You are on page 1of 14

DAKWAH PERSUASIF

STUDI KASUS : MENUMBUHKAN MINAT BELAJAR AGAMA PADA


ANAK DI LINGKUNGAN MASYARAKAT
disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikologi Dakwah
Dosen Pengampu : Andri Hendrawan, M.Ag

Disusun Oleh :
Ani Nurhayati
NIM : 19.02.1483

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) PERSIS
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Studi Kasus Dakwah Persuasif
ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Andri
Hendrawan, M.Ag pada mata kuliah Psikologi Dakwah bidang studi Komunikasi dan Penyiaran
Islam. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang penerapan dakwah
persuasif bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Andri Hendrawan, M.Ag, selaku dosen
mata kuliah Psikologi Dakwah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 25 Juni 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………………...


Daftar Isi ………………………………………………………………………….............
Pendahuluan ………………………………………………………………………….......
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………………...
B. Rumusan Masalah …………………………………………………………………
C. Tujuan …………………………………………………………………………......
Kajian Pustaka …………………………………………………………………………...
A. Dakwah ……...………………………………………………………………….....
B. Persuasif …,,,,,……………………………………………………………………..
C. Dakwah Persuasif ………………………………………………………………….
D. Mitra Dakwah …………………………………………………………………..….
Metode Penelitian ………………………………………………………………………...
Hasil dan Pembahasan …………………………………………………………………...
Penutup ………………..…………………………………………………………….........
A. Kesimpulan ………………..………………………………………………………
B. Saran ………………..……………………………………………………………..
Daftar Pustaka …………………………………………………………………………....
PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Masa anak – anak adalah masa yang tepat untuk menanamkan nilai – nilai positif. Pepatah
mengatakan bahwa belajar di waktu kecil ibarat mengukir di atas batu, sementara belajar setelah
dewasa ibarat menulis di daun talas. Maksudnya ilmu yang diajarkan pada anak sedari kecil akan
terukir permanen dalam pikirannya. Hal itu dikarena pikiran anak kecil masih bersih, sehingga
masih mudah untuk mengingat sesuatu. Jadi, sangat disayangkan jika orang tua melewatkan
kesempatan tersebut.

Salah satu penanaman nilai positif adalah dengan mengajarkan nilai keagamaan.
Penanaman ilmu agama memang sudah sepatutnya diajarkan sejak usia dini. Pendidikan nilai-nilai
keagamaan merupakan pondasi yang kokoh dan sangat penting keberadaannya. Jika hal itu telah
tertanam serta terpatri dalam setiap anak sejak dini, ini merupakan awal yang baik bagi penanaman
kepribadian serta keagamaan yang akan berpengaruh pada pengalamannya. Pengalaman positif
yang dialami pada masa ini akan berpengaruh kuat terhadap kehidupan selanjutnya bahkan akan
selalu membekas.

Untuk mengembangkan nilai-nilai agama pada diri anak, diperlukan berbagai macam
metode dan pendekatan. Pendekatan yang dimaksud adalah cara yang teratur yang digunakan
untuk melaksanakan suatu kegiatan agar tercapai hasil yang baik seperti dikehendaki (Badudu
Zain, 1996). Anak – anak lebih menyukai hal – hal yang praktis dan berhubungan dengan contoh.
Dakwah persuasif sendiri memiliki arti dakwah yang mengajak secara halus. Ini sesuai dengan
sifat anak yang tidak mau dipaksa.

B. Rumusan masalah

Bagaimana cara menumbuhkan minat menuntut ilmu agama pada anak yang ada di
lingkungan sekitar ?

C. Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk mencari solusi bagaimana caranya agar anak yang ada di
lingkungan sekitar semangat untuk menuntut ilmu agama.
KAJIAN PUSTAKA

A. Dakwah

Ditinjau dari segi Bahasa, dakwah berasal dari Bahasa Arab “da’wah”. Da’wah
mempunyai tiga huruf asal, yaitu dal, ‘ain, dan wawu. Dari ketiga huruf asal ini, terbentuk
beberapa kata dan ragam makna. Makna tersebut adalah memanggil, mengundang, minta tolong,
meminta, memohon, menanamkan, menyuruh datang, mendorong, menyebabkan, mendatangkan,
mendoakan, menangisi, dan meratapi (Ahmad Warson Munawir, 1997:406). Dalam al-qur’an, kata
da’wah dan berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 198 kali menurut perhitungan Muhamad
Shulthon (2003:4), 299 menurut Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi’ (dalam A. Ilyas Isma’il, 2006:
144-145), atau 212 kali menurut Asep Muhidin (2002:40).

Dakwah menurut istilah banyak dikemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah Adnan
Harahap. Menurutnya dakwah adalah suatu usaha merubah sikap dan tingkah laku orang dengan
jalan menyampaikan informasi tentang ajaran Islam dan menciptakan kondisi serta situasi yang
diharapkan dapat mempengaruhi sasaran dakwah, sehingga terjadi perubahan ke arah sikap dan
tingkah laku positif menurut norma-norma agama.

Abu Zakaria (1962:8) mengatakan dakwah adalah usaha para ulama dan orang-orang yang
memiliki pengetahuan agama islam untuk memberikan pengajaran kepada khalayak umum sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki tentang hal-hal yang mereka butuhkan dalam urusan dunia dan
keagamaan.

Menurut Aboebakar Atjeh (1971:6) dakwah adalah perintah mengadakan seruan kepada
sesama manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah SWT yang benar dengan penuh
kebijaksanaan dan nasihat yang baik.

Dari beberapa pengertian dakwah di atas dapat disimpulkan bahwa inti dari dakwah adalah
menyeru atau mengajak seseorang ke dalam suatu kebaikan berdasarkan pedoman yang diturunkan
oleh Allah SWT.

B. Persuasif

Persuasi (Persuasion) dalam bahasa Latin adalah persuasion, kata kerjanya adalah
persuadere, yang berarti membujuk, mengajak atau merayu. Menurut Susanto istilah persuasif
bukanlah merupakan suatu tindakan membujuk seseorang atau suatu kelompok untuk menerima
pendapat dan melakukannya, melainkan suatu teknik untuk mempengaruhi manusia dengan
menggunakan (memanfaatkan) data dan fakta psikologis maupun sosiologis dari komunikan.

Dalam buku ilmu dakwah karangan Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag (2017:382) persuasif
adalah sebuah cara mempengaruhi jiwa seseorang, sehingga dapat membangkitkan kesadaran
untuk menerima dan melakukan suatu tindakan. Dari beberapa pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa persuasif adalah suatu cara untuk mempengaruhi seseorang melalui sisi
psikologisnya.

C. Dakwah Persuasif

Dakwah persuasif adalah proses mempengaruhi mad’u dengan pendekatan psikologis,


sehingga mad’u mengikuti ajakan da’i tetapi merasa melakukan sesuatu atas kehendak sendiri.
Dakwah persuasif juga dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan untuk menyebarkan ajaran Islam
dengan menggunakan data dan fakta psikologis dari mad’u, sehingga mereka menemukan
kebenaran dan kesadaran yang menjadikan sikap dan tingkah lakunya terpengaruh dan terarah utuk
menerima serta melaksanakan ajaran-ajaran Islam.

Dalam melakukan dakwah persuasif diperlakukan keahlian khusus. Dai’i harus bisa
menguasai ilmu psikologis sehingga bisa meraih kesadaran seseorang untuk melakukan sesuatu.
Menurut Suwito Kusumawidagdo, terdapat alat-alat psikologis yang dapat menghasilkan kesan
mendalam pada seseorang. Alat-alat tersebut antara lain:

a. Docere, yaitu meyakinkan audience dengan menerangkan, menjelaskan, dan


membuktikan kebenaran isi pesan dakwah, serta menunjukkan tidak benarnya pendapat
lain yang bertentangan.
b. Permovere, yaitu cara menggerakkan perasaan dan kemauan audience dengan jalan
directe pathetiek, yakni dengan kekuatan perasaan dan keyakinannya, pembicara
melahirkan kata hatinya dengan penuh semangat yang menyala-nyala.
c. Conciliare, yaitu cara menarik perhatian pendengar terhadap isi ceramah dengan jalan:
menunjukkan pentingnya masalah, menunjukkan bahwa pendengar mempunyai
kepentingan langsung dengan masalah tersebut, menggunakan sopan santun ceramah,
memperhatikan cara-cara bicaranya, dan menghias pokok-pokok pembicaraan yang
tidak terlalu baik, tetapi perlu dikemukakan, dengan kata-kata yang halus sehingga
tidak menyinggung audience.
d. Frapper Toujour, maksud cara ini adalah dengan berulang-ulang dan tegas pengertian
atau paham itu dikemukakan, dipuji, supaya pendengar hafal, mengetahui betul-betul,
dan akhirnya timbul kepercayaan kepadanya.
e. Simbolik, yaitu cara memberi gambaran tentang apa yang dimaksud dalam pesan
ceramah dengan menggunakan Bahasa lambing.
f. Sensasi, yaitu sesuatu yang dapat memaksa pendengar menaruh perhatian kepada
pembicara.
g. Sugesti, yaitu sesuatu yang dapat menimbulkan keyakinan tanpa berpikir lebih lanjut.
h. Prestise, yaitu suatu kekuatan dalam diri seseorang yang menyebabkan orang lain
segera membuka jiwanya untuk menerima dan mempercayai ucapannya.
D. Mitra Dakwah

Mitra dakwah memiliki cakupan yang sangat luas. Setiap latar belakang memiliki
pemahaman yang berbeda-beda terhadap agama. Oleh karena itu, setiap latar belakang memiliki
perlakuan yang berbeda dalam proses penyampaian dakwahnya. Dalam aspek sosio-psikologis,
mitra dakwah dapat dilihat dari unsur jenis kelamin, usia, tingkat kecerdasan, tingkat pendidikan,
pemikiran keagamaan, pengalaman keagamaan, sikap keagamaan, kepribadian, dan motivasi.

Dari segi usia, mitra dakwah terbagi dalam empat golongan :

a. Anak-anak

Masa usia anak-anak antara 3-12 tahun dengan mencakup tiga tahapan, yaitu masa pra
sekolah (3-5 tahun), masa peralihan (5-6 tahun), dan masa sekolah (6-12 tahun). Perkembangan
agama pada anak-anak terbagi pada tiga tingkatan, yaitu :

1. Tingkat dongeng (the fairy tale stage). Fantasi dan emosi mempengaruhi anak-anak
yang berusia 3-6 tahun dalam memahami ajaran agama.
2. Tingkat kenyataan (the realistic stage). Sejak masuk sekolah dasar, anak-anak tertarik
pada perilaku keagamaan orang-orang dewasa di sekitar mereka. Keteladanan orang
tua lebih diperhatikan daripada saran-sarannya.
3. Tingkat individu (the individual stage). Pengetahuan dan pengalaman bersama
lingkungan sekitarnya telah membentuk pribadi anak-anak. Sifat-sifat keagamaan
anak-anak sebagai berikut: menerima ajaran agama secara kurang mendalam dan tanpa
kritik, menuntut agama yang sesuai dengan kepentingan dan kesenangan pribadinya,
menyamakan sifat Allah SWT dengan sifat manusia sesuai fantasi mereka, hanya
mempelajari bacaan dan praktik ritual, meniru keagamaan orang lain, serta kagum dan
heran pada aspek luar dari ajaran agama.
b. Remaja

Masa remaja merupakan kelanjutan dari masa anak-anak. Dari sisi psikologi, masa remaja
dimulai dari usia 12-21 tahun. Menurut Bastaman (1997:165) masa remaja terbagi menjadi empat
tahap, yaitu :

1. Pra remaja (perempuan: 11-13 tahun, laki-laki: 13-15 tahun)


2. Remaja pemula (perempuan: 13-15 tahun, laki-laki: 15-17 tahun)
3. Remaja madya (perempuan: 15-18 tahun, laki-laki: 17-19 tahun)
4. Remaja akhir (perempuan: 18-21 tahun, laki-laki: 19-21 tahun)

Pada masa ini, sifat keagamaan yang menonjol adalah perkembangan pikiran dan mental.
Mereka mulai berpikir kritis dan memiliki pandangan tersendiri tentang agama. Agama juga
dipertimbangkan oleh mereka dari sisi moral dan material. Singkatnya, pendidikan agama saat
anak-anak berpengaruh terhadap pola keagamaan masa remaja. Begitupun ketika kita dewasa, pola
keagamaannya ditentukan pada saat remaja.

c. Dewasa

Masa dewasa dimulai saat usia 22-50 tahun. Pada masa ini. Pada masa ini akal pikiran dan
emosi semakin matang. Usia ini merupakan usia produktif dalam perkembangan manusia. Pada
masa ini, umumnya orang kuat dan giat bekerja. Pola keagamaan mitra dakwah pada masa ini
bergantung pada pola keagamaannya pada fase anak-anak dan remaja. Jika pada fase tersebut taat
maka ia akan terus taat pada agama. Jika pada fase tersebut tidak diperkenalkan pada agama, maka
setelah dewasa ia akan bersikap anti agama.
d. Orang Tua

Seseorang dianggap tua jika usianya sudah melebihi 50 tahun. Secara psikologis, orang tua
memiliki jiwa yang sangat matang. Ia tidak akan gegabah dalam mengambil keputusan, kurang
berani menghadapi resiko, lebih mengedepankan kemapanan daripada perubahan, serta
berkeinginan hidup lebih lama meski kenyataannya ia lebih dekat dengan kematian. Pada usia ini,
dakwah yang diberikan harus yang berkaitan dengan dunia dan akhirat, agar mentalnya dalam
menghadapi kematian menjadi kuat.
METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif adalah
penelitian yang mendasar pada kesadaran atau cara subjek dalam memahami objek dan peristiwa
yang didasari oleh pengalaman. Objek penelitiannya yaitu sebuah Pesantren Persatuan Islam No.
129 Nurul Hayat RW 05. Letak pesantren tersebut tidak jauh dari rumah penulis, hanya berbeda
RT saja.

Teknik pengumpulan data menggunakan metode wawancara terhadap informan kunci.


Proses wawancara dilakukan dengan dua cara, wawancara secara langsung dan wawancara online
melalui whatsapp chatt. Selain itu, digunakan pula metode observasi. Metode ini digunakan oleh
penulis karena jarak antara rumah penulis dan lokasi penelitian tidak jauh, sehingga penulis dapat
mengamati objek secara langsung.

Informan peneliti diambil dari orang-orang yang terlibat langsung di pesantren tersebut,
diantaranya guru, siswa, dan alumni dari Pesantren Persatuan Islam No. 129 Nurul Hayat RW 05.
Adapun daftar narasumber yang penulis wawancarai adalah sebagai berikut.

No Nama Status
1. Rindiani Pengajar kelas 2 diniyah
2. Nina Fitria Latifah Pengajar kelas 3 diniyah
3. Rizal Rahmatullah Pengajar kelas 5 diniyah
4. Suherman Pengajar kelas 6 diniyah
5. Iren Nada Rahayu Siswi kelas 4 diniyah
6. Aulia Septiyani Alumni angkatan 2019
HASIL DAN PEMBAHASAN

Penulis mewawancarai empat orang pengajar. Setiap pengajar memiliki ciri khas dan cara
tersendiri dalam mengajar anak didiknya. Selain itu, setiap pengajar juga mempunyai cara tertentu
untuk membangkitkan semangat pelajar agar tidak merasa bosan saat belajar. Sebagai variasi
pembelajaran, Bu Nina sering memberikan games berupa tebak-tebakan atau cerdas cermat seputar
materi pembelajaran yang dipelari di kelas. Biasanya games tersebut dilakukan di akhir
pembelajaran, sehingga siapa yang bisa menjawa dengan cepat dan tepat boleh pulang duluan.

Hal tersebut juga dilakukan oleh Bu Rindiani. Ia sering memberikan games cerdas cermat
terkait mata pelajaran saat anak muridnya mulai merasa bosan. Sesekali ia sering menyuruh
muridnya untuk istirahat terlebih dahulu jika merasa bosan. Bu Rindiani adalah tipe guru yang
mengikuti kemauan muridnya. Ketika muridnya tidak sedang ingin menulis, maka ia
menggantinya dengan bertanya secara spontan atau tetap menulis tapi tidak terlalu banyak.

Berbeda dengan Bu Rindiani dan Bu Nina. Pa Suherman merupakan guru yang serius
dalam hal pelajaran. Di kelas ia jarang bercanda atau memberikan games kepada muridnya.
Baginya, kelas 6 tidak sepatutnya bercanda dalam belajar. Justru harus lebih serius lagi dalam
belajarnya karena akan menghadapi ujian. Meskipun Pa Suherman tidak pernah bercanda saat
belajar, tetapi ia bukanlah guru yang galak. Di luar jam pelajaran ia sering bercanda dengan murid-
muridnya sehingga keakraban antara guru dan siswa tetap terjalin.

Pa Rizal juga mengajar di kelas 5 yang mana materi pembelajarannya tidak jauh beratnya
seperti kelas 6. Meskipun demikian, ia tidak seserius Pa Suherman dalam belajar. Sesekali ia sering
memberikan games kepada anak didiknya. Namun games yang berikan Pa Rizal tidak ada
kaitannya dengan pelajaran. Ia lebih suka memberikan games yang memiliki makna pembelajaran
di kehidupan. Selain itu, Pa Rizal suka mengajak muridnya untuk belajar di luar kelas. Hal tersebut
dilakukan agar siswa mendapatkan suasana baru dalam belajar.

Selain mewawancarai pengajar, penulis juga mewawancarai siswa dan alumni Pesantren
Persatuan Islam No. 129 Nurul Hayat RW 05. Iren mengatakan guru yang telah mengajarnya
sampai saat ini, telah menyampaikan materinya dengan sangat baik. Ia mudah mengerti apa yang
dijelaskan oleh gurunya. Namun, diantara guru yang telah mengajarnya, ia lebih menyukai cara
mengajar Bu Rindiani. Ia menuturkan bahwa Bu Rindiani sering mengikuti keinginan siswanya.
Ketika Bu Rindiani memberika soal, para siswa sering menawar jumlah soal yang hendak
diberikan dan Bu Rindiani sering menuruti keinginan siswanya.

Lain halnya dengan Aulia yang telah menjadi alumni. Ia lebih suka dengan guru yang serius
dalam belajar namun suasana belajarnya tidak membosankan. Dari sekian guru yang telah
mengajarnya, ia lebih menyukai cara mengajar Pa Rizal. Ia mengatakan bahwa di kelas 5 banyak
pelajaran yang sulit dan banyak hafalan yang membuatnya tertekan. Namun dengan cara mengajar
Pa Rizal yang bervariasi, ia merasa pembelajaran berlangsung dengan nyaman.

Dari hasil wawancara dan observasi di atas, terlihat bahwa psikologis seseorang
mempengaruhi caranya dalam menerima sebuah pembelajaran atau ilmu agama. Cara mengajar
Bu Rindiani sudahlah tepat, ia mengajar anak-anak dengan usia sekitar 8 tahunan yang mana anak
di usia tersebut masih memiliki jiwa senang bermain. Bu Rindiani harus pintar membujuk
siswanya agar mau belajar dan tidak bosan di kelas. Salah satu cara yang ia gunakan agar muridnya
senang belajar di kelas adalah dengan mengikuti keinginan muridnya. Hal itu terbukti efektif, Iren
sangat menyukai cara mengajar Bu Rindiani ketika ia duduk di kelas 2.

Sementara Aulia, ia lebih menyukai cara belajar Pa Rizal pada saat duduk di kelas 5. Anak
yang berada di kelas 5 memiliki rentang usia 11 tahunan. Anak dengan usia 11 tahun, dalam
perspektif psikologi mulai memasuki tahap pra remaja. Dalam masa pra remaja mental dan
pemikirian mulai berkembang sehingga ia mulai berpikir kritis terhadap ilmu yang ia terima.
Meskpun ia mulai berpikir kritis, tetap saja ia masih memiliki jiwa anak-anak yang suka bermain
karena masa anak-anak berakhir pada usia 12 tahun. Hal ini selaras dengan pernyataan Aulia,
bahwa ia lebih senang dengan guru yang serius dalam belajar namun suasana belajarnya tidak
membosankan.
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dakwah persuasif adalah proses mempengaruhi mad’u dengan pendekatan psikologis,


sehingga mad’u mengikuti ajakan da’i tetapi merasa melakukan sesuatu atas kehendak sendiri.
Seseorang yang akan melakukan dakwah persuasif haruslah orang yang memiliki keahlian khusus.
Hal ini dikarenakan setiap orang memiliki psikologis yang berbeda yang mana cara menerima dan
memproses pesan dakwahnya pun akan berbeda pula. Jadi, pelaku dakwah persuasif harus bisa
memahami hal tersebut agar pesan dakwah yang disampaikan dapat tersampaikan secara
mendalam.

B. Saran

Untuk bisa memahami psikologi mitra dakwah, sebaiknya orang yang akan melakukan
dakwah persuasif adalah orang yang memahami ilmu psikologi dan ilmu dakwah. Hal ini bisa
diperoleh dengan menempuh pendidikan di perguruan tinggi, memperbanyak bacaan, atau dari
pengalaman yang sudah lama.
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Moh Ali. 2017. Ilmu Dakwah Edisi Revisi. Jakarta: PT Fajar Interpramata Mandiri

Sakdiah, Halimatus. 2015. Urgensi Interpersonal Skill dalam Dakwah Persuasif. Diakses dari
http://jurnal.uin-antasari.ac.id

You might also like