You are on page 1of 28

Laporan pendahuluan

Askep Keperawatan Lansia dengan DM

DISUSUN OLEH :

Nama : Lydia Putri Ayu Ningsih


NIM : 19022

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DR.
SISMADI
TA 2021/2022
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan
kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan laporan pendahuluan ini. Atas rahmat
dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan laporan pendahuluan yang berjudul
“Diabetes Melitus Ulkus“ tepat waktu.
Laporan pendahuluan “Diabetes Melitus Ulkus “ disusun guna memenuhi
tugas Praktek Klinik di STIKes dr.Sismadi. Selain itu, penulis juga berharap agar
makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang “Diabetes Melitus
Ulkus “.
Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu selaku
dosen mata kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Saya juga mengucapkan terima kasih
pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Saya menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan laporan
ini.

Lydia Putri Ayu Ningsih

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah(hiperglikemia) akibat
kerusakan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (smelzel dan
Bare,2015). Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit atau
gangguan metabolik dengan karakteristik hipeglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi urin, kerja insulin, atau kedua – duanya ( ADA,2017)
Data World Health Organization (2015) telah mencatat Indonesia dengan
populasi 230 juta jiwa, menduduki kedudukan keempat di dunia dalam hal
jumlah penderita diabetes terbesar setelah Cina, India, dan Amerika Serikat.
Bahkan Kementerian Kesehatan menyebut prevalensi diabetes mencapai
14,7% di perkotaan dan 7,2 % di pedesaan. Dengan asumsi penduduk
berumur di atas 20 tahun pada 2010 mencapai 148 juta jiwa, diperkirakan ada
21,8 juta warga kota dan 10,7 juta warga desa menderita diabetes.
Menurut American Diabetes Asociation (ADA,2015), DM dapat di
klasifikasikan menjadi beberapa tipe yakni, DM tipe 1, DM tipe 2,Dm
gestasional. Beberapa tipe yang ada, DM tipe 2 merupakan salah satu jenis
yang paling banyak ditemukan yaitu lebih dari 90-95%. Dimana faktor
pencetus dari DM tipe 2 yakni berupa obesitas, mengosumsi makanan
instan,terlalu banyak makan karbohidrat, merokok dan stres, kerusakan pada
sel prankreas dan kelainan hormonal.
Menurut International Diabetes Federation (IDF), pada tahun 2015
terdapat 415 juta (8,8%) penderita DM di seluruh dunia dan diprediksikan
angka tersebut akan terus bertambah menjadi 642 juta (10,4%) penderita DM
tahun 2040. Sedangkan jumlah estimasi penyandang DM di Indonesia
diperkirakan sebesar 10 juta yang menempatkan Indonesia dalam urutan ke-7
tertinggi di dunia bersama China, India, Amerika Serikat, Brazil, Rusia, dan
Meksiko (IDF, 2015). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) tahun 2017, prevalensi Diabetes Melitus di Indonesia
berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter sebesar 2,5 % .DM
terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 3,0 %. (Kemenkes, 2017). Sementara ,
diSumatra Barat diperkirakan sebanyak 3,4 juta jiwa menderita penyakit
diabetrs tipe II. Selain itu prevalensi nasional, Sumatra Barat memiliki
prevalensi total DM sebanyak 1,5% dimana berada diurutan 16 dari 33
provinsi di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian masalah pada latar belakang diatas, maka rumusan
masalah sebagai berikut:
‘Bagaimana Asuhan Keperawatan Lansia Dengan DM”

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Agar mampu melakukan asuhan keperawatan pada lansia dengan penyakit
DM
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada lansia
yang mengalami gangguan rasa nyaman (nyeri).
b. Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada lansia
DM.
c. Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada lansia
yang mengalami risiko jatuh.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi Lansia
Lansia atau menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang menyebabkan
penyakit degenerative misal, hipertensi, arterioklerosis, diabetes mellitus dan kanker
(Nurrahmani, 2012)

B. Klasifikasi Lansia
Departemen Kesehatan RI (dalam Mubarak et all, 2006) membagi
lansia sebagai berikut:
1. Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa vibrilitas

2. Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai presenium

3. Kelompok usia lanjut (65 tahun >) sebagai senium

Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi (2009) batasan-batasan


umur yang mencakup batasan umur lansia adalah sebagai berikut:
1. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1
ayat 2 yang berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia
60 (enam puluh) tahun ke atas”.
2. Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi menjadi
empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun,
lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90
tahun, usia sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun.
3. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu :
pertama (fase inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah
40-55 tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase
senium) ialah 65 hingga tutup usia. d. Menurut Prof. Dr. Koesoemato
Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric age): > 65 tahun atau 70 tahun.
Masa lanjut usia (getiatric age) itu sendiri dibagi menjadi tiga batasan
umur, yaitu young old (70-75 tahun), old (75-80 tahun), dan very old ( >
80 tahun).
C. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia
Menurut Mubarak et all (2006), perubahan yang terjadi pada lansia
meliputi perubahan kondisi fisik, perubahan kondisi mental, perubahan
psikososial, perubahan kognitif dan perubahan spiritual.
1. Perubahan kondisi fisik meliputi perubahan tingkat sel sampai ke semua
organ tubuh, diantaranya sistem pernafasan, pendengaran, penglihatan,
kardiovaskuler, sistem pengaturan tubuh, muskuloskeletal,
gastrointestinal, genitourinaria, endokrin dan integumen.
a. Keseluruhan
Berkurangnya tinggi badan dan berat badan, bertambahnya fat-to-
lean body mass ratio dan berkuranya cairan tubuh.
2. Sistem integumen
Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak, kulit kering dan kurang
elastis karena menurunnya cairan dan hilangnya jaringan adiposa, kulit
pucat dan terdapat bintik-bintik hitam akibat menurunnya aliran darah ke
kulit dan menurunnya sel-sel yang memproduksi pigmen, kuku pada jari
tangan dan kaki menjadi tebal dan rapuh, pada wanita usia > 60 tahun
rambut wajah meningkat, rambut menipis atau botak dan warna rambut
kelabu, kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya. Fungsi kulit
sebagai proteksi sudah menurun
a. Temperatur tubuh
Temperatur tubuh menurun akibat kecepatan metabolisme yang
menurun, keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat
memproduksi panas yang banyak diakibatkan oleh rendahnya
aktifitas otot.
b. Sistem muskular
Kecepatan dan kekuatan kontraksi otot skeletal berkurang,
pengecilan otot akibat menurunnya serabut otot, pada otot polos
tidak begitu terpengaruh.
c. Sistem kardiovaskuler
Katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung
memompa darah menurun 1% per tahun. Berkurangnya cardiac
output, berkurangnya heart rate terhadap respon stres, kehilangan
elastisitas pembuluh darah, tekanan darah meningkat akibat
meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer, bertaTn. Sanjang
dan lekukan, arteria termasuk aorta, intima bertambah tebal,
fibrosis.
d. Sistem perkemiha
Ginjal mengecil, nephron menjadi atropi, aliran darah ke ginjal
menurun sampai 50 %, filtrasi glomerulus menurun sampai 50%,
fungsi tubulus berkurang akibatnya kurang mampu mempekatkan
urin, BJ urin menurun, proteinuria, BUN meningkat, ambang ginjal
terhadap glukosa meningkat, kapasitas kandung kemih menurun 200
ml karena otot-otot yang melemah, frekuensi berkemih meningkat,
kandung kemih sulit dikosongkan pada pria akibatnya retensi urin
meningkat, pembesaran prostat (75% usia di atas 65 tahun),
bertambahnya glomeruli yang abnormal, berkurangnya renal blood
flow, berat ginjal menurun 39-50% dan jumlah nephron menurun,
kemampuan memekatkan atau mengencerkan oleh ginjal menurun.
e. Sistem pernafasan
Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku,
menurunnya aktifitas cilia, berkurangnya elastisitas paru, alveoli
ukurannya melebar dari biasa dan jumlah berkurang, oksigen arteri
menurun menjadi 75 mmHg, berkurangnya maximal oxygen uptake,
berkurangnya reflek batuk.
f. Sistem gastrointestinal
Kehilangan gigi, indera pengecap menurun, esofagus melebar, rasa
lapar menurun, asam lambung menurun, waktu pengosongan
lambung menurun, peristaltik melemah sehingga dapat
mengakibatkan konstipasi, kemampuan absorbsi menurun, produksi
saliva menurun, produksi HCL dan pepsin menurun pada lambung.
g. Rangka tubuh
Osteoartritis, hilangnya bone substance.
h. Sistem penglihatan
Korne lebih berbentuk sferis, sfingter pupil timbul sklerosis dan
hilangnya respon terhadap sinar, lensa menjadi keruh, meningkatnya
ambang pengamatan sinar (daya adaptasi terhadap kegelapan lebih
lambat, susah melihat cahaya gelap), berkurangnya atau hilangnya
daya akomodasi, menurunnya lapang pandang (berkurangnya luas
pandangan, berkurangnya sensitivitas terhadap warna yaitu
menurunnya daya membedakan warna hijau atau biru pada skala
dan depth perception).
i. Sistem pendengaran
Presbiakusis atau penurunan pendengaran pada lansia, membran
timpani menjadi atropi menyebabkan otoklerosis, penumpukan
serumen sehingga mengeras karena meningkatnya keratin,
perubahan degeneratif osikel, bertambahnya obstruksi tuba
eustachii, berkurangnya persepsi nada tinggi.
j. Sistem syaraf
Berkurangnya berat otak sekitar 10-20%, berkurangnya sel kortikol,
reaksi menjadi lambat, kurang sensitiv terhadap sentuhan,
berkurangnya aktifitas sel T, hantaran neuron motorik melemah,
kemunduran fungsi saraf otonom.
k. Sistem endokrin
Produksi hampir semua hormon menurun, berkurangnya ATCH,
TSH, FSH dan LH, menurunnya aktivitas tiroid akibatnya basal
metabolisme menurun, menurunnya produksi aldosteron,
menurunnya sekresi hormon gonads yaitu progesteron, estrogen dan
aldosteron. Bertambahnya insulin, norefinefrin, parathormon.
l. Sistem reproduksi
Selaput lendir vagina menurun atau kering, menciutnya ovarie dan
uterus, atropi payudara, testis masih dapat memproduksi, meskipun
adanya penurunan berangsur-angsur dan dorongan seks menetap
sampai di atas usia 70 tahun, asal kondisi kesehatan baik,
penghentian produksi ovum pada saat menopause.
m. Daya pengecap dan pembauan
Menurunnya kemampuan untuk melakukan pengecapan dan
pembauan, sensitivitas terhadap empat rasa menurun yaitu gula,
garam, mentega, asam, setelah usia 50 tahun.

3. Perubahan kondisi mental


Pada umumnya usia lanjut mengalami penurunan fungsi kognitif dan
psikomotor. Dari segi mental emosional sering muncul perasaan pesimis,
timbulnya perasaan tidak aman dan cemas, adanya kekacauan mental
akut, merasa terancam akan timbulnya suatu penyakit atau takut
diterlantarkan karena tidak berguna lagi. Faktor yang mempengaruhi
perubahan kondisi mental yaitu:
a. Perubahan fisik, terutama organ perasa
b. Kesehatan umum
c. Tingkat pendidikan
d. Keturunan (hereditas)
e. Lingkungan
f. Gangguan syaraf panca indera
g. Gangguan konsep diri akibat kehilangan jabatan
h. Kehilangan hubungan dengan teman dan famili
i. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap
gambaran diri, perubahan konsep diri.
4. Perubahan psikososial
Pada saat ini orang yang telah menjalani kehidupannya dengan bekerja
mendadak diharapkan untuk menyesuaikan dirinya dengan masa
pensiun. Bila ia cukup beruntung dan bijaksana, mempersiapkan diri
untuk pensiun dengan menciptakan minat untuk memanfaatkan waktu,
sehingga masa pensiun memberikan kesempatan untuk menikmati sisa
hidupnya. Tetapi banyak pekerja pensiun berarti terputus dari lingkungan
dan teman-teman yang akrab dan disingkirkan untuk duduk-duduk di
rumah. Perubahan psikososial yang lain adalah merasakan atau sadar
akan kematian, kesepian akibat pengasingan diri lingkungan sosial,
kehilangan hubungan dengan teman dan keluarga, hilangnya kekuatan
dan ketegangan fisik, perubahan konsep diri dan kematian pasangan
hidup.
5. Perubahan kognitif
Perubahan fungsi kognitif di antaranya adalah:
a. Kemunduran umumnya terjadi pada tugas-tugas yang membutuhkan
kecepatan dan tugas tugas yang memerlukan memori jangka pendek.
b. Kemampuan intelektual tidak mengalami kemunduran.
c. Kemampuan verbal dalam bidang vokabular (kosakata) akan
menetap bila tidak ada penyakit.
6. Perubahan spiritual
a. Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya.
b. Lanjut usia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini
terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari.
Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Fowler:
universalizing, perkembangan yang dicapai pada tingkat ini adalah
berfikir dan bertindak dengan cara memberikan contoh cara mencintai
dan keadilan

D. Definisi DM
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya (Henderina, 2010).
Menurut PERKENI (2011) seseorang dapat didiagnosa diabetes melitus apabila
mempunyai gejala klasik diabetes melitus seperti poliuria, polidipsi dan polifagi
disertai dengan kadar gula darah sewaktu ≥200 mg/dl dan gula darah puasa ≥126
mg/dl.

E. Klasifikasi Tipe DM
Klasifikasi Diabetes Melitus dari National Diabetus Data Group: Classification
and Diagnosis of Diabetes Melitus and Other Categories of Glucosa Intolerance,
dikutip tahun 2011.
1. Klasifikasi Klinis
a. Diabetes Melitus
1) Tipe tergantung insulin (DMTI), Tipe I
2) Tipe tak tergantung insulin (DMTTI), Tipe II (DMTTI yang tidak mengalami
obesitas , dan DMTTI dengan obesitas)
b. Gangguan Toleransi Glukosa (GTG)
c. Diabetes Kehamilan (GDM)
2. Klasifikasi risiko statistic
a. Sebelumnya pernah menderita kelainan toleransi glukosa
b. Berpotensi menderita kelainan toleransi glukosa

F. Etiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2010), penyebab dari diabetes melitus adalah:
1. Diabetes Melitus Tergantung Insulin (DMTI)
a. Faktor genetic
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi mewarisi
suatu presdisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes
tipe I. Kecenderungan genetic ini ditentukan pada individu yang memililiki
tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan
kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen tranplantasi dan proses
imun lainnya.
b. Faktor imunologi
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini
merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal
tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya
seolah-olah sebagai jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pancreas, sebagai contoh
hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat
memicu proses autuimun yang dapat menimbulkan destuksi sel β pankreas.
2. Diabetes Melitus Tak Tergantung Insulin (DMTTI)
Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor genetic
diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI) penyakitnya mempunyai
pola familiar yang kuat. DMTTI ditandai dengan kelainan dalam sekresi
insulin maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi
dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat
dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi
reaksi intraselluler yang meningkatkan transport glukosa menembus
membran sel. Pada pasien dengan DMTTI terdapat kelainan dalam
pengikatan insulin dengan reseptor. Hal ini dapat disebabkan oleh
berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif insulin pada membran
sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara komplek reseptor
insulin dengan system transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat
dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dan meningkatkan sekresi
insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar tidak lagi memadai
untuk mempertahankan euglikemia (Price, 2008). Diabetes Melitus tipe II
disebut juga Diabetes Melitus tidak tergantung insulin (DMTTI) atau Non
Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) yang merupakan suatu
kelompok heterogen bentuk-bentuk Diabetes yang lebih ringan, terutama
dijumpai pada orang dewasa, tetapi terkadang dapat timbul pada masa kanak-
kanak. Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II,
diantaranya adalah:
1) Usia ( resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun)
2) Obesitas
3) Riwayat keluarga
4) Kelompok etnik
3. Diabetes dengan Ulkus
a. Faktor endogen:
1. Neuropati:
Terjadi kerusakan saraf sensorik yang dimanifestasikan dengan penurunan
sensori nyeri, panas, tak terasa, sehingga mudah terjadi trauma dan
otonom/simpatis yang dimanifestasikan dengan peningkatan aliran darah,
produksi keringat tidak ada dan hilangnya tonus vaskuler.
2. Angiopati
Dapat disebabkan oleh faktor genetic, metabolic dan faktor resiko lain.
3. Iskemia
Adalah arterosklerosis (pengapuran dan penyempitan pembuluh darah) pada
pembuluh darah besar tungkai (makroangiopati) menyebabkan penurunan
aliran darah ke tungkai, bila terdapat thrombus akan memperberat timbulnya
gangrene yang luas.
Aterosklerosis dapat disebabkan oleh faktor:
a. Adanya hormone aterogenik
b. Merokok
c. Hiperlipidemia
Manifestasi kaki diabetes iskemia:
1. Kaki dingin
2. Nyeri nocturnal
3. Tidak terabanya denyut nadi
4. Adanya pemucatan ekstrimitas inferior
5. Kulit mengkilap
6. Hilangnya rambut dari jari kaki
7. Penebalan kuku
8. Gangren kecil atau luas.
b. Faktor eksogen
1) Trauma
2) Infeksi

G. Patofisiologi dan Pathway


Menurut Smeltzer dan Bare (2010), patofisiologi dari diabetes melitus adalah :
1. Diabetes tipe I
Pada Diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin
karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun.
Hiperglikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh
hati. Disamping itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan
dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan
hiperglikemia postprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam
darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang
tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (Glukosuria).
Ketika glukosa yang berlebih dieksresikan dalam urin, ekskresi ini akan
disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini
dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang
berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria)
dan rasa haus (polidipsia). Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme
protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat
mengalami peningkatan selera makan (polifagia) akibat menurunnya
simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.Proses
ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan
hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang
mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk
samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang mengganggu
keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis
diabetik yang diakibatkannya dapat menyebabkan tandatanda dan gejala
seperti nyeri abdominal, mual, muntah, hiperventilasi, napas berbau aseton
dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma
bahkan kematian.
2. Diabetes tipe II
Pada Diabetes tipe II terdapat dua masalah yang berhubungan dengan
insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya
insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai
akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian
reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada
diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan
demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan
glukosa oleh jaringan. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat
dan progresif maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi.
Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat
mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka yang lama sembuh,
infeksi vagina atau pandangan yang kabur ( jika kadar glukosanya sangat
tinggi).
Penyakit Diabetes membuat gangguan/ komplikasi melalui kerusakan pada
pembuluh darah di seluruh tubuh, disebut angiopati diabetik. Penyakit ini
berjalan kronis dan terbagi dua yaitu gangguan pada pembuluh darah besar
(makrovaskular) disebut makroangiopati, dan pada pembuluh darah halus
(mikrovaskular) disebut mikroangiopati. Ulkus Diabetikum terdiri dari
kavitas sentral biasanya lebih besar disbanding pintu masuknya, dikelilingi
kalus keras dan tebal. Awalnya proses pembentukan ulkus berhubungan
dengan hiperglikemia yang berefek terhadap saraf perifer, kolagen, keratin
dan suplai vaskuler. Dengan adanya tekanan mekanik terbentuk keratin keras
pada daerah kaki yang mengalami beban terbesar. Neuropati sensoris perifer
memungkinkan terjadinya trauma berulang mengakibatkan terjadinya
kerusakan jaringan dibawah area kalus. Selanjutnya terbentuk kavitas yang
membesar dan akhirnya ruptur sampai permukaan kulit menimbulkan ulkus.
Adanya iskemia dan penyembuhan luka abnormal manghalangi resolusi.
Mikroorganisme yang masuk mengadakan kolonisasi didaerah ini. Drainase
yang inadekuat menimbulkan closed space infection. Akhirnya sebagai
konsekuensi sistem imun yang abnormal, bakteria sulit dibersihkan dan
infeksi menyebar ke jaringan sekitarnya, (Anonim 2009).
Pathway Diabetes Melitus (DM)

 Gangguan Atresia Ani Vistel rektovaginal


pertumbuhan
 Fusi
 Pembentukan anus dari Feses masuk ke uretra
tonjolan embriogenik Feses tidak keluar

Mikroorganisme
Kelainan kongenital Feses menumpuk masuk ke saluran
kemih

Reabsorbsi sisa Peningkatan Dysuria


metabolisme oleh tubuh tekanan
intraabdominal
Gangguan rasa
Keracunan nyaman
Operasi Anoplasti
Gangguan eliminasi urine
Mual, muntah
Nyeri

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari Ansietas Perubahan defekasi:
kebutuhan tubuh  Pengeluaran tak
Kerusakan terkontrol
integritas kulit  Iritasi mukosa
Hambatan
mobilitas fisik

Nyeri Abnormalitas Trauma jaringan


Gangguan rasa spingter rektal
nyaman Perawatan tidak
adekuat
Inkontinensia
defekasi
Resiko Infeksi

(Sumber: Aplikasi asuhan keperawatan NANDA NIC NIC, 2017)


H. Manifestasi Klinis
1. Diabetes Tipe I
a. Hiperglikemia berpuasa
b. Glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia
c. Keletihan dan kelemahan
d. Ketoasidosis diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi, nafas bau
buah, ada perubahan tingkat kesadaran, koma, kematian)
2. Diabetes Tipe II
a. Lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif
b. Gejala seringkali ringan mencakup keletihan, mudah tersinggung, poliuria,
polidipsia, luka pada kulit yang sembuhnya lama, infeksi vaginal, penglihatan
kabur
c. Komplikaasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular perifer)
3. Ulkus Diabetikum
Ulkus Diabetikum akibat mikriangiopatik disebut juga ulkus panas walaupun
nekrosis, daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh peradangan
dan biasanya teraba pulsasi arteri dibagian distal. Proses mikroangipati
menyebabkan sumbatan pembuluh darah, sedangkan secara akut emboli
memberikan gejala klinis 5 P yaitu :
a. Pain (nyeri)
b. Paleness (kepucatan)
c. Paresthesia (kesemutan)
d. Pulselessness (denyut nadi hilang)
e. Paralysis (lumpuh).
Bila terjadi sumbatan kronik, akan timbul gambaran klinis menurut pola dari
fontaine:
a. Stadium I : asimptomatis atau gejala tidak khas (kesemutan).
b. Stadium II : terjadi klaudikasio intermiten
c. Stadium III : timbul nyeri saat istitrahat.

I. Pemeriksaan Penunjang
1. Glukosa darah: darah arteri / kapiler 5-10% lebih tinggi daripada darah vena,
serum/plasma 10-15% daripada darah utuh, metode dengan deproteinisasi 5%
lebih tinggi daripada metode tanpa deproteinisasi
2. Glukosa urin: 95% glukosa direabsorpsi tubulus, bila glukosa darah > 160-
180% maka sekresi dalam urine akan naik secara eksponensial, uji dalam urin:
+ nilai ambang ini akan naik pada orang tua. Metode yang populer: carik
celup memakai GOD.
3. Benda keton dalam urine: bahan urine segar karena asam asetoasetat cepat
didekrboksilasi menjadi aseton. Metode yang dipakai Natroprusid, 3-
hidroksibutirat tidak terdeteksi
4. Pemeriksan lain: fungsi ginjal ( Ureum, creatinin), Lemak darah: (Kholesterol,
HDL, LDL, Trigleserid), fungsi hati, antibodi anti sel insula langerhans ( islet
cellantibody)

J. Penatalaksanaan
1. Medis
a. Obat
1) Tablet OAD (Oral Antidiabetes)
a) Mekanisme kerja sulfanilurea
1. Kerja OAD tingkat prereseptor : pankreatik, ekstra pancreas
2. Kerja OAD tingkat reseptor
b) Mekanisme kerja Biguanida
Biguanida tidak mempunyai efek pankreatik, tetapi mempunyai efek lain yang
dapat meningkatkan efektivitas insulin, yaitu:
1) Menghambat absorpsi karbohidrat
2) Menghambat glukoneogenesis di hati
3) Meningkatkan afinitas pada reseptor insulin
4) Biguanida pada tingkat reseptor : meningkatkan jumlah reseptor insulin
5) Biguanida pada tingkat pascareseptor : mempunyai efek intraseluler
b. Insulin
Indikasi penggunaan insulin
a) DM tipe I
b) DM tipe II yang pada saat tertentu tidak dapat dirawat dengan OAD
c) DM kehamilan
d) DM dan gangguan faal hati yang berat
e) DM dan infeksi akut (selulitis, gangren)
f) DM dan TBC paru akut
g) DM dan koma lain pada DM
h) DM operasi
Insulin diperlukan pada keadaan :
1) Penurunan berat badan yang cepat.
2) Hiperglikemia berat yang disertai ketoasidosis.
3) Ketoasidosis diabetik.
4) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.

K. Komplikasi
Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol pada penderita DM tipe II akan
menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi DM tipe II terbagi menjadi
dua berdasarkan lama terjadinya yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik
(Smeltzel dan Bare, 2015; PERKENI , 2015)
a. Komplikasi Akut
o Ketoasidosis Diabetik (KAD)
KAD merupakan komplikasi akut DM yang di tandai dengan peningkatan
kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl), disertai dengan adanya
tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma
meningkat (300-320 mOs/Ml) dan terjadi peningkatan anion gap
(PERKENI,2015).
o Hipoglikemi
Hipoglikemi ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah hingga
mencapai <60 mg/dL. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik
(berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuroglikopenik
(pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma) (PERKENI,
2015).
o Hiperosmolar Non Ketonik (HNK)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600- 1200
mg/dl), tanpa tanda dan gejala asidosis,osmolaritas plasma sangat meningkat
(330-380 mOs/ml),plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit
meningkat (PERKENI, 2015).
b. Komplikasi Kronis (Menahun)
Menurut Smeltzer 2015,kategori umum komplikasi jangka panjang terdiri
dari:
o Makroangiopati: pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, pembuluh
darah otak
o Mikroangiopati: pembuluh darah kapiler retina mata (retinopati diabetik)
dan Pembuluh darah kapiler ginjal (nefropati diabetik)
o Neuropatid : suatu kondisi yang mempengaruhi sistem saraf, di mana serat-
serat saraf menjadi rusak sebagai akibat dari cedera atau penyakit
o Komplikasi dengan mekanisme gabungan: rentan infeksi, contohnya
tuberkolusis paru, infeksi saluran kemih,infeksi kulit dan infeksi kaki. dan
disfungsi ereksi.

L. Penatalaksanaan
2. Medis
b. Obat
2) Tablet OAD (Oral Antidiabetes)
b) Mekanisme kerja sulfanilurea
3. Kerja OAD tingkat prereseptor : pankreatik, ekstra pancreas
4. Kerja OAD tingkat reseptor
c) Mekanisme kerja Biguanida
Biguanida tidak mempunyai efek pankreatik, tetapi mempunyai efek lain yang
dapat meningkatkan efektivitas insulin, yaitu:
6) Menghambat absorpsi karbohidrat
7) Menghambat glukoneogenesis di hati
8) Meningkatkan afinitas pada reseptor insulin
9) Biguanida pada tingkat reseptor : meningkatkan jumlah reseptor insulin
10) Biguanida pada tingkat pascareseptor : mempunyai efek intraseluler
c. Insulin
Indikasi penggunaan insulin
i) DM tipe I
j) DM tipe II yang pada saat tertentu tidak dapat dirawat dengan OAD
k) DM kehamilan
l) DM dan gangguan faal hati yang berat
m) DM dan infeksi akut (selulitis, gangren)
n) DM dan TBC paru akut
o) DM dan koma lain pada DM
p) DM operasi
Insulin diperlukan pada keadaan :
5) Penurunan berat badan yang cepat.
6) Hiperglikemia berat yang disertai ketoasidosis.
7) Ketoasidosis diabetik.
8) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
BAB III
TEORI ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan gangguan sistem endokrin diabetes melitus
dilakukan mulai dari pengumpulan data yang meliputi : biodata, riwayat kesehatan,
keluhan utama, sifat keluhan, riwayat kesehatan masa lalu, pemeriksaan fisik, pola
kegiatan sehari-hari. Hal yang perlu dikaji pada klien degan diabetes melitus :
1. Aktivitas dan istirahat :
Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot, gangguan istirahat dan tidur,
tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan aktivitas dan koma
2. Sirkulasi
Riwayat hipertensi, penyakit jantung seperti IMA, nyeri, kesemutan pada
ekstremitas bawah, luka yang sukar sembuh, kulit kering, merah, dan bola mata
cekung
3. Eliminasi
Poliuri, nocturi, nyeri, rasa terbakar, diare, perut kembung dan pucat.
2. Nutrisi
Nausea, vomitus, berat badan menurun, turgor kulit jelek, mual/muntah.
3. Neurosensori
Sakit kepala, menyatakan seperti mau muntah, kesemutan, lemah otot,
disorientasi, letargi, koma dan bingung.
4. Nyeri
Pembengkakan perut, meringis.
5. Respirasi
Tachipnea, ronchi, wheezing dan sesak nafas.
6. Keamanan
Kulit rusak, lesi/ulkus, menurunnya kekuatan umum.
7. Seksualitas
Adanya peradangan pada daerah vagina, serta orgasme menurun dan terjadi
impoten pada pria.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b/d agen injuri fisik
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan
tubuh mengabsorbsi zat-zat gizi
3. Hambatan mobilitas fisik b/d nyeri

C. Rencana Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1. Nyeri akut b/d agen Setelah dilakukan asuhan Manajemen nyeri :
injuri fisik keperawatan selama 3 x 24 1. Lakukan pegkajian

jam, diharapkan tingkat nyeri secara

kenyamanan klien meningkat komprehensif

dengan kriteria hasil : termasuk lokasi,


a. Level nyeri berkurang karakteristik, durasi,
0–2 frekuensi, kualitas
b. Pasien tampak dan ontro presipitasi.
nyaman 2. Observasi reaksi
c. Pasien dapat nonverbal dari
melaporkan nyeri ketidaknyamanan.
pada petugas 3. Gunakan teknik
(frekuensi nyeri, komunikasi
ekspresi wajah, dan terapeutik untuk
menyatakan mengetahui
kenyamanan fisik dan pengalaman nyeri
psikologis) klien sebelumnya.
4. Pilih dan lakukan
d. TTV dalam batas penanganan nyeri
normal (farmakologis/non
farmakologis).
5. Ajarkan teknik non
farmakologis
(relaksasi, distraksi
dll) untuk mengetasi
nyeri.
6. Kolaborasi dalam
pemberian analgetik
untuk mengurangi
nyeri.

2. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan asuhan Manajemen Nutrisi


nutrisi kurang dari keperawatan selama 3 x 24 1. Kaji pola makan

kebutuhan tubuh jam, diharapkan klien klien

b/d menunjukan status nutrisi 2. Kaji adanya alergi

ketidakmampuan adekuat dengan kriteria hasil: makanan.

tubuh mengabsorbsi a. BB stabil tidak terjadi 3. Kaji makanan yang

zat-zat gizi mal nutrisi disukai oleh klien.

b. Tingkat energi 4. Kolaborasi dengan

adekuat ahli gizi untuk

c. Masukan nutrisi penyediaan nutrisi

adekuat terpilih sesuai


dengan kebutuhan
klien.
5. Anjurkan klien untuk
meningkatkan asupan
nutrisinya.
6. Yakinkan diet yang
dikonsumsi
mengandung cukup
serat untuk
mencegah konstipasi.
7. Berikan informasi
tentang kebutuhan
nutrisi dan
pentingnya bagi
tubuh klien.

3. Hambatan mobilitas Setelah dilakukan asuhan Bathing/hygiene,


fisik b/d nyeri keperawatan selama 3 x 24 dressing, feeding and
jam, diharapkan klien toileting.
menunjukkan toleransi dalam 1. Dorong keluarga

tingkat aktivitas fisik dengan untuk berpartisipasi

kriteria hasil: untuk kegiatan mandi


a. Klien berpartisipasi dan kebersihan diri,
dalam aktivitas yang berpakaian, makan
diinginkan dan toileting klien
b. Klien mampu 2. Berikan bantuan
melakukan aktivitas kebutuhan sehari –
ringan tanpa bantuan hari sampai klien
dapat merawat secara
mandiri
3. Monitor kebersihan
kuku, kulit,
berpakaian, dietnya
dan pola
eliminasinya.
4. Monitor kemampuan
perawatan diri klien
dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari
5. Dorong klien
melakukan aktivitas
normal keseharian
sesuai kemampuan
6. Ubah posisi klien
secara berkala

D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
perawat maupun tenaga medis lain untuk membantu pasien dalam proses
penyembuhan dan perawatan serta masalah kesehatan yang dihadapi pasien yang
sebelumnya disusun dalam rencana keperawatan (Nursallam, 2011).

E. EVALUASI
Menurut Nursalam, 2011 , evaluasi keperawatan terdiri dari dua jenis yaitu :
a. Evaluasi formatif. Evaluasi ini disebut juga evaluasi berjalan dimana evaluasi
dilakukan sampai dengan tujuan tercapai
b. Evaluasi somatif , merupakan evaluasi akhir dimana dalam metode evaluasi ini
menggunakan SOAP.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Vol 3, Edisi 8,

Jakarta: EGC

Wilkinson, Judith M. dkk. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis

Yasmara Deni, dkk. 2016. Aplikasi Asuhan Keperawatan NANDA, Intervensi NIC,

Kriteria Hasil NOC, Jakarta: EGC

NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi 2015-

2017 edisi 10. Jakarta: EGC

Noer, Prof.dr.H.M. Sjaifoellah. 2009. Ilmu Penyakit Endokrin dan Metabolik, Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Umami, Vidhia, Dr. 2011. At a Glance Ilmu Bedah , Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga

You might also like