You are on page 1of 10

Nama : Mart Hanaan mart.hanaan@gmail.

com
Prodi : Antropologi Budaya 2020 0851 5624 5208
NIM : 203233068 Seni Pertunjukan Indonesia

Seni Pertunjukan Indonesia khas Kabupaten Garut

1. Lais

Lais di Desa Sayang, Kecamatan Cibatu

Menurut keterangan dari beberapa orang tokoh masyarakat seni, bahwa asal mula kesenian
LAIS berdiri sejak jaman penjajahan Belanda tepatnya di Kampung Nangka Pait Kecamatan
Sukawening Kabupaten Garut.

LAIS diambil nama seseorang yang sangat terampil dalam hal memanjat pohon kelapa, ia
bernama LAISAN yang sehari-harinya dipanggil Pak Lais. Caranya memanjat untuk memetik
buah kelapa berlainan dengan kebanyakan orang. Untuk memanjat berpuluh-puluh kelapa ia
cukup satu kali saja dan dipilihnya salah satu pohon yang letak satu sama lain berdekatan,
setelah habis dipetiknya buah kelapa yang satu, ia menggelayun ke kelapa yang lain melalui
pelepah daun yang berikutnya dan memetik rumpun buah kelapa yang lainnya.
Karena keahliannya itu setiap kali Pak Lais disuruh memetik kelapa ia selalu ditonton
masyarakat sekelilingnya, terutama sekali anak-anak sambil menonton ia bersorak sorai,
menari-nari sambil memukul-mukul benda yang ia bawa, seperti potongan-potongan bambu,
kaleng, bekas tempurung dan lain-lainnya. Atas pemikiran beberapa orang tokoh seni di daerah
itu agar keterampilan ini dapat dipertontonkan pada berbagai keramaian, mulai dari saat itulah
diciptakannya seni tradisional Lais dan sebagai pengganti pohon/batang kelapa diambilnya
dua buah bambu dengan ukuran panjang + 12 sampai dengan + 13 M dengan jarak satu sama
lain 6 M, dan sebagai pengganti pelepah kelapa mempergunakan seutas tali atau tambang yang
besar untuk bermain Pak Lais tersebut, kemudian untuk lebih menyemarakan atraksi tersebut
sajiannya diiringi dengan berbagai tabuh-tabuhan seperti dogdog, terompet, gendang, kempul
dan ditambah seorang bodor/lawak yang secara langsung berdialog dengan pemain Lais.

Kesenian LAIS adalah merupakan salah satu kelompok seni tradisional yang diiringi oleh
tabuhan Reog dan Pencak Silat. Jumlah pemain Lais terdiri dari 9 (sembilan) orang
diantaranya :

• Pemegang dogdog satu s/d dogdog empat


• Pemain lawak satu orang
• Pemain Lais satu orang
• Pemegang terompet
Adapun susunan penyajian Seni Lais adalah : sebelum pelais naik keatas terlebih dahulu reog
dan lawak kemudian pelais naik keatas bambu yang telah disediakan dengan cara :

1. Duduk diatas ujung bambu dengan membuka pakaian Kebaya.


2. Berputar-putar.
3. Telungkup.
4. Jungkir balik.
5. Tiduran diatas seutas tambang.
6. Berjalan dengan tangan sebelah.
7. Berputar-putar.
8. Duduk.
9. Berputar dengan sebelah kaki.
10. Turun dari bambu dengan kepala kebawah dan.
11. Permainan lainnya yang mempesona.

Masyratkat sekelilingnya, terutama sekali anak-anak sambil menonton ia bersorak sorai,


menari-nari sambil memukul-mukul benda yang ia bawa, seperti potongan-potongan
bamboo,kaleng bekas tempurung dan lain-lainnya. Atas pemikiran beberapa orang tokoh seni
di daerah itu agar keterampilan ini dapat dipertontonkan pada berbagai keramain, mulai saat
itulah seni tradisional lais tercipta, dan sebagi pengganti pohon/batang krlapa dipergunakanlah
dua buah bambo dengan diameter sedang dan ukuran panjang ± 12 s.d. ± 13 meter dengan
jarak satu sama lain 6 meter, dan sebagai pengganti pelepah kelapa mempergunakan seutas tali
atau tambang yang besar untuk bermain pak lais tersebut, kemudian untuk lebih
menyemarakan atraksi tersebut sajiannya diiringi dengan berbagai tabuh-tabuhan seperti
dogdog, terompet, gendang, kempul dan ditambah seorang bodor/lawak yang secara langsung
berdialog dengan pemain lais.

Kesenian lais merupakan salah satu kelompok seni tradisional yang diiringi oleh tabuhan reog
dan pencak silat, dengan jumlah pemain lais terdiri dari 9 (Sembilan) orang diantaranya :
dogdog 1 – dogdog 4 dipegang 2 orang pemain lawak satu orang, pemain lais satu orang,
pemegang terompet, dan pemain lainnya sebagai tambahan atraksi : bubuang nyawa, Taraje
Gobang dll.

Sebelum pemain Lais (pelais) naik keatas, di dahului reog dan lawak, barulah kemudian
pelais naik keatas bambu yang telah disediakan, barulah menunjukan atraksinya. Seni
tradisional lais ini selain sering diminta tampil pada kegiatan-kegiatan bersekala lokal di Kab.
Garut juga acap kali diminta pihak provinsi untuk tampil dalam kegiatan bersekala regional
dan nasional, selain tentunya tetap melayani permintaan masyarakat untuk memeriahkan acara
khitanan maupun perkawinan di kampung – kampung. Untuk pertunjukan penuh, biasanya seni
tradisional Lais ini menampilkan juga seni kekebalan yang mereka sebut “Bubuang nyawa”
dengan bentuk atraksi : Taraje Gobang, menggantungkan diri dengan posisi perut pada
tajamnya golok, makan “caruluk” (buah pohon nira) yang dalam kondisi normal terkena pada
kulit saja gatalnya luar biasa, makan jarum jahit dengan benangnya namun ketika dikeluarkan
benangnya sudah masuk ke dalam jarum jahitnya dll

2. Surak Ibra

Surak Ibra, juga disebut Kesenian Boyongan atau Boboyongan, memiliki ciri khas adanya
seorang pemain atau tokoh yang diboyong (diangkat-angkat hingga dilempar tinggi-tinggi dan
ditangkap kembali) oleh pemain-pemain lainnya. Semarak, gembira, dan kolosal adalah ciri khas
pertunjukkan ini. Selain memboyong, para pemain yang berjumlah 30 hingga 60 orang ini juga
memeragakan gerakan Pencak Silat lengkap dengan iringan kendang pencaknya.

Jumlah pemain Surak Ibra yang tergolong banyak ini mencerminkan semangat persatuan dan
gotong royong. Pemain yang diboyong juga adalah simbol seorang tokoh pemimpin yang
mempersatukan masyarakat. Sepintas Surak Ibra nampak seperti penggalan momen penyambutan
kemenangan seorang tokoh oleh sejumlah pendukungnya. Memang, dulu seni tradisional Surak
Ibra ini merupakan suatu sindirian terhadap pemerintahan Belanda yang bertindak sewenang-
wenang kepada pribumi, sekaligus untuk memupuk motivasi masyarakat agar mempunyai
pemerintahan sendiri hasil gotong royong bersama.

Kesenian yang berasal dari Kp. Sindangsari Desa Cinunuk Kecamatan Wanaraja ini
merupakan hasil ciptaan Raden Djajadiwangsa, Putera Wangsa Muhammad atau yang lebih
dikenal dengan Raden Papak. Makanya kesenian ini juga kental kaitannya dengan Makam
Cinunuk dan Kasepuhan Cinunuk. Dulu sekitar tahun 1910 di Kasepuhan Cinunuk dibentuk
sebuah organisasi masyarakat yang bernama Himpunan Dalem Emas (HDE) yang turut serta
ngamumule (melestarikan) Surak Ibra. Namun organisasi ini kemudian bubar di tahun 1948.

Di masa lalu, Surak Ibra sering dipertunjukan pada pesta-pesta di Garut, yang biasa dikenal
sebagai Pesta Raja. Pada saat itu para dalem atau bupati Garut mengadakan hajatan. Dalam
perkembangannya saat ini, Surak Ibra sering ditampilkan dalam upacara hari-hari besar, khususnya
hari Kemerdekaan Republik Indonesia atau Hari Jadi Garut.

Pertunjukan Surak Ibra biasanya melibatkan sekitar 30-60 orang. Pertunjukan dimulai dengan
sejumlah pemuda membawa obor yang menyala lalu mengambil formasi berbanjar. Mereka
memeragakan gerakan-gerakan silat. Disusul oleh rombongan penari Surak Ibra yang memakai
kostum pesilat, hanya tidak menggunakan warna hitam lagi, tetapi warna kuning dan merah.

Salah seorang pemain bertindak sebagai pemberi komando. Atas komandonya musik pengiring
ditabuh serempak (biasanya lagu Golempang) bersambung dengan sorak-sorai yang meriah.
Musik dan suara sorak ini menciptakan suasana yang meriah dan dinamis. Musik pengiring
kesenian ini ketika tampil secara umum hampir sama dengan pengiring Kendang Pencak, hanya
ditambah angklung dan dogdog sebagai pelengkap.

Setelah itu mereka melakukan formasi-formasi tertentu dengan gerakan-gerakan pencak silat.
Pada saat mereka membuat formasi lingkaran, salah seorang pemain bertindak sebagai tokoh yang
akan diboyong (diangkat-angkat). Ketika lingkaran semakin menyempit tokoh tadi diangkat oleh
para penari Surak Ibra lainnya, diikuti musik dan sorak sorai yang semakin meriah.
Di atas tangan-tangan pemain yang lain, sang tokoh ini menari-nari dan berpindah-pindah dari
tangan yang satu ke tangan yang lain, kadang tinggi sekali melambung ke atas, sorak sorai pun
semakin ramai. Biasanya setelah atraksi Surak Ibra yang memukau itu, para pemain kembali ke
formasi semula.
Kesenian yang memiliki pesan gotong royong ini kini tergolong pada kesenian yang langka
dan terancam punah. Hal ini disebabkan karena sulitnya regenerasi dan derasnya arus globalisasi.
Kini beberapa pewaris kesenian ini juga sudah memasuki usia senja dan kesulitan untuk
meremajakan kesenian ini.

3. Raja Dogar

Raja Dogar dapat diartikan Rajanya Domba Garut, karena di dalam pertunjukannya di dominasi
oleh kemunculan hewan ternak khas bagi masyarakat Garut, yakni Domba Garut yang
divisualisasikan dalam bentuk atau model kostum yang menyerupai seperti Domba adu Garut.
Disebut Raja Dogar karena bentuk tubuh dan tinggi badanya melebihi dari Domba yang
sebenarnya. Sementara Domba adu garut adalah salah satu hewan ternak yang diakui sebagai ras
domba dengan kwalitas terbaik di dunia yang memiliki simbul “TEUNEUNG LUDEUNG LEBER
WAWANEN NANJEURKEUN BEBENERAN” yang dapat diartikan sebagai lambing Berani dan
Benar.

Seni Raja Dogar diciptakan oleh Sdr. ENTIS SUTISNA pada tanggal 18 Desember 2005 dan
dideklarasikan pertama kali di Kampung Warung Kaler Desa Desa Cikarag Kecamatan
Malangbong Kabupaten Garut.

Bentuk permainan Raja Dogar adalah reflika Laga Domba (Adu Domba) atau sekarang namanya
menjadi Ketangkasan Domba Garut, baik cara dan ketentuan ketangkasan Domba tersebut
diaplikasikan dengan penampilan layaknya Seni Barongsai yaitu dimainkan oleh dua orang pemain
Domba, satu orang sebagai kepala dan satu orang lainnya sebagai badan dan ekor.

Kesenian Raja Dogar berfungsi sebagai Hiburan atau kalangenan yang dapat ditampilkan di
berbagai acara dan arena (Panggung dan Helaran) di dalam maupun di luar ruangan. Selain
dipergunakan untuk seni pertunjukan, juga sering dipergunalan untuk mengarak anak yang
dikhitan dan acara-acara lain.

Musik pengiring Seni Raja Dogar masing menggunakan idiom music tradisional sunda,
diantaranya adalah : seperangkat Kendang Pencak, Reog, Angklung, Tarangtang, Simbal, Bass
Drum dan Kulanter. Konsep Iringan tersebut didasari karena dalam setiap perhelatan ketangkasan
Domba Garut selalu ditampilkan Seni Kendang Pencak sebagai pengirinnya.

Pementasan Seni Raja Dogar, walaupun diusianya masih baru, namun keberadaannya cukup
membanggakan masyarakat Garut, selain sering mengisi event berskala regional, nasional malah
pernah mengisi kegiatan di tingkat Internasional tepatnya di Negara Singapura.

Dalam Perjalanan Seni Raja Dogar, dari semenjak didirikan sampai sekarang, ada beberapa tempat
yang menjadi persinggahan kesenian tersebut, diantaranya :
Pertama kali dibuat di Kampung Warung Kaler Desa Cikarag Kecamatan Malangbong.
Kedua pernah menetap di Kampung Loji Desa Keresek Kecamatan Cibatu
Sekarang menetap dan berkembang di Kampung Pakemitan Desa Wanaraja Kecamatan Wanaraja
(tempat kelahiran sang Kreator Entis Sutisna).
Walaupun sempat berpindah-pindah tempat dan bergantinya para personil, karena di tiga tempat
yang berbeda tersebut, masih meninggalkan karya Raja Dogar (di Malangbong dan Cibatu) yang
masih hidup dan berkembang, namun semuanya ada dibawah management Sdr. Entis Sutisna.

Bobotoh, wasit permainan, dan musik pengiring adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
dalam setiap event di tempat-tempat pamidangan ketangkasan adu doma khas Kabupaten Garut.
Rasa percaya diri seorang bobotoh adu domba, apabila domba milik juragannya dapat
memenangkan dalam setiap pertandingan. Sementara bagi bobotoh yang dombanya kala terasa
hampa lesu dan raut wajah terlihat letih dan sedih, saling ledek pun sering terjadi diantara pada
bobotoh dan disitu peran wasit permainan sangat dibutuhkan untuk meredakan suasana yang
sedang memanas akibat saling meledek diantara bobotoh tersebut.

Kostum yang dipakai pada Seni Raja Dogar untuk para bobotoh tetap dipertahankan sesuai dengan
kebiasaan dimana para bobotoh cara berpakaiannya identik dengan jawara, yaitu memakai Pangsi
(kampret) serba hitam dan memakai topi laken, kacamata, Geulang Bahar, Golok.

Sementara para personil lainnya disesuaikan dengan masa yang kekinian, agar para penonton dan
personil tidak merasa jenuh dan bosan. Contohnya Personil Pembawa Bandir (bendera) memakai
pangsi dengan warna mencolok (genjreng) sementara ikat kepala mereka yang dahulu identik
dengan batik, maka pada seni Raja Dogar ini ada inovasi yaitu dengan dibuat dalam bentuk seperti
mahkota kepala domba yang dibaut secara abstrak. Termasuk pada pemain Musik (pengiring)
memakai kostum yang berwarna mencolok yang disesuaikan dengan masa kekinian.

Jumlah pemain Raja Dogar pada pelaksanaannya disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan
permintaan para pengguna jasa Seni Raja Dogar. Jumlah seluruhnya para pemain Raja Dogar
berjumlah 40 orang untuk katagori Helaran (karnaval) dengan rincian sebagai berikut :
1. 4 orang sebagai Pemeran Domba untuk 2 ekor Domba
2. 6 orang sebagai Bobotoh
3. 1 orang sebagai Wasit permainan
4. 6 orang sebagai Pembawa Umbul-umbul (Bandir)
5. 6 orang sebagai Penari (Pesilat)
6. 8 orang sebagai pemain Musik (Pangrawit)
7. 2 orang sebagai pembawa spanduk
8. 3 orang sebagai pembawa roda Sound System
9. 4 orang sebagai pendorong panggung berjalan
Jumlah pemain Raja Dogar cukup Fleksibel, bisa dengan personil 40 orang, 30 orang ataupun 20
orang, bahkan sampai 12 orang disesaukan dengan kondisi lapangan.

Jalanya Permainan Seni Raja Dogar dimulai dengan :

Penampilan pembawa bendera (Bandir) yang dibawakan oleh 6 sampai 8 orang penari putra.
Selanjutnya masuk para penari (Pesilat Putri) yang membawakan beberapa jurus yang dilanjutkan
dengan ijen dua orang petarung.
Kemudian masuk 2 ekor Domba, yang berjalan mengitari lapangan (arena pertandingan) kalau
dilaksanakan di luar ruangan. Yang selanjutnya diikuti oleh para bobotoh atau pengurus domba-
domba dimaksud.
Setelah mengitari arena, selanjutnya para bobotoh mengurus masing-masing Domba jagoannya.
Para Bobotoh pun saling sindir dan saling ejek merendahkan kemampuan lawan, dan selanjutnya
para bobotoh memamerkan jurus-jurus andalan mereka dengan diiringi tepak dua. Bahkan dalam
gerakan-gerakan Silat para Bobotoh dibuat sebagai bahan lawakan untuk menyemarakan suasa
sebelum pelaksanaan Raja Dogar Domba dilaksanakan.
Akhirnya Seni Raja Dogar pun mulai diperlihatkan, dimulai dengan :
Jetrakan pertama, kedua Domba mencoba mengukur kekuatan lawan
Jetrakan kedua, masing masing Domba merasakan kekuatan lawan
Jetrakan ketiga, saling adu gesek tanduk
Jetrakan keempat, Kedua Domba saling mengelak sehingga menyeruduk ke penonton, hingga
akhirnya para penonton berhamburan menghidar Domba yang kebablasan.
Jetrakan kelima, Domba berwarna putih kalah terlebih dahulu
Jetrakan keenam, Domba warna putih masih memaksakan untuk bertanding, namun kehabisan
tenaga dan akhirnya Domba putih ambruk, sehingga para bobotoh sibuk mengurus Domba Putih
tersebut agar bisa bertanding kembali.
Jetrakan ketujuh, Doma Putih kembali bisa bangkit dan meneruskan pertandingan, dan pada
akhirnya Domba Putih pun dapat memenangkan pertandingan dimaksud.
Terakhir Kedua Domba secara bersamaan memberi hormat kepada para penonton sebagai akhir
dari jalanya Pagelaran Seni Raja Dogar.
Dalam pementasan Seni Raja Dogar, dalam setiap gerak yang ditampilkan adalah manivestasi dari
filosofi yang telah dilakukan oleh orang tua kita dahulu. Diantaranya :

Seperti pembawa Umbul-umbul melambangkan kegembiraan masyarakat sewaktu menyambut


kedatangan tamu kehormatan atau menyambut tamu yang diagungkan (pangagung). Umbul umbul
(Bendera) yang berjumlah 6, melambangkan Rukun Iman.
Bobotoh dan Wasit berjumlah 7 orang, melambangkan lapisan bumi dan langit kita ada 7 lapisan,
dan warna hitam pada pangsi (kampret) melambangkan warna tanah.
Domba berjumlah 2 ekor, melambangkan dua sisi dari kehidupan di dunia, ada siang dan malam,
Baik dan benar, Lelaki dan Perempuan.
Warna Hitam dan Putih pada 2 Domba melambangkan hal baik dan hal buruk.
Pesilat selain dijadikan sebagai kembang desa juga diperlihatkan gerakan kekuatan dalam cara
bela diri agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.

You might also like