You are on page 1of 45

Akad Jual Beli

Murabahah

Sesuai dengan Fatwa DSN MUI Nomor 4 tahun 2000, transaksi murabahah
adalah transaksi jual beli antara nasabah yang membutuhkan barang dengan
bank syariah yang membeli barang tersebut untuk dijual kembali kepada
nasabah. Dalam hal ini nasabah dapat melakukan pembayaran secara angsuran
kepada bank syariah dengan perjanjian jangka waktu tertentu.

Beberapa hal penting yang harus dipenuhi dalam transaksi murabahah antara
bank syariah dengan nasabah diantaranya adalah:

1. Barang yang diperjualbelikan adalah barang halal. Bank syariah tidak boleh
melayani nasabah yang ingin membeli barang haram melalui pembiayaan
bank syariah.

2. Bank memberitahu nasabah harga beli barang dan keuntungan yang diambil,
termasuk biaya yang diperlukan.

3. Nasabah sepakat dengan harga jual yang diberikan oleh bank syariah,
sehingga selama waktu pembayaran sampai lunas nasabah merasa ridha atas
transaksi jual beli tersebut.

4. Jika bank syariah hendak mewakilkan transaksi jual beli barang dengan
pihak ketiga kepada nasabah, maka akad murabahah ini harus dilakukan
setelah barang tersebut secara prinsip sudah menjadi milik bank. Misalnya:
nasabah ingin mengajukan pembiayaan murabahah atas pembelian sebuah
sepeda motor. Setelah sepakat mengenai spesifikasi yang diinginkan oleh
nasabah, bank syariah membeli sepeda motor tersebut kepada dealer. Hal ini
membuat secara prinsip motor tersebut adalah milik bank syariah. Kemudian
bank syariah dan nasabah menandatangani akad murabahah. Setelah itu bank
syariah bisa mewakilkan pembayaran atau pengambilan sepeda motor yang
sudah dipesan tersebut kepada nasabah.

Pada umumnya akad murabahah pada bank syariah digunakan untuk


pembiayaan kendaraan bermotor atau KPR. Meskipun tidak menutup
kemungkinan bisa digunakan untuk pembelian barang elektronik atau lainnya.

Dasar Hukum Murabahah

Dasar hukum murabahah adalah dari Al-Quran dan Ijma para ulama.
Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN-MUI/2000 mengenai
murabahah adalah penjualan barang yang menekankan harga beli kepada
pembeli dan pembeli bersedia membeli dengan harga lebih tinggi sebagai
perolehan keuntungan penjual.

Ijma para ulama ini mengikuti aturan yang telah disebutkan dalam Al-quran.
Adapun dasar hukum murabahah adalah Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 29, Al-
Baqarah ayat 275, Al-Ma’idah ayat 1, dan Al-Baqarah ayat 280.

Keunggulan Akad Murabahah

Transaksi murabahah memiliki berbagai keunggulan. Adapun keunggulan


murabahah adalah di bawah ini.

1. Transaksi Murabahah Lebih Transparan


Pertama, keunggulan akad murabahah adalah transaksi lebih transparan.
Karena skema akad murabahah yakni penjual wajib memberitahu pembeli
terkait harga produksi atau beli suatu produk dan menyepakati
keuntungan yang diterima penjual. Sehingga transaksi harus dilakukan
secara amanah dan jujur.
2. Mengutamakan Kepentingan Dua Pihak
Kedua, keunggulan akad murabahah adalah mengutamakan kepentingan
dua pihak. Dalam kesepakatan ini, kedua belah pihak sama sama
diuntungkan. Karena penetapan laba penjual disepakati antara penjual
dan pembeli. Sehingga kedua belah pihak bisa mengukur keuntungan
pantas diperoleh penjual dan harga yang tepat bagi pembeli.
3. Menggunakan Sistem Balas Jasa, Bukan Bunga
Ketiga, keunggulan akad murabahah adalah menggunakan sistem balas
jasa, bukan bunga. Pembiayaan murabahah sering kali digunakan dalam
kredit syariah dimana bank membeli barang keinginan pembeli,
kemudian dijual dengan harga lebih tinggi sebagai laba sesuai
kesepakatan dengan pembeli.
4. Keuntungan Bisa Dinegosiasikan
Selanjutnya, keunggulan murabahah adalah profit dari transaksi dapat
dinegosiasikan. Apabila pembeli merasa keberatan dengan harga jual
suatu produk, maka hal ini dapat dinegosiasikan dengan penjual.

Begitu pula sebaliknya, saat penjual tidak puas dengan besaran laba yang
diusulkan pembeli, maka keduanya bisa berdiskusi untuk mencapai
kesepakatan harga.

5. Angsuran Dibayar Sesuai Kesepakatan


Berikutnya, keunggulan akad murabahah adalah angsuran dibayar sesuai
kesepakatan. Transaksi murabahah tidak hanya mengatur transparansi
saja, namun pembayaran cicilan juga dibahas sesuai kesepakatan.
Pembeli dapat melakukan negosiasi besaran nominal dan jangka waktu
mengangsur bersama penjual.
6. Bisa Digunakan untuk Kegiatan Konsumtif dan Produktif
Terakhir, keunggulan murabahah adalah bisa digunakan untuk kegiatan
konsumtif dan produktif. Pembiayaan murabahah banyak dilakukan pada
lembaga keuangan syariah untuk membantu nasabah dalam membiayai
kegiatan konsumtif seperti pembelian rumah dan aktivitas produktif
seperti pengembangan usaha.

Jenis-Jenis Murabahah

Jenis jenis murabahah terdiri dari dua yaitu murabahah dengan pesanan dan
tanpa pesanan. Adapun penjelasan jenis jenis murabahah adalah berikut ini.

1. Murabahah dengan Pesanan


Jenis murabahah yang pertama adalah murabahah dengan pesanan.
Transaksi murabahah dengan pesanan dilakukan setelah produk yang
dipesan pembeli diperoleh oleh penjual. Jadi skema akad murabahah
adalah pembeli memesan barang terlebih dahulu. Kemudian penjual
memproduksi atau membeli dari supplier, lantas dijual kepada pembeli
dengan transparansi harga.
2. Murabahah Tanpa Pesanan
Jenis murabahah berikutnya adalah Murabahah tanpa pesanan. Jenis akad
ini merupakan transaksi murabahah dilakukan secara langsung tanpa
menunggu pemesanan barang, karena produk telah tersedia.

Rukun dan Syarat Murabahah

Sebelum memulai transaksi murabahah, sebaiknya Anda mengenali rukun dan


syarat murabahah sebagai berikut.

Rukun Murabahah

Rukun murabahah adalah hal-hal yang harus dipenuhi sebelum menerapkan


akad ini, yaitu antara lain:

 Penjual
 Pembeli
 Obyek jual beli berupa produk atau jasa
 Harga
 Ijab Qobul

Syarat Murabahah

Setelah rukun murabahah terpenuhi, selanjutnya Anda harus memperhatikan


syarat murabahah agar akad ini berjalan secara sah sesuai hukum syariah, yaitu:

 Penjual jujur menginformasikan harga pokok suatu produk kepada


pembeli.
 Kesepakatan harus saha sesuai rukun dan prinsip Islam.
 Terbebas dari unsur riba.
 Adanya transparansi penjual kepada pembeli bila suatu produk memiliki
kecacatan.
 Penjual harus terus terang terkait proses perolehan dan segala urusan
mengenai produk, misalnya dibeli secara hutang.

Contoh Akad Murabahah

Adi adalah seorang pengusaha yang ingin membeli rumah dari Pak Sutaji, sang
pemilik rumah. Pak Sutaji menerangkan bahwa harga beli rumah tersebut
sebesar Rp300 juta dan akan menjualnya seharga Rp500 juta, sehingga
keuntungannya menjadi Rp200 juta.

Namun Adi melakukan penawaran agar keuntungan Pak Sutaji sebesar Rp150
juta sehingga harga jualnya Rp450 juta. Pak Sutaji menerima penawaran
tersebut sehingga mereka berdua pun sepakat harga murabahah rumah tersebut
adalah Rp460 juta, dengan angsuran Rp7,5 juta per bulan.

Salam
Akad salam adalah salah satu bentuk jual beli dimana seseorang melakukan
pembelian barang dengan cara pesanan. Pola transaksi ini banyak dipraktikkan
pada sistem jual beli online. Dimana pembeli membayar terlebih dahulu barang
yang disediakan penjual namun tidak dapat langsung menerima barang tersebut.
Setelah pembayaran lunas oleh pembeli, penjual mengirimkan barang sesuai
spesifikasi yang dimaksud.
Pola transaksi ini juga dapat dilakukan melalui lembaga keuangan syariah,
seperti bank syariah atau BPR Syariah. Pembiayaan salam dapat dilakukan jika
nasabah memiliki dana cukup untuk membeli barang melalui perantara lembaga
keuangan syariah.
Landasan Hukum Akad Salam

Bila merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah, akad salam merujuk pada salah satu
surat dalam qur’an yang merupakan ayat terpanjang dalam Al-Qur’an, yaitu
Q.S. Al-Baqarah[2] : 282, yang artinya:

Article-Inline

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara


tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya,
meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya”

Kemudian dirujuk pada Hadist Nabi SAW, yaitu “Dari Ibn ‘Abbas
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW ketika datang ke Madinah, dan
mendapati penduduknya menggunakan akad salaf (salam) pada buah-buahan
untuk 1,2,3 tahun. Dia (SAW) berkata: “Barangsiapa yang melakukan transaksi
salaf (pemesanan didepan), hendaknya menyatakan (spesifik) dalam volume
jelas, takaran jelas dan waktu yang jelas”

Ijma’ Muslimin: Ibn Mundzir berkata, “Seluruh ulama dari semua pendapatnya
yang kami hafal (ketahui) menyatakan persetujuan dan membolehkan akad
salam dan orang memerlukan akad ini dalam transaksinya. Hal ini mengingat
bahwa pertumbuhan buah-buahan, sayuran dan bisnis regular memerlukan
untuk dibiayai agar bisa menjalankan pertanian dan bisnisnya. Kontrak ini
diperbolehkan dengan dasar pemenuhan kebutuhan manusia”

Kemudian secara legal, akad salam tertulis dalam fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN) MUI No: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam.

Rukun Akad Salam

Agar akad salam/jual beli salam sesuai dengan syariat maka terdapat rukun-
rukun yang harus dipenuhi. Apa saja rukunnya?

Rukun inti yang terdapat dalam jual beli salam adalah sighat (ijab qabul).
Hanafi, Maliki dan Hanbali menyatakan bahwa bentuk ijab menggunakan terms
“salaf atau salam”: Pembeli berkata, “saya membayar harga ini untuk membeli
barang X dari kamu dengan akad salam” dan Penjual menjawab “saya terima”.
Dengan ijab qabul seperti itu maka rukun salam sudah terpenuhi.

Kemudian Zufar dan Syafi’i berpendapat: “tidak akan sah akad bai salam
kecuali dengan perkataan salaf atau salam”. Landasannya adalah analogika
tentang jual-beli tidak akan konklud karena barang tidak exist saat sesi
transaksi, maka perkataan salam atau salaf menjadi rukun penting. Tidak bisa
hanya mengucapkan jual-beli biasa karena ada kondisi-kondisi yang berbeda.

Kalau enggak disebutkan akad salamnya boleh enggak sih? Kan repot tuh
apalagi kalau lupa.

Nah, ada pendapat ulama syafi’iyah lain yang menyebutkan bahwa tidak
disebutnya kata salam atau salaf pada saat akad maka itu tetap diperbolehkan.
Namun, perlu ada bukti pembayaran atau kwintansi untuk barang tertentu
dimasa yang akan datang.

Syarat Akad Salam

Syarat akad salam terfokus pada harga dan atau objek salam (barang). Ulama
mazhab sepakat bahwa suatu objek penjualan dinyatakan valid  dalam transaksi
salam ketika telah mencapai 6 syarat, diantaranya:

1. jenis diketahui dengan spesifik


2. karakterisktik (sifat) diketahui
3. jumlah diketahui,
4. waktu penundaan diketahui,
5. harga yang diketahui,
6. penyebutan tepat yang jelas ketika transportasi barang memiliki biaya.

Seluruh ulama juga sepakat bahwa salam boleh pada semua komoditas  yang
bisa diukur dengan volume, ukuran, panjang, angka, jumlah (kacang, telur dll).

Adapun terkait dengan harga Imam Hanafi memberikan beberapa syarat,


diantaranya:

1. Menggunakan alat tukar moneter (emas, perak, mata uang dll)


2. Tipe harga: ketika terdapat dalam sebuah daerah tipe-tipe pembayaran,
maka perlu ditentukan apa yang akan dipakai
3. Karakteristik dari harga yang spesifik, yaitu apakah dalam keadaan baik,
biasa saja atau kurang baik(buruk). Ketiga keterangan diatas untuk
menghindari ketidak tahuan dan juga perselisihan dikemudian hari
4. Spesifikasi jumlah harga, seperti halnya ditakar dengan volume, berat,
atau angka. Tidak cukup hanya menunjukkan alat transaksi tanpa
menyerbutkan berapa jumlah tepatnya.
5. Semua koin (mata uang) diinspeksi (dihitung) dengan teliti /seksama agar
tidak terjadi perselisihan.
6. Pembayaran dan penyerahan tanda bukti (kwitansi) saat sesi transaksi
sebelum keduanya berpisah merupakah sebuah syarat.

Ketika pembayaran ditunda lebih dari 3 hari, Imam Malik menyatakan bahwa
jual beli salam tersebut dinyatakan tidak valid.

Hal yang Harus Diperhatikan Dalam Hal Penyerahan Barang

Pada saat penyerahan barang baik sebelum atau setelah waktunya, maka ada
juga yang harus diperhatikan, diantaranya:

1. Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas


dan jumlah yang telah disepakati.
2. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi,
penjual tidak boleh meminta tambahan harga.
3. Apabila penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah,
dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut
pengurangan harga (diskon).
4. Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati
dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan
ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
5. Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan,
atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka
ia memiliki dua pilihan: membatalkan kontrak dan meminta kembali
uangnya atau menunggu sampai tersedia.

Skema Dasar Akad Salam

Skema Dasar Akad Salam


Penjelasan pada skema di atas secara sederhana adalah adanya dua pihak yang
akan bertransaksi yaitu penjual dan pembeli. Sebut saja penjual sebagai A dan
pembeli sebagai B. Si B akan membeli produk berupa traktor. Karena traktor
tersebut tidak bisa disediakan secara langsung saat itu maka si B melakukan
akad salam kepada si A. Si B menjelaskan secara spesifik traktor yang ia
inginkan. Setelah sepakat, traktor tersebut dibuat dan pada waktu yang telah
ditentukan untuk diselesaikan maka traktor tersebut dikirimkan kepada si A.

Implementasi di Kehidupan Sehari-Hari

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa akad salam sering kamu
temui dalam sistem pre-order. Secara sederhana, sistem pre-order adalah
sebuah sistem pemesanan yang mana barang yang dijual belum tersedia
stocknya atau bahasa gaulnya belum ready stock. Biasanya ada durasi waktu
pemesanan. Misal, si Rosnita menjual sebuah kaos dakwah dengan design yang
bagus bertuliskan “Yuk Pakai Fintech Syariah”.

Pre-order kaos tersebut Rosnita buka dari mulai tanggal 1 Agustus sampai 31
Agustus 2019. Pada saat Rosnita menjual kaos tersebut, ia menyebutkan waktu
pengiriman kaos yang sudah dibuat. Setelah tanggal 31 Agustus 2019 Rosnita
butuh waktu untuk membuat kaos tersebut selama 1 bulan. Artinya Rosnita akan
mengirim kaos yang dipesan pada tanggal 1 Oktober 2019.

Contoh Skema dengan Hitung-Hitungan

Misal, Rohiman menawarkan jasa pembuatan furniture berupa kursi, meja, dan
sebagainya. Kemudian datang seorang customer sebut saja namanya Aul ingin
membeli furniture yang Rohiman jual. Aul ingin membeli meja dan kursi untuk
mengisi rumahnya. Namun, karena furniture yang Rohiman jual belum ada
maka Rohiman menawarkan akad salam kepada Aul.

Alhasil Aul setuju untuk membeli meja dan kursi dengan akad salam. Aul
menjelaskan spesifikasi meja dan kursi yang ia butuhkan. Setelah menjelaskan
spesifikasinya, Rohiman mencoba menghitung modal yang dibutuhkan
ditambah biaya jasa atas pembuatan meja dan kursi tersebut.

Modal yang dibutuhkan setelah dihitung-hitung mencapai Rp 5 juta. Rohiman


menghitung biaya jasa pembuatan yang kemudian menjadi keuntungannya
adalah sebesar Rp 3 juta. Sehingga total yang Aul harus bayar adalah Rp 8 juta.
Kemudian Rohiman memberikan kepastian bahwa meja dan kursi akan selesai
dalam waktu 14 hari dan akan dikirimkan langsung ke rumah Aul dengan
menggunakan mobil box.
Aul sepakat dengan jumlah uang dan durasi pengerjaan tersebut. Alhasil Aul
menyerahkan uang sebesar Rp 8 juta kepada Rohiman. Setelah 14 hari, meja
dan kursi tersebut berhasil dibuat dan dikirim ke rumah Aul dengan
menggunakan mobil box sebagaimana yang telah dijanjikan sebelumnya.

Aul sepakat dengan jumlah uang dan durasi pengerjaan tersebut. Alhasil Aul
menyerahkan uang sebesar Rp 8 juta kepada Rohiman. Setelah 14 hari, meja
dan kursi tersebut berhasil dibuat dan dikirim ke rumah Aul dengan
menggunakan mobil box sebagaimana yang telah dijanjikan sebelumnya.

istishna
Akad istishna’ merupakan salah satu bentuk jual beli dengan cara pesanan. Pada
umumnya akad ini digunakan untuk jual beli barang yang tidak dijual di
pasaran. Misalnya untuk pembangunan gedung, jembatan, dan sebagainya.
Nasabah yang melakukan pengajuan pembiayaan istishna’ dapat bekerjasama
dengan bank untuk menyelesaikan proyek secara keseluruhan atau sebagian.

Misalnya seorang pengusaha membutuhkan dana untuk pembangunn gedung 45


lantai, tentu butuh biaya yang besar. Pengusaha tersebut dapat mengajukan
pembiiayaan kepada bank syariah untuk menyediakan modal. Disinilah bank
syariah bekerjasama dengan developer untuk melakukan pembangunan gedung
sesuai spesifikasi yang diminta oleh pengusaha. Pembayaran pembangunan
gedung dapat dilakukan oleh satu atau beberapa bank syariah sekaligus. Setelah
selesai, pengusaha memiliki kewajiban untuk membayar biaya pembangunan
yang sudah dikeluarkan oleh bank syariah.
Landasan Hukum Istishna

Landasan hukum pada istishna didasarkan pada qiyas terhadap akad salam,
yaitu jual beli yang tidak ada barannya ketika sesi akad sedang berlangsung.

Ulama Hanafiah melandaskan diperbolehkannya istishna’ atas “istihsan” dari


mu’amalah manusia dengan lainnya dan kebiasaan mereka di setiap kurun yang
melakukan pemesaan tanpa ada pengingkaran.

Adapun Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah memperbolehkan atas


dasar qiyas terhadap salam dan urf dari masyarakat. Dipersyaratkan
sebagaimana akad salam.

Pendapat para ulama tersebut tentunya tidak terlepas dari sumber utama yaitu
Al-Qur’an dan As-sunnah.
Ayat yang menjadi landasan hukum istishna adalah QS. Al-Baqarah:275 yang
artinya, “dan Allah telah menghalalkan Jual Beli dan Mengharamkan Riba”

Kemudian pada hadist Nabi SAW, Diriwayatkan dari sahabat Anas


radhiallahu ‘anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak
menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan kepada
beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak
distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari
bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat
menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (Riwayat Muslim)

Merujuk pada hadist ini maka dapat disimpulkan bahwa akad istishna
diperbolehkan.

Kemudian Sebagian ulama’ menyatakan melalui ijmanya bahwa akad istishna’


adalah akad yang dibenarkan dan juga telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa
ada seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan demikian,
tidak ada alasan untuk melarangnya.

Di Indonesia, Dewan Syariah Nasional MUI sebagai lembaga yang berwenang


mengakomodir legalisasi sebuah produk telah melegalkan akad istishna dengan
dikeluarkannya fatwa DSN MUI 06/DSN-MUI/VI/2000 tentang Istishna.

Dalam fatwa ini mencakup beberapa hal yaitu ketentuan tentang pembayaran
dan ketentuan tentang barangnya

Ketentuan Pembayaran Akad Istishna

Dalam melakukan akad istishna utamanya dalam mekanisme pembayaran, perlu


ada hal-hal yang harus diperhatikan diantaranya:

1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,
barang, atau manfaat.
2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.

Ketentuan Objek Istishna

Kemudian dari segi barang yang diperjual belikan dalam akad istishna juga
perlu memperhatikan hal-hal yang membuat akad istishna menjadi sah untuk
dilakukan diantaranya:

1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.


2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3. Penyerahannya dilakukan kemudian.
4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan
kesepakatan.
5. Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
7. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan,
pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau
membatalkan akad.

Perbedaan Akad Istishna dan Akad Salam

Meskipun terlihat sama, namun akad istishna dan akad salam memiliki
perbedaan.

Dari segi istilah/term yang digunakan untuk penamaan objek, bila akad salam
disebut Muslam Fihi sedangkan akad istishna disebut Mashnu.

Dilihat dari sisi harga, akad Salam dibayar langsung saat terjadi kontrak. Jadi
ketika kamu hendak memesan suatu barang, kamu harus membayar langsung
harga barang yang kamu pesan di awal ketika akad terjadi.

Sedangkan pada akad istishna, pembayaran bisa lebih fleksibel. Kamu bisa
membayar pas diawal kontrak, bisa dengan cara diangsur, atau bisa dikemudian
hari. Nah, inilah yang menjadi inti perbedaan antara akad istishna dengan akad
salam.

Pada sisi sifat kontrak, akad salam memiliki sifat mengikat secara asli (thabi’i)
sedangkan akad istishna memiliki sifat mengikat secara ikutan (taba’i). Apa
maksudnya? Pada akad salam mengikat semua pihak sejak semula sedangkan
istishna menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di
tinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab.

Selain itu, menurut Hasanuddin selaku sekretaris komisi fatwa DSN MUI
menyebutkan bahwa perbedaan akad salam dengan akad istishna adalah sifat
barangnya. Dalam akad salam barangnya mesti sudah ada contohnya sedangkan
dalam akad istishna barangnya masih berbentuk gambaran atau belum ada
wujudnya.
Skema Akad Istishna (Studi Kasus Menggunakan Bank Syariah)

Skema Akad
Istishna

Gambar di atas adalah skema akad istishna dimana bank syariah diposisikan
sebagai penjual. Dalam hal ini nasabah memesan barang yang sesuai spesifikasi
kepada bank. Ketika sepakat, bank memesan barang tersebut kepada produsen
pembuat. Sembari barang tersebut dibuat, Nasabah membayar uang kepada
bank bisa dengan cara bayar diawal, dicicil ataupun diakhir. Ketika barang
tersebut jadi maka barang dikirimkan langsung kepada nasabah pemesan.

Praktek Akad Istishna dalam Kehidupan Sehari-Hari

Akad istishna sering diterapkan pada produk-produk yang sifatnya untuk


konstruksi seperti bahan bangunan ataupun furniture. Sedangkan akad salam
lebih sering digunakan untuk produk-produk seperti buah-buahan dan
sebagainya. Mengapa berbeda? Karena pada produk buah-buahan, contoh buah
tersebut sudah pernah ada.

Adapun karena jumlahnya terbatas maka perlu dipesan terlebih dahulu.


Ditambah penjual tidak perlu membuatkannya terlebih dahulu apalagi sampai
menuruti spesifikasi yang diminta pembeli karena buah pada umumnya
memiliki bentuk yang sama.

Ditambah penjual tidak perlu membuatkannya terlebih dahulu apalagi sampai


menuruti spesifikasi yang diminta pembeli karena buah pada umumnya
memiliki bentuk yang sama.
Penjual yang merupakan petani hanya perlu menanamkan bibit tanaman yang
dipesan kemudian dirawat sampai tanaman tersebut menumbuhkan buah yang
kemudian akan diserahkan kepada pembeli. Lain halnya dengan barang-barang
seperti furniture yang mana pembeli perlu memberikan secara spesifik barang
furniture yang dibutuhkan.

Misal, kalau ia memerlukan sebuah lemari maka pembeli harus menyebutkan


secara jelas seperti jumlah pintu lemari, ada kaca atau enggak dan sebagainya.
Setelah spesifikasi disepakati maka pembeli bisa menyerahkan uangnya
langsung, belakangan setelah barangnya jadi atau dengan cara dicicil.

Praktik Akad Istishna dalam Masa Kontemporer

Akad istishna saat ini sering diterapkan pada produk pembiayaan rumah syariah
atau biasa disebut KPR Syariah. Salah satu bank yang menerapkan pembiayaan
KPR Syariah dengan akad istishna adalah Bank Perkreditan Rakyat Syariah
(BPRS) Mulia Berkah Abadi. Menurutnya, penerapan akad istishna pada proses
KPR Syariah akan memudahkan memudahkan nasabah dan akan membuat
BPRS lebih unggul dibandingkan konvensional.

“Istishna itu barang bagus, karena pemerintah sedang menggalakan sektor


tersebut. Tentu kita harus bisa amanah terhadap pengelolaan dana masyarakat
yang menabung dalam perbankan syariah atau BPRS. Itu mengapa harus
digunakan sesuai tujuan yang diamanatkan oleh pemerintah. Antara lain untuk
penyediaan rumah bagi masyarakat,” Ucap Chotib ketika diwawancari di
Tangerang.

Bagaimana Mekanisme Akad Istishna pada KPR Syariah?

Jadi, nasabah bisa memesan rumah sesuai spesifikasi yang diinginkan kepada
penjual yang dalam hal ini bisa dilakukan oleh BPRS atau bank syariah lainnya.
Setelah kesepakatan terkait spesifikasi rumah telah terselesaikan maka Pemesan
alias nasabah bisa menentukan metode pembayaran yang diinginkan.
Setidaknya ada 2 cara yang diberikan.

Skema Pertama

Nasabah bisa membayar rumah dengan skema pembayaran per bagian rumah.
Jadi setiap ada bagian rumah yang jadi nasabah membayar atas bagian rumah
yang sudah jadi tersebut. Ilustrasi sederhananya, misal si Fauzan ingin membeli
rumah. Ia membeli rumah melalui BPRS Sejahtera.

BPRS menawarkan skema akad istishna untuk pembelian rumah. Fauzan setuju,
lalu ia menjabarkan spesifikasi rumah yang diinginkan. Kemudian, BPRS
Sejahtera menghitung biaya-biaya yang dibutuhkan untuk membuat rumah
sesuai sepesifikasi yang disampaikan.

Dalam skema perhitungan, BPRS akan menambahkan biaya jasa sebagai


keuntungan yang berhak mereka dapatkan atas pemesanan rumah tersebut.
Setelah perhitungan selesai, disampaikan perhitungan tersebut kepada Fauzan
dan Fauzan menyepakati perhitungan yang diberikan.

Fauzan membayar dengan cara pembayaran setiap bagian rumah. Jadi, jikalau
dalam proses pembuatan rumah tersebut ada bagian-bagian yang sudah mulai
jadi Fauzan akan membayarnya. Kalau pondasi udah jadi, Fauzan membayar
cicilan pertama. Kemudian ketika dinding udah jadi, Fauzan membayar cicilan
kedua. Begitupun seterusnya sampai rumah tersebut jadi dan siap untuk
digunakan.

Skema Kedua

Nasabah bisa membayar rumah dengan skema cicilan tanpa perlu menunggu
setiap bagian rumah tersebut jadi. Misal si Haruman ingin membeli rumah
dengan cara cicil. Ia memesan rumah tersebut kepada BPRS Sentosa. BPRS
menawarkan skema akad istishna. Kemudian Haruman menyampaikan
spesifikasi rumah yang diinginkan.

Kemudian, BPRS akan menghitung biaya-biaya yang diperlukan ditambah


biaya jasa. Setelah terhitung, disampaikan hitungan tersebut kepada Haruman.
Ia menyepakati termasuk jumlah cicilan yang harus dibayarkan per bulan.
Katakanlah total harga rumah yang dipesan adalah 250 juta. Kemudian BPRS
memberikan tambahan margin sebanyak 30 juta sebagai biaya jasa sehingga
total menjadi 280 juta. Durasi pembayaran adalah selama 28 bulan sehingga
setiap bulan Haruman harus mencicil sebanyak 10 juta per bulan.

Kendala Akad Istishna pada KPR Syariah

Meskipun memiliki potensi yang besar dalam menggalakan sektor


properti/perumahan untuk masyarakat. Sayangnya masih jarang Bank Syariah
yang menerapkannya. Karena kendala menjaga amanah terhadap spesifikasi
yang disampaikan oleh nasabah/pemesan. Kemudian literasi terkait akad
istishna dan penerapannya pada dunia perbankan juga masih banyak kurang
dipahami terutama bagi mereka yang merupakan praktisi perbankan.
Akad sewa ( Ijarah )
Tata cara ijarah harus sesuai dengan kesepakatan yang jelas antara pihak
penyewa dan yang menyewakan. (Sumber: Pixabay.com)

Secara harfiah, ijarah berasal dari kata al-ajru dari bahasa Arab yang menurut
bahasa Indonesia berarti ganti dan upah. Sementara secara etimologi, ijarah
bermakna menjual manfaat. Dalam arti luas, ijarah adalah akad atas
kemanfaatan suatu barang dalam waktu tertentu dengan pengganti sejumlah
tertentu yang telah disepakati.

Dilansir dari Dsnmui.or.id, menurut fatwa DSN-MUI No.


09/DSN-MUI/IV/2000, ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas
suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau
upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Hukum
ijarah adalah mubah atau diperbolehkan.

2. Ijarah dalam Properti

Tata cara ijarah dapat menjadi solusi untuk pembiayaan properti. (Sumber:
Pexels.com)

Praktik tata cara ijarah ijarah sangat sering dijumpai dalam masyarakat, apalagi
jika berkaitan dengan sewa menyewa properti. Dalam hukum Islam, ijarah yang
berhubungan dengan sewa aset atau properti didefinisikan sebagai akad
memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang
lain dengan imbalan biaya sewa. Tata cara ijarah harus melalui ketentuan
hukum agama yang betul agar transaksinya halal.
Bentuk tata cara ijarah ini mirip dengan kegiatan leasing atau sewa pada bisnis
konvensional namun dengan syarat dan rukun tertentu. Dalam hukum Islam,
pihak yang menyewa atau lessee disebut dengan mustajir. Pihak yang
menyewakan atau lessor disebut dengan mu’jir atau muajir. Kemudian biaya
sewa disebut ujrah. Mungkin Anda saat ini sedang memikirkan untuk mulai
memiliki tempat tinggal yang bisa disewakan

3. Akad Ijarah Mengatur Sewa Menyewa Dalam Syariat Islam

Dalam ijarah murni, kedua pihak berkedudukan sama. (Foto: Pexels)

Sementara tata cara ijarah yang berkaitan dengan sewa menyewa jasa dalam
properti berarti mempekerjakan jasa seseorang misalnya untuk membangun
rumah, memperbaiki atau merenovasi rumah dengan upah sebagai imbalan jasa
yang disewa. Dalam praktik tata cara ijarah yang berhubungan dengan jasa ini,
pihak yang mempekerjakan disebut mustajir. Pihak pekerja yang menyediakan
jasa disebut ajir. Kemudian upah yang dibayarkan disebut ujrah.

Di Indonesia, pembelian properti yang berdasarkan syariah banyak menganut


sistem tata cara ijarah yang diawali dengan aktivitas perdagangan lalu menjadi
model keuangan. Secara sederhananya ini berarti bank membeli aset atau
properti yang sudah Anda setujui kemudian bank menyewakan kepada Anda
dengan membayar angsuran selama jangka waktu tertentu. Jika periode sewa
berakhir akan ada pengalihan kepemilikan dari bank kepada Anda.
4. Jenis-Jenis Ijarah

Tata cara ijarah muntahia bi al-tamlik menghasilkan kesepakatan jual beli di


akhir masa sewa. (Sumber: Pexels.com)

Dari ulasan di atas, definisi tata cara ijarah berbeda tergantung apakah
berhubungan dengan dengan sewa aset dan properti atau berhubungan dengan
jasa. Karena itu, jenis ijarah dibagi menjadi dua jenis:

a. Ijarah Murni

Praktik tata cara ijarah murni ini sama dengan perjanjian sewa menyewa biasa.
Dalamtata cara ijarah yang berkaitan dengan jasa ini kedua belah pihak
berkedudukan sama. Artinya jika perjanjian telah selesai, maka pihak penyewa
dan pihak yang menyewakan akan kembali ke kedudukannya masing-masing.

Dalam skema tata cara ijarah murni, yang dititikberatkan adalah jasa
pemborongan suatu pekerjaan. Misalnya jasa borongan pembangunan gedung,
jasa borongan renovasi rumah dan lain sebagainya. Yang diijarahkan bukan
tenaga atau jasanya, namun hasil dari pekerjaan pemborongan.

b. Ijarah Muntahia Bi Al-Tamlik

tata cara ijarah muntahia bi al-tamlik merupakan jenis ijarah yang memiliki dua
akad yang saling berangkaian. Dua akad tersebut yaitu akad al-ba’i dan akad al-
ijarah muntahia bi al-tamlik. Pertama adalah akad al-ba’i yang merupakan akad
jual beli. Kedua adalah akad al-ijarah muntahia bi al-tamlik, yaitu akad ijarah
(sewa menyewa) yang dikombinasikan dengan akad jual beli di akhir masa
sewa.

Secara sederhana, tata cara ijarah muntahia bi al-tamlik adalah transaksi sewa
menyewa yang memiliki dua akad, yaitu perjanjian menyewa dalam periode
tertentu, dan ketika masa sewa berakhir objek sewa akan dijual atau dihibahkan
kepada penyewa.

Praktik tata cara ijarah muntahia bi al-tamlik ini seringkali kita jumpai dalam
transaksi jual beli rumah. Dalam praktik tata cara ijarah, uang sewa diwujudkan
sebagai uang muka (DP) dan cicilan atau angsuran tiap bulannya. Masa
mencicil ini biasanya ditetapkan dalam periode tertentu, misalnya selama 10
tahun. Kemudian jika masa sewa sudah mencapai 10 tahun, maka rumah
tersebut menjadi milik penyewa.

Tip Rumah
Unsur legalitas dari properti yang akan Anda pilih sangat perlu dipertimbangkan
dalam transaksi syariah. Hal ini disebabkan tidak terlibatnya lembaga besar,
seperti bank, dalam properti syariah.
5. Rukun-Rukun Ijarah

Dalam ijarah, syarat dan rukunnya harus terpenuhi agar transaksinya sah. (Foto:
Pexels)

Rukun-rukun ijarah seperti dilansir dari Islam.nu.id yaitu:

1. Sighat ijarah, yaitu pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad. Ini
bisa dinyatakan dalam bentuk lisan dan dikuatkan dengan perjanjian
tertulis sesuai ketentuan yang berlaku.
2. Pemberi sewa atau pemberi jasa
3. Penyewa atau pengguna jasa
4. Objek akad ijarah yang berupa manfaat barang atau manfaat jasa.
5. Ujrah atau upah, ongkos, biaya
6. Syarat-Syarat Akad Ijarah

Pihak yang menyewakan harus menerangkan secara rinci agar syarat pada tata
cara ijarah sah. (Sumber: Pexels.com)

Dalam tata cara ijarah, syarat-syarat sah harus terpenuhi agar transaksi sewa
menywa menjadi halal. Setelah mengetahui rukunnya, berikut syarat akad
ijarah:

a. Syarat Saat Terjadinya Akad

Syarat ini berkaitan dengan Aqid, zat, dan tempat akad. Ketiga hal mendasar ini
wajib hukumnya untuk diketahui oleh pihak yang akan melakukan akad. Aqid
sebaiknya Baligh, berakal dan mampu mengatur hartanya, dan saling
mengizinkan atau ridho.

b. Syarat Saat Pelaksanaan

Barang yang akan disewakan harus menjadi hak milik penuh pihak yang akan
menyewakan. Akad ijarah tidak akan sah jika barang tidak dimiliki secara
penuh. Maka ada baiknya sebelum ijarah pihak penyewa mengetahui status
kepemilikan dengan jelas.

c. Syarat Sah Ijarah

Barang yang menjadi objek harus memiliki manfaat yang jelas. Sahnya
perjanjian ditentukan oleh tata cara ijarah yang sama-sama disetujui dengan
ikhlas oleh masing-masing pihak. Pihak yang menyewakan harus menjelaskan
dengan rinci mengenai manfaat dan batasan waktunya.
Tips Rumah dan Apartemen

Pengertian Leasing, Jenis, dan Untung Rugi Menggunakan Leasing

d. Syarat Kelaziman

Syarat kelaziman meliputi:

 Barang terhindar dari cacat atau mauquf'alaih.


 Tidak ada hal yang dapat menyebabkan akad akan menimbulkan kerugian
baru atau mudharat.

Syarat-syarat atau unsur-unsur yang harus diperhatikan agar terpenuhinya akad


ijarah antara lain sebagai berikut:

1. Para pihak yang menyelenggarakan akad ijarah, baik pihak penyewa dan
pihak yang menyewakan harus berbuat dilandasi asas sukarela dan tidak
atas keterpaksaan.
2. Tidak diperbolehkan ada unsur penipuan dalam akad ijarah. Jika di
kemudian hari ditemukan unsur penipuan, maka akad ijarah bisa
dibatalkan dan pihak yang ditipu diperbolehkan meminta
pertanggungjawaban.
3. Obyek yang diakadkan harus berwujud, berbentuk dan sesuai realitas.
Misalnya, barang modal seperti bangunan, rumah, kantor, ruko dan lain-
lain. Barang produksi seperti mesin dan alat-alat berat. Barang
transportasi seperti mobil dan sepeda motor.
4. Manfaat obyek ijaroh harus sesuatu yang bersifat mubah (dibolehkan),
bukan sesuatu yang diharamkan. Manfaat ini juga harus bisa dikenali
dengan jelas dan spesifik. Sehingga tidak diperbolehkan misalnya
menyewakan pohon untuk diambil buahnya atau mata air untuk diambil
airnya, karena bukan manfaatnya yang diambil melainkan bendanya.
5. Pemberian upah atau imbalan dalam transaksi ijarah harus berupa sesuatu
yang bernilai, dalam praktiknya berupa mata uang yang berlaku.

7. Prosedur Ijarah

Penghitungan pembiayaan ijarah dapat lebih mudah jika melalui bantuan bank
syariah. (Sumber: Pexels.com)

Dalam pelaksanaannya, tata cara ijarah atau prosedurnya dalam properti ini
terbagi menjadi beberapa tahap seperti dijelaskan sebagai berikut:

 Tahap 1 Tata Cara Ijarah, Permohonan pembiayaan ijarah Nasabah


mengajukan pembiayaan ijarah ke bank syariah.
 Tahap 2 Tata Cara Ijarah, Menyewa atau membeli ijarah Bank syariah
kemudian membeli atau menyewa barang yang diinginkan oleh nasabah
sebagai objek ijarah dari penjual, pemilik, pengembang, atau supplier.
 Tahap 3 Tata Cara Ijarah, Akad pembiayaan ijarah atas obyek ijarah
Bank dan nasabah menandatangani akad pembiayaan ijarah setelah
dicapai kesepakatan antara nasabah dan bank mengenai barang objek
ijarah, tarif ijarah, periode ijarah dan biaya pemeliharaannya.
 Tahap 4 Tata Cara Ijarah, Penyerahan objek ijarah selama akhir
periode sewa Bank menyerahkan objek ijarah kepada nasabah sesuai akad
yang disepakati. Jika periode ijarah berakhir, nasabah atau penyewa harus
menyerahkan kembali obyek ijarah kepada bank sebagai aset untuk
disewakan kembali atau bank mengembalikan obyek ijarah kepada
penjual, pemilik, pengembang, atau supplier.
 Tahap 5 Tata Cara Ijarah, Pemindahan kepemilikan jika jenis
transaksinya Ijarah muntahia bi al-tamlik. Jika akadnya adalah Ijarah
muntahia bi al-tamlik, maka di akhir periode sewa, objek ijarah tersebut
sewa akan dijual atau dihibahkan kepada penyewa.
8. Contoh Ijarah

Sewa menyewa properti menjadi bentuk paling umum ijarah. (Sumber:


Pexels.com)

Contoh praktek ijarah dalam kehidupan sehari-hari misalnya seseorang ingin


mencari bangunan rumah kontrakan untuk menjadi rumah produksi usahanya
dengan biaya 30 juta/tahun. Selanjutnya, pihak yang ingin menyewa bertemu
dengan orang yang dapat menyewakan propertinya. Setelah menunjukkan
kondisi rumah secara detail pada penyewa tersebut, setelah itu penyewa sudah
yakin bahwa keadaan rumah yang akan disewakan baik untuk menunjang
usahanya.

Pihak yang memiliki bangunan rumah melakukan kesepakatan dengan penyewa


serta meyakinkannya, dan pihak penyewa menerima kesepakatan untuk
menyetujui bahwa akan mengontrak rumah tersebut sekaligus. Pihak penyewa
mendapatkan manfaat yaitu dengan menempati rumah tersebut dan
memanfaatkan semua isi rumah yang ada untuk usaha sedangkan pihak yang
menyewakan juga mendapatkan manfaat dengan menerima bayaran. Jika tidak
mampu dengan jumlah pembiayaan tertentu pihak penyewa dapat mengajukan
pinjaman bank syariah untuk memediasi akad ijarah tersebut.

Bagi hasil digunakan dalam sistem perbankan syariah. Penerapannya, total hasil
usaha dibagi-bagi antara kreditur dan debitur baik dalam pengelolaan dana
maupun pinjaman dana.

Jika dalam perbankan konvensional dikenal dengan bunga tabungan atau


pinjaman, maka dalam perbankan syariah dikenal dengan bagi hasil, bukan
bunga. Bagi hasil merupakan jawaban bagi masyarakat yang berpedoman
kepada syariat dan ingin terhindar dari riba dari bunga bank.
Akad Bagi Hasil
Cara pembagian bagi hasil dalam usaha, perbankan maupun tabungan
sebenarnya sangat sederhana. Hasil yang dibagikan bisa diukur dari omzet
maupun profit usaha.

Sistem ini kemudian menjadi prinsip yang diterapkan dalam setiap produk bank
syariah, seperti tabungan, deposito, maupun pinjaman atau kredit.

Jenis-jenis bagi hasil

Sebelum memahami beberapa akad bagi hasil dalam sistem perbankan, ketahui
dulu skema bagi hasil berikut ini:

Tidak perlu khawatir lagi dengan mahalnya biaya kesehatan di rumah sakit
karena adanya pertanggungan finansial dari asuransi kesehatan syariah.
Asuransi kesehatan syariah mengedepankan pengelolaan keuangan dengan tetap
menaati syariat sesuai fatwa MUI.
1. Profit sharing

Profit sharing adalah keuntungan yang berasal dari pendapatan yang sudah
dikurangi dengan ongkos produksi atau operasional sehingga hasil yang
didapatkan merupakan keuntungan bersih.

2. Gross profit sharing

Sedikit berbeda dengan profit sharing, gross profit sharing berasal dari
pendapatan yang dikurangi harga pokok penjualan. Laba tersebut belum
dikurangi dengan pajak, biaya administrasi, serta biaya pemasaran lainnya.
Inilah yang disebut dengan laba kotor atau gross profit sharing.

3. Revenue sharing

Lain lagi dengan revenue sharing. Revenue sharing adalah pendapatan yang
belum dikurangi dengan biaya operasional dan komisi dalam sistem perbankan. 

Dalam hal ini, bagi hasil di dalam sistem perbankan menganut prinsip profit
sharing atau pembagian laba bersih antara kreditur dan juga debitur. 

Sedangkan dalam sistem usaha bersama, bagi hasil bisa ditentukan berdasarkan
skema bagi hasil yang dipilih sesuai dengan akad atau perjanjian di awal. 
Kelebihan dan Kekurangan Bagi Hasil

Sistem ini dianggap transparan dan menguntungkan kedua belah pihak sehingga
tidak ada yang dirugikan. Prinsip ini pun pada dasarnya bisa diaplikasikan
dalam beberapa produk lembaga keuangan seperti tabungan maupun pinjaman.

Apalagi kesadaran masyarakat yang beragama Islam tentang haramnya riba


menjadi semakin menguatkan untuk memilih produk keuangan yang menganut
prinsip syariah karena lebih aman, adil, dan juga menentramkan.

Seperti halnya produk perbankan lainnya, produk asuransi pun kini sudah
tersedia beberapa produk asuransi syariah. Lifepal memberikan beragam produk
proteksi mulai dari yang konvensional maupun yang dijalankan sesuai dengan
prinsip syari’.

Jenis-Jenis Akad dalam Bagi Hasil Beserta Contohnya

Pengertian Akad Musyarakah

Akad musyarakah adalah kerjasama antara dua pihak yang saling memberikan
kontribusi berupa dana untuk membangun sebuah usaha, dengan keuntungan
dan resiko yang akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.

Lalu apa bedanya dengan akad musyarakah mutanaqisah? Musyarakah


mutanaqisah adalah kerjasama beberapa pihak terhadap kepemilikan suatu aset
namun dengan besaran keuntungan yang berbeda satu sama lain. Hal ini
disebabkan oleh diperbolehkannya kepemilikan aset yang lebih besar dari pihak
lain sehingga nilai keuntungan yang didapat juga lebih besar.

Perbedaan Akad Musyarakah dan Mudharabah

Selain mutanaqisah, ada juga istilah lain yang termasuk dalam bentuk kerjasama
ekonomi syariah, yaitu mudharabah. Namun terdapat perbedaan antara akad
musyarakah dan mudharabah. Berikut penjelasannya.
Skema Akad Musyarakah

Pada skema akad musyarakah terdapat dua pihak yang akan berkontribusi dalam
suatu proyek. Skema tersebut akan dijelaskan pada gambar di bawah ini.

Hukum Musyarakah

Musyarakah adalah salah satu bentuk kerja sama ekonomi yang dianjurkan
dalam Islam. Ada beberapa dalil dan fatwa DSN yang mendukung penerapan
musyarakah dalam bisnis ekonomi syariah.

Dalil

1. Q.S. Ash Shad ayat 28


Artinya: “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang
berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain
kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan amat
sedikitlah mereka ini.“

2. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah


Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla
berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat
selama salah satunya tidak berkhianat kepada yang lainnya. Jika terjadi
penghianatan, maka aku akan keluar dari mereka. (HR Abu Daud)”

Fatwa DSN MUI

Selain kedua hadits di atas, dasar hukum musyarakah adalah Fatwa DSN
No: 08/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa ini lahir dengan pertimbangan bahwa,
untuk meningkatkan kesejahteraan dan kelancaran usaha masyarakat,
perlu adanya bantuan dari pihak lain. Adanya nilai kebersamaan dan
keadilan menjadi keunggulan tersendiri dalam sistem ini.

Jenis-jenis Musyarakah

Akad musyarakah dibagi menjadi 2 jenis syirkah, yaitu syirkah uqud dan amlak.
Berikut penjelasannya.

Syirkah Uqud

Syirkah Uqud merupakan akad antara 2 pihak atau lebih dalam hal dengan cara
menggabungkan harta mereka untuk suatu bisnis. Syirkah jenis ini dibagi lagi
menjadi beberapa bentuk, meliputi:

 Al In’an: Syirkah antara 2 pihak atau lebih yang bekerja sama dengan
menyetor modal dalam jumlah berbeda-beda, untuk kemudian membagi
keuntungan yang ada berdasarkan besaran modal masing-masing.
 Syirkah A’mal atau Syirkah Abdan: Kerjasama antara 2 orang yang
biasanya berprofesi sama untuk mengerjakan sebuah proyek pekerjaan.
Masing-masing dari mereka memberikan kontribusi dalam bentuk skill,
kemudian keuntungan yang didapat akan dibagi rata.
 Mufawadah: Akad musyarakah antara 2 pihak yang memberikan modal
sama besar untuk kemudian tiap-tiap keuntungan maupun kerugian dibagi
menjadi 2 secara rata.
 Syirkah Wujuh: Kolaborasi antara pemilik dana dengan pihak yang
memiliki kredibilitas sehingga kerjasama ini didasarkan atas wibawa para
anggota. Keuntungan dan kerugian yang timbul akan dibagi berdasarkan
negosiasi para pihak.

Syirkah Amlak

Syirkah Amlak terjadi bukan karena akad, melainkan karena kehendak untuk
memiliki harta bersama. Syirkah ini dibagi menjadi 2 bentuk:

 Syirkah Ikhtiyariyah: terjadi atas kehendak masing-masing pihak yang


bekerjasama
 Syirkah Ijbariyah: terjadi secara otomatis karena keadaan tertentu,
misalnya pembagian warisan yang menyebabkan kepemilikan bersama
sebuah aset.

Rukun Akad Musyarakah

Sebelum melakukan akad musyarakah, ada beberapa rukun yang wajib Anda
penuhi. Diantaranya.

1. Ijab Kabul/Shighat
Merupakan pernyataan para pihak yang secara jelas menunjukkan tujuan
akad, penerimaan dan penawaran langsung saat kontrak, dan menuangkan
akad dalam bentuk tertulis.
2. Pihak-pihak yang Berakad/Aqidain
Ada beberapa kriteria pihak-pihak yang berakad, diantaranya yaitu,
o Cakap hukum
o Kompeten
o Memiliki dana dan pekerjaan
o Memiliki wewenang untuk mengelola aset mitranya
o Tidak diizinkan menginvestasikan dana untuk kepentingan pribadi
o Memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah.
3. Objek Akad/Mauqud Alaih
Objek akad terdiri dari modal dan kerja. Modal harus berupa uang tunai
dan aset yang dapat dinilai dengan uang. Modal yang ada juga tidak boleh
menjadi jaminan maupun dipinjamkan kepada pihak lain.
Sedangkan, objek kerja harus dilakukan atas nama pribadi maupun mitra
masing-masing. Pekerjaan yang dilakukan tidak harus sama besar, namun
pihak yang mengerjakan lebih banyak, berhak mendapat tambahan
keuntungan.

4. Bagi Hasil/Nisbah
Keuntungan yang diperoleh wajib dibagi untuk para pihak, baik secara
rata maupun sesuai kesepakatan. Misalnya, salah satu pihak menyetorkan
modal senilai Rp5 juta dan dalam kontraknya Ia memperoleh bagian
keuntungan sebesar 10%. Nantinya, keuntungan yang diperoleh bukanlah
10% dari Rp5 juta, melainkan 10% dari total keuntungan.

Sedangkan kerugian yang terjadi akan dibagi sesuai dengan jumlah modal
yang disetorkan. Misalnya, A menanamkan modal sebesar 60%
sedangkan B sebesar 40%. Maka kerugiannya akan ditanggung oleh
masing-masing sebesar 60% oleh A dan 40% oleh B.

Syarat-syarat Musyarakah

Selain rukun, Anda juga perlu memperhatikan syarat-syarat musyarakah sebagai


berikut:

 Perikatan dapat diwakilkan sesuai izin masing-masing pihak


 Persentase pembagian keuntungan diketahui para pihak ketika
melangsungkan akad.
 Keuntungan ditentukan dalam bentuk persentase, bukan dalam jumlah
pasti.

Contoh Akad Musyarakah

Akad jenis ini banyak terjadi di sekitar kita. Sebagian besar akad tersebut
dilakukan dalam praktik perbankan, seperti contoh berikut ini:

1. Pembiayaan Modal Kerja Bank


Bank akan berperan sebagai pihak pemberi modal (shahibul maal) yang
akan melihat kelayakan suatu bisnis sebelum diberi pembiayaan.
Selanjutnya bank akan meneliti perkembangan bisnis itu secara berkala
agar keuntungan yang diperoleh murni berasal dari bisnis nasabahnya.
2. Pembiayaan KPR Bank Syariah
Pembiayaan KPR merupakan salah satu contoh akad musyarakah dalam
perbankan syariah. Unsur musyarakah dalam kerjasama ini adalah
penggabungan modal milik bank dan nasabah untuk membeli rumah dari
developer. Adapun nisbahnya diterima oleh bank dari sewa yang
dibayarkan nasabah tiap bulannya.
3. Kerjasama Usaha Bagi Hasil
Kerjasama bagi hasil dilakukan dengan meminta investor menanamkan
modalnya dalam pengembangan suatu bisnis. Nantinya akan dibuat
kesepakatan mengenai bagian keuntungan yang akan diperoleh investor.

Pengertian Akad Mudharabah

Akad mudharabah adalah jenis akad yang sering ditemukan di berbagai macam
jenis produk atau program yang ditawarkan oleh bank syariah. Dilansir dari
laman resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), salah satu produk yang dijalankan
menggunakan prinsip perjanjian mudharabah adalah pembiayaan.

Hal ini berkaitan dengan prinsip bank syariah itu sendiri yang dituntut untuk
menyalurkan pembiayaan modal sesuai dengan ketentuan syariat, sehingga
perjanjian mudharabah dan akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah Islam digunakan.

Dari segi definisi, OJK menyebutkan pengertian perjanjian mudharabah adalah


akad yang bisa digunakan untuk kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk
investasi syariah, yaitu deposito, tabungan, atau bentuk produk perbankan
lainnya.

Pemilik dana (shahibul maal) menanamkan dananya kepada pengelola dana


(mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu. Nantinya pembagian hasil
menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau
metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak sesuai
nisbah yang telah disepakati di awal.
Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah juga
menjelaskan bahwa pada perjanjian yang sedang berlangsung kerugian akan
ditanggung sepenuhnya oleh bank syariah, kecuali jika pihak kedua, yaitu
nasabah, melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau melanggar perjanjian
atau detail yang sudah disetujui saat perjanjian mudharabah dibuat.

Dengan adanya undang-undang ini, artinya perjanjian mudharabah merupakan


bentuk perjanjian kerja sama yang mendapat dukungan penuh dari hukum di
tanah air.

Konsep Akad Mudharabah

Dari masa ke masa ketentuan dari perjanjian mudharabah pun juga mengalami
inovasi seiring perkembangan zaman. Pada awalnya, perjanjian mudharabah
tidak bisa digabungkan dengan akad jenis lainnya. Namun, saat ini konsep
perjanjian mudharabah lebih fleksibel untuk dapat digabungkan dengan akad
lain, seperti perjanjian mudharabah dipadukan dengan akad musyarakah di
dalam sebuah aktivitas perbankan syariah.

Penggabungan akad lain dengan perjanjian mudharabah ini bertujuan untuk


memenuhi kebutuhan masyarakat pada layanan jasa perbankan syariah yang
baik. Tidak hanya jenis kerjasamanya, konsep mudharabah juga berkembang
dari segi mekanisme pembayaran atau angsurannya.

Jika dalam konsep mudharabah klasik mekanisme angsuran dalam pembayaran


modal pokok dan pembayaran bagi hasil hanya dilakukan satu kali di akhir
periode kontrak. Namun saat ini, ketentuan aktivitasnya diatur melalui fatwa-
fatwa yang dikeluarkan oleh DSN – MUI, serta Peraturan OJK.

Fatwa DSN – MUI Nomor: 07/DSN/MUI/IV/2000 mengenai pembiayaan


mudharabah menjelaskan bahwa akad ini adalah sebuah akad atau perjanjian
kerja sama suatu usaha antara dua pihak. Kedua pihak yang dimaksud adalah
pihak pertama yaitu pemilik modal yang menyediakan seluruh modal dan pihak
kedua yang merupakan pengelola modal yang menerima dan mengelola modal
yang diberikan oleh pihak pertama.

Fatwa tersebut juga menjelaskan mengenai jangka waktu dari kerja sama akad
mudharabah. Jangka waktunya ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah
pihak. Artinya, akad mudharabah merupakan jenis kesepakatan yang
menawarkan kemudahan dan fleksibilitas bagi kedua belah pihak untuk bisa
mengakomodasi kebutuhan serta keuntungan manfaat yang diterima.

Selain itu, sebagai pihak pertama, pemilik modal juga diperbolehkan untuk
menentukan jenis usaha apa yang akan dikembangkan berdasarkan kesepakatan
akad mudharabah yang disetujui bersama dan sesuai dengan aturan syariah.
Meskipun begitu, dalam pelaksanaannya pihak pertama tidak boleh ikut dalam
manajemen jenis usaha yang dipilih sesuai akad yang disepakati.

Dalam kesepakatan akad mudharabah, pihak pertama selaku pemilik modal


adalah pihak yang mempunyai hak dan juga peran untuk melakukan
pengawasan serta pembinaan usaha yang telah disepakati tersebut. Peran ini
dibutuhkan untuk meminimalisasi risiko jenis usaha yang dilakukan di masa
yang akan datang.

Pasalnya, konsep akad mudharabah ini adalah kesepakatan kerja sama yang
memiliki prinsip pembiayaan tanpa jaminan pasti. Bisa saja ada jaminan, jika
memang dibuat dan disepakati oleh kedua belah pihak. Bisa dikatakan dalam
akad ini transparansi merupakan faktor yang sangat penting bagi terlaksananya
kesepakatan dengan baik.

Jenis Akad Mudharabah

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, demi memenuhi kebutuhan


masyarakat secara luas dan untuk meningkatkan kualitas layanan, konsep akad
mudharabah dalam aktivitas perbankan saat ini pun telah mengalami
perkembangan.

Seiring dengan perkembangannya tersebut, muncul beberapa jenis akad


mudharabah yang dilihat berdasarkan transaksinya. Secara umum, ada dua jenis
akad mudharabah yang biasa digunakan:

1. Mudharabah muthlaqah

Dalam transaksi syariah, akad mudharabah mutlaqah adalah istilah yang akan
sering kamu temui. Mutlaqah adalah salah satu jenis akad mudharabah dimana
pemilik modal tidak ikut menentukan usaha apa yang dilakukan oleh si
pengelola modal.
Sifat dana yang diberikan adalah dana bebas, artinya pihak pengelola dana tidak
memiliki batasan dalam menentukan usaha dan pelaksanaannya. Pihak pemilik
modal hanya melakukan pengawasan untuk memastikan modal usaha yang
diberikan berjalan dengan lancar dan mereka akan menerima nisbah atau bagi
hasil dari usaha tersebut.

Sesuai kesepakatan, akad mudharabah mutlaqah akan menjadi bukti kerjasama


sah yang akan mengatur bagi hasil atau nisbah yang diterima oleh si pemilik
modal.

2. Mudharabah muqayyadah

Jenis lainnya adalah akad mudharabah muqayyadah. Jenis ini merupakan


kebalikan dari muthlaqah, pada akad ini pemilik modal bisa menentukan jenis
usaha yang dijalankan. OJK menyatakan bahwa akad mudharabah muqayyadah
ini dibagi menjadi dua, yaitu akad mudharabah muqayyadah on balance sheet
dan akad mudharabah muqayyadah off balance sheet.

Pada akad mudharabah muqayyadah on balance sheet, nasabah yang


memberikan modal ke bank akan mensyaratkan sektor usahanya, seperti
pertanian tertentu, properti atau tambang saja. Lalu pihak bank yang
menyalurkannya dan pencatatan dilakukan secara on balance sheet. Kemudian
untuk penentuan nisbah dilakukan oleh pihak bank dan nasabah investor.

Sementara itu pada mudharabah muqayyadah off balance sheet, bank akan
bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan si pemilik modal
dengan pengelola modal. Pihak bank akan memperoleh fee atas perannya
sebagai arranger. Penentuan jenis usaha dan besar bagi hasil dilakukan oleh k
muthlaqah nasabah investor (pemilik modal) dan nasabah debitur (pengelola
modal). Pencatatan transaksi di bank akan dijalankan secara off balance sheet.

3. Mudharabah musytarakah

Mudharabah musytarakah adalah jenis akad perpaduan antara akad mudharabah


dan musyarakah. Konsepnya adalah ketika di awal kerja sama akad yang
disepakati yaitu akad mudharabah, dimana modal seutuhnya dari pemilik dana,
namun jika dalam berjalannya usaha kemudian si pengelola dana tertarik untuk
ikut menanam modal pada usaha tersebut, maka pengelola dana diperbolehkan
untuk melakukannya agar usaha bisa berkembang.

Pada praktik Mudharabah Musytarakah, pengelola dana akan mendapatkan


keuntungan bagi hasil sebagai penanam modal sesuai dengan besaran modal
yang diinvestasikan.
Dasar Hukum Mudharabah

Selain dasar hukum negara, akad yang berbasis syariat juga harus punya
landasan hukum agama. Pada dasarnya, akad mudharabah adalah akad halal
yang menjadi salah satu opsi mencari rezeki dengan mengadakan perikatan
syariah.

Adapun dasar-dasar hukum mudharabah dalam agama dapat ditemui di dalam


Al-Quran, Hadits dan Qiyas. Berikut beberapa dasar hukum Akad mudharabah:

1. Al-Qur an

Tidak ada penyebutan secara eksplisit di Al-Qur’an tentang mudharabah,


meskipun begitu asal kata mudharabah yaitu “ dharaba” terdapat sebanyak lima
puluh delapan kali.

Menurut pendapat Muhammad Asad ada beberapa ayat yang ada kaitannya
dengan akad mudharabah adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah
(2), ayat 273 :

“Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan


Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu
menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta…”

Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’(4), ayat 101:

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orangorang kafir.
Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”

Lalu surat al-Muzammil (73), ayat 20, yang aritnya:

“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan
orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan
orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah”

Sesuai pendapat Muhammad Asad, meskipun kaitannya jauh, ayat-ayat di atas


punya kemungkinan memiliki kaitan dengan mudharabah, yaitu mengacu pada
arti perjalanan atau perjalanan untuk tujuan dagang.

Adapun ayat-ayat lain yang jadi dasar-dasar hukum mudharabah yang lebih
mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha, adalah sebagai berikut:

Surat al-Muzammil (73), ayat 20, yang artinya:


“…dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia
Allah….”

Lalu surat al Jumu’ah (62), ayat 10, yang artinya:

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.”

Beberapa ayat di atas memiliki kandungan berupa dorongan untuk menjalankan


usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.

2. Al-Hadits

Sumber lain yang membahas tentang akad mudharabah adalah Hadits


Rasulullah SAW. Ada dua hadits yang menganjurkan untuk berusaha melalui
usaha kemitraan dengan pihak lain agar sama-sama memperoleh keuntungan.
Berikut haditsnya:

“Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia


mensyaratkan kepada pengelolanya agar tidak mengarungi lautan dan
menuruni lembah serta tidak membeli hewan ternak. Jika syarat tersebut
dilanggar maka pengelola dana harus menanggung resikonya. Ketika
persyaratan yang ditetapkan Abbas didengar oleh Rasulullah SAW, Beliau
membenarkannya.” (HR. Thabrani)

Sumber lainnya adalah Hadits Rasulullah SAW:

Dari Shalih bin Shuhaib r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tiga hal
didalamnya terdapat keberkatan yaitu jual beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah ), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan
rumah bukan untuk dijual.” ( HR Ibnu Majah ).

3. Qiyas

Qiyas adalah penentuan hukum terhadap sesuatu dengan menyamakan atau


mengqiyaskannya pada hukum yang sudah jelas dalilnya. Menurut beberapa
pendapat akad mudharabah ini di-qiyas-kan kepada al-Musaqah, yaitu praktik
menyuruh seseorang untuk mengelola kebun.

Diantara manusia ada yang kurang secara finansial namun punya daya dan
kompetensi untuk bekerja. Sama halnya dengan akad mudharabah yang
memiliki tujuan untuk memberikan pendanaan pada pada sebagian orang yang
membutuhkan suntikan dana dalam menjalankan suatu usaha. Keberadaan opsi
kerjasama berupa mudharabah membuat dua golongan diuntungkan, pemilik
modal dan pengelola.

Dengan memperhatikan dasar-dasar hukum yang kami jelaskan di atas, baik


dari al-Qur’an, hadits, dan qiyas, semuanya menunjukkan bahwa kerja sama
berbasis perjanjian mudharabah hukumnya boleh, dan perikatan sejenis sudah
dipraktikkan sejak zaman Rasulullah SAW dan para sahabat.

Contoh Akad Mudharabah

Adapun contoh perjanjian mudharabah bisa dilihat dengan menilik pada skema
yang dipraktikan dalam perbankan syariah. Berikut skema perjanjian
mudharabah yang biasa dilakukan bank syariah saat ini:

Saudara A berencana untuk membuka usaha di bidang kuliner. Setelah


menghitung perkiraan modal awal yang masuk ke dalam rencana bisnis
makanan, dia mengetahui bahwa rencananya tersebut memerlukan modal yang
cukup banyak. Uang yang dimiliki saudara A ini ternyata tidak cukup untuk
dijadikan modal untuk bisnis kuliner tersebut.

Untuk menutupi kekurangan modal yang dibutuhkan, akhirnya dia memutuskan


untuk meminjam dana kepada bank syariah sebesar Rp 50.000.000,00. Bank
syariah pun menawarkan dana seperti yang diminta untuk digunakan modal
usaha dengan perjanjian bagi hasil, yaitu saudara A sebagai pengelola modal
akan mendapat keuntungan sebesar 60% dan bank syariah yang memberikan
modal akan mendapat keuntungan sebesar 40% dengan jangka waktu
pengembalian setahun.

Setelah kedua belah pihak mencapai kesepakatan dan keduanya


menandatangani persetujuan, saudara A pun diberikan pinjaman sebesar Rp
50.000.000,00.

Pada bulan pertama, saudara A mencatat pada bukunya bahwa usahanya telah
memberikan keuntungan sebesar Rp 5.000.000,00. Dia perlu menyetorkan
laporan keuntungan bersih yang diperolehnya pada buku khusus kepada bank.
Setelah dicatat, setiap bulannya juga saudara A harus menyetor uangnya pada
bank syariah melalui tabungan mudharabah. Hingga pada akhir tahun, tercatat
bahwa saudara A telah mendapatkan keuntungan sebesar Rp 60.000.000,00.

Setelah usahanya berlangsung selama satu tahun seperti yang disebut dalam
perjanjian, saudara A terus menyetor uangnya kepada bank syariah melalui
tabungan mudharabah, dia pun dapat mengembalikan uang yang dipinjam
beserta keuntungannya pada bank syariah, kemudian dilakukan pembagian hasil
yang besarannya sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui.
Setelah dihitung, pembagian hasilnya saudara A yang punya hak 60%
memperoleh keuntungan sebesar Rp36.000.000,00. Sementara pihak bank yang
berhak atas 40% keuntungan memperoleh uang bagi hasil sebesar Rp
24.000.000. Akhirnya saudara A mengembalikan total pinjaman ditambah
keuntungan kepada bank sebesar Rp 74.000.000.

Akad Pelengkap
Pengertian Hiwalah

Hiwalah adalah Secara etimologi, pengertian hiwalah adalah istilah dari kata
tahawwul artinya berpindah atau tahwil berarti pengalihan. Sederhananya,
pengertian hiwalah adalah pengalihan utang atau piutang dari pihak kreditur
kepada pihak penanggung pelunasan hutang.

Konsep hiwalah adalah memindahkan utang dari muhil sebagai peminjam


pertama kepada pihak muhal’alaih sebagai peminjam kedua. Proses pengalihan
tanggung jawab ini harus disahkan melalui akad hiwalah atau kata-kata.

Dasar Hukum Hiwalah

Dasar hukum hiwalah berpedoman pada Al-quran dan hadist. Berdasarkan Q.S.
Al-Baqarah [2]: 282 mengatakan bahwa Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar.

Sementar dasar hukum hiwalah dari hadist yaitu "Menunda-nunda pembayaran


hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika
seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihiwalahkan)
kepada pihak yang mampu (terimalah) (HR. Bukhari).

Kemudian dasar hukum hiwalah tersebut diikuti oleh ijma ulama yang
hukumnya sunnah. Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama
Indonesia mengatur akad hiwalah dengan mengeluarkan fatwa DSN-MUI No.
12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah, Fatwa DSN-MUI No.
34/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) Impor Syariah, dan Fatwa
DSN-MUI No. 58/DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah bil Ujrah.
Skema Hiwalah dalam Perbankan Syariah

Skema hiwalah dalam perbankan syariah terbagi dalam dua jenis yaitu al-
muqayyadah dan al-mutlaqah. Adapun penjelasan skema hiwalah adalah berikut
ini.

1. Hiwalah Al-Muqayyadah
Hiwalah Al-Muqayyadah adalah skema hiwalah yang memindahkan
tanggung jawab pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua.

Contoh hiwalah skema ini yakni seorang individu A berpiutang kepada


pihak B sejumlah Rp 2 juta. Sementara pihak B berpiutang kepada pihak
C sebesar Rp 2 juta. Kemudian pihak B mengalihkan haknya untuk
menuntut piutangnya yang ada di pihak C kepada individu A sebagai
ganti pembayaran utang pihak B kepada A.

2. Hiwalah Al-Mutlaqah
Kebalikan dari contoh hiwalah sebelumnya, Hiwalah Al-Mutlaqah yaitu
konsep hiwalah dengan pengalihan utang secara tidak tegas sebagai
pengganti pelunasan utang pihak pertama kepada pihak kedua.

Contoh hiwalah al mutlaqah yaitu bank konvensional sebagai pemberi


piutang kepada pihak B sebagai peminjam. Kemudian hutang pihak B
mengalihkan pembayaran utang kepada pihak muhal'alaih. Sehingga yang
membayar hutang pihak B kepada bank konvensional adalah pihak
muhal'alaih tanpa pihak B menegaskan pengalihan utang.

Rukun dan Syarat Hiwalah

Sesuai kaidahnya, transaksi skema hiwalah dalam perbankan syariah wajib


memenuhi beberapa rukun dan syarat. Selengkapnya tentang syarat dan rukun
hiwalah adalah sebagai berikut.

Rukun Hiwalah

Rukun hiwalah adalah rukun-rukun yang wajib dipenuhi sebelum akad hiwalah
terjadi. Apabila tidak terpenuhi salah satunya, maka akad hiwalah tidak dapat
dilakukan. Rukun-rukun tersebut antara lain:

1. Muhil
Pertama, rukun hiwalah adalah muhil, yaitu orang yang mempunyai
hutang. Dalam hal ini, muhil harus berakal sehat, baligh, dan mempunyai
kemampuan melaksanakan akad hiwalah. Selain itu, pemilik hutang atau
muhil menjalankannya atas keinginan pribadi tanpa paksaan dari pihak
lain.
2. Muhal
Muhal yaitu orang memberikan hutang atau pihak piutang. Sama seperti
syarat muhil, pihak muhal harus mencapai usia baligh, berakal sehat dan
melaksanakan akad ini secara sukarela tanpa paksaan. Ijab qabul hiwalah
yang dikatakan oleh muhal harus berada dalam majelis akad disaksikan
pihak terkait, dan dilakukan secara sadar tanpa paksaan.
3. Muhal'alaih
Rukun hiwalah ketiga yakni muhal'alaih sebagai orang pemilik hutang
dan bertanggung jawab melunasi hutang pihak muhil. Pihak ini harus
mempunyai akal sehat, baligh, kemampuan finansial, dan memahami
pelaksanaan akad, serta pengucapan ijab qabul dalam majelis akad
dengan kehadiran peserta terkait.
4. Hutang yang Diakadkan
Dalam konsep hiwalah, hutang merupakan bentuk pinjaman yang
dilakukan oleh muhil dari muhal, dan dinyatakan akan dilunasi oleh
muhal’alaih. Hutang tersebut boleh berupa uang, aset, dan benda-benda
berharga lainnya.

Meski demikian, sesuai dengan hukum syariah, hutang tersebut tidak


boleh berbentuk benda setengah jadi atau belum ada nilainya (misal bibit
tanaman yang belum berbuah, janji bantuan hibah belum di tangan, dan
sebagainya).

Syarat Hiwalah

Selain rukun hiwalah, terdapat syarat hiwalah yang harus dipersiapkan dalam
menjalaninya. Adapun syarat hiwalah adalah di bawah ini:

 Pihak berhutang atau muhil rela melaksanakan akad ini.


 Produk hutang harus dibayarkan sesuai haknya yang sama baik jenis dan
jumlah utang, waktu pelunasan, dan kualitasnya. Misalnya bentuk hutang
berupa emas, maka pelunasannya harus berbentuk emas dengan nilai
setara.
 Pihak muhal’alaih harus bertanggung jawab dalam menanggung hutang
setelah adanya kesepakatan bersama muhil.
 Pihak muhal atau pemberi hutang harus menyetujui akad hiwalah.
 Hutang tetap berada dalam jaminan pelunasan.
Definisi Rahn

Secara bahasa, rahn memiliki banyak definisi. Di antaranya adalah habs yang
berarti tertahan, terhalang, tercegah, atau yang semakna dengannya. Hal ini
senada dengan firman Allah Ta’ala,
ٌ‫ت َر ِهينَة‬ ٍ ‫ُكلُّ نَ ْف‬
ْ َ‫س بِ َما َك َسب‬

“Setiap jiwa tertahan untuk mempertanggungjawabkan apa yang pernah ia


perbuat.” (QS. Al-Mudatstsir: 38)

Definisi lain dari rahn adalah dawam yang bermakna diam atau tetap. Syaikh Al
Utsaimin rahimahullah mengumpamakan, jika ada seseorang yang mengatakan
air ini rahin, maksudnya air ini diam, tenang, dan tidak mengalir.[1]

Adapun menurut istilah ulama fikih, rahn atau gadai adalah berutang dengan
menyerahkan barang sebagai jaminan.

Contoh Gadai

Untuk memudahkan kita memahami persoalan ini ada baiknya kita mengenal
pihak yang bertransaksi di dalam muamalah ini. Pihak pertama adalah rahin (si
peminjam atau orang yang menggadaikan), sedangkan pihak kedua
adalah murtahin (pemberi utang).

Adapun contoh gadai, misalnya, rahinberutang sebesar satu juta rupiah kepada
murtahin. Ia lantas menyerahkan barang yang dapat dijadikan jaminan untuk
melunasi utangnya kepada murtahin.

Hukum Gadai

Sistem transaksi utang piutang dengan gadai diperbolehkan dalam Islam. Hal ini
berlandaskan dalil dari Alquran, sunah, maupun konsensus kaum muslimin
sejak dulu.

Dalil utama yang menjelaskan disyariatkannya penggadaian adalah firman


Allah Ta’ala,

َ ‫َان َّم ْقب‬


ٌ‫ُوضة‬ rْ ‫َوِإن ُكنتُ ْم َعلَى َسفَ ٍر َولَ ْم ت َِجد‬
ٌ ‫ُوا َكاتِبا ً فَ ِره‬

“Jika kalian berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai),
sedangkan kalian tidak menemui seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh orang yang memberi piutang)…” (QS. Al-
Baqarah: 283)
Adapun penyebutan safar/bepergian dalam ayat ini bukanlah bermaksud untuk
membatasi syariat gadai hanya boleh di waktu bepergian semata. Akan tetapi
hal itu dikarenakan dahulu gadai sering kali dilakukan di dalam perjalanan.[3]

Hal ini berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh istri Nabi yaitu Aisyah
radhiyallahu ‘anha. Beliau mengisahkan bahwa suatu ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi. Beliau pun
menggadaikan sebuah baju perang yang terbuat dari besi.[4]

Ketika kejadian ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang tidak melakukan
safar. Kisah ini juga merupakan dalil dari sunah yang menjelaskan
diperbolehkannya transaksi gadai.

Syekh Abdullah al-Bassam rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin telah


bersepakat diperbolehkannya transaksi gadai ini, meskipun sebagian ulama
bersilang pendapat di beberapa persoalannya.”[5]

Hikmah Pergadaian

Faedah pensyariatan gadai sangatlah besar. Karena dengan gadai, seorang


pemberi utang akan merasa tenang dan tidak khawatir hartanya akan lenyap
begitu saja disebabkan peminjam tidak membayar utang.

Selain itu, pergadaian merupakan bentuk saling tolong menolong dalam


kebaikan dan takwa jika memang dibutuhkan. Gadai juga merupakan solusi di
dalam situasi krisis, dan mempererat rasa sosial dan interaksi sesama manusia.

Rukun Gadai

Ulama telah merumuskan beberapa rukun yang harus terpenuhi di dalam


melakukan transaksi gadai, yaitu:

1. Barang yang digadaikan;


2. Utang;
3. Akad;
4. Dua pihak yang bertransaksi, yaitu rahin dan murtahin.

Syarat Gadai

Pertama, transaksi gadai tersebut berdasarkan utang yang wajib dibayar.[6]

Kedua, barang gadai tersebut diperbolehkan dalam jual beli. Jika seorang rahin
menggadaikan seekor babi misalnya, maka transaksi gadai dalam kasus ini tidak
sah. Karena babi adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam jual beli.
Termasuk pula tidak diperbolehkan menggadaikan barang wakaf atau barang
yang bukan miliknya.[7]

Akan tetapi dikecualikan dalam masalah ini menggadaikan hasil pertanian atau
buah-buahan yang belum matang. Meskipun sebagaimana yang kita ketahui
hukum asal menjual buah-buahan yang belum matang adalah terlarang.[8]

Ketiga, rahin hendaklah orang yang boleh mempergunakan jaminannya, baik


karena memilikinya atau diizinkan mempergunakannya secara syariat.

Keempat, hendaknya barang yang digadai diketahui kadar, sifat, dan jenisnya.

akad al qardh adalah Meminjamkan harta kepada orang lain tanpa


mengharapkan imbalan atau lebih. Dan pengembaliannya harus sesuai dengan
jumlah yang di pinjamkan.

Syarat dan rukun

Peminjam (Muqtaridh)

Pemberi Pinjaman (Muqridh). Sebagai catatan, baik pemberi ataupun peminjam


haruslah berakal sehat, dewasa (cukup umur dalam melakukan tindakan
hukum), baligh, dan berkehendak tanpa paksaan.

Dana (Qardh)

Ijab qabul (Sighat)

contohnya adalah

Si A sedang butuh uang buat bayar semester kuliah , lalu si A meminjam


kepada B dalam tenggang waktu 3 bulan, lalu dalam 3 bulan si A langsung
mengembalikan uang Si B, tanpa membayar imbalan apapun.
WAKALAH
Wakalah adalah

Dalam bahasa Arab, wakalah berarti menolong, memelihara, mendelegasikan, atau menjadi
wakil yang bertindak atas nama orang yang diwakilinya. Secara istilah, wakalah adalah
tolong menolong antar-pribadi dalam suatu persoalan ketika seseorang tidak mampu secara
hukum atau mempunyai halangan untuk melakukannya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, (KBBI), wakalah adalah pemimpin wilayah
(tentang organisasi). Dalam hukum Islam, wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh
seseorang sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang
diwakilkan. Objek yang diwakilkan itu dapat menyangkut masalah harta benda dan masalah
pribadi lainnya, seperti nikah. Istilah wakalah ini penerapannya sebenarnya cukup umum di
masyarakat, namun penyebutannya saja yang mungkin belum terlalu sering didengar.

Ada beberapa definisi wakalah menurut ulama fikih, di antaranya:

- Mazhab Hanafi, wakalah adalah pendelegasian suatu tindakan hukum kepada orang lain
yang bertindak sebagai wakil.

- Mazhab Syafii, wakalah adalah pendelegasian hak kepada seseorang dalam hal-hal yang
dapat diwakilkan kepada orang lain selama ia hidup. Definisi 'selama ia hidup' jadi pembeda
antara wakalah dengan wasiat.

4 dari 5 halaman

Rukun Wakalah

Rukun wakalah dalah sebagai berikut:

1. Ada yang mewakilkan dan wakil. Anak kecil yang dapat membedakan baik dan buruk
(boleh) mewakilkan dalam tindakan yang bermanfaat, seperti perwakilan untuk menerima
hibah, sedekah dan wasiat.
2. Ada sesuatu yang diwakilkan. Sebagai berikut ;

- Menerima penggantian , maksudnya boleh diwakilkan pada orang lain untuk


mengerjakannya. Tidak sah mewakilkan sesuatu seperti solat, puasa, dan membaca ayat Al –
Quran.

- Dimiliki oleh yang berwakil ketika ia berwakil. Oleh karena itu, batal mewakilkan sesuatu
yang akan dibeli.

- Diketahui dengan jelas. Batal mewakilkan sesuatu yang masih samar, seperti seseorang
berkata, 'aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk menikahkan salah seorang anakku'.

3. Ada lafal yang menunjukan rida yang mewakilkan dan wakil menerimanya.

Advertisement

5 dari 5 halaman

Syarat-Syarat Pelaksanaan Wakalah

Syarat Wakalah

Menurut al Qadhi Abu Syuja' seorang wakil tidak boleh melakukan jual beli, kecuali dengan
3 syarat:

- Menjual dengan harga standar.

- Menggunakan mata uang setempat.

- Tidak boleh menjual dengan mengatasnamakan dirinya dan mengakui barang yang
diwakilkan atas namanya sendiri, kecuali dengan izin orang yang mewakilkan.

Selain itu, bagi pihak-pihak yang melakukan wakalah, juga terdapat beberapa persayaratan
yang harus terpenuhi.

Syarat Orang yang Berakad

Syarat untuk orang yang berakad ini harus dipenuhi dalam melaksanakan wakalah:

- Cakap bertindak hukum

- Memiliki pengetahuan yang memadai tentang persoalan yang diwakilkan kepadanya

- Bertindak sebagai wakil secara serius

- Ditunjuk secara langsung oleh yang diwakili


 

Objek yang Diwakilkan

Syarat untuk objek yang diwakilkan ini pun harus dipenuhi dalam melaksanakan wakalah:

- Yang diwakilkan bukan sesuatu yang boleh (mubah) dilakukan oleh setiap orang

- Yang diwakilkan itu merupakann milik orang yang diwakili

- Yang diwakilkan itu jelas

Itulah pengertian wakalah, dalil, rukun, serta syarat-syaratnya yang perlu kemu ketahui.
Sebagai pendelegasian tindakan atau hak, wakalah diatur dengan baik dalam hukum Islam.
Kamu harus memenuhi setiap ketentuan tersebut untuk melaksanakan wakalah.

You might also like