You are on page 1of 14

PENGECUALIAN TERHADAP PENERAPAN ASAS ULTRA

PETITUM PARTIUM DALAM BERACARA DI PENGADILAN


AGAMA

Hartini*

Abstract
A judge must examine and adjudicate all charges thoroughly on the lawsuit brought to
the court. The judge should not only examine and adjudicate part of the charge and disregard
the rest. On the other hand, judge in his/her adjudication is prohibited to accede above the suit
brought by the parties. This prohibition is called ultra petitum partium. A judge who accedes
in excess of the suit partium is considered to be exceeding his/her authority. In Religious Court
proceedings, the implementation of ultra petitum partium principle is an exception in several
types of cases. In the procedure of divorce (cerai talak), a judge may grant something not
demanded by wife either in the petition of divorce or in the reconvention by charging certain
obligations upon the husband, which is the wife’s right as the consequence of the separation.
In the procedure of divorce, judge may order a preliminary injunction even if such injunction
is not demanded. The argument that justifies the judge’s action is the Marriage Act and the
procedural law in the Act on Religious Court is a lex specialis stipulation, judge as judge
made law must dig into the values of life, and the judge may execute contra legem action if
the stipulation in an article considered to be in contradiction with justice and benefit.

Kata Kunci: pengecualian, ultra petitum partium, pengadilan agama.

A. Pendahuluan Ternate di Timur telah ada peradilan agama


Eksistensi peradilan agama merupakan dan telah menjalankan fungsi peradilan
conditio sine qua non bagi umat Islam agama, meskipun dalam bentuk yang
di Indonesia. Sepanjang ada umat Islam, sederhana dengan nama dan istilah yang
sepanjang itu pula peradilan agama ada, berbeda. Pada saat itu, kompetensi peradilan
meskipun dalam bentuk yang sederhana. agama tidak hanya terbatas pada perkara
Karena itu, dalam dinamika perjalanan keperdataan, tetapi juga perkara pidana.
sejarah Indonesia, eksistensi Peradilan Sejak masa penjajahan sampai awal
Agama bukan sesuatu yang baru. Bahkan kemerdekaan, peradilan agama menga­
jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni pada lami dinamika yang cukup pelik serta
masa kerajaan-kerajaan Islam mulai dari mengarah pada kondisi pasang surut,
Kerajaan Aceh di Barat sampai Kerajaan baik menyangkut status dan kedudukan

*
Dosen Hukum Islam, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. (e-mail: hartininajib@yahoo.com)
1
Jaenal Aripin, 2008, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Kencana, Jakarta, hlm.
397.
382 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, Halaman 203 - 408

maupun kewenangannya. Sekalipun tidak adanya penambahan ketentuan hukum acara


sampai dihapuskan, akan tetapi lingkup yang diatur tersendiri dalam UU Nomor
yurisdiksinya sangat dibatasi yaitu pada 7 Tahun 1989 sebagai aturan hukum acara
perkara perdata tertentu. Dengan hadirnya khusus mengenai pemeriksaan perkara cerai
UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan talak dan cerai gugat.
Agama membawa dampak positif dan dapat Dalam memeriksa dan mengadili
mengakhiri perlakuan tidak wajar terhadap perkara perdata, asas-asas yang berlaku di
peradilan agama sebagai lembaga peradilan lingkungan peradilan umum juga berlaku
yang sudah sejak lama ada. Dengan di lingkungan peradilan agama. Salah
diundangkannya undang-undang peradilan satu asas penting yang wajib diperhatikan
agama tersebut memberikan status yang kuat adalah bahwa hakim wajib mengadili semua
dan sejajar dengan tiga peradilan lainnya dan bagian tuntutan dan dilarang menjatuhkan
kompetensi absolutnya tidak hanya dalam putusan atas perkara yang tidak dituntut atau
hal perkawinan, tetapi juga dalam bidang mengabulkan lebih daripada yang dituntut.
kewarisan, wakaf dan shadaqah. Asas inilah yang lazim dikenal sebagai asas
Implikasi lain dengan diundangkannya ultra petitum partium. Akan tetapi, dalam
UU Nomor 7 Tahun 1989 adalah adanya praktik beracara di lingkungan peradilan
hukum acara yang positif dan unifikatif. agama, terhadap perkara-perkara tertentu,
Berdasarkan Pasal 54 undang-undang hakim karena jabatannya dapat memutus
tersebut, hukum acara yang diterapkan lebih dari yang dituntut, sekalipun hal
disamakan dengan hukum acara yang tersebut tidak dituntut oleh para pihak.
berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum
yakni Het Herziene Indonesisch Reglement B. Asas Ultra Petitum Partium dalam
(HIR) dan Reglement tot Regeling van Hukum Acara Perdata
het Rechtwezen in de Guwesten Buiten Asas-asas penting yang digariskan
en Madura, yang lebih dikenal dengan dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR, Pasal
singkatan RBg, dan ketentuan hukum acara 189 ayat (2) dan (3) RBg, serta Pasal 50 Rv
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah adalah bahwa hakim wajib mengadili seluruh
Nomor 9 Tahun 1975. Perbedaannya dengan bagian gugatan. Asas ini menghendaki bahwa
hukum acara di peradilan umum adalah hakim dalam setiap putusan harus secara total

2
Ibid., hlm. 397.
3
Abdul Halim, 2000, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.
138.
3
Cik Hasan Bisri, (et.al.), 1999, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, Logos Wacana
Ilmu, Jakarta, hlm. 29.
5
Ibid., hlm. 30. Lihat juga Mukti Arto, 1996, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pela-
jar, Yogyakarta, hlm.9.
6
Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm.186.
7
Yahya Harahap, 2008, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 800.
Hartini, Pengecualian Terhadap Penerapan Asas Ultra Petitum Partium 383

dan menyeluruh memeriksa dan mengadili yang melebihi apa yang diminta dalam
setiap segi gugatan yang diajukan. Hakim hal adanya hubungan yang erat satu sama
tidak diperbolehkan hanya memeriksa dan lainnya. Dalam hal ini Pasal 178 ayat 3 HIR
memutus sebagian saja dan mengabaikan tidak berlaku secara mutlak sebab hakim
gugatan selebihnya. Begitu pula halnya dalam menjalankan tugasnya harus bertindak
apabila ada gugatan rekonvensi, hakim wajib secara aktif dan selalu harus berusaha agar
mempertimbangkan dan memutus tidak memberikan putusan yang benar-benar
hanya gugatan konvensinya saja tetapi juga menyelesaikan perkara. Didukung pula
gugatan rekonvensi. Apabila dalam suatu dengan putusan Mahkamah Agung tanggal
putusan, hakim hanya mempertimbangkan 8 Januari 1972 yang berpendapat bahwa
dan memutus gugatan konvensi saja padahal mengabulkan hal yang lebih dari yang
tergugat mengajukan rekonvensi, maka cara digugat masih diijinkan sepanjang masih
demikian bertentangan dengan asas yang sesuai dengan kejadian materiilnya. Namun
digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR. ditegaskan oleh Harahap bahwa penerapan
Asas lain yang digariskan dalam Pasal yang seperti ini sifatnya sangat kasuistik.10
178 ayat (2) dan (3) HIR, Pasal 189 ayat (2) Putusan judex facti yang didasarkan
dan (3) RBg serta Pasal 50 Rv adalah bahwa pada petitum subsider yang berbentuk
hakim dalam memberikan putusan tidak ex aequo et bono dapat dibenarkan asal
boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang masih dalam kerangka yang sesuai dengan
dikemukakan dalam gugatan. Larangan inti petitum primair. Akan tetapi, apabila
ini disebut ultra petitum partium. Menurut petitum primair dan subsider masing-
Harahap, hakim yang mengabulkan masing dirinci satu per satu, tindakan
tuntutan melebihi posita maupun petitum hakim yang mengabulkan sebagian petitum
gugat, dianggap telah melampaui wewenang primair dan sebagian lagi petitum subsider,
atau ultra vires yakni bertindak melampaui maka tindakan yang demikian dianggap
wewenangnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa melampaui batas wewenang dan karenanya
apabila putusan mengandung ultra petitum, tidak dibenarkan.11 Hal ini ditegaskan dalam
harus dinyatakan cacat meskipun hal itu Putusan Mahkamah Agung Nomor 882 K/
dilakukan hakim dengan itikad baik (good Sip/1974 tanggal 24 April 1976. Apabila
faith) maupun sesuai dengan kepentingan dalam gugatan dicantumkan petitum primair
umum (public interest). dan subsider, pengadilan hanya dibenarkan
Sementara menurut Mertokusumo, memilih satu di antaranya yaitu mengabulkan
dengan mendasarkan pada Putusan petitum primair atau subsider. Hakim tidak
Mahkamah Agung tanggal 4 Februari 1970, dibenarkan menggunakan kebebasan cara
Pengadilan Negeri boleh memberi putusan mengadili dengan jalan mengabulkan

8
Ibid., hlm. 801.
9
Sudikno Mertokusumo, Op. cit., hlm. 187.
10
Yahya Harahap, 2008, Op. cit., hlm. 802.
11
Ibid., hlm. 802.
384 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, Halaman 203 - 408

petitum primair atau mengambil sebagian yaitu cerai talak dan cerai gugat. Cerai talak
dari petitum subsidair. diajukan oleh suami sebagai pemohon dan
Hakim di dalam hukum acara perdata isteri sebagai termohon, sedangkan cerai
menurut HIR harus bersikap aktif dan harus gugat diajukan oleh isteri sebagai penggugat
menjatuhkan putusan seadil-adilnya sesuai dan suaminya sebagai tergugat. Sekalipun
dengan kebenaran dan sungguh-sungguh pada cerai talak, para pihaknya disebut
menyelesaikan perkara secara tuntas. Di sisi sebagai pemohon dan termohon, tetapi
lain, sesuai Pasal 178 ayat 3 HIR (Pasal 189 tidaklah berarti bahwa perkara cerai jenis ini
ayat 3 RBg) tersebut, kebebasan hakim sangat termasuk dalam kategori permohonan dalam
dibatasi oleh tuntutan atau kepentingan pihak pengertian voluntair murni, karena pada
penggugat. Oleh karenanya, pengabulan hakikatnya perkara ini merupakan sengketa
terhadap sesuatu yang sama sekali tidak perkawinan antara suami isteri.
diajukan dalam petitum, nyata-nyata Karena perkara cerai talak hakikatnya
melanggar asas ultra petitum partium dan merupakan sengketa perkawinan antara
terhadap putusan seperti itu harus dibatalkan. suami isteri, Mahkamah Agung Republik
Putusan semacam ini seperti dikemukakan Indonesia melalui Surat Edaran Nomor 2
dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor Tahun 1990 tanggal 3 April 1990 cenderung
77 K/Sip/1973 tanggal 19 September menyatakan bahwa pada dasarnya cerai talak
1973 harus dibatalkan, karena Pengadilan adalah merupakan sengketa perkawinan
Tinggi mengabulkan ganti rugi yang tidak antara suami dengan isteri,13 dan karenanya
dituntut dalam gugatan. Begitu juga dengan sekalipun dinamakan sebagai permohonan
putusan pengadilan yang didasarkan atas cerai talak, tetapi formulasi surat
pertimbangan yang menyimpang dari dasar permohonannya dibuat seperti lazimnya
gugatan, menurut putusan Mahkamah Agung formulasi surat gugatan. Formulasi surat
Nomor 372 K/Sip/1970 tanggal 1 September gugatan yang dimaksud adalah perumusan
1971, harus dibatalkan.12 (formulation) surat gugatan yang memenuhi
syarat formil menurut ketentuan hukum
C. Pengecualian Asas Ultra Petitum dan peraturan perundang-undangan yang
Partium dalam Perkara Cerai Talak berlaku.14 Dikemukakan oleh Supomo
Menurut UU Nomor 7 Tahun 1989 bahwa pada dasarnya Pasal 118 dan Pasal
tentang Peradilan Agama, perceraian di 120 HIR tidak menetapkan syarat formulasi
Pengadilan Agama dibagi menjadi dua jenis atau isi gugatan.15 Akan tetapi, sesuai dengan

12
Ibid., hlm. 803.
13
Al Yasa Abubakar, ”Ihwal Perceraian di Indonesia Perkembangan Pemikiran dari Undang-undang Perkawinan
Sampai Kompilasi Hukum Islam”, Mimbar Hukum, Volume X Nomor 41 Maret-April 1999. Lihat juga Abdul
Manaf, 2008, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, Mandar Maju, Band-
ung, hlm. 440.
14
Yahya Harahap, Op. cit., hlm. 51.
15
Soepomo, 1993, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 24.
Hartini, Pengecualian Terhadap Penerapan Asas Ultra Petitum Partium 385

perkembangan praktik, ada kecenderungan aequo et bono (agar hakim mengadili


perumusan fundamentum petendi (posita) menurut keadilan yang benar atau
dan petitum dibuat sesuai dengan sisitem mohon putusan seadil-adilnya).19
dagvaarding.16 Tetapi harus berbentuk rincian satu per
Supaya permohonan cerai talak sah, satu sesuai dengan yang dikehendaki
dalam arti tidak mengandung cacat formil, penggugat (pemohon dalam perkara
maka harus mencantumkan petitum permo- cerai talak) dikaitkan dengan dalil
honan (disusun lazimnya seperti petitum gugatan/permohonan.
gugatan) yang berisi pokok tuntutan pemo- 2. Bentuk Alternatif
hon, berupa deskripsi yang jelas menyebut a. Petitum primer dan subsidair
satu per satu dalam akhir permohonan ten- sama-sama dirinci
tang hal-hal apa saja yang menjadi pokok Baik petitum primer maupun
tuntutan pemohon yang harus dinyatakan subsider sama-sama dirinci satu per
dan dibebankan kepada termohon. Dengan satu dengan rincian yang berbeda.
kata lain, petitum permohonan berisi tun- Dalam menghadapi petitum
tutan atau permintaan kepada pengadilan primer dan subsider yang masing-
agar ditetapkan atau dinyatakan sebagai hak masing dirinci satu per satu,
pemohon atau hukuman kepada termohon maka hakim dalam mengambil
atau kepada kedua belah pihak. dan menjatuhkan putusan harus
Ada beberapa istilah yang sama memilih antara petitum primer atau
maknanya dengan petitum seperti petita atau subsider yang hendak dikabulkan.
petitory maupun conclusum. Akan tetapi, Dengan demikian, hakim dalam
istilah baku dan paling sering digunakan menghadapi petitum semacam ini
dalam praktik peradilan adalah petitum atau tidak boleh mencampuradukkan
pokok tuntutan.17 Dilihat dari bentuknya, dengan cara mengambil sebagian
petitum dibedakan menjadi:18 dari petitum primer dan sebagian
1. Bentuk Tunggal lagi dari petitum subsider.
Petitum berbentuk tunggal apabila b. Petitum primer dirinci, diikuti
dalam deskripsinya menyebut satu dengan petitum subsidair ber­
per satu pokok tuntutan, tidak diikuti bentuk compositur atau ex aequo
dengan susunan deskripsi petitum lain et bono (mohon keadilan)
yang bersifat alternatif atau subsider. Dalam hal seperti ini, sifat
Bentuk petitum tunggal tidak boleh alternatifnya tidak mutlak, sehingga
hanya berbentuk compositur atau ex hakim bebas untuk mengambil

16
Yahya Harahap, Op. cit., hlm. 51.
17
Ibid., hlm. 63.
18
Ibid., hlm. 63-64.
19
Abdul Manan, 2005, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta,
hlm. 34.
386 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, Halaman 203 - 408

seluruh dan sebagian petitum bentuknya, apabila keduanya diterapkan


primer dan mengesampingkan pada perkara cerai talak, pasti petitumnya
petitum ex aequo et bono (petitum telah diperinci satu per satu, terutama karena
subsider). Bahkan hakim bebas di dalamnya ada permohonan ijin kepada
dan berwenang menetapkan lain pengadilan untuk mengucapkan ikrar
berdasarkan petitum ex aequo talak terhadap termohon (isteri). Dengan
et bono dengan syarat (1) harus demikian, ketika hakim akan menjatuhkan
berdasarkan kelayakan atau putusan yang akan dituangkan dalam amar
kepatutan; dan (2) kelayakan atau putusan, maka semuanya bertitik tolak dari
kepatutan yang diterapkan atau petitum gugatan. Dalam hal ini ketentuan
dikabulkan itu masih berada dalam tentang larangan hakim melakukan ultra
kerangka jiwa petitum primer dan petitum partium tentunya harus diterapkan
dalil gugatan. juga dalam proses memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan perkara permohonan cerai
Terkait dengan perceraian, dalam hukum talak karena hukum acara yang berlaku di
Islam, suami adalah pihak yang mempunyai lingkungan Peradilan Agama adalah hukum
kekuasaan memegang tali perkawinan acara perdata yang berlaku di lingkungan
dan karena itu pula maka suamilah yang Peradilan Umum.
berhak melepaskan tali perkawinan dengan Sementara itu, akibat hukum dari
mengucapkan ikrar talak. Dengan demikian putusnya perkawinan karena talak antara
apabila suami hendak menceraikan isterinya, lain adalah bahwa bekas suami wajib
ia tidak mengajukan gugatan cerai melainkan memberikan mut’ah (pemberian atau
mengajukan permohonan ijin untuk hadiah) yang layak kepada bekas isterinya
mengucapkan ikrar talak.20 Oleh karena itu, baik berupa uang atau benda, kecuali qobla
dalam surat permohonan cerai talak, petitum al dhukul (belum terjadi hubungan suami
yang diajukan umumnya hanya menyatakan: isteri-pen), memberikan nafkah, maskan dan
(1) Menerima dan mengabulkan permohonan kiswah kepada bekas isteri selama dalam
Pemohon; (2) Memberikan ijin kepada masa iddah kecuali bekas isteri telah dijatuhi
Pemohon untuk mengikrarkan talak terhadap talak ba’in atau nusyuz, melunasi mahar yang
Termohon; dan (3) Membebankan biaya masih terhutang seluruhnya dan separoh
perkara berdasarkan peraturan perundang- apabila qobla al dhukul, memberikan biaya
undangan yang berlaku. hadhanah untuk anak-anaknya yang belum
Apabila dicermati, maka petitum yang mencapai umur 21 tahun dan memberikan
umumnya diajukan dalam permohonan cerai nafkah iddah kepada bekas isterinya, kecuali
talak dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa isteri nusyuz (Pasal 149 KHI).
kemungkinan yaitu bisa berbentuk petitum Dalam praktik, sekalipun hak-hak
tunggal atau petitum alternatif. Apapun isteri akibat talak tersebut tidak dituntut oleh

20
Mukti Arto, 1998, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm.
202.
Hartini, Pengecualian Terhadap Penerapan Asas Ultra Petitum Partium 387

termohon (isteri), hakim secara ex officio gugat) merujuk pada aturan hukum acara
(karena jabatannya) dapat menghukum suami dalam Undang-undang Peradilan Agama
sebagai pemohon untuk membayar nafkah yang merupakan ketentuan lex specialis.
atau mut’ah kepada termohon.21 Dalam hal Kedua, hakim mempunyai kewenangan
ini, sekalipun tidak ada gugat rekonvensi, untuk menciptakan hukum (judge made
hakim diperbolehkan membebankan suatu law). Sebagai judge made law, hakim wajib
kewajiban tertentu kepada suami. Dengan menggali, mengikuti dan memahami nilai-
demikian hakim dibenarkan mengabulkan nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
sesuatu yang tidak dituntut oleh isteri dalam dalam masyarakat (Pasal 27 ayat (1) UU
petitum permohonan cerai talak. Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diganti
Adapun argumentasi yang membe­ dengan Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun
narkan hakim menyimpangi asas larangan 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).
melakukan ultra petitum partium adalah. Menurut Mahkamah Agung, sebagimana
Pertama, Undang-undang Perkawinan (UU dikutip oleh Fauzan,23 termasuk dalam
Nomor 1 Tahun 1974) merupakan aturan konteks nilai-nilai hukum yang hidup dalam
lex specialis. Oleh karena itu, aturan yang masyarakat wajib dipahami dan diterapkan
khusus lebih diutamakan daripada aturan hakim dalam memeriksa dan memutus
yang bersifat umum. Pasal 41 huruf c perkara adalah ”ketentuan-ketentuan dalam
Undang-undang Perkawinan menentukan agamanya yang menentukan suatu kewajiban
bahwa ”Pengadilan dapat mewajibkan yang melekat dalam diri suami sebagai
kepada bekas suami untuk memberikan akibat suatu perbuatan hukum tertentu”
biaya penghidupan dan/atau menentukan Hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 149
sesuatu kewajiban bagi bekas isteri” KHI merupakan kewajiban yang melekat
Berdasarkan ketentuan ini, menurut Mukti pada suami dan merupakan hak isteri.
Arto,22 hakim karena jabatannya, tanpa Ketiga, hakim mempunyai kewenangan
harus ada permintaan dari pihak isteri, untuk menyimpangi ketentuan-ketentuan
dapat mewajibkan atau menghukum bekas hukum tertulis yang telah ada tetapi telah
suami dalam putusannya tersebut untuk usang karena ketinggalan zaman sehingga
memberikan biaya penghidupan dan/atau tidak lagi mampu memenuhi rasa keadilan
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas masyarakat.24 Oleh karena itu, hakim
isteri. Ditambahkan pula bahwa ketentuan dimungkinkan melakukan tindakan contra
hukum beracara di Pengadilan Agama khusus legem,25 yaitu menyimpangi jalur yang
perkara perceraian (cerai talak dan cerai ditetapkan dalam Pasal 189 ayat (3) RBg

21
M. Fauzan dan Edy Noerfuady, “Problematika Penerapan Hak Ex Officio Hakim Dalam Penyelesaian Perkara
Perceraian” dalam Mimbar Hukum, Volume VIII, Nomor 30, Januari-Februari, Tahun 1997.
22
Mukti Arto, Op. cit., hlm. 214.
23
M. Fauzan, Op. cit., hlm. 92. Lihat juga Mahkamah Agung, 1994, Penemuan dan Pemecahan Masalah Hukum
Dalam Pengadilan Agama, Jakarta, hlm. 28-29.
24
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, 2008, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Kencana, Jakarta, hlm. 9.
25
M. Fauzan, Ibid., hlm. 91.
388 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, Halaman 203 - 408

apabila ketentuan tersebut bertentangan dari Pemohon apabila Saudara dicerai talak
dengan kepatutan dan tidak sesuai dengan oleh Pemohon?”. Apabila isteri menjawab
kenyataan dinamika kondisi serta keadaan ”tidak tahu” (dan umumnya para isteri tidak
yang berkembang dalam jiwa dan kesadaran menuntut hak-hak tersebut karena memang
masyarakat Islam. Peran hakim Peradilan ketidaktahuan mereka), maka pada saat itulah
Agama dalam menegakkan hukum dan hakim menjelaskan. Selesai menjelaskan,
keadilan adalah berani berperan melakukan hakim menanyakan apakah hak tersebut
contra legem tanpa melepaskan diri dari akan diminta atau tidak. Apabila diminta,
cita-cita yang lebih umum (common basic maka pertanyaan hakim diarahkan pada
idea).26 Di sini, hakim selaku aparatur jumlah dan bentuk barang yang diminta.
Peradilan Agama yang terkait langsung Selanjutnya, hakim akan mengkonfrontir
dalam penerapannya secara in concreto Pemohon tentang kesanggupannya yaitu
dalam praktik, berdasarkan otoritas yang berapa dan apa yang sanggup diberikan oleh
diberikan kepadanya oleh ketentuan Pasal Pemohon kepada Termohon.
28 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 jo. Dari pertanyaan dan jawaban tersebut,
Pasal 229 KHI, mampu memberi nyawa hakim mendapat bahan sebagai dasar
dan ruh aktualisasi terhadap bunyi teks yang pertimbangan dalam putusannya. Apabila
merumuskannya.27 permohonan cerai talak telah memenuhi
Adapun cara penerapannya dalam alasan-alasan dan tidak melawan hukum
praktik cukup bervariasi karena tidak ada serta isteri selaku Termohon terbukti tidak
ketentuan yang jelas tentang bagaimana terhalang untuk menerima hak-haknya,
acara penerapan hak ex officio hakim dalam maka hakim dapat menetapkan hak-hak isteri
penentuan hak-hak isteri akibat cerai talak tersebut dalam amar putusannya. Dalam
yang tidak dituntut oleh isteri dalam gugatan hukum perkawinan Islam, hal-hal yang
rekonvensinya. Penerapan yang lazim menghalangi isteri untuk menerima hak-
adalah hakim menanyakan kepada termohon hak tersebut antara lain kalau isteri terbukti
apakah ia akan meminta hak-haknya nusyuz29 yaitu melakukan pembangkangan
tersebut atau tidak pada saat termohon terhadap kewajiban-kewajiban dalam
selesai menyampaikan jawabannya baik kehidupan rumah tangga, misalnya isteri
pada tahap jawaban pertama atau pada terbukti meninggalkan tempat kediaman
tahap duplik.28 Misalnya dalam persidangan bersama tanpa ijin dari suami dan tanpa alasan
hakim mengajukan pertanyaan: ”Saudara yang sah atau melakukan penyelewengan
Termohon, apakah Saudara tahu hak-hak dengan pria lain.
Saudara selaku isteri yang dapat diminta

26
Abdul Manan, 2007, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan, Kencana, Jakarta, hlm. 184.
27
Abdul Manaf, Op. cit., hlm. 479-480. Lihat juga Abdul Manan, 2007, Reformasi Hukum Islam di Indonesia
Tinjauan dari Aspek Metodologis, Legalisasi dan Yurisprudensi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 300-301
28
M. Fauzan, Op. cit., hlm. 92.
29
Mursyidah Thahir, “Kekerasan Rumah Tangga dan Konsep Nusyuz” dalam Mursyidah Thahir, et.al. (eds.),
2000, Jurnal Pemikiran Islam Tentang Pemberdayaan Perempuan, Logos, Jakarta, hlm. 30-31.
Hartini, Pengecualian Terhadap Penerapan Asas Ultra Petitum Partium 389

D. Pengecualian Asas Ultra Petitum dalam praktik perkara perdata, tuntutan


Partium dalam Tuntutan Provisi provisi masih sering diterapkan, maka di
Dalam praktik peradilan perdata, pengadilan agama, tuntutan provisi juga
biasa ditemui adanya dua jenis tuntutan diterapkan dan diterima.
yaitu tuntutan pokok dan tuntutan provisi. Tuntutan provisi merupakan tuntutan
Tuntutan yang disebut terakhir diatur yang ada hubungannya dengan pokok perkara,
dalam Pasal 180 HIR dan Pasal 191 RBg tetapi hubungan itu tidak boleh sedemikian
yang didefinisikan sebagai tuntutan yang eratnya sehingga ia sama dengan atau sudah
bertujuan agar hakim menjatuhkan putusan menyangkut pokok perkara. Tuntutan provisi
yang sifatnya mendesak untuk dilakukan yang berisi pokok perkara harus ditolak.33
terhadap salah pihak dan bersifat sementara Gugatan provisi bisa diajukan berdiri sendiri
di samping adanya tuntutan pokok dalam dalam gugatan tersendiri tetapi berbarengan
surat gugatan.30 Dengan kata lain, tuntutan ini dengan gugatan pokok. Akan tetapi, gugatan
dimaksudkan agar selama berlangsungnya provisi umumnya diajukan bersama-sama
proses penyelesaian tuntutan pokok dapat sebagai satu kesatuan dengan gugatan
diambil tindakan sementara oleh hakim pokok. Gugatan provisi tidak mungkin
mengenai masalah yang menyangkut diajukan kalau tidak ada gugatan pokoknya.
hubungan para pihak yang berperkara.31 Itulah sebabnya Yahya Harahap menyatakan
Undang-undang Peradilan Agama bahwa tuntutan provisi itu sebagai tuntutan
tidak mengatur secara spesifik dalam hal yang assesor dengan gugatan pokok,34 dan
apa tuntutan provisi itu diajukan. Namun dalam hal ini adalah assesor murni.35
demikian, dalam praktik peradilan sampai Dipandang dari segi sistematika,
saat ini masih membolehkan adanya gugatan provisi disusun dengan mengikuti
tuntutan semacam itu dalam segala keadaan formulasi uraian dalil gugatan pokok.
sepanjang kepentingan pihak-pihak memer­ Isinya berupa tuntutan agar hakim terlebih
lukannya.32 Dengan mendasarkan pada dahulu menjatuhkan putusan sementara
ketentuan Pasal 54 UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagai tindakan pendahuluan yang dapat
yang menyatakan bahwa hukum acara yang menjamin kepentingan pihak penggugat atau
berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan kepentingan kedua belah pihak, sebelum
Peradilan Agama adalah hukum acara perkara pokok diperiksa. Oleh karenanya,
perdata yang berlaku pada pengadilan dalam agar tuntutan provisi memenuhi syarat-
lingkungan Peradilan umum, kecuali yang syarat formil, maka harus diperhatikan hal-
telah diatur secara khusus ditambah bahwa hal sebagai berikut:36

30
Abdul Manan, Op. cit., hlm. 49.
31
Abdul Manaf, Op. cit., hlm. 483.
32
Ibid., hlm. 484.
33
Ibid., hlm. 484.
34
Yahya Harahap, 2008, Op. cit., hlm. 885.
35
Abdul Manaf, Op. cit., hlm. 484.
36
Yahya Harahap, 2008, Op. cit., hlm. 885.
390 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, Halaman 203 - 408

1. Tuntutan provisi memuat dasar tun­ berikut: ”Selama berlangsungnya gugatan


tutan yang menjelaskan urgensi dan perceraian atas permohonan Penggugat
relevansinya; dan Tergugat atau berdasarkan bahaya
2. menguraikan dengan jelas tindakan yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan
sementara yang harus diputuskan oleh dapat mengizinkan suami isteri tersebut
hakim; untuk tidak tinggal dalam satu rumah”.
3. tuntutan dan permintaan tersebut Selanjutnya pada Pasal 24 ayat (2) PP Nomor
tidak boleh menyangkut materi pokok 9 Tahun 1975 jo Pasal 78 UUPA dan Pasal
perkara. 136 ayat (2) KHI menentukan: ”Selama
Apabila sudah ada tuntutan provisi, berlangsungnya gugatan perceraian, atas
hakim harus menjatuhkan putusan. Secara permohonan Penggugat atau Tergugat,
tersirat berdasarkan Pasal 286 Rv, tidak pengadilan dapat:
memberikan pilihan kepada hakim selain a. Menentukan nafkah yang harus
harus menjatuhkan putusan atas tuntutan ditanggung oleh suami.
provisi tersebut.37 Dalam kaitan ini, tuntutan b. Menentukan hal-hal yang perlu
provisi akan diperiksa dengan pemeriksaan untuk menjamin pemeliharaan
secara singkat atau kilat (expedited dan pendidikan anak.
procedure) mengikuti ketentuan Pasal 283 c. Menentukan hal-hal yang perlu
Rv. untuk menjamin terpeliharanya
Seperti telah disinggung sebelumnya barang-barang yang menjadi hak
bahwa Undang-undang Peradilan Agama bersama suami isteri atau barang-
tidak mengatur secara eksplisit dan terperinci barang yang menjadi hak isteri”.
tentang tuntutan provisi. Akan tetapi, secara Dari ketentuan pasal-pasal tersebut
tersirat beberapa ketentuan pasal berikut dapat dapat diambil kesimpulan bahwa dalam
dianggap sebagai alasan untuk mengajukan perkara perceraian di Pengadilan Agama,
tuntutan provisi dan telah lama dipraktikkan hal-hal yang dapat digugat dalam tuntutan
di lingkungan Peradilan Agama. Adapun provisi adalah izin meninggalkan tempat
ketentuan pasal yang dimaksud termuat kediaman bersama, menetapkan nafkah,
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun menjamin pemeliharaan dan pendidikan
1975 (PP Nomor 9 Tahun 1975), Undang- anak serta hal-hal yang perlu untuk menjamin
undang Peradilan Agama dan Kompilasi keamanan harta bersama dan harta pribadi
Hukum Islam (KHI) masing-masing yang meliputi baik harta
Pasal 24 ayat (1) PP Nomor 9 Tahun bawaan maupun harta perolehan.
1975 dan diatur kembali dalam Pasal 77 Apakah ketentuan tersebut juga
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 berlaku dalam perkara cerai talak? Redaksi
tentang Peradilan Agama (UUPA) dan Pasal Undang-undang Peradilan Agama hanya
136 ayat (1) KHI yang berbunyi sebagai menyebutkan gugatan perceraian dan

37
Ibid., hlm.885.
Hartini, Pengecualian Terhadap Penerapan Asas Ultra Petitum Partium 391

tidak menyebut cerai talak. Menurut Administrasi Peradilan Agama disebutkan:39


Yahya Harahap,38 hakim dapat menerapkan Dalam rangka melindungi kaum wanita/
ketentuan Pasal 77 Undang-undang Peradilan isteri, dengan kemungkinan bahwa
Agama secara analogis dalam perkara cerai proses perceraian itu akan memakan
talak. Pendapat tersebut didasarkan pada waktu yang cukup lama. Sementara
pemahaman bahwa dalam cerai talak juga itu nasib isteri menjadi terkatung-
bisa terjadi kemungkinan hal-hal tersebut katung, sebaliknya biaya makan dan
di atas, sehingga tidak ada alasan untuk biaya hidup lainnya, sesuatu yang tidak
membedakan cerai gugat dengan cerai dapat ditunda-tunda. Oleh karenanya
talak. Dengan kata lain, dalam setiap kasus kalau kewajiban suami memberi
perceraian, baik cerai talak maupun cerai nafkah kepada isteri itu tidak gugur
gugat, dapat saja satu pihak mengajukan karena ketentuan hukum, maka sebagai
tuntutan provisi. pelaksanaan dari Pasal 41 huruf c
Sesuai dengan asas beracara di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
pengadilan, pada prinsipnya hakim baru jo. Pasal 78 huruf a Undang-undang
dapat menjatuhkan putusan provisi kalau Nomor 7 Tahun 1989 tersebut, maka
sebelumnya telah ada tuntutan provisi baik dimohon atau tidak maka Hakim
dari para pihak. Tanpa ada tuntutan yang menetapkan kewajiban tersebut kepada
dimaksud, hakim dilarang memberikan suami, dengan putusan Provisi dan
putusan tersebut. Hakim dalam hal ini Serta Merta, sehingga langsung dapat
dilarang secara ex officio menjatuhkan dilaksanakan.
putusan provisi karena itu bertentangan
dengan ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR dan Dengan demikian, hakim secara ex
Pasal 189 ayat (3) RBg karena melanggar officio dapat bahkan wajib menentukan
asas ultra petitum partium. Apabila, hakim nafkah isteri yang harus ditanggung oleh
melakukannya, berarti hakim mengabulkan suami selama berlangsungnya gugatan
sesuatu yang tidak dituntut oleh para pihak. perceraian yang dituangkan dalam putusan
Asas tersebut tidak diterapkan secara provisi. Sekalipun tanpa ada tuntutan provisi
ketat dalam praktik beracara di lingkungan dari isteri, hakim dapat menjatuhkan putusan
peradilan agama khususnya dalam perkara provisi.40 Ketika prosedur ini ditempuh,
perceraian. Pengecualian ini diberlakukan hakim dipandang tidak melanggar asas
khusus untuk nafkah isteri dan anak. Bahkan ultra petitum partium, karena ini merupakan
menurut Mahkamah Agung dalam Buku II pengecualian beracara di Pengadilan Agama
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan khususnya dalam perkara perceraian.

38
Yahya Harahap, 2001, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.
255-256.
39
Mahkamah Agung, tanpa tahun, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Buku II
Edisi Revisi), Jakarta.
40
Wildan Suyitthi Mustofa, 2002, Pemecahan Permasalahan Acara Perdata Peradilan Agama, Tatanusa, Ja-
karta, hlm. 184.
392 MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, Halaman 203 - 408

Sementara itu, untuk nafkah dan sebut adalah bahwa dalam soal nafkah isteri
biaya hidup anak ditentukan juga sebagai terdapat kalimat yang menyatakan ”baik
berikut:41 diminta atau tidak,” sementara dalam soal
Sebagaimana halnya kewajiban nafkah anak tidak terdapat kalimat yang
suami kepada isteri, maka kewajiban menyatakan demikian. Sekalipun demikian
seorang ayah kepada anak-anaknya menurut Abdul Manaf,42 demi kepentingan
adalah sesuatu yang tidak bisa gugur. anak dan dengan memedomani ruhul al-
Maka untuk melindungi kepentingan syari’ah yang diisyaratkan oleh ketentuan
anak yang orang tuanya sedang dalam yang mengatur soal nafkah anak, serta
sengketa perceraian di pengadilan, dianalogikan dengan nafkah isteri, maka
sementara anak-anak sedang dalam secara ex officio, hakim dapat, bahkan wajib,
asuhan pihak ibu (isteri), kiranya untuk menetapkan kewajiban kepada suami untuk
memenuhi ketentuan dari pasal 41 memberi nafkah anak.
huruf b, pasal 45 ayat (2), pasal 49 ayat
(2) Undang-undang Nomor 1 Tahun E. Penutup
1974 jo pasal 78 huruf b Undang- Peran hakim dalam menjalankan
undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Pasal fungsi dan wewenang peradilan memang
80 ayat (4) huruf b dan c, pasal 105 seharusnya lebih menitikberatkan pada
huruf c, pasal 149 huruf d, pasal 156 d tujuan dan tafsiran filosofi yaitu menegakkan
dan f Kompilsai Hukum Islam (KHI), kebenaran dan keadilan sesuai dengan nilai-
hakim dengan putusan Provisi dan nilai yang hidup, bukan sekedar menegakkaan
Serta Merta menghukum suami/bapak peraturan perundang-undangan dalam arti
untuk bertanggung jawab atas biaya sempit. Sesuatu yang dirumuskan dalam
nafkah dan biaya hidup lainnya untuk peraturan perundang-undangan belum tentu
anak-anaknya. sinergis dengan keadilan yang dituntut
oleh masyarakat, karena tidak selamanya
Terkait dengan putusan provisi, antara
yang sesuai dengan hukum (lawfull) itu
nafkah isteri dan nafkah anak yang diatur
menghasilkan keadilan (justice) dan tidak
dalam Buku II Mahkamah Agung tersebut
semua yang legal itu justice.
terdapat suatu perbedaan. Perbedaan ter­

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, Al Yasa, ”Ihwal Perceraian di Mimbar Hukum, Volume X Nomor 41


Indonesia Perkembangan Pemikiran Maret-April 1999.
dari Undang-undang Perkawinan Aripin, Jaenal, 2008, Peradilan Agama
Sampai Kompilasi Hukum Islam”, dalam Bingkai Reformasi Hukum di
Indonesia, Kencana, Jakarta.

41
Mahkamah Agung, Ibid.
42
Abdul Manaf, Op. cit., hlm. 485.
Hartini, Pengecualian Terhadap Penerapan Asas Ultra Petitum Partium 393

Arto, Mukti, 1996, Praktek Perkara Perdata Peradilan Agama (Buku II Edisi
pada Pengadilan Agama, Pustaka Revisi), Jakarta.
Pelajar, Yogyakarta. Manaf, Abdul, 2008, Refleksi Beberapa
Bisri, Cik Hasan, (et.al.), 1999, Kompilasi Materi Cara Beracara di Lingkungan
Hukum Islam dan Peradilan Agama Peradilan Agama, Mandar Maju,
di Indonesia, Logos Wacana Ilmu, Bandung.
Jakarta. Manan, Abdul, 2005, Penerapan Hukum
Fauzan, M. dan Edy Noerfuady, Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
“Problematika Penerapan Hak Ex Agama, Kencana, Jakarta.
Officio Hakim Dalam Penyelesaian ____________, 2007, Etika Hakim Dalam
Perkara Perceraian” dalam Mimbar Penyelenggaraan Peradilan, Kencana,
Hukum, Volume VIII, Nomor 30, Jakarta.
Januari-Februari, Tahun 1997. ____________, 2007, Reformasi Hukum
Halim, Abdul, 2000, Peradilan Agama Islam di Indonesia Tinjauan dari
dalam Politik Hukum di Indonesia, Aspek Metodologis, Legalisasi dan
RajaGrafindo Persada, Jakarta. Yurisprudensi, Rajawali Pers, Jakarta.
Harahap, Yahya, 2001, Kedudukan Mertokusumo, Sudikno, 1993, Hukum
Kewenangan dan Acara Peradilan Acara Perdata Indonesia, Liberty,
Agama, Sinar Grafika, Jakarta. Yogyakarta.
____________, 2008, Hukum Acara Perdata Mustofa, Wildan Suyuthi, 2002, Pemecahan
Tentang Gugatan, Persidangan, Permasalahan Acara Perdata Peradilan
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Agama, Tatanusa, Jakarta.
Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta. Soepomo, 1993, Hukum Acara Perdata
Kamil, Ahmad dan M. Fauzan, 2008, Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita,
Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Jakarta.
Kencana, Jakarta. Thahir, Mursyidah, “Kekerasan Rumah
Mahkamah Agung, 1994, Penemuan dan Tangga dan Konsep Nusyuz” dalam
Pemecahan Masalah Hukum Dalam Mursyidah Thahir, et.al. (eds.), 2000,
Pengadilan Agama, Jakarta. Jurnal Pemikiran Islam Tentang
_______________, tanpa tahun, Pedoman Pemberdayaan Perempuan, Logos,
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Jakarta.

You might also like