You are on page 1of 15

Referat Tumbuh Kembang-Pediatri Sosial

Wira Febrisandi Irsan


WRF-1706099136
______________________________________________________________________________
Manfaat Art therapy Terhadap Pasien Anak Dengan Keganasan

Pendahuluan
Ilmu kesehatan anak mempelajari ilmu agar anak dapat mencapai potensi tumbuh kembang dengan
optimal. Namun dalam perjalanannya, proses tumbuh kembang anak dapat terganggu oleh
berbagai kondisi seperti penyakit bawaan, infeksi dan keganasan. Keganasan merupakan salah satu
penyebab kesakitan pada anak, dengan angka kejadian sebesar 11.000 kasus setiap tahunnya di
Indonesia, dan terdapat 650 kasus di Jakarta. Keganasan yang sering ditemukan pada anak berusia
kurang dari 15 tahun di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) adalah leukemia (30-40%),
tumor otak (10-15%), dan retinoblastoma (10-20%).1
Pasien anak dengan keganasan yang menjalani kemoterapi rutin di RSCM berusia balita
hingga remaja. Saat menjalani proses kemoterapi, mereka akan menjalani prosedur yang
menyakitkan seperti pemasangan akses intravena, prosedur intratekal, atau rasa tidak nyaman
akibat dari obat kemoterapi seperti muntah, diare dan mukositis. Kondisi tersebut dapat
menyebabkan anak dengan keganasan mengalami gangguan psikologis seperti kecemasan, hingga
depresi. Untuk melewati masa sulit tersebut, anak melakukan berbagai macam coping
management. Padovani2 mendapatkan coping management pasien anak yang menjalani
kemoterapi adalah menonton televisi, bermain, mendengarkan musik, dan membaca komik.2
Anak dengan keganasan memliki resiko meningkatnya screen time (waktu layar).
Penelitian yang yang dilakukan oleh Schindera3 terhadap 766 anak berusia 5-15 tahun menunjukan
bahwa penyintas keganasan pada anak memiliki waktu layar rerata selama 82 menit, dan hanya
68% yang dapat mengikuti rekomendasi dari American Association of Paediatric (AAP). Saat ini
belum ada data berapa lama waktu layar pada pasien anak dengan keganasan di RSCM, namun
dari kegiatan penapisan yang dilakukan oleh Divisi Tumbuh Kembang-Pediatri Sosial, umumnya
didapatkan waktu layar berkisar satu jam hingga lebih dari 4 jam dalam sehari, dengan aplikasi
yang sering dilihat adalah media sosial seperti Instagram©, TikTok© dan Youtube©. Rekomendasi
AAP untuk waktu layar bagi anak berusia lebih dari dua tahun adalah kurang dari 2 jam dalam

1
sehari, sedangkan anak berusia kurang dua tahun, tidak direkomendasikan untuk mendapatkan
waktu layar.3
Salah satu cara yang dapat dilakukan sebagai coping mechanism oleh pasien anak dengan
keganasan adalah dengan menjalani art therapy. Art therapy diharapkan dapat menggantikan
waktu layar serta membantu pasien anak dengan keganasan menyalurkan emosi, menjalin
komunikasi dengan keluarga atau tenaga kesahatan, dan mengisi waktu. 4

Dampak Keganasan Terhadap Tumbuh Kembang dan Psikososial Anak


Keganasan dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang pada anak. Prevalens anak dengan
leukemia mengalami malnutrisi saat terdiagnosis adalah 5-10%, neuroblastoma 50%, dan tumor
padat sebesar 30%. Penyebab malnutrisi pada populasi ini disebabkan oleh asupan nutrisi dan
kalori yang tidak cukup, inflamasi, dan peningkatan laju metabolisme. Malnutrisi yang terjadi juga
dapat menyebabkan gangguan kognitif, hingga resiko terjadinya stunting.5–7
Keganasan pada anak juga dapat menyebabkan gangguan perkembangan akibat malnutrisi
yang terjadi, atau akibat dari keganasan itu sendiri. Kondisi keganasan yang menyebabkan
gangguan perkembangan,seperti Retinoblastoma dapat mempengaruhi penglihatan sehingga
mengganggu perkembangan koordinasi visuomotor, tumor yang melibatkan daerah oral dapat
menyebabkan gangguan berbicara hingga gangguan koordinasi pada tumor yang melibatkan otak.8
Luaran perilaku yang terjadi sebagai akibat hambatan psikososial dan kognitif pada setiap tahap
perkembangan dapat dilihat pada tabel 1.9
Rasa tidak nyaman akibat dari keganasan atau proses pengobatan dapat menyebabkan
dampak psikologis berupa stres sebagai akibat dari tekanan emosional yang melewati kemampuan
adaptasi. Pasien anak dengan keganasan akan menjalani prosedur invasif seperti aspirasi sumsum
tulang dan aspirasi cairan lumbal, mengalami keterbatasan aktivitas, efek samping kemoterapi
seperti mual, muntah, kerontokan rambut dan diare, perubahan sensasi kecap, atau perubahan fisis
akibat tumor di wajah, hingga amputasi pada tumor yang mengenai daerah tulang seperti
osteosarkoma.10,11
Perubahan emosi yang dapat terjadi adalah mudah marah, sedih, takut dan terbayang akan
kematian. Perubahan perilaku seperti merasa malu, mengurung diri, dan kehilangan percaya diri
juga dapat terjadi. Penelitian potong lintang kasus kontrol menggunakan Mini-International
Neurophysyciatric Interview (M.I.N.I-Kids Test) yang dilakukan oleh Eldin12 di Mesir terhadap

2
40 anak dengan keganasanan ( 62.5% lelaki, 37,5% perempuan, dan usia rerata 10,6 +3,4
tahun).mendapatkan kejadian depresi pada 16 anak (40%), kecemasan pada 19 anak (47,5%),
serangan panik pada 13 (32,5%) anak, kecemasan terhadap perpisahan 23 anak (57,5%), kesulitan
berkonsentrasi 12 anak (30%), dan perilaku keras kepala 18 anak (45%). Kesan dari penelitian ini
terdapat anak dengan gangguan perilaku dan emosi secara bersamaan. Walaupun tidak dilakukan
analisis terhadap faktor resiko kondisi tersebut, rasa malu akibat penyakit, kesulitan kembali ke
sekolah karena tidak ada program pendidikan di rumah, kecemasan terhadap tindakan invasif,
kemoterapi atau radioterapi dan jenis kelamin perempuan berperan terhadap gangguan perilaku
dan emosi, dengan catatan bahwa penelitian tersebut hanya menyertakan 40 orang untuk kelompok
kasus dan 40 orang untuk kelompok kontrol yang merupakan saudara kandung.12
Maeda13 melakukan penelitian terhadap dengan jumlah sampel lebih besar, yaitu 190 anak
dengan kegananasan (hematologi, tumor otak dan tumor solid lainnya), dan mendapatkan kejadian
gangguan psikosomatik dan psikologis pada 56 anak (29%). Pada anak yang memiliki ganggua
psikologis dan psikosomatis, gejala yang terjadi adalah insomnia, kecemasan, mual psikogenik,
agitasi, delirium dan depresi sebesar, 38%, 20%, 16%, 11%, 9% dan 7% secara berurutan. Faktor
resiko terjadinya kondisi tersebut adalah berusia 12-18 tahun saat pertama kali admisi dengan OR
3,74 (IK95% 1,04-10), transplantasi sel punca hematopoietik dengan OR 5,21 (IK95% 1,77-15,35)
dan penggunaan opioid dengan OR 7,15 (IK95% 2,36-21,69).13
Harmoni keluarga pada anak dengan keganasan juga dapat mengalami gangguan. Perhatian
orang tua atau keluarga yang terpusat pada pasien, dapat menyebabkan kecemburuan pada saudara
kandung. Masalah ekonomi juga dapat terjadi ketika orang tua yang seharusnya mencari nafkah,
harus menemani anak berulang kali datang ke rumah sakit untuk rawat jalan atau menjalani rawat
inap. Hubungan dengan saudara kandung dapat lebih terganggu ketika pasien berjenis kelamin
perempuan, berusia muda, memiliki kecemasan, dan terdiagnosis dengan leukemia.14
Sebelumnya telah disebutkan bahwa terdapat resiko peningkatan waktu layar pada anak
dengan keganasan, dan media yang sering digunakan adalah menonton televisi atau penggunaan
media sosial. Media sosial yang sering digunakan berusia 13-17 tahun di Amerika pada tahun 2017
adalah 51% Facebook©, 85% Youtube©, 72% Instagram©, dan 69% snapchat©. Sedangkan
media sosial yang sering digunakan pada pasien anak dengan keganasan di RSCM melalui
program penapisan pada pasien rawat inap oleh Divisi Tumbuh Kembang-Pediatri Sosial adalah
Instagram©, Youtube© dan Tiktok©, walaupun data ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

3
Kondisi ini memberikan kekhawatiran karena terdapat hubungan depresi dan kecemasan dengan
lama serta frekuensi membuka situs media sosial pada anak remaja. 15
Anak dengan keganasan memerlukan dukungan keluarga, tenaga medis, dan coping
mechanism yang positif dalam menghadapi tekanan psikologis yang terjadi selama proses
pengobatan. Coping mechanism yang positif seperti berdoa, bergaul dengan teman dekat,
melakukan kegiatan sosial, dan melakukan kegiatan rekreasi yang produktif, dapat memberikan
efek positif terhadap psikososial anak dengan keganasan.16

Tabel 1 : gangguan perkembangan pada anak dengan keganasan


Hambatan Psikososial Hambatan Kognitif Luaran Perilaku
Bayi/Batita Kesulitan dalam proses Hambatan perkembangan Gangguan kemampuan
(0-2 tahun) makan reguler, rasa nyaman motorik dan sensori akibat nyeri menenangkan
dan pengasuhan dapat mual diri/ditenangkan, dan lebih
menyebabkan gangguan mudah marah atau tidak suka
perlekatan ketika disentuh
Prasekolah Gagal melakukan kendali Gangguan terhadap Temper tantrum, resistensi
(3-5 tahun) diri terhadap lingkungan: perkembangan imajinasi akbiat terhadap terapi.
toileting, makan sendiri, ketidaknyamanan pada proses
takut ketika berjalan, cemas, terapi, belum terlalu paham
frustrasi terhadap konteks kematian
Usia Gangguan bersekolah, olah Memiliki pemahaman konkret Menghindar pengobatan atau
Sekolah (6- raga dan aktivitas keluarga, terhadap terapi, dan konsep asupan nutrisi, dan merasa
11 tahun) menyebabkan rasa inferior kematian berbeda dan ketidak adilan
atau malu terhadap kondisinya

Remaja Isolasi dan Kesulitan Pemikiran abstrak dan konsep Penyangkalan terhadap
(12-18 menempatkan diri pada peer kematian semakin berkembang. penyakitnya, ketidakpatuhan
tahun) group, dapat menyebabkan Lebih kritis terhadap terapi dan dalam berobat. Sangat
rasa frustrasi dan rasa rencana terapi yang diberikan dipengaruhi oleh peer group
kesepian dibandingkan keluarga

Definisi dan Sejarah Art Therapy


Art therapy adalah profesi kesehatan mental yang dilakukan oleh art therapist. Art therapist
memfasilitasi klien/pasien menggunakan media, proses kreatif dan hasil karya seni untuk
mengeksplorasi perasaan, mendamaikan konflik emosi, menjaga kemawasan diri,
mengembangkan kemampuan sosial, memperbaiki orientasi realita, mengurangi kecemasan, dan
meningkatkan pengharagaan terhadap diri sendiri (self-esteem). Art therapy berdasar pada sebuah
pemikiran bahwa proses berkreasi dalam membuat suatu bentuk seni dapat membantu individu
untuk mengungkapkan perasaannya. Karya seni yang dihasilkan merupakan komunikasi nonverbal

4
mengenai perasaan dan pikirian individu. dalam menjalani proses pemulihan. Metode terapi ini
mendorong individu untuk mencapai pengertian atas makna hidup, kesadaran yang lebih tinggi,
perasaan lega dari emosi yang intens atau trauma. Setiap individu memiliki potensi untuk
berekspresi dengan kreatif, dan pada art therapy, proses lebih diutamakan dibandingkan hasil
akhir.17,18
Art therapy tercatat dikembangkan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1940 oleh
Margaret Naumburg dan Florecene Cane dengan menggunakan istilah ’dynamically oriented art
therapy’. Konsep terapi menggunakan seni dipengaruhi oleh pandangan Sigmund Freud mengenai
id (alam bawah sadar), ego (fungsi eksekutif) serta superego (alam sadar), dan pandangan Carl
Gustav Jung mengenai “image” yang dihasilkan dalam proses art therapy merupakan hasil dari
alam bawah sadar dan perlu ditelaah lebih lanjut (decipher). Art therapy memiliki dua konsep,
yaitu seni sebagai terapi (art as therapy) dan art pscychotherapy. Pada seni sebagai terapi, tujuan
utamanya adalah sublimasi melalui proses kreatif dalam menyelesaikan karya seni, sedangkan art
psychotherapy bertujuan mengungkap cara pandang individu terhadap seni yang dihasilkan, dan
bagaimana hubungan karya seni tersebut terhadap dirinya.19

Media pada Art Therapy


Media pada art therapy merupakan instrumen yang berfungsi sebagai penghubung antara
klien/pasien dengan terapis. Melalui instrumen ini, pasien dapat melakukan komunikasi ekpsresi
nonverbal secara artistik. Pertimbangan media yang digunakan dalam terapi perlu
mempertimbangkan aspek keamanan, emosi, kognitif, dan menyenangkan (playful). Pada
umumnya, terdapat dua jenis media yang digunakan yaitu fluid dan restriktif. Media fluid adalah
media yang bentuknya mudah dimanipulasi atau dibentuk seperti cat air, pastel dan tanah liat.
Karakter berbeda ditemukan pada media restriktif yang merupakan media dengan struktur kaku
dan sulit dimanipulasi perubahan bentuknya, seperti pensil warna.20
Penggunaan media fluid lebih dipilih karena lebih baik dalam membangkitkan emosi
perasaan dibandingkan meida restriktif. Penggunaan media fluid juga dapat membantu mencapai
alam bawah sadar yang dimediasi oleh hemisfer kanan otak, sehingga membantu integrasi memori
jangka panjang. Terdapat studi yang dilakukan untuk membandingkan penggunaan tanah liat,
pensil dan cat air, dengan penggunaan tanah liat mengurangi kecemasan dibandingkan cat air dan

5
pensil warna. Media lain yang dapat digunakan dalam art therapy adalah musik, menari, fotografi
dan digital.20–22

Medical Art Therapy Pada Pasien Anak dengan Keganasan


Ekpresi dalam bentuk seni telah banyak digunakan pada anak yang sedang menjalani proses
pengobatan. Seni pada anak merupakan proses kreatif serta ekpsresi diri, dan dapat membantu
anak dan keluarga dalam menghadapi stres, takut, marah, dan cemas yang terjadi selama proses
pengobatan, sejak penegakan diagnosis hingga perawatan akhir hayat (end life care).21 Medical
art therapy merupakan penggunaan ekpresi dalam bentuk seni dan gambar oleh individu yang
sakit, mengalami trauma pada tubuh dan sedang menjalani pengobatan invasif seperti pembedahan
atau kemoterapi. Berbagai profesi seperti play therapist, recreation therapist dan activity therapy
menganggap penggunaan ekpresi seni pada anak sakit memiliki peran penting dalam program
pengobatan seorang anak.23
Seorang anak yang mengalami keganasan dapat mengalami stres akibat pemisahan dari
orang tua saat perawatan, kehilangan kontrol dan kemandirian terhadap dirinya akibat penyakit
dan perawatan, serta rasa takut dan cemas terhadap nyeri atau bahaya akibat prosedur pengobatan
yang akan dilakukan. Terdapat beberapa faktor yang dapat membantu seorang anak dalam
menghadapi proses pengobatan, yaitu aktivitas dan informasi, kunjungan oleh orang tua,
kesempatan untuk melakukan aktivitas kreatif dan bermain selama perawatan.23
Art therapy dapat membantu anak dalam menyampaikan emosi, perasaan dan ekspresi
dalam bentuk nonverbal kepada lingkungan seperti orang tua, pengasuh dan tenaga medis yang
memberikan pengobatan. Seorang anak seringkali menjadi individu yang pasif dan kehilangan
kemandirian terhadap tubuhnya akibat terapi dan prosedur yang dilakukan, namun seorang anak
dapat merubah posisinya menjadi individu yang aktif dan memegang kendali terhadap dirinya
melalui proses pembuatan karya seni seperti menggunting, menyusun, melipat, dan menempel.
Anak dengan keganasanan dapat menjalani program Art therapy dengan pendampingan tenaga
profesional (art therapist) yang memahami teori, metodologi secara spesifik untuk membantu
seorang anak sakit melakukan komunikasi dan mengeluarkan perasaannya.23
Art therapy pada anak yang menjalani perawatan memberikan mereka kesempatan
kegiatan bermain seperti yang dijelaskan oleh Gibbons dan Boren (1985), yaitu recreational play
(proses spontan, tidak terstruktur), therapeutic play (diarahkan oleh tenaga profesional) dan play

6
therapy untuk mengurangi stres. Kegiatan ini dapat membantu mengalihkan mereka dari penyakit
dan disabilitas yang diderita, sehingga menjadi lebih tangguh dan mempermudah adaptasi terhadap
suasana rumah sakit, proses pengobatan. menghadapi penyakit dan memperbaiki kualitas hidup
sebagai individu. Art therapy juga dapat digunakan untuk melakukan evaluasi psikoanalisis
dengan menggunakan beberapa cara yang dapat dilihat di tabel 2.23

Tabel 2. Evaluasi pasien anak dengan keganasan menggunakan art therapy.11


No Penilaian/Evaluasi Tujuan
1 Bridge Drawing Membantu dalam memahami harapan yang
diinginkan, dan ancaman/bahaya yang dirasakan
2 Volcano Drawing Membantu dalam memahami bagaimana seorang
anak mengatasi kecemasannya
3 A person picking an apple from tree (PPAT) Meembantu dalam memahami bagaimana
kemampuan coping dan kemampuan berpikir
4 The Child Diagnostic Drawing Series Untuk mengetahui proses disosiatif yang terjadi
(CDDS) pada anak

Manfaat Art therapy pada anak dengan keganasan


Art therapy dapat memberikan manfaat dalam mengatasi masalah psikososial pada anak dengan
keganasan, dapat dilakukan dalam situasi personal (antara pasien dan terapis) atau secara
kelompok (dengan konsep open art studio), dan dengan dalam bentuk karya seni yang beragam,
seperti menggambar, melukis, membuat karya seni, fotografi, musik dan menari.21,24,22
Seorang anak dapat mengalami hambatan dalam berkomunikasi karena keterbatasan
kosakata, rasa malu atau rasa takut. Linder25 melakukan studi potong lintang manfaat kegiatan
menggambar dan bercerita terhadap anak berusia sekolah dengan keganasan. Kegiatan tersebut
dilakukan sebagai salah satu pendekatan untuk mengetahui keluhan dan perasannya mengenai
penyakit yang diderita, dengan meminta anak menjelaskan (memvalidasi) arti dari gambar yang
telah mereka buat. Salah satu contoh dapat dilihat pada gambar 1 dan gambar 2 mengenai
kesedihan dan rasa tidak nyaman selama proses pengobatan kemoterapi.25 Altay26 dkk juga
melakukan studi mengenai manfaat menggambar, menulis dan bercerita terhadap 30 anak dengan
keganasan. Studi tersebut menunjukan perbaikan skor kecemasan lebih baik setelah melakukan

7
intervensi menggambar, menulis dan bercerita mengenai apa yang dirasakan oleh subjek, dengan
skor sebelum intervensi 42,63 ± 4,38, dan setelah intervensi 38,63± 4,38 (Z = -4,57, p< 0.05).26
Musik terapi dengan kombinasi mindfullness-based stress reduction (MBSR) dapat
mengurangi kecemasan, rasa nyeri dan sulit tidur pada anak dengan dengan osteosarkoma. Liu10
melakukan studi terhadap 101 anak dan dewasa muda dengan osteosarkoma, berusia 10-21 tahun.
Total sampel setelah pemantauan dua bulan adalah 91 orang (46 orang kelompok kontrol dan 45
kelompok intervensi). Kelompok intervensi diberikan terapi kombinasi MBSR dan terapi musik
satu kali seminggu selama delapan minggu, dan diingatkan agar terus melakukan hasil terapi diluar
sesi. Hasil penelitian ini menunjukan perbaikan skor nyeri (t= 3,794, p= 0,000), kecemasan (t=
8,14, p= 0,000) dan kualitas tidur (t = 6.181, p = 0,000) pada kelompok intervensi dibandingkan
kelompok kontrol. Walaupun hasil studi tersebut menunujukan terapi musik dan MSBR
bermanfaat, perlu dipertimbangan bahwa jumlah sampel yang digunakan masih sedikit, hanya
pada populasi osteosarkoma, memasukan kelompok usia dewasa muda dan terapi musik yang
digunakan tidak sebagai terapi tunggal.27

Gambar 1 Gambar 2
Gambar 1. Gambar anak perempuan berusia 7 tahun yang sedih karena harus berpisah dari adiknya dan
kehilangan temannya yang meninggal karena kanker. Dia juga merasakan rasa tidak nyaman diperut,
nyeri akibat suntikan dan mengalami demam.25
Gambar 2. Gambar anak berusia 7 tahun yang merasa mual dan hanya ingin istirahat di kasur. Tampak
ada biskuit dan segelas jus yang berada dalam jangkauan tangan.25

8
Madden24 melakukan studi efek menjalani art therapy pada anak dengan keganasan yang
menjalani kemoterapi dari pelayanan rawat jalan. Hasil studi pada 18 orang anak dengan tumor
otak menunjukan hasil yang baik, dengan perbaikan rasa nyeri (P= 0,03) dan rasa mual saat
memikirkan terapi (P = 0.006), namun pada populasi ini tidak didapatkan perbedaan bermakna
untuk rasa mual terhadap makanan (P = 0.44). Hasil studi pada 32 anak dengan berbagai macam
keganasan (tumor otak, leukemia, limfoma, dll) menunjukan bahwa anak-anak tersebut terlihat
lebih bersemangat (P=0.05), Lebih bahagia (P<0.02), dan tidak terlalu gugup (P<0.02). orang tua
juga melaporkan bahwa anak yang menjalani art therapy lebih besemangat ketika akan menjalani
proses kemoterapi karena terasa lebih menyenangkan.24
Manfaat pembuatan terapi video musik dilakukan oleh Robb28 terhadap 57 subjek dari
kelompok intervensi dan 54 subjek dari kelompok kontrol (berusia 11-24 tahun) yang menjalani
hematopoeietic stem cell transplant (HSCT). Kelompok intervensi melakukan kegiatan bernyanyi,
brainstorming, menulis lirik, perekaman lagu, serta pembuatan video musik selama 3 minggu
dibimbing oleh ahli terapi musik, sedangkan kelompok kontrol mendengarkan audiobook yang
telah disediakan berdasarkan usia oleh ahli literatur untuk anak remaja dan dewasa muda. Evaluasi
yang dilakukan setelah enam sesi menunjukan courageus coping yang lebih baik pada kelompok
intervensi (Effect Size (ES)= 0.505; P= 0.03). Hasil evaluasi data setelah 100 hari pasca-intervensi
menunjukan hasil yang lebih baik pada aspek sosial integrasi (ES= 0,543; P= 0.028) dan
lingkungan keluarga (ES = 0.663; P = 0,008). Walaupun ada keterbatasan seperti hampir setengah
dari kelompok intervensi dan kontrol drop out pada evaluasi hari ke-100, jumlah sampel
underpower (57% dari target 80%), pemantauan yang hanya 100 hari, serta kemungkinan bias
karena ahli terapi musik juga melakukan terapi audiobook kepada kelompok kontrol, studi ini
mendapatkan bahwa dukungan keluarga, teman sebaya dan keimanan (faith/spirituality)
merupakan komponen penting dalam sistem pendukung untuk anak dengan keganasan dalam
menjalani proses HSCT.28
Abdullah29 melakukan studi acak terkontrol terhadap 60 anak dengan keganasan, dibagi
menjadi kelompok intervensi dan kontrol. Kelompok intervensi dibimbing oleh seniman dalam
bentuk kelompok untuk membuat kerajinan tangan seperti melukis dengan cat air, membuat
kerajinan dari kayu, atau kardus (cardbox) untuk membuat sesuatu yang mempresentasikan pikiran
dan perasaanya. Evaluasi kualitas kehidupan pada studi ini menggunakan kuesioner
KIDSCREEN-10 (parent version). Hasil studi tersebut menunjukan bahwa terdapat perbedaan

9
bermakna secara statistik pada kualitas hidup pada area aktivitas fisik, energi dan kebugaran
(P<0.001), perasaan depresi, emosi dan stres (P=0.003), kesempatan berpartisipasi dalam aktivitas
sosial, waktu senggang (P= 0,016), hubungan dengan teman sebaya (P= 0,047), dan kesehatan
secara keseluruhan (P<0,001).29
Aguilar4 melakukan telaah literatur sistematis dan mendapatkan tujuh artikel yang relevan
mengenai manfaat art therapy (menggambar) pada pasien dengan keganasan. Pada studi tersebut
terdapat tiga aspek utama yang mendapatkan manfaat dari art therapy dalam bentuk menggambar.
Aspek pertama adalah perbaikan dalam ekpresi perasaan dan komunikasi. Enam studi menunjukan
bahwa melalui menggambar, pasien dapat berbagi rasa cemas, nyeri, takut akan kematian. Contoh
hasil gambar yang ada adalah gambar pemakaman, bagian tubuh yang sakit, kegiatan yang
dilakukan. terdapat contoh gambar yang dilakukan oleh dua orang anak remaja berupa keluaga
yang menangis, dan ternyata menunjukan bahwa mereka merasa menjadi beban keluarga akibat
sakitnya.4
Aspek kedua yang dibahas pada studi ini adalah ketrampilan mengatasi dan distraksi
(coping skills/distraction) dari penyakit yang sedang diderita. Sebagai contoh adalah seorang anak
dengan hobi sebelum sakit adalah bermain bola, dapat menerima kondisi yang terjadi setelah
melakukan percakapan lebih dalam mengenai gambar permainan football. Selain itu, menggambar
dapat membantu seorang anak untuk mengurangi rasa sakit saat menjalani prosedur pungsi lumbal
atau aspirasi sumsum tulang. Mereka menggambarkan apa yang mereka rasakan dan takutkan, dan
membantu mereka mengalihkan atau memproyeksikan perasaan tersebut melalui gambar yang
mereka buat.30,31 Salah satu studi dalam telaah sistematis ini, dilakukan oleh Rollins,30 yang
menjelaskan cara pendekatan untuk menggunakan gambar sebagai alat komunikasi. Rollins
meminta pasien membuat tiga gambar, yaitu person picking apple from tree, gambar mengenai
pengalaman, pikiran, perasaan atau mimpi yang paling menakutkan, dan gambar mengenai lokasi
yang pasien ingin kunjungi atau berada. Aspek ketiga adalah terdapat perbaikan pada gejala
kecemasan, ketegangan, nyeri dan mual.4 Studi telaah sistematis ini hanya dapat melakukan
sintesis secara deskriptif karena umumnya berupa laporan secara deskripitf, serta metode dan hasil
akhir yang bervariasi dari setiap studi.4
Dalam telaah sistematis tersebut, terdapat studi desriptif yang dilakukan oleh Favara-
scacco32 terhadap 32 anak dengan leukemia dan diberikan art therapy. Walaupun tidak dapat
dilakukan analisis karena metode studi tidak sesuai untuk terapi, namun beberapa pendekatan yang

10
didiskusikan dapat diaplikasikan ketika menghadapi pasien anak dengan keganasanan. Tiga
komponen pendekatan yang dapat dilakukan adalah partisipasi aktif dengan meminta anak
menghitung mundur sebelum memulai tindakan, sehngga anak merasa lebih memegang kendali
terhadap tindakan. Komponen kedua adalah mengalihkan ketakutan atau kekhwatiran dengan
mengajak mereka untuk menceritakan pengalaman yang menyenangkan, dan komponen ketiga
adalah membacakan buku cerita. Studi ini juga menjelaskan metode art therapy yang digunakan
seperti menggambar bebas atau terstruktur dan dramatisasi. Untuk memulai percakapan dan
membangun rapport dapat dimulai dengan menanyakan nama, kesenangan, hobi atau arti yang
digemari. Favara-scacco mengevaluasi perilaku positif sebagai respon terhadap art therapy
seperti yang terlihat pada tabel 3.32

Tabel 3. Perilaku positif sebagai respon terhadap art therapy.32


No Penilaian/Evaluasi Perilaku
1 Kerjasama - Tidak menangis selama atau setelah pemberian anestesi lokal
- Tidak menolak diberikan anestesi lokal
- Kembali keruangan tanpa perlu dibantu (unaided)
2 Kepatuhan aktif - Mengikuti instruksi tarik napas dalam saat auskultasi
- Aktif dalam kegiatan art therapy untuk membebaskan imajinasi
(pengalaman menyenangkan, cerita dongeng)
- Mau menghitung mundur
- Mau berdialog dengan dokter
- Bersikap yang benar saat intervensi dilakukan
3 Kepatuhan pasif - Tidak menangis saat melihat orang berpakaian putih (baju dokter atau
perawat), dan mengizinkan dokter menyentuh dalam pemeriksaan
4 Toleransi - Tidak menangis lama setelah intervensi
kecemasan yang - Tidak rewel atau menolak saat dilakukan pemeriksaan fisis atau
baik sentuhan
- Terlibat dalam hubungan interpersonal setelah selesai intervensi
- Menunjukan minat untuk bermain/mendengar cerita setelah
intervensi
- Tidak menunjukan perubahan emosi yang ekstrim (contoh : tidak
menangis tiba-tiba saat melihat dokter, ketika sedang bercanda
dengan orang tua)

Integrasi art therapy dalam pelayanan kesehatan memerlukan peran dari seluruh komponen
yang terlibat, seperti spesialis anak, perawat, dan manajemen rumah sakit. Salah satu contoh
aplikasi yang diterapkan dalam rumah sakit dijelaskan dalam studi oleh Cowell.33 Program tersebut
merupakan bagian pelayanan kesehatan di Texas Children’s Cancer Center amd Hematology
Service yang melibatkan berbagai disiplin dan berbagai program dan bentuk seni. Hasil survei

11
yang dilakukan juga menunjukan bahwa keluarga, pasien tertarik dan merasakan manfaat dari
program art therapy tersebut.33

Kesimpulan
Anak yang menderita keganasanan akan mengalami permasalahan dalam berbagai aspek, seperti
psikologis, perilaku, perkembangan, pendidikan, ekonomi keluarga, stres pada orang tua hingga
saudara kandung yang kurang diperhatikan. Art therapy dapat dilakukan sebagai pendekatan
komunikasi hingga terapi oleh tenaga medis dan terapis dalam mengenali perasaan, pemikiran dan
rasa takut yang dialami oleh anak dengan keganasan, sehingga membantu mereka dalam
menghadapi kecemasan dan depresi.
Integerasi Art therapy dalam pelayanan kesehatan memerlukan keterlibatan spesialis anak,
perawat hingga manajemen agar dapat tercapai tujuan program tersebut media untuk menjalin
komunikasi antara keluarga dan saudara kandung dalam bentuk kegiatan yang bermakna dan
produktif, Perawatan anak dengan keganasan memerlukan dukungan keluarga teman sebaya,
keluarga, dan tim paliatif yang terdiri dari, divis hematologi-onkologi anak, paliatif, pediatri sosial,
perawat, psikiatri, psikolog, dan art therapist.

Key word : anak dengan keganasan, coping mechanism, art therapy, komunikasi depresi,
kecemasan.

12
Daftar Pustaka

1. Adinatha Y, Ariawati K. Gambaran karakteristik kanker anak di rsud sanglah, bali ,


indonesia periode 2008-2017. Intisari sains medis. 2020;11: 575–81.
2. Padovani FHP, Lopes GC, Perosa GB. Coping behavior of children undergoing
chemotherapy. Estud psicol. 2021;38: 1–12.
3. Schindera C, Diesch T, Weiss A, Hagenbuch N, Kuehni CE, Otth M, dkk. Physical activity
and screen time in children who survived cancer : a report from the swiss childhood cancer
survivor study for the swiss.pediatr blood cancer. 2019;28046: 1–10.
4. Aguilar BA. Journal of pediatric nursing the efficacy of art therapy in pediatric oncology
patients : an integrative literature review. j pediatr nurs. 2017;36: 173–8.
5. Reyes E, Li R, Huh W, Chandra J. Malnutrition and obesity in pediatric oncology patients
: causes, consequences and interventions. Pediatr blood cancer. 2013;59: 1160–7.
6. Morgan KE. The cognitive effects of chronic malnutrition and environment on working
memory and executive function in children the cognitive effects of chronic malnutrition and
environment on woring memory and executive function in children. Independent study
project (isp) collection. 2015;2053: 1-41.
7. Hioui MEL. The cognitive effects of malnutrition. Clin neuro neurological res int j. 2019;2:
1-6.
8. Willard VW, Qaddoumi I, Chen S, Zhang H, Brennan R, Rodriguez-galindo C, dkk.
Developmental and adaptive functioning in children with retinoblastoma : a longitudinal
investigation. J clin oncol. 2014;32: 2788-93.
9. Brand S, Wolfe J, Samsel C. The impact of cancer and its treatment on the growth and
development of the pediatric patient.mCurr pediatr rev. 2017;13: 24–33.
10. Liu Q, Mo L, Huang X, Yu L, Liu Y. Path analysis of the effects of social support, self-
efficacy, and coping style on psychological stress in children with malignant tumor during
treatment. Medicine. 2020;99: 43.
11. Tracy C. Art Therapy with pediatric cancer patients. Dalam: Malchiodi C, penyunting.
Medical art therapy with children. Edisi ke-1. London-philadelphia : Jessica kingsley
publisher; 1999. h. 75–91.
12. Eldin IS, Shahin OO, Makar WS, Eldin SHS. Psychological impact of various therapeutic
modalities in childhood malignancy.Asian pac j cancer care. 2019;4: 95–100.
13. Maeda K, Hasegawa D, Manabe A, Urayama KY, Tsujimoto S, Azami Y, dkk. Risk factors
for psychological and psychosomatic symptoms among children with malignancies. J
paediatr child health. 2017;54: 411–15.
14. Yan K, Zhang L, Bingen K, Flynn KE, Panepinto J. Impact of pediatric cancer on family
relationships. Cancer medicine. 2018;7: 1680-88.
15. Piteo EM, Ward K. Review : social networking sites and associations with depressive and
anxiety symptoms in children and adolescents : a systematic review. Child adolesc ment
healt. 2020;25: 201-16.
16. Castellano C, Pérez-campdepadrós M, Capdevila L, Toledo JS De. Surviving childhood
cancer : relationship between exercise and coping on quality of life. 2013;16: 1–8.
17. Saputra A, Kartasasmita S, Subroto U. Penerapan art therapy untuk mengurangi gejala
depresi pada narapidana. Jurnal muara ilmu sosial, humaniora dan seni. 2018;2: 181–7.
18. Art Therapy. American art therapy association. 2017.[Diakses pada 27 November 2021].

13
Diunduh dari : www.arttherapy.org
19. Rubin JA. Psychoanalityc art therapy. Dalam : Gussak DE, Rosal ML, penyunting. The
wiley handbook of art therapy. edisi ke-1. West sussex : wiley-blackwell.2016. h. 27–8.
20. Lisa D. Hinz. Media considerations in art therapy: directions. Dalam: Gussak DE, Rosal
ML, penyunting. The wiley handbook of art therapy. edisi ke-1. West sussex : wiley-
blackwell. 2016. h. 133–8.
21. Councill TD, Ramsey K. Art therapy as a psychosocial support in a child’s palliative care.
Art ther j am art ther assoc. 2019;36:40–5.
22. Tortora S. Children are born to dance ! pediatric medical dance / movement therapy : the
view from integrative pediatric oncology. Children. 2019;6:14.
23. Malchiodi C. Introduction to medical art therapy with children. Dalam : Malchiodi C,
penyunting. Medical art therapy with children. Edisi ke-1. London-philadelphia: Jessica
kingsley publisher; 1999. h. 13–30.
24. Madden JR, Mowry P, Gao D, Cullen PM, Foreman NK. Creative arts therapy improves
quality of life for pediatric brain tumor patients receiving outpatient chemotherapy. J pediatr
oncol nurs. 2010; 27: 133-45
25. Linder LA, Bratton H, Nguyen A, Parker K, Wawrzynski S. Symptoms and self-
management strategies identified by school-age children with cancer using draw-and-tell
interviews. Oncol nurs forum. 2019;45: 290–300.
26. Altay N, Kilicarslan-toruner E, Sari Ç. The effect of drawing and writing technique on the
anxiety level of children undergoing cancer treatment. Eur J Oncol Nurs. 2017;28:1–6.
27. Liu H, Gao X, Hou Y. Effects of mindfulness-based stress reduction combined with music
therapy on pain , anxiety , and sleep quality in patients with osteosarcoma. Braz j psychiatry.
2019;41: 540–5.
28. Robb SL, Burns DS, Stegenga KA, Haut PR, Monahan PO, Meza J, dkk. Randomized
clinical trial of therapeutic music video intervention for resilience outcomes in adolescents
/ young adults undergoing hematopoietic stem cell transplant a report from the children’s
oncology group. Cancer. 2014;120: 909–17.
29. Abdulah DM, Abdulla BM. SC. Effectiveness of group art therapy on quality of life in
paediatric patients with cancer: a randomized controlled trial. Complement ther med.
2018;41: 180-85.
30. Rollins JA. Tell me about it : drawing as a communication tool for children with cancer. J
pediatr oncol nurs. 2005;22: 203–21.
31. Woodgate RL, West CH, Tailor K. Existential anxiety and growth: an exploration of
computerized drawings and perspectives of children and adolescents with cancer. Cancer
nurs. 2014;37: 146-59.
32. Favara SC. Art therapy as perseus’s shield for children with cancer. Dalam: Waller D,
Sibbet C, penyunting. Art therapy and cancer care. Edisi ke-1. Glasgow: McGraw-hill;
2005. h. 119–25.
33. Cowell E, Herron C, Hockenberry M. Practice-based report the impact of an arts program
in a children’s cancer and hematology. Arts & health 2011;3: 173–81.

14
Lampiran 1. Program art therapy di Texas Children’s Cancer Center amd Hematology Service

15

You might also like