisi trachea, tiroid, suara, kelenjar lympe, vena jugularis dan
denyut nadi karotis.
Pemeriksaan payudara dan ketiak meliputi ukuran dan bentuk
payudara, warna payudara dan aerola, axilla dan clavicula serta kelainan-
kelainan lainnya pada ketiak dan payudara. Pemeriksaan thoraks/dada/tulang
belakang meliputi inspeksi (bentuk thoraks dan penggunaan otot bantu
pernafasan), palpasi (vocal premitus), perkusi dada dan auskultasi (suara
nafas, suara ucapan dan suara nafas tambahan).
Pemeriksaan jantung meliputi inspeksi dan palpasi jantung, perkusi
batas jantung (basic jantung, pinggang jantung, apeks jantung).Auskultasi
pada jantung (bunyi jantung 1, bunti janutng 2, bunyi jantung tambahan,
bising/murmur dan frekuensi bunyi jantung).

17
Pemeriksaan abdomen saat inspeksi meliputi bentuk abdomen,
benjolan/massa, dan bayangan pembuluh darah. Saat auskultasi adalah
mendengarkan bising atau peristaltic usus.Saat palpasi meliputi nyeri tekan,
benjolan/massa, pembesaran hepar, lien dan titik Mc. Burney. Saat perkusi
meliputi suara abdomen dan pemeriksaan asites abdomen.
Pemeriksaan kelamin dan sekitarnya pada anus dan perineum meliputi
pubis, meatus uretra dan kelainan lainnya. Sedangkan pada anus dan
perineum meliputi lubang anus, kelainan pada anus dan keadaan perineum.
Pemeriksaan muskuluskeletal meliputi kesimetrisan otot, emeriksaan
oedema, kekuatan otot dan kelainan punggung dan ekstremitas serta
kuku.Pemeriksaan integuman meliputi kebersihan, kehangatan, tekstur,
warna, turgor, kelembapan dan kelainan pada kulit/lesi. Pemeriksaan
nerologis meliputi tingkat kesarana atau tingkat kesadaran atau GCS, dan
tanda rangsangan otak atau meningeal sign. Kemudian pemeriksaab syaraf
otak (N1-NXII), fungsi motoric, fungsi sensorik, dan reflex baik fisiologis
maupun patologis.
B. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan yang dibuat oleh perawat
professional yang singkat, tegas dan tentang respons klien terhadap masalah
kesehatan atau penyakit tertentu yang aktual dan potensial yang ditetapkan
berdasarkan analisis dan interprestasi data hasil pengkajian. Diagnosa keperawatan
pada klien dengan stroke, meliputi:
1. Gangguan menelan berhubungan dengan penurunan fungsi nerfus vagus atau
hilangnya refluks muntah
2. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mencerna makanan,
penurunan fungsi nerfus hipoglosus
3. Nyeri akut
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparesis,kehilangan
keseimbangan dan cidera otak
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gejala pasca Stroke
6. Resiko jatuh berhubungan dengan kekuatan otot menurun

18
C. Intervensi keperawatan
Diagnosa Kriteria hasil Intervensi keperawatan
Gangguan menelan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Memantau tingkat kesadaran,reflex batuk,
berhubungan dengan 3x24 jam di harapkan gengguan menelan teratasi reflek muntah, dan kemampuan menelan
penurunan fungsi nerfus dengan kriteria hasil: 2. Potong makanan menjadi potongan-
vagus atau hilangnya 1. Dapat mempertahankan makanan dalam mulut potongan kecil
refluks muntah 2. Kemampuan menelan adekuat 3. Jauhkan kepala tempat tidur di tinggikan
3. Mampu mengontrol mual dan muntah 30 sampai 45 menit setelah makan
Ketidak seimbangan Setelah di lakukan tindakan keperawaa 3x24 jam 1. Kaji adanya alergi makanan
nutisi kurang dari di harapkan tidak ada penurunan berat badan 2. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan
kebutuhan tubuh dengan criteria hasil: kalori
berhubungan dengan 1. Adanya peningkatan berat badan sesuai 3. Anjurkan lansia untuk meningkatkan
ketidakmampuan untuk dengan tujuan intake Fe 2.4 Ajarkan lansia bagaimana
mencerna makanan, 2. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan membuat catatan makanan harian
penurunan fungsi nerfus 3. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi 4. Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk
hipoglosus 4. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi menentukan jumlah kalori dan nutrisi
5. Menunjukan peningkatan fungsi pengecapan yang di butuhkan.
dan menelan
6. Tidak terjadi penurunan berat badan yang

20
berarti
Nyeri akut Setelah di lakukan tindakan keperawaa 3x24 jam 1. Gunakan teknik komunikasi terapeutik
di harapkan nyeri hilang atau berkurang dengan untuk mengetahui pengalaman nyeri
kriteria kasil: lansia.
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab 2. Lakukan pengkajian nyeri secara
nyeri, mampu menggunakan teknik non komprehensif termasuk lokasi,
farmakologi untuk mengurangi nyeri dan karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
mencari bantuan). dan factor presipitasi.
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan 3. Observasi reaksi nonverbal dari
menggunakan managemen nyeri. ketidaknyamanan.
3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, 4. Kontrol lingkungan yang dapat
frekuensi dan tanda nyeri). mempengaruhi nyeri seperti suhu
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri ruangan, pencahayaan dan kebisingan.
berkurang. Tanda-tanda vital dalam rentang 5. Ajarkan teknik non farmakologi.
normal. TD 120/80, nadi 60-100x/menit, 6. Kolaborasikan untuk pemberian obat
Perafasan 16-24x/menit dan suhu 36,5- analgetik.
37,5OC

21
Hambatan mobilitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam 1. Kaji kemampuan dalam mobilisasi
fisik berhubungan diharapkan hambatan mobilitas teratasi dengan 2. Latih lansia dalam pemenuhan kebutuhan
dengan criteria hasil: ADL secara mandiri sesuai kemampuan
hemiparesis,kehilangan 1. Lansia meningkat dalam aktifitas fisik 3. Dampingi dan bantu lansia saat mobilisai
keseimbangan dan 2. Mengerti tujuan dan meningkatkan mobilitas dan bantu penuhi kebutuhan ADL
cidera otak 3. Memperagakan penggunaan alat bantu 4. Bantu lansia untuk menggunakan tongkat
4. Menverbalisasikan perasaan dalam atau alat bantu saat berjalan dan cegah
meningkatkan kekuatan dan kemampuan terhadap cidera.
berpindah 5. Ajarkan lansia atau kesehatan lain
tentang teknik ambulasi
Defisit perawatan diri Setelah di lakukan tindakan keperawatan 3x24 jam 1. Pantau tingkat kekuatan dan toleransi
berhunungan dengan di harapkan defisit perawatan diri teratasi dengan aktifitas
gejala pasca Stroke criteria hasil: 2. Sediakan pakaian lansia di tempat yang
1. Mampu melakukan tugas fisik yang paling mudah di jangkau
mendasar dan aktifitas perawatan pribadi 3. Bantu lansia untuk menaikan,
secara mandiri dengan atau tanpa alat bantu mengancungkan, dan meresleting
2. Mampu untuk mengenakan pakaian dan pakaian.
berhias sendiri 4. Beri pujian untuk usaha berpakaian
3. Dapat melepas pakaian kaos kaki dan pakaian sendiri

22
4. Menggunakan alat bantu untuk memudahkan 5. Pertahan privasi saat lansia berpakaian.
dalam berpakaian.
Resiko jatuh Setelah di lakukan tindakan keperawatan 3x24 jam 1. Mengidentifikasi defisit kognitif atau
berhubungan dengan diharapkan resiko jatuh teratasi dengan kriteria fisik lansia yang dapat meningkatkan
kekuatan otot menurun hasil: potensi jatuh dalam lingkungan tertentu.
1. Keseimbangan: kemampuan untuk 2. Mengidentifikasi karakteristik
mempertahankan ekuilibrium lingkungan yang dapat meningkatkan
2. Gerakan terkoordinasi: kemampuan otot untuk potensi untuk jatuh.
berkerja sama secara volumter untuk 3. Menyediakan pegangan tangan terlihat
melakukan gerakan yang bertujuan dan memgang tiang.
3. Tidak ada kejadian jatuh 4. Mendorong lansia untuk menggunakan
tongkat atau alat bantu jalan 6.5 Sarankan
perubahan dalam gaya berjalan 6.6
Sarankan alas kaki yang aman.

23
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh perawat untuk membantu pasien dari masalah stasus kesehatan yang
dihadapi ke status kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil
yang diharapkan. Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada
kebutuhan klien, faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan
keperawatan, strategi implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi.
Dalam pelaksanaannya terdapat tiga jenis Implementasi keperawatan
yaitu:
1. Independent Implementations
Adalah implementasi yang di prakarsari sendiri oleh perawat untuk
membantu pasien mengatasi masalahnya sesuai dengan kebutuhan,
misalnya: membantu dalam memenuhi activity daily living (ADL),
memberikan keperawatan diri, mengatur posisi tidur, menciptakan
lingkungan yang terapeutik, memberikan dorongan motivasi, pemenuhan
kebutuhan psiko, sosio, cultural, dan lain-lain.
2. Interdependen/collaborative
Implementations Adalah tindakan keperawatan atas dasar
kerjasama sesame tim keperawatan atau dengan tim kesehatan lainnya,
seperti dokter. Contohnya dalam hal pemberian obat-obatan, infus,
kateter urine, dan lain-lain.
3. Dependent Implementations
Adalah tindakan keperawatan atas dasar rujukan dari profesi lain,
seperti ahli gizi, physiotherapies, pisikolog dan sebagiannya, misalnya
dalam hal: pemberian nutrisi pada pasien sesuai dengan diet yang telah
dibuat oleh ahli gizi, latihan fisik (mobilisasi fisik) sesuai dengan
anjuran dari bagian fisioterapi.

24
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari rangkaian proses
keperawatan yang berguna mengevaluasi apakah tujuan dari tindakan
keperawatan yang telah di lakukan tercapai (Dinarti dan yuli Mulyani,
2017).
Evaluasi adalah suatu penilaianasuhan keperawatan yang telah
diberikan atau di laksanakan dengan pedoman pada tujuan yang ingin
dicapai. Pada bagian ini akan di ketahui apakah perencanaan sudah
mencapai sebagian atau akan timbul masalah lain yang baru (Wilkinson, M
Judith dkk, 2012 dan Taylor, Cynthia M, 2010).
Evaluasi dapat di bagi menjadi 2 jenis yaitu:
1. Evaluasi berjalan (formatif)
Evaluasi yang di kerjakan dalam bentuk pengisian catatan
perkembangan yang berorientasi pada masalah yang di alami
klien/Lansia. Format yang digunakan dalam evaluasi formatif adalah
SOAP
2. Evaluasi akhir (sumatif)
Evaluasi yang dikerjakan dengan membandingkan antara tindakan
yang telah dikerjakan dengan tujuan yang ingin di capai. Jika terjadi
kesenjangan, maka proses keperawatan dapat di tinjau kembali untuk
mendapatkan data guna memodifikasi perencanaan. Format yang di
gunakan dalam evaluasi sumatif adalah SOAPIER.

25
F. Aplikasi Pemikiran Kritis dalam Asuhan Keperawatan Keluarga

1. Pelaksanaan
Stroke menjadi permasalahan terbesar di dunia yang dapat
menyebabkan kelumpuhan bahkan sampai kematian. Kelemahan pada sisi
tubuh adalah komplikasi yang dapat timbul pada penderita stroke yang
menyebabkan keterbatasan dalam rentang gerak sendi. Latihan range of
motion akan dilakukan selama 5 hari dalam seminggu, dengan
pengulangan minimal 2 kali sehari dalam waktu 5-10 menit. Latihan range
of motion dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan atau
meningkatkan kekuatan otot, memelihara mobilitas persendian,
merangsang sirkulasi darah dan mencegah kelainan bentuk. Jaringan otot
yang memendek akan memanjang secara perlahan apabila dilakukan

26
latihan range of motion dan jaringan otot akan mulai beradaptasi untuk
mengembalikan panjang otot kembali normal
2. Evaluasi
Rentang gerak sendi pasien pasca stroke sebelum dilakukan latihan
range of motion menunjukkan bahwa luas derajat rentang gerak sendi
ekstremitas atas seperti sendi peluru, sendi engsel, dan sendi kondiloid
mengalami keterbatasan. Namun sesudah dilakukan latihan range of
motion menunjukkan bahwa rentang gerak sendi mengalami peningkatan
sehingga didapatkan hasil bahwa ada pengaruh latihan range of motion
terhadap rentang gerak sendi ekstremitas atas pada pasien pasca stroke.

Menurut Suratun dkk (2008), ROM terdiri dari gerakan pada


persendian sebagai berikut:

7. Bahu 2. Siku

3. Lengan bawah 4. Pergelangan tangan

5. Jari tangan 6. Ibu jari

Gambar 3.1 ROM ekstermitas atas

27
DAFTAR PUSTAKA

Amin, N dan Hardhi Kusuma (2015). Nanda Nic-Noc Jilid 3. Jogjakarta:


Mediaction.
Anita, F., Pongantung, H., Ada, P. V., & Hingkam, V. (2018). Pengaruh Latihan
Range of Motion Terhadap Rentang Gerak Sendi Ekstremitas Atas
Pada Pasien Pasca Stroke di Makassar. Journal of Islamic Nursing,
3(1), 97-99.
Daya, DA. (2017). Pengaruh Terapi Aktif Menggenggam Bola Karet Terhadap
Kekuatan Otot Pada Pasien Stroke Non Hemoragik Di Wiliyah Kerja
Puskesmas Pengasih II Kulon Progo Yogyakarta.
Dinarti dan Yuli Mulyani (2017). Dokumentasi Keperawatan.
http://www.kemkes.go.idpusdiksmdk/wpcontent/uploads/2017/11/prak
tika-dokumen-keperawatn-dafis.pdf.
Lukman dan Nurma Ningsih (2012). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
PPNI 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: PPNI.
Smeltzer dan Bare (2010). Textbook Of Medical-Surgical Nursing Volume 1.
Philadelphia : Lippin Cott.
Sudrajat, B. (2017). Penerapan Terapi Genggam Menggunakan Bola Karet Untuk
Pemenuhan Kebutuhan Mobilitas Fisik Pada Pasien Stroke Non
Hemoragik.
Suryanti SS. (2011). 14 Penyakit Yang Sering Menyerang Dan Sangat
Mematikan. Jakarta: flash book.

28

You might also like