You are on page 1of 7
Tugas Filsafat di Era Komunikasi Digital Pidato Pengukuhan Guru Besar Filsafat di Universitas Pelita Harapan - 8 Desember 2021 tai Prof.Dr. Fransisco Budi Hardiman, S.S., M.A. “Kind ‘vordis are like honey ~ sweet to the soul and healthy for the body” ~ Proverb 16:24 Aadalah suatu kebormataa boleh berdiri di mimbas ini untuk berbicara tentang filsaat, sebuah bertuk pengetahuan yang sudah sengat tua usienya, namun rasih relatif muda sebagai subyek akademis di negeri Kita, Universitas Pelita Harapan merupakan salzh setu perguruan tinggi yang mengajarkan Alsafat, bukan hanya untuk jurasan tertentu, Semua alumni, entah itu doktes,insinyur, arstek, guru, etau sarjana ekonomi, pecnah belajarfilsefat lewat kurikulum liberal arts dan pasca sarjana, Kalas sact ini membahas tugas filsafat santuk era komunikasi digital, saya mengaja‘ berpikir tenteng manfaat fisafat untuk publik. Tugas itu tenta tidak mudch karena harus dituncikan di tengah zaman yang mulai malas becpikic den lebih suka browsing dan googling ini. Filsafat sudah berakhir, yaitu mati. Demikian kesalahpahaman yang terjadi, setelah Heidegger dan Rorty menulis hal itu. Bederapa kemetian atau akhis Jain juga sempat diberitakan, seperti “kematian pengarang” (Roland Barthes), “kesudahan seni" (Arthur Danto) dan “akhir manusia” (Michel Foucault). Sadah jauh sebelumrya nabi seku.ar Friedrich Nietzsche mengumumkan “kemetian Allah’, dan roungkin awelnya dari situ. Kesalahpaliaran terjadi karens “akhir” atau “kematian” yang dimaksud Fara filsuf kontemporer itu sebetulnya adalah cara-cara berfilsafat yang kedaluwarsa. Banyak yang ingin melayat filsafat, tetapi tidak melihat mayat dalam peti matinya, Penjelasannya sederhana, Selama manusia berpikir, selama :tu filsefat masih hidup dan bahkan dilairkan kembali, Namun di sini kita pun menghadapi mesalah yang lebih pelik daripada wacana-wacana tentang kematian fi'safat. Apakah manusia masih berpikir 4: era kormunikasi digital? Apakah arti berpikir di zaman kita? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, Tapi ketika menggariskan tugas filsafat, kita sedang dipaksa untuk menemukan jawabannya. Zaman kita disebut dengan berbagai nama, seperti: post-modera, revolusi industri 4.0, dan di sini kite sebut era komunikasi digital. Transisi ke era itu ‘ita sebut zevolusi digital. Apa yang menyamakan isi semua nama ita adcla luapar, informasi yang diakibatkan pemakaian teknclogi digital. Di akhir abad ke-20 filsuf dan sosiolog Prancis Jean lah bicara tentang ‘simulacea’, yaitu tentang kondisi kite saat komunikas Baudrillard t ini, ketika realicas telah diganti dengan simbol. Menurutnye pengalaman_ kita — politis, ekonomis, psikologis, erotis - tidek lebih daripada simulasi Kenyataan. Teks, video, gambar di internet membingkai atau merekayasa peristiva seolah-olah terjadi Kita berada di dalamnya. Saat ini, ketika sebagian besar orang menundukkar kepala melihat layar ponselnya, anelisis Baudrillard tampak semakin terbulti. [si Zcom, Whatsapp, Tik Tok den ‘Twitter: terasa lebih real daripada orang yang duduk di depan kita. Kita ‘menjadi gagap menghadapi kelangsungan. Efeknye untuk demokrasi cukup menggelisahkan, Dengan telepon cerdas ideal-ideal demokrasi seolah dapat dircih. Inilak era ketika siapa saje bisa bicara, seolah dapat mengakses kekuasean. Dalem komunikasi digital tidak ada hirarki yang membatasi. Setiap orang bisa menjadi produsen, sutradara, sekaligus ekspert bagi orang lain, Tetapi persis pada saat ini pula, Ketika akses lengsung ada dalam genggaman, cita-cita demokrasi terancam luput dari genggaman. Alih-alih mengupayakan saling pemahamen, kerap kali a sosial menjadi sarana menyebarkan hoaks, berita palsu, dan media-me "1h. Jean Banda, Smulcera and Simulation, (Usigesiry of Michigan Pres: Michigan, 1995) 2 berbagai kecohan lain delam bentuk teks, video, poster, chat, atau foto yang mendistorsi xenyataan, Industri kebohongan telah sampei ke reang privat kita untuk mengkhianati akal sehat dan memancing kebenciaa timbal balk. Apakah bisa disebut komunikesi, jika kita tidak saling mengerti? Apakah bisa disebut demokrasi,jika kebohongan merusak komunikesi? Filsafat telah mengemban tugasnya sejak kelahirannya di zaman Yanani uno, Tugasr-ya adalah meagajak berpikir. Berpikir adalah mempersoalkan. Sejak awal filsafat hidup dengan bertanya. Dahulu ia mempersoalkan mitos, Dalam buku xetujah The Republic, Plato bercerita tentang para tawanan dalam gua yang sejak kecil hanya melihat bayang-bayang pada dinding! Mereka percaya bahwa bayang-bayang adalah realitas. Mites diktitik sebagei realitas semu seperti itu, Di zaman modern filsafat mempersoalxan ideologi dan bahkan agama sebagai bentuk lain mitos. Seat itu fiksi masih relatif mudah dibedakan dari cealitas. Dalam revolusi digital, ketika luapan informasi mengacaukan persepsi, distingsi antara fiksi dan realitas mulai kabur dan agaknya tidak menarik Jhgi untuk dipersoalkan. Para pengguna gawai tiéak lagi peduli bahwa mereka telah menjadi tawanan seperti dalam cer‘ta Pato itu. Bukan dinding goa, melainkaa layar; bukan bayang-bayang, melainkan simulacra sedar:g raenjebak mereka. Namun mereka tampakrya menikmati bayang-bayarg itu. Apakah filsafat masih dapat menunaikan tugas Klasiknya? Masih perlukaa cugas itu, jike berpikir dianggap sama seja dengan menikmati suasana goa masing-masing? Lh. Paton, Der Scat, (Felix Meieer Verlag: Hamburg, 1993), fragmen 514-515,h, 259-271 Filsafat dan Komunikasi Digital Jewaban saya adalah: Filsafat horus tetay menjalankan ‘ugas Klasiknya, yaita mengajak derpikir untuk menemuken Kebenaran, memaknai xeindahan, dan menilai kebaikan, Tugas ini ciperluken justra di zaman kita, ketika komunikasi digital menjadi mode of being kita yang baru. Khususnya di Indonesia, sebuah negara dengan pengguna internet yang mencapei sekitar 125 ju‘a orang, tugas ini mendesak untuk dilakukan, Sebelum menguzai tugas itu, saya akan mengulas dua hal. Pertama, apa itu dunia digital. Kedua, apa kebaruan komunikasi digital Jika b:cara tentang “dunia yang kita maksudkan adalah segala sesuatu yang ada’ Namun sebagai persoalan komunikasi, ‘dunia’ adalah segela sesuatu yang relevan bagi kita untuk kita bicarakan. Tstilah dunia digital mengacu pada pengertian terakhir ini, Aliran silih berganti pesan-pesan, gambar-gambar, video-video - atau singkatnya komunikasi-komunikasi - membentuk satu kesatuan yang kita sebut dunia digital. Dunia seperti ini berciri linguistik. Jika kita menyalakan ponsel dan nmulai terlibat dalam komunikasi, kita menjadi aktor dalam dunia digital itu. Dunia itu membedakan diri dari sesuatu di luernya yang juge relevan bagi kita dalam komunikasi, yakni: dunia korporeal ctau dunia fisix, Gabungan antara dunia digital dan duria korporeel depat kita sebut ‘kompleksitas 3aru. Dalam kondisi ideal dunia digizal can dunia korporeal_menjaga batas-batasnya dan saling menafsirkan satu sama lain, Kita tabu bahwe isi dunia digital bukan seluruh kenyataan, melainkan ‘realitas sejauh dibicaraan? Akal sehat mempertahankan distingsi ita. Namun distingsi antara realitas dan ‘tealitas sejauh dibicarakan’ itu menjadi sulit dijaga, ketika_Ivapan__informasi__mzngkooptasi__xesadaran_dan * Bak. Martin He degge, Sein wn Zt, (2Max Niemeyer Verlag Tbingen, 2001) paragat 4 63 4 mengacaukan persepsi pengguna gawai. Di dalam situasi ini dunia digital mengganti dunia korpozeal. Alih-alih kepada realitas, orang menjad: lebih percaya kepada ‘realites sejauh dibicarakar’, ya‘sni simulaera, Namun tigp hal puaya akhir, Bukankah jika ponsel mati atau pulsa habis, ‘realitas sejach dibiceraken’ itu berhenti? Jeda hening itu. memberi tempat kepada ‘realitas di luar pembicaraen’ untuk menempekkan diri, Komunikasi tidal dapat menghabisinya. Transperansi digi-al malah telah menyembunyikannya di balik sata-keta. Filsafat menghadapi kompleksitas baru itu sebagai taatangan, Dahulu, ketika dunia hanya korporeal, renungan-renungan tertuja pada dunia korporeal itu, Descartes menemukan kesadaran modern dengan mengacu kepade dirinya, subyek yang bertabuh. Kesadaran dibayangkan sebagai substansi, res cogitans. Namun sekerang, delam kompleksitas baru, flsafat tidak lagi membeyangkan si “aku” sebagai scbstansi karena si “aku” dalem komunikasi digital ita te: kembali pesan-pesan yang dibacanya, Hal-hal, termasuk si “aku’, dalem komunikasi digital bukanlah mirror ef nature (Rozty), melainkan ~ seut saja - mirror of communication. Diri bukanlah substansi, melainkan gumpalan relasi-relesi atau “masyarakat dalem masyarakat” (Simma), Seperti bawang, tidak ada nucleus di dalemeya, hanya lapisan-lepisan ri atas gumpalan relasi-relasi yang memantulkan kontingensi yang berujung pada bukan apa-apa. 3eraza banyak “aku* kumil:ki, jika si “aan” edalah mirror of communication? Adakah yang lebih ‘misterius daripada “dir” dalam komunikasi digital? Masih adakah subyek moral? Lh, Georg Simmel, Souslgi, Untersuchungen ber de Hermen der Verge fang Gesamzausgab Band Hl, (Suhreamp Tascrenbach Wistenschat Frankfutt NG, 1962) 3 "pak. Kevon O'Donndl,Pesbrodernisme,(Penerbit Kanisise: Yogyaker-a 2009). €2 5 Di sampirg gemberan manusia, secara praktis cara-cara pencarian Kebenaran, Keindahan, dan kebaikan juga berubah. Mereka tidak dicari dengan refleksi-dici di dalam benak, pada daya cerap, atau dalam lubuk hati senditi, melainkan dicari dengan lik ke dalam belantara informasi arahan Google atau Youtube. Akal tidak lagi aerois seperti di zaman Pencerahan, ‘Api yang dinyalakan Prometheus mulai redup. Akal haras bernegosiasi dengan sentimen dan imajinasi yang berseliweran di ruang maya, Seteleh dua perang denia di abad lalu filsafat makin menyadari kontingensi akal budi dan mulai bicara tentang “foktisitas” (Heidegger), “keberuntungan” (Nussbaum), dan “anugerah” (Derrida). Akal membantu untuk mengenal dunia, tetapi ia tak punya akses langsung ke dunia, karena akalpun adalch interpretasi yang merangkul kekosongan® Kondisi ini makia benar dalam Komenikasi digitel. Isi gawai kita tidak mengakhiri, malah menyingkep makin banya‘cmisteri kehidupan dengan ta: ir tanpa ujung. Kompleksites baru itu tidak terpisahkan dari kebaruan kemunikasi digital. Ada tga ciri kebaruannya’ Penampilan online seseorang tidak perlu mengandaiken adanye tubub, Komunikasi menjadi bodyless. Anda berada tetapi tubch Anda entaa di mana. Ttalah fenomena dekorporealisasi yang menjadi ciri pertama komunikesi digital. Dalam telepresensi orang tidak merasakan langsung tindakannya, maka sensibilitesnya jauh berkarang, Selah-rasa dan mati-rasa menjadi lazim. ‘Tubuk: menjangkarken kita dalam dunia, maka tanpenya kita kehilangan rasa “berada-dalam-situasi’, Tidakkah komitmen menjadi salit di sini? Citi Kedua adalah tercerabutnya tindaan dari teritorium tertentu. Klis atau ketik yang kita Jakukan pada layar menghapus perdedaan Jokal dan global arena sotiap tincaken memiliki potensi global. Kita mengawasi sekaligas di sana sekaligus di si: diawasi. Tiap orang potensial menjadi paparazci bagi yang lin, Tach Lik Bul Hardiman, Ade Klik rk Adu da Nasa dale Revolt Digital (PT Kein: ogy 2021), 221-225, Fenomena ini kite sebut deieritoralisasi. Apa lalu arti tempat, jika pesan Kita bisa ada di mana-mana tapi tidak di manapun? Akhirnya, tindakan, seperti Kik atau ketik, bisa mendabului keputusan Kesadaran akibat Ketidakberpikiran para pengguna, padahal efe tindakan itu bisa sangat membahayakan. Satu klik bisa saja menimbulkan kerusuhan, seperti terjadi di India dan Amerika belum lama ini, Kita menyebut kegiatan yang lolos dari cekckesadaran akibat rutin ini banalisasi Ketige ciri kebaruan itu ikut mengaburkan kriteria epistemologis, estetis, dan etis zaman kita. Celakanya banyak orang menyalakpahami kekaburan itu sebagai dekonstruksi, lalu bersikap defaitistis terhadap kompleksitas. Dekonstruksi bukan destruksi, melainkan suspensi makna untuk memberi ruang bagi hal-hel baru, maka perlu dilanjutkan dengan rekonstruksi,Jika tidak, kita melakukan Pembiaran, Anda membongkar rumah tua, tetazi bukan untuk membiaran reruntvhan itu melainkan untuk membangun yang baru, Sebageimana kita selalu butah rumeh untuk bermukim, kita juga selalu membutubkan kriteria kebenaran, keindzhen, dan kebaikan untuk berpikir dan berbuat. Apakah filsafat cukup puas hanya dengan mempersoalkan kriteria-Kriteria itu dan mendukung relativisme epistemis dan moral? Jawaban saya sederhana: Filsafat tidek bertugas untuk ‘membiarkan relativisme, apalogi untuk menghasilkannya, melainkar: untuk menguranginya. Ia harus membantu menetapkan kriteria baru untuk mengurangi absurditas, ika tidak, dlsafat tak kurang daripada sofisme. ® Derida herkebeeutan dengan kesalabpahamar itu dan mengkarfkai maksudnya dalam: Jacques Detide, Gevteshraf, Der mystiscke Grund der ort, Subskamps Frankfurt a M., 1996), h. 20-21, jugs ha, 7 ‘Tugas Filsafat Ada sekurangnya tiga tugas filsafet di era komunikasi digital. Tugas Pertama adalah menyingkap ambivalensi komunikasi digital. Filsafat perlu ‘memproyeksikan kemungkinan-kemungkinan baru pemakaian teknologi digital untuk meringkatkan kemenusiaan kita, seperti kreativitas, kebebasan, dan moralitas. Namun ia juga karus mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang sejauh mana teknologi digital dapat mendegradasi kemanusiaan kita sampai ke taraf mesin. Dengan teknologi ini kita bisa menjadi kosmopolitan, dan terbuka kemungkinan terbentuknya kewargaan global. Namun ancamanaya juga nyata, yakni: thoughtlessness. Dewasa ini perluasan kapasites kemanusiaan kita berjalan seiring dengan kekvasaan besar robotisasi yang mendegradasiberpikir menjadi sekadar proses ‘teknis, seperti browsing dan googling. Ketidakberpikiran bisa sangat berbaheya. Bukanksh radikalisme religius diuntungkan oleh mereka yarg bereaksi robotik?” Agaknya kita tidak hanya dilatih menjadi kosmopolitan, tetapi juga sekaligus menjadi cyborg. Filsafat harus bersiasat untuk mengatasi dilemma itu, Tugas Kedua adalah kritik ideologi dan refleksi rasional. Sebagai pengetahuan kritis, filsafat bertugas mewaspadai_ hubungan-hudungan kekuasaan teknokratis dan dogmatisme sains dan teknologi, Sejauh mana digitalisasi telah menjelma menjadi pengawasan panoptis? Merginalisasi baru mana yang ditimbulkannya ci antara_ kKelas-keles _sosial? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat wajer mntarkar justru Ketika banyak orang mengandaikan begita saja teknologi digital sebagai kebenaran. Sebagai_pengetahuan reflektif, filsafat bertugas untuk menyingkap perubahan pemshaman antropologis, epistemologis, dan estetis yang diakibatkan oleh interaksi_antara_manusia. dan dunia cigital, ° Lah. F. Budi Mardican, Aku KE maka Aku Ada 78 8 Apakah kita masth manusie, ketika otak kita disambungken secara langsung atau tak Jangsung ke komputer? Apakah kebenaran, keindshan, dan kebaikan, jika orisinalitas dan artifisialitas sulit dibedakan? Apakeh hubungan digitalisasi dengan evolusi peradaban, kesadaran, penderitaan, dan Tuhan? Untuk menjawab hel-hal itu, filsafat tidak bisa bekerja sendirian, Ia perlu beXerjasama dengan disiplin-disiplin lain, termasuk mitra seniornya, teologi, dan partner yuniornya, sains, Hal itu dilakuken juge dengan Keinsyafan akan batas-batas behasa sebagai representasi realitas, Selalu ada cerukentara bahasa dan realitas yang tidak dapat ditutup filosofis, teologis, ataupun ilmiah. secara tuntas oleh inter2retasi, ental Akhirnya, tugas ketiga adalah member tilikan etska komunikasi digital. Etika penting untuk membuat para pengguna media sosial mengalami xomunikasi sebagai suatu dunia yang menegubkan kebersamzan mereka sebagai digital citizens. Saling menghina, mengancam, atau berbobong di media-media sosial menghasilkan worldlessness, rasa kehilangan dunia. Meski selalu chatting, orang tetap merase sendirian dan terisolasi dari yang lain, Etika harus menghasilkan kembali dunia milik bersama, mulai dari sopan santun, kode etik, asas-asas tmoral, sampai pada tuntutan hak-hak komunikasi warga digital. Ia juga perlu memberi kritik atas praktik monopoli' perusahaan-perusahaan penambang data. Digitalisasi herus Giiringi promosi keadilan. Karena tugas ini mendesak urtuk perbaikan perilaku digital, etika komunikasi digital harus diberikan sejak dini di sekolah dan saniversites. Anugerah Komunikasi Sebagai penutup saya telah menyiapkan sebuzh catatan kecil. Bukan hanya filsafat yang terbeban dengan ketiga tugas yang baru saja selesai saya ulas. Kita semua terbeban untuk mem3er>aiki komunikasi digital sehingga ‘somunikasi digital makin dapat menjadi sarana mencapai_saling pengertian. Manusia tidak pernak bisa memastikan komunikasinya dengan pencapaian resionalnya, karena selalu saja ada inkomunikabilitas dalam komunikasi. Saling mengerti perlu disyukuri sebagai suatu pemberian, anugerah komunikasi. Seperti direnungkan Derrida, ada paradoks dalam memaberi: Hidup ini terberi secara bebas, tetapi pemberian ini sekaligus mengandung tugas.” Dalam bahasa Jerman, hal itu terungkap dalam dua kata: Gabe dan Aufgabe, Kata Gabe (pemberian} menyiratkan kara Au/gabe (tugas). Peristiwa saling mengerti meminta kita untuk mewujudkan kebaikan bersama, Komunikesi digital bakan hanya fakta, melainkan juga mengandung himbauan untuk menyebarkan kebenaran, menyingkap keindahan, dan berbagi kedaikan, Kita mengupayakan komunikasi, tetapi ia juga adalah suatu peristiwa dengan hasil tidak terpreciksi atau — seperti disebut Hannch Arendt - suatu “reaksi berantai’." Kita, mahluk-mahluk rentan, sidak memegang kendali atas seluruh peristiwa komunikasi. Kita hanya perlu mengasihi orang lain dengan siap kata yang kita ketile di layar, ddan fal itu dibuat nyata dengan ‘inkarnasi’ ke dalam: kehadiran korporeal. Acta, non verba. Mungkin dengan itu orang menjadi lebih bijaksana di era komunikasi digital. Te Bak, Jacques Derr, Given Time. 1 Cauntertie Money, University of Chicago Press: Chicago, 1892). Lib, Hannah Arend, Vita activa oer Ver ttigen Lee, (Piper: Mitnchen, 1996), h.237 10

You might also like