You are on page 1of 15

PAPER SOSIOLOGI

“KEKUASAAN, WEWENANG, DAN KEPEMIMPINAN”


Dosen Pengampu: Kurnia Zulhandayani Rizki, S. Hub. Int., MPM.

Disusun oleh:
Farouq (L1A021042)
Gesta Tri Anjani (L1A021045)
Gusti Bagus Nauval Adifa Suharta (L1A021046)
I Made Budi (L1A021048)
Ratu Shila Safitri (L1A021068)
Wida Suryani (L1A021072)
Zahratul Kamila (L1A021075)
Zikry Aulia Ghifary (L1A021077)
Tirza Yakadewa (L1A021079)

UNIVERSITAS MATARAM
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
2021
Daftar Isi

Halaman Judul
Daftar Isi
Bab 1 (Pendahuluan)
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
Bab 2 (Pembahasan)
2.1 Pengantar Kekuasaan, Wewenang, dan Kepemimpinan
2.2 Hakikat Kekuasaan dan Sumbernya
2.3 Unsur-Unsur Saluran Kekuasaan
2.4 Cara-Cara Mempertahankan Kekuasaan
2.5 Bentuk-Bentuk Lapisan Kekuasaan
2.6 Wewenang
2.7 Kepemimpinan
Kesimpulan
Lampiran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengantar Kekuasaan, Wewenang, dan Kepemimpinan

2.2 Hakikat Kekuasaan dan Sumbernya


Di dalam tiap-tiap hubungan yang berada pada individu maupun kelompok sosial selalu
memiliki kesimpulan mengenai kekuasaan dan wewenang. Kekuasaan sendiri biasanya
diartikan sebagai kemampuan yang bertujuan untuk dapat mempengaruhi pihak lain
berdasarkan kehendak yang dipegang dan ada pada mereka yang memegang kekuasaan.
Kekuasaan ada dan dapat dijalankan pada segala bidang kehidupan manusia. Kekuasaan juga
mencakup adanya kemampuan untuk memerintah agar yang mereka perintah patuh serta untuk
memberkan keputusan-keputusan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung yang
nantinya akan mempengaruhi tindakan dari pihak-pihak lainnya. Menurut Max Weber,
kekuasaan itu merupakan kesempatan bagi individu maupun kelompok untuk dapat
menyadarkan pihak-pihak lain akan keinginannya sendiri serta sekaligus melaksanakannya
terhadap tindakan-tindakan penolakan dari individu maupun kelompok-kelompok tertentu.
Kekuasaan memiliki berbagai jenis bentuk serta bermacam-macam sumber. Hak milik
kebendaan dan tingkatan adalah sumber dari kekuasaan. Birokrasi juga merupakan salah satu
dari sumber kekuasaan, di samping keahlian khusus dalam bidang ilmu-ilmu pengetahuan yang
tertentu maupun atas dasar peraturan-peraturan hukum yang tertentu. Sehingga, kekuasaan
dapat ditemukan dimana-mana, baik dalam hubungan sosial maupun dalam organisasi-
organisasi sosial. Namun pada umumnya kekuasaan yang tertinggi terdapat pada organisasi
yang disebut dengan “negara”.
Secara formal negara memiliki hak untuk dapat melaksanakan kekuasaannya yang
tertinggi. Jika diperlukan, mereka akan melakukan suatu paksaan agar tujuannya dapat tercapai.
Negara pula membagi-bagikan kekuasaan yang derajatnya lebih rendah. Hal itulah yang lalu
dinamakan dengan kedaulatan (sovereignity). Kedaulatan biasanya dilaksanakan oleh
sekelompok kecil masyarakat yang menamakan dirinya dengan sebutan the rulling class. Hal
ini adalah gejala umum yang berada dalam setiap masyarakat. Pada kenyatannya, di antara
orang-orang yang masuk ke dalam the rulling class ini pasti ada yang menjadi pemimpinnya,
walaupun jika dilihat pada hukum yang ada, dia bukanlah orang yang memiliki kekuasaan
tertinggi. Contohnya seperti negara-negara yang berbentuk kerajaan, sering terlihat pada
faktanya bahwa seorang perdana menteri memiliki kekuasaan yang lebih besar jika
dibandingkan dengan raja dalam menjalankan suatu kedaulatan negara.
Gejala lain yang tampak pula ialah perasaan tidak puas. Bagi mereka yang diperintah
memiliki pengaruh-pengaruh terhadap kebijakan yang dilakukan oleh the rulling class. Golong
yang memiliki kuasa tidak mungkin akan terus-terusan bertahan tanpa adanya dukungan dari
masyarakat. Maka dari itu, golongan tersebut akan terus-menerus berusaha untuk memperbaiki
dan membenarkan kekuasaannya terhadap masyarakat agar hal itu dapat diterima sebagai
kekuasaan yang resmi dan baik bagi masyarakat yang bersangkutan. Usaha-usaha dari golongan
yang memiliki kekuasaan seperti perkataan yang dijelaskan oleh Mosca, di dalam masyarakat-
masyarakat yang baru saja bebas dari penjajahan dan mendapatkan kemerdekaan pada
politiknya pasti akan mengalami kesulitan-kesulitan. Sebab utama dari kesalahan yang ada itu
biasanya terjadi karena adanya perbedaan pola pikiran antar masyarakat yang memilikin
kekuasaan tinggi, yang secara realtif maju dan dibandingkan pada masyarakat yang dikuasai
dimana pola pemikirannya masih tradisional dan pengetahuannya belum luas. Maka dari itu,
para golongan yang berkuasa haruslah berusaha untuk menanamkan kekuasaannya dengan jalan
menghubungkannya dengan kepercayaan dan perasaan-perasaan yang kuat di dalam masyarakat
bersangkutan, yang pada umumnya terwujud dalam norma dan nilai.
Sehingga dapat pula dikatakan bahwa sifat serta hakikat dari kekuasaan dapat terwujud
dalam hubungan simetris dan asimetris. Masing-masing hubungan terwujud dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga dapatlah diperoleh penggambaran seperti berikut:
a) Simetris
 Pertentangan antara mereka yang memiliki kesejajaran dalan kedudukan.
 Hubungan yang bersifat ambivalen.
 Hubungan sehari-hari.
 Hubungan persahatan.
b) Asimetris
 Hubungan sehari-hari.
 Pertentangan pada mereka yang memiliki ketidaksejajaran kedudukan.
 Tunduk pada seorang ahli.
 Tunduk pada pimpinan formal maupun informal.
 Mengikuti perintah.
 Peniruan.
 Popularitas.(N Dare, Jeanne. Manik SH., 2013)
Kekuasaan juga memiliki berbagai sumber-sumber yang digolongkan dalam beberapa
bidang, seperti berikut:
a) Militer, digunakan untuk pengendalian kekerasan

b) Ekonomi, digunakan untuk mengendalikan tanah, buruh, kekayaan material, produksi

c) Politik, digunakan untuk pengambilan keputusan

d) Hukum, digunakan untuk mempertahankan, mengubah, melancarkan interaksi

e) Tradisi, digunakan untuk sistem kepercayaan nilai-nilai

f) Ideologi, digunakan untuk Pandangan hidup

g) Diversionary power, digunakan untuk kepentingan rekreatif. (Sejarah, 2008)


2.3 Unsur-Unsur Saluran Kekuasaan
Soerjono Soekanto (1983) mengambarkan beberapa unsur kekuasaan yang dapat dijumpai
pada hubungan sosial antara manusia maupun antar kelompok, yaitu yang meliputi :
1. Rasa Takut
Rasa ketakutan seseorang terhadap orang lain menciptakan sebuah kepatuhan terhadap
segala kemauan dan tidnakan terhadap orang yang tadi ditakutii; ketakutan ini
bernuansa negatif, karena orang tersebut secara terpaksa tunduk kepada orang lain.
Untuk menghindari dari hal-hal yang dapat merugikan dirinya, seseorang atau
sekelompok orang akan patuh dan tunduk atau melakukan apa saja sesuai dengan
keinginan pihak yang ditakutinya. Disamping kepatuhan, terkadang secara disadari
atau tidak orang atau sekelompok orang itu meniru tindakan dan perbuatan orang-
orang yang ditakuti (disebut sebagai matched dependend behavior) . Ketakutan
adalah gejala umum yang terdapat dimana-mana, dan bila dilekatkan pada suatu pola
pemerintahan negara ketakutan ini biasanya dipergunakan sebaik mungkin dalam
masyarakat dengan pemerintahan otoriter.

2. Rasa Cinta
Unsur kekuasaan dengan perasaan cinta menimbulkan tindakan serta perbuatan yang
bernuansa positif, orang-orang dapat melakukan suatu tindakan sesuai dengan
keinginan yang berkuasa, tidak ada yang merasa dirugikan antara masing-masing.
Reaksi kedua belah pihak, yaitu antara kekuasaan dan yang dikuasai, bersifat positif,
dari keadaan ini maka suatu sistem kekuasaan dapat berjalan dengan baik dan
teratur.

3. Kepercayaan
Hasil hubungan langsung dari dua orang atau lebih dapat menimbulkan suatu
kepercayaan, satu pihak secara penuh percaya pada pihak lainnya, terkait hal ini
yaitu pemegang kekuasaan, terhadap segenap tindakan sesuai dengan peranan yang
dilakukannya; dengan kepercayaannya ini maka orang-orang akan bertindak sesuai
dengan apa yang dikehendaki dan diperintah oleh sang penguasa. Penting untuk
menumbuhkan unsur rasa kepercayaan agar mampu melanggengkan suatu bentuk
kekuasaan.

4. Pemujaan
Suatu saat orang lain mungki dapat menyangkal perasaan cinta atau system
kepercayaan; meskipun demikian dalam sistem pemujaan, maka seseorang,
sekelompok orang, atau bahkan hampir seluruh warga masyarakat akan selalu
menyatakan pembenaran atas segala tindakan dari penguasanya, ke dalam maupun
ke luar masyaraka1.

Kekuasaan itu dilaksanakan dengan melalui saluran-saluran atau media tertentu, yaitu
yang meliputi saluran :
a. Militer
Penguasa menggunakan paksaan dan kekuatan militer untuk menjalankan kekuasaan.
Tujuan utamanya adalah menciptakan ketakutan di masyarakat untuk tunduk pada
keinginan penguasa atau sekelompok orang yang dianggap sebagai pemegang
kekuasaan. Untuk tujuan ini, organisasi dan unit khusus sering dibentuk untuk
bertindak sebagai dinas rahasia.
b. Ekonomi
Penguasa mencoba mengatur kehidupan masyarakat menggunakan jalur ekonomi. Pola
kontrol ini memungkinkan pihak berwenang untuk menegakkan peraturan dan
menjatuhkan sanksi khusus kepada pemerintah. Ini bisa berbentuk monopoli,
kendali sektor utama masyarakat, atau kendali pekerja.
c. Politik
Melalui saluran politik, penguasa dan pemerintah menetapkan aturan dan peraturan
yang harus dipatuhi masyarakat dengan membujuk atau memaksa masyarakat untuk
mematuhi aturan dan peraturan yang ditetapkan oleh lembaga resmi yang
berwenang.
d. Tradisi
Saluran tradisional ini biasanya merupakan saluran yang paling disukai. Hal ini karena
adanya keselarasan antara adat-istiadat sosial dan nilai-nilai yang ditanamkan pada
tradisi sehingga pelaksanaan kekuatan dapat mengalir dengan lancar.
e. Ideologi
Para penguasa masyarakat biasanya memegang seperangkat doktrin atau doktrin yang
bertujuan untuk menjelaskan dan membenarkan pelaksanaan kekuasaan mereka. Hal
ini dilakukan agar kekuasaannya dapat berubah menjadi otoritas. Setiap penguasa

1
Moeis, D. S. (2008). Struktur Sosial : Kekuasaan, Wewenang dan Kepemimpinan. Buku Ajar Universitas
Pendidikan Indonesia, 1–27.
berusaha menjelaskan idealismenya semaksimal mungkin sehingga dilembagakan
(institutionalized) bahkan diinternalisasikan oleh warga masyarakat.

2.4 Cara-Cara Mempertahankan Kekuasaan

2.5 Bentuk-Bentuk Lapisan Kekuasaan

2.6 Wewenang
Menurut Ndraha ( 2003: 85) menyebutkan Wewenang atau kewenangan adalah padanan
kata authority, yaitu “the power of right delegated of given; the power judge, act or command”.
Wewenang adalah kekuasaan yang sah.
Menurut Robert Bierstetd melalui karangan An Analysis of social power dalam
Budiardjo (2008:64) mengatakan bahwa wewenang (authority) adalah instituonalize power
( kekuasaan yang dilembagakan ).
Sedangkan Harold D. Laswel dan Abraham Kaplan dalam Budiardjo (2008:64) bahwa
wewenang (authority) adalah kekuasaan formal (formal power), dimana dianggap bahwa yang
mempunyai wewenang berhak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan
serta mengharapkan kepatuhan terhadap peraturan-peraturanya.
Baik saya akan menjelaskan topic pembahasan selanjutnya yaitu tentang wewenang
Wewenang merupakan suatu hak yang telah di tetapkan dalam tata tertib social untuk
menetapkan kebijaksanaan, menentukan kaputusan-keputusan mengenai masalah-masalah
penting, dan untuk menyelesaikan pertentangan-pertentangan.
A. Wewenang kharismatik, tradisional, dan rasional
Menurut Max Weber ada tiga macam wewenang, yaitu yang pertama ada wewenang
tradisional yang berdasarkan kepercayaan diantara anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta
kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh tradisi itu adalah wajar dan patut dihormati. Lalu
selanjutnya ada Wewenang kharismatik yang berdasarkan kepercayaan anggota masyarakat pada
kesaktian dan kekuatan mistik atau religius seorang pemimpin. Yang terakhir ada wewenang
rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin yang ditekankan bukan orangnya akan
tetapi aturan-aturan yang mendasari tingkat lakunya. Di dalam membicarakan ketiga bentuk
wewenang tadi, Max Weber memperhatikan sifat dasar wewenang tersebut karena itulah yang
menentukan kedudukan penguasa yang mempunyai wewenang tersebut dalam Soekanto ( 2009 :
243 )
a. Wewenang Kharismatik
Wewenang kharismatis merupakan wewenang yang didasarkan pada kharisma, yaitu
suatu kemampuan khusus (wahyu, peluang) yang ada pada diri seseorang. Kemampuan khusus
tadi melekat pada diri seseorang karena anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Orang-orang
disekitarnya mengakui akan adanya kemampuan tersebut atas dasar kepercayaan dan pemujaan
karena mereka menganggap bahwa sumber kemampuan tersebut merupakan suatu yang berada
diatas kekuasaan dan kemampuan manusia umumnya dan Manfaat serta kegunaanya terbukti
bagi masyarakat. Wewenang Kharismatik tersebut akan dapat tetap bertahan selama dapat
dibuktikan keampuhanya bagi seluruh masyarakat. Wewenang khrismatik berwujud suatu
wewenang untuk diri seseorang itu sendiri dan dapat dilaksanakan terhadap golongan orang atau
bahkan bagian terbesar masyarakat. Jadi, dasar wewenang kharismatis bukanlah terletak pada
suatu peraturan (Hukum), tetapi bersumber pada diri pribadi individu tersebut. Wewenang
Kharisma akan semakin meningkat sesuai dengan kesanggupan individu yang bersangkutan
untuk membuktikan manfaat bagi masyrakat, dan pengikut-pengikutnya akan menikmatinya.
Wewenang kharismatis dapat berkurang bila ternyata individu yang memiliki wewenang tersebut
berbuat kesalahan-kesalahan yang merugikan masyarakat sehingga kepercayaan masyarakat
terhadapnya menjadi berkurang. Jadi, wewenang kharismatis tidak diatur oleh kaidah-kaidah,
baik yang tradisional maupun rasional
b. Wewenang Tradisional
Wewenang tradisional dapat dipunyai oleh seseorang maupun sekelompok orang,
dengan kata lain, wewenang tersebut dimiliki oleh orang-orang yang memiliki anggota
kelompok, yang sudah lama sekali mempunyai kekuasaan di dalam suatu masyarakat.
Wewenang ini dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang bukan karena mereka mempunyai
kemampuan-kemampuan khusus seperti wewenang kharismatis, tetapi karena sekelompok tadi
mempunyai kekuasaan dan wewenang yang telah melembaga dan bahkan menjiwai masyarakat.
Ciri-ciri utama wewenang tradisional menurut Soekanto (2009 : 245) adalah sebagai
berikut :
1. Adanya ketentuan-ketentuan tradisional yang mengikat penguasa yang mempunyai
wewenang, serta orang-orang lain dalam masyarakat.
2. Adanya wewenang yang lebih tinggi ketimbang kekududukan seseorang yang hadir secara
pribadi.
3. Selama tidak ada pertentangan dengan ketentuan-ketentuan tradisional, orang-orang dapat
bertindak secara bebas.
Pada masyarakat dimana penguasa mempunyai wewenang tradisional, tidak ada
pembatasan yang tegas antara wewenang dengan kemampuan-kemampuan pribadi seseorang.
Dalam hal ini sering kali hubungan kekeluargaan memegang peranan penting didalam
pelaksanaan wewenang. Kepercayaan serta kehormatan yang diberikan kepada mereka yang
mempunyai wewenang tradisional biasanya mempunyai fungsi memberikan ketenangan kepada
masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat selalu mengikatkan diri pada tradisi.
Wewenang tradisional dapat juga berkurang dan bahkan hilang antara lain karena
pemegang kekuasaan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat. Memang masyarakat
yang menyandarkan diri pada tradisi biasanya lambat untuk berkembang. Walaupun begitu, ia
tetap mengalami perubahan. Dengan demikian, wewenang yang menyandarkan diri pada tradisi
harus juga menyesuaikan diri dengan perubahan perubahan kemasyarakatan.
Yang terakhir macam wewenang menurut max weber yaitu ada
c. Wewenang Rasional (Legal)
Wewenang rasional atau legal adalah wewenang yang disandarkan pada sistem hukum
yang berlaku dalam masyarakat. Sistem hukum disini dipahamkan sebagai kaidah-kaidah yang
telah diakui serta ditaati masyarakat dan bahkan yang telah diperkuat oleh Negara. Pada
wewenang yang di dasarkan pada sistem hukum, harus dilihat juga apakah sistem hukumnya
berdasarkan pada tradisi, agama, atau faktor-faktor lainya. Kemudian haruslah ditelaah pada
hubungan dengan sistem kekuasaan serta di uji pula apakah sistem hukum tadi cocok atau tidak
dengan sistem kebudayaan masyarakat supaya kehidupan dapat berjalan dengan tenang dan
tenteram.
Didalam masyarakat yang demokratis sesuai dengan sistem hukumnya, orang yang
memegang kekuasaan diberi kedudukan menurut jangka waktu tertentu dan terbatas. Gunanya
adalah supaya orang-orang yang memegang kekuasaan tadi akan dapat menyelenggarakanya
sesuai dengan kepentingan masyarakat. Kemungkinan orang-orang tertentu secara terus menerus
memegang kekuasaan dalam jangka waktu yang lama seperti halnya pada masyarakat tradisional
kecil sekali, karena kemungkinan semacam itu akan menghambat keinginan dan
pemenuhanpemenuhan kebutuhan masyarakat.
Apabila ketiga bentuk wewenang tersebut ditelaah lebih mendalam, akan terlihat bahwa
ketiga-tiganya dapat dijumpai dalam masyarakat, walau mungkin hanya salah satu bentuk saja
yang menonjol. Di dalam suatu masyarakat yang hidup tenang dan stabil, umumnya wewenang
tradisional yang legal sangat dikedepankan. Dengan meluasnya sistem demokrasi, wewenang
tradisional yang diwujudkan dengan kekuasaan turun temurun kelihatanya akan semakin
berkurang.
Di dalam masyarakat yang mengalami perubahan-perubahan cepat mendalam dan
meluas, wewenang kharismatis mendapat kesempatan untuk tampil kemuka . Dalam keadaan
demikian tradisi tidak mendapat tempat penghargaan selayaknya dari masyarakat. Lagi pula,
kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman tegas bagi para
warga. Oleh karena itu golongan –golongan masyarakat yang bisa dipimpin dengan suka rela
mengikuti orang yang cakap.
Lebih lanjut, Max Weber dalam Soekanto (2009 : 246 ) mengemukakan pendapat
bahwa ada kecendrungan dari wewenang kharismatis ( yang berkurang kekuatanya bila keadaan
masyarakat berubah) untuk dijadikan kekuasaan tetap dengan mengabadikan kepentingan serta
cita-cita para pengikut pemimpin kharismatis tadi kedalam kehidupan bersama kelompok. Dan
kepentingan untuk mempererat hubungan satu dengan yang lainya. Masalah akan timbul bila
yang memiliki kharisma tidak ada lagi. Dalam hal ini ada beberapa cara yang dapat ditempuh
untuk mengatasi masalah tersebut menurut Soekanto ( 2009 : 246 ) yaitu :
1. Mencarai seseorang yang mampu untuk memenuhi ukuran –ukuran atau kriteria wewenang
kharismatis sebagaimana ditentukan oleh masyarakat.
2. Dengan mengadakan penyaringan atau seleksi.
3. Seseorang yang mempunyai wewenang kharismatis, menunjuk penggantinya serta mengakui
kekuasaanya, dimana masyarakat luas juga mengakuinya.
4. Penunjukan oleh pembantu – pembantu penguasa terdahulu yang dipercayai oleh masyarakat.
5. Menciptakan suatu sistem kepercayaan bahwa kharisma dapat diwariskan kepada keturunan
atau seseorang yang masih ada hubungan keluarga dengan orang yang mempunyai kharisma
tersebut.
6. Menciptakan sistem kepercayaan bahwa dengan upacara- upacara tradisional tertentu,
kharisma dapat dialihkan kepada orang lain.
Dari penjelasan di atas, bahwa proses perubahan wewenang kharismatis menjadi
kekuasaan dan wewenang yang tetap tidak mustahil akan menimbulkan pertikaian pertikaian.
Bagi penganut wewenang kharismatis, kadang-kadang tidaklah mudah untuk melupakan
kenyataan bahwa wewenang tersebut pernah melekat pada diri dan pribadinya. Akan tetapi, hal
ini bukanlah merupakan penghalang besar terutama pada masyarakat modern karena warga
masyarakat umumnya rasional dan menghendaki suatu landasan hukum yang kuat pada
wewenang yang berlaku didalam masyarakat
Lalu bentuk wewenang selanjutnya yaitu
B. Wewenang resmi dan tidak resmi
a. Wewenang Tidak Resmi
Di dalam setiap masyarakat akan dapat dijumpai aneka macam bentuk kelompok, mulai dari
yang jumlah anggota-anggotanya sedikit dan saling kenal-mengenal secara pribadi, sampai pada
kelompok-kelompok besar dimana hubungan antara anggotaanggotanya lebih banyak didasarkan
pada kepentingan-kepentingan yang rasional. Dalam kehidupan kelompok-kelompok tadi
seringkali timbul masalah-masalah mengenai derajat resminya suatu wewenang yang berlaku di
dalamnya. Seringkali wewenang yang berlaku dalam kelompok-kelompok kecil tersebut sebagai
wewenang yang tidak resmi karena sifatnya yang spontan, situasional dan didasarkan pada faktor
saling kenal mengenal, serta dimana wewenang tersebut tidak diterapkan secara sistematis.
Wewenang tidak resmi biasanya timbul dalam hubungan-hubungan antar pribadi yang sifatnya
situasional, dan sifatnya sangat ditentukan pihak-pihak yang saling berhubungan tersebut.2
b. Wewenang Resmi
Wewenang resmi sifatnya sistematis, dapat diperhitungkan dan rasionil, biasanya wewenang
ini dapat dijumpai pada kelompok-kelompok besar yang memerlukan atauran tata tertib yang
tegas dan bersifat tetap. Di dalam kelompok-kelompok ini, karena banyaknya anggota, biasanya
ditentukan dengan tegas hak-hak serta kewajiban-kewajiban para anggotanya, kedudukan serta
peranannya, siapa-siapa yang menetapkan kebijakan-kebijakan dan siapa pelaksana-
pelaksananya, dan seterusnya.

2
Manik, J. D. N. (2013). KEKUASAAN DAN KEPEMIMPINAN SEBAGAI PROSES SOSIAL DALAM
MASYARAKAT. Society, (1), 64–74. https://doi.org/10.33019/society.v1i1.43
Walaupun demikian, dalam kelompokkelompok besar dengan wewenang resmi tersebut,
bukan tidak mungkin timbul wewenang yang tidak resmi; tidak semuanya dalam kelompok
tersebut dijalankan atas dasar peraturanperaturan resmi yang sengaja dibentuk, bahkan demi
kelancaran suatu perusahaan besar misalnya, kadangkala prosesnya didasarkankan pada
kebiasaan-kebiasaan atau aturan-aturan yang tidak resmi. Sebaliknya Sekian dari saya untuk
lanjutan pembahasan tntang wewenang akan dilanjutkan oleh rekan saya, saya kembalikan
kepdada moderator

2.7 Kepemimpinan
Kesimpulan
Daftar Pustaka

N Dare, Jeanne. Manik SH., M. H. (2013). KEKUASAAN DAN KEPEMIMPINAN SEBAGAI


PROSES SOSIAL DALAM BERMASYARAKAT Jeanne Darc N. Manik SH., M.Hum .
Jurnal Society, 1(1), 64–75.

Sejarah, J. P. (2008). Bahan ajar struktur sosial :

Moeis, D. S. (2008). Struktur Sosial : Kekuasaan, Wewenang dan Kepemimpinan. Buku Ajar
Universitas Pendidikan Indonesia, 1–27.

Manik, J. D. (2013). KEKUASAAN DAN KEPEMIMPINAN SEBAGAI PROSES SOSIAL


DALAM MASYARAKAT. Society, 64-74.

You might also like