You are on page 1of 5

1.1.

Pendahuluan Farmasi Klinik


Farmasi Klinik mulai muncul pada tahun 1960-an di Amerika, dengan penekanan pada fungsi
farmasis yang bekerja langsung bersentuhan dengan pasien.

Saat itu Farmasi Klinik merupakan suatu disiplin ilmu dan profesi yang relatif baru, di mana
munculnya disiplin ini berawal dari ketidakpuasan atas norma praktek pelayanan kesehatan saat
itu dan adanya kebutuhan yang meningkat terhadap tenaga kesehatan profesional yang memiliki
pengetahuan komprehensif mengenai pengobatan.

Gerakan munculnya Farmasi Klinik di mulai dari University of Michigan dan University of
Kentucky pada tahun 1960-an (Miller, 1981).

Menurut Europe Science Clinical Pharmacy (ESCP), Farmasi Klinik merupakan pelayanan yang
diberikan oleh Apoteker di Rumah Sakit, apotek, perawatan di rumah, klinik dan di manapun,
dimana terjadi peresepan dan penggunaan obat.

Adapun tujuan secara menyeluruh aktivitas Farmasi Klinik adalah meningkatkan penggunaan
obat yang tepat dan rasional dan hal ini berarti:

1.      Memaksimalkan efek pengobatan yaitu penggunaan obat yang paling efektif untuk setiap
kondisi tertentu pasien.

2.      Meminimalkan resiko terjadinya adverse effect yaitu dengan cara memantau terapi dan
kepatuhan pasien terhadap terapi.

3.      Meminimalkan biaya pengobatan yang harus di keluarkan oleh pasien atau pemerintah.

Praktek pelayanan Farmasi Klinik di Indonesia relatif baru berkembang pada tahun 2000-an,
dengan dimulainya Apoteker yang belajar farmasi klinik di berbagai institusi di luar negeri.
Belum sepenuhnya penerimaan konsep farmasi klinik oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit
merupakan salah satu faktor lambatnya perkembangan pelayanan farmasi klinik di Indonesia.
Merupakan keganjilan jika apoteker yang semula berfungsi menyiapkan obat di Instalasi Farmasi
Rumah Sakit, kemudian ikut masuk ke bangsal perawatan dan memantau perkembangan
pengobatan pasien, apalagi jika turut memberikan rekomendasi pengobatan, seperti yang lazim
terjadi di negara maju.

Farmasis selama ini terkesan kurang meyakinkan untuk bisa memainkan peran dalam
pengobatan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh sejarah pendidikan farmasi yang
bersifat monovalen dengan muatan sains yang masih cukup besar (sebelum tahun 2001),
sementara pendidikan ke arah klinik masih sangat terbatas, sehingga menyebabkan farmasis
merasa gamang berbicara tentang penyakit dan pengobatan (Permenkes, 2014).

Menurut Permenkes No.58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang
berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis habis pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk
pelayanan farmasi klinik.

Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah,


dan menyelesaikan masalah terkait obat.

Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian, mengharuskan
adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi
paradigma baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan
Kefarmasian (pharmaceutical care) (Permenkes, 2014).

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian juga
dinyatakan bahwa dalam menjalankan praktek Kefarmasian pada fasilitas Pelayanan
Kefarmasian, Apoteker harus menerapkan Standar Pelayanan Kefarmasian yang diamanahkan
untuk diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.

Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan
kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi kepada pelayanan pasien.

Farmasi rumah sakit bertanggung jawab terhadap semua barang farmasi yang beredar di rumah
sakit tersebut. Tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan farmasi, mengharuskan
adanya perubahan pelayanan dari paradigma lama (drug oriented) ke paradigma baru (patient
oriented) dengan filosofi pharmaceutical care atau pelayanan kefarmasian (Depkes RI, 2004).

Peran farmasis dalam farmasi klinis antara lain mengkaji instruksi pengobatan atau resep pasien;
mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat dan alat
kesehatan; memantau efektifitas dan keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan;
memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pasien/keluarga; memberi konseling kepada
pasien/keluarga; melakukan pencampuran obat suntik; melakukan penyiapan nutrisi parenteral;
melakukan penanganan obat kanker; melakukan penentuan kadar obat dalam darah; melakukan
pencatatan setiap kegiatan dan melaporkan setiap kegiatan (Depkes RI, 2004).

Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap baik visite mandiri maupun bersama
tim dokter dan tenaga kesehatan lainnya.

Tujuannya adalah menilai rasionalitas penggunaan obat. Penilaian rasionalitas penggunaan obat
meliputi 4 T + 1 W yaitu tepat pasien, tepat obat, tepat indikasi, tepat dosis dan waspada efek
samping.

Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang
mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care).

Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai
komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien.
Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan
pengetahuan, ketrampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan
pasien.

Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah melaksanakan perubahan informasi, monitoring
penggunaan obat dan mengetahui tujuan akhirnya sesuai harapan dan terdokumentasi dengan
baik.

 Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan


(medication error) dalam proses pelayanan.

Medication error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam
penanganan tenaga kesehatan yang sebetulnya dapat dicegah.

Oleh sebab itu, apoteker dalam menjalankan praktik harus sesuai standar yang ada untuk
menghindari terjadinya hal tersebut.

Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan
terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa peresepan yang salah, informasi yang tidak lengkap
tentang obat, baik yang diberikan oleh dokter maupun apoteker, serta cara penggunaan obat yang
tidak benar oleh pasien dapat menyebabkan kerugian dan penderitaan bagi pasien yang juga
dapat mempengaruhi lingkungan sekitarnya.

Kerugian yang dialami pasien mungkin tidak akan tampak sampai efek samping yang berbahaya.
Kerugian tersebut seperti tidak tercapainya efek terapi yang diinginkan. Karena itu perlu
diberikan perhatian yang cukup besar untuk mengantisipasi dan atau mengatasi terjadinya
kesalahan peresepan.

Menurut Hartayu (2003) tingginya tingkat kesibukan dokter sehubungan dengan banyaknya
pasien (rata-rata 60 pasien per dokter) dapat menyebabkan kesalahan dalam penulisan resep obat.
Menurut WHO di Indonesia menyatakan tahun 2005 ditemukan bahwa 50 persen resep di
Puskesmas dan rumah sakit di Indonesia mengandung antibiotik.

Sedangkan survei nasional tahun 2009 menemukan bahwa antibiotik yang diresepkan ini untuk
penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus seperti diare akut dan selesma (flu), sebenarnya
yang tidak membutuhkan antibiotik untuk pengobatannya.

Menurut indikator Indonesia Sehat 2010 yang ditetapkan oleh pemerintah pusat rasio ideal antara
dokter umum dan pasien adalah 1 : 2.500. Banyak orang tak menyadari bahwa kebutuhan tenaga
medis sangat mendesak dan penting. Rasio yang peduli masih sangat kecil, tak lebih dari 15 %.
Padahal mereka yang bertugas sebagai tenaga medis, memegang peran kunci dalam menjaga
kualitas kesehatan secara umum. Pemerintah sejauh ini hanya bisa memaksimalkan tenaga yang
ada dan berharap rumah sakit atau jasa pelayanan kesehatan lainnya secara mandiri menyediakan
tenaga medis agar rasionya ideal.
Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang menunjang
pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal tersebut diperjelas dalam Keputusan Menteri Kesehatan
No.1197/MenKes/SK/X/2004 tentang Standar pelayanan rumah sakit, disebutkan bahwa
pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan
pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi
semua lapisan masyarakat.

Tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan farmasi, mengharuskan adanya perubahan
pelayanan dari paradigma lama drug oriented ke paradigma baru patient oriented dengan filosofi
pharmaceutical care (pelayanan kefarmasian).

Praktek pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk
mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan obat dan masalah yang berhubungan dengan
kesehatan.

1.2 Defenisi Farmasi Klinik

1.3 Cakupan Kegiatan dan Prinsip Pelaksanaan Pelayanan


Farmasi Klinik

You might also like