You are on page 1of 43

ASUAHAN KEPERAWATAN PADA Tn. P.

DENGAN GLAUKOMA
YANG DI RAWAT DI RUMAH SAKIT

OLEH
KELOMPOK :VI
NAMA-NAMA :

MATA KULIA : KMB III


KELAS/SEMESTER :
PRODI : S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MARANATHA


KUPANG
2O22
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepadaTuhan yang Maha Esa karena atas
tuntunan-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah “AsuhanKeperawatan Pada
Tn.M dengan GLAUKOMA di Rawat di Rumah Sakit” dengan baik. Adapun tujuan
penulis anasuhan keperawatan ini adalah untukm memenuhi tugas dari dosen. Selain
itu makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang cara mengatasi pasien
GLAUKOMA bagi pembaca dan juga penulis.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen yang telah memberikan tugas
ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi
yang penulis tekuni. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh
karenaitukritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan makalah ini sangat
penulis harapkan.

Kupang, 12 januari 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan yang ketiga di Indonesia.
Terdapat sejumlah 0,40 % penderita glaucoma di Indonesia yang
mengakibatkan kebutaan pada 0,16 % penduduk. Prevalensi penyakit mata
utama di Indonesia adalah kelainan refraksi 24,72 %, pterigium 8,79 %,
katarak 7,40 %, konjungtivitis 1,74 %, parut kornea 0,34 %, glaucoma 0,40
%, retinopati 0,17 %, strabismus 0,12 %. Prevalensi dan penyebab buta kedua
mata adalah lensa 1,02 %, glaucoma dan saraf kedua 0,16 %, kelainan
refraksi 0,11 %, retina 0,09 %, kornea 0,06 %, lain-lain 0,03 %, prevalensi
total 1,47 % (Sidharta Ilyas, 2004).
Diperkirakan di Amerika serikat ada 2 juta orang yang menderita
glaucoma. Di antara mereka, hampir setengahnya mengalami gangguan
penglihatan, dan hamper 70.000 benar-benar buta, bertambah sebanyak 5500
orang buta tiap tahun. Untuk itu kali ini penulis memusatkan pada
pencegahan dan penatalaksanaan Glaukoma (Suzanne C. Smeltzer, 2001).
B. Perumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud penyakit Glaukoma ?
2. Bagaimana managemen penatalaksanaan penyakit Glaukoma ?
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami penyakit Glaukoma.
2. Memahami managemen penatalaksanaan penyakit Glaukoma.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. GLAUKOMA
2.1. 1. DEFENISI GLAUKOMA
Glaukoma adalah suatu penyakit neuropati optik kronik yang
ditandai oleh pencekungan diskus optikus dan penyempitan lapang
pandang dengan peningkatan tekanan intraokular sebagai faktor risiko
utama (Alward, 2009). Tekanan intraokular dipengaruhi oleh produksi
humor aquos dan sirkulasinya di mata. Humor aquos diproduksi oleh
korpus siliaris, sirkulasinya melewati bilik mata depan kemudian
terdrainase di trabecular meshwork di sudut iridokorneal
(Purnamaningrum, 2010).
Glaukoma adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya
peningkatan TIO, penggaungan, dan degenerasi saraf optik serta defek
lapang pandang yang khas. Istilah glaukoma diberikan untuk setiap
kondisi gangguan kompleks yang melibatkan banyak perubahan gejala
dan tanda patologik, namun memiliki satu karakteristik yang cukup
jelas yaitu adanya peningkatan tekanan intraokuli, yang menyebabkan
kerusakan diskus optik (opticdisc), menyebabkan atrofi, dan
kehilangan pandangan perifer. Glaukoma umumnya terjadi pada orang
kulit hitam dibandingkan kulit putih (Tamsuri, 2010).
Glaukoma merupakan penyakit yang mengakibatkan kerusakan
saraf optik sehingga terjadinya gangguan pada sebagian atau seluruh
lapang pandang, yang diakibatkan oleh tingginya tekanan bola mata
seseorang, biasanya disebabkan karena adanya hambatan pengeluaran
cairan bola mata (humor aquous). Kerusakan saraf pada glaukoma
umumnya terjadi karena peningkatan tekanan dalam bola mata. Bola
mata normal memiliki kisaran tekanan antara 10-20 mmHg sedangkan
penderita glaukoma memiliki tekanan mata yang lebih dari normal
bahkan terkadang dapat mencapai 50-60 mmHg pada keadaan akut.
Tekanan mata yang tinggi akan menyebabkan kerusakan saraf,
semakin tinggi tekanan mata akan semakin berat kerusakan saraf yang
terjadi (Kemenkes RI, 2015).
Simpulan dari beberapa definisi peneliti tentang glaukoma yaitu
kelainan yang disebabkan oleh kenaikan tekanan di dalam bola mata
sehingga lapang pandangan dan visus mengalami gangguan secara
progresif.
2.1.2. KLASIFIKASI GLAUKOMA
Klasifikasi dari glaukoma menurut Ilyas (2014) sebagai berikut :
2.1.2.1. Glaukoma Primer
Glaukoma yang tidak diketahui penyebabnya. Pada
galukoma akut yaitu timbul pada mata yang memiliki bakat
bawaan berupa sudut bilik depan yang sempit pada kedua
mata. Pada glukoma kronik yaitu karena keturunan dalam
keluarga, DM Arteri osklerosis, pemakaian kartikosteroid
jangka panjang, miopia tinggi dan progresif dan lain-lain dan
berdasarkan anatomis dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Glaukoma sudut terbuka / simplek (kronis) Glaukoma
sudut terbuka merupakan sebagian besar dari glaukoma
( 90-95% ), yang meliputi kedua mata. Timbulnya
kejadian dan kelainan berkembang disebut sudut
terbuka karena humor aqueous mempunyai pintu
terbuka ke jaringan trabekular. Pengaliran dihambat
oleh perubahan degeneratif jaringan trabekular, saluran
schleem, dan saluran yang berdekatan. Perubahan saraf
optik juga dapat terjadi. Gejala awal biasanya tidak ada,
kelainan diagnose dengan peningkatan TIO dan sudut
ruang anterior normal. Peningkatan tekanan dapat
dihubungkan dengan nyeri mata yang timbul.
b. Glaukoma sudut tertutup / sudut semu (akut) Glaukoma
sudut tertutup (sudut sempit), disebut sudut tertutup
karena ruang anterior secara otomatis menyempit
sehingga iris terdorong ke depan, menempel ke jaringan
trabekuler dan menghambat humor aqueos mengalir ke
saluran schlem. Pargerakan iris ke depan dapat karena
peningkatan tekanan vitreus, penambahan cairan
diruang posterior atau lensa yang mengeras karena usia
tua. Gejala yang timbul dari penutupan yang tiba-tiba
dan meningkatnya TIO, dapat nyeri mata yang berat,
penglihatan kabur. Penempelan iris menyebabkan
dilatasi pupil, tidak segera ditangni akan terjadi
kebutaan dan nyeri yang hebat.
2.1.2.2 Glaukoma Sekunder
Glaukoma sekunder adalah glaukoma yang diakibatkan
oleh penyakit mata lain atau trauma didalam bola mata, yang
menyebabkan penyempitan sudut/peningkatan volume cairan
dari dalam mata. Misalnya glaukoma sekunder oleh karena
hifema, laksasi/sub laksasi lensa, katarak instrumen, oklusio
pupil, pasca bedah intra okuler.
2.1.2.3. Glaukoma Kongenital
Glaukoma Kongenital adalah perkembangan abnormal
dari sudut filtrasi dapat terjadi sekunder terhadap kelainan mata
sistemik jarang (0,05 %) manifestasi klinik biasanya adanya
pembesaran mata (bulfamos), lakrimasi.
2.1.2.4. Glaukoma absolute
Glaukoma absolut merupakan stadium akhir glaukoma
(sempit/ terbuka) dimana sudah terjadi kebutaan total akibat
tekanan bola mata memberikan gangguan fungsi lanjut. Pada
glaukoma absolut kornea terlihat keruh, bilik mata dangkal,
papil atrofi dengan eksvasi glaukomatosa, mata keras seperti
batu dan dengan rasa sakit sering mata dengan buta ini
mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah sehingga
menimbulkan penyulit berupa neovaskulisasi pada iris, keadaan
ini memberikan rasa sakit sekali akibat timbulnya glaukoma
hemoragik. Pengobatan glaukoma absolut dapat dengan
memberikan sinar beta pada badan siliar, alkohol retrobulber
atau melakukan pengangkatan bola mata karena mata telah
tidak berfungsi dan memberikan rasa sakit.
2.1.3. ETIOLOGI GLAUKOMA
Menurut Tamsuri (2010) penyebab adanya peningkatan tekanan
intraokuli adalah perubahan anatomi sebagai bentuk gangguan mata atau
sistemik lainnya, trauma mata, dan predisposisi faktor genetic. Glaukoma
sering muncul sebagai manifestasi penyakit atau proses patologik dari
sistem tubuh lainnya. Adapun faktor risiko timbulnya glaukoma antara lain
riwayat glaukoma pada keluarga, diabetes mellitus, dan pada orang kulit
hitam.

2.1.4. PATOFISIOLOGI GLAUKOMA


Mekanisme utama penurunan penglihatan pada penyakit glaukoma
disebabkan oleh penipisan lapisan serabut saraf dan lapisan inti dalam
retina serta berkurangnya akson di nervus optikus yang diakibatkan oleh
kematian sel ganglion retina, sehingga terjadi penyempitan lapangan
pandang. Ada dua teori mengenai mekanisme kerusakan serabut saraf oleh
peningkatan tekanan intraokular, pertama peningkatan tekanan intraokular
menyebabkan kerusakan mekanik pada akson nervus optikus. Peningkatan
tekanan intraokular menyebabkan iskemia akson saraf akibat berkurangnya
aliran darah pada papil nervi optici (Salmon, 2009).
Tingginya tekanan intraokular bergantung pada besarnya produksi
humor aquelus oleh badan siliari dan mengalirkannya keluar. Besarnya
aliran keluar humor aquelus melalui sudut bilik mata depan juga
bergantung pada keadaan kanal Schlemm dan keadaan tekanan episklera.
Tekanan intraokular dianggap normal bila kurang dari 20 mmHg pada
pemeriksaan dengan tonometer Schiotz (aplasti). Jika terjadi peningkatan
tekanan intraokuli lebih dari 23 mmHg, diperlukan evaluasi lebih lanjut.
Secara fisiologis, tekanan intraokuli yang tinggi akan menyebabkan
terhambatannya aliran darah menuju serabut saraf optik dan ke retina.
Iskemia ini akan menimbulkan kerusakan fungsi secara bertahap (Tamsuri,
2010).
2.1.5. PATWEY

Trauma, DM,ateroskerosis, pemakaian


steroid, katarak,

Hambatan aliran aqueos humor

Galukoma

Peningkatan TIO

Pembedahan

Serat saraf optic tertekan Rusaknya sel


trabeculectomy
jaringan

Gangguan lapang pandang


MK: Nyeri akut
Nyeri MK:
Akut Resiko

MK: gangguan Interpretasi salah MK: Ansietas infeksi

persepsi sensori
MK: resiko cedera MK: kurang pengetahuan

2.1.6. MANIFESTASI KLINIS GLAUKOMA


Manifestasi klinis glaukoma menurut Tamsuri (2010) meliputi :
a. Nyeri pada mata dan sekitarnya (orbita, kepala, gigi, telinga)
b. Pandangan kabut, melihat halo sekitar lampu
c. Mual, muntah, berkeringat
d. Mata merah, hyperemia, konjungtiva, dan siliar
e. Visus menurun
f. Edema kornea
g. Bilik mata depan dangkal (mungkin tidak ditemui pada glaukoma
sudut terbuka)
h. Pupil lebar lonjong, tidak ada refleks terhadap cahaya
i. TIO meningkat
Apabila terjadi peningkatan tekanan intraokular, akan timbul penggaungan
dan degenerasi saraf optikus yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor :
1) Gangguan perdarahan pada papil yang menyebabkan deganerasi
berkas serabut saraf pada papil saraf optik.
2) Tekanan intraokular yang tinggi secara mekanik menekan papil saraf
optik yang merupakan tempat dengan daya tahan paling lemah pada
bola mata. Bagian tepi papil saraf otak relatif lebih kuat dari pada
bagian tengah sehingga terjadi penggaungan pada papil saraf optik.
3) Sampai saat ini, patofisiologi sesungguhnya dari kelainan ini masih
belum jelas.
4) Kelainan lapang pandang pada glaukoma disebabkan oleh kerusakan
serabut saraf optik.
2.1.7. PENATALAKSANAAN GLAUKOMA
Penatalaksanaan glaukoma menurut Tamsuri (2010) meliputi :
1. Pengobatan bagi pasien glaukoma Pengobatan dilakukan dengan
prinsip untuk menurunkan TIO, membuka sudut yang tertutup
(pada glaukoma sudut tertutup), melakukan tindakan suportif
(mengurangi nyeri, mual, muntah, serta mengurangi radang),
mencegah adanya sudut tertutup ulang serta mencegah gangguan
pada mata yang baik (sebelahnya). Upaya menurunkan TIO
dilakukan dengan memberikan cairan hiperosmotik seperti gliserin
per oral atau dengan menggunakan manitol 20% intravena. Humor
aqueus ditekan dengan memberikan karbonik anhidrase seperti
acetazolamide (Acetazolam, Diamox), dorzolamide (TruShop),
methazolamide (Nepthazane). Penurunan humor aqueus dapat juga
dilakukan dengan memberikan agens penyekat beta adrenergic
seperti latanoprost (Xalatan), timolol (Timopic), atau levobunolol
(Begatan). Untuk melancarkan aliran humor aqueus, dilakukan
konstriksi pupil dengan miotikum seperti pilocarpine hydrochloride
2-4% setiap 3-6 jam. Miotikum ini menyebabkan pandangan kabur
setelah 1-2 jam penggunaan. Pemberian miotikum dilakukan
apabila telah terdapat tandatanda penurunan TIO.
Penanganan nyeri, mual, muntah dan peradangan dilakukan
dengan memberikan analgesik seperti pethidine (Demerol),
antimuntah atau kortikosteroid untuk reaksi radang.
Jika tindakan pengobatan tidak berhasil, dilakukan operasi
untuk membuka saluran Schlemm sehingga cairan yang banyak
diproduksi dapat keluar dengan mudah. Tindakan pembedahan
dapat dilakukan seperti trabekulektomi dan laser trabekuloplasti.
Bila tindakan ini gagal, dapat dilakukan siklokrioterapi
(pemasangan selaput beku).
2) Penatalaksanaan keperawatan bagi pasien glaucoma
Penatalaksanaan keperawatan lebih menekankan pada
pendidikan kesehatan terhadap penderita dan keluarganya karena
90% dari penyakit glaukoma merupakan penyakit kronis dengan
hasil pengobatan yang tidak permanen. Kegagalan dalam
pengobatan untuk mengontrol glaukoma dan adanya pengabaian
untuk mempertahankan pengobatan dapat menyebabkan kehilangan
penglihatan progresif dan mengakibatkan kebutaan.
Klien yang mengalami glaukoma harus mendapatkan gambaran
tentang penyakit ini serta penatalaksanaannya, efek pengobatan, dan
tujuan akhir pengobatan itu. Pendidikan kesehatan yang diberikan
harus menekankan bahwa pengobatan bukan untuk mengembalikan
fungsi penglihatan, tetapi hanya mempertahankan fungsi
penglihatan yang masih ada. Dalam hal ini diperlukan adanya
dukungan keluarga bagi penderita glaukoma, keluarga dapat
memberikan dorongan (motivasi) dan bantuan fisik terhadap
anggota keluarga yang sakit.

2.1.8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


Pemeriksaan diagnostik menurut Ilyas (2002) terdiri dari 4 yaitu :
2.1.8.1.Pemeriksaan Tajam
Penglihatan Pemeriksaan tajam penglihatan bukan merupakan
pemeriksaan khusus untuk glaukoma.
a) Tonometri
Tonometri diperlukan untuk mengukur tekanan bola mata.
Dikenal empat cara tonometri, untuk mengetahui tekanan intra
ocular yaitu :
(1) Palpasi atau digital dengan jari telunjuk
(2) Indentasi dengan tonometer schiotz
(3) Aplanasi dengan tonometer aplanasi goldmann
(4) Nonkontak pneumotonometri

Tonomerti Palpasi atau Digital


Cara ini adalah yang paling mudah, tetapi juga yang paling tidak cermat,
sebab cara mengukurnya dengan perasaan jari telunjuk. Dpat digunakan dalam
keadaan terpaksa dan tidak ada alat lain. Caranya adalah dengan dua jari
telunjuk diletakan diatas bola mata sambil pendertia disuruh melihat kebawah.
Mata tidak boleh ditutup, sebab menutup mata mengakibatkan tarsus kelopak
mata yang keras pindah ke depan bola mata, hingga apa yang kita palpasi
adalah tarsus dan ini selalu memberi kesan perasaan keras. Dilakukan dengann
palpasi : dimana satu jari menahan, jari lainnya menekan secara bergantian.
Tinggi rendahnya tekanan dicatat sebagai berikut :
N : normal
N + 1 : agak tinggi
N + 2 : untuk tekanan yang lebih tinggi
N – 1 : lebih rendah dari normal
N – 2 : lebih rendah lagi, dan seterusnya
2.1.8.2.Gonioskopi
Gonioskopi adalah suatu cara untuk memeriksa sudut bilik mata
depan dengan menggunakan lensa kontak khusus. Dalam hal glaukoma
gonioskopi diperlukan untuk menilai lebar sempitnya sudut bilik mata
depan.
2.1.8.3.Oftalmoskopi
Pemeriksaan fundus mata, khususnya untuk mempertahankan
keadaan papil saraf optik, sangat penting dalam pengelolaan glaukoma
yang kronik. Papil saraf optik yang dinilai adalah warna papil saraf
optik dan lebarnya ekskavasi. Apakah suatu pengobatan berhasil atau
tidak dapat dilihat dari ekskavasi yang luasnya tetap atau terus melebar.
2.1.8.4.Pemeriksaan Lapang Pandangan
Lapang pandangan adalah bagian ruangan yang terlihat oleh satu
mata dalam sikap diam memandang lurus ke depan. Pemeriksaan lapang
pandangan diperlukan untuk mengetahui adanya penyakit tertentu
ataupun untuk menilai progresivitas penyakit (Ilyas, 2012).
Pada pemeriksaan lapangan pandangan, kita menentukan batas
perifer dari penglihatan, yaitu batas sampai mana benda dapat dilihat,
jika mata difiksasi pada satu titik. Sinar yang datang dari tempat fiksasi
jatuh di makula, yaitu pusat melihat jelas (tajam), sedangkan yang
datang dari sekitarnya jatuh di bagian retina. Lapangan pandang yang
normal mempunyai bentuk tertentu, dan tidak sama ke semua arah.
Seseorang dapat melihat ke lateral sampai sudut 90-100 derajat dari titik
fiksasi, ke medial 60 derajat, ke atas 50-60 derajat dan ke bawah 60-75
derajat.
Pemeriksaan lapang pandangan penting dilakukan untuk
mendiagnosis dan menindaklanjuti pasien glaukoma. Kemungkinan
hasil yang akan ditemukan lapang pandang pasien berkurang karena
peningkatan TIO yang merusak papil saraf optikus. Pemeriksaan lapang
pandang terdiri dari :
a. Pemeriksaan lapang pandang perifer : lebih berarti kalau glaukoma
sudah lebih lanjut, karena dalam tahap lanjut kerusakan lapang
pandang akan ditemukan di daerah tepi, yang kemudian meluas ke
tengah.
b. Pemeriksaan lapang pandang sentral : mempergunakan tabir Bjerrum,
yang meliputi daerah luas 30 derajat. Kerusakan – kerusakan dini
lapang pandang ditemukan para sentral yang dinamakan skotoma
Bjerrum
Cara Pemeriksaan Lapang Pandangan terdiri dari :
1) Uji Konfrontasi
Mata kiri pasien dan mata kanan pemeriksa dibebat.
Penderita diperiksa dengan duduk berhadapan terhadap pemeriksa
pada jarak kira-kira 1 meter. Mata kanan pasien dengan mata kiri
pemeriksa saling bertatap. Sebuah benda dengan jarak yang sama
digerakkan perlahan-lahan dari perifer lapang pandangan ke
tengah. Bila pasien sudah melihatnya ia diminta memberitahu.
Pada keadaan ini bila pasien melihat pada saat yang bersamaan
dengan pemeriksa berarti lapang pandangan pasien adalah normal.
Syarat pada pemeriksaan ini adalah lapang pandangan pemeriksa
adalah normal.
Menurut Lumbantobing (2010) untuk pemeriksaan dengan
uji konfrontasi pemeriksa menggerakkan jari tangannya di bidang
pertengahan antar pemeriksa dan pasien. Gerakan dilakukan dari
arah luar ke dalam. Jika pasien sudah melihat gerakan jari-jari
pemeriksa, ia harus memberi tanda dan dibandingkan dengan
lapang pandang pemeriksa. Bila terjadi gangguan lapang pandang,
maka pemeriksa akan lebih dahulu melihat gerakan tersebut.
Gerakan jari tangan ini dilakukan dari semua arah (atas, bawah,
nasal, temporal). Pemeriksaan dilakukan pada masing-masing
mata.
Menurut Hartono (2010) pemeriksaan lapang pandangan
dapat dilakukan secara sederhana misalnya dengan uji konfrontasi
dan kisi Amsler. Ada berbagai macam uji konfrontasi yang bisa
diciptakan pemeriksa secara kreatif selain uji konfrontasi yang
klasik yang membandingkan lapang pandangan pemeriksa dengan
lapang pandangan pasien. Cara ini dilakukan dengan meminta
pasien (dengan menutup mata yang tidak diperiksa), melihat jari
pemeriksa yang dijalankan dari tepi ke sentral dengan cara
bergantian pada kedua mata. Tentu saja cara ini tidak bisa
digunakan kalau lapang pandangan pemeriksa juga mengalami
penyempitan. Untuk itu dapat dilakukan berbagai macam variasi.
Pemeriksaan lapang pandangan dengan konfrontasi adalah sangat
kasar dan hanya penting untuk memeriksa lapang pandangan pada
pasien yang menderita glaukoma lanjut misalnya defek arkuata
yang sangat luas, penyempitan nasal, sisa sentral dan temporal,
sisa sentral atau tinggal sisa temporal.
Untuk pasien yang menderita glaukoma lanjut, pemeriksa
konfrontasi ini penting dilakukan sebelum pemeriksaan perimetri
kinetik. Dengan melakukan uji konfrontasi terlebih dahulu,
pemeriksa akan tahu tempat mana yang mengalami defek yang
nyata sehingga pemeriksa akan lebih cepat saat melakukan
perimetri kinetik karena pemeriksa telah mengetahui terlebih
dahulu daerahdaerah lapang pandangan yang diperkirakan
mengalami kecacatan. Untuk perimetri statik tentu saja juga
penting untuk mencocokkan hasil konfrontasi dan hasil
perimetrinya.
Penilaian uji konfrontasi yaitu bila pasien tidak dapat
melihat jari pemeriksa sedangkan pemeriksa sudah dapat
melihatnya, maka hal ini berarti bahwa lapang pandang pasien
menyempit. Kedua mata diperiksa secara tersendiri dan lapang
pandangan tiap mata dapat memperlihatkan bentuk yang khas
untuk tipe lesi pada susunan nervus optikus.
2) Kampimeter dan Perimeter
Keduanya merupakan alat pengukur atau pemetaan lapang
pandangan terutama daerah sentral dan parasentral. Lapang
pandangan, bagian ruagan yang terlihat oleh satu mata dalam
sikap diam memandang lurus ke depan. Pemeriksaan lapang
pandangan diperlukan untuk mengetahui adanya penyakit-
penyakit tertentu ataupun untuk menilai progresivitas penyakit
tertentu. Pemeriksaan lapang pandangan dapat dilakukan
dengan :
a) Pemeriksaan konforntasi, yaitu pemeriksaan dengan
melakukan perbandingan lapang pandangan pasien dengan si
pemeriksa sendiri.
b) Pemeriksaan perimeter atau kampimetri. Lapang pandangan
normal adalah 90 derajat temporal, 50 derajat atas, 50 derajat
nasal dan 65 derajat ke bawah.
2.2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
2.3.1. Pengkajian
Pengkajian merupakan sebuah tahap awal dari proses keperawatan
dan merupakan sebuah pengumpulan daya yang sistematis dari berbagai
macam sumber untuk mengevaluasi dan untuk mnegidentifikasi status
kesehatan pasien (Wahyuni, 2016).
1. Identitas
Identitas Lansia berupa nama, alamat, jenis kelamin, umur, status,
agama, suku, riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan, sumber
pendapatan, tempat tinggal sekarang, lama tinggal. Identitas klien yang
biasa dikaji pada gangguan presepsi sensori penglihatan adalah usia
karena gangguan penglihatan sering terjadi pada lansia dengan umur
diatas 50 tahun.
2. Riwayat Kesehatan
a. Status kesehatan saat ini : keluhan terlazim yang biasa dirasakan
lansia dengan gangguan penglihatan yaitu pandangan atau
penglihatan kabur, kesulitan dalam memfokuskan pandangan,
pusing atau sakit kepala, mata lelah dan mengantuk (Dwi
Antara Nugraha, 2018).
b. Masalah kesehatan kronis : lansia diminta dan diajarkan untuk
mengisi format pengkajian masalah kesehatan kronis yang
bertujuan untuk mengetahui riwayat kesehatan kronis pasien.
Instrument yang dipergunakan yaitu pengkajian masalah
kesehatan kronis.
c. Riwayat kesehatan masa lalu : pada pasien dengan gangguan
penglihatan berat perlu diketahui pasien mengalami cedera mata
atau infeksi mata, serta menanyakan tentang penyakit apa yang
terakhir diderita (Dwi Antara Nugraha, 2018).
d. Riwayat Kesehatan Keluarga : bertanya kepada pasien apakah
ada riwayat kelainan mata pada keluarga derajat pertama atau
kakeknenek (Dwi Antara Nugraha, 2018).
3. Status Fisiologi
a. Pola Kesehatan Sehari-hari
1) Nutrisi
Mengkaji jenis makanan serta minuman yang dikonsumsi
lansia, kebiasaanmakan, makanan yang disukai dan tidak
disukai, pantangan makan dan keluhan saat makan. Pada
pasien dengan gangguan penglihatan akut seperti contoh
glaucoma akut pasien akan merasakan mual dan muntah saat
makan (Dwi Antara Nugraha, 2018)
2) Eliminasi
Mengkaji frekuensi, konsistensi, kebiasaan serta keluhan
pasien saat buang air kecil maupun buang air besar.
3) Istirahat/tidur
Mengkaji pola istirahat tidur lansia, kegiatan yang biasa
dilakukan lansia sebelum tidur, rentang waktu lansia tidur
saat siang maupun malam hari. Pada lansia dengan
gangguan penglihatan yang berat biasanya mengalami
kesukaran untuk istirahat tidur karena terdapat rasa nyeri
pada kepala.
4) Aktivitas Sehari-hari
Pada lansia dengan gangguan penglihatan berat akan
mengalami kesukaran untuk beraktivitas sehari-hari karena
pasien akan mengalami pandangan kabur, pandangan ganda,
kesulitan dalam membaca dan harus mengkaji apakah
terjadi pada satu mata atau dua mata (Dwi Antara Nugraha,
2018).
5) Personal Hygiene
Pada lansia dengan gangguan penglihatan seperti halnya
kebutaan, katarak, dan glaukoma akan mengalami kesulitan
dalam melakukan perawatan diri, karena pada pasien akan
mengalami pandangan seperti tertutup kabut.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Tanda-tanda vital dan Status Gizi
Keadaan umum : tingkat kesadaran baik dengan GCS 15
yaitu kondisi sadar sepenuhnya.
2) Sistem respirasi
Inspeksi : bila melibatkan sistem pernapasan, umumnya klien
dengan gangguan penglihatan ditemukan kesimetrisan
rongga dada, klien tidak sesak napas, serta tidak terdapat
penggunaan otot bantu pernafasan. Palpasi : fremitus antara
kanan dan kiri seimbang.
Perkusi : suara resonan pada seluruh lapang paru Auskultasi :
suara napas hilang atau melemah, pada sisi yang sakit
biasanya didapatkan suara napas tambahan seperti ronki dan
mengi.
3) Sistem kardiovaskuler
Nadi mungkin meningkat, pada auskultasi suara S1 dan S2
tunggal serta tidak terdapat murmur.
4) Sistem Neurosensori
Gejala : keluhan nyeri kepala pada gangguan penglihatan
berat, terjadinya penglihatan kabur, respon terhadap cahaya,
pergerakan mata, kejelasan dalam melihat, ada atau tidaknya
kekeruhan pada lensa mata, ketajaman penglihatan yang
menurun serta perlu dilakukan pengkajian pada lapang
pandang.
5) Sistem pencernaan
Gejala : ketidakmampuan dalam mengkonsumsi maknan
ataupun cairan yang tidak adekuat karena mual, muntah,
anorexia.
6) Sistem metabolism-intergumen
Kulit tampak kotor pada pasien dengan gangguan
penglihatan berat karena tidak mampun melakukan
perawatan diri. didapatkan mukosa bibir serta turgor kulit
yang mengalami penurunan karena nafsu makan yang
menurun.
7) Sistem genitourinaria
Produksi urine dalam batas normal serta tidak terdapat
keluhan pada sistem perkemihan.
4. Status Kognitif
Terjadi penurunan dalam pemecahan masalah, berkaitan dnegan memori
meliputi memori sensori,memori jangka panjang, jangka pendek,dan memori
jangka panjang kemampuan psikomotor juga sedikit mengalami penurunan
(Azizah, 2011).
5. Status Psikososial dan Spiritual
a. Psikologis
Persepsi lansia terhadap proses menua yang sedang dihadapi apakah
lansia menolak atau menerima, kebanyakan lansia menolak terhadap
proses menua yang dihadapinya. Harapan lansia terhadap proses menua
adalah mereka kebanyakan ingin menghabiskan masa tua dengan orang
terdekat. Lansia denga gangguan persepsi sensori penglihatan biasanya
mengalami kesulitan dalam menjalani kegiatan sehingga terkadang
membuat lansia depresi. Perawat harus mengkaji status depresi lansia
dengan meminta lansia mengisi format pengkajian tingkat depresi
lansia. Instrument yang digunakan Inventaris Depresi Geriatrik dan
Inventaris Depresi Beck (Kushariyadi, 2012)
b. Sosial
Hubungan lansia dengan orang terdekat yang ada disekitarnya yaitu
petugas kesehatan dan teman satu wisma sebagai peran sentral pada
tingkat kesehatan serta kesejahteraan. Pengkajian pada system sosial
dapat menghasilkan tentang jaringan pendukung. Instrument yang
digunakan yaitu pada format Apgar Lansia (Kushariyadi, 2012).
c. Spiritual
Kegiatan keagamaan yang lansia ikuti, keyakinan terhadap kematian,
semakin tua usianya pada umumnya lansia akan semakin takut pada
kematian, dan biasanya lansia lebih sering mengikuti kegiatan
keagamaan dan taat dalam beribadah.
2.3.2. Analisis Data
Analisis data merupakan suatu kemampuan yang mengkaitkan data
dan menghubungkan data dengan konsep teori dan prinsip yang relevan
untuk membuat sebuah kesimpulan dalam menentukan masalah kesehatan
dan keperawatan klien (Wahyuni, 2016). Analisa data terdiri dari Data
Subjektif dan Data Objektif. Data Subjektif diisi berdasarkan dari
perkataan klien dan analisa data diperoleh dari pengkajian.
2.3.3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan merupakan suatu pernyataan yang jelas,
singkat serta pasti mengenai masalah pasien yang nyata serta penyebabnya
dapat dipecahkan ataupun dapat diubah melalui suatu tindakan
keperawatan, dimana perawat memiliki lisensi serta kompetensi untuk
mengatasinya (Dermawan, 2012).
Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah sebagai
berikut:
1. Gangguan persepsi sensori penglihatan b. d. berkurangnya
penglihatan
2. Nyeri akutb.d agen pencedera fisiologis d.d mengeluh nyeri, tampak
meringis, bersikap protektif, gelisah.
2.3.4. Intervensi Keperawatan
No DX. SLKI SIKI
KEPEAWATAN
1 Gangguan L.06053 Intervensi utama : Minimalisasi Rangsangan
persepsi sensori
Setelah dilakukan Observasi :
penglihatan
berhubungan intervensi 1. Periksa status mental, status sensori,
dengan
keperawatan selama dan tingkat kenyamanan (mis.nyeri,
berkurangnya
penglihatan 3x24 jam maka status kelelahan)
neurologis membaik Terapeutik :
dengan kriteria hasil : 1. Diskusikan tingkat toleransi terhadap
1. Reaksi pupil beban sensori (mis. terlalu terang)
meningkat 2. Batasi stimulus lingkungan (mis.
2. Sakit kepala aktivitas)
menurun 3. Jadwalkan aktivitas harian dan waktu
3. Pandangan kabur istirahat
menurun Edukasi :
4. Ukuran pupil 1. Ajarkan cara meminimalisasistimulus
membaik (mis.mengatur pencahayaan ruangan)
5. Gerakan mata Kolaborasi :
membaik
1. Kolaborasi dalam meminimalkan
prosedur/tindakan
2. Kolaborasi pemberian obat yang
mempengaruhi persepsi stimulus.
2 Hipertermia b.d Luaran utama: Manajemen hipertermia:
terpaparnya Termoregulasi Tindakan
lingkungan panas Setelah dilakukan Observasi :
d. d.suhu tubuh tindakan keperawatan  Identifikasi penyebab hipertermia
diatas nilai selama 1x 24 jam (mis,dehidrasi, terpapar lingkungan
normal diharapkan panas, penggunaan incubator)
termoregulasi  Monitor suhu tubuh
membaik dengan  Monitor komplikasi akibat hipertermia
criteria hasil: Terapeutik :
 Menggigil  Sediakan lingkungan yang dingin
menurun(5)  Longgarkan atau lepaskan pakaian
 Kulit merah  Basahi dan kipasi permukaan tubuh
menurun(5)
 Berikan cairan oral
 Kejang
 Lakukan pendinginan ekternal (mis,
menurun(5)
selimut hipotermia atau kompres
 Suhu tubuh
dingin pada dahi,leher, dada, abdomen
membaik (5)
dan aksila)
 Suhu kulit Edukasi :
membaik(5)
 Anjurkan tirah baring
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena jika perlu
3 Nyeri akutb.d Tingkat nyeri Manajemen nyeri :
agen pencedera
Setelah Observasi :
fisiologis d.d
mengeluh nyeri, dilakukan  Identifiksi skala nyeri
tampak meringis,
tindkn  Identifiksi loksi,
bersikap protektif,
gelisah. keperawatan karakteristik,dursi,
selama 1x 24 frekuensi,kualits, intensitas
jam nyeri
diharapkan Terapeutik:
tingkat nyeri  Berikan teknik nonfarmokologi untuk
menurun mengurangi rasa nyeri (mis,
dengn criteria TES,hypnosis, akupresur, terapi
hasil: music,terapi pijat,arom terapi ,teknik
 Keluha imjinasi terbimbing, kompres hangat/
n nyeri dingin, terapi bermain.
menuru  Koontrol lingkungn yng memperberat
n rsa nyeri (mis, suhu ruang,
 Bersika pencahayaan, kebisingan.
p Edukasi :
protekti  Jelskan penyebab,periode dan pemicu
f nyeri
menuru  Jelaskan strategi meredahkan nyeri
n  Anjurkan monitor nyeri secara
 Gelisah mandiri
menuru  Anjurkan menggunakan analgetik
n secara tepat
 Ajarkan teknik nonfarmokologis untuk
mengunrangi rasa nyeri
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu.

2.2.4. ImplementasiKeperawatan
Implementasi keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh perawat maupun tenaga medis lainnya untuk membantu
pasiendalam proses penyembuhan dan perawatan serta masalah kesehatan
yang dihadapi pasien yang sebelumnya disusun dalam rencana keperawatan.
(Nursalam, 2011)

2.2.5. Implementasi
Implementasi merupakan pengolahan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Menurut
(Wahyuni, 2016) implementasi tindakan keperawatan dibedakan
berdasarkan kewenangan dan tanggung jawab perawat secara professional
antara lain:
1. Independent yaitu suatu tindakan yang dilaksanakan oleh perawat
tanpa petunjuk dan perintah dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
2. Interdependent yaitu kegiatan yang memerlukan suatu kerja sama
dengan tenaga kesehatan lainnya, misalnya dengan tenaga sosial, ahli
gizi, fisioterapi serta dokter.
3. Dependen yaitu pelaksanaan rencana tindakan medis. Tindakan yang
dapat dilakukan perawat dalam mengatasi masalah gangguan penglihatan
tersebut adalah perawat dapat membantu klien yang mengalami
perubahan sensori dengan meningkatkan fungsi sensori yang sehat,
dengan cara menyesuaikan stimulus lingkungan dan dengan membantu
klien dalam mengatasi deficit sensori akut (Barbara Kozier, 2011).
2.3.6. Evaluasi
Tahap penilaian atau evaluasi yang merupakan perbandingan yang
sistematis dan terencana tentang kesehatan klien sesuai dengan tujuan
yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara bersambungan dengan
meliatkan pasien, keluarga, serta tenaga kesehatan. Tujuan dari evaluasi
adalah untuk menilai kemampuan pasien dalam mencapai tujuan yang
disesuaikan dengan criteria hasil pada perencanaan (Wahyuni, 2016).
Perumusan evaluasi formatif meliputi empat komponen yang dikenal
dengan istilah SOAP yaitu :
S (Subjektif) : perkembangan suatu keadaan klien yang didasarkan pada
apa yang dirasakan, dikeluhkan, dan dikemukakan oleh pasien.
O (Objektif) : perkembangan klien yang dapat diamati dan diukur oleh
perawat atau tim kesehatan lain.
A (Analisis) : penilaian dari kedua jenis data(baik subjektif maupun
objektif) apakah berkembang kearah perbaikan atau kearah kemunduran.
P (Perencanaan): rencana penangan pasien yang telah didasarkan pada
hasil analisis diatas yang berisi melanjutkan perencanaan sebelumnya
apabila keadaan atau masalah belum teratasi.

BAB 3
TINJAUAN KASUS
3.1 Pengkajian
Ny. Parker 42 tahun, seorang pekerja pabrik, masuk rumah sakit dengan keluhan
mata kiri sering berair dan terasa nyeri. Klien akhirnya dirawat karena nyeri hebat
disekitar mata, nyeri kepala/dahi, mual, muntah, dan pusing. Klien didiagosis
menderita glaucoma oleh dokter pribadinya sejak 2 tahun yang lalu. Pemeriksaan
fisik ditemukan adanya nyeri tekan pada mata kiri. Pemeriksaan TTV : TD 128/70
mmHg; Suhu 36,6℃ ; Nadi 80 x/menit; RR 22x/menit. Pemeriksaan dengan
tonometry menunjukan adanya peningkatan TIO.

Nama : Dx : Glaukom
mahasiswa : Teratai Medis
: a
Ruangan : No MR
Tanggal 10 Januari Jam : ****
pengkajian 2022
08:00
WITA
I. Identitas Diri Klien Dx Medis : Glaukoma
Nama : Ny.P Sumber Informasi :
TTL : 01 Januari 1980 Keluarga
Umur : 42 tahun Penanggung jawab : Tn. D
Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan : S1
Alamat :Nasipanaf Pekerjaan : PNS
Status Perkawinan : Menikah Alamat : Nasipanaf
Agama/Suku : Kristen Protestan / Alor Hubungan dengan klien :
Warga Negara : Indonesia Suami
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : PNS
II. Status Kesehatan Saat Ini
1. Keluhan utama : : Saat dikaji klien mengatakan mata kiri
sering berair dan terasa nyeri.
2. Riwayat penyakit : : Saat dikaji, klien mengatakan bahwa 2
saat ini hari yang lalu (08 Januari) klien tiba-tiba
merasakan nyeri pada mata kiri, mata
memerah, dan bagian sekitar mata terasa
lunak bila disentuh.Semakin hari nyeri yang
dirasakan terasa semakin hebat. Klien
: akhirnya dibawa oleh suaminya ke rumah
sakit sejak tadi pagi pukul 08:00 WITA
untuk mengikuti proses pengobatan.
3. Keluhan saat : Saat dikaji klien mengeluh mual dan
dikaji
mengatakan merasa ingin muntah. Wajah
klien tampak meringis, bersikap seolah
menghindari hal-hal yang menyebabkan
nyeri semakin bertambah, gelisah, serta
mengeluh merasa nyeri hebat disekitar
mata, nyeri kepala/dahi, mual, muntah, dan
pusing.
Kualitas nyeri :
P : Adanya tekanan intraokular
Q :Nyeri seperti ditusuk-tusuk
R : Nyeri dirasakan berfokus pada mata
kiri
S : Skala nyeri 5
T : Nyeri muncul hilang dengan durasi
waktu yang tidak menentu.

III. Riwayat kesehatan masa lalu


1. Penyakit yang : Pada saat dikaji, klien mengatakan
pernah dialami pernah dirawat dirumah sakit 2 tahun yang
lalu karena mengalami nyeri pada area yang
sama (mata kiri) dan sejak saat itu klien di
diagnosis menderita glaucoma oleh dokter
pribadi.
2. Riwayat alergi : :-
3. Pengobatan : : Klien pernah menjalani proses pengobatan
dirumah sakit yang sama sejak 2 tahun yang
lalu.
IV. Riwayat penyakit keluarga :Pada saat dikaji klien mengatakan dalam
keluarga tidak ada yang mengalami penyakit glaukoma

V. Pengkajian pola-pola fungsi kesehatan


1. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan :
Pasien mengalami perubahan atau gangguan pada personal hygiene.
2. Pola nutrisi dan metabolic
a. Sebelum sakit :
1) Berat Badan : 60 Kg, TB : 165 Cm
2) Makan :
a) Frekuensi : 2-3 x/hari
b) Jenis makanan : Nasi, Lauk dan Sayur
c) Yang disukai : Gado-gado
d) Yang tidak disukai : Makanan yang terlalu pedis
e) Pantangan : -
f) Alergi : -
g) Nafsu makan : Stabil (1 porsi setiap kali makan dihabiskan)
3) Minum :
a) Frekuensi : 2 liter /hari
b) Jenis minuman : Air Putih dan Kopi
c) Yang disukai :
d) Yang tidak disukai :
e) Pantangan :
f) Alergi :
b. Perubahan setelah sakit :
a) BB saat sakit : 59Kg, perubahan BB : 1Kg.
b) Jenis diet :
c) Nafsu makan : berkurang
d) Keluhan mual/muntah : Pasien mengatakan mengalami mual-
muntah
e) Porsi makan : Pasien hanya bisa menghabiskan maksimal ½ porsi
di setiap kali makan.

3. Pola eliminasi
a. Sebelum sakit :
1) Buang air besar :
a) Frekuensi : 2 x/hari, penggunaan laktasif : -
b) Konsistensi : lembek dan bau yang khas
c) Karakter feses : berwarna kuning
d) Riwayat perdarahan : - , Hemoroid : -
e) Konstipasi : - . Diare :-
2) Buang air kecil :
a) Frekuensi : 4-5 x/hari
b) Produksi : 25-27cc / hari
c) Warna : Kuning jernih, Bau : Bau khas
d) Nyeri/rasa terbakar/kesulitan BAK : -
e) Lain-lain : -
b. Perubahan setelah sakit :
Klien tidak mengalami gangguan pafa pola eliminasi.

4. Pola aktivitas dan latihan


a. Sebelum sakit
Kemampuan perawatan 0 1 2 3 4
diri
Makan/minum √
Mandi √
Toileting √
Berpakaian √
Mobilitas ditempat tidur √
Berpindah √
Ambulansi/ROM √
0 : mandiri, 1 : alat bantu, 2 : dibantu orang lain, 3 : dibantu orang
lain dan alat, 4 tergantung total.
b. Perubahan setelah sakit
0 1 2 3 4
emampuan perawatan diri
Makan/minum √
Mandi √
Toileting √
Berpakaian √
Mobilitas ditempat tidur √
Berpindah √
Ambulansi/ROM √
0 : mandiri, 1 : alat bantu, 2 : dibantu orang lain, 3 : dibantu orang
lain dan alat, 4 tergantung total.
5. Pola tidur dan istirahat
a. Sebelum sakit :
1) Waktu tidur : Siang hari 12.00-14.00, Malam Hari 21.00-06.00
Pagi.
2) Lama tidur : ±8 jam/hari
3) Kebiasaan sebelum tidur : Berdoa
4) Kesulitan dalam tidur : -
b. Perubahan setelah sakit :
Pola istrirahat dan tidur pasien mengalami gangguan karena
pasien pasien sering merasa nyeri pada mata kiri yang dirasakan.
6. Pola Persepsual
a. Sebelum sakit
1) Penglihatan
a) Fungsi penglihatan : ………, VOD : ………, VOS : ……..
b) Lapang pandang : -
c) Gangguan fungsi : rabun jauh
2) Pendengaran :
a) Fungsi pendengaran : baik, Telinga kiri : normal, Telinga
kanan : baik
b) Kelainan fungsi : -
3) Penciuman :
a) Fungsi penciuman : baik
b) Kelainan fungsi : -
4) Pengecapan :
a) Fungsi pengecapan : baik
b) Kelainan fungsi : -
5) Perabaan :
a) Fungsi perabaan : baik
b) Kelainan fungsi : -
b. Perubahan setelah sakit : Mata kiri mengalami gangguan fungsi
penglihatan, VOS 4/6.
7. Pola persepsi diri
a. Sebelum sakit :
1) Pandangan klien tentang penyakitnya : -
2) Konsep diri :
a) Gambaran diri : Pasien merasa sehat dan tidak membutuhkan
pengobatan
b) Identitas diri : pasien mampu mengenali dirinya sebagai
seorang istri dan ibu untuk 2 orang anak.
c) Peran : Pasien mengatakan berperan sebagai istri dan ibu untuk
anak-anaknya.
d) Harga diri : pasien merasa baik-baik saja
e) Ideal diri : Pasien merasakan tidak mengalami sakit dan dapat
berkumpul dengan keluarganya kapan saja
3) Keadaan emosional pasien : keadaan emosional pasien stabil
4) Lain-lain : -
b. Perubahan setelah sakit :
1) Pandangan klien tentang penyakitnya : -
2) Konsep diri :
a) Gambaran diri : klien mengatakan tidak malu dengan
penyakitnya, dan ingin untuk terus berobat.
f) Identitas diri : pasien mampu mengenali dirinya sebagai
seorang istri dan ibu untuk 2 orang anak.
g) Peran : Pasien mengatakan berperan sebagai istri dan ibu untuk
anak-anaknya..
b) Harga diri : klien dirinya tidak berguna karena perannya
sebagai seorang istri dan ibu tidak maksimal.
c) Ideal diri : klien mengatakan ingin cepat sembuh dan pulang ke
rumah.
3) Keadaan emosional pasien : keadaan emosional pasien stabil
8. Pola seksualitas dan reproduksi
a. Sebelum sakit :
1) Hubungan seksual : baik
2) Gangguan hubungan seksual : -
3) Pemahaman tentang seksual : -
b. Perubahan setelah sakit : -
Pola reproduksi seksualitas pasien terganggu.
9. Pola peran dan hubungan
a. Sebelum sakit
1) Komunikasi : Klien berkomunikasi dengan baik
2) Hubungan dengan orang lain : berhubungan baik dengan orang
lain
3) Dukungan keluarga : Klien mendapat dukungan dari keluarga
4) Dukungan teman / kelompok / masyarakat : Klien mendapat
dukungan dari semua kerabat
5) Konflik terhadap peran / nilai : -
6) Lain-lain : -
b. Perubahan setelah sakit :
1) Komunikasi : Klien berkomunikasi dengan baik
2) Hubungan dengan orang lain : berhubungan baik dengan orang
lain
3) Dukungan keluarga : Klien mendapat dukungan dari keluarga
4) Dukungan teman / kelompok / masyarakat : Klien mendapat
dukungan dari semua kerabat
5) Konflik terhadap peran / nilai : -
6) Lain-lain : -
10. Pola managemen koping-stress
a. Sebelum sakit :
1) Pengambilan keputusan : klien tenang saat mengambil keputusan
2) Yang disukai tentang diri sendiri : cara mengambil keputusan
3) Yang ingin dirubah dari kehidupan : mudah merasa cemas
4) Yang dilakukan jika stress : mendengarkan lagu
5) Lain-lain :
b. Perubahan setelah sakit : -
11. Sistem nilai dan keyakinan
a. Sebelum sakit :
1) Keyakinan: klien adalah seorang beragama Kristen Protestan.
2) Sumber kekuatan saat sakit : Keluarga
3) Ritual keagamaan yang sering dilakukan : Berdoa
b. Perubahan setelah sakit :
Pasien beragama Kristen, selalu berdoa, dan yakin akan cepat
sembuh, menganggap ini merupakan cobaan dari Tuhan.
VI. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum : Composmentis
GCS : E= 4, V= 5, M = 6, Nilai GCS : 15
2. Tanda-tanda vital :
TD : 128/70 mmHg
Nadi : 80 x / menit
Suhu : 36,6ºC
Pernapasan : 22 x / menit
3. Kepala :
Inspeksi : Rambut tampak hitam, tidak ada ketombe, berbau, tidak
rontok.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
4. Mata :
Inspeksi : tampak tidak simetris kanan-kiri, mata klien mata kiri
berair.
Palpasi : terdapat nyeri tekan pada mata kiri.
5. Telinga :
Inspeksi : tampak simetris kanan-kiri, bersih, tidak ada gangguan
pendengaran.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
6. Hidung :
Inspeksi : tampak simetris, bersih, tidak ada secret, tidak ada polip,
tidak ada perdarahan.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
7. Mulut dan tenggorokan :
Inspeksi : tampak simetris, mukosa bibir tampak kering, gigi sudah
tidak lengkap, tidak memakai gigi palsu.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak tampak pembengkakan kelenjar
tiroid dan kelenjar getah bening, tidak ada luka, vena jugularis teraba.
8. Dada :
Inspeksi : simetris kanan-kiri, tidak ada pembengkakan, tidak ada
luka, iktus cordis tidak terlihat.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, pergerakan dinding dada teraba, taktil
fremitus teraba sama kuat pada lapang paru kiri dan kanan.
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru.
Auskultasi : Suara napas vesikuler dan tidak ada suara napas
tambahan, bunyi jantung I : Lup, bunyi jantung II : Dup. Tidak ada bunyi
jantung tambahan.
9. Abdomen :
Inspeksi : tampak simetris, tidak tampak pembesaran yang abnormal.
Auskultasi : bising usus 10 x / menit.
Palpasi : tidak teraba adanya pembengkakan, terdapat nyeri tekan
pada daerah abdomen kuadran kanan atas sinistra
Perkusi : Timpani
10. Pinggang :
Inspeksi : bentuk simetris, terdapat luka operasi pada pinggang kanan.
Palpasi : terdapat nyeri tekan pada area pinggang kanan.
11. Genetalia :
Inspeksi : simetris, tidak ada kelainan, terpasang keteter.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
12. Ekstremitas atas dan bawah :
Inspeksi : simetris kiri dan kanan, kulit tampak kering, tidak ada
pembengkakan, terpasang infus pada tangan sebelah kanan.
Palpasi : tidak ada fraktur
Kekuatan otot
5 5
5 5

VII.Pemeriksaan Penunjang

Jenis Hasil Nilai normal Kesimp


pemeriksaan ulan
Tonometri 40 mmHg 10-21 mmHg Meningk
at

VIII. Pengobatan
Nama Dosis Cara Indika Kontra
Obat Pemberian si Indikasi
Acetazola 250 Oral Glauko Hipersens
mide mg/hari ma, nyeri itif terhadap
kepala, acetazolamide
muntah,
pusing..
Dorzolami 1 tetes Obat Gangg Hipersens
de pada mata tetes uan yang itif terhadap
yang sakit disebabkan dorzolamide,p
diberikan 3 tekanan asien dengan
x sehari. tinggi pada asidosis
mata hiperkloremik
3.2 Analisa Data dan Diagnosis Keperawatan
3.2.1 Analisa Data
No Data Interpretasi Masalah
(Penyebab)
A. DS : Obstruksi jaringan Nyeri Akut
- Klien mengatakan trabekuler
merasa yeri
kepala/dahi, dan Hambatan pengaliran
pusing. cairan humor aqueous
- Klien mengeluh
merasa nyeri hebat Peningkatan TIO
disekitar mata.
- Kualitas nyeri Nyeri Akut
yang dirasakan
klien
P : Adanya
tekanan intraocular
Q : Nyeri
seperti ditusuk-
tusuk
R : Nyeri
dirasakan berfokus
pada mata kiri
S : Skala nyeri
5
T : Nyeri
muncul hilang
dengan durasi
waktu yang tidak
menentu.
DO :
- Wajah klien
tampak meringis
- Klien tampak
bersikap protektif
- Klien tampak
gelisah
B. DS : Peningkatan TIO Nausea
- Klien mengeluh
mual Iritasi saraf vagal
- Klien mengatakan
merasa ingin Mual, muntah.
muntah.
DO : Nausea
-

3.2.2 Diagnosis Keperawatan


1. Nyeri akutb.d agen pencedera fisiologis d.d mengeluh nyeri, tampak meringis,
bersikap protektif, gelisah.
2. Nausea b.d peningkatan tekanan intraorbital d.d mengeluh mual, merasa ingin
muntah.

3.3 Intervensi Keperawatan

Kode Diagnosa Kode Tujuan (SLKI) Kode Intervensi (SIKI)


(SDKI)
D.0 Nyeri L.08066 Tingkat Nyeri I.08238 Intervensi utama :
077 akut b.d agen Manajemen Nyeri
pencedera Setelah dilakukan Observasi :
fisiologis d.d tindakan keperawatan  Identifikasi lokasi
mengeluh selama 2 x 24 jam karakteristik, durasi,
nyeri, tampak diharapkan tingkat frekuensi, kualitas,
meringis, nyeri menurun dengan intensitas nyeri
bersikap kriteria hasil :  Identifikasi skala
protektif,  Keluhan nyeri nyeri
gelisah. menurun (5)  Identifikasi
 Meringis menurun pengetahuan dan
(5) keyakinan tentang
 Sikap protektif nyeri
menurun (5)  Identifikasi pengaruh
 Gelisah menurun budaya terhadap
(5) respon nyeri
 Identifikasi pengaruh
nyeri pada kualitas
hidup
Terapeutik :
 Control lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri (mis. Suhu,
ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
 Fasilitas istirahat dan
tidur
 Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemelihan
srategi meredakan
nyeri
Edukasi :
 Jelaskan penyebab
periode dan pemicu
nyeri
 Jelaskan srategi
meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
 Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa neri.
D.0076 Nauseab.d L.08 Tingkat Nausea I.03117 Intervensi utama :
peningkatan 065
Setelah dilakukan Manajemen Mual
tekanan
intraorbital tindakan keperawatan Observasi :
d.d mengeluh selama 2 x 24 jam
diharapkan tingkat  Identifikasi
mual, merasa
nausea menurun pengalaman mual
ingin muntah.
dengan kriteria hasil :  Identifikasi dampak
 Keluhan mual mual terhadap
menurun (5) kualitas hidup (mis.
 Merasa ingin Nafsu makan,
muntah menurun aktifitas,
(5) kinerja,tanggung
jawab peran,
dantidur)
 Identifikasi faktor
penyebab mual (mis.
Pengobatan dan
prosedur)
 Monitor mual (mis.
Frekuensi, durasi,
dan tingkat
keparahan)
 Monitor asupan
nutrisi dan kalori
Terapeutik :
 Kurangi atau
hilangkan keadaan
penyebabmual (mis.
Kecemasan,
ketakutan, kelelahan)
 Berikan makanan
dalam jumlah kecil
dan menarik
 Berikan makann
dingin, cairan bening,
tidak berbau, dan
tidak berwarna, jika
perlu
Edukasi :
 Anjurkan istirahat
dan tidur yang cukup
 Anjurkan sering
membersikan mulut,
kecuali jika
merangsang mual
 Ajarkan penggunaan
teknik
nonfarmakologis
untuk mengatasi
mual
3.4 Implementasi Keperawatan
N Hari/ Diagnosis Jam Implementasi Evaluasi
o Tang (SOAP)
gal
1. 10 Nyeri akut b.d agen 11:00  Mengientifikasi Pukul 15:00
Januar pencedera fisiologis WITA lokasi nyeri WITA
i 2022 d.d mengeluh nyeri, 11: 10  Mengidentifikasi S:
tampak meringis, WITA skala nyeri - Pasien
bersikap protektif, 11:20  Mengidentifikasi mengatakan
gelisah. WITA pengetahuan dan masih merasa
keyakinan tentang nyeri (5)
11:30 nyeri O:
WITA  Mengientifikasi - Ekspresi muka

pengaruh budaya pasien tampak


11:40 terhadap respon nyeri meringis
WITA  Mengientifikasi - Skala nyeri 5

pengaruh nyeri pada A : Masalah


11:50 kualitas hidup belum teratasi
WITA  Mengontrol P : Intervensi

lingkungan yang dilanjutkan


12:00 memperberat rasa
WITA nyeri
12:10
 Memfasilitas istirahat
WITA
dan tidur
 Menjelaskan
12:30
penyebab periode dan
WITA
pemicu nyeri
12:40  Menjelaskan srategi
WITA meredakan nyeri
 Menganjurkan
12:50 memonitor nyeri
WITA secara mandiri
 Mengajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa neri.
2. 10 Nausea b.d 13:00  Mengidentifikasi Pukul 15:00
Januar peningkatan tekanan WITA pengalaman mual WITA
i 2022 intraorbital d.d  Mengidentifikasi S:
mengeluh mual, 13:10 dampak mual - Pasien
merasa ingin WITA terhadap kualitas mengatakan
muntah. 13:20 hidup masih merasa
WITA  Mengidentifikasi mual.
faktor penyebab mual - Pasien masih

 Memonitor mual mengeluh merasa


13:30  Monitor asupan ingin muntah
WITA nutrisi dan kalori O:
13:40  Mengurangi atau -
WITA menghilangkan A : Masalah

keadaan penyebab belum teratasi


13:50 mual P : Intervensi
WITA dilanjutkan
 Membrikan makanan
dalam jumlah kecil
dan menarik
14:00
 Menganjurkan
WITA
istirahat dan tidur
14:10 yang cukup
WITA  Menganjurkan sering
membersikan mulut,
14:20 kecuali jika
WITA merangsang mual

You might also like