You are on page 1of 37

LAPORAN KASUS PROFESI FISIOTERAPI

MANAJEMEN FISIOTERAPI
GANGGUAN FUNGSIONAL PARU-PARU BERUPA SESAK NAPAS
DAN BATUK DARAH E.C DESTROYED LUNG TUBERCULOSIS
SEJAK 10 TAHUN YANG LALU

OLEH:

JOSES MARTHINUS DIMES, S.Ft


R024201035

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI FISIOTERAPI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021

HALAMAN PERSETUJUAN
i
Yang bertandatangan di bawah ini, menerangkan bahwa mahasiswa berikut:

Nama Kelompok : Joses Marthinus Dimes

Lokasi Stase : Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar

Adalah benar telah menyelesaikan kasus dengan judul “Manajemen Fisioterapi

Gangguan Fungsional Paru-Paru Berupa Sesak Napas dan Batuk Darah e.c Destroyed

Lung Tuberculosis Sejak 10 Tahun yang Lalu” pada bagian Balai Besar Kesehatan Paru

Masyarakat Makassar (BBKPM)

Makassar, 30 November 2021


Mengetahui,
Clinical Instructor

Alfi Syahar, S.ST,Ft

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penyusun akhirnya dapat menyelesaikan penyusunan laporan studi
kasus dengan judul “Manajemen Fisioterapi Gangguan Fungsional Paru-Paru Berupa
Sesak Napas dan Batuk Darah e.c Destroyed Lung Tuberculosis Sejak 10 Tahun yang
Lalu”
Penyusunan laporan studi kasus ini merupakan salah satu tugas pada pelaksanaan
Program Studi Pendidikan Profesi Fisioterapi Fakultas Keperawatan Universitas Hasanuddin.
Melalui penyusunan laporan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman lebih tentang
patofisiologi dan penatalaksanaan fisioterapi kardiopulmonal pada kasus Penyakit Paru
Obstruktif Kronik yang ditemui penyusun pada saat melakukan praktek lapangan yang akan
bermanfaat pada masa yang akan datang.
Dalam penyusunan laporan studi kasus ini, banyak ditemui tantangan dan hambatan yang
mendasar. Namun semua itu dapat terselesaikan dengan baik berkat dukungan, bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini sudah selayaknya
penyusun menyampaikan rasa terima kasih kepada para instruktur klinis di Unit Fisioterapi
Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar dan edukator klinis yang telah membimbing
dalam penyusunan laporan studi kasus ini.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Penyusun menyadari bahwa laporan studi kasus
ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penyusun
memohon maaf yang sebesar-besarnya dan membuka diri untuk segala saran dan kritik yang
sifatnya membangun sehingga dapat dilakukan perbaikan untuk pencapaian hasil yang lebih
baik. Akhirnya, penyusun berharap semoga laporan studi kasus dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Makassar, 30 November 2021

Penyusun

iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Anatomi dan Fisiologi Paru-Paru .................................................. 1
BAB II ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS
A. Kerangka/Mind Mapping Teori .................................................... 10
B. Definisi Penyakit Destroyed Lung ................................................ 10
C. Etiologi .......................................................................................... 11
D. Epidemiologi ................................................................................. 13
E. Klasifikasi...................................................................................... 14
F. Patomekanisme .............................................................................. 15
G. Manifestasi Klinis ......................................................................... 16
H. Pemeriksaan dan Penegakan Diagnosis ........................................ 16
I. Diagnosis Banding ........................................................................ 19
J. Penatalaksanaan Fisioterapi .......................................................... 20
K. Kerangka/Mind Mapping Teknologi Fisioterapi .......................... 23
BAB III MANAJEMEN FISIOTERAPI
A. Data Umum Pasien ....................................................................... 24
B. Assessment .................................................................................... 24
C. Pemeriksaan Spesifik FT .............................................................. 26
D. Diagnosa FT .................................................................................. 28
E. Program Fisioterapi ....................................................................... 29
F. Evaluasi dan Modifikasi ................................................................ 30
G. Home Program ............................................................................. 31
H. Kemitraan...................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 33

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Tuberkulosis destroyed lung merupakan salah satu gejalah sisa tuberculosis

paru yang paling parah dimana terjadinya penurunan volume paruh dan saluran napas

pada pasien dengan penurunan fungsi paruh yang progresif, gagal napas, dan disabilitas

paru. yang jarang terjadi, dan mengakibatkan perubahan ireversibel pada parenkim

paru (Hong yun, et all 2021). Kondisi ini paling sering menyebabkan inflamasi kronik

pada paru seperti bronkiektasis, tuberkulosis, pneumonia nekrosis, abses paru, infeksi

jamur, gangren paru-paru, penyempitan bronkus, cacat bawaan, dan infeksi

mycobacterium selain tuberkulosis.

Tuberkulosis merupakan penyebeb signifikan morbiditas dan mortalitas global.

Pada tahun 2019, 10 juta orang menderita TB dan 1,4 juta orang meninggal karna

penyakit tersebut yang diamana Sebagian besar terjadi dinegara berkembang.

Tuberculosis paru dikaitkan dengan banyak penyakit paruh dan ekstra

komplikasi termasuk adenopati hilar paru, betapapun lengkapnya kerusakan seluruh

paru-paru jarang terjadi. Kerusakan paru dengan obstruksi bronkus, kolaps lobus,

atelectasis, fibrosis dan hiperinflamasi paru bilateral. Sisi kiri paru lebih sering terjadi

karena bronkus kiri lebih Panjang dan lebih sempit dan memiliki jalur yang lebih

horizontal yang membuat drainase secret dari paru – paru menjadi sulit. (Hafsat Umar,

et all 2021)

Problematika yang muncul pada kondisi destroyer lung ini ditandai dengan

batuk kronik produktif, sputum purulen, heamoptisis dispnea, dan demam. Pengobatan

yang dapat dilakukan dengan cara farmakologi dan non farmakologi seperti chest terapi

yang dilakukan oleh fisioterapi.


1
B. Anatomi dan Fisiologi Paru-Paru

Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya berada

di atas rusuk (rib) pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru-paru terbagi

menjadi dua yaitu, paru kanan dan paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus

sedangkan paru-paru kiri mempunyai dua lobus. Kelima lobus tersebut dapat terlihat

dengan jelas. Setiap paru-paru terbagi lagi menjadi beberapa subbagian menjadi sekitar

sepuluh unit terkecil yang disebut bronchopulmonary segments. Paru-paru kanan dan

kiri dipisahkan oleh ruang yang disebut mediastinum (Sherwood, 2014).

Karakteristik paru-paru yaitu berpori, tekstur kenyal ringan; mengapung di air,

dan sangat elastis. Permukaan paru-paru halus, bersinar, dan membentuk beberapa

daerah polihedral, yang menunjukkan lobulus organ: masing-masing daerah dibatasi

oleh garis-garis yang lebih ringan (fisura). Setiap paru memiliki bentuk kerucut yang

terdiri dari bagian puncak (apeks), dasar (basis), tiga perbatasan, dan dua permukaan.

Puncak (apeks pulmonis) memiliki permukaan halus dan tumpul. Puncak apeks

menonjol ke atas dalam leher sekitar 2,5 cm di atas klavikula. Dasar (basis pulmonis)

memiliki permukaan luas, konkaf, dan terletak di atas diafragma, yang memisahkan

paru-paru kanan dari lobus kanan hati, dan paru-paru kiri dari lobus kiri hati, lambung,

dan limpa. Karena diafragma sebelah kanan lebih tinggi daripada di sisi kiri,

kecekungan dasar paru kanan lebih dalam dari yang di sebelah kiri. Basis pulmonalis

paru turun selama inspirasi dan naik selama ekspirasi (Snell, 2012).

2
Gambar 1. Anatomi Paru
Sumber: Seeleys Essential Anatomy, 2016

Pergerakan dari dalam ke luar paru terdiri dari dua proses, yaitu inspirasi dan

ekspirasi. Inspirasi adalah pergerakan dari atmosfer ke dalam paru, sedangkan ekspirasi

adalah pergerakan dari dalam paru ke atmosfer. Agar proses ventilasi dapat berjalan

lancar dibutuhkan fungsi yang baik pada otot pernafasan dan elastisitas jaringan paru.

Menurut fungsinya, otot pernapasan dibedakan menjadi otot inspirasi, yang terdiri dari

otot inspirasi utama dan tambahan, serta otot ekspirasi. Yang termasuk dalam otot

inspirasi utama yaitu m. intercostalis externus dan m. diafragma, sedangkan yang

termasuk dalam otot inspirasi tambahan yaitu m. sternocleidomastoideus berfungsi

mengangkat sternum ke superior, m. serratus anterior berfungsi mengangkat sebagian

besar costa, dan m. scalenus berfungsi mengangkat dua costa pertama.

Selama pernapasan normal dan tenang (quiet breathing), tidak ada otot

pernapasan yang bekerja selama ekspirasi, hal ini akibat dari daya lenting elastis paru

dan dada. Namun pada keadaan tertentu, di mana terjadi peningkatan resistensi jalan

nafas dan resistensi jaringan, misalnya saat serangan asma, otot ekspirasi dibutuhkan

kontribusinya. Dalam keadaan ini, otot ekspirasi yaitu m. rectus abdominis memberikan

efek tarikan ke arah inferior yang sangat kuat terhadap costa bagian bawah, pada saat

3
yang bersamaan otot ini dan otot abdominal lain menekan isi abdomen ke arah

diafragma, serta m. intercostalis internus juga berfungsi menarik rongga toraks ke

bawah (Sari, 2015).

Gambar 2. Otot-otot Pernapasan


Sumber: Majumder, 2015

1. Mekanisme Bernapas

Fungsi utama paru-paru yaitu untuk pertukaran gas antara darah dan

atmosfer. Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi

jaringan dan mengeluarkan karbon dioksida (Alqahtani et al., 2020). Udara

masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa yang menyempit (bronchi dan

bronkiolus) yang bercabang di kedua belah paru-paru utama (trachea). Pipa

tersebut berakhir di gelembung-gelembung paru-paru (alveoli) yang merupakan

kantong udara terakhir dimana oksigen dan karbondioksida dipindahkan dari

tempat dimana darah mengalir. Ada lebih dari 300 juta alveoli di dalam paru-

paru manusia bersifat elastis. Ruang udara tersebut dipelihara dalam keadaan

terbuka oleh bahan kimia surfaktan yang dapat menetralkan kecenderungan

alveoli untuk mengempis (Majumder, 2015).

Untuk melaksanakan fungsi tersebut, pernafasan dapat dibagi menjadi

empat mekanisme dasar (Guyton, 2011), yaitu:

4
a. Ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara antara alveoli dan

atmosfer

b. Difusi dari oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah.

c. Transport dari oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan cairan tubuh ke

dan dari sel.

d. Pengaturan ventilasi

Pada pernapasan normal, saat inprirasi, otot interkostal eksternal

berkontraksi, tulang kosta dan sternum akan tertarik ke atas, karena tulang kosta

pertama tidak bergerak. Diameter anterior-posterior dari rongga dada bagian

atas akan membesar dan memperbesar diameter transversal rongga dada bagian

bawah. Pada saat inspirasi ini, diafragma berkontraksi sehingga turun, akibatnya

kapasitas rongga dada meningkat. Akibatnya, tekanan antar permukaan pleura

(dalam keadaan normal negatif) menjadi lebih negatif: -2.5 menjadi -6 mmHg,

lalu jaringan elastis pada paru akan meregang, dan paru akan mengembang

memenuhi kapasitas rongga dada. Pada saat ini tekanan udara di alveolus adalah

-1,5 mmHg (lebih rendah dari tekanan atmosfir). Udara akan masuk ke dalam

alveolus akibat perbedaan tekanan tersebut (Sherwood, 2014).

Sebaliknya, pada saat ekspirasi dalam pernapasan normal, otot interkostal

eksternal akan relaksasi. Tulang kosta dan sternum akan turun. Lebar dan

dalamnya dada akan berkurang. Diafragma akan relaksasi, melengkung naik,

panjang rongga dada akan berkurang. Kapasitas rongga dada akan berkurang.

Tekanan antar permukaan pleura menjadi kurang negatif: dari -6 menjadi -2

mmHg. Jaringan elastis paru akan kembali ke keadaan semula. Tekanan udara

pada alveolus saat ini adalah +1,5 mmHg (lebih tinggi dari tekanan udara).

Udara akan terdorong keluar alveolus (Sherwood, 2014).

5
Pada keadaan pernafasan paksa, tepatnya saat inspirasi, otot cuping

hidung dan otot glotis akan berkontraksi untuk membantu masuknya udara ke

dalam paru-paru. Otot pada leher akan berkontraksi, tulang kosta pertama akan

bergerak ke atas (dan sternum bergerak naik dan ke depan). Pada saat ekspirasi

pada pernapasan paksa, otot interkostal internal berkontraksi, sehingga tulang

kosta akan menurun lebih dari pernafasan normal. Otot abdominal juga

berkontraksi untuk membantu naiknya diafragma (Sherwood, 2014).

Gambar 3. Aktivitas Otot Pernapasan Saat Inspirasi dan Ekspirasi


Sumber: Seeleys Essential Anatomy, 2016

2. Volume dan Kapasitas Paru

Menurut Guyton (2011) volume paru terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:

a. Volume Tidal adalah volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi pada

setiap kali pernafasan normal. Besarnya ± 500 ml pada rata-rata orang

dewasa.

b. Volume Cadangan Inspirasi adalah volume udara ekstra yang diinspirasi

setelah volume tidal, dan biasanya mencapai ± 3000 ml.

6
c. Volume Cadangan Eskpirasi adalah jumlah udara yang masih dapat

dikeluarkan dengan ekspirasi maksimum pada akhir ekspirasi normal, pada

keadaan normal besarnya ± 1100 ml.

d. Volume Residu, yaitu volume udara yang masih tetap berada dalam paru-

paru setelah ekspirasi kuat. Besarnya ± 1200 ml.

Kapasitas paru merupakan gabungan dari beberapa volume paru dan dibagi

menjadi empat bagian, yaitu:

a. Kapasitas Inspirasi sama dengan volume tidal + volume cadangan inspirasi.

Besarnya ± 3500 ml, dan merupakan jumlah udara yang dapat dihirup

seseorang mulai pada tingkat ekspirasi normal dan mengembangkan paru

sampai jumlah maksimum.

b. Kapasitas Residu Fungsional, sama dengan volume cadangan inspirasi +

volume residu. Besarnya ± 2300 ml, dan merupakan besarnya udara yang

tersisa dalam paru pada akhir eskpirasi normal.

c. Kapasitas Vital, sama dengan volume cadangan inspirasi + volume tidal +

volume cadangan ekspirasi. Besarnya ± 4600 ml, dan merupakan jumlah

udara maksimal yang dapat dikeluarkan dari paru, setelah terlebih dahulu

mengisi paru secara maksimal dan kemudian mengeluarkannya sebanyak-

banyaknya.

d. Kapasitas Vital paksa (KVP) atau Forced Vital Capacity (FVC) adalah

volume total dari udara yg dihembuskan dari paru-paru setelah inspirasi

maksimum yang diikuti oleh ekspirasi paksa minimum. Hasil ini didapat

setelah seseorang menginspirasi dengan usaha maksimal dan mengekspirasi

secara kuat dan cepat (Ganong, 2005).

7
e. Volume ekspirasi paksa satu detik (VEP1) atau Forced Expiratory Volume

in One Second (FEV1) adalah volume udara yang dapat dikeluarkan dengan

ekspirasi maksimum per satuan detik. Hasil ini didapat setelah seseorang

terlebih dahulu melakukakn pernafasan dalam dan inspirasi maksimal yang

kemudian diekspirasikan secara paksa sekuat-kuatnya dan semaksimal

mungkin, dengan cara ini kapasitas vital seseorang tersebut dapat

dihembuskan dalam satu detik.

f. Kapasitas Paru Total, sama dengan kapasitas vital + volume residu. Besarnya

± 5800ml, adalah volume maksimal dimana paru dikembangkan sebesar

mungkin dengan inspirasi paksa. Volume dan kapasitas seluruh paru pada

wanita ± 20 – 25% lebih kecil daripada pria, dan lebih besar pada atlet dan

orang yang bertubuh besar daripada orang yang bertubuh kecil dan astenis

(Guyton, 2011).

Tabel 1. Daftar nilai KVP dan VEP1 beserta interpretasinya

Klasifikasi Nilai
Normal KVP≥ 80%, VEP1/KVP≥75%

Gangguan Obstruksi VEP1< 80% nilai prediksi, VEP1/KVP< 70% nilai prediksi

Gangguan Restriksi Kapasitas Vital (KV)< 80% nilai prediksi, KVP<80%

Gangguan Campuran KVP< 80% nilai prediksi, VEP1/KVP< 75% nilai prediksi

Sumber: Price, 2014

Faktor utama yang mempengaruhi kapasitas vital adalah bentuk anatomi

tubuh, posisi selama pengukuran kapasitas vital, kekuatan otot pernafasan dan

pengembangan paru dan rangka dada. Volume udara normal dalam paru

bergantung pada bentuk dan ukuran tubuh. Posisi tubuh juga mempengaruhi

volume dan kapasitas paru, biasanya menurun bila berbaring, dan meningkat

bila berdiri. Perubahan pada posisi ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu

8
kecenderungan isi abdomen menekan ke atas melawan diafragma pada posisi

berbaring dan peningkatan volume darah paru pada posisi berbaring, yang

berhubungan dengan pengecilan ruang yang tersedia untuk udara dalam paru-

paru.

Fungsi paru dapat digolongkan menjadi dua yaitu gangguan fungsi paru

obstruktif (hambatan aliran udara) dan restriktif (hambatan pengembangan

paru). Seseorang dianggap mempunyai gangguan fungsi paru obstruktif bila

nilai VEP1/KVP kurang dari 70% dan menderita gangguan fungsi paru restriktif

bila nilai kapasitas vital kurang dari 80% dibanding dengan nilai standar

(Majumder, 2015)

9
BAB II

ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS

A. Kerangka/ Mind Mapping Teori

- Otot polos kontriksi


Paparan
- Sekresi kelenjar Peradangan
meningkat Mycobacterium
- Sekresi neuropeptide Tuberculosis pada
meningkat paru

Kaliber bronkus
menyempit Destroyed Lung

Gejala Klinis yang muncul:

Menurunnya kemampuan - Batuk darah


aktivitas fisik individu - Produksi lendir (sputum)
- Sesak napas
- Nyeri dada

Gambar 4. Kerangka/Mind Mapping Teori

B. Definisi

Destroyer Lung didefinikasan sebagai destruksi total parenkim paru sekunder

akibat inflamasi/infeksi kronis atau berulang, tumor atau kelainan vascular.

Tuberkulosis paru di kaitkan dengan penyakit-penyakit paru lainnya. Kerusakan paru

merupakan komplikasi TB jangka Panjang yang dapat terjadi akibat progresivitas PTB

primer atau reaktivasi TB (Hafsat Umar Ibrahin et all 2021). Sedangkan menurut

Hendra Herizal 2012 Destroyed lung merupakan kondisi yang jarang terjadi pada

anak-anak, dan mengakibatkan perubahan ireversibel pada parenkim paru.

10
C. Etiologi

Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya angka kematian pada pasien TB paru

adalah TB yang progresif dan pengobatan yang tidak adekuat, sehingga menyebabkan

komplikasi berupa tuberkulosis (TB) destroyed lung (Eren, 2003). Destroyed lung

merupakan penyebab kematian yang sering ditemukan pada pasien TB, sebanyak

83,3% kasus TB menjadi penyebab destroyed lung. Destroyed lung merupakan

komplikasi pada TB dengan gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan

jaringan paru berat yang terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis

parenkim paru. TB destroyed lung dihasilkan dari TB progresif selama bertahun-

tahun dan pengobatan yang tidak adekuat, dan biasanya mengarah pada obstruksi

bronkus dengan kombinasi kolaps distal, nekrosis dan infeksi sekunder/koinfeksi

(Hetti Rusmini, et all 2019).

D. Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) telah ada sejak ribuan tahun dan sampai dengan saat ini

masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat didunia didunia walaupun

upaya pengendalian dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-

course) telah diterapkan di banyak Negara sejak tahun 1995 (Hetti Rusmini et al,

2018). Lima negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China,

Philipina, dan Pakistan. Sebagian besar estimasi insiden TBC pada tahun 2016 terjadi

di Kawasan Asia Tenggara (45%) dimana Indonesia merupakan salah satu di

dalamnya dan 25% nya terjadi di kawasan Afrika. Badan kesehatan dunia

mendefinisikan negara dengan beban tinggi/high burden countries (HBC) untuk TBC

berdasarkan 3 indikator yaitu TBC, TBC/HIV, dan MDR-TBC. Terdapat 48 negara

yang masuk dalam daftar tersebut (Kemenkes, 2017).

11
Satu negara dapat masuk dalam salah satu daftar tersebut, atau keduanya,

bahkan bisa masuk dalam ketiganya. Indonesia bersama 13 negara lain, masuk dalam

daftar HBC untuk ke 3 indikator tersebut. ArtinyaIndonesia memiliki permasalahan

besar dalam menghadapi penyakit TBC. Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak

420.994 kasus pada tahun 2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin,

jumlah kasus baru TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan

pada perempuan. Bahkan berdasarkan survei prevalensi tuberculosis, prevalensi pada

laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di

negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada

faktor risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat.

Survei ini menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak

68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok (Kemenkes, 2017).

E. Patomekanisme

TB paru pada keadaan lanjut dapat menyebabkan penghancuran parenkim paru

yang progresif, luas dan ireversibel serta kerusakan pada fungsi paru. Foto toraks yang

menunjukkan penghancuran parenkim paru yang progresif, luas dan ireversibel akibat

TB paru disebut TB luluh paru. TB luluh paru (Destroyed lung) merupakan hasil dari

TB progresif kronis menahun serta pengobatan yang tidak adekuat dan dapat

menyebabkan obstruksi jalan napas kronis dengan kombinasi kolaps paru distal,

nekrosis dan infeksi sekunder. Hingga saat ini, tidak ada pedoman pengobatan tersedia

untuk pasien dengan TB luluh paru (Hetti Rusmini et all, 2018).

Patogenesis timbulnya sindrom obstruksi pada TB paru yang mengarah ke

timbulnya desktruksi jaringan paru oleh proses tuberculosis. Kemungkinan lain adalah

infeksi tuberculosis, dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan sehingga

menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas karena tertariknya neutrofil

12
kedalam parenkim paru, lalu makrofag aktif. Peradangan yang berlangsung lama ini

menyebabkan proses proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka

lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas menuju kerusakan paru

menahun dan mengakibatkan gangguan faal paru yang dapat dideteksi secara

spirometri (Aida, 2006). Mekanisme makrofag aktif yang menimbulkan peradangan

nonspesifik yang luas. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan gangguan

faal paru berupa adanya sputum, terjadinya perubahan pola pernapasan, relaksasi

menurun, perubahan postur tubuh, berat badan menurun, dan gerak lapang paru

menjadi tidak maksimal (Irawati, 2015).

Apabila tubuh terinfeksi mycobacterium tuberculosis maka sistem imun host

akan bekerja melawan infeksi tersebut. Akibatnya m.tuberculosis akan melepasan

komponen toksik ke dalam jaringan yang akan menginduksi hipersensitivitas seluler

sehingga akan meningkatkan respons terhadap antigen bakteri yang menimbulkan

kerusakan jaringan, nekrosis, dan penyebaran bakteri lebih lanjut (Sailaja, 2015).

Perjalanan dan interaksi imunologi dimulai ketika makrofag bertemu dengan

mycobacterium tuberculosis. Dalam keadaan normal, infeksi TB merangsang limfosit

T untuk mengaktifkan makrofag sehingga dapat lebih efektif membunuh bakteri.

Makrofag aktif melepaskan IL-1 yang merangsang limfosit T. Limfosit T melepaskan

IL-2 yang selanjutnya merangsang limfosit T lain untuk bereplikasi, matang, dan

memberi respons lebih baik terhadap antigen. Limfosit T supresi (TS) mengatur

keseimbangan imunitas melalui peranan yang kompleks dan sirkuit imunologik. Bila

TS berlebihan seperti pada TB progresif, maka keseimbangan imunitas terganggu

sehingga timbul anergi dan prognosis jelek. Pada makrofag aktif, metabolisme

oksidatif meningkat dan melepaskan zat bakterisidal seperti anion superoksida,

hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil yang menimbulkan kerusakan pada

13
membran sel dan dinding sel myobacterium tuberculosis. Beberapa hasil infeksi

myobacterium tuberculosis dapat bertahan dan tetap mengaktifkan makrofag sehingga

tetap terjadi proses infeksi yang dapat mendestruksi matriks alveoli. Diduga proses

proteolisis dan oksidasi sebagai penyebab destruksi matriks di mana proteolisis

mendestruksi protein yang membentuk matriks dinding alveoli oleh protease,

sedangkan oksidasi berarti pelepasan elektron dari suatu molekul. Kehilangan

elektron pada suatu struktur mengakibatkan fungsi molekul akan berubah (Aida,

2016). Sasaran oksidasi adalah protein jaringan ikat, sel epitel, sel endotel, dan anti

protease. Sel neutrofil melepas beberapa protease, yaitu: 1) Elastase, yang paling kuat

memecah elastin dan protein jaringan ikat lain sehingga sanggup menghancurkan

dinding alveoli; 2) Catepsin G, menyerupai elastase, tetapi potensinya lebih rendah

dan dilepas bersama elastase; 3) Kolagenase, cukup kuat tetapi hanya bisa memecah

kolagen tipe I, bila sendiri tidak dapat menimbulkan emfisema; 4) Plasminogen

aktivator, urokinase dan tissue plasmin activator yang merubah plasminogen menjadi

plasmin. Plasmin selain merusak fibrin juga mengaktifkan proenzim elastase dan

bekerjasama dengan elastase. Oksidan merusak alveoli melalui beberapa cara

langsung, seperti peningkatan beban oksidan ekstraseluler yang tinggi dengan

merusak sel terutama pneumosit I, modifikasi jaringan ikat sehinggalebih peka

terhadap proteolisis, berinteraksi dengan 1-antitripsin sehingga daya antiproteasenya

menurun (Aida, 2016). Tuberkulosis paru merupakan infeksi menahun sehingga

sistem imun diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya beban proteolisis dan beban

oksidasi sangat meningkat untuk waktu lama sehingga destruksi matriks alveoli cukup

luas menuju kerusakan paru menahun (kronik) dan gangguan faal paru yang akhirnya

dapat dideteksi dengan spirometri (Isselbacher, 2013).

14
F. Manifestasi Klinis

Pasien dengan TB destroyed lung memiliki manifestasi klinis serupa dengan

penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) tetapi berbeda patofisiologinya. Manifestasi

klinis dari TB destroyed lung ini adalah dispnea progresif, hemoptisis dan penurunan

berat badan. Penyebab kematian pada TB destroyed lung adalah hemoptisis massif

dan gagal napas. Obstruksi pernapasan pada pasien TB destroyed lung merupakan

manifestasi dari rusaknya beberapa fitur anatomi paru, misalnya keruksakan bronkus

akibat fibrosis yang luas atau striktur endobronkial. Selain itu, adanya proses fibrosis

pada pasien TB destroyed lung juga mengakibatkan pengurangan volume paru. Salah

satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat keadaan malnutrisi adalah serum

albumin. Albumin merupakan protein utama dalam plasma manusia dan membentuk

sekitar 60% protein plasma total. Sekitar 40% albumin terdapat dalam plasma dan

60% sisanya terdapat di ruang ekstrasel. Kadar serum albumin rendah merupakan

prediktor penting dari mordibitas dan mortalitas (Hetty Rusmini et all, 2019).

G. Pemeriksaan dan Penegakkan Diagnosis

Diagnosis tuberculosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan

pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi dua

yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik.

a. Gejala respiratorik meliputi batuk yang sudah lebih 2-3 minggu. Batuk dapat berupa

batuk kering, batuk dengan sputum, hingga batuk darah. Selain itu, gejala

respiratorik yang lainnya seperti sesak napas dan nyeri dada.

b. Gejala sistemik meliputi demam yang biasanya menyerupai demam influenza, tapi

kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-410C. Gejala sistemik yang lain

berupa malaise, keringat malam, anorexia, dan berat badan yang menurun (PDPI,

2016).

15
Pemeriksaan fisis tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas

kelainan struktur paru. Pada permulaan perkembangan penyakit umumnya tidak (atau

sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah

lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior, serta daerah apex lobus

inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial,

amforik, suara napas melemah, ronki basah,tanda-tanda penarikan paru, diafragma &

mediastinum (PDPI, 2016).

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memastikan kelainan yang ditemukan

berupa pemeriksaan radiologi dan laboratorium. Pemeriksaan foto toraks merupakan

cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberculosis, walaupun dengan harga yang

lebih mahal karena beberapa keuntungan yang dimilikinya. Disamping itu,

pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah darah rutin. Pemeriksaan

darah mempunyai hasil yang tidak sensitif dan spesifik. Selain itu, dapat dilakukan tes

tuberculin. Pemeriksaan ini masih banyak digunakan untuk mendiagnosis tuberculosis

terutama pada anak-anak atau balita. Pemeriksaan penunjang yang menjadi gold

standart adalah pemeriksaan sputum BTA. Pemeriksaan ini mampu mendiagnosis dan

mengevaluasi pengobatan yang telah diberikan. Kriteria sputum BTA positif apabila

sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA dalam satu sediaan. Dengan

kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam satu sputum (Amin & Bahar, 2014).

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-

tanda (PDPI, 2009) :

1) Tanda-tanda infiltrat (redup, bronkial, ronki basah, dan lain-lain),

2) Tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum,

3) Sekret di saluran nafas dan ronki, dan

16
4) Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan

bronkus.

b. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, limfositosis)

c. Pemeriksaan sputum BTA

Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya

kuman tuberkulosis. Semua suspek tuberkulosis diperiksa 3 spesimen dahak dalam

waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).

1) S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis datang berkunjung

pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk

mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

2) P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun

tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di Fasilitas

pelayanan kesehatan.

3) S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan

dahak pagi (Depkes RI, 2011).

d. Pemeriksaan BACTEC merupakan dasar teknik pemeriksaan biakan dengan

BACTEC ini adalah metode radiometrik. Sistem ini dapat menjadi salah satu

alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan

diagnosis dan melakukan uji kepekaan. Bentuk lain teknik ini adalah dengan

menggunakan Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT) (PDPI, 2016).

e. Uji Peroksidase Anti Peroksidase(PAP) merupakan salah satu jenis uji yang

mendeteksi reaksi serologi yang terjadi. Dalam menginterpretasi hasil

pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak

variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi (PDPI, 2016).

17
f. Uji Immunochromatographic Tuberculosis (ICT) merupakan uji serologi untuk

mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Apabila serum mengandung

antibodi IgG terhadap m.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan

antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila

setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen

pada membran (PDPI, 2016).

g. Tes Mantoux/Tuberkulin dimana bila uji tuberkulin positif, menunjukkan adanya

infeksi TB dan kemungkinan ada TB aktif pada anak. Namun, uji tuberculin dapat

negatif pada anak TB berat dengan alergi (malnutrisi, penyakit sangat berat, dll).

Jika uji tuberkulin meragukan dilakukan uji silang.

h.Teknik Polymerase Chain Reaction. Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui

amplifikasi dalam berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya ada

1 mikroorganisme dalam spesimen. Juga dapat mendeteksi adanya resistensi

(PDPI, 2016).

i. Foto toraks PA dan lateral.

Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis tuberkulosis, yaitu :

1) Bayangan lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah,

2) Bayangan berawan (patchy) atau bercak (nodular),

3) Adanya kavitas, tunggal atau ganda,

4) Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru,

5) Adanya kalsifikasi,

6) Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian, dan

7) Bayangan milier. Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya

berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu

memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi

18
overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan

aktifitas penyakit.

Dibawah ini adalah Contoh kasus foto thoraks dan CT Scant Destroyed left

lung

A B

Gambaran : Foto Thoraks

Foto toraks A dan B berturut-turut adalah foto toraks proyeksi AP dan lateral

kiri; tampak bayangan rongga lusen bersepta multipel, berdinding tebal disertai

perbercakan di sekitarnya di lapang atas sampai bawah paru kiri.

Gambar : CT Scan thoraks

CT Scan Thoraks dengan kontras; pada lung window tampak Lesi kistik

multiple berbagai macam ukuran, berdiameter 0,5-3 cm dengan sebagian

dinding yang menebal di hampir seluruh paru kiri disertai bagain padat di

posteriornya yang menyebabkan diafragma kiri terdorong ke inferior; Infiltrat

19
dengan gambaran ground glass di seluruh lapang paru kanan; tidak tampak

pembesaran KGB

Selanjutnya pasien didiagnosis dengan bronkopneumonia + suspek TB paru +

Marasmus + Hiponatremia + Anemia ec underlying disease + suspek

Congenital Cystic Adenomatoid Malformation seta didiagnosis banding

dengan destroyed left lung, dan pasien direncanakan untuk dilakukan

torakotomi kiri.

H. Diagnosis Banding

Diagnosis banding dekstroyed lung diantaranya adalah :

1. Congenital cyst adenomatoid malformation

2. Tuberkulosis empyema

3. Stenosis bronchia

I. Penatalaksanaan Fisioterapi

Adapun teknologi fisioterapi yang digunakan penulis pada kondisi destroyed

lung diantaranya:

1. Terapi O2 (oksigen)

Terapi oksigen (O2) merupakan suatu intervensi medis berupa upaya pengobatan

dengan pemberian oksigen (O2) untuk mencegah atau 21 memperbaiki hipoksia

jaringan dan mempertahankan oksigenasi jaringan agar tetap adekuat dengan cara

meningkatkan masukan oksigen (O2) ke dalam sistem respirasi. Tujuan pemberian

terapi oksigen, yaitu meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga

masuk ke jaringan untuk memfasilitasi metabolisme aerob, dan mempertahankan

PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 > 90% untuk mencegah dan mengatasi

hipoksemia/hipoksia serta mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat.

Menurunkan kerja napas dan miokard, serta menilai fungsi pertukaran gas. Terapi

20
oksigen merupakan salah satu terapi pernapasan dalam mempertahankan

oksigenasi. Tujua terapi oksigen untuk mengatasi keadaan hipoksemia,

menurunkan kerja pernapasan dan menurunkan beban kerja otot jantung (miokard).

2. Micro Wave Diathermy (MWD)

Micro Wave Diathermy (MWD) adalah salah satu terapi heating yang

menggunakan stressor fisis berupa energi elektromagnetik yang dihasilkan oleh

arus bolak balik frekuensi 2450 MHz dengan panjang gelombang 12,25 cm.

Pengurangan rasa nyeri dapat diperoleh melalui efek stressor yang menghasilkan

panas. Juga melalui mekanisme nociceptor. Pada cedera jaringan dihasilkan

produk-produk yang merangsang nociceptor seperti prostaglandin dan histamine.

3. Nebulizer

Nebulizer adalah alat yang digunakan untuk mengubah obat dalam bentuk cairan

menjadi aerosol stabil. Bersamaan dengan cairan dapat dapat diberikan juga obat

bronkodilator atau kortikosteroid. Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan

hal yang pertama diberikan dengan tujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan

mencegah keadaan yang mengancam jiwa (Balte et al., 2020).

4. Chest Fisioterapi

Chest Fisioterapi yaitu upaya untuk membersihkan jalan napas dari mukus/

sekresi yang berlebih. Chest fisioterapi terdiri dari breating exercise, postural

drainage, perkusi/ tapotement, batuk efektif dan active exercise (Malesker et al.,

2020).

5. Breathing exercise

Breathing exercise merupakan salah satu tekhnik yang digunakan untuk

membersihkan jalan nafas, merangsang terbukanya system collateral,

meningkatkan distribusi ventilasi, dan meningkatkan volume paru. Tekhnik yang

21
digunakan meliputi :Diaphragmatic Breathing Exercise, Pursed Lip Breathing, dan

Segmental Costal Breathing Exercise(Mahler & Croitoru, 2019).

Pursed lip breathing merupakan salah satu latihan pernapasan guna

mengurangi sesak napas dan mengurangi kerja dari suatu pernapasan, yang

dibarengi dengan pernapasan diafragma Selain itu, breathing control merupakan

latihan pernapasan yang dapat meningkatkan volume paru, mempertahankan

alveolus agar tetap mengembang, meningkatkan oksigenasi, membantu

membersihkan sekresi mukosa, mobilitas sangkar toraks dan meningkatkan

kekuatan, daya tahan dan koordinasi otot-otot respirasi, meningkatkan efektifitas

mekanisme batuk, mempertahankan atau meningkatkan mobilitas chest dan

thoracal spine, koreksi pola-pola napas yang abnormal, dan meningkatkan

relaksasi (Tolba et al., 2021)

6. Mobilisasi lingkar thoraks

Mobilisasi sangkar toraks adalah suatu bentuk latihan aktive movement pada

trunk dan extremitas yang dilakukan dengan deep breathing yang bertujuan untuk

meningkatkan mobilitas trunk dan shoulder yang mempengaruhi respirasi serta

memperkuat kedalaman inspirasi dan ekspirasi (Visca et al., 2019)

7. Coughing exercise

Coughing exercise atau batuk efektif merupakan suatu metode batuk dengan

benar, dimana pasien dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah dan

dapat mengeluarkan dahak secara maksimal dari jalan napas dan area paru. Selain

itu coughing exercise menekankan inspirasi maksimal yang dimulai dari ekspirasi.

Adapun tujuan dilakukannya tindakan coughing exercise adalah merangsang

terbukanya sistem kolateral, meningkatkan distribusi ventilasi, dan meningkatkan

volume paru serta memfasilitasi pembersihan saluran napas yang memungkinkan

22
pasien untuk mengeluarkan sekresi mukus dari jalan napas (Mahler & Croitoru,

2019).

8. IR (Infra Red)

Modalitas Infra Red Luminous dengan penetrasi mencapai jaringan subkutan

yaitu epidermis dan dermis. Pemberian Infra Red Luminous diberikan dengan

intensitas sesuai dengan toleransi dari pasien tersebut, dimana pasien merasakan

hangat pada area yang diterapi. Penyinaran diberikan secara tegak lurus pada area

yang diterapi pada jarak 30-45 cm dan dengan dosis terapi selama 10-15 menit

(Tolba et al., 2021).

J. Kerangka/ mind mapping Teknologi Fisioterap

Pemeriksaan Fisik
- Auskultasi Gejala Klinis:
- Fremitus - Batuk/batuk darah
- Perkusi - Sesak napas
- Lingkar thoraks - Nyeri dada
- NYHA, MET,HRS-A, - Wheezing/Ronkhi
Indeks Barthel, Skala
Borg, dan Six Minutes
Walking Test Destroyed Lung

Problem FT
- Sesak napas
Modalitas Terpilih
- Batuk berdahak
- Spasme otot pernapasan - MWD
- Keterbatasan mobilisasi thorak - Breathing Exercise
- Gangguan Postur
- Chest terapi
- Gangguan ADL
- Terapi O2
- Six Minutes Walking Exercise
Meningkatkan kemampuan - Nebulizer
- Streatching Exercise
aktivitas fisik individu
Gambar 6. Kerangka/Mind Mapping Teknologi

Fisioterapi

23
BAB III

MANAJEMEN FISIOTERAPI

A. Data Umum Pasien

Nama : Tn. Surianto

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 43 tahun/12/07/1978

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jl. Rappo-rappo

No RM : 039148

Agama :-

Hobby :-

Tanggal Pemeriksaan : 29 November 2021

Vital Sign

Tekanan Darah : 110/90 mmHg

Denyut Nadi : 71 kali per menit

Pernapasan : 24 kali per menit

Saturasi Oksigen : 99 %

Berat Badan : 73 Kg

Tinggi Badan : 171 cm

B. Assesment

1. Keluhan Utama

Sesak napas setelah beraktivitas.

2. Riwayat Penyakit

- Tahun 1998 pasien di diagonosa TB paru dan mendapat pengobatan 6 bulan

- Tahun 2005 TB paru kambuh lagi dan mendapatkan pengobatan TB paru

24
- Tahun 2011 pasien pertama kali batuk berdarah

- Tahun 2021 di diagnose oleh dokter Destroyed lung

- Saat ini pasien masi menjalankan fisioterapi di Poliklinik BBPKM.

3. Inspeksi: Statis

a. Postur Kifosis

b. Pola nafas dalam

c. Bentuk dada normal

d. Ekspansi dada cenderung terbatas

e. Protraksi Shoulder

Fase ekspirasi lebih lama

Inspeksi: Dinamis

a. Pola jalan normal

b. Sedikit kifosis

4. Palpasi

a. Tenderness : -

b. Spasme : M. Trapezius, SCM, Scaleni, serratus anterior

c. Suhu : Normal

d. Kontur : Normal

5. Kemampuan Fungsional dan Lingkungan Aktivitas

Terganggu saat beraktivitas ringan, berjalan lama dan naik turun tangg

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Hasil Laboratorium 15 Agustus 2019

No Parameter Hasil Rentang Normal Interpretasi


1 WBC 6,94 4,00-10,00
2 Neu% 60,4 % 50-70%
3 Lym% 33,0 % 20-40%
4 Eos% 1,9 % 0,5-5%

25
5 RBC 5,01 3,50-5,50
6 HGB 14,3 g/dL 11-16 g/dL
7 PLT 243 100-300
Interpretasi: Mengindikasikan adanya proses inflamasi/ respon peradangan

b. Hasil Radiologi 07 April 2021

• Destroyed Lung

• Cor sulit dinilai

• Sinus dan diafragma baik

• Tulang intak

C. Pemeriksaan Spesifik FT

1. Derajat Sesak

Hasil :8

Interpretasi : Sesak napas sangat berat

2. Mobilitas Sangkar Thoraks

Selisih
Titik Ukur Inspirasi Awal Ekspirasi
Insp Eksp

Axilla 96 95 94 1 1

P. Mamas 100 99 98 1 1

Xypoid 98 96 97 1 1

Interpretasi: Pasien mengalami keterbatasan ekpansi thoraks.

3. Auskultasi

Kiri Kanan
Spirometri
Vas Ronchi Whes Vas Ronchi Whes

Apical

Mild Zone √ √

Low Zone √ √

26
Posterior √ √

Interpretasi : Terdapat penyempitan jalan napas pada lobus apical paru sinistra.

4. Spirometri

Best Pred %Pred

FVC 2.03 4.37 46.44

FEV1 1.05 3.61 29.16

FEV1/FVC 51.80 79.42 65.22

Interpretasi : Obstructive Abnormality: Very Severe

5. Pemeriksaan Panjang Otot

M. Pectoralis Major : Tidak Normal

M. Pectoralis Minor : Tidak Normal

M. Upper Trapezius : Tidak Normal

M. Sterno Cleido Mastoideus : Tidak Normal

6. Pemeriksaan Nyeri

Nyeri dada saat batuk dan beraktivitas dengan skala Vas: 3 (Nyeri ringan)

7. AQLQ Modifikasi - Kusioner Kualitas Hidup

Hasil Poin Penilaian AQLQ:

1) Batuk =3

2) Sesak napas =2

3) Terbangun pada malam/pagi hari karena asma = 4

4) Khawatir tidak mendapatkan obat = 4

5) Terganggu karena cuaca (dingin/panas) = 3

6) Keadaan Asma mengganggu perkerjaan = 1

7) Keadaan Asma mengganggu ADL = 3

8) Keadaan Asma mengganggu Aktivitas Olahraga = 5

27
9) Keadaan Asma mengganggu Aktivitas Sosial = 4

8. Pemeriksaan Toleransi Aktivitas

Parameter : 6 Minute Walking Test (jarak 20 meter)

Hasil : VO2Max: 41

Hasil : METs 1,17 = Rendah

D. Diagnosa FT

a. Impairment

Body Structure. Spasme pectoralis mayor dan minor, upper trapezius, protracted

shoulder, dan kyphosis

Body Function Sesak napas, retensi sputum, nyeri dada, dan keterbatasan

ekspansi thoraks

b. Functional Limitation

ADL mandiri namun sesak saat beraktivitas ringan (berjalan)

c. Disability : tidak ditemukan (-)

E. ProgramFisioterapi

Tabel 2. Program Intervensi Fisioterapi

No Problem Fisioterapi Modalitas Fisioterapi Dosis


.
1. Metabolic Stress Reaction Electrotherapy F : 1x/10 hari
(MWD) I : 30 cm di atas kulit
T : local (toraks bagian
anterior)
T : 10 menit
2. Nyeri Tens F : 1x/10 hari
I : freq. 80Hz & int. 30 mA
T : local (toraks bagian
anterior)
T : 10 menit
3. Sesak napas dan penurunan Oksigen(o2) F: 1x/10 hari
mobilitas toraks Nebulizer I: 8 hitungan, 3x repetisi
Exercise Therapy T: Segmental Breathing exc
T: 2 menit
F: 1x/10 hari
I: 8 hitungan, 3x repetisi
T: Pursed Lip Breathing exc
T: 2 menit

28
F: 1x/10 hari
I: 8 hitungan, 3x repetisi
T: Diaphragmatic Breathing
exc
T: 2 menit
F: 1x/10 hari
I: 8 hitungan, 3x repetisi
T: Active Shoulder Flex &
Abduction
T: 2 menit
4. Spasme otot Stretching Exercise F : 1x/10 hari
I : 8 hit 3 rep
T : Stretching Otot
Aksesoris Pernapasan
(SCM, Pectoralis,
scalene, dan trapezius)
T : 3 menit
5. Gangguan postur (Protraksi Exercise Therapy F : 1x/10 hari
dan Kyphosis) I : 8 hit 3 rep
T : Active Shoulder
Retraction & Bugnet exc
T : 3 menit
6. Retensi sputum Exercise Therapy F: 1x/10 hari
I: Senyamannya Pasien
T: Postural Drainage Right
Apical Segment (Semi-
Lying)
T: Selama terapi

F: 1x/10 hari
I: 5 kali pengulangan
T: Huffing
T: Toleransi Pasien
7. Gangguan ADL Exercise Therapy F: 1x/10 hari
I: Toleransi pasien
T: Edukasi Home Exercise
T: Toleransi pasien
Sumber: Data Primer, 2021

F. Evaluasi dan Modifikasi Fisioterapi

Adapun hasil evaluasi dan modifikasi terhadap program fisioterapi yang telah
diberikan pada klien tersebut, adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Evaluasi Fisioterapi
Evaluasi Sesaat
Problem Interpretasi
No Parameter Kategori Sebelum Setelah
FT
Intervensi Intervensi
Kapasitas Tekanan 110/90
1. Vital sign -
fungsi Darah mmHg

29
cardio- 71 Tidak
pulmonal Denyut Nadi -
kali/menit dilakukan

1 (inspirasi)
1 cm Upper chest 1
(ekspirasi)
1(inspirasi) Tidak
Lingkar
2. 1 cm Middle chest 1 dilakukan
toraks
(ekspirasi)
1 (inspirasi)
1 cm Lower chest 1
(ekspirasi)
Sesak Sesak napas
5. Borg Scale - 8 8 sangat berat
napas

Gangguan Tidak
6. Inspeksi - Kifosis - dilakukan
Postur
Gangguan Tidak
6 minutes
7. ADL - 20 m - dilakukan
walking test
berjalan

Tabel 4. Modifikasi Fisioterapi


No Problem Fisioterapi Modalitas FT Dosis
F:1x sehari
I: 10 hitungan, 5x repetisi
Breathing
1 Sesak Napas T: Diaphragmatic Breathing
Exercise
exc dan control breathing
T: 7 menit
F : 1x/hari
I : 10 hit 3 rep
2 Ekspansi Toraks Exercise Threapy T : Active Shoulder Movement +
Breathing Exercise
T : toleransi pasien
Sumber: Data Primer, 2021

G. Home Program

Pasien diberikan edukasi berupa latihan pernapasan, dan latihan berjalan untuk

meningkatkan kebugaran pasien dengan dosis sebagai berikut:

1. Purse Lip Breathing Exercise

30
F : 1x sehari

I : 8 hitungan, 3x repetisi, 2 set

T : Bernapas melalui hidung sambil mengangkat tangan ke atas lalu membuang

napas melalui mulut sambil menurunkan tangan dengan menggunakan

pernapasan perut

T : 3 menit

2. Latihan bejalan

F : 2x/hari

I : toleransi pasien

T : Pasien berjalan selama 6 menit jika merasa sesak dan lelah maka latihan

berjalan dihentikan

T : Toleransi pasien

H. Kemitraan

Melakukan kolaborasi atau kemitraan dalam rangka memberikan layanan prima

kepada pasien, di antaranya:

a. Dokter Spesialis Paru

Kolaborasi dan kemitraan dengan dokter spesialis paru sangat penting dalam hal

mengenali kondisi umum, tanda dan gealah, patofisiologi pasien, serta dalam

peresepan obat.

b. Dokter Radiologi

Hasil radiologi memegang peran yang penting, terutama dalam kasus yang

berhubungan dengan organ dalam, seperti paru. Hasil radiologi dapat

menyaikan gambaran paru pasien yang dapat menunjang dalam penetapan

diagnosis pasien. Pada kasus ini pasien belum memiliki hasil radiologi.

c. Ilmu Gizi

31
Seorang ahli gizi sangat dibutuhkan dalam mengontrol status gizi seorang

pasien dan menyarankan pola makan dan jenis-jenis makanan dengan

kandungan yang sesuai guna meningkatkan gizi pasien.

d. Apoteker

Kolaborasi dengan apoteker sangat penting terkait pemberian, peracikan dan

penetapan dosis obat kepada pasien.

e. Psikologi

Kehadiran psikolog sangat penting dalam memberikan motivasi dan dorongan

batin kepada pasien, guna menurunkan tingkat kecemasan pasien.

32
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI. (2020). Laporan
Kinerka Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. 206. Retrieved
from https://e-renggar.kemkes.go.id/file2018/e-performance/1-465827-3tahunan-768.pdf

Mahler, B., & Croitoru, A. (2019). Pulmonary rehabilitation and tuberculosis: A new approach
for an old disease. Pneumologia, 68(3), 107–113. https://doi.org/10.2478/pneum-2019-
0024

Majumder, N. (2015). Physiology of respiration. International Anesthesiology Clinics, 1(2),


333–349. https://doi.org/10.1097/00004311-196302000-00001

Prastyanto, D., & Kushartanti, W. (2016). Pengaruh Latihan Pernafasan Buteyko Terhadap
Arus Puncak Ekspirasi (APE) Pada Penderita Asma. Medikora, 15(2).

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2016. PPOK. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika.

Puspasari, F. (2019). Asuhan keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan.
Jakarta: Pustaka Baru Press.

Rasjid, H. (2018). Asma dan Sindrom Metabolik. Healthy Tadulako, 4(3).

Sumaryati, E. (2016). Buku Ajar Sistem Respirasi. Jakarta: EGC.

Sutrisna, M., Pranggono, E. H., & Kurniawan, T. (2018). Pengaruh Teknik Pernapasan
Buteyko terhadap ACT. Jurnal Keperawatan Silampari.
https://doi.org/10.31539/jks.v1i2.22

Sari, LWI. 2015. Perbedaan Nilai Arus Puncak Ekspirasi Sebelum Dan Sesudah Pelatihan
Senam Lansia Menpora Pada Kelompok Lansia Kemuning, Banyumanik. Semarang

Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC.

Snell, R.S. 2012. Anatomi Klinik Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC.

Yunus, I. P. P. F. (2013). Anatomi dan Fisiologi Pleura. Jakarta: Departemen Pulmonologi Dan
Ilmu Kedokteran Respirasi.

33

You might also like