You are on page 1of 19

SEJARAH RESMI INDONESIA MODERN:.

161

rakarta: Kegagalan Sipil, Keberhasilan Militer

Orde Baru suka mengutip contoh-contoh spesifik untuk dukung


argumen bahwa keberhasilan Revolusi sebagian besar disebabkan
oleh militer. Menurut pandangan ini, aksi sipil pada Agresi Militer
Belanda Kedua pada Desember 1948 lebih jauh memperlemah
Republik Indonesia dan kemampuan militer untuk
mempertahankannya. Reaksi Sukarno dan lainnya terhadap
serangan Belanda pada Yogyakarta digambarkan sebagai contoh
inkompetensi sipil jika bukan kepengecutan sipil; berdasarkan
rencana (dan di bawah instruksi sipil) pasukan TNI meninggalkan
kota sebelum serangan sebenarnya dimulai. 51
Dengan sumber apapun dan otoritasnya ia membuat Soeharto
mencoba yang terbaik melawan laju serangan Belanda. la hanya berhasil
memperlambat dalam waktu yang sangat pendek dan menghancurkan
beberapa infrastruktur vital (markasnya sendiri dan Korps Intelijen).
Kota Yogyakarta jatuh, Sukarno dan Hatta tertangkap. Jenderal
Soedirman, walaupun dalam kondisi kesehatan yang buruk, dapat
melarikan diri ke perbukitan di sekeliling Yogyakarta. 52 Hanya
kepemimpinan militer yang tertarik untuk melanjutkan kampanye
perang gerilya di pedesaan atau bahkan mencegah fasilitas untuk jatuh
ke tangan musuh. Sukarno dan Hatta dalam tahanan Belanda dinilai
bersebrangan dengan figur heroik Jenderal Soedirman, yang sekarat
tetapi tetap membangkang.
Dalam catatan Orde Baru, kegagalan sipil dikontraskan dengan
tajam dengan keberhasilan serangan balik yang diatur oleh Soeharto
sendiri (dan kemungkinan sebuah kontribusi positif sipil kepada Revolusi
biasanya diabaikan). Segera setelah Yogyakarta jauh ia mulai

51 Ibid., him. 46.


52 Ibid., him. 47.
162 Michael Wood

memikirkan cara untuk mengembalikan kepercayaan rakyat kepada TNI


(dibandingkan kepercayaan kepada kepemimpinan sipil). la juga sadar
bahwa kota ini adalah ibu kota Republik Indonesia dan ia berharap aksi
apapun yang dilakukan akan memiliki pengaruh pada gerakan
perlawanan secara keseluruhan dan komunitas internasional. la juga
frustasi dengan pihak Belanda yang mengklaim kepada PBB bahwa
agresi militer berhasil dan perlawanan Indonesia telah berakhir. Alhasil,
Soeharto memutuskan untuk menyerang kota di siang hari untuk
"membongkar kebohongan Belanda kepada dunia". 53 Serangan ini
dilaksanakan dengan objektif militer yang terbatas tetapi diharapkan
dapat membuat pengaruh besar secara politik:

Saya dengan jelas sejak awal membuat serangan kami bukan untuk
menduduki atau mempertahankan kota, sebab mempertahankan kota
akan berlawanan dengan taktik perang gerilya. Mengambil posisi
pertahanan akan membuat banyak nyawa dalam resiko, karena musuh
memiliki senjata yang lebih superior. Gempuran kami adalah untuk
keuntungan politik, yakni untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa
TNI masih merupakan pasukan yang bertempur, mampu memberikan
perlawanan.54

Serangan tersebut dimulai pada pukul 6 pagi pada 1 Maret 1949,


digambarkan dengan detail. TNI dapat mengambil kendali Yogyakarta
selama enam jam sebelum mundur secara teratur dan sesuai dengan
rencana yang ditetapkan. Berita dari kemenangan ini disiarkan ke luar
negeri melalui Sumatra dan pada akhirnya mencapai aula PBB. 55 "Enam
jam di Yogya" ini telah menjadi subjek dari banyak kontroversi. Biografi
terbaru Soeharto memberikan keraguan apakah kota ini benar-benar di
tangan Republik Indonesia selama yang sebelumnya diklain dan apakah

53 Ibid., him. 48-49.


54 Ibid., him. 50.
55 Ibid., him. 51.
SEJARAH RESMI INDONESIA MODERN:. 163

Soeharto memiliki pengetahuan mengenai dunia luar dan kecerdasan


politik untuk tampak memahami konsekuensi global dari aksi yang
direncanakannya.56Tetapi bagaimanapun, peristiwa hari itu telah
menjadi motif utama penggambaran Orde Baru mengenai Revolusi.
Tidak hanya bahwa peristiwa ini menjadi yang utama dalam karier
revolusioner Soeharto, dapat dilihat sebagai contoh kesuksesan strategi
militer yang mana jika dilaksanakan dengan lebih konsisten dapat
mempercepat kemenangan melawan Belanda; (walaupun Kahin dalam
bukunya yang paling berpengaruh, Nationalism and Revolution in
Indonesia sama sekali tidak menyebutkan Soeharto, "enam jam" telah
menjadi subjek dalam beberapa novel dan film di era Orde Baru).

Buku Sejarah Nasional Indonesia menawarkan penggambaran


tahap akhir dari Revolusi yang mirip dengan Soeharto. Kepemimpinan
sipil, buta terhadap pengkhianatan Belanda mengizinkan dirinya untuk
tertangkap:

Beberapa hari setelah negosiasi mencapai jalan buntu, Belanda


mengambil jalan agresi militer kedua terhadap Republik Indonesia.
Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia secara sukses direbut dan
diduduki oleh pasukan terjun payung. Presiden dan wakil presiden dan
banyak dari pejabat tinggi

tidak mengevakuasi diri dan ditawan oleh Belanda. Tetapi sebelum ini
pemerintah memberikan mandat kepada Menteri Syafruddin
Prawiranegara yang berada di Sumatra untuk membentuk
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.57

Reaksi pasif ini dikontraskan dengan heroisme Soedirman dan TNI:

Walaupun dalam kondisi sangat sakit, Panglima Besar TNI Jenderal

56 R.E. Elson, Suharto: A Political Biography (Cambridge: Cambrice? University


Press, 2001), him. 33-38.
57 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
164 Michael Wood

Soedirman mundur keluar Ibu kota Yogyakarta dan memimpin perang


gerilya total melawan kekuatan Belanda. Selama 7 bulan Jenderal
Soedirman menjadi pembimbing bagi seluruh rakyat dan mampu
melaksanakan perjuangan yang menakjubkan untuk melanggengkan
kehiupan dari Negara Republik Indonesia, pada momen yang tergelap
dalam perjuangan bangsa, Soedirman membuat (atau terbuat) cahaya
yang mana menyalakan cahaya di sekelilingnya.58

Penjelasan di atas adalah contoh penjelasan mengenai seseorang yang


menyelamatkan Indonesia; bukan mengenai Sukarno ataupun Hatta,
melainkan mengenai pemimpin/panglima pertama TNI. Pahlawan
nasional yang memainkan peranan kunci dalam perjuangan fisik
melawan Belanda adalah apa yang ditawarkan sebagai contoh untuk
kaum muda Indonesia.
Teladan lain yang ditekankan kontribusinya dalam Sejarah Nasional
Indonesia adalah Soeharto. Serangan Belanda pada Yogyakarta memicu
reaksi kerasa dari PBB dan Amerika Serikat, tetapi yang paling penting
adalah respons dari TNI:

58Nasional Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka, 1990), Vol.6, him. 161.


SEJARAH RESMI INDONESIA MODERN:. 165

Sementara hal ini berlangsung TNI selama sebulan selesai


berkonsolidasi dan mulai memberikan gempuran-gempuran terhadap
kekuatan Belanda. Pada awalnya ditujukan untuk menganggu
komunikasi Belanda: kabeltelpon dipotong, rel kereta api dihancurkan,
dan konvoi Belanda disergap dan diserang. Karena itu pihak Belanda
dipaksa untuk meningkatkan jumlah pos-posnya di jalan-jalan.utama
yang menghubungkan kota-kota yang mereka duduki. Dengan
kebanyakan kekuatan orang mereka terikat dengan ribuan pos kecil di
seluruh wilayah Republik yang sekarang menjadi satu medan perang
gerilya yang besar. Setelah pasukan Indonesia disebarkan dengan luas
di pedesaan di luar kota-kota yang diduduki, TNI mulai menyerang
kota-kota ini. Serangan Umum 1 Maret 1945 pada kota Yogyakarta,
dipimpin oleh Letnan Kolonel (sekarang Presiden) Soeharto dengan
hasil kota dikuasai selama enam jam, dengan brilian membuktikan
kepada dunia bahwa TNI jauh dari ditaklukkan, pada kenyataannya
masih berkapasitas untuk melakukan serangan. Juga adalah jelas dari
laporan (Belanda?) bahwa insiatif ini jelas dipindahkan dari Belanda
kepada TNI. Dan sekarang pihakTNI yang menyerang dan pihak
Belanda yang bertahan (atau defensif).59

Maka berterimakasihlah kepada Soeharto, karena yang tadinya


pemburu sekarang menjadi yang diburu. Keberhasilan militer Indonesia
diiringi dengan ancaman AS untuk menarik bantuan Marshall Plan dari
Belanda. Panggung telah diatur untuk penerimaan Belanda terhadap
kedaulatan negara Indonesia di dalam wilayah bekas Hindia Belanda. 60
Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka menempatkan penekanan yang
mirip dengan pencapaian kepemimpinan militer Indonesia. Pada
Desember 1948 Sukarno dan anggota pemerintahan lainnya ditawan
oleh Belanda tanpa perlawanan; sebuah foto memperlihatkan sang
presiden melangkah dengan tenang menuju tahanan. Sementara,
Soedirman melancarkan kampanye gerilya di pedesaan sekitar

59 Ibid., him. 162.


60 Ibid., him. 161.
166 Michael Wood

Yogyakarta meskipun dalam kondisi sakit. Teks ini juga mengklaim


bahwa rencana untuk mendirikan pemerintah sipil darurat di Sumatra,
sementara meninggalkan komando militer di tangan angkatan
bersenjata di Jawa, telah disetujui sebelumnya dan maka dari itu tidak
ada alasan untuk panik.61 Implikasinya kemungkinan terjadi pada
kementrian sipil, apakah secara luas ataupun di tangan Belanda,
sebagian besar tidak relevan; adalah kepemimpinan militer yang
membawa Indonesia menuju Kemerdekaan. Bukti lebih jauh bahwa
Revolusi tetap di jalurnya meskipun tidak ada bimbingan sipil terdiri
pada serangkaian foto yang memperlihatkan TNI menahan laju Belanda
di dekat Yogyakarta dan sebuah jembatan dihancurkan sebagai bagian
dari kebijakan bumi hangus untuk meniadakan fasilitas bagi musuh.
Dalam pedesaan yang didominasi gerilyawan, tentara pelajar, petani,
perempuan, dan pejuang gerilya terlihat bekerja sama dalam aktivitas
revolusioner termasuk mengibarkan bendera Indonesia dan
62
menyanyikan lagu kebangsaan nasional. "Serangan Umum" 1 Maret
1949 diberikan satu bagian lengkap dengan foto Soeharto muda dan
judul dari koran Republik, Merdeka menyuarakan keberhasilan
serangan. Serangan pada Yogyakarta yang diduduki Belanda
digambarkan menghasilkan sesuatu yang sangat besar secara domestik
dan internasional: melanjutkan perjuangan yang telah dimulai dengan
metode diplomatik; mempertahankan moral rakyat dan TNI selama
perang gerilya; menginformasikan kepada komunitas internasional
bahwa TNI memiliki kekuatan untuk melancarkan serangan dan
mematahkan moral pasukan Belanda.63 Kemenangan militer lainnya
yang dicatat oleh 30 Tahun Indonesia Merdeka termasuk "long march"

61Sekretariat Negara Republik Indonesia, 30 Tahun Indonesia Medeka (Jakarta:


Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1975), him. 192.
62 Ibid., him. 193-194.
63 Ibid., him. 207-209.
SEJARAH RESMI INDONESIA MODERN:. 167

dari Jawa Barat, pendudukan TNI akan Yogyakarta dan kembalinya


panglima tertinggi, Soedirman, dari wilayah pedesaan. 64 Tak ada
pembaca yanggagal mengambil kesimpulan bahwa militer Indonesia
bersatu bersama rakyat, memainkan peran sangat penting dalam
mengusir Belanda. Biar adil, konfrontasi hebat yang mengambil tempat
di atas meja konferensi antara negosiator Belanda dan Indonesia juga
digambarkan dan dideskripsikan.65 Kabinet sipil dicantumkan dan
Proklamasi Kemerdekaan oleh Sukarno pada 17 Agustus 1945 tentu saja
dirayakan. Tetapi semua kontribusi sipil ini hanya dipandang sebagai
latar belakang bagi sebagian besar perjuangan militer (masuknya
Sukarno ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949 hanya dimuat di dua halaman
dengan deskripsi dan foto-foto, sementara kedatangan Soedirman
empat hari kemudian menghasilkan empat halaman). 66 Banyak dari
pertemuan diplomatik dideskripsikan dan digambarkan dalam sikap
yang terasa asing bagi banyak pembaca kaum muda Indonesia; barisan
panjang delegasi (sering kali asing) dalam setelan tropis yang segar.
Kontras dengan TNI yang sering kali digambarkan berpakaian dalam
sikap informal dan selalu dikelilingi dengan massa yang apresiatif.
Roeder, dalam catatan simpatiknya mengenai hidup Soeharto,
menggambarkan politik (dan politikus) mengancam kemampuan TNI
untuk menangani ancaman Belanda:

Ketidakpuasan dan kerusuhan tumbuh di antara kaum republikan.


Perkembangan yang lambat dalam konferensi dengan Belanda, atau
sebagaimana kebanyakan orang Indonesia menilainya. Bentrokan
sporadis di antara kaum bersenjata Indonesia dan militer Belanda
memuncak dalam apa yang disebut secara halus "Agresi Militer
Belanda" (1947 dan 1948-1949). Yang lebih berbahaya untuk

64“ Ibid., him. 196-197, 214-219, 223-226.


65 Ibid., him. 162-163.
66 Ibid., him. 30-31,19-21.
168 Michael Wood

keberlangsungan Republik adalah pertikaian internal yang berkembang


menjadi pertempuran terbuka antara unit tentara resmi dan kelompok
laskar yang berafiliasi dengan partai-partai politik. Sebuah klimaks
dicapai melalui manuver-manuver ekstrem sayap-kiri Indonesia. 67

Nugroho Notosusanto membawanya lebih jauh dengan menyerang


kontribusi sipil kepada Revolusi. Dalam kuliah pada 1974, ia secara
terbuka mengkritik pemerintahan sipil terutama Sukarno:

Ketika pasukan terjun payung musuh masuk ke dalam ibu kota


revolusioner Yogyakarta pada Perang Kemerdekaan, Sukarno dan
Hatta, yang pada waktu itu adalah Presiden dan Wakil Presiden dari
Republik Indonesia, ketakutan dengan para komandan militer muda
yang memutuskan tidak akan kabur ke pedesaan tetapi akan
menunggu musuh dengan

67“ O.G. Roeder, The Smiling Genera/(Jakarta: Gunung Agung, 1970), him. 108.
tenang walaupun mereka sedang menangkapi mereka. Dalam pikiran
keduanya, mereka masihlah pimpinan dari Gerakan Nasional
Indonesia, menunggu ketukan pintu menuju penjara atau
pengasingan. Dalam mata generasi yang lebih muda terutama mereka
yang bertempur dalam pasukan gerilya, kedua pimpinan tertinggi,
terutama Presiden sebagai Panglima Tertinggi dari Angkatan
Bersenjata yang telah meninggalkan posisi kepemimpinan mereka. 68

la melihat kinerja sipil dalam wajah agresi Belanda sebagai simbol tidak
adanya kepemimpinan dan menjadi alasan nyata untuk menempatkan
nasib Republik di tangan TNI yang lebih mampu. Perwira-perwira muda
yang secara aktif terlibat dalam memncoba untuk mengalahkan rezim
kolonial di medan perang, sementara figur nasionalis yang lebih tua
tetap terjebak dalam pola sebelum perang dari perlawanan pasif,
penangkapan, penjara, dan pengasingan.
Dari pahlawan Orde Baru yang berpartisipasi pada perjuangan
Kemerdekaan 1945-1949, 21 orang adalah pejuang gerilya atau anggota
TNI, enam orang adalah politikus sipil. Pahlawan sipil termasuk Sukarno
dan Hatta dan Otto Iskandar Dinata, yang dibunuh oleh "orang-orang
yang tidak bertanggungjawab" (yaitu para kaum radikal Indonesia).
Salah satu dari pahlawan pertama yang dipilih oleh rezim pasca-Sukarno
adalah politikus sipil Sutan Syahrir. Pahlawan militer termasuk beberapa
yang meninggal di medan perang atau dieksekusi oleh Belanda (Robert
Wolter Monginsidi dan Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai). Soedirman

68 Notosusanto, The National Struggle and the Armed Forces of Indonesia


(Jakarta: Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata, 1975), him. 45.
SEJARAH RESMI INDONESIA MODERN:. 171

tentu saja ditetapkan sebagai pahlawan. Delapan perwira yang dibunuh


oleh PKI pada 1965 juga dianggap telah berpartisipasi dalam perjuangan
militer melawan Belanda; walaupun mereka dihormati karena
pengorbanan mereka dalam konflik dengan komunis daripada aktivitas
antikolonial mereka sebelumnya. Soeharto secara politik cukup cerdik
untuk tidak membuat dirinya seorang pahlawan; ia sepertinya puas
menganugerahkan kehormatan itu kepada istrinya segera setelah
kematiannya pada 1996, untuk kerja-kerja amal dan perintisan
proyekTMII.69
Banyak pengamat Barat yang kurang bersedia memberikan
penghargaaan sepenuhnya kepada militer untuk mencapai
kemerdekaan dan lebih lambat untuk meluluskan penilaian negatif
terhadap kinerja kepemimpinan sipil. Dalam banyak hal, seperti dicatat
sebelumnya, pendapat luar lebih disukai akan interpretasinya mengenai
Revolusi yang berlawanan dengan apa yang dipromosikan oleh Orde
Baru. Penekanan ditempatkan pada kepentingan diplomas! dan tekanan
internasional. Pengamat Revolusi, George McT. Kahin,
mempresentasikan respons Republik Indonesia terhadap serangan
Belanda pada 19 Desember 1948 dalam sikap yang sangat berbeda
dengan yang ditampilkan Orde Baru. Pertama-tama ia memberikan
Sukarno dan sisa kepemimpinan, lebih banyak keuntungan dari
keraguan seperti yang diberikan oleh Notosusanto. la mengklaim
meskipun situasi diplomatik memburuk, serangan Belanda tidak
diperkirakan, terutama karena adanya kehadiran pengamat PBB yang
ditempatkan di salah satu perbukitan Kaliurang.
Pihak Indonesia tidak menyadarinya. Serangan terjadi pada pukul 5.30
pagi, rapat kabinet pada jam 10 menyusun sebuah pesan arahan dan
nasihat kepada rakyat (walaupun tidak sampai bulan Januari pesan ini

69 Lihat Album Pahlawan Bangsa (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001)


172 Michael Wood

mencapai audiens nasional dan internasional). Walaupun pengawal


Sukarno dalam jumlah kecil melakukan perlawanan bersenjata, ia
menyuruh mereka untuk menanggalkan senjata karena rintangan yang
luar biasa. Karena serangan kilat Belanda dan tanpa pemberitahuan
pencabutan gencatan senjata, kabinet Indonesia tertawan. Pagi hari
tanggal 20 Desember, komandan Belanda Mayor Jenderal Mayer
meminta Sukarno memerintahkan TNI untuk berhenti bertempur.
Sukarno menolak dan diasingkan ke Sumatra.70
Sebagaimana yang direncanakan, pemerintahan darurat dibentuk
di Bukittingi.71 Kepemimpinan sipil menghadapi pilihan terbatas untuk
membuat pilihan yang benar. Dalam tahanan, Sukarno menolak untuk
bekerja sama. Pendirian ini adalah cara yang paling efektif untuk
mengalahkan lawan militer yang lebih superior. Maka dari itu Kahin
memberikan penekanan pada kemarahan internasional dan tekanan
diplomatik terhadap serangan Belanda daripada aktivitas gerilya yang
berkelanjutan dari TNI.72 Analisanya tidak mengabaikan kekuatan
gerakan gerilya dan ia mencatat bahwa pada Maret 1949, Yogyakarta
hampir direbut.73 Tetapi Kahin tidak memberikan Soeharto tempat
dalam "enam jam di Yogya" di mana Orde Baru akan merasa diterima
(kenyataannya ia tidak disebutkan sama sekali). Sukarno digambarkan
oleh penulis biografinya J.D. Legge sedang terburu-buru memimpin
rapat kabinet sementara Yogyakarta di bawah serangan; pro dan kontra
untuk menggabungkan perjuangan bersenjata di luar kota sedang
didiskusikan. Sukarno sekiranya menerima nasihat bahwa ia lebih baik
membiarkan dirinya ditangkap. Sukarno ditawan oleh Belanda siang itu,
walaupun ia menolak untuk bekerja sama dengan Belanda untuk

70 George McT Kahin Kahin, op. cit., him. 336-338.


71 Ibid., him. 392.
72 Ibid., him. 338-345.
73 Ibid., him. 395,411.
SEJARAH RESMI INDONESIA MODERN:. 173

memerintahkan TNI agar menyerah. Apakah Sukarno secara sadar


memilih untuk menyerah sebagai tindakan terbaik atau hanya
membiarkan peristiwa itu terjadi, Legge berpendapat adalah bahwa
Sukarno telah mengambil keputusan yang benar.
Agresi Militer Belanda Kedua tidak memperbaiki posisi Belanda.
Dunia menjadi marah dengan serangan Belanda; baik PBB dan A.S.
menjadi semakin simpatik kepada Republik Indonesia. Yang terakhir
mulai menghubungkan bantuan ekonomi kepada Belanda untuk
membuka kembali negosiasi serius dengan pihak Indonesia. Belanda
tidak berhasil menyapu pemerintahan Republik dengan satu langkah
yang menentukan. Pemerintahan darurat dibentuk di Sumatra
keputusan yang dibuat oleh pemerintah sebelumnya. Serangan
bersenjata terjadi pada kedua belah pihak dari garis batas gencatan
senjata; Belanda dapat menguasai kota-kota dan jalan-jalan utama
tetapi tidak pedesaan Jawa. Di luar Jawa, provinsi-provinsi semi-
otonomi yang diatur oleh Belanda terus melihat kepada Sukarno dan
pemerintahannya untuk kepemimpinan.74 Tentu saja dapat dikatakan
bahwa Sukarno hanya menjadi pasif dan bahwa dia tidak mengetahui
bagaimana dunia akan bereaksi terhadap penangkapannya. Juga
kesuksesan militer selanjutnya dicatat oleh Legge mungkin berhutang
sedikit terhadap tindakan Sukarno.
Dalam sebuah analisa yang kurang simpatik, C.L.M. Penders
mengklaim bahwa pemimpim militer seperti Soedirman menjadi heran
dan kesal dengan keputusan Sukarno untuk membiarkan dirinya
tertangkat dan bahwa Belanda kurang realistis dalam mengharapkan
komando Sukarno akan memiliki pengaruh yang besar pada pasukan di
lapangan. Pada kenyataannya, kewibawaannya di mata militer

74 J. D. Legge, Sukarno a Political Biography (Singapura: Archipelago Press,


2003), him. 261-263.
174 Michael Wood

Indonesia cukup rendah dan sangatlahtidakmungkin bahwa mereka


akan menurutiperintahnya untuk menyerah bahkan jika ia menyuruh
mereka.75
Sukarno sendiri menggambarkan reaksinya sebagai keputusan
yang penuh pertimbangan yang ditujukan untuk memastikan
keberlangsungan Republik dalam kondisi yang sangat sulit. la mengklaim
telah dibangunkan dua jam sebelum serangan oleh Soedirman, yang
mengetahui lebih dulu serangan tersebut. Jenderal muda ini mendesak
presiden untuk melarikan diri ke hutan. Tetapi Sukarno menolak usulan
ini, mengetahui bahwa ia bukanlah seorang prajurit dan ia akan lebih
berguna dengan tetap berada di ibu kota sehingga ia kemudian dapat
memimpin Indonesia dan melakukan tawar-menawar atas nama
Indonesia. Soedirman merasa bahwa Belanda mungkin akan membunuh
Sukarno; Sukarno mengesampingkan kekhawatiran tersebut. Jenderal
Soedirman menjanjikan tiada ampun dari pasukan gerilya Indonesia jika
Belanda menyakiti Sukarno, bahkan penduduk sipil Belanda akan dibuat
menderita. la kemudian meminta instruksi; Sukarno menyuruhnya
untuk membawa keluar tentara dari Yogyakarta, untuk menyebar ke
pedesaan dan bertempur hingga mati jika diperlukan. Presiden
menyerukan "perang gerilya total seratus persen". la ingin dunia
mengetahui bahwa kemerdekaan tidak dimenangkan melalui diplomasi
tetapi dibayar dengan darah dan upaya. Perjuangan bersenjata terus
berlangsung, apapun yang terjadi dengan pimpinan sipil atau pun
militer, hingga kemenangan diraih.76 Menurut Sukarno perjuangan terus
berlangsung; Belanda tidak bisa mengamankan wilayah pedesaan dan
opini internasional memihak kepada Republik Indonesia, la bahkan

75C.L.M. Penders, The Life and Times of Sukarno (London: Sidgwick and
Jackson, 1974), him. 130-132.
76 Sukarno, Sukarno: An Autobiography as told to Cindy Adams (New York:
The Bobbs-Merrill Company, 1965), him. 252-253.
SEJARAH RESMI INDONESIA MODERN:. 175

mencatat bahwa gerilyawan Indonesia merebut kembali Yogyakarta dan


menguasainya selama enam jam, "cukup lama untuk memperlihatkan
kepada dunia bahwa kami adalah kekuatan penting yang tidak akan
menyerah" (namun di sini tidak disebutkan mengenai Letnan Kolonel
Soeharto).77 Jika Sukarno dan pemimpin sipil lainnya bersalah mengenai
bagaimana mereka memilih untuk menangani serangan Belanda
mungkin lebih dikarenakan mereka tidak dapat membaca ke depan
bukan karena kekurangan keberanian; bagaimanapun beberapa perwira
yang dibunuh oleh komplotan G-30S dibawa tanpa perlawanan dan
Orde Baru tidak memiliki kesulitan untuk melabelkan mereka sebagai
pahlawan.
Tetapi tidak semua catatan mengambarkan kepemimpinan
Republik dengan dukungan. Dr. Abu Hanifah, yang mengenal Sukarno
sejakl920-an, adalah seorangmenteripascakemerdekaan dan membantu
memberikan saran kepada penulis bayangan autobiografi Sukarno,
Cindy Adams, la mengungkapkan skeptisismenya terhadap cerita-cerita
Sukarno (sebagaimana ia dengan buku Sukarno/Adams secara
keseluruhan). la mengklaim Sukarno menolak kesempatan untuk
melarikan diri dari Yogyakarta, untuk naik pesawat yang dikirimkan oleh
Pandit Jawaharlal Nehru, pada malam sebelum serangan, dikarenakan
oleh nasihat dari dukunnya yang merasa bahwa penerbangan itu akan
fatal. Malahan, Sukarno memberikan pidato yang berapi-api kepada
rakyat Indonesia dengan berjanji untuk memimpin secara personal
pasukan gerilya menuju pertempuran. Janji ini disambut dengan
keraguan dan bahkan diremehkan oleh pemimpin nasionalis lainnya
seperti Syahrir yang menilai Sukarno tidak mampu lari ke perbukitan
untuk menjadi pahlawan revolusioner sebenarnya. Menolak nasihat
Soedirman untuk meninggalkan kota, Sukarno dengan tenang menyerah

77 Ibid., him. 260-261.


176 Michael Wood

kepada Belanda setelah memindahkan otoritasnya kepada


pemerintahan darurat di Sumatra dan memerintahkan pengawalnya
untuk menurunkan senjata. Abu Hanifah berspekulasi bahwa Sukarno
mungkin sekali lagi telah mengikuti saran dari penasihat spiritualnya
atau ia merasa lebih aman berada di tangan Belanda; di pedesaan sang
presiden akan lebih rentan untuk diserang oleh lawan komunisnya yang
berniat untuk membalas dendam atas peristiwa Madiun. 78
Sarjana Barat C.LM. Penders dan Ulf Sundhaussen melihat aksi sipil
pada waktu itu sebagai sesuatu tidak dapat dimaafkan. Sukarno telah
berkali-kali mengulangi, bahkan sebelum serangan Belanda,
menyatakan bahwa Republik Indonesia akan melawan dan jika
diperlukan ia sendiri yang akan memimpin pasukan dan janji ini tidak
dipenuhi. Sukarno dan Hatta menyerahkan diri; Hatta memerintahkan
TNI untuk melanjutkan pertempuran apapun yang terjadi dan otoritas
dipindahkan kepada Syafruddin Prawiranegara, yang sedang berkeliling
Sumatra. Tidak Sukarno ataupun Hatta pernah mencoba untuk
membenarkan penyerahan diri ini (di luar klaim yang terakhir bahwa ini
adalah nasihat dari Panglima Angkatan Udara, Komodor Suryadarma).
yang berdampak mematahkan semangat. Belanda memutuskan
pemberitaan yang luas sementara baik Darul Islam dan Tan Malaka
mengklaim bahwa merekalah yang sesungguhnya mewakili perjuangan
yang sebenarnya. Reaksi dari TNI adalah kemarahan dan kecemasan.
Perintah di menit-menit terakhir Hatta hanya membuat dampak kecil.
Sementara militer melanjutkan pertempuran, kepemimpinan sipil
menyerah begitu saja (walaupun komandan senior seperti Soedirman
dan A.H. Nasution memilih untuk diam saja mengenai persoalan ini). 79

7875 Abu Hanifah, Tales of Revolution (London: Angus dan Robertson, 1972),
him. 3-6, 297-299.
79 G.L.M. Penders dan Ulf Sundhaussen, Abdul Haris Nasuion: A Political
Biography (St. Lucia: University of Queensland Press, 1985), him. 42.
SEJARAH RESMI INDONESIA MODERN:. 177

Penders dan Sundhaussen menambahkan bahwa perlawanan


bersenjata adalah kunci untuk pada akhirnya mengalahkan Belanda.
Hingga Maret 1949, strategi Belanda untuk menguasai kota-kota dan
jalur komunikasi dengan jelas tidak berjalan; militer Republik menguasai
wilayah pedesaaan. Ada juga kritik keras dari PBB, Amerika Serikat dan
178 Michael Wood

banyak negara-negara Asia; sebuah perjanjian untuk mengakhiri


peperangan ditandatangani pada 7 Mei 1949.Tetapi negosiasi menuju
perjanjian ini ditolak baik oleh Syafruddin Prawiranegara dan pihak
militer. Mereka merasa bahwa Belanda selalu mengagalkan perjanjian
di masa lalu dan Indonesia menjaganya dengan baik: Belanda gagal
menghancurkan TNI; mereka memiliki makanan dan senjata dan siap
untuk melakukan serangan. Situasi yang menguntungkan ini diabaikan.
Kepemimpinan sipil yang ditahan oleh Belanda mengesampingkan
keberatan militer untuk merundingkan penyelesaian, sebagaimana
mereka tidak ingin untuk memberikan militer penghargaan penuh
untuk pencapaian Kemerdekaan.81 Sebagai isyarat niat baik, para
pemimpin Republik Indonesia diizinkan untuk kembali ke Yogyakarta
dan kepemimpinan militer tidak senang dengan proses ini. Penders dan
Sundhaussen mencatat dalam tahun-tahun berikutnya, militer dan
pendukungnya agak skeptik dengan keuntungan yang dihasilkan dalam
meja konferensi dan skeptisisme ini mungkin dapat dibenarkan:

Dalam tahun-tahun ke depan, perwira militer mengklaim sebagian


besar kemerdekaan dicapai melalui upaya mereka, sementara politikus
sering kali didukung oleh pengamat asing, akan mendebat bahwa
kemampuan negosiasi para pemimpin Republik juga tekanan luar
negeri yang membuat Belanda melepaskan bekas koloni mereka.
Sementara kebenaran yang terletak di antara keduanya adalah
ekstrem dan dapat diperdebatkan lebih banyak dalam klaim para
perwira daripada lawan mereka. Mengingat bahwa Belanda secara
militer bersikap

81
Ibid., him. 44.
179 Michael Wood

defensif dan telah membuka negosiasi dengan para tawanan, hasil


dari negosiasi ini terlihat tidak menguntungkan untuk pihak Indonesia
dan tidak membuktikan kemampuan yang luar biasa dari delegasi
Indonesia tetapi lebih pada kesediaan untuk menerima apapun yang
akan diberikan oleh Belanda.80

Menurut Penders and Sundhaussen, ide bahwa Belanda menyerah


kepada tekanan luar negeri merupakan dalil yang sama-sama
meragukan. Benar adanya bahwa AS dapat menahan bantuan Marshall
Plan tetapi Belanda dapat dengan mudah menolak untuk bergabung
dengan NATO. Belanda tidak begitu peduli dengan protes dari negara-
negara Asia dan PBB menjadi kekhawatiran kecil ketika serangan militer
diluncurkan ketika anggota dari Komite Jasa Baik yang hanya berjarak
beberapa kilometer. Belanda berharap bahwa keadaan dapat segera
didukung. Tetapi meskipun pemerintahan Republik dalam tahanan, TNI
memutuskan untuk melawan dan hal ini terbukti sebagai strategi yang
efektif.81 Bahkan jika sebuah gencatan senjata tidak ditandatangani
adalah sangat mungkin TNI akan mencatat kemenangan yang
menentukan; TNI dengan serangan Soeharto terhadap Yogyakarta, telah
meningkatkan "total perang gerilya" menjadi satu serangan dalam skala
besar. Sebuah serangan terhadap Solo sedang berlangsung ketika
pertempuran dihentikan, dapat saja menjadi "Dien Bien Phu versi
Indonesia".82 Pandangan demikian digemakan oleh sejarawan Orde
Baru, Nugroho Notosusanto:
Perang Kemerdekaantelahberakhirdanperiodebarutelahtiba.
Tanpa bantuan asing dalam bentuk senjata ataupun pasukan, rakyat
Indonesia telah memenangkan kemerdekaan mereka. Tetapi mereka
harus membayar harga yang mengerikan: setiap pojokan negeri

80 Ibid., him. 45.


81 Ibid., him. 46. 81
Ibid., him. 44.
82 Ibid., him. 48-49.
180 Michael Wood

meyingkapkan makam dari ratusan, ribuan pahlawan mereka. 85

81
Ibid., him. 44.

You might also like