Professional Documents
Culture Documents
Petitum Partium Dalam Beracara Di Pengadilan: Pengecualian Terhadap Penerapan Asas Ultra Agama
Petitum Partium Dalam Beracara Di Pengadilan: Pengecualian Terhadap Penerapan Asas Ultra Agama
Hartini*
Abstract
A judge must examine and adjudicate all charges thoroughly on the lawsuit brought to
the court. The judge should not only examine and adjudicate part of the charge and disregard
the rest. On the other hand, judge in his/her adjudication is prohibited to accede above the suit
brought by the parties. This prohibition is called ultra petitum partium. A judge who accedes
in excess of the suit partium is considered to be exceeding his/her authority. In Religious Court
proceedings, the implementation of ultra petitum partium principle is an exception in several
types of cases. In the procedure of divorce (cerai talak), a judge may grant something not
demanded by wife either in the petition of divorce or in the reconvention by charging certain
obligations upon the husband, which is the wife’s right as the consequence of the separation.
In the procedure of divorce, judge may order a preliminary injunction even if such injunction
is not demanded. The argument that justifies the judge’s action is the Marriage Act and the
procedural law in the Act on Religious Court is a lex specialis stipulation, judge as judge
made law must dig into the values of life, and the judge may execute contra legem action if
the stipulation in an article considered to be in contradiction with justice and benefit.
*
Dosen Hukum Islam, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. (e-mail: hartininajib@yahoo.com)
1
Jaenal Aripin, 2008, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Kencana, Jakarta, hlm.
397.
382 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, Halaman 203 - 408
2
Ibid., hlm. 397.
3
Abdul Halim, 2000, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.
138.
3
Cik Hasan Bisri, (et.al.), 1999, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, Logos Wacana
Ilmu, Jakarta, hlm. 29.
5
Ibid., hlm. 30. Lihat juga Mukti Arto, 1996, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pela-
jar, Yogyakarta, hlm.9.
6
Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm.186.
7
Yahya Harahap, 2008, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 800.
Hartini, Pengecualian Terhadap Penerapan Asas Ultra Petitum Partium 383
dan menyeluruh memeriksa dan mengadili yang melebihi apa yang diminta dalam
setiap segi gugatan yang diajukan. Hakim hal adanya hubungan yang erat satu sama
tidak diperbolehkan hanya memeriksa dan lainnya. Dalam hal ini Pasal 178 ayat 3 HIR
memutus sebagian saja dan mengabaikan tidak berlaku secara mutlak sebab hakim
gugatan selebihnya. Begitu pula halnya dalam menjalankan tugasnya harus bertindak
apabila ada gugatan rekonvensi, hakim wajib secara aktif dan selalu harus berusaha agar
mempertimbangkan dan memutus tidak memberikan putusan yang benar-benar
hanya gugatan konvensinya saja tetapi juga menyelesaikan perkara. Didukung pula
gugatan rekonvensi. Apabila dalam suatu dengan putusan Mahkamah Agung tanggal
putusan, hakim hanya mempertimbangkan 8 Januari 1972 yang berpendapat bahwa
dan memutus gugatan konvensi saja padahal mengabulkan hal yang lebih dari yang
tergugat mengajukan rekonvensi, maka cara digugat masih diijinkan sepanjang masih
demikian bertentangan dengan asas yang sesuai dengan kejadian materiilnya. Namun
digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR. ditegaskan oleh Harahap bahwa penerapan
Asas lain yang digariskan dalam Pasal yang seperti ini sifatnya sangat kasuistik.10
178 ayat (2) dan (3) HIR, Pasal 189 ayat (2) Putusan judex facti yang didasarkan
dan (3) RBg serta Pasal 50 Rv adalah bahwa pada petitum subsider yang berbentuk
hakim dalam memberikan putusan tidak ex aequo et bono dapat dibenarkan asal
boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang masih dalam kerangka yang sesuai dengan
dikemukakan dalam gugatan. Larangan inti petitum primair. Akan tetapi, apabila
ini disebut ultra petitum partium. Menurut petitum primair dan subsider masing-
Harahap, hakim yang mengabulkan masing dirinci satu per satu, tindakan
tuntutan melebihi posita maupun petitum hakim yang mengabulkan sebagian petitum
gugat, dianggap telah melampaui wewenang primair dan sebagian lagi petitum subsider,
atau ultra vires yakni bertindak melampaui maka tindakan yang demikian dianggap
wewenangnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa melampaui batas wewenang dan karenanya
apabila putusan mengandung ultra petitum, tidak dibenarkan.11 Hal ini ditegaskan dalam
harus dinyatakan cacat meskipun hal itu Putusan Mahkamah Agung Nomor 882 K/
dilakukan hakim dengan itikad baik (good Sip/1974 tanggal 24 April 1976. Apabila
faith) maupun sesuai dengan kepentingan dalam gugatan dicantumkan petitum primair
umum (public interest). dan subsider, pengadilan hanya dibenarkan
Sementara menurut Mertokusumo, memilih satu di antaranya yaitu mengabulkan
dengan mendasarkan pada Putusan petitum primair atau subsider. Hakim tidak
Mahkamah Agung tanggal 4 Februari 1970, dibenarkan menggunakan kebebasan cara
Pengadilan Negeri boleh memberi putusan mengadili dengan jalan mengabulkan
8
Ibid., hlm. 801.
9
Sudikno Mertokusumo, Op. cit., hlm. 187.
10
Yahya Harahap, 2008, Op. cit., hlm. 802.
11
Ibid., hlm. 802.
384 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, Halaman 203 - 408
petitum primair atau mengambil sebagian yaitu cerai talak dan cerai gugat. Cerai talak
dari petitum subsidair. diajukan oleh suami sebagai pemohon dan
Hakim di dalam hukum acara perdata isteri sebagai termohon, sedangkan cerai
menurut HIR harus bersikap aktif dan harus gugat diajukan oleh isteri sebagai penggugat
menjatuhkan putusan seadil-adilnya sesuai dan suaminya sebagai tergugat. Sekalipun
dengan kebenaran dan sungguh-sungguh pada cerai talak, para pihaknya disebut
menyelesaikan perkara secara tuntas. Di sisi sebagai pemohon dan termohon, tetapi
lain, sesuai Pasal 178 ayat 3 HIR (Pasal 189 tidaklah berarti bahwa perkara cerai jenis ini
ayat 3 RBg) tersebut, kebebasan hakim sangat termasuk dalam kategori permohonan dalam
dibatasi oleh tuntutan atau kepentingan pihak pengertian voluntair murni, karena pada
penggugat. Oleh karenanya, pengabulan hakikatnya perkara ini merupakan sengketa
terhadap sesuatu yang sama sekali tidak perkawinan antara suami isteri.
diajukan dalam petitum, nyata-nyata Karena perkara cerai talak hakikatnya
melanggar asas ultra petitum partium dan merupakan sengketa perkawinan antara
terhadap putusan seperti itu harus dibatalkan. suami isteri, Mahkamah Agung Republik
Putusan semacam ini seperti dikemukakan Indonesia melalui Surat Edaran Nomor 2
dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor Tahun 1990 tanggal 3 April 1990 cenderung
77 K/Sip/1973 tanggal 19 September menyatakan bahwa pada dasarnya cerai talak
1973 harus dibatalkan, karena Pengadilan adalah merupakan sengketa perkawinan
Tinggi mengabulkan ganti rugi yang tidak antara suami dengan isteri,13 dan karenanya
dituntut dalam gugatan. Begitu juga dengan sekalipun dinamakan sebagai permohonan
putusan pengadilan yang didasarkan atas cerai talak, tetapi formulasi surat
pertimbangan yang menyimpang dari dasar permohonannya dibuat seperti lazimnya
gugatan, menurut putusan Mahkamah Agung formulasi surat gugatan. Formulasi surat
Nomor 372 K/Sip/1970 tanggal 1 September gugatan yang dimaksud adalah perumusan
1971, harus dibatalkan.12 (formulation) surat gugatan yang memenuhi
syarat formil menurut ketentuan hukum
C. Pengecualian Asas Ultra Petitum dan peraturan perundang-undangan yang
Partium dalam Perkara Cerai Talak berlaku.14 Dikemukakan oleh Supomo
Menurut UU Nomor 7 Tahun 1989 bahwa pada dasarnya Pasal 118 dan Pasal
tentang Peradilan Agama, perceraian di 120 HIR tidak menetapkan syarat formulasi
Pengadilan Agama dibagi menjadi dua jenis atau isi gugatan.15 Akan tetapi, sesuai dengan
12
Ibid., hlm. 803.
13
Al Yasa Abubakar, ”Ihwal Perceraian di Indonesia Perkembangan Pemikiran dari Undang-undang Perkawinan
Sampai Kompilasi Hukum Islam”, Mimbar Hukum, Volume X Nomor 41 Maret-April 1999. Lihat juga Abdul
Manaf, 2008, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, Mandar Maju, Band-
ung, hlm. 440.
14
Yahya Harahap, Op. cit., hlm. 51.
15
Soepomo, 1993, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 24.
Hartini, Pengecualian Terhadap Penerapan Asas Ultra Petitum Partium 385
16
Yahya Harahap, Op. cit., hlm. 51.
17
Ibid., hlm. 63.
18
Ibid., hlm. 63-64.
19
Abdul Manan, 2005, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta,
hlm. 34.
386 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, Halaman 203 - 408
20
Mukti Arto, 1998, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.
202.
Hartini, Pengecualian Terhadap Penerapan Asas Ultra Petitum Partium 387
termohon (isteri), hakim secara ex officio gugat) merujuk pada aturan hukum acara
(karena jabatannya) dapat menghukum suami dalam Undang-undang Peradilan Agama
sebagai pemohon untuk membayar nafkah yang merupakan ketentuan lex specialis.
atau mut’ah kepada termohon.21 Dalam hal Kedua, hakim mempunyai kewenangan
ini, sekalipun tidak ada gugat rekonvensi, untuk menciptakan hukum (judge made
hakim diperbolehkan membebankan suatu law). Sebagai judge made law, hakim wajib
kewajiban tertentu kepada suami. Dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-
demikian hakim dibenarkan mengabulkan nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
sesuatu yang tidak dituntut oleh isteri dalam dalam masyarakat (Pasal 27 ayat (1) UU
petitum permohonan cerai talak. Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diganti
Adapun argumentasi yang membe dengan Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun
narkan hakim menyimpangi asas larangan 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).
melakukan ultra petitum partium adalah. Menurut Mahkamah Agung, sebagimana
Pertama, Undang-undang Perkawinan (UU dikutip oleh Fauzan,23 termasuk dalam
Nomor 1 Tahun 1974) merupakan aturan konteks nilai-nilai hukum yang hidup dalam
lex specialis. Oleh karena itu, aturan yang masyarakat wajib dipahami dan diterapkan
khusus lebih diutamakan daripada aturan hakim dalam memeriksa dan memutus
yang bersifat umum. Pasal 41 huruf c perkara adalah ”ketentuan-ketentuan dalam
Undang-undang Perkawinan menentukan agamanya yang menentukan suatu kewajiban
bahwa ”Pengadilan dapat mewajibkan yang melekat dalam diri suami sebagai
kepada bekas suami untuk memberikan akibat suatu perbuatan hukum tertentu”
biaya penghidupan dan/atau menentukan Hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 149
sesuatu kewajiban bagi bekas isteri” KHI merupakan kewajiban yang melekat
Berdasarkan ketentuan ini, menurut Mukti pada suami dan merupakan hak isteri.
Arto,22 hakim karena jabatannya, tanpa Ketiga, hakim mempunyai kewenangan
harus ada permintaan dari pihak isteri, untuk menyimpangi ketentuan-ketentuan
dapat mewajibkan atau menghukum bekas hukum tertulis yang telah ada tetapi telah
suami dalam putusannya tersebut untuk usang karena ketinggalan zaman sehingga
memberikan biaya penghidupan dan/atau tidak lagi mampu memenuhi rasa keadilan
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas masyarakat.24 Oleh karena itu, hakim
isteri. Ditambahkan pula bahwa ketentuan dimungkinkan melakukan tindakan contra
hukum beracara di Pengadilan Agama khusus legem,25 yaitu menyimpangi jalur yang
perkara perceraian (cerai talak dan cerai ditetapkan dalam Pasal 189 ayat (3) RBg
21
M. Fauzan dan Edy Noerfuady, “Problematika Penerapan Hak Ex Officio Hakim Dalam Penyelesaian Perkara
Perceraian” dalam Mimbar Hukum, Volume VIII, Nomor 30, Januari-Februari, Tahun 1997.
22
Mukti Arto, Op. cit., hlm. 214.
23
M. Fauzan, Op. cit., hlm. 92. Lihat juga Mahkamah Agung, 1994, Penemuan dan Pemecahan Masalah Hukum
Dalam Pengadilan Agama, Jakarta, hlm. 28-29.
24
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, 2008, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Kencana, Jakarta, hlm. 9.
25
M. Fauzan, Ibid., hlm. 91.
388 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, Halaman 203 - 408
apabila ketentuan tersebut bertentangan dari Pemohon apabila Saudara dicerai talak
dengan kepatutan dan tidak sesuai dengan oleh Pemohon?”. Apabila isteri menjawab
kenyataan dinamika kondisi serta keadaan ”tidak tahu” (dan umumnya para isteri tidak
yang berkembang dalam jiwa dan kesadaran menuntut hak-hak tersebut karena memang
masyarakat Islam. Peran hakim Peradilan ketidaktahuan mereka), maka pada saat itulah
Agama dalam menegakkan hukum dan hakim menjelaskan. Selesai menjelaskan,
keadilan adalah berani berperan melakukan hakim menanyakan apakah hak tersebut
contra legem tanpa melepaskan diri dari akan diminta atau tidak. Apabila diminta,
cita-cita yang lebih umum (common basic maka pertanyaan hakim diarahkan pada
idea).26 Di sini, hakim selaku aparatur jumlah dan bentuk barang yang diminta.
Peradilan Agama yang terkait langsung Selanjutnya, hakim akan mengkonfrontir
dalam penerapannya secara in concreto Pemohon tentang kesanggupannya yaitu
dalam praktik, berdasarkan otoritas yang berapa dan apa yang sanggup diberikan oleh
diberikan kepadanya oleh ketentuan Pasal Pemohon kepada Termohon.
28 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 jo. Dari pertanyaan dan jawaban tersebut,
Pasal 229 KHI, mampu memberi nyawa hakim mendapat bahan sebagai dasar
dan ruh aktualisasi terhadap bunyi teks yang pertimbangan dalam putusannya. Apabila
merumuskannya.27 permohonan cerai talak telah memenuhi
Adapun cara penerapannya dalam alasan-alasan dan tidak melawan hukum
praktik cukup bervariasi karena tidak ada serta isteri selaku Termohon terbukti tidak
ketentuan yang jelas tentang bagaimana terhalang untuk menerima hak-haknya,
acara penerapan hak ex officio hakim dalam maka hakim dapat menetapkan hak-hak isteri
penentuan hak-hak isteri akibat cerai talak tersebut dalam amar putusannya. Dalam
yang tidak dituntut oleh isteri dalam gugatan hukum perkawinan Islam, hal-hal yang
rekonvensinya. Penerapan yang lazim menghalangi isteri untuk menerima hak-
adalah hakim menanyakan kepada termohon hak tersebut antara lain kalau isteri terbukti
apakah ia akan meminta hak-haknya nusyuz29 yaitu melakukan pembangkangan
tersebut atau tidak pada saat termohon terhadap kewajiban-kewajiban dalam
selesai menyampaikan jawabannya baik kehidupan rumah tangga, misalnya isteri
pada tahap jawaban pertama atau pada terbukti meninggalkan tempat kediaman
tahap duplik.28 Misalnya dalam persidangan bersama tanpa ijin dari suami dan tanpa alasan
hakim mengajukan pertanyaan: ”Saudara yang sah atau melakukan penyelewengan
Termohon, apakah Saudara tahu hak-hak dengan pria lain.
Saudara selaku isteri yang dapat diminta
26
Abdul Manan, 2007, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan, Kencana, Jakarta, hlm. 184.
27
Abdul Manaf, Op. cit., hlm. 479-480. Lihat juga Abdul Manan, 2007, Reformasi Hukum Islam di Indonesia
Tinjauan dari Aspek Metodologis, Legalisasi dan Yurisprudensi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 300-301
28
M. Fauzan, Op. cit., hlm. 92.
29
Mursyidah Thahir, “Kekerasan Rumah Tangga dan Konsep Nusyuz” dalam Mursyidah Thahir, et.al. (eds.),
2000, Jurnal Pemikiran Islam Tentang Pemberdayaan Perempuan, Logos, Jakarta, hlm. 30-31.
Hartini, Pengecualian Terhadap Penerapan Asas Ultra Petitum Partium 389
30
Abdul Manan, Op. cit., hlm. 49.
31
Abdul Manaf, Op. cit., hlm. 483.
32
Ibid., hlm. 484.
33
Ibid., hlm. 484.
34
Yahya Harahap, 2008, Op. cit., hlm. 885.
35
Abdul Manaf, Op. cit., hlm. 484.
36
Yahya Harahap, 2008, Op. cit., hlm. 885.
390 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, Halaman 203 - 408
37
Ibid., hlm.885.
Hartini, Pengecualian Terhadap Penerapan Asas Ultra Petitum Partium 391
38
Yahya Harahap, 2001, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.
255-256.
39
Mahkamah Agung, tanpa tahun, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Buku II
Edisi Revisi), Jakarta.
40
Wildan Suyitthi Mustofa, 2002, Pemecahan Permasalahan Acara Perdata Peradilan Agama, Tatanusa, Ja-
karta, hlm. 184.
392 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, Halaman 203 - 408
Sementara itu, untuk nafkah dan sebut adalah bahwa dalam soal nafkah isteri
biaya hidup anak ditentukan juga sebagai terdapat kalimat yang menyatakan ”baik
berikut:41 diminta atau tidak,” sementara dalam soal
Sebagaimana halnya kewajiban nafkah anak tidak terdapat kalimat yang
suami kepada isteri, maka kewajiban menyatakan demikian. Sekalipun demikian
seorang ayah kepada anak-anaknya menurut Abdul Manaf,42 demi kepentingan
adalah sesuatu yang tidak bisa gugur. anak dan dengan memedomani ruhul al-
Maka untuk melindungi kepentingan syari’ah yang diisyaratkan oleh ketentuan
anak yang orang tuanya sedang dalam yang mengatur soal nafkah anak, serta
sengketa perceraian di pengadilan, dianalogikan dengan nafkah isteri, maka
sementara anak-anak sedang dalam secara ex officio, hakim dapat, bahkan wajib,
asuhan pihak ibu (isteri), kiranya untuk menetapkan kewajiban kepada suami untuk
memenuhi ketentuan dari pasal 41 memberi nafkah anak.
huruf b, pasal 45 ayat (2), pasal 49 ayat
(2) Undang-undang Nomor 1 Tahun E. Penutup
1974 jo pasal 78 huruf b Undang- Peran hakim dalam menjalankan
undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Pasal fungsi dan wewenang peradilan memang
80 ayat (4) huruf b dan c, pasal 105 seharusnya lebih menitikberatkan pada
huruf c, pasal 149 huruf d, pasal 156 d tujuan dan tafsiran filosofi yaitu menegakkan
dan f Kompilsai Hukum Islam (KHI), kebenaran dan keadilan sesuai dengan nilai-
hakim dengan putusan Provisi dan nilai yang hidup, bukan sekedar menegakkaan
Serta Merta menghukum suami/bapak peraturan perundang-undangan dalam arti
untuk bertanggung jawab atas biaya sempit. Sesuatu yang dirumuskan dalam
nafkah dan biaya hidup lainnya untuk peraturan perundang-undangan belum tentu
anak-anaknya. sinergis dengan keadilan yang dituntut
oleh masyarakat, karena tidak selamanya
Terkait dengan putusan provisi, antara
yang sesuai dengan hukum (lawfull) itu
nafkah isteri dan nafkah anak yang diatur
menghasilkan keadilan (justice) dan tidak
dalam Buku II Mahkamah Agung tersebut
semua yang legal itu justice.
terdapat suatu perbedaan. Perbedaan ter
DAFTAR PUSTAKA
41
Mahkamah Agung, Ibid.
42
Abdul Manaf, Op. cit., hlm. 485.
Hartini, Pengecualian Terhadap Penerapan Asas Ultra Petitum Partium 393
Arto, Mukti, 1996, Praktek Perkara Perdata Peradilan Agama (Buku II Edisi
pada Pengadilan Agama, Pustaka Revisi), Jakarta.
Pelajar, Yogyakarta. Manaf, Abdul, 2008, Refleksi Beberapa
Bisri, Cik Hasan, (et.al.), 1999, Kompilasi Materi Cara Beracara di Lingkungan
Hukum Islam dan Peradilan Agama Peradilan Agama, Mandar Maju,
di Indonesia, Logos Wacana Ilmu, Bandung.
Jakarta. Manan, Abdul, 2005, Penerapan Hukum
Fauzan, M. dan Edy Noerfuady, Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
“Problematika Penerapan Hak Ex Agama, Kencana, Jakarta.
Officio Hakim Dalam Penyelesaian ____________, 2007, Etika Hakim Dalam
Perkara Perceraian” dalam Mimbar Penyelenggaraan Peradilan, Kencana,
Hukum, Volume VIII, Nomor 30, Jakarta.
Januari-Februari, Tahun 1997. ____________, 2007, Reformasi Hukum
Halim, Abdul, 2000, Peradilan Agama Islam di Indonesia Tinjauan dari
dalam Politik Hukum di Indonesia, Aspek Metodologis, Legalisasi dan
RajaGrafindo Persada, Jakarta. Yurisprudensi, Rajawali Pers, Jakarta.
Harahap, Yahya, 2001, Kedudukan Mertokusumo, Sudikno, 1993, Hukum
Kewenangan dan Acara Peradilan Acara Perdata Indonesia, Liberty,
Agama, Sinar Grafika, Jakarta. Yogyakarta.
____________, 2008, Hukum Acara Perdata Mustofa, Wildan Suyuthi, 2002, Pemecahan
Tentang Gugatan, Persidangan, Permasalahan Acara Perdata Peradilan
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Agama, Tatanusa, Jakarta.
Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta. Soepomo, 1993, Hukum Acara Perdata
Kamil, Ahmad dan M. Fauzan, 2008, Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita,
Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Jakarta.
Kencana, Jakarta. Thahir, Mursyidah, “Kekerasan Rumah
Mahkamah Agung, 1994, Penemuan dan Tangga dan Konsep Nusyuz” dalam
Pemecahan Masalah Hukum Dalam Mursyidah Thahir, et.al. (eds.), 2000,
Pengadilan Agama, Jakarta. Jurnal Pemikiran Islam Tentang
_______________, tanpa tahun, Pedoman Pemberdayaan Perempuan, Logos,
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Jakarta.