You are on page 1of 13

TINJAUAN PUSTAKA KASUS

DIARE
Diare sering terjadi pada pasien kritis. Diare mengacu pada adanya peningkatan
gerakan peristaltik usus dan frekuensi defekasi. Diare adalah defekasi dengan frekuensi 3 kali
atau lebih dalam sehari dengan kehilangan cairan 250 ml perhari (Nikhil dkk, 2016). Menurut
WHO diare untuk pasien kritis ditujukan pada frekuensi defekasi lebih dari 3 kali sehari,
peningkatan volume defekasi (>200gr perhari), atau konsistensi BAB yang encer (Weiting
dkk, 2019).

EPIDEMIOLOGI
Kejadian diare di ICU sekitar 20%.

ETIOLOGI
Diare dapat dibagi menjadi infeksi atau non infeksi.
1. Diare infeksius
Infeksi karena clostridium dificile paling sering ditemui di ICU sampai dengan 44%. Bakteri
lain termasuk salmonella, C. perfingens, S. Aureusdan P. aureginosa. Penggunaan antibiotik
dianggap merupakan faktor risiko diare infeksius di ICU, risiko lain yaitu supresi asam
lambung, usia lanjut dan tingkat keparahan penyakit.
2. Diare non infeksius
Penyebab tersering adalah antibioticassociated diarrhea, diare yang berhubungan dengan
enteral feeding dan obat-obatan. Penurunan kosentrasi organisme anaerob di usus yang
mengakibatkan penurunan fermentasi karbohidrat menyebabkan osmotik diare. Diare yang
berhubungan dengan enteral feeding juga sering ditemui di ICU. Pendekatan pada kondisi ini
adalah menghindari formula dengan densitas tinggi atau penambahan serat/fiber.

TATA LAKSANA
1. Koreksi kausa
Terapi utama ditujukan pada mencari sumber atau causa terjadinya ileus, termasuk koreksi
elektrolit, menghindari penggunaan opioid dan obat-obatan antikolinergik, mobilisasi dan
pemberian enteral feeding bila memungkinkan. Terapi lain yaitu dekompressi gaster, laxative
osmosis, antagonis opioid, dan agent promotilitas.
2. Terapi cairan dan support hemodinamik.
Karena efek ileus yang begitu besar terhadap perubahan cairan tubuh, maka terapi utama
pada kondisi ini adalah resusitasi cairan dan pemberian vasopressor dengan hati hati.
3. Stimulasi gaster dan motilitas usus
Mengembalikan motilitas usus merupakan target utama. Intervensi meliputi stimulasi
lambung dengan metoklopramid, cisapride atau eritromisin, enema dan laxative. Pemberian
nutrisi enteral juga mampu menstimulasi motilitas usus.
4. Nutrisi
Nutrisi penting untuk mengembalikan dan mempertahankan fungsi gastrointestinal, perfusi
usus, motilitas dan fungsi barrier. Sejumlah kecil nutrisi enteral mampu mempertahankan
fungsi ini. Beberapa modifikasi diet enteral dapat meningkatkan fungsi diatas seperti
penambahan fiber mampu memberi efek besar terhadap motilitas usus, pembentukan rantai
pendek asam lemak melalui fermentasi bakteri dan mengurangi translokasi bakteri. Selain itu
nutrisi yang untuk meningkatkan sistem immune juga ditambahkan pada nutrisi enteral
(immunonutrition). Diet ini menunjukkan penurunan komplikasi infeksi dan lama rawat inap
di ICU dan rumah sakit. Glutamin disini memegang peranan penting. Glutamin merupakan
asam amino essensial yang terbukti memperbaiki fungsi barrier usus, menstimulasi sistem
immune, menurunkan angka infeksi dan meningkatkan survival. Pemberian probiotik mampu
menunjukkan perbaikan fungsi barier, mengurangi inflamasi dengan menghambat
melekatnya mikroorganisme di permukaan mukosa dan mencegah komplikasi di usus yang
berhubungan dengan pemberian antibiotik.
5. Dekompressi abdomen
Pada pasien ileus, dekompresi kolonoskopi mengurangi dilatasi usus sampai dengan 80%
kasus, sayangnya angka kekambuhan terjadi pada 44% setelah beberapa hari. Pemasangan
kolonik tube atau RT selama 3 hari setelah dekompresif kolonoskopi terbukti efektif.

DRUG ERUPTION
Menurut World Health Organization (WHO), erupsi obat adalah perubahan pada kulit
dengan atau tanpa melibatkan organ lain, yang timbul setelah pemakaian obat pada dosis
yang digunakan untuk pencegahan, diagnosis, atau terapi (Anggarini dan Prakoeswa, 2015).

EPIDEMIOLOGI
Erupsi obat adalah efek samping obat yang paling sering ditemui. Studi yang
dilakukan Nandha R. dan kawan-kawan pada tahun 2011 menunjukkan bahwa kejadian
erupsi obat di negara maju sekitar 1-3%, sedangkan di negara berkembang 2-5%. Hal ini
serupa dengan studi yang dilakukan Chatterjee S dan kawan-kawan di India pada tahun 2006
bahwa erupsi obat terjadi pada 2,66% pasien. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa obat
yang paling sering menimbulkan erupsi adalah golongan antibiotik, antikonvulsan,
antiinflamasi nonsteroid. Studi yang dilakukan oleh Lee HY dan kawan-kawan di Singapura
pada tahun 2010 menunjukkan bahwa obat yang menimbulkan erupsi adalah antibiotik
(50,5%), antikonvulsan (11,3%), alopurinol (8,2%), obat kemoterapi (7,2%), antiinflamasi
nonsteroid (7,2%) (Anggarini dan Prakoeswa, 2015).
Pada penelitian lain berapa obat-obatan berikut yang terlibat dalam mencetuskan
erupsi obat sebagian besar adalah antimikroba (48%), diikuti OAINS (30%) dan antiepilepsi
(12%). Dalam penelitian ini, antimikroba seperti sulfonamida (kotrimoksazol), penisilin
(ampisilin, amoksisilin), dan fluorokuinolon (ofloksasin, norfloksasin, siprofloksasin) adalah
obat-obatan yang paling umum menyumbang hampir 60% dari semua kasus erupsi obat oleh
agen antimikroba. Reaksi erupsi obat oleh OAINS, sekitar 83% kasus tersebut disebabkan
oleh ibuprofen dan natrium diklofenak. Fenitoin bertanggung jawab atas 50% kasus yang
disebabkan oleh antiepilepsi kemudian diikuti oleh karbamazepin. Durasi rata-rata antara
pemberian obat dan munculnya ruam adalah 4 hari (1-120 hari) (Tanzira dkk, 2020).

Tabel 1. Pembagian reaksi obat menurut mekanisme

Terbukti/diduga kuat Mungkin Menimbulkan reaksi


menimbulkan reaksi alergi menimbulkan reaksi pseudoalergi
alergi
Antibiotik β-laktam (penisilin, Kuinolon Opiat
sefalosporin,monobaktam, Sulfonamid Aspirin dan AINS
karbapenem)
Insulin Dilantin Heparin
Kemopapain Protamin Inhibitor ACE
Streptokinase Pelemas otot Aditif
Serum heterologous Anestesi lokal Larutan protein plasma
Tetanus (Toksoid–Tetanus/ Kemoterapi Larutan pengganti berbahan
Difteri-Td) gelatin
Lateks Transfusi Tartazin
Hemodialisis Kontras
Agen biologik baru
(campak, mumps,
MMR, vaksin asal
telur)
(Pandapotan dan Rengganis, 2016).

PATOFISIOLOGI
Mekanisme erupsi obat secara garis besar diklasifikasikan menjadi tipe A (dapat
diperkirakan) dan tipe B (tidak dapat diperkirakan).
1. Tipe A
Tipe A pada umumnya terkait dengan bagian obat yang memberikan efek farmakologi
maupun toksik sehingga dapat diperkirakan dan dapat timbul pada siapapun. Sebagian besar
erupsi obat (75-80%) disebabkan oleh tipe A, sisanya disebabkan oleh efek yang tidak dapat
diperkirakan yang mungkin melibatkan proses imunologis maupun tidak.
2. Tipe B
Tipe B cenderung tidak dapat diperkirakan sebelumnya, tidak berhubungan dengan sifat
farmakologi obat, reaksinya cenderung lebih berat tetapi kejadiannya relatif jarang, timbul
pada individu yang memiliki faktor predisposisi, dan merupakan reaksi idiosinkrasi yang
dapat dipengaruhi oleh faktor imunologis dan genetik. Manifestasi klinis yang sering
didapatkan pada reaksi tipe B adalah reaksi kulit yang disebut sebagai Adverse Cutaneous
Drug Reaction (ACDR).

Mekanisme erupsi obat karena proses imunologis menurut Gell-Coombs disebabkan


perubahan mekanisme imun sehingga timbul gejala klinis, dibagi menjadi 4 tipe yaitu tipe I
(dimediasi oleh IgE), tipe II (reaksi sitotoksik), tipe III (kompleks imun), dan tipe IV (reaksi
tipe lambat). Reaksi hipersensitivitas tipe I dapat timbul sebagai urtikaria akut, angioedema,
asma, kolik abdomen, diare. Reaksi hipersensitivitas tipe II pada kulit jarang terjadi, dapat
timbul sebagai drug-induced pemphigus, drug-induced bullous pemphigoid, dan drug-
induced IgA linier. Reaksi hipersensitivitas tipe III timbul sebagai vaskulitis, fenomena
Arthus, serum sickness. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, dibagi menjadi 4 subtipe tergantung
dari aktivasi monosit, eosinofil, sel T, dan neutrofil, timbul sebagai erupsi makulopapular,
dermatitis kontak, acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP), fixed drug eruption
(FDE), eritema multiforme, drug reaction with eosinophilia and systemic symptom (DRESS),
Steven-Johnson syndrome (SJS), dan toxic epidermal necrolysis (TEN). Beberapa erupsi obat
timbul tidak hanya karena 1 tipe reaksi hipersensitivitas, seperti pada urtikaria dapat 10timbul
karena reaksi tipe I maupun tipe III.
Angka kejadian erupsi obat pada wanita cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan
pria, disebabkan oleh perbedaan farmakokinetik dan hormonal, sedangkan umur yang ekstrim
meningkatkan risiko erupsi obat. Insidensi erupsi pada pasien usia lanjut dihubungkan dengan
terapi multifarmaka, penurunan metabolisme obat, penurunan fungsi organ, sedangkan pada
umur neonatus insidensi erupsi obat dihubungkan dengan fungsi hepar dan ginjal yang masih
belum sempurna dan konsentrasi protein plasma yang sedikit.

TATA LAKSANA
Prinsip umum
Penanganan alergi obat dimulai dengan mengenali reaksi obat berdasarkan mekanisme yang
terbagi menjadi 3 kelompok seperti pada Tabel di atas. Berdasarkan Tabel tersebut, maka
prioritas tatalaksana obat mengarah kepada daftar obat-obatan terutama yang terbukti kuat
menimbulkan reaksi alergi. Tiga hal yang menjadi dasar tatalaksana alergi obat adalah
menghindari faktor yang menimbulkan gejala, pengobatan reaksi yang benar dan cara-cara
khusus. Jika memungkinkan, maka pencegahan pemberian obat merupakan pilihan utama.
Perlu diingat sebisa mungkin menghindari obat yang telah diketahui menimbulkan reaksi
alergi dan obat yang tidak memiliki efek klinis yang penting. Rute pemberian obat yang
diketahui dapat menimbulkan reaksi paling berat adalah rute intravena.Oleh karena itu, jika
memungkinkan rute ini dihindari terutama pada pasien dengan riwayat reaksi alergi obat yang
berat. Pengobatan reaksi cepat pada alergi obat prinsip nya adalah pemberian epinefrin,
pengehentian obat yang diberikan, pemberian antihistamin (jika terdapat urtikaria,
angioedema dan pruritus) dan pertimbangan untuk pemberian kortikosteroid oral. Sedangkan
untuk reaksi lambat, pada dasarnya sama dengan pada reaksi alergi obat cepat kecuali
pemberian epinefrin.Namun, reaksi alergi obat lambat dapat berlanjut meskipun obat
penyebab sudah dihentikan.

Cara- cara Khusus


Terdapat beberapa cara khusus yang penting dalam tatalaksana alergi obat diantaranya adalah
threating through, test dosing, desensitisasi dan pramedikasi terhadap obat-obat tertentu.
Dalam keadaan ekstrim, yaitu saat obat kausal sangat diperlukan, maka pilihan yang dapat
diambil adalah obat diteruskan bersamaan pemberian anthistamin dan kortikosteroid untuk
menekan alergi. Hal ini disebut treating through, namun berisiko potensial mengakibatkan
reaksi berkembang menjadi eksfoliatif atau sindrom SJS dan memicu keterlibatan organ
internal. Pada kondisi tes kulit atau RAST terhadap obat antibiotik tidak dapat dikerjakan dan
dipikirkan kemungkinan alergi rendah, tidak disertai reaksi berat dan mengancam nyawa,
maka dapat dikerjakan tes dosing atau provocative drug challenge/graded drug challenge/
incremental drug challenge. Tes ini tidak mengubah respon sistem imun. Prinsip dasar tes ini
adalah pemberian obat secara hati-hati dan bertahap, sehingga reaksi ringan yang diketahui
mungkin terjadi akan segera diketahui dan dapat dengan mudah diatasi. Tes ini dapat dipakai
sebagai satu-satunya cara absolut untuk menyatakan ada tidaknya hubungan etiologi antara
obat, sehingga bila penderita menunjukkan toleransi terhadap obat yang diberikan, berarti
tidak ada alergi. Tes ini terbagi menjadi tes dosing cepat dan lambat.

Desensitisasi adalah pilihan tatalaksana pada kondisi yang sudah dipastikan terdapat alergi
obat. Namun demikian, tidak ada pilihan obat yang lain. Desensitisasi sendiri dapat
dikerjakan pada reaksi IgE, pada reaksi yang tidak terjadi melalui IgE, desensitisasi cepat
pada anafilaksis dan desensitisasi lambat. Pada penderita yang pernah menunjukan reaksi
serupa anafilaksis (non-lgE), misalnya radiokontras, premedikasi atau terapi profilaksis atau
pra-terapi penting dilakukan sebelum pemberian obat. Premedikasi atau profilaksis dengan
pemberian antihistamin dan kortikosteroid saja atau dalam kombinasi dengan β-adrenergik
bertujuan menurunkan insidens dan reaksi beratmisalnya reaksi anafilaksis yang ditimbulkan
zat kontras. Baik tes dosing, desensitisasi, maupun premedikasi memiliki kebahayaan
menimbulkan reaksi alergi yang fatal, reaksi anafilaksis dan reaksi psikiatrik non-alergi. Oleh
karena itu, perlu diperhatikan aspek medikolegal dan informed consent dalam melakukan
prosedur ini.

ASUHAN KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan : Diare
Penyebab
Fisiologis
 Inflamasi gastrointestinal
 Iritasi gastrointestinal
 Proses infeksi
 Malabsorbsi
Psikologis
 Kecemasan
 Tingkat stres tinggi
Situasional
 Terpapar kontaminan
 Terpapar toksin
 Penyalahgunaan laksatif
 Penyalahgunaan zat
 Program pengobatan (Agen tiroid. Analgesik, pelunak feses, ferosulfat,
antasida, cimetidine dan antibiotik)
 Perubahan air dan makanan
 Bakteri pada air

OUTCOME
 Eliminasi fekal membaik (L.04033)
Setelah dilakukan intervensikeperawatan selama ........ makaeleminasi fekal membaik,
dengankriteria hasil :
1. kosistensi feses membaik
2. frekuensi defekasi membaik
3. peristaltik usus membaik
4. nyeri /kram abdomenmenurun

INTERVENSI KEPERAWATAN
1. MANAJEMEN DIARE (I.03101)
1. Observasi
 Identifikasi penyebab diare (mis. Inflamasi gastrointestinal, iritasi gastrointestinal,
proses infeksi, malabsorpsi, ansietas, stres, efek obat-obatan, pemberian botol susu)
 Identifikasi riwayat pemberian makanan
 Identifikasi gejala invaginasi (misal tangisan keras, kepucatan pada bayi)
 Monitor warna, volume, frekwensi, dan konsistensi tinja.
 Monitor tanda dan gejala hipovolemia (misal takikardi, nadi teraba lemah, tekanan
darah turun, mukosa mulut kering, CRT melambat, berat badan menurun)
 Monitor iritasi dan ulserasi kulit didaerah perineal
 Monitor jumlah pengeluaran diare
 Monitor keamanan penyiapan makanan
2. Terapeutik
 Berikan asupan cairan oral
 Pasang jalur intravena
 Berikan cairan intravena
 Ambil sampel darah untuk pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit
 Ambil sampel feses untuk kultur, jika perlu
3. Edukasi
 Anjurkan makanan porsi kecil dan sering secara bertahap
 Anjurkan menghindari makanan,  pembentuk gas, pedas, dan mengandung lactose
 Anjurkan melanjutkan pemberian ASI
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian obat antimotilitas
 Kolaborasi pemberian obat antispasmodic/ spasmolitik
 Kolaborasi pemberian obat pengeras feses.

2. PEMANTAUAN CAIRAN (I.03121)


1. Observasi
 Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
 Monitor frekuensi nafas
 Monitor tekanan darah
 Monitor berat badan
 Monitor waktu pengisian kapiler
 Monitor elastisitas atau turgor kulit
 Monitor jumlah, waktu dan berat jenis urine
 Monitor kadar albumin dan protein total
 Monitor hasil pemeriksaan serum (mis. Osmolaritas serum, hematocrit, natrium,
kalium, BUN)
 Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis. Frekuensi nadi meningkat, nadi teraba
lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun,
membrane mukosa kering, volume urine menurun, hematocrit meningkat, haus,
lemah, konsentrasi urine meningkat, berat badan menurun dalam waktu singkat)
 Identifikasi tanda-tanda hypervolemia 9mis. Dyspnea, edema perifer, edema
anasarka, JVP meningkat, CVP meningkat, refleks hepatojogular positif, berat
badan menurun dalam waktu singkat)
 Identifikasi factor resiko ketidakseimbangan cairan (mis. Prosedur pembedahan
mayor, trauma/perdarahan, luka bakar, apheresis, obstruksi intestinal, peradangan
pankreas, penyakit ginjal dan kelenjar, disfungsi intestinal)
2. Terapeutik
 Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
 Dokumentasi hasil pemantauan
3. Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 PENGKAJIAN
Tgl/ jam : Tgl MRS:
Tgl MRS: No. RM :
Ruangan : ICU Diagnosa medis:
Identitas :
Nama : Tn. J
Tanggal lahir :
Jenis kelamin :
Usia :
Alamat :
Sumber informasi : Rekam medis
Keluhan utama: -
Riwayat penyakit saat ini:
Riwayat kesehatan yang lalu:
 Penyakit yang pernah di derita :
 Riwayat operasi :
 Alergi:
 Riwayat kesehatan keluarga:

Observasi & Pemeriksaan Fisik (ROS: Revie of System)


Keadaan umum :
Kesadaran :
Tanda vital:

Breath (B1) Bentuk dada :


Pola nafas :
Jenis :
Suara nafas:
Sesak nafas :
Retraksi otot bantu nafas :
Alat bantu nafas :
Lain-lain:
Masalah Keperawatan :
Blood (B2) Irama jantung :
Nyeri dada :
Bunyi jantung :
CRT:
Akral :
Lain-lain :
Masalah Keperawatan:
Brain(B3) GCS :
Reflek patologis:
Pupil :
Sklera / konjungtiva:
Lain-lain:
Masalah keperawatan :
Bladder (B4) Kebersihan :
Urine:
Alat bantu :
Input:
Output:
IWL :
Lain-lain:
Masalah keperawatan :
Bowel (B5) Mukosa :
Tenggorokan:
Nutrisi :
Minum :
Abdomen :
Nyeri tekan:
Peristaltik :
Pembesaran hepar/ lien :
BAB :
Konsistensi/ warna :
Lain-lain :
Masalah keperawatan :
Muskulo Kemampuan pergerakan sendi :
skeletal Kekuatan otot :
(integumen ) Kulit :
Warna kulit :
Turgor kulit :
Edema :
Lain-lain :
Masalah keperawatan :
Endokrin Pembesaran tiroid :
Hiperglikemia/ hipoglikemia :
Luka ganggren :
lain-lain :
masalah keperawatan :
Psiko- sosio Ekspresi afek& emosi
spiritual Hubungan dengan keluarga :
Lain-lain:
Masalah keperawatan :
Laboratorium pemeriksaan Nilai normal Tanggal: Tanggal:
Terapi

2.2 ANALISA DATA


2.3 INTERVENSI KEPERAWATAN
2.4 IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
2.4 EVALUASI KEPERAWATAN

You might also like