You are on page 1of 16

Referat demam berdarah dengue pada anak

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi virus dengue dapat terjadi tanpa disertai adanya gejala (asimtomatik), namun dapat
pula menyebabkan demam tidak terdiferensiasi (sindroma viral), demam dengue (DD),
ataupun demam berdarah berdarah dengue (DBD) termasuk sindroma syok dengue (SSD).
Infeksi yang terjadi oleh satu serotipe dengue dapat memberikan imunitas seumur hidup
terhadap serotipe tersebut, namun imunitas silang terhadap serotipe lainnya hanya
berlangsung dalam jangka yang singkat. Manifestasi klinis yang terjadi bergantung dari strain
virus dan faktor penjamu seperti usia, status imunitas, dll. 1

Demam berdarah dengue (DBD) lebih sering terjadi pada anak-anak usia di bawah 15 tahun
pada area hiperendemik, dan hal ini berkaitan dengan infeki dengue berulang. DBD memiliki
ciri berupa demam tinggi dengan onset akut dengan gejala dan tanda yang mirip dengan
gejala dan tanda demam dengue di fase awal.Pada DBD dapat dijumpai adanya kelainan
dalam perdarahan misalnya, uji tourniquet (rumple leed) positif, petekiae, lebam-lebam serta
perdarahan saluran cerna pada kasus yang lebih berat.Di akhir fase demam, terdapat ancaman
terjadinya syok hipovolemik (sindroma syok dengue) akibat adanya kebocoran plasma.1

Sejak 50 tahun terakhir, prevalensi dengue meningkat 30 kali lipat, menginfeksi sekitar 100
juta orang di seluruh dunia setiap tahun dan endemis di beberapa kawasan Asia, Amerika,
Pasifik Barat, Mediterania Timur, dan Afrika. World Health Organization (WHO)
melaporkan bahwa DBD merupakan salah satu penyebab utama perawatan anak di rumah
sakit di Asia, dengan 250.000-500.000 kasus setiap tahunnya dan tingkat mortalitas 1 – 5 %
pada pasien dengan syok. 2

Seperti telah dipahami bahwa tanda dan gejala infeksi dengue tidak khas, sehingga
menyulitkan penegakan diagnosis. Menurut para pakar, “Dengue isone disease entity with
different clinical presentations and often with unpredictableclinical evolution and outcome”.
2

Munculnya tanda-tanda peringatan (warning signs) seperti muntah persisten, nyeri abdomen,
letargi, gelisah, mudah marah, serta oliguria merupakan hal yang penting untuk segera
ditindaklanjuti dalam rangka mencegah syok. Gangguan hemostasis dan kebocoran plasma
merupakan proses patofosiologis yang utama pada pada DBD. Trombositopenia serta
peningkatan hematokrit/hemokonsentrasi merupakan gambaran yang selalu ditemui sebelum
turunnya demam/onset dari syok.DBD kebanyakan terjadi pada anak-anak yang mendapat
infeksi kedua dari virus dengue.Terdapat pula laporan kasus DBD yang terjadi pada infeksi
pertama oleh virus DENV-1 dan DENV-3 serta infeksi pada bayi.1

Secara umum, persentase kejadian DBD lebih tinggi pada anak-anak dibanding dewasa.
Perjalanan penyakit DBD pada dewasa sama dengan yang terjadi pada anak-anak. Namun,
beberapa studi menyebutkan bahwa kejadian kebocoran plasma yang berat lebih jarang
terjadi pada dewasa.1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi

Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah
suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Family Flaviviridae, dengan
genusnya adalah Flavivirus.Virus mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan
DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.Selama ini secara klinik mempunyai tingkatan
manifestasi yang berbeda tergantung dari serotipe virus dengue. Morbiditas penyakit
DBD menyebar di negara-negara tropis dan sub tropis. Disetiap negara penyakit DBD
mempunyai manifestasi klinik yang berbeda.3

2.2 Klasifikasi dan Derajat penykit

Panduan WHO 1997 merupakan panduan yang komprehensif dan sampai sekarang
tetap dipergunakan di semua Negara endemis dengue, termasuk di Indonesia.Namun
karena infeksi dengue telah menyebar ke berbagai negara, semakin banyak pihak yang
melaporkan sulitnya penggunaan klasifikasi WHO 1997.Untuk itu, WHO, WSPRO
dan SEARO office telah membuat klasifikasi dengue WHO 2009.Setelah klasifikasi
diagnosis dengue WHO 2009 disebarluaskan, maka beberapanegara di Asia Tenggara
mengadakan evaluasi kemungkinan penggunaannya.Ternyata klasifikasi WHO 2009
belum dapat diterima seluruhnya untuk menggantikan klasifikasi 1997, terutama
untuk kasus anak.Terdapat perbedaan mendasar pada kedua klasifikasi tersebut, yaitu
spektrum klinis infeksi dengue tidak dibedakan antara kelompok spektrum dengan
perembesan plasma (DBD, DSS) dan tanpa perembesan plasma (DD). Kedua, batasan
untuk dengue ±warning signs terlalu luas sehingga akan menyebabkan ove-diagnosis.
Namun, diakui bahwa perlu dibuat spektrum klinis terpisah dari DBD, yaitu
expandeddengue syndrome yang terdiri dari isolated organopathy dan unusual
manifestations.Berdasarkan hal tersebut, klasifikasi diagnosis dengue WHO 2011
disusun hampir sama dengan klasifikasi diagnosis WHO 1997, namun kelompok
infeksi dengue simtomatik dibagi menjadi undifferentiated fever, DD, DBD, dan
expanded dengue syndrome terdiri dari isolated organopathy dan unusual
manifestation. 2
Gambar 2.1 Klasifikasi diagnosis dengue menurut WHO 2011
Derajat Penyakit
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap derajat sudah
ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi)
 Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan ialah uji bendung.
 Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
 Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan
nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut,
kulit dingin dan lembap dan anak tampak gelisah.
 Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan
darah tidak terukur. 4
2.3 Etiologi

Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke
dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-
2, Den3 dan Den41, ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi,
khususnya nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictusyang terdapat hampir di seluruh
pelosokIndonesia. 5
2.4 Faktor resiko

Penelitian di Jepara dan Ujungpandang menunjukkan bahwa nyamuk Aedes spp.


berhubungan dengan tinggi rendahnya infeksi virus dengue di masyarakat; tetapi
infeksi tersebut tidak selalu menyebabkan DBD pada manusia karena masih
tergantungpada faktor lain seperti vector capacity, virulensi virus dengue, status
kekebalan host dan lain-lain. Vector capacity dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk
yang terpengaruh iklim mikro dan makro, frekuensi gigitan per nyamuk per hari,
lamanya siklus gonotropik, umur nyamuk dan lamanya inkubasi ekstrinsik virus
dengue serta pemilihan Hospes. Frekuensi nyamuk menggigit manusia, di antaranya
dipengaruhi oleh aktivitas manusia; orang yang diam (tidak bergerak), 3,3 kali akan
lebih banyak digigit nyamuk Ae. Aegypti dibandingkan dengan orang yang lebih aktif,
dengan demikian orang yang kurang aktif akan lebih besar risikonya untuk tertular
virus dengue. Selain itu, frekuensi nyamuk menggigit manusia juga dipengaruhi
keberadaan atau kepadatan manusia; sehingga diperkirakan nyamuk Ae.aegyptidi
rumah yang padat penghuninya, akan lebih tinggi frekuensi menggigitnya terhadap
manusia dibanding yang kurang padat. Kekebalan host terhadap infeksi dipengaruhi
oleh beberapa faktor, salah satunya adalah usia dan status gizi, usia lanjut akan
menurunkan respon imun dan penyerapan gizi. Status status gizi yang salah satunya
dipengaruhi oleh keseimbangan asupan dan penyerapan gizi, khu susnya zat gizi
makro yang berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh. Selain zat gizi makro,
disebutkan pula bahwa zat gizi mikro seperti besi dan seng mempengaruhi respon
kekebalan tubuh, apabila terjadi defisiensi salah satu zat gizi mikro, maka akan
merusak sistem imun. 5
Munculnya kejadian DBD, dikarenakan penyebab majemuk, artinya munculnya
kesakitan karena berbagai faktor yang saling berinteraksi, diantaranya agent (virus
dengue), host yang rentan serta lingkungan yang memungkinan tumbuh dan
berkembang biaknya nyamuk Aedes spp. Selain itu, juga dipengaruhi faktor
predisposisi diantaranya kepadatan dan mobilitas penduduk, kualitas perumahan, jarak
antar rumah, pendidikan, pekerjaan, sikap hidup, golongan umur, suku bangsa,
kerentanan terhadap penyakit, dan lainnya. 5
Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan yang mengakibatkan orang tidak mempunyai
kemampuan untuk menyediakan rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum dan
pembuangan sampah yang benar.5

2.5 Epidemiologi

Sejak 50 tahun terakhir, prevalensi dengue meningkat 30 kali lipat, menginfeksi


sekitar 100 juta orang di seluruh dunia setiap tahun dan endemis di beberapa kawasan
Asia, Amerika, Pasifik Barat, Mediterania Timur, dan Afrika. Demam berdarah
dengue (DBD) merupakanpenyakit yang banyak ditemukan disebagian besar wilayah
tropis dan subtropis,terutama asia tenggara, Amerika tengah,Amerika dan
Karibia.World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa DBD merupakan
salah satu penyebab utama perawatan anak di rumah sakit di Asia, dengan 250.000-
500.000 kasus setiap tahunnya dan tingkat mortalitas 1 – 5 % pada pasien dengan
syok.2,5
Di Indonesia tahun 1968-2008 angka kesakitan demam berdarah dengue terus
meningkat. Pada tahun 2008 didapatkan angka kesakitan 58,85/100.000 penduduk.
Angka kematian menurun dengan stabil dari 41% pada tahun 1968 menjadi kurang
dari 2% sejak tahun 2000, dan pada tahun 2008 angka kematian menurun menjadi
0,86%.2 Data dari Kementerian kesehatan menunjukkan bahwa pada tahun 2011
angka kesakitan DHF 22,9/ 100.000 penduduk dan angka kematian menurun menjadi
0.84 %.2
Penderita DBD yang tercatat selama ini, tertinggi adalah pada kelompok umur <15
tahun (95%) dan mengalami pergerseran dengan adanya peningkatan proporsi
penderita pada kelompok umur 15-44 tahun, sedangkan proporsi penderita DBD pada
kelompok umur >45 tahun sangat rendah seperti yang terjadi di Jawa Timur berkisar
3,64%.5
2.6 Patofisiologi

Perubahan komposisi cairan pada demam berdarah dengue (DBD)


Total cairan tubuh pada anak berusia 1 tahun sampai dewasa adalah sekitar 60% berat
badan (BB), namun pada bayi, persentase cairan tubuh berubah sesuai umur. Total
cairan tubuh terbagi ke dalam ruang intraselular (30-40% BB) dan ruang ekstraselular
(20-25% BB). Ruang ekstraselular terdiri dari ruang interstisial (15% BB) dan cairan
plasma intravaskular (5% BB).Rasio ruang interstisial dan plasma adalah 4:1. Jumlah
volume darah dengan kadar hematokrit 40% biasanya mencakup 8% cairan tubuh,
namun pada bayi lebih tinggi. 2
Gambar 2.2 Komposisi cairan tubuh berdasarkan umur

Pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas vaskular yang mengakibatkan kebocoran


cairan plasma ke interstisial. Volume darah yang bersirkulasi berkurang, terjadi
hemokonsentrasi, dan pada kasus berat akan terjadi syok hipovolemik. Setelah
beberapa hari (24-48 jam) peningkatan permeabilitas kembali normal secara spontan,
cairan yang bocor direabsorbsi dan pasien sembuh cepat. 2
Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibody
hemaglutinasi, antibodi fiksasi komplemen.Proses tersebut akanmenyebabkan
terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya gejala sistemik seperti
demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya. 5
2.7 Patogenesis

Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan tetap infektif sepanjang
hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat menggigit dan
menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus dengue akan menuju
organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limpaticus,
sumsum tulang serta paru-paru.5
Beberapa penelitian menunjukkan, sel monosit dan makrofag mempunyai peran pada
infeksi ini, dimulai dengan menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel
dengan bantuan organel sel dan membentuk komponen perantara dan komponen
struktur virus.Setelah komponen struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel.
Infeksi ini menimbulkan reaksi immunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut
tetapi tidak ada cross protective terhadap serotipe virus lainnya.5
Masa inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik) berkisar antara 3
sampai 14 hari sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata muncul pada hari
keempat sampai hari ketujuh, sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh
nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari. 5
Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi biologis yaitu
netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibodydependent cell-mediated
cytotoxity(ADCC) dan ADE. Berdasarkan perannya, terdiri dari antobodi netralisasi
atau neutralizing antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah
infeksi virus, dan antibody non netralisingserotype yang mempunyai peran reaktif
silang dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam pathogenesis DBD dan
DSS Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan DSS yang masih
kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan
antibodydependent enhancement (ADE). 5
Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder disebutkan, bila seseorang mendapatkan
infeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue, akan terjadi proses kekebalan
terhadap infeksi serotipe virus dengue tersebut untuk jangka waktu yang lama. Tetapi
jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe virus denguelainnya,
maka akan terjadi infeksi yang berat. Ini terjadi karena antibody heterologousyang
terbentuk pada infeksi primer, akanmembentuk kompleks dengan infeksi virus dengue
serotipe baru yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi bahkan cenderung
membentuk kompleks yang infeksius danbersifat oponisasi internalisasi, selanjutnya
akan teraktifasi dan memproduksi IL-1, IL-6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A)
danplatelet activating factor (PAF); akibatnya akan terjadi peningkatan
(enhancement) infeksi virus dengue.TNF alpha akan menyebabkan kebocoran dinding
pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan
kerusakan endothel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum
diketahui dengan jelas. 5
Pendapat lain menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan merangsang
komplemen yang farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat vasoaktif dan
prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syockhipolemik) dan
perdarahan. Anak di bawah usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus
dengue dan terjadi infeksi dari ibu ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non
neutralizing antibodies akaibat adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi
infeksi virus dengue pada anak tersebut, maka akan langsung terjadi proses enhancing
yang akan memacu makrofag mudah terinfeksi dan teraktifasi dan mengeluarkan IL-1,
IL-6 dan TNF alpha juga PAF.5
Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus
tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi
sebaliknya apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi virus, justru akan
menimbulkan penyakit yang berat. Kinetik immunoglobulinspesifik virus dengue di
dalam serum penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM, IgG1 dan
IgG3.Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang pathogenesis
DBD, di antaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan
serotype virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya
dapat ditemukan pada kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan
lainnya.5
Selanjutnya ada teori antigen-antibodi yang berdasarkan pada penderita atau kejadian
DBD terjadi penurunan aktivitas system komplemen yang ditandai penurunan
kadarC3, C4 dan C5. Disamping itu, pada 48-72% penderita DBD, terbentuk
kompleks imun antara IgG dengan virus dengue yang dapat menempel pada
trombosit, sel B dansel organ tubuh lainnya dan akanmempengaruhi aktivitas
komponen system imun yang lain. Selain itu ada teori moderator yang menyatakan
bahwa makrofag yang terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai mediator seperti
interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersama endotoksin
bertanggungjawab pada terjadinya sok septik, demam dan peningkatan permeabilitas
kapiler.5
Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam beberapa hari
dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan jaringan (tissue
destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian karena
infeksi virus; kematian yang terjadi lebih disebabkan oleh gangguan metabolik. 5
Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus dengue berkembang biak dalam sel
retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari.5
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari
ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah
60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena
itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada
infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi
sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua.5
Pada infeksi pertama terjadi antibodi yang memiliki aktivitas netralisasi yang
mengenali protein E dan monoklonal antibodi terhadap NS1, Pre M dan NS3 dari
virus penyebab infeksi akibatnya terjadi lisis selyang telah terinfeksi virus tersebut
melalui aktivitas netralisasi atau aktifasi komplemen. Akhirnya banyak virus
dilenyapkan dan penderita mengalami penyembuhan, selanjutnya terjadilah kekebalan
seumurhidup terhadap serotipe virus yang sama,tetapi apabila terjadi antibodi
nonnetralisasi yang memiliki sifat memacu replikasi virus, keadaan penderita akan
menjadi parah apabila epitop virus yang masuk tidak sesuai dengan antibodi yang
tersedia di hospest. Pada infeksi kedua yang dipicu oleh virus dengue dengan serotipe
yang berbeda, virus dengue berperan sebagai super antigen setelah difagosit oleh
monosit atau makrofag.Makrofag ini menampilkan antigen presenting cell(APC) yang
membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari mayor
histocompatibilitycomplex (MHC).5
Pada Banyak faktor, termasuk jumlah virus, virulensi, respons imun pejamu dan
predisposisi genetikdilaporkan terlibat dalam patogenesis DBD, namun seberapa jauh
faktor-faktor tersebutmempengaruhi fungsi endotel masih belum jelas. 2
Di dalam ruang ekstraselular, cairan plasma dan interstisial berada dalam keadaan
seimbang dan dipisahkan oleh dinding kapiler semipermeabel.Transport air dan
makromolekul melalui endotel mikrovaskular terjadi secara pasif dan bekerja
berdasarkan hukum Starling (yaitu terjadi keseimbangan antara tekanan hidrostatik
dan tekanan osmotik koloid di dalam mikrosirkulasi. Adanya kelebihan protein relatif
di dalam plasma dibanding cairan interstisial, sangat penting untuk mempertahankan
keseimbangan.Ukuran molekul, konfigurasi, dan muatan listrik (charge) berperan
penting dalam menentukan disposisi dan pergerakan makromolekul di dalam sistem
ektraselular. Banyak partikel kecil yang secara bebas melalui filter, sedangkan klirens
partikel molekul yang besar berkurang sesuai bertambah besar ukurannya dan molekul
yang memiliki radius ~42A hampir semuanya direstriksi di dalam plasma. Albumin
(radius molekulnya ~ 36A), sebagai protein utama yang bertanggung jawab terhadap
komposisi koloid plasma, memiliki muatan listrik negatif yang kuat dan melalui filter
lebih jarang dibanding protein netral dengan ukuran yang sama, seperti transferin. 2
Penelitian yang menilai proses meningkatnya permeabilitas pembuluh darah pada 48
anak dengan SSD, mengukurkadar plsama secara serial dan fractional urinary
clearance dari protein plasma yang diseleksi dengan berbagai ukuran dan muatan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pada fase kritis dimana terjadi peningkatan
permeabilitas vaskular maka konsentrasi plasma dari semua protein berkurang,
dengan fractional clearance berkurang.Protein berukuran kecil lebih banyak
terpengaruh dari pada molekul besar. Albumin, yang biasanya tidak ikut bocor karena
muatan negatif yang kuat, menunjukkan bahwa albumin ikut keluar ke ruang
ekstravaskular (pola clearance mirip dg transferin, yaitu molekul bermuatan netral
dengan ukuran yang sama). Hal ini mendukung terjadinya hipoalbuminemia dan
hipoproteinemia pada SSD. 2
permeabilitas mikrovaskular berubah berdasarkan umur,yaitu mikrovaslkular pada
anak lebih permeabel terhadap air dan plasma protein dibanding dewasa. Anak
memiliki luas permukaan mikrovaskular per unit volume otot tubuh yang lebih luas
dibanding dewasa, maka faktor ini mengakibatkan anak yang menderita DBD lebih
rentan mengalami syok hipovolemik. 2

Gambar 2.3 Alur perjalanan demam berdarah dengue

2.8 Diagnosis

Ciri khas DBD ditandai dengan demam tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali,
dan sering pula gangguan sirkulasi serta syok.Trombositopenia sedang hingga berat
bersamaan dengan hemokonsentrasi / peningkatan hematokrit merupakan temuan
laboratorium yang sering dan khas.1

A. Anamnesis

Perjalanan klinis DBD diawali dengan kenaikan suhu yang mendadak disertai
kemerahan pada wajah serta gejala lain yang khas pada demam dengue, seperti
anoreksia, muntah, sakit kepala, nyeri otot dan nyeri sendi. 1

Beberapa pasien DBD mengeluh sakit tenggorokan yang sejalan dengan


ditemukannya injeksi faringeal pada pemeriksaan.Rasa tidak nyaman di
epigastrium, nyeri pada area sub-kosta kanan, nyeri pada seluruh area
abdomen.Suhu biasanya tinggi dan berlanjut selama 2-7 hari sebelum kembali ke
suhu normal atau di bawah normal.Kadang-kadang suhu bisa mencapai 40 ° C,
dan kejang demam dapat pula terjadi.Pola demam bifasik dapat diamati.1

Epistaksis dan perdarahan gusi tidak begitu sering dijumpai.Perdarahan


gastrointestinal ringan kadang-kadang dapat dijumpai.Hematuria jarang terjadi.
B. Pemeriksaan fisik

Tes tourniquet positif (≥10 petekie / inci persegi), merupakan fenomena


perdarahan yang paling sering dan dapat dijumpai pada awal fase demam.Mudah
memar dan pendarahan di titik pungsi vena sering dijumpai pada banyak
kasus.Petekiae halus tersebar di ekstremitas, aksila, wajah serta palatum lunak
dapat dilihat selama fase awal demam.Ruam petechial konfluen ukuran kecil,
bulat dapat terlihat di area kulit yang normal pada fase pemulihan, seperti juga
dalam demam dengue.Ruam makulopapular atau rubelliformi dapat dijumpai di
awal atau di akhir perjalanan penyakit.1

Hati biasanya teraba di awal fase demam, bervariasi mulai dari 2-4 cm di bawah
margin kosta kanan.Ukuran hati tidak berkorelasi dengan keparahan penyakit,
tetapi hepatomegali merupakan tanda yang lebih sering muncul pada kasus syok.
Nyeri pada hepar dapat muncul namun jaundice tidak selalu dijumpai. Perlu
diketahui bahwa temuan hepatomegali sangat bergantung pada
pemeriksa.Splenomegali dapat terjadi pada pemeriksaan bayi di bawah dua belas
bulan.1

Fase kritis DBD, yaitu periode kebocoran plasma, dimulai saat transisi dari fase
febris ke fase afebris.Bukti kebocoran plasma, efusi pleura dan ascites dapat
ditemui, namun, sering tidak terdeteksi dengan pemeriksaan fisik terutama pada
fase awal kebocoran plasma atau jika kasusnya ringan. Peningkatan hematokrit,
misalnya 10% sampai 15% di atas baseline, adalah bukti paling awal. 1

Kebocoran plasma akan semakin terdeteksi sejalan dengan progresivitas penyakit


atau setelah terapi cairan. 1

C. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis DBD secara klinis didasarkan pada 1) demam 2-7 hari, 2) manifestasi
perdarahan seperti uji tourniquet positif, petekie, ekimosis, perdarahan dari
mukosa, saluran cerna, atau lokasi lain, 3) trombositopenia (jumlah trombosit <
100.000 / mm3), 4) bukti kebocoran plasma yang bermanifestasi sebagai
peningkatan kadar hematokrit > 20% dari baseline atau > 40%.6
Leukopenia didefinisikan sebagai jumlah leukosit <4000 mm3/l);
hemokonsentrasi dikonfirmasi oleh peningkatan kadar hematokrit > 20% dari nilai
awal atau > 40% atau peningkatan progresif secara berkala, dan trombositopenia
terjadi jika jumlah trombosit <100.000 mm3/l.6
Berdasarkan kriteria DBD WHO 2011, parameter hematologi utama untuk
membedakan DBD dan DD adalah kenaikan hematokrit 20% dan kadar trombosit
<100.000/μl. Peningkatan hematokrit menggambarkan kondisi
hemokonsentrasi.Kebocoran plasma melalui pembuluh darah yang rusak ke
ekstravaskular menyebabkan peningkatan persentase hematokrit akibat defisiensi
plasma darah yang berhubungan dengan viskositas darah.Trombositopenia hasil
dari reaksi imunologi dari DENV mengikat trombosit.Peristiwa ini meningkatkan
agregasi trombosit dan penghancuran trombosit melalui apoptosis. Kapasitas
proliferasi sel hematopoietik juga ditekan sebagai akibat dari infeksi DENV.7
Ditemukannya kompleks imun pada permukaan trombosit diduga sebagai
penyebab agregasi trombosit yang kemudian akan dihancurkan oleh sistem
retikuloendotelial, bila jumlah trombosit < 100.000 mm3, dimana fungsi trombosit
dalam hemostasis terganggu sehingga integritas vaskuler berkurang dan
menyebabkan kerusakan pembuluh darah.8
Peningkatan kadar hematokrit sangat berbahaya karena dapat menjadi indikasi
bahwa tubuh dalam keadaan tidak stabil. Hemokonsentrasi terjadi karena
peningkatan kadar sel darah dan karena kebocoran plasma yang akan
menyebabkan tubuh mengalami dehidrasi karena komponen plasma adalah 90%
air.8
Dengan pemeriksaan laboratorium lanjutan, serotipe virus dengue dari pasien yang
terinfeksi dapat dilakukan bahkan pada hari pertama demam. Sebagian besar
gejala klinis infeksi dengue berat hanya bermanifestasi pada stadium lanjut infeksi
dengue. Oleh karena itu, informasi tentang manifestasi dengue spesifik serotipe
atau genotipe dapat berfungsi sebagai marker pengganti awal untuk memprediksi
perkembangan penyakit.9
Biomarkerlain yang dapat diandalkan saat kritis adalah protein C-reaktif (CRP).
CRP adalah protein fase akut yang diproduksi oleh hepatosit, terutama di bawah
kendali IL-6 yang telah terbukti sebagai indikator prognostik inflamasi yang
sensitif. Pengukuran kadar CRP juga dapat membantu klinisi dalam mengambil
keputusan apakah pasien memerlukan ICU atau tidak.10
Ekstraksi RNA virus dengue
QIAamp Viral RNA Mini Kit (Qiagen) digunakan untuk melakukan ekstraksi
asam ribonukleat virus dengue (RNA) dari spesimen serum sesuai dengan
instruksi pabrik.RNA virus 50 l yang dielusi digunakan sebagai templat dalam uji
PCR.9
Serotipe dengan Fourplex Taqman Real-Time RT-PCR
Serotipe virus dengue dilakukan dalam platform deteksi RT-PCR Taqman Real-
Time empatpleks. Reaksi PCR disiapkan dalam campuran 12,5 l 2X RT (reverse
transcriptase)-PCR Mix (i-Script One Step RT-PCR kit, Biorad, USA), 0,5 l
masing-masing primer (DENV 1 dan DENV 3 primer: 50 M; DENV 2 dan DENV
4 primer: 25 M), 0,45 l masing-masing probe (10μM), 0,5 l RT Enzyme Mix, dan
1,2 l air bebas nuklease. 9
Amplifikasi dan sekuensing PCR spesifik serotipe
Gen E parsial virus dengue diamplifikasi sebelum diurutkan dengan menggunakan
empat set oligonukleotida serotipe spesifik. Semua reaksi amplifikasi dilakukan
dalam Thermal Cycler konvensional 96-sumur. PCR dilakukan pada 50oC selama
30 menit, 94oC selama 2 menit dan 45 siklus (94oC selama 15 detik, 50oC selama
30 detik dan 68oC selama 1 menit) diikuti dengan reaksi ekstensi pada 68oC
selama 5 menit. 25 l alikuot dari setiap reaksi PCR dianalisis pada 1,5% agarosa
dengan elektroforesis gel dan dilihat di bawah iluminasi UV. Amplikon yang
sesuai diekstraksi dari gel agarosa dan dimurnikan dengan Kit Ekstraksi Gel
(Qiagen, USA) sesuai dengan instruksi pabrik. Elusi akhir mengandung 30 l
amplikon PCR yang dimurnikan dimana 5 l dianalisa ulang pada gel agarosa 1,5%
untuk membuktikan keakuratan langkah pemurnian.9
Tidak hanya untuk CRP, albumin serum juga dapat menjadi penanda jangka
pendek dan jangka panjang yang penting dalam menentukan prognosis.Albumin
serum adalah protein fase akut negatif, sehingga tingkat hipoalbuminemia pada
pasien sakit kritis berkorelasi dengan intensitas respons inflamasi yang dipicu oleh
infeksi. Oleh karena itu, kadar CRP dan albumin serum harus berbanding terbalik
selama fase kritis. Penggunaan rasio CRP dan albumin akan memberikan variabel
yang mampu menggabungkan informasi yang diberikan oleh CRP dan albumin.
Oleh karena itu, dapat menjadi indeks yang berkorelasi positif dengan infeksi,
rasio yang lebih tinggi menunjukkan status inflamasi yang lebih tinggi. Rasio
CRP/albumin telah banyak diteliti pada kasus keganasan.10

You might also like