You are on page 1of 16

A.

Pengertian Xenobiotik
Xenobiotik berasal dari 2 kata, yaitu xenos dan biotik. Xenos (berasal dari
bahasa Yunani) yang berarti asing. Sedangkan, Biotik berarti makhluk hidup. Xenobiotik
adalah senyawa asing bagi makhluk hidup.Xenobiotika dapat diartikan sebagai zat asing,
bahan kimia yang tidak terdapat dalam sistem biologis, atau bahan kimia yang memiliki
fungsi rendah atau tidak memiliki fungsi untuk mempertahankan fungsi normal sel atau
biokimia (Klaassen, 2008).
Apabila zat yang menyebabkan efek yang merugikan pada yang menggunakan
maka zat tersebut di nyatakan sebagai racun.Xenobiotika dapat memberikan berbagai
keuntungan, seperti obat-obatan) atau dapat bersifat racun (seperti timbal).
B. Klasifikasi Xenobiotik
Racun dapat diklasifikasikan berdasarkan atas berbagai hal seperti: sumber, sifat
kimiawi dan fisikanya, bagaimana dan kapan terbentuknya, efek terhadap kesehatan,
kerusakan organ, dan hidup/tidaknya racun tersebut.
1. Klasifikasi berdasar sumber :
a. Sumber alamiah/buatan
Klasifikasi ini membedakan racun asli yang berasal dari flora dan fauna
dan kontaminasi organisme dengan berbagai racun yang berasal dari
bahan baku industri beracun ataupun buangan beracun dan bahan sintetis
beracun
b. Sumber berbentuk titik, area dan bergerak
Klasifikasi sumber seperti ini biasanya dipergunakan orang yang berminat
melakukan pengendalian. Tentunya sumber titik lebih mudah
dikendalikan daripada sumber area dan bergerak.
c. Sumber domestik, komersial dan industri
Sumber domestik biasanya berasal dari permukiman, kurang beracun
kecuali bercampur dengan buangan pestisida, obat-obatan dll. Buangan
komersial dapat sangat beragam, demikian pula dengan buangan industri.
2. Klasifikasi berdasarkan wujud
Sangat bermanfaat dalam memahami efek yang mungkin terjadi serta
pengendaliannya.
a. Wujud pencemar
 Padat : padatan yang sangat halus dapat terbang bersama udara,
disebut debu, fume, mist, sehingga dampaknya dapat
sangat luas.
 Cair : banyak dipergunakan dalam pertanian dan biasanya
ditambah pengencer dampaknya tidak secepat gas
 Gas : dapat berdifusi sehingga menyebar lebih cepat dari pada
cairan dan zat padat.
b. Ukuran pencemar, densitas, serta komposisi
Hal ini akan memberikan petunjuk mudah tidaknya pencemar memasuki
tubuh host dan cepat tidaknya menimbulkan efek serta seberapa jauh efeknya.
3. Klasifikasi atas dasar sifat fisika dan kimia
a. Korosif
Korosif adalah sifat suatu subtantsi yang dapat menyebabkan benda lain
hancur atau memperoleh dampak negatif. Korosif dapat menyebabkan
kerusakan pada mata, kulit, sistem pernapasan, dan banyak lagi. Contoh
bahan kimia yang bersifat korosif antara lain asam sulfat, asam
astetat,asam klorida dan lain-lain.
b. Radioaktif
Bahan radioaktif adalah bahan kimia yang mempunyai kemampuan
memancarkan sinar radioaktif dangan aktivitas jenis lebih besar dari 0,002
microcuri per gram. Suatu bahan kimia dapat termasuk diantara satu atau
lebih klasifikasi diatas, karena memang mempunyai sifat ganda. Contoh :
Benzena adalah zat beracun, karsiogenik tetapi juga mudah terbakar, klor
adalah z at beracun yang juga bersifat korosif. Radioaktif adalah bahan
yang terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari penggunaan
medis atau riset radio nukleida. Limbah ini dapat berasal dari antara lain :
tindakan kedokteran nuklir, radio-imunoassay dan bakteriologis; dapat
berbentuk padat, cair atau gas.
c. Evaporatif
Bahan toksin evaporatif adalah bahan yang mudah menguap dan biasanya
jenis bahan kimia ini mudah terbakar. Di dalam laboratorium dapat
digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu sebagai berikut:
 Padat, misalnya, belerang, hidrida logam, logam alkali, fosfor
merah dan kuning.
 Cair, misalnya, alkohol, aseton, benzena, eter, methanol, n-
heksana, pentana.
 Gas, misalnya, hidrogen dan asetilen.
d. Eksplosif
Suatu zat padat atau cair atau campuran keduanya yang karena suatu
reaksi kimia dapat menghasilkan gas dalam jumlah dan tekanan yang
besar serta suhu yang tinggi, sehingga menimbulkan kerusakan
disekelilingnya. Zat eksplosif amat peka terhadap panas dan pengaruh
mekanis (gesekan atau tumbukan), ada yang dibuat sengaja untuk tujuan
peledakan atau bahan peledak seperti trinitrotoluene (TNT), nitrogliserin
dan ammonium nitrat (NH4NO3). Contoh lainnya adalah Asetilena dan
amonium nitrat.
e. Reaktif
 Bahan kimia beracun yang mudah bereaksi dengan air, asam,
udara sehingga dapat meledak, terbakar dan lainnya.
 Bahan yang reaktif terhadap air adalah bahan yang apabila
bereaksi dengan air akan mengeluarkan panas dan gas sehingga
mudah terbakar contohnya: alkali dan alkali tanah, garam halida
dan anhidrat, oksida anhidrat dan sulfuril klorida.
 Bahan yang reaktif terhadap asam adalah bahan yang apabila
bereaksi dengan asam akan mengeluarkan panas dan gas sehingga
mudah terbakar, beracun dan korosif contohnya: kalium klorat,
kalium perklorat, kalium permanganat dan asam kromat.
 Semuanya memerlukan penanganan, transportasi, dan
pembuangan yang berbeda, karena bahaya yang mungkin timbul
akan berbeda.
4. Klasifikasi atas efek kesehatan
a. Fibrosis : terbentuknya jaringat ikat secara berlebihan
b. Granuloma : didapatnya jaringan radang kronis
c. Demam : suhu badan melebihi suhu normal
d. Asfiksia : keadaan kekurangan oksigen
e. Alergi : sensitifitas yang berlebihan
f. Kanker : tumor ganas; Mutan : generasi yang berbeda
dengan gen induknya
g. Teratogenik : cacat bawaan
h. Keracunan sistemik : keracunan yang menyerang seluruh tubuh.
5. Klasifikasi atas dasar kerusakan organ target
a. Hepatoksik : beracun pada hati
b. Nefrotoksik : beracun pada ginjal
c. Neurotoksik : beracun pada saraf
d. Hematotoksik : beracun pada sel darah
e. Pneumotoksik : beracun pada paru-paru.
6. Klasifikasi atas dasar hidup/matinya racun
Klasifikasi ini dibuat berdasarkan pertimbangan bahaya yang ditimbulkannya.
Zat yang hidup dapat berkembang biak bila lingkungannya mengijinkan. Zat
abiotis dapat berubah menjadi berbagai senyawa Sehingga pengendaliannya
berbeda
7. Klasifikasi atas dasar terbentuknya pencemar/xenobiotik
a. Pencemar yang terbentuk dan keluar dari sumber disebut pencemar
primer
b. Pencemar yang sudah bereaksi dilingkungan disebut pencemar sekunder
c. Pencemar sekunder yang bereaksi menjadi pencemar tersier
C. Pengertian Toksikokinetik
Toksikokinetik adalah ilmu yang mempelajari kinetika suatu zat toksi yang
mempelajari pengaruh tubuh terhadap zat toksik. Kinetika zat toksi merupakan faktor
yang penting terjadinya interaksi antara xenobiotik dengan sel targetnya. Toksikokinetik
akan mempelajari tantang bagaimana suatu zat xenobiotik masuk ke dalam tubuh dan apa
yang akan terjadi terhadap zat tersebut dalam tubuh. Ada empat proses yang terlibat
dalam toksikokinetik, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme atau biotransformasi dan
ekskersi zat.
Fase toksikinetik disebut juga dengan fase farmakokinetik. Setelah xenobiotika
berada dalam ketersediaan farmasetika, pada mana keadaan xenobiotika siap untuk
diabsorpsi menuju aliran darah atau pembuluh limfe, maka xenobiotika tersebut akan
bersama aliran darah atau limfe didistribusikan ke seluruh tubuh dan ke tempat kerja
toksik (reseptor).
Pada saat yang bersamaan sebagian molekul xenobitika akan termetabolisme, atau
tereksresi bersama urin melalui ginjal, melalui empedu menuju saluran cerna, atau sistem
eksresi lainnya. Terdapat dua proses yang berperanan penting pada fase toksikokinetika
Atau farmakokinetika:
a. Invasi/transpor (absorpsi, distribusi, dan ekskresi) dan evasi (biotransformasi
dan ekskresi) yang sangat menentukan daya kerja zat. Pada fase toksokinetika
akan dapat ditentukan jumlah molekul yang dapat mencapai reseptor. Proses
transpor zat kimia dalam tubuh organisme dapat berlangsung melalui:
1) Transpor pasif yaitu pengangkutan zat kimia melalui difusi pasif zat kimia
terlarut melintasi membran sel. Laju difusi dipengaruhi oleh gradien
konsentrasi di kedua sisi membran sel dan juga dipengaruhi oleh tetapan
difusi zat.
2) Transpor aktif yaitu pengangkutan melalui sistem transpor khusus dengan
bantuan molekul pengemban atau molekul pembawa. Jumlah molekul
yang dapat ditransportasi persatuan waktu jumlah molekul yang dapat
ditransportasi persatuan waktu tergantung pada kapasitas sistem yaitu
jumlah tempat ikatan dan angka pertukaran tiap-tiap tempat ikatan
tersebut. Apabila konsentrasi zat kimia dalam sistem transpor terus
menerus meningkat, maka akhirnya akan tercapai suatu titik jenuh
sehingga laju transpor tidak meningkat terus menerus tetapi akan
mencapai titik maksimum.
b. Perubahan metabolik atau biotransformasi dapat dibedakan menjadi dua fase
reaksi yaitu reaksi fase 1 (reaksi penguraian) dan reaksi fase II (reaksi
konjugasi). Reaksi penguraian meliputi pemutusan hidrolitik, oksidasi, dan
reduksi.Reaksi penguraian akan menghasilkan atau membentuk zat kimia
dengan gugus polar yaitu gugus -OH-NH2-
NH2 atau -COON. Pada reaksi konjugasi, zat kimia yang memiliki gugus
polar akan dikonjugasi dengan pasangan reaksi yang terdapat dalam tubuh
organisme sehingga berubah menjadi bentuk terlarut dalam air fan dapat
diekskresikan oleh ginjal. Reaksi konjugasi umumnya bersifat reaksi
detoksifikasi.
D. Faktor penentu konsentrasi jaringan
Faktor penentu konsentrasi jaringan dibagi menjadi empat (4) bagian yakni ; absorbsi,
distribusi, pengikatan, dan eksresi :
1. Absorbsi
Absorpsi ditandai oleh masuknya xenobiotika/tokson dari tempat kontak
(paparan) menuju sirkulasi sistemik tubuh atau pembuluh limfe. Absorpsi
didefinisikan sebagai jumlah xenobiotika yang mencapai sistem sirkululasi
sistemik dalam bentuk tidak berubah. Tokson dapat terabsorbsi umumnya apabila
berada dalam bentuk terlarut atau terdispersi molekular. Absorbsi sistemik tokson
dari tempat extravaskular dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomik dan fisiologik
tempat absorpsi (sifat membran biologis dan aliran kapiler darah tempat kontak),
serta sifat-sifat fisiko-kimia tokson dan bentuk tokson. Proses absorbsi dapat
berlangsung melalui transport pasif, transport aktif, dan endositosis. Tokson dapat
terabsorpsi umumnya apabila berada dalam bentuk terlarut atau terdispersi
molekular. Jalur utama absorpsi tokson adalah saluran cerna, paru-paru, dan kulit.
Terdapat 4 jalur masuk absorbsi atau penyerapan, yaitu :
1) Jalur inhalasi atau pernapasan (inhalation)
Faktor yang berpengaruh pada absorbsi bahan toksik dalam sistem
pernapasan adalah bentuk bahan misalnya gas dan uap, aerosol dan
ukuran partikel, serta zat yang terlarut dalam lemak dan air. Paru-paru
dapat mengabsorbsi bahan toksik dalam jumlah besar karena area
permukaan yang luas dan aliran darah yang cepat. Inhalasi pada
umumnya merupakan jalur pajanan bagi toksikan yang berwujud
debu/partikel, gas, asap, atau uap. Ketika bahan toksikan masuk lewat
inhalasi, bahan tersebut dapat dikeluarkan kembali lewat ekshalasi
atau dapat menetap dalam saluran pernapasan dan menimbulkan
gangguan. Tingkat penyerapan toksikan melalui jalur inhalasi tersebut
bergantung pada berbagai faktor, di antaranya atmosfer toksikan serta
kemampuan toksikan untuk melintasi membran sel.
2) Jalur oral (ingestion)
Absorbsi bahan toksik dapat terjadi di sepanjang saluran pencernaan
(gastrointestinal tract). Faktor yang mempengaruhi terjadinya absorbsi
adalah sifak kimia dan fisik bahan tersebut serta karakteristiknya
seperti tingkat keasaman atau kebasaan.
3) Jalur penyerapan melalui kulit (dermal)
Kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu epidermis (lapisan terluar), dermis
(lapisan tengah) dan hypodermis (lapisan paling dalam). Epidermis
dan dermis berisi keringat, kantung minyak dan akar rambut. Bahan
toksik paling banyak terabsorbsi melalui lapisan epidermis. Absorbsi
bahan toksik melalui epidermis tergantung pada kondisi kulit,
ketipisan kulit, dan kelarutannya dalam air. Akibat bahan toksik antara
lain pengikisan atau pertukaran lemak pada kulit yang terekspos
dengan bahan alkali atau asam dan pengurangan pertahanan epidermis.
Kontak kulit menjadi jalur pajanan toksikan yang berwujud cair
dengan kemampuan menguap (volatilitas) rendah. Selain itu, dapat
juga menjadi jalur masuk toksikan zat padat. Berbagai bahan toksik
dapat melewati pelindung atau penghalang kulit (skin barrier), diserap
oleh sistem sirkulasi, dan disebarkan ke seluruh organ internal, hingga
menimbulkan gangguan.
Proses masuknya xenobiotik ke dalam tubuh atau tepatnya ke sirkulasi sitemik. Tempat
absorpsi yaitu : saluran pencernaan,pernapasan atau mukosa kulit. Ketika xenobiotik ini mauk ke
dalam tubuh maka akan menimbulkan efek yaitu efek toksik sistemik Zat menembus sel tempat
absorpsi dan masuk ke sirkulasi sistemik (sirkulasi darah), dan efek tokik lokal yaitu Zat tidak
diabsorpsi. Beberapa faktor penting yang berpengaruh pada jumlah dan kecepatan suatu zat
untuk dapat diabsorpsi:

 Rute pemberian atau jalur paparan Suatu zat mungkin masuk dalam kategori
relatif tidak toksik melalui paparan tertentu tetapi termasuk zat yang sangat toksik
melalui jalur paparan lain,contoh: DDT (dikloro difenil trikloretan) bersifat toksik
pada serangga ketika disemprotkan langsung pada eksoskeletonnya (cepat
diabsorpsi).
 Konsentrasi dan lamanya kontak dengan tempat absorpsi Kecepatan absorpsi
dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi, luas permukaan tempat absorpsi, dan
lamanya kontak dengan tempat absorpsi.
 Sifat fisika dan kimia dari xenobiotik Untuk masuk ke dalam tubuh atau
meninggalkan tubuh atau pindah sel/jaringan,xenobiotik harus dapat menembus
membran (dalam keadaan normal sel-sel penyusun jaringan seperti pada kulit atau
membran mukosa paru-paru atau membran intestinal adalah begitu kompak dan
rapat).
E. Distribusi Organ Sasaran
Distribusi adalah proses pergerakan toksikan tersirkulasi dari tempat asal pajanan ke
daerah lain di dalam tubuh baik melalui sistem peredaran darah maupun limfatik
(Klaassen and Watkins III, 2015). Setelah melalui proses absorpsi, toksikan akan
terdistribusi melalui sistem peredaran darah maupun limfatik menuju ke jaringan di
dalam tubuh. Proses pergerakan ini akan mengikuti mekanisme transportasi toksikan
melewati membran sel. Toksikan yang mudah larut dalam lemak akan lebih banyak
ditemukan pada jaringan lemak tubuh. Sedangkan toksikan yang mudah larut dalam air
akan lebih banyak terdapat di darah. Beberapa faktor yang mempengaruhi distribusi
toksikan adalah sebagai berikut:
1. Laju aliran darah ke jaringan
2. Pergerakan melewati saluran kapiler
3. Pergerakan melewati membran sel
4. Kemampuan jaringan untuk mengikat toksikan
5. Transpor aktif jaringan
6. Kelarutan dalam lemak
7. Penyimpanan Toksikan

Toksikan di dalam tubuh dapat disimpan di beberapa lokasi yaitu:

a. Protein Plasma
Beberapa protein plasma mengikat xenobiotic serta beberapa konstituen endogen tubuh.
Albumin adalah protein utama dalam plasma dan dapat berikatan dengan banyak jenis
senyawa dibandingkan dengan protein lain dalam plasma seperti globulin, lipoprotein,
dan glikoprotein (Klaassen and Watkins III, 2015).
b. Hati dan Ginjal
Hati dan ginjal memiliki kapasitas yang tinggi untuk mengikat banyak bahan kimia.
Karakteristik ini mungkin terkait dengan fungsi metabolism dan ekskresi yang dimiliki
oleh hati dan ginjal. Protein tertentu yang memiliki sifat pengikat spesifik teridentifikasi
berada pada kedua organ ini, yaitu metallothionein. Metallothionein berperan pada
pengikatan kadmium di hati dan ginjal serta transfer logam dari hati ke ginjal (Lu and
Kacew, 2010).
c. Lemak
Sifat lipofilik yang dimiliki oleh suatu senyawa akan menyebabkan senyawa tersebut
mengelami penetrasi oleh membrane sel dan penyerapan oleh jaringan secara cepat.
Toksikan yang bersifat sangat lipofilik akan didistribusikan dan terkonsentrasi di lemak
tubuh dimana mereka dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang. Senyawa yang
biasanya disimpan pada jaringan lemak misalnya DDT, dieldrin, dan polychlorinated
biphenyls (PCB) (Klaassen, 2013).
d. Tulang
Tulang adalah tempat penyimpanan utama bagi toksikan seperti fluorida, timbal, dan
strontium. Penyimpanan terjadi melalui reaksi adsorpsi pertukaran antara cairan
interstisial dan kristal hidroksiapatit dari mineral tulang. Berdasrakan kesamaan ukuran
dan muatan, F- dapat dengan mudah menggantikan OH- , dan kalsium dapat digantikan
oleh timbal atau strontium. Zat yang disimpan ini dapat dilepaskan melalui pertukaran
ionik dan melalui pelarutan kristal tulang saat terjadi osteoklas (Lu and Kacew, 2010)

ORGAN SASARAN

Organ sasaran merupakan bagian tubuh tempat terjadinya yang dituju oleh suatu toksikan
untuk kemudian menimbulkan efek pada organ sasaran tersebut. Tiap-tiap toksikan memiliki
organ sasaran atau target yang berbeda-beda. Faktor penentu organ sasaran dari satu
toksikan antara lain adalah sebagai berikut:

1. Kepekaan Organ
Setiap organ dalam tubuh memiliki kepekaan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, neuron
(sel saraf) dan otot jantung peka apabila terjadi kekurangan oksigen (misalnya akibat
kelebihan gas karbon monoksida atau CO). Kepekaan neuron dan sel saraf tersebut
tergantung pada Adenosin Triphospat (ATP) dalam mitokondria. Kapasitas anaerob yang
kecil dari sel neuron dan otot jantung disebabkan oleh ATP yang kurang jumlah
persediaannya.
2. Penyerapan
Penyerapan dapat berlangsung melalui berbagai macam organ di dalam tubuh. Salah
satunya adalah pada organ saluran pernapasan dan kulit. Penyerapan melalui saluran
pernapasan dan kulit umumnya terjadi pada kontak dengan toksikan di industri. Beberapa
contoh toksikan yang diserap melalui saluran pernapasan dan kulit antara lain
bisklorometil eter yang dapat menyebabkan tumor pada saluran pernapasan maupun kulit.
Pada organ hati dan ginjal juga terjadi proses penyerapan. Proses tersebut terjadi sebagai
akibat dari volume aliran darah yang tinggi pada hati dan ginjal. Fungsi metabolisme dan
ekskresi yang dilakukan oleh hati dan ginjal juga memicu terjadinya proses penyerapan.
Sementara itu, pada sawar darah otak, penyerapan juga sangat mudah terjadi, terutama
untuk toksikan yang bersifat lipofil. Contoh toksikannya antara lain metil merkuri serta
toksikan lain yang bersifat lipofilik. Adapun toksikan yang terserap ke dalam tubuh
melalui proses penetrasi antara lain sinar ultraviolet (UV) yang kontak dengan kulit dan
dapat menimbulkan basalioma, yaitu sejenis kanker kulit, dan bila kontak dengan mata
dapat menimbulkan katarak , serta radiasi ion yang dapat menimbulkan leukemia.
3. Ambilan Selektif (Afinitas)
Afinitas dari setiap organ sasaran berbeda-beda. Sebagai contoh, epitel alveolus tipe I dan
II dalam paru-paru memiliki afinitas yang tinggi terhadap toksikan jenis parakuat.
Afinitas epitel alvolus I dan II aktif untuk poliamin endogen. Sementara itu, afinitas
organ mata dan telinga aktif untuk klorokuin dan kanamisin (pembentukan melanin).
Sementara itu, afinitas tulang aktif untuk stronsium
4. Biotransformasi atau Bioaktivasi
Proses biotransformasi atau bioaktivasi berbeda-beda pada setiap organ sasaran. Hampir
semua metabolit aktif hasil dari proses biotransformasi terlaksana di hati (kecuali
bromobenzen yang tersimpan di ginjal). Oleh karena itu, hati sangat rentan rusak akibat
berbagai metabolit aktif tersebut. Untuk mengubah toksikan menjadi metabolit aktif,
diperlukan enzim bioaktivasi. Dikenal ada banyak enzim bioaktivasi. Beberapa di
antaranya adalah enzim sitokrom p-450 yang dihasilkan oleh sel Clara. Adapun pada
mata tidak ditemukan enzim untuk metabolisme metanol.
5. Mekanisme Pemulihan
Mekanisme pemulihan juga berbeda pada setiap ogan sasaran. Contohnya adalah MNU
(Methylnitrosourea) yang ada di otak, ginjal, dan hati.

F. METABOLISME
Metabolisme adalah perubahan zat-zat asing (xenobiotika) menjadi metabolit aktif
(bioaktivasi) atau tidak aktif (detoksifikasi) yang dikatalisis oleh enzim. Metabolisme ini
erat kaitannya dengan istilah persistensi dan biokonsentrasi.
Persistensi merupakan sifat persisten (retensi) xenobiotika atau metabolitnya
terhadap suatu perubahan. Sedangkan biokonsentrasi adalah pengambilan dan retensi
xenobiotika langsung dari masa air oleh makhluk hidup melalui jalur pajanan seperti
ingesti, atau insang maupun jalur epitel biota perairan.

Metabolisme (biotransformasi) bertujuan untuk:

 Merubah ciri-ciri fisikokimia toksikan, terutama sifat lipofilnya


 Pembentukan senyawa hidrofil (peningkatan polaritas)
 Mempermudah ekskresi toksikan
Proses metabolisme atau yang juga disebut sebagai biotransformasi merupakan mekanisme
dasar pertahanan tubuh terhadap toksikan (xenobiotika). Pada metabolisme terjadi proses-proses
sebagai berikut:

 Eliminasi zat dalam bentuk asal melalui proses ekskresi

 Modifikasi struktur untuk meningkatkan sifat hidrofilitas

 Modifikasi struktur untuk detoksifikasi zat

 Mekanisme pertahanan lainnya, seperti kekebalan tubuh dan daya toleransi

Semua jaringan memiliki enzim yang dapat memetabolisme bahan kimia, namun hati
merupakan organ yang memiliki konsentrasi enzim tertinggi dibandingkan semua organ tubuh
dan biasanya merupakan tempat utama terjadinya metabolisme (Luttrell, Jederberg and Still,
2008). Adapun bagian sel hati yang menjadi tempat utama proses metabolisme adalah bagian
reticulum endoplasma dan mitokondira.

Metabolisme atau biotransformasi terdiri dari dua (2) tipe, yaitu:

1. Detoksifikasi
Detoksifikasi adalah proses dimana xenobiotika dikonversi menjadi bentuk yang kurang
toksik. Detoksifikasi merupakan salah satu mekanisme pertahanan alamiah yang dimiliki
organisme. Secara umum, proses detoksifikasi merubah senyawa toksikan yang lipofil
menjadi senyawa yang lebih polar (hidrofil) agar lebih mudah diekskresikan.
2. Bioaktivasi
Bioaktivasi merupakan proses dimana xenobiotika dapat berubah menjadi bentuk yang
lebih reaktif atau lebih toksik. Bioaktivasi merubah senyawa yang stabil secara kimia
menjadi metabolit yang reaktif. Contohnya adalah Karbon Tetraklorida (CCl4) secara
cepat diproses dalam tubuh menjadi senyawa kimia toksik Triklorometil. Bioaktivasi
terutama dikatalisis oleh Sitokrom P-450 Monooksigenase, namun pada kasus tertentu
enzim lain berperan. Pada bioaktivasi, terjadi pembentukan Epoksida, N-Hidroksilasi,
Radikal Bebas, dan Superoksida.
Biotransformasi xenobiotik dikatalisasi oleh berbagai sistem enzim yang terbagi menjadi
empat kategori berdasarkan reaksi katalisasinya, yaitu:

1) Hidrolisis (enzim yang berperan misalnya carboxylesterase)


2) Reduksi (enzim yang berperan misalnya carbonyl reductase)
3) Oksidasi (enzim yang berperan misalnya cytochrome P450 [CYP])
4) Konjugasi (enzim yang berperan misalnya UDP-glucuronosyltransferase [UGT])
(Klaassen, 2013)
G. Ekskresi
Ekresi adalah perpindahan xenobiotik/racun dari sirkulasi darah (sistemik) keorganekresi.
Zat yang toksisitasnya sama akan menimbulkan keberbahayaan yag berbeda jika salah
satunya mudah dieksresikan tetapi yang lainnya tidak mudah dieksresikan atau
terakumulasi. Beberapa tempat ekresi adalah sebagai berikut :
 Ginjal. Ginjal merupakan organ utama ekresi yang dikeluarkan melalui urin
 eksresi empedu (hati),
 eksresi paru,
 eksresi saluran percernaan,
 eksresi air susu,
 eksresi keringat,
 eksresi air liur,
 eksresi rambut

fungsi eksresi adalah untuk pembuangan senyawa yang sudah tidak di butuhkan lagi oleh
tubuh. Apabila terjadi disfungsi organ eksresi, akan menyebabkan penumpukkan
senyawa yang tidak di butuhkan sehingga menyebabkan toksisitas.

Eksresi zat merupakan faktor penentu dari toksitas zat tersebut. Jika suatu zat
metabolitnya dengan cepat di ekresikan dari tubuh, maka zat tersebut relatif tidak toksik
karena zat yang mudah di eksresikan sulit mencapai kadar efek toksik minimal (KET)
dan kemungkinan akan terjadi akumulasi lebih kecil. Penentu ketoksikan adalah
sampainya suatu zat di sel sasaran dengan kadar mencapau KET-nya. Strategi dalam
mengurangi toksisitas suatu zat adalah dengan penghambatan absorpsi atau percepatan
eksresi.

Kecepatan ekresi suatu zat dapat dilihat dari nilai waktu paruhnya (t1/2). t1/2 adalah waktu
yang diperlukan sehingga kadar obat/racun dalam darah atau jumlah obat atu jumlah
racun dalam tubuh tinggal separuhnya. Proses ekresi terbagi atas tiga, yaitu :

 filtrasi glomerulus, yaitu obat atau metabolit polar di ekresi lebih cepat dari pada
obat larut lemak, serta obat yang tidak terikat protein plasma (bebas) akan
mengalami filtrasi glomerulus ke dalam tubulus.
 reabsorpsi tubuluss, setelah obat sampai di tubulus, jika obat bersifat larut lemak
(non polar) dan tidak bermuatan, maka obat ini akan di reabsorpsi dalam tubulus
ginjal melalui difusi pasif yang di sebut sirkulasi sistemik, serta untuk
mengurangi reabsorpsi tubulus maka yang harus dilakukan adalah manipulasi pH
urin. Manipulasi pH urin dapat meningkatkan ionisasi obat sehingga bisa
digunakan untuk mengurangi jumlah obat yang berdifusi kembali ke sirkulasi
sistemik dan dapat meningkatkan kebersihannya obat yang tidak diinginkan.
 sekresi tubulus, filtrasi glomerulus hanya mampu mengekskresikan 20% obat,
sedangkan sisanya 80% akan dikeluarkan melalui sekresi tublus. Sekresi tubulus
ini merupakan mekanisme eliminasi obat yang paling cepat melalui ginjal karena
kemampuan mengekskresikan obat yang tidak terikat dengan protein plasma.
Daftar Pustaka:

1. Yulyanti dan Amaloyah,N. (2017).Toksikologi Lingkungan. Jakarta Selatan: Pusdik SDM


Kesehatan
2. Kurniawidjaja Meily L, dkk. (2021). Konsep Dasar Toksikologi Industri. Depok: Pusdik
SDM Kesehatan
3. Berniyanti, Titiek. 2018. Biomarker Toksisitas Paparan Logam Tingkat Molekuler.
Surabaya: Airlangga University Press.
4. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana. 2007.
Toksikologi Umum. https://www.academia.edu/15602276/Buku Ajar
ToksikologiUmum&ved=2ahUKEwjElbaTlojlAhWO4nMBHfNjBwsQFjAAegQIAhAB
&usg=AOvVaw0-lt4mACcfaT0Y1zjlxMyf. Diakses pada 12 september 2021
5. Rachmat Fitria, Huler Karolus Gnu, dkk. 2020. MAKALAH XENOBIOTIK DAN
TOKSIKOKINETIK. Pamulag. file:///C:/Users/Asus/Downloads/toaz.info-tugas-toksik-
7b-kelompok-2-dan-4-sesi-3-xenobiotik-dan-toksikokinetik-
pr_2521b19780bca6ae41431028c250a3dd.pdf
6. Kurniawidjaja L. Meily, Lestari Fatma, dkk. 2021. KONSEP DASAR TOKSIKOLOGI
INDUSTRI. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
file:///C:/Users/Asus/Desktop/Buku_Toksikologi_Industri.pdf

You might also like