You are on page 1of 7

ANCAMAN PANCASILA MENURUT SEJARAH NEGARA PANCASILA

Oleh Citrawati (121106011)

Mahasiswi Universitas Paramadina Jakarta

INTI SARI

Seiring perkembangan zaman, banyak sekali terjadi pro dan kontra tentang berdirinya
Pancasila yang kini menjadi dasar negara kita Indonesia, tentunya tak mudah bagi Pancasila
itu sendiri untuk bisa menjadi dasar negara RI, seperti yang kita ketahui bahwa banyak sekali
ancaman-ancaman terkait Pancasila dari awal berdirinya hingga sampai saat ini, lantas apa
saja ancaman yang telah dilalui dan mengapa hal itu bisa terjadi? Tentunya saya akan bahas
masalah-masalah itu dalam tulisan saya kali ini.

A. PENDAHULUAN

Indonesia memiliki dasar negara yaitu Pancasila. Di alinea terakhir, tertulis kelima
sila yang menjadi dasar negara Indonesia, sila pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha
Esa”, dilanjutkan oleh sila kedua yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, sila ketiga
yaitu “Persatuan Indonesia”, sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” dan sila terakhir yaitu sila kelima
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Ditulis dalam buku Pancasila Sebagai Ideologi dan Dasar Negara karya Ronto
(2012), Pancasila secara etimologis berasal dari bahasa sanskerta, “Panca” yang artinya
adalah lima, dan “Syla” yang berarti batu sendi. Pancasila merupakan rumusan dan
kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai dasar negara,
Pancasila tentu memiliki fungsi. Pada dasarnya Pancasila berfungsi sebagai dasar dari semua
hukum yang berlaku di Indonesia.

NILAI-NILAI PANCASILA

Kelima sila dalam Pancasila tentu sebaiknya dimaknai lebih jelas, maka dari itu
Badan Pembinaan Ideologi Pancasilaa (BPIP) merangkum nilai-nilai Pancasila sebagai
pandangan hidup, “Ketuhanan Yang Maha Esa” Sila pertama ini mengartikan bahwa negara
Indonesia mempercayai dan bertakwa pada Tuhan, dan disesuaikan dengan agama serta
kepercayaan masing-masing orang. “Kemanusiaan yang adil dan beradab” Warga negara
diminta untuk memahami bahwa setiap manusia memiliki derajat yang sama, saling menjaga
dan bekerja sama untuk kedamaian negara. “Persatuan Indonesia” Warga negara harus
menempatkan kesatuan, persatuan dan kepentingan negara demi kepentingan masing-masing.
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”
Warga negara tidak bisa memaksakan kehendak pada orang lain dan harus mengutamakan
kepentingan orang lain. “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” Warga negara
mengembangkan perbuatan luhur dengan cara kekeluargaan, gotong royong dan bersikap
adil.

IDEOLOGI PANCASILA

Pancasila kerap disebut sebagai ideologi negara. Untuk memaknainya, Ronto dalam
buku Pancasila Sebagai Ideologi dan Dasar Negara (2012) menjabarkan sebagai berikut,
Pancasila merupakan cita-cita yang menjadi dasar, pandangan dan pemahaman pada negara.
Pancasila sebagai ideologi negara merupakan tujuan bersama bangsa Indonesia yang
diimplementasikan dalam pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan
makmur yang merata material dan spiritual. Pancasila adalah wadar NKRI yang merdeka,
berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman,
tenteram, tertib dan dinamis serta dalam pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib,
dan damai.

ARTI LAMBANG PANCASILA

Indonesia dilambangkan dalam seekor burung garuda, atau sering disebut sebagai
garuda Pancasila. Di dada burung garuda tersebut terdapat perisai yang menggambarkan 5
simbol yang mewakili sila-sila dalam pancasila, yang artinya sebagai berikut, Bintang
melambangkan sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Ditulis dalam situs
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bintang menggambarkan cahaya kerohanian bagi
seluruh warga negara. Kelima sisi pada bintang menggambarkan kepercayaan masing-masing
warga negara. Rantai melambangkan sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
Rantai yang tersusun dari 17 gelang menggambarkan hubungan manusia yang saling tolong
menolong. Pohon Beringin melambangkan sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia. Pohon
Beringin digambarkan sebagai tempat berteduh untuk seluruh warga negara. Lambang
tersebut juga mengartikan kesatuan Indonesia yang kokoh tertanam dalam akar yang kuat.
Kepala banteng melambangkan sila keempat yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kepala banteng dimaknai sebagai hewan
yang suka berkumpul dan kompak dalam mengambil keputusan. Padi dan kapas
melambangkan sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa
memandang status dan kedudukan. Padi dan kapas mencerminkan sandang dan pangan, tak
adanya kesenjangan antara warga negara. (Tim, CNN Indonesia, Kamis, 03/12/2020)

B. PANCASILA DALAM ARUS SEJARAH BANSA

Dalam arus sejarah berdirinya Pancasila ada beberapa periode yang dilalui, yang
pertama yaitu periode Pengusulan Pancasila yang dilakukan pada sidang BPUPKI pertama
yang dilaksanakan pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, dimulailah sidang yang
pertama dengan materi pokok pembicaraan calon dasar negara. Menurut catatan sejarah,
diketahui bahwa sidang tersebut menampilkan beberapa pembicara, yaitu Mr. Muh Yamin, Ir.
Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Soepomo. Keempat tokoh tersebut menyampaikan
usulan tentang dasar negara menurut pandangannya masing-masing. Meskipun demikian
perbedaan pendapat diantara mereka tidak mengurangi semangat persatuan dan kesatuan
demi mewujudkan Indonesia merdeka.

Sebagaimana Anda ketahui bahwa salah seorang pengusul calon dasar negara dalam
sidang BPUPKI adalah Ir. Soekarno yang berpidato pada 1 Juni 1945. Pada hari itu, Ir.
Soekarno menyampaikan lima butir gagasan tentang dasar negara sebagai berikut :
Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat
atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, Ketuhanan yang berkebudayaan.

Berdasarkan catatan sejarah, kelima butir gagasan itu oleh Soekarno diberi nama
Pancasila. Selanjutnya, Soekarno juga mengusulkan jika seandainya peserta sidang tidak
menyukai angka 5, maka ia menawarkan angka 3, yaitu Trisila yang terdiri atas (1) Sosio-
Nasionalisme, (2) Sosio-Demokrasi, (3) Ketuhanan Yang Maha Esa. Soekarno juga
menawarkan angka 1, yaitu Ekasila yang berisi asas Gotong-Royong.

Sejarah mencatat bahwa pidato lisan Soekarno inilah yang dikemudian hari
diterbitkan oleh Kementerian Penerangan Republik Indonesia dalam bentuk buku yang
berjudul Lahirnya Pancasila (1947). Dari judul buku tersebut menimbulkan kontroversi
seputar lahirnya pancasila. Di satu pihak, ketika Soekarno masih berkuasa, terjadi semacam
pengultusan terhadap Soekarno sehingga 1 Juni selalu dirayakan sebagai hari lahirnya
Pancasila. Di lain pihak, ketika pemerintahan Soekarno jatuh, muncul upaya-upaya “de-
Soekarnoisasi” oleh penguasa Orde Baru sehingga dikesankan seolah-olah Soekarno tidak
besar jasanya dalam penggalian dan perumusan Pancasila.
Selanjutnya masuk pada periode Perumusan Pancasila, pada sidang BPUPKI yang
kedua, tanggal 10-16 Juli 1945 telah disetujui naskah awal “Pembukaan Hukum Dasar” yang
kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Pada alinea keempat Piagam Jakarta itulah
terdapat rumusan Pancasila sebagai berikut. (1) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3)
Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Masuk pada periode yang terakhir yaitu periode Pengesahan Pancasila, Sejarah
bangsa Indonesia juga mencatat bahwa rumusan Pancasila yang disahkan PPKI ternyata
berbeda dengan rumusan Pancasila yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Hal ini terjadi
karena adanya tuntutan dari wakil yang mengatasnamakan masyarakat Indonesia Bagian
Timur yang menemui Bung Hatta yang mempertanyakan 7 kata dibelakang kata
“Ketuhanan”, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya". Tuntutan ini ditanggapi dengan arif oleh para pendiri negara sehingga terjadi
perubahan yang disepakati, yaitu dihapusnya 7 kata yang dianggap menjadi hambatan
dikemudian hari dan diganti dengan istilah “Yang Maha Esa”. (Buku Ajar Mata Kuliah Wajib
Umum Pendidikan Pancasila, hal 50-54).

C. EKSISTENSI PANCASILA

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan yang kemudian diikuti dengan


pengesahan UUD 1945, maka roda pemerintahan yang seharusnya dapat berjalan dengan baik
dan tertib, ternyata menghadapi sejumlah tantangan yang mengancam kemerdekaan negara
dan eksistensi Pancasila. Salah satu bentuk ancaman itu muncul dari pihak Belanda yang
ingin menjajah kembali Indonesia. Belanda ingin menguasai kembali Indonesia dengan
berbagai cara. Tindakan Belanda itu dilakukan dalam bentuk agresi selama kurang lebih 4
tahun. Setelah pengakuan kedaulatan bangsa Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember
1949, maka Indonesia pada 17 Agustus 1950 kembali ke negara kesatuan yang sebelumnya
berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Perubahan bentuk Negara Serikat ke Negara
Kesatuan tidak diikuti dengan penggunaan UUD 1945, tetapi dibuatlah Konstitusi baru yang
dinamakan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Permasalahannya ialah
ketika Indonesia kembali Negara Kesatuan, ternyata tidak menggunakan UUD 1945 sehingga
menimbulkan persoalan kehidupan bernegara dikemudian hari.
Berdasarkan UUDS 1950 dilaksanakanlah pemilu yang pertama pada 1955. Pemilu
ini dilaksanakan untuk membentuk dua badan perwakilan, yaitu Badan Konstituante dan
DPR. Pada 1956, Badan Konstituante mulai bersidang di Bandung untuk membuat UUD
yang definitif sebagai pengganti UUDS 1950. Sebenarnya telah banyak pasal-pasal yang
dirumuskan, akan tetapi sidang menjadi berlarut-larut ketika pembicaraan memasuki kawasan
dasar negara. Kebuntuan ini diselesaikan lewat voting, tetapi selalu gagal mencapai putusan
karena selalu tidak memenuhi syarat voting yang ditetapkan. Akibatnya, banyak anggota
Konstituante yang menyatakan tidak akan lagi menghadiri sidang. Keadaan ini
memprihatinkan Soekarno sebagai kepala negara.

Akhirnya, pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengambil langkah “darurat” dengan
mengeluarkan dekrit, Setelah Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959, Seharusnya pelaksanaan
sistem pemerintahan negara didasarkan pada UUD 1945. Karena pemberlakuan kembali
UUD 1945 menuntu konsekuensi sebagai berikut: pertama, penulisan Pancasila sebagaimana
termaktub dalam pembukaan UUD 1945, kedua, penyelenggaraan negara seharusnya
dilaksanakan sebagaimana amanat Batang Tubuh UUD 1945. Dan, ketiga, segera dibentuk
MPRS dan DPAS. Pada kenyataannya, setelah dekrit presiden 5 Juli 1959 terjadi beberapa
hal yang berkaitan dengan penulisan sila-sila Pancasila yang tidak seragam.

Sesudah dikeluarkannya dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno, terjadi
beberapa penyelewengan terhadap UUD 1945. Antara lain, Soekarno diangkat sebagai
presiden seumur hidup melalui TAP No. III/MPRS/1960. Selain itu, kekuasaan Presiden
Soekarno berada dipuncak piramida, artinya berada pada posisi tertinggi yang membawahi
ketua MPRS, ketua DPR, dan ketua DPA yang pada waktu itu diangkat Soekarno sebagai
menteri dalam kabinetnya sehingga mengakibatkan sejumlah intrik politik dan perebutan
pengaruh berbagai pihak dengan berbagai cara, baik dengan mendekati maupun menjauhi
presiden. Pertentangan antar pihak begitu keras, seperti yang terjadi antara tokoh PKI dengan
perwira Angkatan Darat (AD) sehingga terjadilah penculikan dan pembunuhan sejumlah
perwira AD yang dikenal dengan peristiwa G30SPKI. (Buku Ajar Kuliah Wajib Umum
Pendidikan Pancasila, hal 57-59).

D. DINAMIKA DAN TANTANGAN PANCASILA

Dinamika Pancasila dalam sejarah bangsa Indonesia memperlihatkan adanya pasang


surut dalam pemahaman dan pelaksanaan nilai-nilai Pancasila. Misalnya pada masa
pemerintahan presiden Soekarno, terutama pada 1960-an NASAKOM lebih populer daripada
Pancasila. Pada zaman pemerintahan presiden Soeharto, Pancasila dijadikan pembenar
kekuasaan memalui penataran P-4 sehingga pasca turunnya Soeharto ada kalangan yang
mengidentikkan Pancasila dengan P-4. Pada masa pemerintahan era reformasi, ada
kecenderungan para penguasa tidak respek terhadap Pancasila, seolah-olah Pancasila
ditinggalkan.

Salah satu tantangan terhadap Pancasilaa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
adalah meletakkan nilai-nilai Pancasila tidak dalam posisi sebenarnya sehingga nilai-nilai
Pancasila menyimpang dari kenyataan hidup berbangsa dan bernegara. Salah satu contohnya,
pengangkatan presiden seumur hidup oleh MPRS dalam TAP No.III/MPRS/1960 Tentang
Pengankatan Soekarno Sebagai Presiden Seumur Hidup. Hal tersebut bertentangan dengan
pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Presiden dan Wakil Presiden memangku
jabatan selama lima (5) tahun, sesudahnya dapat dipilih kembali”. Pasal ini menunjukkan
bahwa pengangkatan presiden seharusnya dilakukan secara periodik dan ada batas waktu
lima tahun. (Buku Ajar Kuliah Wajib Umum Pendidikan Pancasila, hal 66-67).

E. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa Pancasila telah banyak mengalami pasang surut
paska berdirinya hingga sampai saat ini, telah banyak melewati ancaman demi ancaman,
tantangan demi tantangan yang tentunya tak mudah untuk diatasi. Akan tetapi, sikap gotong
royong yang terbangun dari berbagai kalangan telah mampu mendorong dan
mengimplementasikan sedikit demi sedikit nilai-nilai Pancasila, untuk itu, marilah kita sama-
sama jaga Martabat dan Kehormatan dasar negara kita Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tim, CNN Indonesia, Kamis, 03/12/2020


2. Buku Ajar Kuliah Wajib Umum Pendidikan Pancasila, hal 50-54
3. Buku Ajar Kuliah Wajib Umum Pendidikan Pancasila, hal 57-59
4. Buku Ajar Kuliah Wajib Umum Pendidikan Pancasila, hal 66-67

You might also like