Professional Documents
Culture Documents
Murabahah
Sesuai dengan Fatwa DSN MUI Nomor 4 tahun 2000, transaksi murabahah
adalah transaksi jual beli antara nasabah yang membutuhkan barang dengan
bank syariah yang membeli barang tersebut untuk dijual kembali kepada
nasabah. Dalam hal ini nasabah dapat melakukan pembayaran secara angsuran
kepada bank syariah dengan perjanjian jangka waktu tertentu.
Beberapa hal penting yang harus dipenuhi dalam transaksi murabahah antara
bank syariah dengan nasabah diantaranya adalah:
1. Barang yang diperjualbelikan adalah barang halal. Bank syariah tidak boleh
melayani nasabah yang ingin membeli barang haram melalui pembiayaan
bank syariah.
2. Bank memberitahu nasabah harga beli barang dan keuntungan yang diambil,
termasuk biaya yang diperlukan.
3. Nasabah sepakat dengan harga jual yang diberikan oleh bank syariah,
sehingga selama waktu pembayaran sampai lunas nasabah merasa ridha atas
transaksi jual beli tersebut.
4. Jika bank syariah hendak mewakilkan transaksi jual beli barang dengan
pihak ketiga kepada nasabah, maka akad murabahah ini harus dilakukan
setelah barang tersebut secara prinsip sudah menjadi milik bank. Misalnya:
nasabah ingin mengajukan pembiayaan murabahah atas pembelian sebuah
sepeda motor. Setelah sepakat mengenai spesifikasi yang diinginkan oleh
nasabah, bank syariah membeli sepeda motor tersebut kepada dealer. Hal ini
membuat secara prinsip motor tersebut adalah milik bank syariah. Kemudian
bank syariah dan nasabah menandatangani akad murabahah. Setelah itu bank
syariah bisa mewakilkan pembayaran atau pengambilan sepeda motor yang
sudah dipesan tersebut kepada nasabah.
Dasar hukum murabahah adalah dari Al-Quran dan Ijma para ulama.
Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN-MUI/2000 mengenai
murabahah adalah penjualan barang yang menekankan harga beli kepada
pembeli dan pembeli bersedia membeli dengan harga lebih tinggi sebagai
perolehan keuntungan penjual.
Ijma para ulama ini mengikuti aturan yang telah disebutkan dalam Al-quran.
Adapun dasar hukum murabahah adalah Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 29, Al-
Baqarah ayat 275, Al-Ma’idah ayat 1, dan Al-Baqarah ayat 280.
Begitu pula sebaliknya, saat penjual tidak puas dengan besaran laba yang
diusulkan pembeli, maka keduanya bisa berdiskusi untuk mencapai
kesepakatan harga.
Jenis-Jenis Murabahah
Jenis jenis murabahah terdiri dari dua yaitu murabahah dengan pesanan dan
tanpa pesanan. Adapun penjelasan jenis jenis murabahah adalah berikut ini.
Rukun Murabahah
Penjual
Pembeli
Obyek jual beli berupa produk atau jasa
Harga
Ijab Qobul
Syarat Murabahah
Adi adalah seorang pengusaha yang ingin membeli rumah dari Pak Sutaji, sang
pemilik rumah. Pak Sutaji menerangkan bahwa harga beli rumah tersebut
sebesar Rp300 juta dan akan menjualnya seharga Rp500 juta, sehingga
keuntungannya menjadi Rp200 juta.
Namun Adi melakukan penawaran agar keuntungan Pak Sutaji sebesar Rp150
juta sehingga harga jualnya Rp450 juta. Pak Sutaji menerima penawaran
tersebut sehingga mereka berdua pun sepakat harga murabahah rumah tersebut
adalah Rp460 juta, dengan angsuran Rp7,5 juta per bulan.
Salam
Akad salam adalah salah satu bentuk jual beli dimana seseorang melakukan
pembelian barang dengan cara pesanan. Pola transaksi ini banyak dipraktikkan
pada sistem jual beli online. Dimana pembeli membayar terlebih dahulu barang
yang disediakan penjual namun tidak dapat langsung menerima barang tersebut.
Setelah pembayaran lunas oleh pembeli, penjual mengirimkan barang sesuai
spesifikasi yang dimaksud.
Pola transaksi ini juga dapat dilakukan melalui lembaga keuangan syariah,
seperti bank syariah atau BPR Syariah. Pembiayaan salam dapat dilakukan jika
nasabah memiliki dana cukup untuk membeli barang melalui perantara lembaga
keuangan syariah.
Landasan Hukum Akad Salam
Bila merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah, akad salam merujuk pada salah satu
surat dalam qur’an yang merupakan ayat terpanjang dalam Al-Qur’an, yaitu
Q.S. Al-Baqarah[2] : 282, yang artinya:
Article-Inline
Kemudian dirujuk pada Hadist Nabi SAW, yaitu “Dari Ibn ‘Abbas
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika datang ke Madinah, dan
mendapati penduduknya menggunakan akad salaf (salam) pada buah-buahan
untuk 1,2,3 tahun. Dia (SAW) berkata: “Barangsiapa yang melakukan transaksi
salaf (pemesanan didepan), hendaknya menyatakan (spesifik) dalam volume
jelas, takaran jelas dan waktu yang jelas”
Ijma’ Muslimin: Ibn Mundzir berkata, “Seluruh ulama dari semua pendapatnya
yang kami hafal (ketahui) menyatakan persetujuan dan membolehkan akad
salam dan orang memerlukan akad ini dalam transaksinya. Hal ini mengingat
bahwa pertumbuhan buah-buahan, sayuran dan bisnis regular memerlukan
untuk dibiayai agar bisa menjalankan pertanian dan bisnisnya. Kontrak ini
diperbolehkan dengan dasar pemenuhan kebutuhan manusia”
Kemudian secara legal, akad salam tertulis dalam fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN) MUI No: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam.
Agar akad salam/jual beli salam sesuai dengan syariat maka terdapat rukun-
rukun yang harus dipenuhi. Apa saja rukunnya?
Rukun inti yang terdapat dalam jual beli salam adalah sighat (ijab qabul).
Hanafi, Maliki dan Hanbali menyatakan bahwa bentuk ijab menggunakan terms
“salaf atau salam”: Pembeli berkata, “saya membayar harga ini untuk membeli
barang X dari kamu dengan akad salam” dan Penjual menjawab “saya terima”.
Dengan ijab qabul seperti itu maka rukun salam sudah terpenuhi.
Kemudian Zufar dan Syafi’i berpendapat: “tidak akan sah akad bai salam
kecuali dengan perkataan salaf atau salam”. Landasannya adalah analogika
tentang jual-beli tidak akan konklud karena barang tidak exist saat sesi
transaksi, maka perkataan salam atau salaf menjadi rukun penting. Tidak bisa
hanya mengucapkan jual-beli biasa karena ada kondisi-kondisi yang berbeda.
Kalau enggak disebutkan akad salamnya boleh enggak sih? Kan repot tuh
apalagi kalau lupa.
Nah, ada pendapat ulama syafi’iyah lain yang menyebutkan bahwa tidak
disebutnya kata salam atau salaf pada saat akad maka itu tetap diperbolehkan.
Namun, perlu ada bukti pembayaran atau kwintansi untuk barang tertentu
dimasa yang akan datang.
Syarat akad salam terfokus pada harga dan atau objek salam (barang). Ulama
mazhab sepakat bahwa suatu objek penjualan dinyatakan valid dalam transaksi
salam ketika telah mencapai 6 syarat, diantaranya:
Seluruh ulama juga sepakat bahwa salam boleh pada semua komoditas yang
bisa diukur dengan volume, ukuran, panjang, angka, jumlah (kacang, telur dll).
Ketika pembayaran ditunda lebih dari 3 hari, Imam Malik menyatakan bahwa
jual beli salam tersebut dinyatakan tidak valid.
Pada saat penyerahan barang baik sebelum atau setelah waktunya, maka ada
juga yang harus diperhatikan, diantaranya:
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa akad salam sering kamu
temui dalam sistem pre-order. Secara sederhana, sistem pre-order adalah
sebuah sistem pemesanan yang mana barang yang dijual belum tersedia
stocknya atau bahasa gaulnya belum ready stock. Biasanya ada durasi waktu
pemesanan. Misal, si Rosnita menjual sebuah kaos dakwah dengan design yang
bagus bertuliskan “Yuk Pakai Fintech Syariah”.
Pre-order kaos tersebut Rosnita buka dari mulai tanggal 1 Agustus sampai 31
Agustus 2019. Pada saat Rosnita menjual kaos tersebut, ia menyebutkan waktu
pengiriman kaos yang sudah dibuat. Setelah tanggal 31 Agustus 2019 Rosnita
butuh waktu untuk membuat kaos tersebut selama 1 bulan. Artinya Rosnita akan
mengirim kaos yang dipesan pada tanggal 1 Oktober 2019.
Misal, Rohiman menawarkan jasa pembuatan furniture berupa kursi, meja, dan
sebagainya. Kemudian datang seorang customer sebut saja namanya Aul ingin
membeli furniture yang Rohiman jual. Aul ingin membeli meja dan kursi untuk
mengisi rumahnya. Namun, karena furniture yang Rohiman jual belum ada
maka Rohiman menawarkan akad salam kepada Aul.
Alhasil Aul setuju untuk membeli meja dan kursi dengan akad salam. Aul
menjelaskan spesifikasi meja dan kursi yang ia butuhkan. Setelah menjelaskan
spesifikasinya, Rohiman mencoba menghitung modal yang dibutuhkan
ditambah biaya jasa atas pembuatan meja dan kursi tersebut.
Aul sepakat dengan jumlah uang dan durasi pengerjaan tersebut. Alhasil Aul
menyerahkan uang sebesar Rp 8 juta kepada Rohiman. Setelah 14 hari, meja
dan kursi tersebut berhasil dibuat dan dikirim ke rumah Aul dengan
menggunakan mobil box sebagaimana yang telah dijanjikan sebelumnya.
istishna
Akad istishna’ merupakan salah satu bentuk jual beli dengan cara pesanan. Pada
umumnya akad ini digunakan untuk jual beli barang yang tidak dijual di
pasaran. Misalnya untuk pembangunan gedung, jembatan, dan sebagainya.
Nasabah yang melakukan pengajuan pembiayaan istishna’ dapat bekerjasama
dengan bank untuk menyelesaikan proyek secara keseluruhan atau sebagian.
Landasan hukum pada istishna didasarkan pada qiyas terhadap akad salam,
yaitu jual beli yang tidak ada barannya ketika sesi akad sedang berlangsung.
Pendapat para ulama tersebut tentunya tidak terlepas dari sumber utama yaitu
Al-Qur’an dan As-sunnah.
Ayat yang menjadi landasan hukum istishna adalah QS. Al-Baqarah:275 yang
artinya, “dan Allah telah menghalalkan Jual Beli dan Mengharamkan Riba”
Merujuk pada hadist ini maka dapat disimpulkan bahwa akad istishna
diperbolehkan.
Dalam fatwa ini mencakup beberapa hal yaitu ketentuan tentang pembayaran
dan ketentuan tentang barangnya
1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,
barang, atau manfaat.
2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Kemudian dari segi barang yang diperjual belikan dalam akad istishna juga
perlu memperhatikan hal-hal yang membuat akad istishna menjadi sah untuk
dilakukan diantaranya:
Meskipun terlihat sama, namun akad istishna dan akad salam memiliki
perbedaan.
Dari segi istilah/term yang digunakan untuk penamaan objek, bila akad salam
disebut Muslam Fihi sedangkan akad istishna disebut Mashnu.
Dilihat dari sisi harga, akad Salam dibayar langsung saat terjadi kontrak. Jadi
ketika kamu hendak memesan suatu barang, kamu harus membayar langsung
harga barang yang kamu pesan di awal ketika akad terjadi.
Sedangkan pada akad istishna, pembayaran bisa lebih fleksibel. Kamu bisa
membayar pas diawal kontrak, bisa dengan cara diangsur, atau bisa dikemudian
hari. Nah, inilah yang menjadi inti perbedaan antara akad istishna dengan akad
salam.
Pada sisi sifat kontrak, akad salam memiliki sifat mengikat secara asli (thabi’i)
sedangkan akad istishna memiliki sifat mengikat secara ikutan (taba’i). Apa
maksudnya? Pada akad salam mengikat semua pihak sejak semula sedangkan
istishna menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di
tinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab.
Selain itu, menurut Hasanuddin selaku sekretaris komisi fatwa DSN MUI
menyebutkan bahwa perbedaan akad salam dengan akad istishna adalah sifat
barangnya. Dalam akad salam barangnya mesti sudah ada contohnya sedangkan
dalam akad istishna barangnya masih berbentuk gambaran atau belum ada
wujudnya.
Skema Akad Istishna (Studi Kasus Menggunakan Bank Syariah)
Skema Akad
Istishna
Gambar di atas adalah skema akad istishna dimana bank syariah diposisikan
sebagai penjual. Dalam hal ini nasabah memesan barang yang sesuai spesifikasi
kepada bank. Ketika sepakat, bank memesan barang tersebut kepada produsen
pembuat. Sembari barang tersebut dibuat, Nasabah membayar uang kepada
bank bisa dengan cara bayar diawal, dicicil ataupun diakhir. Ketika barang
tersebut jadi maka barang dikirimkan langsung kepada nasabah pemesan.
Akad istishna saat ini sering diterapkan pada produk pembiayaan rumah syariah
atau biasa disebut KPR Syariah. Salah satu bank yang menerapkan pembiayaan
KPR Syariah dengan akad istishna adalah Bank Perkreditan Rakyat Syariah
(BPRS) Mulia Berkah Abadi. Menurutnya, penerapan akad istishna pada proses
KPR Syariah akan memudahkan memudahkan nasabah dan akan membuat
BPRS lebih unggul dibandingkan konvensional.
Jadi, nasabah bisa memesan rumah sesuai spesifikasi yang diinginkan kepada
penjual yang dalam hal ini bisa dilakukan oleh BPRS atau bank syariah lainnya.
Setelah kesepakatan terkait spesifikasi rumah telah terselesaikan maka Pemesan
alias nasabah bisa menentukan metode pembayaran yang diinginkan.
Setidaknya ada 2 cara yang diberikan.
Skema Pertama
Nasabah bisa membayar rumah dengan skema pembayaran per bagian rumah.
Jadi setiap ada bagian rumah yang jadi nasabah membayar atas bagian rumah
yang sudah jadi tersebut. Ilustrasi sederhananya, misal si Fauzan ingin membeli
rumah. Ia membeli rumah melalui BPRS Sejahtera.
BPRS menawarkan skema akad istishna untuk pembelian rumah. Fauzan setuju,
lalu ia menjabarkan spesifikasi rumah yang diinginkan. Kemudian, BPRS
Sejahtera menghitung biaya-biaya yang dibutuhkan untuk membuat rumah
sesuai sepesifikasi yang disampaikan.
Fauzan membayar dengan cara pembayaran setiap bagian rumah. Jadi, jikalau
dalam proses pembuatan rumah tersebut ada bagian-bagian yang sudah mulai
jadi Fauzan akan membayarnya. Kalau pondasi udah jadi, Fauzan membayar
cicilan pertama. Kemudian ketika dinding udah jadi, Fauzan membayar cicilan
kedua. Begitupun seterusnya sampai rumah tersebut jadi dan siap untuk
digunakan.
Skema Kedua
Nasabah bisa membayar rumah dengan skema cicilan tanpa perlu menunggu
setiap bagian rumah tersebut jadi. Misal si Haruman ingin membeli rumah
dengan cara cicil. Ia memesan rumah tersebut kepada BPRS Sentosa. BPRS
menawarkan skema akad istishna. Kemudian Haruman menyampaikan
spesifikasi rumah yang diinginkan.
Secara harfiah, ijarah berasal dari kata al-ajru dari bahasa Arab yang menurut
bahasa Indonesia berarti ganti dan upah. Sementara secara etimologi, ijarah
bermakna menjual manfaat. Dalam arti luas, ijarah adalah akad atas
kemanfaatan suatu barang dalam waktu tertentu dengan pengganti sejumlah
tertentu yang telah disepakati.
Tata cara ijarah dapat menjadi solusi untuk pembiayaan properti. (Sumber:
Pexels.com)
Praktik tata cara ijarah ijarah sangat sering dijumpai dalam masyarakat, apalagi
jika berkaitan dengan sewa menyewa properti. Dalam hukum Islam, ijarah yang
berhubungan dengan sewa aset atau properti didefinisikan sebagai akad
memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang
lain dengan imbalan biaya sewa. Tata cara ijarah harus melalui ketentuan
hukum agama yang betul agar transaksinya halal.
Bentuk tata cara ijarah ini mirip dengan kegiatan leasing atau sewa pada bisnis
konvensional namun dengan syarat dan rukun tertentu. Dalam hukum Islam,
pihak yang menyewa atau lessee disebut dengan mustajir. Pihak yang
menyewakan atau lessor disebut dengan mu’jir atau muajir. Kemudian biaya
sewa disebut ujrah. Mungkin Anda saat ini sedang memikirkan untuk mulai
memiliki tempat tinggal yang bisa disewakan
Sementara tata cara ijarah yang berkaitan dengan sewa menyewa jasa dalam
properti berarti mempekerjakan jasa seseorang misalnya untuk membangun
rumah, memperbaiki atau merenovasi rumah dengan upah sebagai imbalan jasa
yang disewa. Dalam praktik tata cara ijarah yang berhubungan dengan jasa ini,
pihak yang mempekerjakan disebut mustajir. Pihak pekerja yang menyediakan
jasa disebut ajir. Kemudian upah yang dibayarkan disebut ujrah.
Dari ulasan di atas, definisi tata cara ijarah berbeda tergantung apakah
berhubungan dengan dengan sewa aset dan properti atau berhubungan dengan
jasa. Karena itu, jenis ijarah dibagi menjadi dua jenis:
a. Ijarah Murni
Praktik tata cara ijarah murni ini sama dengan perjanjian sewa menyewa biasa.
Dalamtata cara ijarah yang berkaitan dengan jasa ini kedua belah pihak
berkedudukan sama. Artinya jika perjanjian telah selesai, maka pihak penyewa
dan pihak yang menyewakan akan kembali ke kedudukannya masing-masing.
Dalam skema tata cara ijarah murni, yang dititikberatkan adalah jasa
pemborongan suatu pekerjaan. Misalnya jasa borongan pembangunan gedung,
jasa borongan renovasi rumah dan lain sebagainya. Yang diijarahkan bukan
tenaga atau jasanya, namun hasil dari pekerjaan pemborongan.
tata cara ijarah muntahia bi al-tamlik merupakan jenis ijarah yang memiliki dua
akad yang saling berangkaian. Dua akad tersebut yaitu akad al-ba’i dan akad al-
ijarah muntahia bi al-tamlik. Pertama adalah akad al-ba’i yang merupakan akad
jual beli. Kedua adalah akad al-ijarah muntahia bi al-tamlik, yaitu akad ijarah
(sewa menyewa) yang dikombinasikan dengan akad jual beli di akhir masa
sewa.
Secara sederhana, tata cara ijarah muntahia bi al-tamlik adalah transaksi sewa
menyewa yang memiliki dua akad, yaitu perjanjian menyewa dalam periode
tertentu, dan ketika masa sewa berakhir objek sewa akan dijual atau dihibahkan
kepada penyewa.
Praktik tata cara ijarah muntahia bi al-tamlik ini seringkali kita jumpai dalam
transaksi jual beli rumah. Dalam praktik tata cara ijarah, uang sewa diwujudkan
sebagai uang muka (DP) dan cicilan atau angsuran tiap bulannya. Masa
mencicil ini biasanya ditetapkan dalam periode tertentu, misalnya selama 10
tahun. Kemudian jika masa sewa sudah mencapai 10 tahun, maka rumah
tersebut menjadi milik penyewa.
Tip Rumah
Unsur legalitas dari properti yang akan Anda pilih sangat perlu dipertimbangkan
dalam transaksi syariah. Hal ini disebabkan tidak terlibatnya lembaga besar,
seperti bank, dalam properti syariah.
5. Rukun-Rukun Ijarah
Dalam ijarah, syarat dan rukunnya harus terpenuhi agar transaksinya sah. (Foto:
Pexels)
1. Sighat ijarah, yaitu pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad. Ini
bisa dinyatakan dalam bentuk lisan dan dikuatkan dengan perjanjian
tertulis sesuai ketentuan yang berlaku.
2. Pemberi sewa atau pemberi jasa
3. Penyewa atau pengguna jasa
4. Objek akad ijarah yang berupa manfaat barang atau manfaat jasa.
5. Ujrah atau upah, ongkos, biaya
6. Syarat-Syarat Akad Ijarah
Pihak yang menyewakan harus menerangkan secara rinci agar syarat pada tata
cara ijarah sah. (Sumber: Pexels.com)
Dalam tata cara ijarah, syarat-syarat sah harus terpenuhi agar transaksi sewa
menywa menjadi halal. Setelah mengetahui rukunnya, berikut syarat akad
ijarah:
Syarat ini berkaitan dengan Aqid, zat, dan tempat akad. Ketiga hal mendasar ini
wajib hukumnya untuk diketahui oleh pihak yang akan melakukan akad. Aqid
sebaiknya Baligh, berakal dan mampu mengatur hartanya, dan saling
mengizinkan atau ridho.
Barang yang akan disewakan harus menjadi hak milik penuh pihak yang akan
menyewakan. Akad ijarah tidak akan sah jika barang tidak dimiliki secara
penuh. Maka ada baiknya sebelum ijarah pihak penyewa mengetahui status
kepemilikan dengan jelas.
Barang yang menjadi objek harus memiliki manfaat yang jelas. Sahnya
perjanjian ditentukan oleh tata cara ijarah yang sama-sama disetujui dengan
ikhlas oleh masing-masing pihak. Pihak yang menyewakan harus menjelaskan
dengan rinci mengenai manfaat dan batasan waktunya.
Tips Rumah dan Apartemen
d. Syarat Kelaziman
1. Para pihak yang menyelenggarakan akad ijarah, baik pihak penyewa dan
pihak yang menyewakan harus berbuat dilandasi asas sukarela dan tidak
atas keterpaksaan.
2. Tidak diperbolehkan ada unsur penipuan dalam akad ijarah. Jika di
kemudian hari ditemukan unsur penipuan, maka akad ijarah bisa
dibatalkan dan pihak yang ditipu diperbolehkan meminta
pertanggungjawaban.
3. Obyek yang diakadkan harus berwujud, berbentuk dan sesuai realitas.
Misalnya, barang modal seperti bangunan, rumah, kantor, ruko dan lain-
lain. Barang produksi seperti mesin dan alat-alat berat. Barang
transportasi seperti mobil dan sepeda motor.
4. Manfaat obyek ijaroh harus sesuatu yang bersifat mubah (dibolehkan),
bukan sesuatu yang diharamkan. Manfaat ini juga harus bisa dikenali
dengan jelas dan spesifik. Sehingga tidak diperbolehkan misalnya
menyewakan pohon untuk diambil buahnya atau mata air untuk diambil
airnya, karena bukan manfaatnya yang diambil melainkan bendanya.
5. Pemberian upah atau imbalan dalam transaksi ijarah harus berupa sesuatu
yang bernilai, dalam praktiknya berupa mata uang yang berlaku.
7. Prosedur Ijarah
Penghitungan pembiayaan ijarah dapat lebih mudah jika melalui bantuan bank
syariah. (Sumber: Pexels.com)
Dalam pelaksanaannya, tata cara ijarah atau prosedurnya dalam properti ini
terbagi menjadi beberapa tahap seperti dijelaskan sebagai berikut:
Bagi hasil digunakan dalam sistem perbankan syariah. Penerapannya, total hasil
usaha dibagi-bagi antara kreditur dan debitur baik dalam pengelolaan dana
maupun pinjaman dana.
Sistem ini kemudian menjadi prinsip yang diterapkan dalam setiap produk bank
syariah, seperti tabungan, deposito, maupun pinjaman atau kredit.
Sebelum memahami beberapa akad bagi hasil dalam sistem perbankan, ketahui
dulu skema bagi hasil berikut ini:
Tidak perlu khawatir lagi dengan mahalnya biaya kesehatan di rumah sakit
karena adanya pertanggungan finansial dari asuransi kesehatan syariah.
Asuransi kesehatan syariah mengedepankan pengelolaan keuangan dengan tetap
menaati syariat sesuai fatwa MUI.
1. Profit sharing
Profit sharing adalah keuntungan yang berasal dari pendapatan yang sudah
dikurangi dengan ongkos produksi atau operasional sehingga hasil yang
didapatkan merupakan keuntungan bersih.
Sedikit berbeda dengan profit sharing, gross profit sharing berasal dari
pendapatan yang dikurangi harga pokok penjualan. Laba tersebut belum
dikurangi dengan pajak, biaya administrasi, serta biaya pemasaran lainnya.
Inilah yang disebut dengan laba kotor atau gross profit sharing.
3. Revenue sharing
Lain lagi dengan revenue sharing. Revenue sharing adalah pendapatan yang
belum dikurangi dengan biaya operasional dan komisi dalam sistem perbankan.
Dalam hal ini, bagi hasil di dalam sistem perbankan menganut prinsip profit
sharing atau pembagian laba bersih antara kreditur dan juga debitur.
Sedangkan dalam sistem usaha bersama, bagi hasil bisa ditentukan berdasarkan
skema bagi hasil yang dipilih sesuai dengan akad atau perjanjian di awal.
Kelebihan dan Kekurangan Bagi Hasil
Sistem ini dianggap transparan dan menguntungkan kedua belah pihak sehingga
tidak ada yang dirugikan. Prinsip ini pun pada dasarnya bisa diaplikasikan
dalam beberapa produk lembaga keuangan seperti tabungan maupun pinjaman.
Seperti halnya produk perbankan lainnya, produk asuransi pun kini sudah
tersedia beberapa produk asuransi syariah. Lifepal memberikan beragam produk
proteksi mulai dari yang konvensional maupun yang dijalankan sesuai dengan
prinsip syari’.
Akad musyarakah adalah kerjasama antara dua pihak yang saling memberikan
kontribusi berupa dana untuk membangun sebuah usaha, dengan keuntungan
dan resiko yang akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.
Selain mutanaqisah, ada juga istilah lain yang termasuk dalam bentuk kerjasama
ekonomi syariah, yaitu mudharabah. Namun terdapat perbedaan antara akad
musyarakah dan mudharabah. Berikut penjelasannya.
Skema Akad Musyarakah
Pada skema akad musyarakah terdapat dua pihak yang akan berkontribusi dalam
suatu proyek. Skema tersebut akan dijelaskan pada gambar di bawah ini.
Hukum Musyarakah
Musyarakah adalah salah satu bentuk kerja sama ekonomi yang dianjurkan
dalam Islam. Ada beberapa dalil dan fatwa DSN yang mendukung penerapan
musyarakah dalam bisnis ekonomi syariah.
Dalil
Selain kedua hadits di atas, dasar hukum musyarakah adalah Fatwa DSN
No: 08/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa ini lahir dengan pertimbangan bahwa,
untuk meningkatkan kesejahteraan dan kelancaran usaha masyarakat,
perlu adanya bantuan dari pihak lain. Adanya nilai kebersamaan dan
keadilan menjadi keunggulan tersendiri dalam sistem ini.
Jenis-jenis Musyarakah
Akad musyarakah dibagi menjadi 2 jenis syirkah, yaitu syirkah uqud dan amlak.
Berikut penjelasannya.
Syirkah Uqud
Syirkah Uqud merupakan akad antara 2 pihak atau lebih dalam hal dengan cara
menggabungkan harta mereka untuk suatu bisnis. Syirkah jenis ini dibagi lagi
menjadi beberapa bentuk, meliputi:
Al In’an: Syirkah antara 2 pihak atau lebih yang bekerja sama dengan
menyetor modal dalam jumlah berbeda-beda, untuk kemudian membagi
keuntungan yang ada berdasarkan besaran modal masing-masing.
Syirkah A’mal atau Syirkah Abdan: Kerjasama antara 2 orang yang
biasanya berprofesi sama untuk mengerjakan sebuah proyek pekerjaan.
Masing-masing dari mereka memberikan kontribusi dalam bentuk skill,
kemudian keuntungan yang didapat akan dibagi rata.
Mufawadah: Akad musyarakah antara 2 pihak yang memberikan modal
sama besar untuk kemudian tiap-tiap keuntungan maupun kerugian dibagi
menjadi 2 secara rata.
Syirkah Wujuh: Kolaborasi antara pemilik dana dengan pihak yang
memiliki kredibilitas sehingga kerjasama ini didasarkan atas wibawa para
anggota. Keuntungan dan kerugian yang timbul akan dibagi berdasarkan
negosiasi para pihak.
Syirkah Amlak
Syirkah Amlak terjadi bukan karena akad, melainkan karena kehendak untuk
memiliki harta bersama. Syirkah ini dibagi menjadi 2 bentuk:
Sebelum melakukan akad musyarakah, ada beberapa rukun yang wajib Anda
penuhi. Diantaranya.
1. Ijab Kabul/Shighat
Merupakan pernyataan para pihak yang secara jelas menunjukkan tujuan
akad, penerimaan dan penawaran langsung saat kontrak, dan menuangkan
akad dalam bentuk tertulis.
2. Pihak-pihak yang Berakad/Aqidain
Ada beberapa kriteria pihak-pihak yang berakad, diantaranya yaitu,
o Cakap hukum
o Kompeten
o Memiliki dana dan pekerjaan
o Memiliki wewenang untuk mengelola aset mitranya
o Tidak diizinkan menginvestasikan dana untuk kepentingan pribadi
o Memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah.
3. Objek Akad/Mauqud Alaih
Objek akad terdiri dari modal dan kerja. Modal harus berupa uang tunai
dan aset yang dapat dinilai dengan uang. Modal yang ada juga tidak boleh
menjadi jaminan maupun dipinjamkan kepada pihak lain.
Sedangkan, objek kerja harus dilakukan atas nama pribadi maupun mitra
masing-masing. Pekerjaan yang dilakukan tidak harus sama besar, namun
pihak yang mengerjakan lebih banyak, berhak mendapat tambahan
keuntungan.
4. Bagi Hasil/Nisbah
Keuntungan yang diperoleh wajib dibagi untuk para pihak, baik secara
rata maupun sesuai kesepakatan. Misalnya, salah satu pihak menyetorkan
modal senilai Rp5 juta dan dalam kontraknya Ia memperoleh bagian
keuntungan sebesar 10%. Nantinya, keuntungan yang diperoleh bukanlah
10% dari Rp5 juta, melainkan 10% dari total keuntungan.
Sedangkan kerugian yang terjadi akan dibagi sesuai dengan jumlah modal
yang disetorkan. Misalnya, A menanamkan modal sebesar 60%
sedangkan B sebesar 40%. Maka kerugiannya akan ditanggung oleh
masing-masing sebesar 60% oleh A dan 40% oleh B.
Syarat-syarat Musyarakah
Akad jenis ini banyak terjadi di sekitar kita. Sebagian besar akad tersebut
dilakukan dalam praktik perbankan, seperti contoh berikut ini:
Akad mudharabah adalah jenis akad yang sering ditemukan di berbagai macam
jenis produk atau program yang ditawarkan oleh bank syariah. Dilansir dari
laman resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), salah satu produk yang dijalankan
menggunakan prinsip perjanjian mudharabah adalah pembiayaan.
Hal ini berkaitan dengan prinsip bank syariah itu sendiri yang dituntut untuk
menyalurkan pembiayaan modal sesuai dengan ketentuan syariat, sehingga
perjanjian mudharabah dan akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah Islam digunakan.
Dari masa ke masa ketentuan dari perjanjian mudharabah pun juga mengalami
inovasi seiring perkembangan zaman. Pada awalnya, perjanjian mudharabah
tidak bisa digabungkan dengan akad jenis lainnya. Namun, saat ini konsep
perjanjian mudharabah lebih fleksibel untuk dapat digabungkan dengan akad
lain, seperti perjanjian mudharabah dipadukan dengan akad musyarakah di
dalam sebuah aktivitas perbankan syariah.
Fatwa tersebut juga menjelaskan mengenai jangka waktu dari kerja sama akad
mudharabah. Jangka waktunya ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah
pihak. Artinya, akad mudharabah merupakan jenis kesepakatan yang
menawarkan kemudahan dan fleksibilitas bagi kedua belah pihak untuk bisa
mengakomodasi kebutuhan serta keuntungan manfaat yang diterima.
Selain itu, sebagai pihak pertama, pemilik modal juga diperbolehkan untuk
menentukan jenis usaha apa yang akan dikembangkan berdasarkan kesepakatan
akad mudharabah yang disetujui bersama dan sesuai dengan aturan syariah.
Meskipun begitu, dalam pelaksanaannya pihak pertama tidak boleh ikut dalam
manajemen jenis usaha yang dipilih sesuai akad yang disepakati.
Pasalnya, konsep akad mudharabah ini adalah kesepakatan kerja sama yang
memiliki prinsip pembiayaan tanpa jaminan pasti. Bisa saja ada jaminan, jika
memang dibuat dan disepakati oleh kedua belah pihak. Bisa dikatakan dalam
akad ini transparansi merupakan faktor yang sangat penting bagi terlaksananya
kesepakatan dengan baik.
1. Mudharabah muthlaqah
Dalam transaksi syariah, akad mudharabah mutlaqah adalah istilah yang akan
sering kamu temui. Mutlaqah adalah salah satu jenis akad mudharabah dimana
pemilik modal tidak ikut menentukan usaha apa yang dilakukan oleh si
pengelola modal.
Sifat dana yang diberikan adalah dana bebas, artinya pihak pengelola dana tidak
memiliki batasan dalam menentukan usaha dan pelaksanaannya. Pihak pemilik
modal hanya melakukan pengawasan untuk memastikan modal usaha yang
diberikan berjalan dengan lancar dan mereka akan menerima nisbah atau bagi
hasil dari usaha tersebut.
2. Mudharabah muqayyadah
Sementara itu pada mudharabah muqayyadah off balance sheet, bank akan
bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan si pemilik modal
dengan pengelola modal. Pihak bank akan memperoleh fee atas perannya
sebagai arranger. Penentuan jenis usaha dan besar bagi hasil dilakukan oleh k
muthlaqah nasabah investor (pemilik modal) dan nasabah debitur (pengelola
modal). Pencatatan transaksi di bank akan dijalankan secara off balance sheet.
3. Mudharabah musytarakah
Selain dasar hukum negara, akad yang berbasis syariat juga harus punya
landasan hukum agama. Pada dasarnya, akad mudharabah adalah akad halal
yang menjadi salah satu opsi mencari rezeki dengan mengadakan perikatan
syariah.
1. Al-Qur an
Menurut pendapat Muhammad Asad ada beberapa ayat yang ada kaitannya
dengan akad mudharabah adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah
(2), ayat 273 :
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orangorang kafir.
Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”
“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan
orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan
orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah”
Adapun ayat-ayat lain yang jadi dasar-dasar hukum mudharabah yang lebih
mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha, adalah sebagai berikut:
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.”
2. Al-Hadits
Dari Shalih bin Shuhaib r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tiga hal
didalamnya terdapat keberkatan yaitu jual beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah ), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan
rumah bukan untuk dijual.” ( HR Ibnu Majah ).
3. Qiyas
Diantara manusia ada yang kurang secara finansial namun punya daya dan
kompetensi untuk bekerja. Sama halnya dengan akad mudharabah yang
memiliki tujuan untuk memberikan pendanaan pada pada sebagian orang yang
membutuhkan suntikan dana dalam menjalankan suatu usaha. Keberadaan opsi
kerjasama berupa mudharabah membuat dua golongan diuntungkan, pemilik
modal dan pengelola.
Adapun contoh perjanjian mudharabah bisa dilihat dengan menilik pada skema
yang dipraktikan dalam perbankan syariah. Berikut skema perjanjian
mudharabah yang biasa dilakukan bank syariah saat ini:
Pada bulan pertama, saudara A mencatat pada bukunya bahwa usahanya telah
memberikan keuntungan sebesar Rp 5.000.000,00. Dia perlu menyetorkan
laporan keuntungan bersih yang diperolehnya pada buku khusus kepada bank.
Setelah dicatat, setiap bulannya juga saudara A harus menyetor uangnya pada
bank syariah melalui tabungan mudharabah. Hingga pada akhir tahun, tercatat
bahwa saudara A telah mendapatkan keuntungan sebesar Rp 60.000.000,00.
Setelah usahanya berlangsung selama satu tahun seperti yang disebut dalam
perjanjian, saudara A terus menyetor uangnya kepada bank syariah melalui
tabungan mudharabah, dia pun dapat mengembalikan uang yang dipinjam
beserta keuntungannya pada bank syariah, kemudian dilakukan pembagian hasil
yang besarannya sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui.
Setelah dihitung, pembagian hasilnya saudara A yang punya hak 60%
memperoleh keuntungan sebesar Rp36.000.000,00. Sementara pihak bank yang
berhak atas 40% keuntungan memperoleh uang bagi hasil sebesar Rp
24.000.000. Akhirnya saudara A mengembalikan total pinjaman ditambah
keuntungan kepada bank sebesar Rp 74.000.000.
Akad Pelengkap
Pengertian Hiwalah
Hiwalah adalah Secara etimologi, pengertian hiwalah adalah istilah dari kata
tahawwul artinya berpindah atau tahwil berarti pengalihan. Sederhananya,
pengertian hiwalah adalah pengalihan utang atau piutang dari pihak kreditur
kepada pihak penanggung pelunasan hutang.
Dasar hukum hiwalah berpedoman pada Al-quran dan hadist. Berdasarkan Q.S.
Al-Baqarah [2]: 282 mengatakan bahwa Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar.
Kemudian dasar hukum hiwalah tersebut diikuti oleh ijma ulama yang
hukumnya sunnah. Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama
Indonesia mengatur akad hiwalah dengan mengeluarkan fatwa DSN-MUI No.
12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah, Fatwa DSN-MUI No.
34/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) Impor Syariah, dan Fatwa
DSN-MUI No. 58/DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah bil Ujrah.
Skema Hiwalah dalam Perbankan Syariah
Skema hiwalah dalam perbankan syariah terbagi dalam dua jenis yaitu al-
muqayyadah dan al-mutlaqah. Adapun penjelasan skema hiwalah adalah berikut
ini.
1. Hiwalah Al-Muqayyadah
Hiwalah Al-Muqayyadah adalah skema hiwalah yang memindahkan
tanggung jawab pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua.
2. Hiwalah Al-Mutlaqah
Kebalikan dari contoh hiwalah sebelumnya, Hiwalah Al-Mutlaqah yaitu
konsep hiwalah dengan pengalihan utang secara tidak tegas sebagai
pengganti pelunasan utang pihak pertama kepada pihak kedua.
Rukun Hiwalah
Rukun hiwalah adalah rukun-rukun yang wajib dipenuhi sebelum akad hiwalah
terjadi. Apabila tidak terpenuhi salah satunya, maka akad hiwalah tidak dapat
dilakukan. Rukun-rukun tersebut antara lain:
1. Muhil
Pertama, rukun hiwalah adalah muhil, yaitu orang yang mempunyai
hutang. Dalam hal ini, muhil harus berakal sehat, baligh, dan mempunyai
kemampuan melaksanakan akad hiwalah. Selain itu, pemilik hutang atau
muhil menjalankannya atas keinginan pribadi tanpa paksaan dari pihak
lain.
2. Muhal
Muhal yaitu orang memberikan hutang atau pihak piutang. Sama seperti
syarat muhil, pihak muhal harus mencapai usia baligh, berakal sehat dan
melaksanakan akad ini secara sukarela tanpa paksaan. Ijab qabul hiwalah
yang dikatakan oleh muhal harus berada dalam majelis akad disaksikan
pihak terkait, dan dilakukan secara sadar tanpa paksaan.
3. Muhal'alaih
Rukun hiwalah ketiga yakni muhal'alaih sebagai orang pemilik hutang
dan bertanggung jawab melunasi hutang pihak muhil. Pihak ini harus
mempunyai akal sehat, baligh, kemampuan finansial, dan memahami
pelaksanaan akad, serta pengucapan ijab qabul dalam majelis akad
dengan kehadiran peserta terkait.
4. Hutang yang Diakadkan
Dalam konsep hiwalah, hutang merupakan bentuk pinjaman yang
dilakukan oleh muhil dari muhal, dan dinyatakan akan dilunasi oleh
muhal’alaih. Hutang tersebut boleh berupa uang, aset, dan benda-benda
berharga lainnya.
Syarat Hiwalah
Selain rukun hiwalah, terdapat syarat hiwalah yang harus dipersiapkan dalam
menjalaninya. Adapun syarat hiwalah adalah di bawah ini:
Secara bahasa, rahn memiliki banyak definisi. Di antaranya adalah habs yang
berarti tertahan, terhalang, tercegah, atau yang semakna dengannya. Hal ini
senada dengan firman Allah Ta’ala,
ٌت َر ِهينَة ٍ ُكلُّ نَ ْف
ْ َس بِ َما َك َسب
Definisi lain dari rahn adalah dawam yang bermakna diam atau tetap. Syaikh Al
Utsaimin rahimahullah mengumpamakan, jika ada seseorang yang mengatakan
air ini rahin, maksudnya air ini diam, tenang, dan tidak mengalir.[1]
Adapun menurut istilah ulama fikih, rahn atau gadai adalah berutang dengan
menyerahkan barang sebagai jaminan.
Contoh Gadai
Untuk memudahkan kita memahami persoalan ini ada baiknya kita mengenal
pihak yang bertransaksi di dalam muamalah ini. Pihak pertama adalah rahin (si
peminjam atau orang yang menggadaikan), sedangkan pihak kedua
adalah murtahin (pemberi utang).
Adapun contoh gadai, misalnya, rahinberutang sebesar satu juta rupiah kepada
murtahin. Ia lantas menyerahkan barang yang dapat dijadikan jaminan untuk
melunasi utangnya kepada murtahin.
Hukum Gadai
Sistem transaksi utang piutang dengan gadai diperbolehkan dalam Islam. Hal ini
berlandaskan dalil dari Alquran, sunah, maupun konsensus kaum muslimin
sejak dulu.
“Jika kalian berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai),
sedangkan kalian tidak menemui seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh orang yang memberi piutang)…” (QS. Al-
Baqarah: 283)
Adapun penyebutan safar/bepergian dalam ayat ini bukanlah bermaksud untuk
membatasi syariat gadai hanya boleh di waktu bepergian semata. Akan tetapi
hal itu dikarenakan dahulu gadai sering kali dilakukan di dalam perjalanan.[3]
Hal ini berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh istri Nabi yaitu Aisyah
radhiyallahu ‘anha. Beliau mengisahkan bahwa suatu ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi. Beliau pun
menggadaikan sebuah baju perang yang terbuat dari besi.[4]
Ketika kejadian ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang tidak melakukan
safar. Kisah ini juga merupakan dalil dari sunah yang menjelaskan
diperbolehkannya transaksi gadai.
Hikmah Pergadaian
Rukun Gadai
Syarat Gadai
Kedua, barang gadai tersebut diperbolehkan dalam jual beli. Jika seorang rahin
menggadaikan seekor babi misalnya, maka transaksi gadai dalam kasus ini tidak
sah. Karena babi adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam jual beli.
Termasuk pula tidak diperbolehkan menggadaikan barang wakaf atau barang
yang bukan miliknya.[7]
Akan tetapi dikecualikan dalam masalah ini menggadaikan hasil pertanian atau
buah-buahan yang belum matang. Meskipun sebagaimana yang kita ketahui
hukum asal menjual buah-buahan yang belum matang adalah terlarang.[8]
Keempat, hendaknya barang yang digadai diketahui kadar, sifat, dan jenisnya.
Peminjam (Muqtaridh)
Dana (Qardh)
contohnya adalah
Dalam bahasa Arab, wakalah berarti menolong, memelihara, mendelegasikan, atau menjadi
wakil yang bertindak atas nama orang yang diwakilinya. Secara istilah, wakalah adalah
tolong menolong antar-pribadi dalam suatu persoalan ketika seseorang tidak mampu secara
hukum atau mempunyai halangan untuk melakukannya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, (KBBI), wakalah adalah pemimpin wilayah
(tentang organisasi). Dalam hukum Islam, wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh
seseorang sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang
diwakilkan. Objek yang diwakilkan itu dapat menyangkut masalah harta benda dan masalah
pribadi lainnya, seperti nikah. Istilah wakalah ini penerapannya sebenarnya cukup umum di
masyarakat, namun penyebutannya saja yang mungkin belum terlalu sering didengar.
- Mazhab Hanafi, wakalah adalah pendelegasian suatu tindakan hukum kepada orang lain
yang bertindak sebagai wakil.
- Mazhab Syafii, wakalah adalah pendelegasian hak kepada seseorang dalam hal-hal yang
dapat diwakilkan kepada orang lain selama ia hidup. Definisi 'selama ia hidup' jadi pembeda
antara wakalah dengan wasiat.
4 dari 5 halaman
Rukun Wakalah
1. Ada yang mewakilkan dan wakil. Anak kecil yang dapat membedakan baik dan buruk
(boleh) mewakilkan dalam tindakan yang bermanfaat, seperti perwakilan untuk menerima
hibah, sedekah dan wasiat.
2. Ada sesuatu yang diwakilkan. Sebagai berikut ;
- Dimiliki oleh yang berwakil ketika ia berwakil. Oleh karena itu, batal mewakilkan sesuatu
yang akan dibeli.
- Diketahui dengan jelas. Batal mewakilkan sesuatu yang masih samar, seperti seseorang
berkata, 'aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk menikahkan salah seorang anakku'.
3. Ada lafal yang menunjukan rida yang mewakilkan dan wakil menerimanya.
Advertisement
5 dari 5 halaman
Syarat Wakalah
Menurut al Qadhi Abu Syuja' seorang wakil tidak boleh melakukan jual beli, kecuali dengan
3 syarat:
- Tidak boleh menjual dengan mengatasnamakan dirinya dan mengakui barang yang
diwakilkan atas namanya sendiri, kecuali dengan izin orang yang mewakilkan.
Selain itu, bagi pihak-pihak yang melakukan wakalah, juga terdapat beberapa persayaratan
yang harus terpenuhi.
Syarat untuk orang yang berakad ini harus dipenuhi dalam melaksanakan wakalah:
Syarat untuk objek yang diwakilkan ini pun harus dipenuhi dalam melaksanakan wakalah:
- Yang diwakilkan bukan sesuatu yang boleh (mubah) dilakukan oleh setiap orang
Itulah pengertian wakalah, dalil, rukun, serta syarat-syaratnya yang perlu kemu ketahui.
Sebagai pendelegasian tindakan atau hak, wakalah diatur dengan baik dalam hukum Islam.
Kamu harus memenuhi setiap ketentuan tersebut untuk melaksanakan wakalah.