You are on page 1of 5

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK KORBAN DALAM USAHA

MEMBELA DIRI ATAU PERLAWANAN PADA TINDAKAN KEJAHATAN SESUAI


DENGAN KUHP DAN KUHAP

Di susun oleh ;
Novi Puspita Dewi
031214881
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum secara umum memiliki sifat mengatur dan memaksa, yaitu mengatur
kehidupan masyarakat dengan menuangkan dalam peraturan-peraturan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah, kemudian peraturan itu dapat dipaksakan oleh setiap orang
yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan tersebut dengan memberikan sanksi
yang tepat. Adapun tujuan hukum itu sendiri yaitu memberi ketentraman kepada
masyarakat, memberi kepastian hukum dan perlindungan terhadap kepentingan
manusia agar kepentingan-kepentingan itu terlindungi, guna menghindari suatu tindak
kejahatan di masyarakat.
Kejahatan adalah suatu tindakan atau perbuatan yang sengaja dan melanggar
hukum pidana yang akan merugikan orang lain. Di indonesia masih banyak kasus-
kasus kejahatan yang sering terjadi, seperti halnya pencurian, pembunuhan,
penganiayaan dan lain sebagainya. Berbagai macam kejahatan terhadap tubuh dan
kejahatan terhadap nyawa biasanya disekenal dengan penganiayaan dan pembuuhan.
Tindakan penganianyaan menjadi salah satu fenomena yang sulit dihilangkan dari
kehidupan bermasyarakat. Penganiayaan itu sendiri yaitu perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atas luka pada tubuh orang lain. Tindak
pidana penganiayaan sendiri diatur dalam pasal 351 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP).
Berbagai tindak pengaiayaan yang sering terjadi seperti pemukulan, dan
kekerasan fisik seringkali mengakibatkan luka pada bagian tubuh atau anggota tubuh
korban, bahkan bisa membuat korban menjadi cacat fisik seumur hidup atau bahkan
kematian. Dalam beberapa kasus, tindak penganiayaan sering kali dilakukan orang
dalam keaadaan yang memaksa untuk melindungi dirinya dari acaman yang
dihadapinya. Namun dalam penyelesaian perkara perlindungan hukum terhadap hak-
hak korban dalam usaha membela diri dengan perlawanan dinilai sebagai kejahatan.
Korban sebagai pihak yang menderita akibat suatu tindak pidana, perlu mendapat
perlindungan hukum terhadap hak-haknya. Pengaturan hak-hak korban secara
sederhana diatur dalam KUHP dan KUHAP yang terbatas pada hak atas ganti kerugian,
namun seiring perkembangannya hak-hak korban menjadi lebih luas dan dapat
diberikan dalam setiap tahapan peradilan pidana, mulai dari tingkat penyidikan.
Namun dalam praktiknya korban sulit untuk mengakses haknya tersebut, hal
tersebut disebabkan banyak faktor misalya, kekurangan pengetahuan korban dalam
mengakses hak tersebut, ketakutan warga untuk berurusan dengan hukum karena
nantinya hasil yang didapat tidak seimbang dengan biaya yang telah dikeluarkan, serta
kurangnya aparat hukum yang memberitahukan akses hak tersebut seperti adanya
Lembaga Perlindungsn Saksi dan Korban (LPSK) untuk menangani ganti kerugian bagi
korban.
Sistem peradilan pidana sekarang ada tidak memikirkan bagaimana cara
pemulihan dampak dari kejahatan yang dialami, yang diderita korbannya. Mungkin ini
merupakan suatu aib untuk bangsa jika dalam setiap hari ada ribuan warga negara yang
menjadi korban dari suatu kejahatan dan terlanggar akan hak-hak asasinya yang
ditelantarkan, sementara mereka sibuk untuk memikirkan perlindungan hukum,
konstitusional, dan hak-hak asasi untuk orang yang telah melanggar hukum pidana,
meskipun dalam hal ini juga sangat diperlukan. Polisi dan jaksa yang sebagai bagian
sub-sistem pada peradilan pidana yang sebagai pintu gerbang dalam masuknya perkara
pidana ke pengadilan yang menunjukkan sikap sebagaimana yang kurang peduli
terhadap korban/pelopor. Negara, yang dalam hal ini polisi dan jaksa yang mempunyai
kewenangan dan peran yang berhak untuk dominan dan memonopoli reaksi terhadap
suatu pelanggaran hukum pidana adalah wakil yang sah bagi masyarakat dan
kepentingan publik, sesungguhnya telah mengambil alih bagaimana peran korban
sebagai pihak yang menderita karena suatu kejahatan.
Dalam hal ini peran negara tidak diikut sertakan untuk penegakan hukum yang
jelas mengenai hubungan hukum antara korban sebagai pihak yang menderita karena
kejahatan. Keadaan ini menjadi teori kausalitas conditio sine qua non teori dari Von
Buri ini telah meniadakan perbedaan antara pengertian syarat dengan pengertian
penyebab. Setiap faktor yang tidak mungkin bisa ditiadakan tanpa meniadakan
akibatnya itu sendiri, seharusnya ini dianggap sebagai salah satu penyebab dari akibat
yang bersangkutan. Menurut Buri, dalam rangkaian syarat yang turut menimbulkan
akibat, karena dari penghapusan satu syarat dari rangkaian yang menggoyahkan
rangkaian syarat yang secara keseluruhan sehingga dari akibat yang tidak terjadi.
Karena dalam kesetaraan kedudukan sehingga akibat yang tidak terjadi. Suatu tindakan
bisa dikatakan akan menimbulkan akibat tertentu, sepanjang dari akibat tidak bisa
dipikirkan terlepas dari tindakan tersebut. Karena itu, pada tindakan tersebut harus
conditio sine qua non untuk menemukan keberadaan pada akibat tertentu. Akan tetapi
pada syarat tersebut harus dipandang setara.
Dalam hal ini hubungan antara korban kejahatan dengan polisi yang digambarkan
sebagai suatu hubungan yang tidak langsung (indirect) yang tidak bisa menimbulkan
akibat hukum. Hal ini berbeda dengan hubungan hukum antara tersangka dengan
penasehat hukumnya (direct) yang murni sebagai suatu hubungan hukum antara kedua
subjek hukum yang menimbulkan akibat hukum. Peradilan pidana yang selama ini
lebih mementingkan dan mengutamakan kepentingan pelaku kejahatan (offender
centered) yang dilatarbelakangi dari pandangan jika sistem peradilan pidana yang
diselenggarakan untuk mengadili tersangka dan bukam untuk melayani kepentingan
korban kejahatan, karena :
“Crime is regarded as an offence against the state. The damage to the individual
victim is incidental and its redress is not longer regarded as a function of the criminal
justice process. The victim is told that if he want to recover his losses he should hire a
lawyer and sue in civil court. The criminal justice system is not for the community’s. Its
purpose are to deter crime, rehabilitate – criminals, punishment criminal, and do justice,
but not to restore victims to their wholeness or to vindicate them”.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait
dengan korban yang dijadikan tersangka, atas latar belakang tersebut penulis
mengambil judul “Perlindungan Hukum terhadap hak-hak korban dalam usaha
membela diri atau perlawanan kejahatan sesuai dengan KUHP atau KUHAP”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk pembelaan atau perlindungan hukum pada hak-hak korban dalam
usaha membela diri?
2. Apakah dalam setiap putusan telah mempertimbangkan adanya unsur-unsur
pembelaan diri atau daya paksa dari terdakwa (korban yang diputus tersangka)?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui bentuk pembelaan atau perlindungan hukum pada hak-hak korban dalam
usaha membela diri.
2. Mengetahui dalam setiap putusan telah mempertimbangkan adanya unsur-unsur
pembelaan diri atau daya paksa dari terdakwa (korban yang diputus tersangka).
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis, untuk mengetahui bentuk pembelaan atau perlindungan hukum pada
hak-hak korban dalam usaha membela diri.
2. Bagi Masyarakat, untuk mengetahui adanya bentuk pembelaan atau perlindungan
hukum pada hak-hak korban dalam usaha membela diri.
3. Bagi Pemerintah, untuk mengetahui pentingnya bentuk pembelaan atau perlindungan
hukum pada hak-hak korban dalam usaha membela diri.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Bentuk pembelaan atau perlindungan hukum pada hak-hak korban
Perlindungan korban yang dimaksud dalam hal ini adalah suatu perlindungan hukum yang
diberikan kepada korban dengan tetap mendudukan kepentingan korban sebagai salah satu
bagian mutlak yang harus dipertimbangkan dalam proses penyelesaian perkara pidana.
Perlindungan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 77 jo. Pasal 80 KUHAP. Undang-undang
memberikan hak kepada korban kejahatan untuk melakukan kontrol terhadap penyidik dan
penuntut umum, yaitu untuk mengajukan keberatan terhadap tindakan penghentian
penyidikan atau penuntutan dalam kapasitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan.
Atau dapat juga melakukan upaya pra-peradilan manakala suatu perkara dihentikan
penyedikan atau penuntutannya. Keduanya merupakan salah satu bentuk perlindungan
terhadap pihak korban karena dengan diberikannya hak kontrol ini, terdapat jaminan bahwa
proses perkara pidana tersebut dapat diselesaikan berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku.
Kedudukan korban dalam sistem hukum pada peradilan pidana ataupun dalam praktik
peradilan relatif yang kurang diperhatikan karena dalam ketentuan hukum yang ada di
Indonesia ini masih bertumpu pada perlindungan untuk pelaku/ tersangka (offender
orientied). Padahal, melihat dari pandangan kriminologis dan hukum pidana pada kejahatan
adalah konflik antar individu yang menimbulkan berbagai macam kerugian yang dialami oleh
korban, masyarakat dan pelanggar hukum sendiri yang dimana dari ketiga kelompok itu
untuk kepentingan korban dari kejahatan adalah bagian yang paling utama atas kejahatan
yang dimana menurut Andrew Ashworth “primary an office against the victim and only
secondary an offence against the wider community or state”.
Secara teoritis dan praktik dari sistem peradilan pidana yang ada di Indonesia dalam
kepentingan korban dari kejahatan yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) itu
sebagai bagian dari perlindungan terhadap masyarakat yang sesuai dengan teori kontrak
sosial (social contract argument) dan teori solidaritas sosial (social solidary argument).
Menurut padangan secara umum dalam teori ini dikenal yang dikenal ada dua model
perlindungan, yaitu : pertama, model hak-hak prosedural (the procedural rights model) yang
di Perancis bisa disebut dengan partie civile model (civil action system). Secara singkat dari
model ini yang menekankan dengan kemungkinan yang berperan aktif untuk korban dalam
proses peradilan pidana seperti membantu Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dilibatkan
untuk setiap tingkatan dalam pemeriksaan perkara, wajib yang didengar bagaimana
pendapatnya jika terpidana yang dilepaskan secara bersyarat, ataupun yang lainnya. Akan
tetapi, dengan adanya keterlibatan korban yang memiliki segi positif untuk penegakan
hukum, dan memiliki segi negatif karena partisipasi aktif dari korban dalam pelaksanaan
proses peradilan pidana bisa menyebabkan kepentingan pribadi yang terletak di atas
kepentingan umum. Kedua, model pelayanan (the service model) yang menekankan pada
pemberian ganti kerugian dalam bentuk kompensasi, restitusi dalam upaya pengambilan
keputusan untuk kondisi korban yang mengalami trauma, rasa takut dan tertekan akibat suatu
kejahatan. Apabila dibandingkan, ternyata baik model hak-hak prosedural maupun model
pelayanan masing-masing memiliki kelemahan. Dalam model hak-hak procedural ini bisa
menempatkan kepentingan umum yang di bawah kepentingan individual dari korban, di
samping suasana peradilan bebas yang dilandasi dengan asas praduga tidak bersalah
(presumption of innocence) bisa terganggu dari pendapat korban tentang pemidanaan yang
dijatuhkan karena didasarkan atas pemikiran yang secara emosional sebagai upaya dalam
mengadakan pembalasan.

You might also like