Transkultural Dalam Keperawatan (Kelompok 4 - S1 Keperawatan C)

You might also like

You are on page 1of 16

Transkultural dalam Keperawatan

Globalisasi dan Prespektif Transkultural

Disusun Oleh:

Nova Endah D.I. (18631662)

Agustin Sukmawati (18631677)

Ayu Puput Budi Kumala (18631674)

Elin Lusiana Pangestu (18631720)

Program Studi S1 Keperawatan

Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Ponorogo


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring berkembangnya zaman di era globalisasi saat ini, terjadi
peningkatan jumlah penduduk baik populasi maupun variasinya. Keadaan ini
memungkinkan adanya multikultural atau variasi kultur pada setiap wilayah.
Tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berkualitas
pun semakin tinggi. Hal ini menuntut setiap tenaga kesehatan profesional
termasuk perawat untuk mengetahui dan bertindak setepat mungkin dengan
prespektif global dan medis bagaimana merawat pasien dengan berbagai
macam latar belakang kultur atau budaya yang berbeda dari berbagai tempat
di dunia dengan memperhatikan namun tetap pada tujuan utama yaitu
memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas.
Penanganan pasien dengan latar belakang budaya disebut dengan
transkultural nursing. Tanskultural nursing adalah suatu daerah/wilayah
keilmuan budaya pada proses belajar dan praktek keperawatan yang fokusnya
memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai
asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan
dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan
khususnya budaya atau keutuhan budaya kepda manusia (Leininger, 2002).
Proses keperawatan transkultural diaplikasikan untuk mengurangi konflik
perbedaan budaya atau lintas budaya antara perawat sebagai profesional dan
pasien.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa,di era globalisasi saat ini
tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berkualitas
pun semakin tinggi. Hal ini menuntut setiap tenaga kesehatan profesional
termasuk perawat untuk mengetahui dan bertindak setepat mungkin dengan
prespektif global dan medis bagaimana merawat pasien dengan berbagai
macam latar belakang kultur atau budaya yang berbeda dari berbagai tempat
di dunia dengan memperhatikan namun tetap pada tujuan utama yaitu
memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas.Dengan latar belakang
tersebut, maka kami tertarik untuk menjelaskan transkultural dalam
keperawatan globalisasi dan prespektif transkultural..

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana Transkultural dalam Keperawatan Globalisasi dan Prespektif
Transkultural?

1.3 Tujuan Masalah


Menjelaskan Transkultural dalam Keperawatan Globalisasi dan Prespektif
Transkultural.
BAB 2

PEMBAHASAN

2.
2.1 Perspektif Transkultural dalam Keperawatan
2.1.1 Keperawatan Transkultural dan Globalisasi dalam Pelayanan
Kesehatan

Dunia saat ini sedang mengalami era globalisasi. Globalisasi memungkinkan


adanya perpindahan penduduk (imigrasi) antar negara atau daerah yang
menyebabkan peningkatan jumlah penduduk dalam negara, baik populasi maupun
variasinya. Menurut United Nations Population Fund (2011), pada akhir bulan
oktober tahun 2011 jumlah penduduk dunia akan mencapai tujuh miliar
penduduk. Ini memungkinkan adanya multikultural atau variasi kultur pada suatu
wilayah. Berdasar pada hal tersebut, penting bagi setiap tenaga kesehatan
profesional termasuk perawat untuk mengetahui dan bertindak dengan perspektif
global bagaimana merawat pasien dengan berbagai macam latar belakang kultur
atau budaya yang berbeda dari berbagai tempat di dunia saat ini. Penanganan
pasien dengan perbedaan latar belakang budaya disebut dengan transkultural
nursing.

Menurut Leininger (2002), transkultural nursing adalah suatu area/wilayah


keilmuan budaya pada proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus
memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai
asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan
tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan
khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia, yang dalam
penggunaannya bertujuan untuk mengembangkan sains dan pohon keilmuan yang
humanis sehingga tercipta praktik keperawatan pada kultur yang spesifik dan
universal kultur dengan nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini dan dilakukan
hampir semua kultur, misalnya seperti budaya minum the yang dapat membuat
tubuh sehat.
Berdasarkan definisi Leininger diatas, dalam melaksanakan praktik
keperawatan yang bersifat humanis, perawat perlu memahami landasan teori dan
praktik keperawatan yang berdasarkan budaya. Budaya yang telah menjadi
kebiasaan tersebut diterapkan dalam asuhan keperawatan transkultural
berdasarkan kerangka kerja keperawatan transkultural yang dikenal dengan
Leininger Sunrise Model (Leininger, 2002) dan tiga strategi utama intervensi
Leininger, yaitu pemeliharan terhadap budaya, negosiasi budaya dan
merestrukturisasi budaya.

Bila seorang perawat mengabaikan landasan teori dan praktik keperawatan


yang berdasarkan budaya atau keperawatan transkultural, perawat akan
mengalami cultural shock. Cultural shock akan dialami oleh klien pada suatu
kondisi dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya
dan kepercayaan. hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan,
ketidakberdayaan, dan beberapa akan mengalami disorientasi. salah satu contoh
yang sering ditemukan adalah ketika klien sedang mengalami nyeri. Pada
beberapa daerah atau negara diperbolehkan seseorang untuk mengungkapkan rasa
nyeri dengan berteriak atau menangis. tetapi bila seandainya perawat terbiasa
dengan hanya meringis jika merasa nyeri, ia akan menganggap sikap pasien
mengganggu dan tidak sopan. Maka perawat pun akan meminta pasien bersuara
pelan, bahkan tak jarang akan memarahinya karena dianggap mengganggu pasien
lainnya. kebutaan budaya yang dialami oleh perawat ini akan berakibat pada
perununan kualitas keperawatan yang diberikan.

Penting bagi perawat untuk memahami cultural sendiri sebelum memahami


keperawatan transkultural. Konsep tentang budaya dan gambaran perilaku dan
sikap yang mencerminkan budaya tertuang dalam ilmu antropologi kesehatan.
Dalam menerapkan keperawatann transkultural, tak hanya budaya yang harus
diperhatikan, namun paradigma keperawatan pun perlu diingat agar dapat
diaplikasikan dalam keperawatan transkultural. Leoninger (1985) mengartikan
paradigma keperawatan transkultural sebagai cara pandang, keyakinan, nilai-nilai,
konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar
belakang budaya terhadap empat konsep sentral keperawatan, yaitu: manusia,
komponen sehat sakit, lingkungan serta keperawatan (Andrew and Boyle, 1995).

2.1.2 Konsep dan Prinsip dalam Asuhan Keperawatan Transkultural

Tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan pada saat ini,


termasuk tuntutan terhadap asuhan keperawatan yang berkualitas akan semakin
tinggi. Dengan adanya globalisasi, dimana perpindahan penduduk antar negara
menyebabkan adanya pergeseran terhadap tuntutan asuhan keperawatan.
Sehingga, perawat tidak hanya dituntut untuk bisa berkembang pada masa kini
tapi perawat pun harus berkembang dari masa lalu, seperti kebudayaan klien, latar
belakag klien, dan lain sebagainya.

Menurut J.N Giger dan Davidhizar konsep dan prinsip dalam asuhan
keperawatan ada beberapa, antara lain:

1. Budaya
Norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang dipelajari,dan dibagi
serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan mengambil keputusan.
2. Cultural
Seseorang yang memiliki pertentanan antara dua individu dari budaya, gaya
hidup, dan hukum hidup. Contohnya, Didin adalah anak yang dilahirkan dari
pasangan suku sunda dan batak.
3. Diversity
Diversity atau keragaman budaya adalah suatu bentuk yang ideal dari asuhan
keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya individu,
kepercayaan, dan tindakan.
4. Etnosentris
Prsepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa budayanya
adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain.
5. Ras
Perbedaan manusia didasarkan pada asal muasal manusia.
6. Cultural Shock
Suatu keadaan yang dialami klien pada suatu kondisi dimana perawat tidak
mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. Hal ini
dapat menyebabkan munculnya rasa ketidak nyamanan, ketidak berdayaan,
dan beberapa mengalami disorientasi.
7. Diskriminasi
Perbedaan perlakuan individu atau kelompok berdasarkan ras, jenis kelamin, sosial,
dan lain sebagainya.
8. Assimilation
Suatu proses individu untuk membangun identitas kebudayaannya, sehingga akan
menghilangkan budaya kelompoknya dan memperoleh budaya baru.
9. Sterotyping
Anggapan suatu individu atau kelompok bahwa semua anggota dari kelompok
budaya adalah sama. Seperti, perawat beranggapan bahwa semua orang Indonesia
menyukai nasi.
10. Prejudice
Adalah prasangka buruk atau beranggapan bahwa para pemimpin lebih suka untuk
menghukum terlebih dahulu suatu anggota.

2.1.3 Pengkajian Asuhan Keperawatan Budaya

Perawat dalam menjalankan tugasnya sering menghadapi klien yang memiliki


latar belakang etnik, budaya, dan agama yang berbeda. Untuk menghadapi situasi
ini penting bagi perawat untuk memahami bahwa klien memiliki pendangan dan
interpretasi mengenai penyakit dan kesehatan yang berbeda. Pandangan tersebut
didasarkan pada keyakinan sosial-budaya klien.

Perawat harus sensitif dan waspada terhadap keunikan warisan budaya dan
tradisi kesehatan klien dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien dari
latar belakang kebudayaan yang berbeda. Perawat harus mengkaji dan
mendengarkan dengan cermat tentang konsistensi warisan budaya klien.
Pengakajian tentang budaya klien merupakan pengkajian yang sisrematik dan
komprehensif dari nilai-nilai pelayanan budaya, kepercayaan, dan praktik
individual, keluarga, komunitas. Tujuan engkajian budaya adalah untuk
mendapatkan informasi yang signifikan dari klien sehingga perawat dapat
menerapkan kesamaan budaya ( Leininger dan MC Farland, 2002).

Perawat dalam melakukan pengkajian terhadap kebudayaan klien dimulai dari


menentukan warisan kultural budaya klien, latar belakang organisasi sosial, dan
keterampilan bahasa serta menanyakan penyebar penyakit atau masalah untuk
mengetahui klien mendapatkan pengobatan rakyat secara tradisional baik secara
ilmiah maupun mesogisoreligus atau katarama, suci untuk mencegah dan
mengatasi penyakit. Hal ini dilakukan untuk pemenuhan komponen pengkajian
budaya untuk menyediakan informasi yang berguna dalam mengumpulkan data
kebudayaan klien.

Model matahari terbit dari leininger menggambarkankeberagaman budaya


dalam kehidupan sehari-hari dan membantu melaksanakan pengkajian budaya
yang dilakukan secara komprehensif. Model ini beranggapan bahwa nilai-nilai
pelayanan budaya, kepercayaan, dan praktik merupakn hal yang tidak dapat
diubah dalam budaya dan dimensi struktur sosia lmasyarakat, konteks lingkungan,
bahasa dan riwayat etik atau peristiwa bersejarah dari kelompok tertentu(Potter
dan perry, fundamental keperawatan ed 7, 187).

Tahapan pengkajian budaya dimulai dari mengetahui perubahan demografik


populasi pad lingkungan praktik komunitas yang disebut dengan data sensus. Data
sensus didapatkan dari data sensus lokal dan regional serta laporan pelayanan
kesehatan. Langkah berikutnya perawta menggunakan teknik wawancara yang
terbuka, terfokus, dan kntras untuk mendorong klien menceritakan nilai-ilai,
kepercayaan, dan praktik dalam warisan budayanya( Spradley, 1979). Dalam
melaksanakan pengkajian budaya seorang perawt menjalin hubungan dengan
klien dan memiliki keterampilam dalam berkomuknikasi. Pengkajian budaya yang
komprehensif membutuhkan keterampilan, waktu hingga persiapan dan antisipasi
sangat diperlukan.

2.1.4 Beberapa Instrumen Pengkajian Budaya


Pada abad ke-21 ini,tuntutan terhadap asuhan keperawatan semakin besar, tak
hanya asuhan keperawatan yang melihat sisi medisnya saja, tetapi juga melihat
dari sisi budaya. Jika melihat dari sisi budaya, ini termasuk ilmu keperawatan
yang memasuki level midle theory range, yaitu teori transkultural nursing.

Transukultural nursing adalah suatu daerah atau wilayah keilmuan budaya


pada proses belajar dan praktek keperawatan yang fokusnya memandang
perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan
sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu
ini digunakanuntuk memberikan asuhankeperawatan khususnya budaya atau
keutuhan budaya kepda manusia (Leininger, 2002). Transkultural nursing
mempunyai tahapan yang sama dengan proses keperawatan; antara lain
pengkajian, diagnosis, perencanaan, implemantasi dan evaluasi. Pengkajian dalam
transkultural nursing memiliki instrument atau komponen tersendiri, antara lain;
warisan dan sejarah etnik, variasi biologis, religious dan kepercayaan, organisasi
sosial, komunikasi, waktu, kepercayaan perawatan dan prakteknya, serta
pengalaman sebagai tenaga proposional.

Warisan budaya dan sejarah etnik sering membawa pada nilai-nilai dan norma
yang berlaku pada suatu adat istiadat, ras klien, atau dalam hal ini dapat dikaji
tentang persepsin sehat dan sakit menurut budaya klien, keikutsertaan cara-cara
budaya dalam proses perawatan. Relijius dan kepercayaan ini dalah faktor yang
sangat mempengaruhi karena membawa motivasi tersendiri untuk menempatkan
kebenaran di atas segalanya. Kajian religious dapat meliputi agama yang dianut,
sudut pandang pasien terhadap penyeban penyakit, proses penyembuhannya serta
sisi positif agama pasien yang dapat membantu proses kesembuhanya. Variasi
biologis, perbedaan biologis antara anggota kelompok kultur, seperti struktur dan
bentuk tubuh, warna kulit, variasi enzimatik dan genetik, kerentanan terhadap
penyakit, variasi nutrisi. Pengkajian organisasi sosial mengacu pada unit keluarga
dan kelompok sosial, dimana di lihat tentang keadaan soal keluarga seperti
ekonomi, pergaulan sosial. Sedangkan pada kelompok sosila klien dapat dilihat
sejarah lingkungan dan kondisi lingkungan.
Komunikasi adalah hal terpenting dalam pelangsanaakn proses asuhan
keperawatan, ketidak berhasilan komunikasi dapat menghambat proses diagnosis
dan tindakaan serta dapat membawa pada hasil yang trgis. Dalam hal ini perawat
harus dapat melihat bahasa yang digunakan pasien secra verbal maupun non
verbal. Ruang personal menujukkan sikap klien yang harus ditanggapi oleh
perawat secara sensitive, sehingga tidak menimbulkkan rasa ketidaknyamanan
pasien. Bukan hanya mengenai ruang personal yang harus menjadi pertimbangan
tetapi juga mengenai waktu ,orientasi waktu berbeda-deada dalam setiap ethic ada
yang memprioritaskan pada saat ini ada juga yang saat mendatang. Perbedaan
orientasi waktu ini akan membawa pada perencaan asuhan jangka panjang.
Keyakinan perawtan klien juga menjadi factor kajian, di sini perawat harus
melihat bagai mana keyakinan dan praktik pengobatan tradisional yang dipercai
pasien dalam proses penyembuhannya apakah dapat membantu atau memperparah
penyakitnya. Dan faktor kajian terakhir yang mempengaruhi adalh pengalaman
propesional perawtan itu sendiri dalam menangggapi atau dalam member asuhan
keperawatan itu.

2.2 Aplikasi Konsep dan Prinsip Transkultural Sepanjang Daur Kehidupan


Manusia.
2.2.1 Perawatan Kehamilan dan Kelahiran

Kehamilan dan kelahiran bayi pun dipengaruhi oleh aspek sosial dan budaya
dalam suatu masyarakat. Dalam ukuran-ukuran tertentu, fisiologi kelahiran secara
universal sama. Namun proses kelahiran sering ditanggapi dengan cara-cara yang
berbeda oleh aneka kelompok masyarakat (Jordan, 1993).

Berbagai kelompok yang memiliki penilaian terhadap aspek kultural tentang


kehamilan dan kelahiran menganggap peristiwa itu merupakan tahapan yang harus
dijalani didunia. Salah satu kebudayaan masyarakat kerinci di Provinsi Jambi
misalnya, wanita hamil dilarang makan rebung karena menurut masyarakat
setempat jika wanita hamil makan rebung maka bayinya akan berbulu seperti
rebung. Makan jantung pisang juga diyakini menurut keyakinan mereka akan
membuat bayi lahir dengan ukuran yang kecil.
Dalam kebudayaan Batak, wanita hamil yang menginjak usia kehamilan tujuh
bulan diberikan kepada ibunya ulos tondi agar wanita hamil tersebut selamat
dalam proses melahirkan. Ketika sang bayi lahir pun nenek dari pihak ibu
memberikan lagi ulos tondi kepada cucunya sebagai simbol perlindungan. Sang
ibu akan menggendong anaknya dengan ulos tersebut agar anaknya selalu sehat
dan cepat besar. Ulos tersebut dinamakan ulos parompa.

Pantangan dan simbol yang terbentuk dari kebudayaan hingga kini masih
dipertahankan dalam komunitas dan masyarakat. Dalam menghadapi situasi ini,
pelayanan kompeten secara budaya diperlukan bagi seorang perawat untuk
menghilangkan perbedaan dalam pelayanan, bekerja sama dengan budaya
berbeda, serta berupaya mencapai pelayanan yang optimal bagi klien dan
keluarga.

Menurut Meutia Fradida Swasono salah satu contoh dari masyarakat yang
sering menitikbaratkan perhatian pada aspek krisis kehidupan dari peristiwa
kehamilan dan kelahiran adalah orang jawa yang di dalam adat adat istiadat
mereka terdapat berbagai upacara adat yang rinci untuk menyambut kelahiran
bayi seperti pada upacara mitoni, procotan, dan brokohan.

Perbedaan yang paling mencolok antara penanganan kehamilan dan kelahiran


oleh dunia medis dengan adat adalah orang yang menanganinya, kesehatan
modern penanganan oleh dokter dibantu oleh perawat, bidan, dan lain sebagainya
tapi penangana dengan adat dibantu oleh dukun bayi. Menurut Meutia Farida
Swasono dukun bayi umumnya adalah perempuan, walaupun dariberbagai
kebudayaan tertentu, dukun bayi adalah laki laki seperti pada masyarakat Bali
Hindu yang disebut balian manak dengan usia di atas 50tahun dan profesi ini
tidak dapat digantikan oleh perempuan karena dalam proses menolong persalinan,
sang dukun harus membacakan mantra mantra yang hanya boleh diucapkan oleh
laki laki karena sifat sakralnya.

Menurut pendekatan biososiokultural dalam kajian antropologi, kehamilan dan


kelahiran dilihat bukan hanya aspek biologis dan fisiologis saja, melainkan
sebagai proses yang mencakup pemahaman dan pengaturan hal-hal seperti;
pandangan budaya mengenai kehamilan dan kelahiran, persiapan kelahiran, para
pelaku dalam pertolongan persalinan, wilayah tempat kelahiran berlangsung, cara
pencegahan bahaya, penggunaan ramuan atau obat-obatan tradisional, cara
menolong kelahiran, pusat kekuatan dalam pengambilan keputusan mengenai
pertolongan serta perawatan bayi dan ibunya.

Berdasarkan uraian diatas, perawat harus mampu memahami kondisi kliennya


yang memiliki budaya berbeda. Perawat juga dituntut untuk memiliki
keterampilan dalam pengkajian budaya yang akurat dan komprehensif sepanjang
waktu berdasarkan warisan etnik dan riwayat etnik, riwayat biokultural, organisasi
sosial, agama dan kepercayaan serta pola komunikasi. Semua budaya mempunyai
dimensi lampau, sekarang dan mendatang. Untuk itu penting bagi perawat
memahami orientasi waktu wanita yang mengalami transisi kehidupan dan sensitif
terhadap warisan budaya keluarganya.

2.2.2 Perawatan dan Pengasuhan Anak

Disepanjang daur kehidupannya, manusia akan melewati masa transisi dari


awal masa kelahiran hingga kematiannya. Kebudayaan turut serta mempengaruhi
peralihan tersebut. Dalam asuhan keperawatan budaya, perawat harus paham dan
bisa mengaplikasikan pengetahuannya pada tiap daur kehidupan manusia. Salah
satu contohnya yaitu aplikasi transkultural pada perawatan dan pengasuhan anak.

Setiap anak diharapkan dapat berkembang secara sempurna dan simultan, baik
perkembangan fisik, kejiwaan dan juga sosialnya sesuai dengan standar kesehatan,
yaitu sehat jasmani, rohani dan sosial. Untuk itu perlu dipetakan berbagai unsur
yang terlibat dalam proses perkembangan anak sehingga dapat dioptimalkan
secara sinergis. Menurut Urie Bronfenbrenner (1990) setidaknya ada 5 sistem
yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, yaitu: Pertama, sistem mikro
yang terkait dengan setting individual dimana anak tumbuh dan berkembang yang
meliputi: keluarga, teman sebaya, sekolah dan lingkungan sekitar tetangga.
Kedua, sistem meso yang merupakan hubungan di antara mikro sistem,misalnya
hubungan pengalaman-pengalam an yang didapatkan di dalam keluarga dengan
pengalaman di sekolah atau pengalaman dengan teman sebaya. Ketiga,sistem exo
yang menggambarkan pengalaman dan pengaruh dalam setting sosial yang berada
di luar kontrol aktif tetapi memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan
anak,seperti,pekerjaan orang tua dan media massa. Keempat,sistem makro yang
merupakan budaya di mana individu hidup seperti:ideologi,budaya,sub-budaya
atau strata sosial masyarakat. Kelima,sistem chrono yang merupakan gambaran
kondisi kritis transisional (kondisi sosio-historik).

Keempat sistem pertama harus mampu dioptimalkan secara sinergis dalam


pengembangan berbagai potensi anak sehingga dibutuhkan pola pengasuhan, pola
pembelajaran, pola pergaulan termasuk penggunaan media massa, dan pola
kebiasaan (budaya) yang koheren dan saling mendukung. Proses sosialisasi pada
anak secara umum melalui 4 fase, yaitu:

1. Fase Laten (Laten Pattern), pada fase ini proses sosialisasi belum terlihat
jelas. Anak belum merupakan kesatuan individu yang berdiri sendiri dan
dapat melakukan kontak dengan lingkungannya. Pada fase ini anak masih
dianggap sebagai bagian dari ibu,dan anak pada fase ini masih merupakan
satu kesatuan yang disebut “two persons system”.
2. Fase Adaptasi (Adaption), pada fase ini anak mulai mengenal lingkungan
dan memberikan reaksi atas rangsangan-rangsang an dari lingkungannya.
Orangtua berperan besar pada fase adaptasi,karena anak hanya dapat
belajar dengan baik atas bantuan dan bimbingan orangtuanya.
3. Fase Pencapaian Tujuan (Goal Attainment), pada fase ini dalam
sosialisasinya anak tidak hanya sekadar memberikan umpan balik atas
rangsangan yang diberikan oleh lingkungannya,tapi sudah memiliki
maksud dan tujuan. Anak cenderung mengulangi tingkah laku tertentu
untuk mendapatkan pujian dan penghargaan dari lingkungannya.
4. Fase Integrasi (Integration), pada fase ini tingkah laku anak tidak lagi
hanya sekadar penyesuaian (adaptasi) ataupun untuk mendapatkan
penghargaan,tapi sudah menjadi bagian dari karakter yang menyatu
dengan dirinya sendiri.
Interaksi anak dengan lingkungannya secara tidak langsung telah
mengenalkan dirinya pada kultural atau kebudayaan yang ada di sekelilingnya.
Lingkungan dan keluarga turut berperan serta dalam tumbuh kembang anak. Hal
ini pun tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh budaya yang ada di sekitarnya.
Sebagai perawat, dalam memberikan pengasuhan dan perawatan perlu
mengarahkan anak pada perilaku perkembangan yang normal, membantu dalam
memaksimalkan kemampuannya dan menggunakan kemampuannya untuk koping
dengan membantu mencapai keseimbangan perkembangan yang penting. Perawat
juga harus sangat melibatkan anak dalam merencanakan proses perkembangan.
Karena preadolesens memiliki keterampilan kognitif dan sosial yang meningkat
sehingga dapat merencnakan aktifitas perkembngan.

Dalam lingkungannya, anak diharuskan bekerja dan bermain secara kooperatif


dalam kelompok besar anak-anak dalam berbagai latar belakang budaya. Dalam
proses ini, anak mungkin menghadapi masalah kesehatan psikososial dan fisik
(misalnya meningkatnya kerentanan terhadap infeksi pernapasan, penyesuaian
yang salah di sekolah, hubungan dengan kawan sebaya tidak adekuat, atau
gangguan belajar). Perawat harus merancang intervensi peningkatan kesehatan
anak dengan turut mengkaji kultur yang berkembang pada anak. Agar tidak terjadi
konflik budaya terhadap anak yang akan mengakibatkan tidak optimalnya
pegasuhan dan perawatan anak.

BAB 3

PENUTUP

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan :


1. Proses keperawatan transkultural merupakan salah satu dasar teori untuk
memenuhi asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya
pasien.
2. Proses keperawatan transkultural diaplikasikan untuk mengurangi konflik
perbedaan budaya atau lintas budaya antara perawat sebagai profesional
dan pasien.
3. Perilaku budaya terkait sehat sakit masyarakat secara umum masih banyak
dilakukan pada keluarga secara turun temurun.
4. Sehat dan sakit atau kesehatan dalam perspektif transkultural nursing
diartikan pandangan masyarakat tentang kesehatan spesifik bergantung
pada kelompok kebudayaannya teknologi dan non-teknologi pelayanan
kesehatan yang diterima bergantung pada budaya nilai dan kepercayaan
yang dianutnya.
5. Proses keperawatan transkultural terdiri dari tahap pengkajian keperawatan
transkultural, diagnosa keperawatan transkultural, rencana tindakan
keperawatan transkultural, tindakan keperawatan transkultural dan
evaluasi tindakan keperawatan transkultural.
6. Prinsip pengkajian keperawatan transkultural berpedoman pada model
konsep dari Leininger. Konsep utama dari model sunrise berupa cultural
care, world view, culture and social culture dimention, generic care
system, proffesional system, culture care preservation, culture care
accomodation, culture care repattering, culture congruent.

Rencana tindakan transkultural didasari pada prinsip rencana tindakan dari


teori Sunrise Model yang terdiri dari 3 strategi tindakan, yaitu perlindungan
perawatan budaya atau pemeliharaannya, akomodasi perawatan budaya atau
negosiasi budaya, perumusan kembali dan restrukturasi.
REFERENSI

 Andrew, M.M. and Boyle, J.S. (1995). Transcultural Concepts in Nursing


Care. 2nd Ed.Philadelphia: J.B. Lippincot Company, hal 1-131.
 Pratiwi, Arum. (2011). Buku Ajar Keperawatan Transkultural.
Yogyakarta: Penerbit Gosyen Publishing.
 Potter, P. A. & Perry, A. G. (2005). Fundamentals of Nursing: Concepts,
Procces, and Practice.6th Ed. St. Louis, MI: Elsevier Mosby.

You might also like