You are on page 1of 9

Nama : Anggita Rizki

NIM : 200210302007

Kelas : Sejarah Indonesia III (A)

PERJUANGAN KE ARAH PERSATUAN DAN KESATUAN

Referensi:
Kartodirjo, Sartono, Marwati Djoned Peosponegoro, Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah
Nasional Indonesia Jilid V, Jakarta : Balai Pustaka

A. PERJUANGAN KE ARAH PERSATUAN DAN KESATUAN


1) Fraksi Nasional
Ide pembentukan Fraksi Nasional di dalam Volksraad muncul dari anggota
Volksraat Moh. Husni Tamrin, ketua perkumpulan kaum Betawi, karena pengaruh
faktor-faktor yang timbul pada saat itu. Faktor-faktor tersebut adalah
a) Sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap gerakan politik di luar Volksraad
terutama terhadap PNI
b) Anggapan dan perlakuan yang sama oleh pemerintah terhadap semua gerakan
nasional baik non maupun kooperasi. terutama dalam peristiwa penggeledahan
tokoh-tokoh PNI yang juga dilakukan terhadap anggota-anggota perkumpulan
yang bersifat modetar dan bersifat kooperasi
c) Didirikannya Vederlandsche Club (VC) tahun 1929 sebagai bentuk protes
terhadap “ethish beleid” gubernur Jenderal de Graef
Zentgraaf pendiri VC berpendapat jika kehidupan nasional Belanda yang lebih
kuat merupakan alat untuk “menghadapi tuntutan-tuntutan gila dari nasionalisme
timur”
Fraksi ini didirikan tanggal 27 Januari 1930 di Jakarta dan beranggotakan 10
orang yaitu wakil-wakil dari daerah-daerah di Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan
Kalimantan. Menurut Moh.Husni Thamrin yang ditunjuk sebagai ketua,
sedikitnya jumlah anggota bukan merupakan suatu masalah karena yang
terpenting adalah mutu dari anggota-anggota tersebut. Dalam tindakannya Fraksi
Nasional lebih memusatkan usahanya didalam lingkungan Volksraad. Sesuai
dengan keadaan yang memengaruhi timbulnya Fraksi memiliki tujuan sebagai
berikut :
Menjamin adanya kemerdekaan nasional dalamwaktu yang sesingkat-
singkatnya dengan jalan :
a) Mengusahakan perubahan-perubahan ketatanegaraan
b) Berusaha menghapuskan perbedaan-perbedaan politik, ekonomi, dan
intelektual sebagai antitesis kolonial
c) Mengusahakan kedua hal tersebut diatas dengan cara-cara yang tidak
bertentangan dengan hukum.
Meskipun pemakaian kata Fraksi kurang tepat sebab anggota-anggotanya bukan
berasal dari satu partai politik atau perkumpulan yang sama bahkan ada yang tidak
mempunyai partai, hal tersebut biasa terjadi dalam Volksraad dimana suatu golongan
disebut fraksi. Dari tujuannya yang jelas terlihat bahwa Fraksi Nasional condong
bersifat Radikal meskipun mereka tetap duduk didalam Volksraad dan menjadi
anggota dewan tersebut.
Kegiatan pertama dari Fraksi ini adalah pembelaan terhadap pemimpin-pemimpin
PNI yang ditangkap di dalam sidang sidang Volksraad terutama, sebelum tokoh-tokoh
PNI tersebut diadili pada bulan Agustus 1930. Anggota-anggota fraksi nasional
terutama Muhammad Husni Thamrin berpendapat bahwa tindakan penggeledahan dan
penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin PNI oleh pemerintah itu tidak dapat
dipertanggungjawabkan bahkan banyak diantara mereka yang bukan anggota PNI
juga digeledah dan juga dicurigai. Daftar penggeledahan dan penangkapan yang
dilakukan polisi di beberapa tempat di kota di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi oleh
Thamrin telah diberikan kepada sidang volksraad. Dengan peristiwa ini terbukti
bahwa pemerintah dalam tindakannya telah berlaku tidak bijaksana dan tidak adil
terhadap pergerakan rakyat Indonesia.
Thamrin juga berpendapat bahwa peristiwa-peristiwa buruk yang sering menimpa
pergerakan rakyat adalah berpangkal kepada artikel 169 swb, juga artikel 153 bis dan
161 bis. Oleh karena itu ia mengajukan suatu mosi kepada Volksraad mengenai
artikel artikel tersebut. Mosi ini diterima oleh sidang setelah mendapat tentangan dari
mosi Frui (VC). Kemudian dibentuk suatu komisi untuk meninjau kembali artikel-
artikel tersebut. Usul Thamrin agar sidang perkara pemimpin pemimpin PNI yang
dituduh melanggar artikel-artikel tersebut dilakukan dihadapan majelis yang lebih
tinggi (Hoohherechtschof) dan bukan pada landdraad ditolak pemerintah dengan
alasan bahwa pengadilan tertinggi itu hanya untuk suatu penuntutan politik, sedang
bukti-bukti sifatnya berkenaan dengan hukum pidana.
Sementara itu, masalah pertahanan juga dibicarakan dalam sidang Volksraad pada
tahun 1930, di mana pemerintah bermaksud akan meningkatkannya, maksud ini
ditentang oleh anggota anggota Fraksi Nasional. Mereka berpendapat jika
peningkatan kekuatan pertahanan itu pasti akan memerlukan biaya yang besar
sedangkan keadaan keuangan negara sangatlah buruk, dan lagi tidak ada manfaatnya
bagi Indonesia. Daerah-daerah di seluruh Indonesia tidak mempunyai suatu yang
harus dipertahankan juga tidak kemerdekaan, sedangkan yang dimaksud dengan
pertahanan terhadap serangan musuh adalah pertahanan terhadap kemerdekaannya.
Jelas ia tidak mempunyai kemerdekaan karena Indonesia adalah daerah jajahan. Oleh
karena itu lebih baik biaya tersebut digunakan untuk memperbaiki kesejahteraan
sosial rakyat Indonesia.
Terlandanya Indonesia oleh pengaruh Malaise dan diangkatnya De Jonge seorang
yang sangat reaksioner sebagai Gubernur Jenderal yang baru pada tahun 1931
ternyata telah memberi akibat yang sangat buruk bagi Indonesia, baik dalam segi
sosial-ekonomi maupun kehidupan politik. De Jonge menjalankan pemerintahan
dengan sikap yang sangat keras dan juga kaku, sehingga masa pemerintahannya
dianggap masa yang terburuk. Di dalam kehidupan politik umpamanya Fraksi
Nasional yang tidak radikal itu telah didorong ke arah politik non, yang seharusnya
pemerintah justru mendorong mereka ke arah politik kooperasi.
Sesuai dengan keadaan kehidupan sosial-ekonomi yang sangat tertekan akibat
depresi ekonomi, kegiatan fraksi juga terutama ditunjukkan untuk memperbaiki
keadaan sosial-ekonomi rakyat. Apalagi kehidupan di bidang ekonomi memang
sangat ditekan sekali oleh pemerintah De Jonge. Masalah sosial yang banyak
dibicarakan pada waktu itu adalah bidang pendidikan akibat dengan diumumkannya
peraturan sekolah-sekolah liar (wilde schoolen ordonnantie) oleh pemerintah.
Dijalankannya peraturan ini pasti akan menghambat kemajuan rakyat Indonesia
bahkan juga dari golongan Cina, India dan Arab, karena itu dengan dipelopori oleh Ki
Hajar Dewantara peraturan ini ditentang dengan keras. Anggota-anggota Fraksi
nasional di dalam sidang Volksraad juga menuntut agar pemerintah mencabut segera
peraturan tersebut. Bahkan M.H. Thamrin bermaksud akan keluar dari Volksraad
apabila tuntutan itu gagal. Melihat kemungkinan jejak Thamrin akan diikuti pula oleh
anggota-anggota lainnya, bila hal itu memang terjadi berarti Volksraad akan
kehilangan arti karena wakil-wakil bangsa Indonesia praktis tidak ada. Setelah
melihat reaksi-reaksi baik diluar maupun di dalam Volksraad yang dapat mengganggu
ketenangan masyarakat, pemerintahan kolonial dengan terpaksa mencabut peraturan-
peraturan tersebut.
Di bawah tekanan politik Gubernur Jenderal De Jonge politik non kooperasi
menjadi lumpuh, akibatnya muncul kaum kooperator yang di dalam Volksraad oleh
Fraksi Nasional dan di luar Volksraad oleh Partai Indonesia Raya (Parindra) yang
didirikan pada tahun 1935. Dalam masa ini munculnya Petisi Sutarjo pada tahun
1936, yang berisikan usulan Indonesia berdiri sendiri tetapi tidak lepas dari kerjasama
Belanda. Petisi yang menghebohkan kalangan pergerakan, ada yang pro dan kontra
akhirnya gagal karena ditolak oleh pemerintah Belanda dalam sidang Volksraad
sendiri suara Fraksi Nasional juga terpecah-pecah dalam menanggapi petisi.
Disatu pihak gerakan nasional di luar Volksraad bersatu, tetapi dipihak lain terjadi
perpecahan dalam Fraksi Nasional di Volksraad. Setelah pembukaan Volksraad yang
baru pada tahun 1939, sudah menjadi kebiasaan bahwa Fraksi Nasional ditinjau
kembali. Muhammad Yamin yang pada tahun 1939 menjadi anggota Volksraad
menyusun rencana yang dalam beberapa hal lebih luas daripada rencana yang dibuat
oleh Muhammad Husni Thamrin. Muhammad Yamin mengusulkan agar Fraksi
Nasional menyusun suatu program yang akan diumumkan kepada seluruh rakyat
Indonesia, untuk mengakhiri kecaman bahwa Fraksin Nasional itu tidak bekerja hanya
untuk Jawa saja tetapi juga untuk daerah-daerah luar Jawa.
Usul Muhammad Yamin ini tidak disetujui oleh Muhammad Husni Thamrin. Oleh
karena itu pada tanggal 10 Juli 1939 atas prakarsa Muhammad Yamin di Volksraad
berdiri anggota Golongan Nasional Indonesia (GNI) disamping Fraksi Nasional.
Badan ini tidak mewakili partai-partai di Volksraad melainkan mewakili golongan-
golongan rakyat. Dalam arti tertentu GNI ini bersifat provinsialistis. Semua
anggotanya yaitu Muhammad Yamin, Soangkupon, Abdul Rasyid dan Tajuddin Noor
adalah Utusan-utusan dari luar Jawa. Anggota Fraksi Nasional dari luar Jawa yang
tetap setia pada badan tersebut adalah Mukhtar dan Lapian.
Tanggapan terhadap kejadian itu ada yang menyambut baik yaitu sebagai usaha
untuk meningkatkan perjuangan nasional, sedangkan suara lain mengawatirkan
tindakan itu sebagai pemecahbelahan dan akan memperlemah perjuangan. Dalam asas
tujuannya, kedua kelompok itu tidak banyak bedanya. Untuk mengurus kepentingan
kepentingan di luar Jawa, orang-orang Sumatera juga bisa tetap berada di Fraksi
Nasional.
Tahun 1941 fraksi nasional dan GNI berfusi menjadi Fraksi Nasional Indonesia
atau Frani. Tujuan singkat dan tegas yaitu memperjuangkan Indonesia merdeka.

B. Petisi Sutardjo
Gagasan dari petisi ini dicetuskan oleh Sutardjo Kartohadikusumo, Ketua
Persatuan Pegawai Pestuur/Pamongpraja Bumiputera (PPBB) dan wakil dari
organisasi stasi ini di dalam sidang Volksraad pada bulan Juli 1936. Petisi ini
diusulkan di luar tanggung jawab PPBB. Landasan usul adalah Pasal 1 Undang-
Undang Dasar Kerajaan Belanda yang berbunyi bahwa kerajaan Nederland meliputi
wilayah Nederland, Hindia Belanda, Suriname dan Curacao, dan yang menurut
pendapat Soetardjo keempat wilayah itu di dalam kerajaan Nederland yang
mempunyai derajat yang sama. Usul dukungan didukung oleh Ratu Langie
(Sulawesi/Kristen), Datuk Tumenggung (Sumatra/Islam), Alatas (Arab/Islam), I.J
Kasimo (Jawa/Katolik), dan Ko Kwat Tiong (Cina/Budha/Konfusius). Dukungan ini
menurut Sutarjo mencerminkan keinginannya bahwa usul petisi didukung oleh
berbagai golongan suku bangsa dan agama yang ada di Indonesia.
Usul petisi yang kemudian dikenal dengan nama Petisi Sutardjo diajukan pada
tanggal 15 Juli 1936 kepada pemerintah, Ratu serta Staten Generaal (Parlemen) di
negeri Belanda. Adapun isi petisi ini ialah permohonan supaya diselenggarakan suatu
musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda, di mana anggota-
anggotanya mempunyai hak yang sama. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu
rencana yang isinya adalah memberikan kepada Indonesia suatu pemerintahan yang
berdiri sendiri dalam batas pasal 1 Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda.
Pelaksanaannya akan dijalankan secara berangsur-angsur dalam waktu 10 tahun atau
dalam waktu yang akan ditetapkan oleh sidang permusyawaratan tersebut.
Usul yang mencangkup perubahan susunan ketatanegaraan ini timbul karena
makin meningkatnya perasaan tidak puas di kalangan rakyat terhadap pemerintahan
akibat kebijakan politik yang dijalankan oleh Gubernur Jenderal De Jonge. Padahal
menurut Sutardjo hubungan baik antara Indonesia dan negeri Belanda perlu
ditingkatkan untuk kepentingan kedua belah pihak, lebih-lebih adanya bayangan-
bahaya pecahnya perang di Pasifik, hubungan ini akan berhasil apabila diusahakan
perubahan-perubahan dalam bentuk dan susunan pemerintahan Hindia Belanda atau
Indonesia. Adapun perubahan-perubahan itu dalam garis besarnya adalah sebagai
berikut
1) Pulau Jawa dijadikan satu provinsi, sedangkan daerah-daerah di luar Pulau Jawa
dijadikan kelompok-kelompok daerah (groeps-gemeen-schsppen) yang bersifat
otonom dan berdasarkan demokrasi.
2) Sifat dualisme dalam pemerintahan daerah (binnenlandsbestuur) dihapus
3) Gubernur Jenderal diangkat oleh raja dan mempunyai hak kekebalan
(onschendbaar)
4) Direktur Departemen mempunyai tanggung jawab
5) Volksraad dijadikan parlemen yang sesungguhnya
6) Raad van Indie, Anggota-anggota biasa dan seorang Vice President diangkat oleh
raja. Disamping itu ketua dan wakil ketua Volksraad sebagai anggota mempunyai
hak suara
7) Dibentuknya Dewan Kerajaan (Rijksraad) sebagai badan tertinggi antara negeri
Belanda dan Indonesia yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil kedua
daerah dengan satu pimpinan yang diangkat, pimpinan bukan seorang menteri
atau direktur atau salah seorang dari ketua parlemen.
8) Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahiran asal-usul dan cita-
citanya adalah untuk Indonesia. terhadap orang-orang asing yang dilahirkan di sini
diadakan seleksi yang ketat
Usul yang dianggap menyimpang dari cita-cita kalangan pergerakan umumnya
mendapat reaksi baik dari pihak Indonesia maupun pihak Belanda Belanda, seperti
menuduh usul petisi sebagai suatu “permainan yang berbahaya”, revolusioner, belum
waktunya dan tidak sesuai dengan keadaan. Golongan reaksioner Belanda seperti
federline dan berpendapat Indonesia belum matang untuk berdiri sendiri akan tetapi
juga orang-orang Belanda dari kalangan pemerintah yang menyetujui petisi dengan
mengirim surat kepada Sutarjo pihak pemerintah Hindia Belanda sendiri menyatakan
bahwa pemerintah memang mempunyai maksud untuk selalu meningkatkan peran
rakyat dalam mengendalikan pemerintahan sampai rakyat Indonesia sanggup untuk
mengurus segala sesuatunya
Pihak Indonesia baik di dalam maupun di luar Volksraad reaksi terhadap usul
petisi juga bermacam-macam. Beberapa anggota Volksraad berpendapat bahwa usul
petisi kurang jelas, kurang lengkap, dan tidak mempunyai kekuatan. Pers Indonesia
Seperti surat kabar Pemandangan, Tjahaja Timoer, Pelita Andalas, Pewarta Deli dan
majalah Soeara Katholik menyokong usul petisi, oleh karena itu usul petisi dengan
cepat tersebar luas di kalangan rakyat. Sebelum sidang Volksraad membicarakan
secara khusus kebanyakan Pers Indonesia menyokong usul ini. Menurut harian
Pemandangan saat usul ini dimajukan adalah sangat tepat yaitu saat akan digantikan
nya Gubernur Jenderal De Jonge oleh Gubernur Jenderal Tjarda yang menurut
pendapat waktu itu ia berpaham liberal.
Pada akhirnya, tanpa adanya pemilihan suara didalam sidang Volksraad, usul
petisi diterima untuk dibicarakan pada sidang khusus yang dimulai sejak tanggal 17
September 1936. Didalam membela usul petisi, Sutarjo mengatakan keadaan dalam
negeri sebenarnya bukanlah masalah primer namun sekunder. Masalah yang pokok
adalah hubungan kerajaan antara negeri Belanda dengan Indonesia, untuk mana
Indonesia harus berdiri sendiri sehingga dapat berkembang ke arah yang lebih maju.
Masalah-masalah yang bersifat internasional dan menjadi kepentingan bersama akan
tetap diurus oleh Kerajaan.
C. Gabungan Politik Indonesia
Suatu gagasan dalam membina kerjasama diantara partai-partai politik dalam
bentuk federasi timbul kembali pada tahun1939. Menurut Mohammad Husni
Thamrin, pendiri federasi tersebut, pembentukan federasi pada mulanya dianjurkan
oleh PSII pada bulan April 1938 dengan pembentukan Badan Perantara Partai-Partai
Politik Indonesia (Bapeppi). Karena itulah pembentukannya kurang lancar, Parindra
mengambil inisiatif untuk membentuk kembali Konsentrasi Nasional. Sebagai alasan
yang mendorong dan mempercepat terbentuknya federasi tersebut adalah :
1) Kegagalan Petisi Sutardjo
2) Kegentingan internasional akibat timbulnya fasisme
3) Sikap pemerintah yang kurang memerhatikan kepentingan-kepentingan
bangsa Indonesia.
Ketiga hal tersebut merupakan tantangan bagi pemimpin-pemimpin Lebih-
lebih makin gawatnya situasi internasional akibat meningkatnya pengaruh fasisme.
Kemenangan dan kemajuan yang diperoleh negara-negara fasisme yaitu negara-
negara Jerman, Italia, dan Jepang, tidaklah menggembirakan bagi bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, Pers Indonesia menyerukan agar kekalahan dalam forum Volkstraad
(Perjuangan Petisi Sutardjo) dianggap sebagai cambuk untuk menuntut dan menyusun
barisan kembali dalam suatu wadah persatuan berupa konsentrasi nasional.
Parindra berpendapat bahwa perjuangan konsentrasi nasional harus ke dalam,
dapat menyadarkan dan menggerakkan rakyat untuk memperoleh suatu pemerintah
sendiri;Keluar, dapat menggugah pemerintah Belanda untuk menyadari cita-cita
bangsa Indonesia dan kemudian memberikan perubahan-perubahan dalam
pemerintahan di Indonesia. Kemudian dihadapkan pendekatan dan perundingan
dengan partai-partai dan organisasi-organisasi seperti PSII, Gerindo, PII, Pasundan,
Persatuan Minahasa , dan Partai Katolik untuk membicarakan masa depan Indonesia.
Pada tanggal 21 Mei 1939 di dalam rapat pendirian konsentrasi nasional di Jakarta
berhasil Berhasil didirikan suatu organisasi yang merupakan kerjasama partai-partai
politik dan organisasi-organisasi dengan diberi nama Gabungan Politik Indonesia
(GAPI). Ditegaskan juga bahwa tiap-tiap partai tetap mempunyai kemerdekaan penuh
terhadap program kerjanya masing-masing dan jika timbul perselisihan antara partai-
partai, GAPI bertindak sebagai penengah. Untuk pertama kali pimpinan dipegang oleh
Muhammad Husni Thamrin, Amir Syarifuddin dan Abikusno Tjokrosuyoso. Di dalam
anggaran dasar ditetapkan bahwa GAPI berdasar pada
A. Hak untuk menentukan diri sendiri
B. Persatuan nasional dari seluruh bangsa Indonesia dengan berdasarkan kerakyatan
dalam paham politik, ekonomi, dan sosial
C. Persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia
Di dalam Konferensi pertama GAPI tanggal 4 Juli 1939 telah dibicarakan aksi
GAPI dengan semboyan “Indonesia Berparlemen”. Jelas tidak menuntut kemerdekaan
penuh, tetapi suatu parlemen yang berdasar kepada sendi-sendi demokrasi ditetapkan
pula disiplin organisasi di mana anggota yang dipecat oleh partainya maka otomatis
juga dikeluarkan dari GAPI.
Untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan, GAPI menyerukan agar perjuangan
GAPI disokong oleh sebuah lapisan rakyat Indonesia. Seruan itu disambut hangat oleh
Pers Indonesia dengan memberitakan secara panjang lebar mengenai GAPI bahkan
sikap sikap beberapa negara di Asia dalam menghadapi bahaya fasisme juga diuraikan
secara khusus. GAPI sendiri juga mengadakan rapat-rapat umum yang mencapai
puncaknya pada tanggal 12 Desember 1339. Dimana tidak kurang dari 100 tempat di
Indonesia mengadakan rapat mempropagandakan tujuan GAPI seakan-akan udara
Indonesia gemuruh dengan seruan Indonesia berparlemen. Meskipun demikian
gemuruhnya, ada juga pihak-pihak yang tidak setuju dengan aksi aksi GAPI tersebut
seperti, Penyadar, PNI-Baru, dan Perkumpulan Kristen Indonesia. Mereka
berpendapat bahwa berdasarkan pengalaman selama ini aksi yang sifatnya meminta-
minta kepada Belanda tidak ada gunanya.

You might also like