Professional Documents
Culture Documents
Suka Duka Sopir Truk
Suka Duka Sopir Truk
Saat ini pengemudi truk sudah jarang yang membawa kernet. Dampaknya, regenerasi
pengemudi truk terhambat alias tidak ada. Biasanya sopir belajar mengenudi ketika
dia menjadi kernet, menggantikan sopir yang lelah.
Namun karena saat ini ongkos muat kembali ke angka di tahun 2000an, sudah terlalu
minim, maka perolehan bagi hasil antara pengemudi dengan pengusaha truk pun
anjlok.
Dulu pengemudi truk identik dengan banyak istri atau pacar. Bahkan, dulu jika terjadi
persaingan antar pengemudi truk untuk mendapatkan wanita cantik di warung kopi,
mereka berani berlomba memikat si wanita dengan berlomba-lomba berikan hadiah.
Seperti memberi hadiah sepeda motor atau perhiasan adalah hal yang jamak bagi
para pengemudi truk. Saat ini, pengemudi truk jarang ada yang mau membawa kernet
agar masih ada sisa uang yang bisa dibawa pulang untuk keluarganya.
Saat ini sudah banyak pengemudi truk yang membawa istrinya untuk berperan
sebagai tukang masak, tukang cuci, tukang pijit dan tukang menghitung barang yang
dimuat dan dibongkar.
Sebelum tahun 2000 pengusaha truk pun berani mengambil kredit armada truk baru
jika memiliki sudah memiliki 1 truk lunas. Istilahnya 1 menggendong 1, akan tetapi
saat ini 3 armada truk lunas baru bisa menghidupi 1 armada truk kredit. Atau kredit
truk dibayar dengan dana hasil kerja lainnya.
Jika mendapat kontrak mengangkut barang senilai Rp 5 juta, dibagi dua, Rp 2,5 juta
buat sopir dan Rp 2,5 juta buat pemilik kendaraan. Namun prosentase tidak harus
fifty-fifty. Barang yang berpotensi dicuri, sopir (55 persen) dan pemilik truk (45
persen). Jika barang yang diangkut tergolong aman, pembagiannya sopir (45 persen)
dan pemilik truk (55 persen).
Kalau ketahuan overload, maka pengemudi membayar tilang sebesar Rp 500 ribu.
Tapi dia ingin muat overload agar ongkosnya tinggi dan secara otomatis bagi hasilnya
juga tinggi. Jadi sebenarnya tidak ada pengemudi truk yang terpaksa muat lebih. Itu
pilihan pengusaha dan pengemudi. Akibat tekanan ongkos murah dari pemilik
barang. Jika ongkos bagus dan muatan ringan, pengemudi dan pengusaha angkutan
sama-sama happy. Karena sebenarnya yang dikejar itu nilai ongkosnya. Itulah suka
duka pengemudi trul di Indonesia.
Kalau BBM irit, tidak harus lewat jalan tol (tarif tol mahal), tidak ada preman, tidak
ada petugas menjahili, tarif parkir murah, tidak ada retribusi, maka berbahagialah
sang pengemudi truk. Namun sebaliknya, jika penggunaan BBM boros, harus lewat
jalan tol, banyak preman, banyak petugas jahil, tarif parkir mahal dan banyak
retribusi, maka celakalah nasib pengemudi truk.
Pengemudi truk juga harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menutup barang
muatan. Selain itu, masih juga harus melakukan perawatan kendaraan, seperti
melakukan pengecekan tekanan angin dan bahkan melakukan bongkar dan pasang
ban sendiri. Mestinya, sistem bongkar muat barang di Indonesia sudah memikirkan
tanpa kernet.
Istirahat pengemudipun jadi tidak relaks benar. Pasalnya, jika tidurnya terlalu lelap,
ketika bangun bisa hilang semua barang bawaannya. Sering juga ketika ada sopir yang
tertidur terlalu lelap di rest area Jalan Tol, maka muatan truk akan digerayangi oleh
pencuri yang berada di situ atau barang muatannya dilubangi dan diambil oleh begal
truk. Sekarang malah yang lebih populer lagi adalah pencurian speedometer, accu,
dinamo dan ban cadangan.
Di dalam manifest barang ada jumlah muatan dan berat muatan. Soal tata cara muat
dan tonase mereka self assasment, namun jika dicurigai oleh Polisi, maka kendaraan
akan digiring ke lokasi penimbangan dan akan digeledah. Jika muatan tidak sesuai
dengan manifest itu baru persoalan.
Sebab di Eropa Timur Polisinya masih korup dan gampang disuap. Negara yang paling
ketat dan disegani oleh para sopir adalah Jerman, Swiss, Austria, Inggris dan negara-
negara Skandinavia. Overload masih sering terjadi juga di Eropa Barat, namun paling
banyak adalah pelanggaran tata cara muat.
Misalkan ikatan barang tidak benar. Tetapi sepanjang masih bisa diatasi atau
diperbaiki tidak akan ditilang, cuma diminta membetulkan saja. Jika terjadi kasus
tonase tidak sesuai dengan manifest, pengemudi truk diminta istirahat, lalu Polisi
menelpon pemilik barang agar mempertanggung jawabkan. Selama pengemudi
menunggu, argometer jalan terus. Karena Standard Trading Conditions berjalan
dengan baik. Waktu tunggu pengemudi truk akan diganti rugi oleh pemilik barang.
Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua
Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat