You are on page 1of 9

1

Surabaya Sebagai Kota Kreatif:


Perspektif Sosiologis

Mustain Mashud
(Departemen Sosiologi FISIP-UA)

Pengantar
Surabaya, sebagai Ibu kota Propinsi Jawa Timur adalah kota terbesar kedua di Indonesia
setelah Jakarta. Selama beberapa dekade, Surabaya dikenal sebagai kota Indarmadi (industri,
perdagangan, maritim, dan pendidikan) dan kemudian menjadi kota Gerbangkertasusiolo dimana
Surabaya membangun jaringan kemitraan dengan kota-kota hinterland, yakni Gresik, Bangkalan,
Mojokerto, Sidoarjo dan lamongan. Namun, sejak satu dekade terakhir, telah bergeser menjadi
kota perdagangan, industri-jasa, pendidikan dan maritim.

Sejak beberapa dekade terakhir, Surabaya telah berkembang secara dinamis dan begitu cepat
menjadi mega-urban, metropolitan city. Berbagai pembangunan, fisik dan non fisik telah
dilakukan sehingga menjadikan kota Surabaya tak ubahnya kota Jakarta yang crowded. Derap
dan percepatan pembangunan kota Surabaya demikian itu seolah menuntut warga kota ini
menjadi tertantang untuk semakin kreatif dan inovatif. Kreatifitas telah menjadi suatu
keniscayaan bagi warga Surabaya untuk eksis dan survive.

Makalah singkat ini akan mengungkapkan fenomena perkembangan kota Surabaya yang semakin
bergeser menjadi kota yang (mau tidak mau) semakin kreatif seiring dengan perkembangan
budaya metropolis

Sekilas Tentang Surabaya


Berdasarkan hasil kerja tim peneliti hari jadi Kota Surabaya, ditetapkan 31 Mei 1293 sebagai
hari berdirinya Kota Surabaya. Pada waktu itu, Pulau Jawa dikuasai oleh tentara Belanda,
Surabaya berfungsi sebagai basis militer. Pada pertengahan abad ke-19 dibangun sebuah
dermaga, sehingga Kota Surabaya berkembang menjadi pangkalan laut tentara kolonial Belanda.
Pelabuhan Tanjung Perak merupakan pelabuhan penting dan mempunyai kapasitas bongkar muat
sangat tinggi yang beroperasi 24 jam sehari.

Sejak itu Surabaya berkembang sebagai kota industri terutama industri logam dan kimia, yang
umumnya besar terletak di wilayah Tandes; sedangkan industri-industri lain berlokasi di
sepanjang jalan raya Surabaya-Gresik dan wilayah Rungkut, yakni Surbaya Industrial Estate
Rungkut (SIER).

Secara geografis, wilayah Kota Surabaya terdiri dari tiga wilayah yang masing-masing
mempunyai kondisi geologis sangat berlainan, yaitu (i) wilayah pantai (yang tersusun oleh
endapan pasir), (ii) wilayah rawa (yang hampir seluruhnya tersusun oleh lempung) dan (iii)
wilayah pedataran bergelombang (yang tersusun oleh batu pasir, batu lempung dan napal).
2

Wilayah 1 dan 2 berada di bagian Timur Surabaya sedang bagian 3 berada di wilayah Surabaya
barat yang sejak satu dasawarsa terakhir perkembangannya sungguh luar biasa.

Pertumbuhan penduduk kota Surabaya menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi dari tahun
ke tahun. Pada tahun 1971, jumlah penduduk kota Surabaya sebesar 1.549.212 orang, pada
tahun 1980 berjumlah 2.027.910 orang, tahun 1990 dan 2000 meningkat masing-masing menjadi
2.483.871 orang dan 2.588.816 orang (Surabaya dalang angka 1971, dan BPS 2001). Jadi, dalam
10 tahun (1980-1990) penduduk Kota Surabaya berjumlah sebesar 22,5 persen dan selama 10
tahun terakhir (1990-2000) penduduknya bertambah hanya sebesar 4,2 persen.

Jika dibandingkan dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk pada tiga periode yaitu 1971-
1980, 1980-1990, 1990-2000 terlihat adanya penurunan yaitu masing-masing sebesar 3,04 persen,
2,05 persen, dan 0,41 persen. Mengapa terjadi penurunan yang drastis pada dasa warsa terakhir?
Hal itu akan dibicarakan di belakang.

Demikian halnya dengan angka pertumbuhan ekonominya. Dari tahun ke tahun pun
menunjukkan peningkatan yang signifikan; misalnya pada tahun 2006, tumbuh 6,1%; 6,7%
(2007), 7,2% (2008), 7,6% (2009) dan 7,6% (2010) dan rata-rata pertumbuhan 6,78% sampai
dengan 2010. Besaran rata-rata angka pertumbuhan 5,62% kota Surabaya didukung oleh
peranan sektor-sektor yang ada didalamnya, yaitu (i) sektor pertanian sebesar 0,14%; (ii)
sektor pertambangan-penggalian sebesar 0,003%; (iii) sektor industri pengolahan, sebesar
32,20%; (iv) sektor listrik-gas-air minum sebesar 3,22%; (v) sektor konstruksi sebesar
10,03%; (vi) sektor perdagangan-hotel-restoran sebesar 35,58%; (vii) sektor pengangkutan-
komunikasi sebesar 8,96%; (viii) sektor keuangan- persewaan-jasa perusahaan sebesar 5,91%;
dan (ix) sektor jasa-jasa 3,97%. Bahwa peranan sektor Pajak Daerah sumbangan ke PAD,
kedepan, tampaknya akan semakin penting.

Kota Surabaya merupakan pusat perbelanjaan dan perdagangan dengan skala regional dan
internasional, sehingga perlu diadakan perluasan pembangunan sesuai dengan fungsi kota.
Fasilitas perdagangan dibangun di pusat perdagangan Kembang Jepun, fasilitas bongkar muat
barang dibangun di kawasan Tandes dan Wonokromo. Di kawasan barat akan menjadi kota baru
yang sangat modern dengan segala fasilitas internasionalnya. Di kawasan barat dan timur juga
sedang dan akan dibangun ring road untuk memperlancar arus lalu lintas orang dan barang; dst.
Semua pembangunan sarana dan prasarana tersebut dimaksudkan untuk lebih meningkatkan
eklim investasi dan pembangunan ekonomi.
3

Modal asing dan domestik banyak berdatangan untuk ditanamkan di Kota Surabaya.
Pembangunan menghasilkan pasaran kerja baik di sektor formal maupun informal. Sejalan
dengan meningkatnya pasaran kerja, arus mobilitas tenaga kerja mengalir ke Kota Surabaya.
Mereka tidak hanya datang dari daerah sekitarnya melainkan ada yang dating dari luar Jawa.
Sebagai akibat dari tingginya arus mobilitas tenaga kerja yang menuju Kota Surabaya, ditambah
lagi dengan adanya proses reklasifikasi, dari tahun 1961 hingga tahun 1980 laju pertumbuhan
penduduk meningkat 3,0 persen, pada tahun 1971-1980 meningkat menjadi 3,04 persen, dan
pada tahum 1980-1990 menurun menjadi 2,05 persen.

Fase III perkembangan pembangunan yaitu fase restrukturisasi tata ruang Kota Surabaya.
Perkembangan kota besar Surabaya sangat dinamis. Beberapa prasarana kota seperti : pusat-
pusat perbelanjaan, pelayanan, dan hotel-hotel bertaraf internasional perlu dibangun, sedangkan
perluasan wilayah tidak mungkin lagi untuk dilaksanakan. Untuk itu, perlu strategi baru yaitu
restrukturisasi tata ruang. Beberapa bangunan untuk kegiatan tertentu (misalnya rumah sakit)
dipindah ke daerah lain karena dinilai di wilayah tersebut akan didirikan pusat perbelanjaan.
Akibat dari pembangunanyang terus ditingkatkan, arus mobilitas penduduk ke arah Kota
Surabaya terus bertambah.

Dengan memperhatikan derap dan dinamika pembangunan seperti di atas, dan memperhatikan
luas lahan di Kota Surabaya sangat terbatas, maka kota Surabaya telah memperluas batas
wilayahnya. Misalnya, pada tahun 1963 diadakan perluasan batas wilayah Kota Surabaya ke arah
barat, selatan, dan timur. Pada tahun 1960, luas wilayah Kota Surabaya sebesar 67,20 km2, pada
tahun 1965 menjadi 224,58 km2, dan terakhir pada tahun 1990 diadakan perluasan lagi menjadi
290,443 km2, dan terakhir pada tahun 1995 diadakan perluasan lagi menjadi 326,370km2. Pada
tahun 2001 Kota Surabaya berkembang menjadi 28 kecamatan dan 5 pembantu kecamatan dalam
5 pembantu walikota. Secara administratif Kota Surabaya berbatasan dengan Selat Madura di
sebelah utara dan timur. Di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Gresik dan di bagian
selatan berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo. Dengan diadakan perluasan wilayah maka
terjadilah proses reklasifikasi, yaitu wilayah yang digabung yang dulu berstatus desa sekarang
berstatus kota (urban). Jadi, jumlah penduduk kota pun akhirnya bertambah juga karena proses
reklasifikasi tersebut.

Setelah Kota Surabaya mengalami perubahan tata ruang, atau terjadi proses restrukturisasi
pembangunan fisik dan fungsi, karena sudah tidak ada ruang lagi, terjadilah ”peluberan
pembanguna” ke arah luar batas Kota Surabaya. Peluberan pembangunan ini terutama ke arah
koridor Surabaya-Malang. Kabupaten Sidoarjo terletak sewilayah dengan koridor tersebut. Kini,
kita memasuki fase IV.

Di samping itu, pembangunan meluber ke arah Kabupaten Sidoarjo, juga ke arah kabupaten-
kabupaten pada pinggiran kota misalnya ke arah Kabupaten Gresik, Bangkalan, Mojokerto, dan
Lamongan. Akhirnya, wilayah tersebut yang Surabaya sebagai pusatnya menjadi daerah
metropolitan. Jadi, pembentukan dan pengembangan wilayah ”Gerbangkertosusila” merupakan
strategi yang keempat untuk mengatasi problem keterbatasan lahan di Kota Surabaya dalam
rangka pembangunan fisik dan fungsi prasarana kota ke arah kota modern dan internasional.
4

Proses metropolitanisasi didasarkan pada teori klasik dari perkembangan fisik suatu kota ke arah
luar seperti model zone konsentris dari Burgess, teori sektor dari Hoyt. Dari teori itu akan
terjadi ”luberan” pembangunan fisik dan fungsi kearah luar batas administratif kota yang oleh
McGee (1992) disebut dengan ”Extended Metropolitan Region” (EMR) yang kemudian populer
dengan ”Mega Urban Region” (MUR). Jadi, proses metropolitanisasi perkembangan suatu kota
menjadi wilayah metropolitan sebagai akibat dari tingginya laju pertumbuhan penduduk,
perubahan fisik, dan fungsi ke luar batas wilayah administrasi Kota Surabaya.

Pembangunan fisik dan fungsi ke luar batas adminsitrasi berarti bahwa di wilayah luar kota
terjadi juga proses restrukturisasi internal yang daerah persawahan beralih fungsi sebagai daerah
pemukiman, daerah industri dan lain-lain, seperti disebutkan oleh McGee (1992) dengan
proses ”kotadesasi”.

Pembangunan fisik kota ini cukup dahsyat meskipun acapkali tidak terkendali, tak jelas,
berkembang ke segala arah atau yang lazim di sebut urban sprawl1. Urban sprawl akan
meningkatkan tingkat urbanisasi suatu wilayah yang dapat berdampak pada peningkatan
produktifitas wilayah tersebut. Akan tetapi di sisi lain, urban sprawl juga menimbulkan dampak
negatif, seperti peningkatan mobilitas penduduk yang akhirnya berdampak pada peningkatan
polusi udara, inefisiensi ekonomi, hingga konflik kebijakan antar wilayah.

Terjadinya Urban sprawl selain disebabkan mahalnya tanah, juga banyaknya migran. Untuk
mendapatkan lahan yang murah maka penduduk bergerak ke arah pinggiran kota. Sebab,
banyak migran akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan ruang. Infrastruktur sebagai
prasarana jaringan dasar dari keberadaan suatu kota atau wilayah merupakan faktor penting
di dalam keberlangsungan dan pertumbuhan kota atau wilayah (Grigg, 1988 dalam
Kodoatie, 2003). Jika infrastruktur kurang disiapkan secara cukup dan dikelola dengan baik,
maka jaringan kota atau simpul kegiatan warga perkotaan akan terganggu. Apabila hal ini
terjadi, akan berdampak kepada terjadinya degradasi sistem ekonomi dan sosial masyarakat.
Menurut Mankiw (1992, infrastruktur dan SDM merupakan modal awal suatu daerah untuk
dapat maju dan berkembang.

Perkembangan Kota Surabaya


Kota Surabaya merupakan salah satu kota metropolitan terbesar kedua di indonesia setelah
jakarta. Jumlah penduduk di surabaya pada tahun 2015 diperkirakan akan mencapai 2.722.876
jiwa, sedangkan luas Kota Surabaya sendiri hanya sekitar 33.048 ha. Dengan demikian
kepadatan penduduk Kota Surabaya akan mencapai 83 jiwa/ha. Penggunaan lahan untuk
permukiman menghabiskan paling banyak lahan dari pada penggunaan lahan yang lain (RTRW
Surabaya, 2015).

Menurut R.Nugraha dkk, (1998) perubahan dan perkembangan suatu kota dipengaruhi oleh
beberapa hal berikut:

1
Urban sprawl adalah gejala ekspansi kegiatan-kegiatan perkotaan ke wilayah sekitarnya (Frumkin, 2002).
5

1) Perubahan politik: perubahan (kebijakan) politik berpengaruh terhadap keputusan


pengembangan kota Surabaya. Misalnya perubahan koridor jalan Tunjungan pada periode-
periode; pra 1870, 1870-1905,1906-1940, 1941-1945, 1945-1970, 1971-1997.
Pemberlakuan Undang-undang Gula & Agraria, pemberian peran yang lebih besar
kepada swasta, meningkatnya tata guna-lahan, pembongkaran Benteng kota Surabaya telah
mendorong dan menjadikan kota semakin berkembang luasannya (diawali ke arah selatan,
linier mengikuti alur Kalimas dan seterusnya ke segala arah).

2) Pertumbuhan fisik-spasial yang terkait dengan pembabakan sejarah. Misalnya, pada periode-
periode; pra 1870 (Surabaya mulai dirasakan memerlukan pemekaran), 1870-1905 (Surabaya
dimekarkan ke arah Tunjungan sehingga tumbuh menjadi koridor komersial), 1906-1940
(tumbuh dan stabilnya perekonomian kota mendorong terjadinya perubahan bangunan dan
tapak di koridor Tunjungan), 1941-1945 (masa pendudukan oleh tentara Jepang, tidak
terjadi banyak perubahan di koridor jalan Tunjungan), 1946-1970 (karena kondisi politik
& ekonomi, pada periode ini Tunjungan tidak banyak mengalami perubahan), 1971-1997
(booming minyak, Tunjungan berkembang pesat, karakter arsitektur asli bangunan
komersial banyak ditutupi oleh tata informasi aluminium).

Dari perkembangan tatabangunan, di koridor jalan Tunjungan yang diklasifikasikan


berdasar periode; 1906-1920, 1921-1940, 1940 (71) – 1997 menunjukkan adanya
pertumbuhan tipologi bangunan. Dari awalnya yang dimulai dengan; tipe bangunan-
tunggal karena tanah untuk kaveling yang masih luas, kemudian berkembang menjadi
bangunan-deret (street oriented building) karena pesatnya kegiatan komersial. Dan yang
akhirnya terlihat sekarang adalah perubahan yang mengarah kepada sistem-blok (mini
megastruktur).

Dari perkembangan fungsi bangunan, di koridor jalan Tunjungan yang diklasifikasikan


menurut periode-periode; 1906-1940, dekade 1940, dekade 1970 hingga sekarang,
dapat dilihat adanya perkembangan dari sekedar fungsi komersial (dagang) menjadi fungsi
perkantoran, hiburan dan perhotelan (jasa).

Dari perkembangan peraturan pemerintah daerah dan dampak yang ditimbulkannya,


menurut R.Nugaraha dkk, (1998), baik pada dekade 1970 an , dekade 1980 an serta
dekade 1990 an menunjukkan adanya penghapusan jalur trem-listrik, perubahan arus lalu-
lintas dari dua arah menjadi satu arah, penetapan Tunjungan sebagai salah satu CBD dari
7 CBD kota berdampak kepada ; gerbang koridor menjadi tinggal satu dari arah utara
saja, kegiatan komersial menjadi ramai hanya pada jam-jam pulang kantor saja,
intensitas komersial mulai merosot.

Koridor jalan Tunjungan adalah bagian kota yang telah menjadi saksi pertumbuhan
(perubahan) Surabaya, sejalan dengan bergulirnya waktu. Kawasan koridor jalan Tunjungan
dianggap istimewa sebagai warisan dan bukti sejarah masa lalu karena merupakan bagian dari
6

pusat kota Surabaya yang menjadi bagian perkembangan kota Surabaya dari arah Utara ke
Selatan, serta berfungsi sebagai kawasan komersial. Kawasan Tunjungan merupakan kawasan
unik yang memang sejak awal dirancang untuk kegiatan komersial sekaligus sebagai urat nadi
kota.

Koridor jalan Tunjungan menarik diidentifikasi sebagai koridor komersial bersejarah kota
Surabaya, terutama dilihat dari sudut; kwalitas sejarah, kwalitas estetika, kwalitas sosial, dan
kwalitas ilmu pengetahuan yang melekat padanya.

1) Kwalitas sejarah, koridor komersial jalan Tunjungan merupakan saksi dan bukti
perkembangan kota Surabaya. Di sini telah nama tercatat tokoh dan peristiwa yang
mempunyai signifikansi sejarah bertaraf nasional.
2) Kwalitas Estetika, karakter bangunan di koridor komersial jalan Tunjungan yang
terbentuk dari struktur koridor komersial sejak awal keberadaannya telah membentuk
karakter arsitektur yang unik dan khas, yang diwakili oleh tiga langgam arsitektur, yaitu;
Empire style , Arsitektur Indische, Arsitektur New Bouven. Ciri masing-masing langgam
yang dibentuk oleh elemen-elemen arsitekturnya mempunyai karakter yang khas dan unik
sehingga memberikan kwalitas signifikansi yang tinggi bagi kroridor ini secara keseluruhan.
3) Kwalitas Sosial. Koridor komersial jalan Tunjungan sejak awal keberadaannya hingga kini
telah berperan sebagai koridor sosial tempat orang meluangkan waktu, berbelanja atau
hanya sekedar lewat. Walaupun kwalitas tersebut mengalami fluktuasi sejalan dengan
perkembangan sejarah. Koridor ini sebagai bagian penting dari kota Surabaya tetap
memiliki signifikansi sosial yang tinggi (ingat lagu; Rek ayo rek, mlaku-mlaku nang
Tunjungan).
4) Kwalitas Ilmu Pengetahuan. Di koridor komersial jalan Tunjungan terdapat beberapa
simbol sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan. Ini mewarnai koridor ini
sebagai saksi sejarah perkembangan kota Surabaya dan Perjuangan Bangsa Indonesia, yang
sekaligus menjadikannya sebagai museum hidup yang dapat berfungsi sebagai ajang
pendidikan srekaligus kesenangan bagi masyarakat kota.

Kini koridor komersial jalan Tunjungan terkesan telah berkembang serta dikembangkan tanpa
didesain dan distrukturkan, dengan mencermati kawasan dan bangunan yang telah ada terlebih
dahulu secara komprehensif. Perlindungan, peningkatan dan kesinambungan dari perbaikan
koridor jalan Tunjungan yang merefleksikan elemen ; budaya kota, sosial, ekonomi, politik
dan sejarah arsitektur sebagai upaya agar segala sesuatu yang berkaitan dengan warisan budaya
tidak hilang serta dapat tertampilkan seperti apa adanya, tampak belum dilakukan secara
terpadu.

ANALISIS
Perkembangan kota Surabaya saat ini telah meluas baik ke arah selatan (Sidoarjo), utara
(Bangkalan), barat (Krian-Mojokerto) maupun ke timur (Lamongan). Dari keempat arah
perubahan tersebut, perkembangan yang ke wilayah baratlah yang terlihat paling cepat dan
ekspansif. Dari pengamatan selama 10 tahun terakhir, tingkat perkembangan Surabaya ke barat
7

memperkuat determinasi karakteristik kota Surabaya sebagai kota industri-jasa. Misalnya,


pertokoan, Mall, perbankan, Plaza, pertokoan, perumahan, sarana dan prasarana hiburan,
pariwisata, sarana dan prasarana pendidikan dan berbagai fasilitas ekonomi lainnya yang serba
modern.
Surabaya barat dijadikan sasaran pengembangan kota Surabaya karena beberapa alasan berikut:

1) Kawasan barat merupakan hulu yang lahannya sedang dalam proses pematangan tanah
merupakan Unit-unit Pengembangan Kota di kawasan barat: UP Benowo dan UP Darmo
Baru, yang kesemuanya merupakan Upstream dari sistem Gunungsari. UP Darmo Baru dan
bagian timur UP Tandes telah berkembang secara pesat.
2) Pembangunan di kawasan barat yang merupakan bukit-bukit tersebut merupakan
konsekuensi dari arahan perencanaan kota yang ditetapkan di masa lalu (tahun 70’an) dan
dampak yang terjadi adalah buruknya sistem drainase yang berakibat banjir di bagian hilirnya.
3) Surabaya Barat diorientasikan peruntukan lahannya sebagai kawasan industri, yaitu di
kawasan tambak garam dan sebagian tambak ikan oleh karena daya dukung tanahnya rendah.
Kawasan yang dimaksud terdiri dari Unit Pengembangan Kota : UP Industri Margo Mulyo,
UP Industri Tandes, dan UP Romokalisari.

Surabaya barat, kini telah menjadi “kota baru” yang paling pesat perkembangannya, baik dari
sisi pemukiman kelas menengah ke atas dengan fasilitas modern ala Singapura. Di wilayah ini,
juga muncul berbagai sarana-prasarana serta fasilitas modern dengan berbagai jenis, bentuk,
model pertokoan dan hiburan kelas atas, menengah sampai kelas bawah. Keragaman fasilitas
yang marak di wilayah ini selain menunjukkan keragaman kebutuhan masyarakat, sekaligus juga
menunjukkan tumbuh-suburnya kreatifitas warga masyarakat.

Secara teoritik, perkembagan masyarakat akan selalu ditandai oleh adanya differensiasi social,
termasuk di dalamnya differensiasi okupasi dan spesialisasi pekerjaan. Keragaman pekerjaan dan
aktifitas masyarakat selain mengindikasikan pluralitas masyarakat, sekaligus juga menunjukkan
meningkatnya kreatifitas masyarakat. Karena itu, suatu masyarakat yang tingkat perkembangan
social ekonominya meningkat (tinggi), probabilitas terjadinya kreatifitas dan inovasi-inovasi juga
akan tinggi.

Di bagian wilayah lain, Surabaya pusat, timur dan selatan secara umum memang terjadi
kecenderungan yang sama; tetapi tingkat dan besar percepatan kreatifitas dan inovasi social-
ekonominya tidak sebesar Surabaya barat yang memang dipruntukkan sebagai pusat
perkembangan Surabaya sebagaimana disebutkan di depan.

Para arsitek perkotaan sering menyatakan bahwa kota adalah arsitektur. Arsitektur bukan
sekedar gambar (wujud fisik-visual) dari kota yang bisa dilihat saja, melainkan juga sebagai
suatu konstruksi; yaitu konstruksi dari kota sepanjang waktu. Urban-artefak selalu berkaitan
dengan tempat, peristiwa dan wujud-kota.

Sebagaimana sifat warga perkotaan yang umumnya bersifat dinamis, maka kotapun juga
dinamis, sehingga suatu kota merupakan simbol perjalanan sejarah, teknologi dan jamannya.
Artinya, bentuk, model dan tata kota akan terus berubah sesuai dinamika social-ekonomi
masyarakatnya. Banyaknya ruang fisik dan sosial telah berubah baik kualitas maupun kuantitas
sesungguhnya merupakan konsekwensi logis adanya pertumbuhan (perkembangan dan
pengembangan) dari ruang fisik dan sosial.

Misalnya, Surabaya pernah memiliki beberapa artefak-urban yang spesifik, yakni jalan
Tunjungan. Secara historis, jalan Tunjungan didesain dan dikembangkan pada masa
pemerintahan Gemeente, sebagai "koridor komersial" Belanda dengan segala kelebihan dan
kekurangannya.

Dari catatan Klossterman, pada tahun 1940-an, Surabaya pernah memiliki setidaknya 550
bangunan-gedung yang spesifik. Tetapi lebih dari 300 bangunan-gedung itu kini telah digerus
jaman, entah diruntuhkan atau sekedar berganti wajah. The lost city, alias "yang telah hilang"
dari kota ini.
8

Hilang dan berubahnya bangunan-gedung; toko Aurora di pojok koridor jalan Tunjungan-
Tanjunganom, toko Sentral (eks. Hellendorn) di pojok jalan Tunjungan-Kenari, pasar
Tunjungan di depan hotel Mandarin Mojopahit (eks. hotel Oranye), toko Louvre di pojok jalan
Tunjungan-Praban dan lain-lain sebagai unsur- unsur pembentuk arsitektur-kota. Dalam
klasifikasi skala-jalan bisa disebut sebagai menurun kan kwalitas karakter serta kespesifikan,
yang merupakan identitas dan citra koridor komersial jalan Tunjungan sebagai salah satu artefak-
urban kota Surabaya.

Pada kasus koridor komersial jalan Tunjungan, yang pada awalnya sepanjang koridor jalan
tersebut adalah ruang-luar yang bisa disebut sebagai bersifat publik, karena tatanannya yang
mampu meransang terjadinya kegiatan shopping-street. Namun yang kini terjadi sepanjang
koridor komersial jalan Tunjungan telah berubah dan cenderung mengarah menjadi lost-space.

Penghapusan trem-listrik (kereta rel listrik/ KRL), perubahan arus lalu-lintas yang diikuti
dengan semakin meningkatnya intensitas lalu- lintas kendaraan bermotor, telah menjadikannya
tidak nyaman lagi untuk hidupnya kegiatan shopping-street oleh publik.

Karakter arsitektur asli bangunan bangunan komersial di koridor Tunjungan banyak yang
ditutupi oleh tata informasi aluminium. Fungsi komersial banyak yang telah berubah menjadi
fungsi perkantoran. Sementara penghilangan bangunan-gedung lama sebagai elemen-elemen
mayor pembentuk dan pelingkup yang signi- fikan, seperti toko; Aurora, Sentral, Pasar-
Tunjungan, Louvre dan lain-lainnya, menyusul kemudian Metro(?) atas nama tuntutan
kebutuhan peremajaan dan intervensi gerakan arsitektur modern yang menjurus ke arah
privatisasi ruang publik serta sentralisasi-isolasi kapling, adalah indikasi adanya degradasi pada
kualitas sejarah dan estetika. Yang semakin lengkap mengantar ke arah pudarnya unity
kelompok serta sequences yang spesifik dan karakteristik dari koridor Tunjungan
sebagai salah satu artefak-urban, khususnya dalam skala- jalan.

Seperti halnya juga dengan hilangnya "gapura-gapura temporer" yang pernah ada seperti;
Torii ala Jepang di jembatan jalan Yos Sudarso, gapura ala Cina di perbatasan Jembatan-
Merah dengan jalan Kembang Jepun sebagai pintu masuk ke arah kawasan Pecinan (Chinese-
Camp), dan juga gapura ke arah kawasan Nyamplungan (Arabisch-Camp) yang waktu itu
digunakan sebagai tanda tengah berlangsungnya event yang berkaitan kegiatan tradisional di
lokal kawasan yang bersangkutan.
Bagi generasi tua, Surabaya kini kemudian terkenal dengan dengan julukan the lost city,
karena menurunnya beberapa kwalitas artefak-urban yang dimilikinya. Dimana salah satunya
adalah koridor komersial jalan Tunjungan tersebut diatas.

Berbagai perubahan bentuk baik arsitektur maupun peruntukan lahan (land use) atau bangunan di
atas menunjukkan dinamika social ekonomi masyarakat Surabaya yang mau tidak mau harus me-
rekreasi diri dan lingkungannya terhadap perubahan yang dibuat baik oleh kebijakan Negara
maupun capital (pasar). Dalam konteks bergesernya koridor Tunjungan Plaza dan beberapa
tempat di atas, factor kebijakan Negara dan pasar patut diduga sebagai penyebabnya. Artinya,
kreatifitas masyarakat menjadi bersifat defensive dan kemudian reaktif. Jika demikian, maka
kreatifitas masyarakat Surabaya tersebut menjadi bersifat semu. Masyarakat tidak mempunyai
kebebasan berkreasi untuk mewarnai lingkungannya, termasuk lingkungan social ekonomi;
melainkan kreatifitas yang terpaksa harus dilakukan lebih sebagai reaksi yang tak terelakkan
karena perubahan lingkungan oleh kekuatan Negara dan pasar.

DAFTAR PUSTAKA

 Aldo Rossi, Architehture Of The City, Cambridge, Mass; Massachusetts Institut of Technolog Press,
USA. 1982.
9

 Broadbent, Emerging Concepts In Urban Space Design, London, Van Nostrad Reinhold
Company Inc, USA. 1990.

 Danisworo, Muhammad, Urban Landscape Sebagai Komponen Penentu Kualitas Linkungan


Kota , makalah, Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UK. Petra, Surabaya. 1989.

 Lynch, Kevin, Managing The Sense of Region, Cambrigde, Mass; The Massa- chusetts Institut
of Technolog Press, USA.1978.

 -------------------, Image Of The City, Cambrigde, Mass; The Massachusetts Institut of Technolog
Press, USA. 1979.

 -------------------, A Good City Form, Cambrigde, Mass; The Massachusetts Institut of Technolog
Press, USA. 1980. Pp 46.

 Nugraha, Robby, Koridor Komersial Bersejarah Tunjungan-Surabaya, Tugas AR. 568-


Pemugaran Bangunan dan Lingkungan, Program Magister Arsitektur, Program Pasca Sarjana ITB.
1998.

 Poerbantanoe, Benny. THE LOST-CITY DAN LOST-SPACE KARENA PERKEMBANGAN


PENGEMBANGAN TATA-RUANG KOTA

 Pramadihano, Dadet, dkk. PEMODELAN PERKEMBANGAN KAWASAN


PERMUKIMAN DI KOTA SURABAYA BERBASIS SIG, Politeknik Elektronika Negeri
Surabaya
 Sanoff, Henry, Visual Research Methods in Design, Van Nostrand Reinhold, New York. 1991.

 Trancik, Roger, Finding Lost Space Theories of Urban Design, New York Nostrad
Reinhold Company Inc., USA. 1986.

 Tange, Kenzo, Towards and Urban Design, Journal, Japan Arhitecture. 1971.

 Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/

 DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR VOL. 27, NO. 2, DESEMBER 1999: 31 - 39


 Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/

You might also like