Professional Documents
Culture Documents
TM 5 Perjuangan Ke Arah Persatuan Dan Kesatuan
TM 5 Perjuangan Ke Arah Persatuan Dan Kesatuan
NIM : 200210302007
Referensi:
Kartodirjo, Sartono, Marwati Djoned Peosponegoro, Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah
Nasional Indonesia Jilid V, Jakarta : Balai Pustaka
B. Petisi Sutardjo
Gagasan dari petisi ini dicetuskan oleh Sutardjo Kartohadikusumo, Ketua
Persatuan Pegawai Pestuur/Pamongpraja Bumiputera (PPBB) dan wakil dari
organisasi stasi ini di dalam sidang Volksraad pada bulan Juli 1936. Petisi ini
diusulkan di luar tanggung jawab PPBB. Landasan usul adalah Pasal 1 Undang-
Undang Dasar Kerajaan Belanda yang berbunyi bahwa kerajaan Nederland meliputi
wilayah Nederland, Hindia Belanda, Suriname dan Curacao, dan yang menurut
pendapat Soetardjo keempat wilayah itu di dalam kerajaan Nederland yang
mempunyai derajat yang sama. Usul dukungan didukung oleh Ratu Langie
(Sulawesi/Kristen), Datuk Tumenggung (Sumatra/Islam), Alatas (Arab/Islam), I.J
Kasimo (Jawa/Katolik), dan Ko Kwat Tiong (Cina/Budha/Konfusius). Dukungan ini
menurut Sutarjo mencerminkan keinginannya bahwa usul petisi didukung oleh
berbagai golongan suku bangsa dan agama yang ada di Indonesia.
Usul petisi yang kemudian dikenal dengan nama Petisi Sutardjo diajukan pada
tanggal 15 Juli 1936 kepada pemerintah, Ratu serta Staten Generaal (Parlemen) di
negeri Belanda. Adapun isi petisi ini ialah permohonan supaya diselenggarakan suatu
musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda, di mana anggota-
anggotanya mempunyai hak yang sama. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu
rencana yang isinya adalah memberikan kepada Indonesia suatu pemerintahan yang
berdiri sendiri dalam batas pasal 1 Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda.
Pelaksanaannya akan dijalankan secara berangsur-angsur dalam waktu 10 tahun atau
dalam waktu yang akan ditetapkan oleh sidang permusyawaratan tersebut.
Usul yang mencangkup perubahan susunan ketatanegaraan ini timbul karena
makin meningkatnya perasaan tidak puas di kalangan rakyat terhadap pemerintahan
akibat kebijakan politik yang dijalankan oleh Gubernur Jenderal De Jonge. Padahal
menurut Sutardjo hubungan baik antara Indonesia dan negeri Belanda perlu
ditingkatkan untuk kepentingan kedua belah pihak, lebih-lebih adanya bayangan-
bahaya pecahnya perang di Pasifik, hubungan ini akan berhasil apabila diusahakan
perubahan-perubahan dalam bentuk dan susunan pemerintahan Hindia Belanda atau
Indonesia. Adapun perubahan-perubahan itu dalam garis besarnya adalah sebagai
berikut
1) Pulau Jawa dijadikan satu provinsi, sedangkan daerah-daerah di luar Pulau Jawa
dijadikan kelompok-kelompok daerah (groeps-gemeen-schsppen) yang bersifat
otonom dan berdasarkan demokrasi.
2) Sifat dualisme dalam pemerintahan daerah (binnenlandsbestuur) dihapus
3) Gubernur Jenderal diangkat oleh raja dan mempunyai hak kekebalan
(onschendbaar)
4) Direktur Departemen mempunyai tanggung jawab
5) Volksraad dijadikan parlemen yang sesungguhnya
6) Raad van Indie, Anggota-anggota biasa dan seorang Vice President diangkat oleh
raja. Disamping itu ketua dan wakil ketua Volksraad sebagai anggota mempunyai
hak suara
7) Dibentuknya Dewan Kerajaan (Rijksraad) sebagai badan tertinggi antara negeri
Belanda dan Indonesia yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil kedua
daerah dengan satu pimpinan yang diangkat, pimpinan bukan seorang menteri
atau direktur atau salah seorang dari ketua parlemen.
8) Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahiran asal-usul dan cita-
citanya adalah untuk Indonesia. terhadap orang-orang asing yang dilahirkan di sini
diadakan seleksi yang ketat
Usul yang dianggap menyimpang dari cita-cita kalangan pergerakan umumnya
mendapat reaksi baik dari pihak Indonesia maupun pihak Belanda Belanda, seperti
menuduh usul petisi sebagai suatu “permainan yang berbahaya”, revolusioner, belum
waktunya dan tidak sesuai dengan keadaan. Golongan reaksioner Belanda seperti
federline dan berpendapat Indonesia belum matang untuk berdiri sendiri akan tetapi
juga orang-orang Belanda dari kalangan pemerintah yang menyetujui petisi dengan
mengirim surat kepada Sutarjo pihak pemerintah Hindia Belanda sendiri menyatakan
bahwa pemerintah memang mempunyai maksud untuk selalu meningkatkan peran
rakyat dalam mengendalikan pemerintahan sampai rakyat Indonesia sanggup untuk
mengurus segala sesuatunya
Pihak Indonesia baik di dalam maupun di luar Volksraad reaksi terhadap usul
petisi juga bermacam-macam. Beberapa anggota Volksraad berpendapat bahwa usul
petisi kurang jelas, kurang lengkap, dan tidak mempunyai kekuatan. Pers Indonesia
Seperti surat kabar Pemandangan, Tjahaja Timoer, Pelita Andalas, Pewarta Deli dan
majalah Soeara Katholik menyokong usul petisi, oleh karena itu usul petisi dengan
cepat tersebar luas di kalangan rakyat. Sebelum sidang Volksraad membicarakan
secara khusus kebanyakan Pers Indonesia menyokong usul ini. Menurut harian
Pemandangan saat usul ini dimajukan adalah sangat tepat yaitu saat akan digantikan
nya Gubernur Jenderal De Jonge oleh Gubernur Jenderal Tjarda yang menurut
pendapat waktu itu ia berpaham liberal.
Pada akhirnya, tanpa adanya pemilihan suara didalam sidang Volksraad, usul
petisi diterima untuk dibicarakan pada sidang khusus yang dimulai sejak tanggal 17
September 1936. Didalam membela usul petisi, Sutarjo mengatakan keadaan dalam
negeri sebenarnya bukanlah masalah primer namun sekunder. Masalah yang pokok
adalah hubungan kerajaan antara negeri Belanda dengan Indonesia, untuk mana
Indonesia harus berdiri sendiri sehingga dapat berkembang ke arah yang lebih maju.
Masalah-masalah yang bersifat internasional dan menjadi kepentingan bersama akan
tetap diurus oleh Kerajaan.
C. Gabungan Politik Indonesia
Suatu gagasan dalam membina kerjasama diantara partai-partai politik dalam
bentuk federasi timbul kembali pada tahun1939. Menurut Mohammad Husni
Thamrin, pendiri federasi tersebut, pembentukan federasi pada mulanya dianjurkan
oleh PSII pada bulan April 1938 dengan pembentukan Badan Perantara Partai-Partai
Politik Indonesia (Bapeppi). Karena itulah pembentukannya kurang lancar, Parindra
mengambil inisiatif untuk membentuk kembali Konsentrasi Nasional. Sebagai alasan
yang mendorong dan mempercepat terbentuknya federasi tersebut adalah :
1) Kegagalan Petisi Sutardjo
2) Kegentingan internasional akibat timbulnya fasisme
3) Sikap pemerintah yang kurang memerhatikan kepentingan-kepentingan
bangsa Indonesia.
Ketiga hal tersebut merupakan tantangan bagi pemimpin-pemimpin Lebih-
lebih makin gawatnya situasi internasional akibat meningkatnya pengaruh fasisme.
Kemenangan dan kemajuan yang diperoleh negara-negara fasisme yaitu negara-
negara Jerman, Italia, dan Jepang, tidaklah menggembirakan bagi bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, Pers Indonesia menyerukan agar kekalahan dalam forum Volkstraad
(Perjuangan Petisi Sutardjo) dianggap sebagai cambuk untuk menuntut dan menyusun
barisan kembali dalam suatu wadah persatuan berupa konsentrasi nasional.
Parindra berpendapat bahwa perjuangan konsentrasi nasional harus ke dalam,
dapat menyadarkan dan menggerakkan rakyat untuk memperoleh suatu pemerintah
sendiri;Keluar, dapat menggugah pemerintah Belanda untuk menyadari cita-cita
bangsa Indonesia dan kemudian memberikan perubahan-perubahan dalam
pemerintahan di Indonesia. Kemudian dihadapkan pendekatan dan perundingan
dengan partai-partai dan organisasi-organisasi seperti PSII, Gerindo, PII, Pasundan,
Persatuan Minahasa , dan Partai Katolik untuk membicarakan masa depan Indonesia.
Pada tanggal 21 Mei 1939 di dalam rapat pendirian konsentrasi nasional di Jakarta
berhasil Berhasil didirikan suatu organisasi yang merupakan kerjasama partai-partai
politik dan organisasi-organisasi dengan diberi nama Gabungan Politik Indonesia
(GAPI). Ditegaskan juga bahwa tiap-tiap partai tetap mempunyai kemerdekaan penuh
terhadap program kerjanya masing-masing dan jika timbul perselisihan antara partai-
partai, GAPI bertindak sebagai penengah. Untuk pertama kali pimpinan dipegang oleh
Muhammad Husni Thamrin, Amir Syarifuddin dan Abikusno Tjokrosuyoso. Di dalam
anggaran dasar ditetapkan bahwa GAPI berdasar pada
A. Hak untuk menentukan diri sendiri
B. Persatuan nasional dari seluruh bangsa Indonesia dengan berdasarkan kerakyatan
dalam paham politik, ekonomi, dan sosial
C. Persatuan aksi seluruh pergerakan Indonesia
Di dalam Konferensi pertama GAPI tanggal 4 Juli 1939 telah dibicarakan aksi
GAPI dengan semboyan “Indonesia Berparlemen”. Jelas tidak menuntut kemerdekaan
penuh, tetapi suatu parlemen yang berdasar kepada sendi-sendi demokrasi ditetapkan
pula disiplin organisasi di mana anggota yang dipecat oleh partainya maka otomatis
juga dikeluarkan dari GAPI.
Untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan, GAPI menyerukan agar perjuangan
GAPI disokong oleh sebuah lapisan rakyat Indonesia. Seruan itu disambut hangat oleh
Pers Indonesia dengan memberitakan secara panjang lebar mengenai GAPI bahkan
sikap sikap beberapa negara di Asia dalam menghadapi bahaya fasisme juga diuraikan
secara khusus. GAPI sendiri juga mengadakan rapat-rapat umum yang mencapai
puncaknya pada tanggal 12 Desember 1339. Dimana tidak kurang dari 100 tempat di
Indonesia mengadakan rapat mempropagandakan tujuan GAPI seakan-akan udara
Indonesia gemuruh dengan seruan Indonesia berparlemen. Meskipun demikian
gemuruhnya, ada juga pihak-pihak yang tidak setuju dengan aksi aksi GAPI tersebut
seperti, Penyadar, PNI-Baru, dan Perkumpulan Kristen Indonesia. Mereka
berpendapat bahwa berdasarkan pengalaman selama ini aksi yang sifatnya meminta-
minta kepada Belanda tidak ada gunanya.